• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan docx"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA DAN PERGURUAN TINGGI DI SINGAPURA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Disusun oleh :

Fathan Muhammad Izzuddin 1506910

DEPARTEMEN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI INDONESIA

A. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam perkembangannya, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perubahan-perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki isi dan tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri. Pada awalnya Pendidikan Kewarganegaraan muncul dengan istilah Pendidikan Kewiraan yang mulai berlaku pada tahun ajaran 1973-1974, kemudian terus mengalami perubahan hingga berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan juga memiliki keterkaitan kurikulum dengan Pendidikan Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila dan cabang Pendidikan lainnya.

(3)

kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969) (Winataputra, 2006 : 1). Secara umum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri, 2001:298). Pada tahun 1975, Pendidikan Kewarga Negara diganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang visi dan misinya berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97). Perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Kemudian Kurikulum PMP 1984 menjadi Kurikulum Pendidikan Pancasila danKewarganegaraan (PPKn) tahun 1994, akan tetapi nuansa paradigmatik civic education-nya juga belum terasa. Pendidikan moral Pancasila yang disampaikan melalui PPKn di sekolah dan penataran P-4 di berbagai lapisan masyarakat dianggap tanpa bekas dan tanpa makna (meaningless). Dengan adanya perubahan UU No. 2 tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 2 tahun 2003 tidak dieksplisitkan lagi nama pendidikan Pancasila, sehingga tinggal Pendidikan Kewarganegaraan. Begitu pula kurikulum 2004 memperkenalkan istilah Pengganti PPKn dengan kewarganegaraan atau pendidikan kewarganegaraan. Perubahan nama ini juga diikuti dengan perubahan isi PKn yang lebih memperjelas akar keilmuan yakni politik, hukum dan moral.

B. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

Pendidikan kewarganegaraan secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dalam seluruh jalur dan jenjang pendidikan.

(4)

1. Sebagai mata pelajaran di sekolah. 2. Sebagai mata kuliah di perguruan tinggi.

3. Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru.

4. Sebagai program pendidikan politik yaitu sebagai suatu crash program.

5. Sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan.

Berdasarkan Kep. Dirjen DIKTI No. 43/DIKTI/Kep/2006, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan dalam visi, misi dan kompetensi, yaitu:

Pasal 1: Visi pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya.

Pasal 2: Misi pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.

(5)

DAFTAR PUSTAKA

Nu'man Somantri (1969), Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah, Bandung : Badan Penerbit IKIP Bandung.

Somantri, Numan. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Winataputra dan Budimansyah. (2007). Civic education. Bandung: Program Pascasarjana UPI.

Winataputra, Udin S. (2006). Konsep dan Strategi Pendidikan Kewarganegaraan Di Sekolah : Tinjauan Psiko-Pedagogis (Paper). Pamulang.

_______. 2015. Sejarah Perkembangan PKn pada masa Transisi Demokrasi.

http://www.pusakaindonesia.org/sejarah-perkembangan-pkn-pada-masa-transisi-dem okrasi/comment-page-1/. Diakses pada 6 Desember 2015.

Depdiknas. 2006. Kep. Dirjen DIKTI No. 43/DIKTI/Kep/2006.

(6)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI SINGAPURA

A. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan

Sejak Singapura mengatur pemerintahannya sendiri dalam negara persemakmuran tahun 1959, Singapura telah memperjelas pemikiran pendidikan kewarganegaraan. Hal ini dianggap penting untuk keberlangsungan sosial dan mengembangkan nasionalisme tiap individunya. Diantara 1959 hingga 1969, pendidikan kewarganegaraan biasa disebut dengan Etichs. Setelah Singapura memisahkan diri dari Malaysia, Ethics berubah nama menjadi Civics. Civics menjelaskan mengenai berbagai topik, seperti konstitusi, pemerintahan, hubungan internasional dan juga nilai-nilai seperti patriotisme, loyalitas, dan asas kesadaran dalam bernegara. Pada 1973, muncul EFL (Education For Living) yang mengembangkan sosial dan pendidikan moral. Terdapat 3 elemen yang sangat disorot, yakni: 1) Perilaku tiap individu; 2) Tanggung jawab sosial; 3) Loyalitas terhadap negara. Pada 1992, pemerintah mengganti EFL dengan CME (Civics and Moral Education). CME melakukan penekanan terhadap pembangunan nasional. Topik yang dikembangkan antara lain, Konstitusi Singapura, Jaminan kebebasan Individu, pentingnya penegakan hukum, dan partisipasi dalam pemerintahan. CME terus digunakan hingga pada akhirnya diubah menjadi NE (National Education) pada tahun 1997. Dan hingga kini NE digunakan dalam mengembangkan nasionalisme warga Singapura.

B. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

National Education atau Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk pengetahuan positif, nilai-nilai, dan kedisiplinan. Untuk mencapai hal tersebut, terdapat beberapa topik yang dibahas didalam Pendidikan Nasional, antara lain:

1. Memelihara rasa kebangsaan, bangga dan peduli menjadi warga Singapura. 2. Memaparkan sejarah Singapura: Bagaimana Singapura berhasil menjadi sebuah

negara.

3. Mengetahui ciri khas Singapura.

4. Menanamkan nilai-nilai inti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(7)
(8)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini memiliki makna bahwa lima indikator dalam variabel motivasi yaitu: target yang ingin dicapai (MB1), kuliah sangat penting untuk bekal di masa depan (MB2), adanya penghargaan

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya suatu perangkat yang dapat mengeringkan pakaian kapan saja, tidak membutuhkan waktu yang lama dalam proses

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu penelitian lebih mendalam terkait kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam menjaga kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional

Dalam naskah rancangan KUHP baru tahun 2000 telah dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif pada tindak pidana

Penyebaran filariasis di Desa Buru Kaghu sejak pemekaran Kabupaten Sumba Barat Daya sampai dengan tahun 2011 terbatas pada informasi mikrofilaria yang ditemukan

Dari penelaahan literatur tersebut akan diperoleh data-data yang dikehendaki berupa fatwa-fatwa Imam al-Syafi’i tentang hak rujuk dalam nikah beserta hal-hal yang

Menurut saya, dalam masa bertunangan biasanya nyalenih itu sudah menjadi kebiasaan di desa ini dan sudah hal yang biasa selama tidak meyentuh calon istri maka hukumnya

Dalam makna yang demikian ini pula, kiranya tindakan Abu Bakar dalam memerangi orang- orang yang murtad serta orang yang enggan untuk berzakat 40 tidaklah dinilai sebagai