• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas Ultimum Remedium The Last Resort Principle Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.125 Pid A 2012 PN.GS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asas Ultimum Remedium The Last Resort Principle Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.125 Pid A 2012 PN.GS)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASAS ULTIMUM REMEDIUM/THE LAST RESORT PRINCIPLE DI DALAM INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATUR

TENTANG ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

A. Asas Ultimum Remedium di dalam Instrumen Internasional yang Mengatur Tentang Anak

Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari

Deklarasi jenewa tentang Hak-Hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal

Declaration of Human Rights tahun 1948. Bertolak dari hal tersebut, kemudian pada

tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the

Rights of the Child. Sementara itu, masalah anak terus dibicarakan dalam

kongres-kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.

Pada kongres ke-I di Geneva tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of Juvenile

Delinquency, pada kongres ke-II tahun 1960 di London dibicarakan masalah New Forms of Juvenile Delinquency dan Special Police Services for the Prevention of

Juvenile Delinquency, dan masalah Juvenile Delinquency ini masih juga dibicarakan

pada kongres ke III di Stockholm. Setelah masyarakat dunia berulang kali

memusatkan perhatian pada masalah Juvenile Delinquency, dalam perkembangannya

pusat perhatian diarahkan pada masalah Juvenile Justice (Peradilan Anak).84

Mantan Sekretaris PBB Javier Perez De Cuellar pernah menyatakan bahwa,85

84

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal.117

85

Javier Perez sebagaimana dikutip dalam Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency

(2)

“The way of society treats its children reflects not only its qualities of

compassion and protective carring, but also its sense of justice, its commitment to the future and its urge to enchance the human condition for coming generations. This is as indisputably true of the community of nations as it is of nations individually.” (Cara masyarakat memperlakukan anak-anak

tidak saja mencerminkan kualitas kepeduliannya melindungi anak-anak, melainkan mencerminkan juga perasaan keadilan dan komitmennya terhadap masa depan mereka serta niatnya untuk meningkatkan kondisi kemanusiaan generasi penerus suatu bangsa.)”

Ungkapan Javier di atas merupakan gambaran pentingnya posisi anak di

dalam suatu lingkungan masyarakat yang merupakan generasi penerus bangsa.

Perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab yang diemban oleh

masyarakat termasuk jika anak tersebut melakukan tindak pidana. Pembinaan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum merupakan kewajiban bagi warga

masyarakat sebagaimana telah ditentukan oleh hukum internasional yang berlaku.

Beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur tentang anak yang

berkonflik dengan hukum terkait dengan asas ultimum remedium yakni,

1. Convention of the Right of the Child 1989

Perkembangan yang sangat berarti bagi perhatian masyarakat internasional

mengenai hak-hak anak dan sekaligus merupakan tindak lanjut pencanangan

Deklarasi Hak-Hak Anak yaitu dengan disahkannya Resolusi PBB 44/25- Convention

Of The Right Of The Child atau Konvensi Hak-Hak Anak. Konvensi ini terdiri dari 54

(3)

18 tahun.86

Article 37 (Pasal 37)

Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan mengeluarkan

Kepres No.36 Tahun 1990. Perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum dalam konvensi ini dapat dilihat sebagai berikut :

“States Parties shall ensure that (Pihak Negara menjamin bahwa)

(a) No child shall be subjected to torture or other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Neither capital punishment nor life imprisonment without possibility of release shall be imposed for offences committed by persons below eighteen years of age (tidak ada anak yang akan

dikenakan penyiksaan atau kekejaman lainnya, ketidakmanusiawian atau penghinaan atau hukuman baik itu hukuman Negara ataupun penjara seumur hidup tanpa kemungkinan bebas tidak akan dijatuhkan bagi pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang dibawah usia 18 tahun)

(b) No child shall be deprived of his or her liberty unlawfully or arbitrarily. The arrest, detention or imprisonment of a child shall be in conformity with the law and shall be used only as a measure of last resort and for the shortest appropriate period of time (tidak ada anak yang akan dihilangkan

kebebasannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau memenjarakan seorang anak akan disesuaikan dengan hukum dan hanya akan digunakan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu yang singkat)

