IMPLEMENTASI AL-HIWALAH DI PERBANKAN SYARIAH DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS) DALAM PERSPEKTIF FIQIH KONTEMPORER
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Kontemporer
Perbankan
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh:
Nama: Devi Chyntia Dewi
NPM: 141260010
Kelas: A
PROGRAM STUDI STRATA SATU PERBANKAN SYARIAH (S1 PERBANKAN SYARIAH)
1 Nama : Devi Chyntia Dewi
NPM : 141260010
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur
cara hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. Pada hakikatnya,
manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam
masyarakat. Disadari atau tidak, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia
selalu berhubungan satu sama lain atau bermuamalah kepada sesama manusia.
Di antara muamalat yang telah diterapkan kepada kita ialah Al- Hiwalah.
Al-Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan
kepada manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan
kehidupan manusia. Al-hiwalah sering berlaku dalam permasalahan utang
piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah utang piutang
dalam muamalah adalah al-hiwalah.
Al-Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah utang
piutang, akan tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu
kepada individu yang lain atau syarikat dan firma. Sebagai mana telah digunakan
oleh sebagian sistem perbankan.
Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang Implementasi
al-Hiwalah di Perbankan Syariah dan LKS dalam Perspektif Fiqih Kontemporer.
Yakni berkaitan dengan konsep dasar, implementasi al-hiwalah di BMT, dan
implementasi al-hiwalah di perbankan syariah dan Lembaga Keuangan Syariah
(LKS).
B. Konsep Dasar Al-Hiwalah
1. Pengertian al-Hiwalah
Al-hawalat atau Al-hiwalat, secara bahasa berasal dari kata Hawwala
yang berarti ghayyara (mengubah) dan naqala (memindahkan).1
Sedangkan secara istilah al-hiwalah adalah pengalihan utang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah
para ulama hal ini, merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang
2
yang berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih (orang yang berkewajiban
membayar utang).2
Menurut Ibn ‘Abd al-barr al-Namiri al-hawalat ialah pemindahan tanggung
jawab. Sedangkan menurut ulama hanafiah definisi Al-hiwalah dikategorikan
dalam dua versi:
1. Pemindahan hak menuntut utang dari pihak yang berutang kepada
pihak lain dimana pihak lain secara kebetulan memiliki utang kepada
yang berutang.
2. Pemindahan penagihan dan pemindahan utang sekaligus.3
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Al-hiwalah
adalah penjualan utang dengan utang artinya pemindahan utang dari
pihak kesatu kepada pihak yang lainnya karena pihak lain memiliki utang
kepada yang berutang dengan nilai yang sama. Hiwalah timbul sebagai
akibat dari peristiwa hukum utang piutang bersegi tiga yaitu terjadi
minimal tiga pihak yang melibatkan diri dalam peristiwa itu secara
berkaitan. Misalnya: A (muhal), memberi pinjaman kepada B (muhil),
sedangkan B masih mempunyai piutang kepada C (muhal alaih). Begitu B
tidak mampu membayar utangnya pada A, ia alu mengalihkan beban
utang tersebut pada C. dengan demikian, C yang harus membayar utang
B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.4
2. Dasar Hukum Al-Hiwalah
a. Al-Qur’an
Dasar hukum hawalah terdapat dalam dalam Q.S al-Baqarah ayat 282,
yang berbunyi:
2 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h.
126.
3Ibid.
3
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya
sebagaimana Allah mengajarkannya..”5
hawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadist tersebut Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada
orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan
hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan (muhal alaih).
Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.6
c. Ijma’
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada
utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah
perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban
finansial.7
d. KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah)
Selain dasar hukum dari AL-Qu’an, Al-Sunnah dan ijma’ juga terdapat
legitimasi dalam KHES Pasal 318-328.
5 Q.S al-Baqarah (2): 282.
4 3. Rukun dan Syarat Al-Hiwalah
a. Rukun Al-Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan
melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan
menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Sedangkan
menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam
yaitu:
1) Pihak pertama, muhil (ليحملا)
Yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang;
2) Pihak kedua, muhal atau muhtal (لاتحملا وا لاحملا)
5) Ada utang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil;8
6) Ada sighat al-hiwalah
Yakni pernyataan hiwalah atau ijab dari muhil dengan perkataan,
“Aku alihkan utangku yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan
(maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk membayar
utangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal dengan
kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.”9
b. Syarat Al-Hiwalah
1) Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil), yaitu:
a) Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu
baligh dan berakal. Hiwalah tidak sah bila dilakukan
anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun
dilakukan oleh orang gila.
8 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2016), h. 235-236.
5
b) Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama
dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad itu tidak sah.
Adapun persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa
sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya,
jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada
pihak lain.
2) Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal), yaitu:
a)
Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakalsebagaimana pihak pertama.
b)
Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yangmelakukanhiwalah. Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan
bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang
berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga yang sulit membayarnya,
sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan hak
pihak kedua.10
‘alaih). Hal ini diharuskan karena tindakan hiwalahmerupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban
kepada pihak ketuga (al-muhal ‘alaih) untuk membayar utang
kepada pihak kedua (al-muhal), sedangkan kewajiban
membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila
ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu,
kewajiban itu hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia
menyetujui akad hiwalah Imam Abu Hanifah menambahkan
syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus
dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu
majelis akad.