(c) Every child deprived of liberty shall be treated with humanity and respect for the inherent dignity of the human person, and in a manner which takes into account the needs of persons of his or her age. In particular, every child deprived of liberty shall be separated from adults unless it is considered in the child's best interest not to do so and shall have the right to maintain contact with his or her family through correspondence and visits, save in exceptional circumstances (setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan

manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarga melalui surat menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa)

a. (d) Every child deprived of his or her liberty shall have the right to prompt access to legal and other appropriate assistance, as well as the right to

86

(4)

challenge the legality of the deprivation of his or her liberty before a court or other competent, independent and impartial authority, and to a prompt decision on any such action (setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak

atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri, dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu)

Pokok Convention Of The Right Of The Children di atas khususnya Pasal 37

dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum

yakni Pertama, konvensi ini menghendaki penyeragaman usia anak yang

mendapatkan perlindungan khusus yaitu dibawah 18 tahun. Kedua, perlindungan

terhadap anak yang berkonflik dilakukan dengan cara menjauhkannya dari sistem

peradilan pidana anak dengan menjadikan hal tersebut sebagai upya terakhir/ last

resort dan apabila permasalahan anak harus diselesaikan lewat penjatuhan hukuman

maka pemenjaraan seumur hidup dihapuskan baginya serta ia harus mendapat

bantuan hukum dan fasilitas yang memadai.

2. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines)

The Riyadh Guidelines merupakan suatu pedoman pencegahan kenakalan

anak yang terdiri atas 66 Pasal. The Riyadh Guidelines ditetapkan melalui Resolusi

PBB Nomor 45/112 dalam Sidang Pleno PBB ke-68 pada tanggal 14 Desember 1990.

Bagian lampiran Riyadh Guidelines menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana

anak merupakan bagian utama pencegahan kejahatan di dalam masyarakat.

(5)

aktivitas sosial yang bermanfaat, melakukan pendekatan manusiawi terhadap segala

aspek kehidupan kemasyarakatan serta memerhatikan kehidupan anak, sehingga

melalui hal ini anak-anak dapat mengembangkan sikap-sikap non-criminogen.

Anak yang berkonflik dengan hukum dalam Riyadh Guidelines juga mendapat

perhatian selain hal utama tujuan pembentukan Riyadh Guidelines yakni pencegahan

kenakalan anak. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 46 sebagai berikut,

“The institutionalization of young persons should be a measure of last resort

and for the minimum necessary period, and the best interest of the young person should be of paramount importance. (Pelembagaan terhadap remaja

harus menjadi pilihan terakhir untuk jangka waktu singkat yang diperlukan, dan kepentingan terbaik bagi remaja harus menjadi pertimbangan utama.)

Pasal 46 di atas merupakan kebijakan yang harus ditempuh oleh

masing-masing negara untuk menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum ke dalam

lembaga pemasyarakatan sebagai jalan terakhir dan pelaksanaannya juga harus dalam

jangka waktu yang singkat. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan

sosial yang telah ditetapkan di dalam Riyadh Guidelines.

3. United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules)

Tokyo Rules merupakan Resolusi PBB Nomor 45/113 yang berisi 23 pasal

yang mengatur tentang tindakan non penahanan yang harus dikenakan terhadap

pelaku tindak pidana yang diajukan ke dalam sistem peradilan pidana. Tokyo Rules

lahir berdasarkan pertimbangan untuk mengurangi penggunaan penjara terhadap

(6)

mengintegrasikannya kembali ke dalam masyarakat. Tokyo Rules dimaksudkan untuk

meningkatkan keterlibatan/peran serta masyarakat yang lebih besar khususnya dalam

pembinaan pelaku tindak pidana dan meningkatkan rasa tanggung jawab pelaku

tindak pidana terhadap masyarakat.

Penahanan sebagai last resort juga diatur di dalam Rules 16.1 Tokyo Rules

sebagai berikut;

“Pre-trial detention shall be used as a means of last resort in criminal

proceedings, with due regard for the investigation of the alleged offence and for the protection of society and the victim. (Penahanan sebelum persidangan

harus digunakan sebagai sarana terakhir dalam proses pidana dengan memperhatikan penyelidikan dugaan pelanggaran dan untuk perlindungan masyarakat dan korban).”

Penahanan sebagai langkah terakhir yang harus dilakukan berdasarkan aturan

di atas maksudnya adalah untuk mengurangi pembatasan kemerdekaan yang akan

dikenakan terhadap pelaku tindak pidana, hal tersebut untuk memberikan kesempatan

kepada pelaku tindak pidana untuk dapat bertanggung jawab langsung kepada

masyarakat yang dirugikan akibat pelanggaran yang dilakukannya.

4. United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of their Liberty (Havana Rules)

Havana Rules merupakan Resolusi PBB Nomor 45/113 yang dihasilkan

melalui Sidang Pleno PBB ke-68 pada tanggal 14 Desember 1990 yang berisi 87

Pasal yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak yang dirampas

kemerdekaannya. Havana Rules merupakan pelengkap Beijing Rules dalam hal

(7)

mencakup pengaturan tentang hak anak/remaja yang berada di dalam tahanan

termasuk kesehatan, rekreasi, agama, mendapatkan fasilitas yang memadai,

pendidikan, pelatihan kerja, dsb.

Havana Rules menyatakan pemenjaraan sebagai upaya terakhir/last resort

dalam menyelesaikan permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum. Pengaturan

last resort dalam Havana Rules hanya terbatas pada pemenjaraan anak/remaja saja,

berbeda dengan pengaturan yang ada di dalam Convention of the Right of the Child

yang menjadikan seluruh sistem peradilan pidana anak dimulai dari penangkapan,

penahanan dan pemenjaraan sebagai jalan terakhir bagi anak nakal.

Hal ini dinyatakan di dalam pandangan dasar (fundamental perspectives)

Havana Rules yakni sebagai berikut,

“Juveniles should only be deprived of their liberty in accordance with the

principles and procedures seth forth in these Rules and in the United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ( The Beijing Rules). Deprivation of the liberty of a juvenile should be a disposition of last resort and for the minimum necessary period and should be limited to exectional cases. The length of the sanction should be determined by the judicial authority, without precluding the possibility of his or her early release. (Anak hanya boleh dirampas kemerdekaannya sesuai dengan prinsip

dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan ini dan Peraturan Standar Minimum Administrasi Peradilan Anak (Beijing rules). Perampasan kemerdekaan anak haruslah merupakan penempatan terakhir dan untuk jangka waktu singkat yang diperlukan dan harus dibatasi untuk kasus yang luar biasa. Lamanya hukuman harus ditentukan oleh kekuasaan kehakiman tanpa menutup kemungkinan untuk melepaskannya).”

Ketentuan pembatasan kemerdekaan terhadap anak nakal di atas lebih lanjut

mengacu kepada mekanisme serta prosedur yang terdapat di dalam Beijing Rules

(8)

5. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ( Beijing Rules)

Beijing Rules sangat dikenal di kalangan para aktivis pembela hak-hak anak

karena untuk pertama kalinya secara detail masyarakat internasional memiliki

ketentuan minimal bagaimana memperlakukan anak-anak yang berkonflik dengan

hukum. Resolusi ini secara tegas mengakui bahwa anak karena tahapan awal

perkembangan manusianya, memerlukan bantuan dan perawatan khusus berkenaan

dengan perkembangan fisik, mental, dan sosialnya, serta memerlukan perlindungan

hukum mengenai kondisi damai, kemerdekaan, martabat, dan keamanannya.87

Beijing Rules merupakan kebijakan sosial yang menjadi mandat yang harus

diterapkan bagi negara-negara peserta termasuk Indonesia. Resolusi ini bertujuan

untuk mendukung tercapainya sebesar mungkin kesejahteraan anak, dan

mengupayakan berkurangnya penanganan anak melalui sistem formal dengan campur

tangan sistem peradilan pidana sehingga kerugian-kerugian atau dampak negatif pada

diri anak akibat campur tangan sistem dapat dicegah seperti timbunlnya stigmatisasi,

penyiksaan dan pengaruh buruk digabungnya tahanan anak dengan tahanan dewasa.

Asas The Last Resort di dalam Beijing Rules terlihat pada Aturan 13.1 yang

menyatakan sebagai berikut,

“The placement of a juvenile in an institution shall always be a disposition of

last resort and for the minimum necessary period. (Penahanan sebelum

pengadilan terhadap anak nakal harus dilakukan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu singkat yang dibutuhkan)”

87

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa

(9)

Pengaturan penahanan terhadap anak sebagai langkah terakhir dilakukan

untuk menghindarkan anak dari bahaya buruknya pengaruh rumah tahanan terhadap

tumbuh kembang anak tersebut. Aturan 13.1 tersebut mendorong untuk dilakukannya

langkah-langkah baru dan inovatif untuk menghindari penahanan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum.