10 Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, (Jawa Timur: Blok Agung
6
4) Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (
al-muhal bih), yaitu:
a) Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk
utang piutang yang telah pasti.
b) Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo
pembayarannya. Jika terjadi perbedaan waktu jatuh tempo
pembayaran di antara kedua utang itu, maka hiwalah tidak
sah.
c) Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak
ketiga kepada pihak kedua haruslah sama jumlah dan
kualitasnya. Jika antara kedua utang itu terdapat perbedaan
jumlah, misalnya utang dalam bentuk uang, atau perbedaan
kualitas misalnya utang dalam bentuk barang, maka hiwalah
itu tidak sah.11
4. Jenis-Jenis Al-Hiwalah
a. Ditinjau dari segi pelaksanaanya, jenis-jenis hiwalah meliputi:
1) Hiwalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan utang pada
yang lain tanpa memberikan keterangan bahwa orang tersebut
harus membayar utangnya dari utang yang ada padanya.12
2) Hiwalah muqayyadah adalah seseorang yang memindahkan
pembayaran utangnya kepada orang lain, dari utangnya yang
ada pada orang tersebut.13
b. Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah terdiri dari 2 jenis, yaitu:
1) Hiwalah al-Haqq (pemindahan hak) adalah pemindahan piutang
dari satu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak
untuk menuntut hutang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai
muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya kepada
pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak
11 Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PRENADA MEDIA, 2010), h.
255-257.
12 As Carya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2006), h. 26. 13 M. Tahil Mansuri, Islamic Law of Contract and Bussiness and Transaction, (New Delhi:
7
berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi
piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
2) Hiwalah ad-Dain (pemindahan hutang) adalah pemindahan
hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya.
Ini berbeda dari hiwalah haqq, karena pengertiannya sama
dengan hawalah yang telah diterangkan di depan yakni yang
dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.14
5. Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil
gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah
atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil.15
Menurut mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal
‘alaih orang kafir yang yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar,
maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang
yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar
kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.16
Abu Hanifah,Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang
yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuh menagihnya.17
6. Berakhirnya Al-Hiwalah
Al-Hiwalah akan berakhir oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Karena dibatalkan atau fasakh
Ini terjadi terjadi jika al-hiwalah belum dilaksanakan sampai tahapan
akhir kemudian difasakh. Dalam hal ini hak penagihan dari Muhal
akan kembali kepada Muhil.
14Ibid.
15 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 103. 16 Ibid.
8
2. Hilangnya hak Muhal ‘Alaih
Hilangnya hal Muhal ‘Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut
atau ia mengingkari adanya al-hiwalah sementara Muhal tidak dapat
menghadirkan saksi atau bukti.
3. Muhal ‘Alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal
Hal ini berarti al-hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua
pihak.
4. Meninggalnya Muhal sementara Muhal ‘Alaih mewarisi harta hiwalah
karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan. Jika
al-hiwalah muqayyadah, maka berakhirlah sudah al-al-hiwalah itu menurut
mazhab Hanafi.
5. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah
kepada Muhal ‘Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6. Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar utang kepada
Muhal ‘Alaih.18
C. Kesimpulan
Definisi al-Hiwalah secara istilah adalah pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para
ulama hal ini, merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang
berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih (orang yang berkewajiban membayar
hutang).
Dasar hukum tentang al-hiwalah terdapat dalam al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’
dan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah). Rukun al-hiwalah menurut
mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali meliputi: pihak pertama, muhil (ليحملا), pihak kedua, muhal atau muhtal (لاتحملا وا لاحملا), pihak ketiga, muhal ‘alaih (هيلع لاحملا),
ada utang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (هب لاحملا), ada utang pihak
ketiga kepada pihak pertama serta adanya sighat al-hiwalah. Sedangkan syarat
al-hiwalah meliputi: ada kerelaan muhil, ada persetujuan dari muhal, utang yang
akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan, adanya kesamaan
utang muhil dan muhal ‘alaih dalam jenis, macam, waktu penangguhan dan
waktu pembayarannya. Dengan hiwalah utang muhil bebas.
9
Jenis al-Hiwalah dilihat dari segi pelaksanaannya yaitu hiwalah mutlaqah
dan hiwalah muqayyadah. Sedangkandilihat dari segi obyeknya meliputi hiwalah
al-haqq dan hiwalah ad-dain. Abu Hanifah,Syarih, dan Utsman berpendapat
bahwa beban muhil setelah al-hiwalah dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkan (muhal)
kembali lagi kepada muhil untuh menagihnya. Berakhirnya al-hiwalah yaitu al-
hiwalah telah fasakh (rusak), karena meninggalnya muhal dan muhal ‘alaih,
mewarisi, menghibahkan, menyedekahkan harta hiwalah, dan muhal
10
DAFTAR PUSTAKA
Abd Hakim, Atang. 2011. Fiqh Perbankan Syariah. Bandung: PT Refika Aditya.
al-Asqalani, Ibnu hajar. 2011. Terjemah Bulugul Maram. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Ali Akbar, Andi. 2014. Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah. Jawa Timur: Blok
Agung Pustaka.
As Carya. 2006. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Wali Pers.
Indris, Ahmad. 1986. Fiqih al-Syafi’iyyah. Jakarta: Karya Indah.
Mustofa, Imam. 2016. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada
Nur Yasin, M. 2009. Hukum Ekonomi Islam. Malang: UIN-Malang Press.
Rahman Ghazaly, Abdul, dkk. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: PRENADA
MEDIA.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.