B. Relevansi Perangkat Hukum Internasional Terkait Asas Ultimum Remedium dalam Suasana Hukum Nasional

Instrumen internasional merupakan suatu produk hukum tertulis dalam

perangkat ketentuan-ketentuan yang dihasilkan baik oleh organisasi-organisasi

internasional (seperti PBB) maupun beberapa negara, berupa perjanjian, konvensi,

persetujuan, protokol, piagam, kovenan, akta, deklarasi, dan instrumen internasional

lainnya. Tidak ada ketentuan baik dalam hukum nasional maupun hukum

internasional yang mewajibkan negara untuk meratifikasi suatu konvensi atau

perjanjian internasional. PBB melalui Majelis Umum seringkali hanya menghimbau

kepada negara anggotanya untuk melakukan ratifikasi terhadap suatu konvensi

maupun perjanjian internasional.88

Istilah konvensi lazimnya digunakan untuk satu instrumen multilateral yang

resmi dan layak. Bentuk konvensi ini cenderung digunakan untuk perjanjian

multilateral yang bersifat pembuat hukum. Negara yang meratifikasi, menerima,

88

(10)

mengesahkan, atau mengaksesi konvensi internasional semuanya dilakukan dengan

suatu intrumen yang di dalamnya memuat pernyataan dari negara tersebut tentang

kesepakatannya untuk meratifikasi, menerima, mengesahkan, dan mengaksesi suatu

konvensi serta kesediaan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada di

dalamnya dengan iktikad baik.89

Masuknya hukum internasional ke dalam hukum nasional dan menjadi bagian

dari hukum nasional serta dalam beberapa hal memberi warna terhadap hukum

nasional, menunjukkan bahwa negara-negara tidak bisa mengabaikan arti dan peranan

dari hukum internasional. Sejauh mana suatu negara sudah peka dan tanggap terhadap

perkembangan hukum internasional dapat diketahui dari pengaturan suatu masalah di

dalam undang-undang nasionalnya, di mana masalah itu sendiri juga sudah diatur

secara canggih dan aktual di dalam sebuah konvensi internasional.90

Perangkat hukum internasional dibutuhkan oleh hukum nasional, sebab

hukum internasional dapat menjadi masukan bagi hukum nasional berkenaan dengan

suatu masalah yang pengaturannya terlebih dahulu muncul di dalam hukum

(konvensi) internasional. Sebagai bahan masukan, suatu negara itu bisa

melakukannya dengan jalan meratifikasi konvensi yang mengatur tentang masalah

tersebut atau kalau negara itu tidak ingin meratifikasi dapat menempuh dengan jalan

mengadaptasi isi dan jiwa konvensi tersebut untuk selanjutnya diatur di dalam

89

Ibid., hal.183

90

(11)

undang-undang nasionalnya.91

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pembuatan

Perjanjian Internasional menyatakan bahwa,

Indonesia melakukan ratifikasi terhadap konvensi

internasional melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Pembuatan

Perjanjian Internasional.

“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan

(a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara,

(d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru,

(f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”

Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, “Pengesahan perjanjian internasional

yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan

dengan Keputusan Presiden.” Ratifikasi terhadap konvensi hak anak dilakukan

melalui Keputusan Presiden karena isi dari materi konvensi tidak termasuk dalam

materi yang di atur di dalam Pasal 10 undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Pembuatan Perjanjian Internasional.

Negara tetap mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya untuk meratifikasi atau

tidaknya suatu konvensi atau perjanjian internasional. Jika harus melakukan ratifikasi

negara tetap akan mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Dewasa ini,

konvensi yang menyangkut tentang anak telah dianggap sebagai konvensi yang

sangat mendasar yang mengandung tuntutan internasional terhadap semua anggota

91

(12)

masyarakat internasional untuk meratifikasinya. Terhadap konvensi yang mengatur

tentang anak, Indonesia telah meratifikasinya melalui Keputusan presiden Nomor 36

Tahun 1990 Tentang ratifikasi terhadap Convention of the Right of the Child.92

Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan merupakan suatu pemerintahan dunia,

Majelis Umum tidak pula dapat dianggap sebagai suatu badan legislatif untuk

masyarakat dunia. Menurut Pasal 10 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, keputusan

Majelis Umum berupa resolusi hanya mempunyai kekuatan sebagai anjuran kepada

anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun demikian, tidak dapat

disangkal bahwa keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ini ada

kalanya mempunyai kekuatan yang jauh melebihi arti formal keputusan itu

sebagaimana diatur dalam piagam. Sebagai keputusan Majelis Umum, Resolusi tidak

mempunyai kekuatan mengikat yang langsung.

Konvensi Hak Anak ini juga di dalamnya terkandung asas the last resort terhadap

anak yang berhadapan dengan hukum yakni dengan menjadikan sistem peradilan

pidana anak sebagai langkah terakhir yang harus ditempuh.

93

Terhadap resolusi Majelis Umum PBB yang mengatur tentang anak

khususnya yang di dalamnya terkandung asas ultimum remedium/the last resort

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum seperti pengaturan ultimum remedium

di dalam The Riyadh Guidelines, Tokyo Rules, Havana Rules, Beijing Rules, maka

negara Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah mengadopsi materi penting

92

Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., hal. 78

93

(13)

yang ada di dalam resolusi-resolusi tersebut melalui undang-undang nasionalnya. Hal

ini dilakukan negara Indonesia sebagai bentuk kelanjutan dari anjuran/himbauan

resolusi Majelis Umum PBB kepada negara-negara anggota. Asas ultimum remedium

seperti yang tertuang di dalam resolusi PBB tersebut di atas telah di sinkronisasikan

ke dalam undang-undang nasional Indonesia seperti pada undang-undang

perlindungan anak. Dengan demikian, asas ultimum remedium masuk menjadi bagian

dari pengaturan hukum nasional melalui ratifikasi atas konvensi hak anak yang

mengatur perlindungan terhadap anak.

C. Konsep Diversi dan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) di dalam Instrumen Hukum Internasional

1. Pengertian dan Pengaturan Diversi di dalam Beijing Rules

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata diversion pertama kali

dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang

disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.

Terdapat banyak perbedaan pengertian diversi sesuai dengan praktek pelaksanaannya.

Jack E. Bynum mendefinisikan diversi sebagai,94

“Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from

the juvenile justice system. (Diversi adalah sebuah perlakuan atau tindakan

untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana).”

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau

pendekatan non-penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk

94

(14)

memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan

pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan

cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan

tindakan kekerasan dan pemaksaan.95

Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan

hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai

prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh

jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya.

Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi

berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang

mentaati hukum.96

Pengaturan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam

instrumen hukum internasional yakni Beijing Rules dinyatakan dalam Rule 11 sebagai

berikut :

“11.1 Consideration shall be given, wherever appropriate, to dealing with

juvenile offenders without resorting to formal trial by the competent authority. (Pertimbangan harus diberikan oleh pihak yang berwenang jika

memungkinkan untuk mengatasi pelaku remaja tanpa beralih ke pengadilan formal .)

11.2 The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile

cases shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion, without recourse to formal hearings, in accordance with the criteria laid down for that purpose in the respective legal system and also in accordance with the principles contained in this Rules. (Polisi, Jaksa, atau lembaga lain

yang berhubungan dengan kasus remaja harus diberdayakan untuk mengalihkan kasus tersebut sesuai dengan kewenangan mereka tanpa

95

Ibid., hal.13 96

(15)

melibatkan proses formal sesuai dengan kriteria yang ditetapkan untuk tujuan itu di masing-masing sistem hukum dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam aturan.)

11.3 Any diversion involving referral to appropriate community or other

services shall require the consent of the juvenile, or her or his parents or guardian, provided that such decision to refer a case shall be subject to review by a competent authority, upon application. ( setiap pengalihan yang

melibatkan rujukan ke masyarakat atau jasa lainnya memerlukan persetujuan dari pelaku remaja atau orang tua/walinya, asalkan keputusan untuk merujuk kasus tersebut harus ditinjau oleh pejabat yang berwenang dalam melaksanakannya.)

11.4 In order to facilitate the discretionary disposition of juvenile cases,

efforts shall be made to provide for community programmes, such as temporary supervision and guidance, restitution, and compensation of victims. ( dalam rangka memfasilitasi kewenangan pengalihan kasus anak,

upaya yang dapat dilakukan adalah menyediakan program-program layanan masyarakat seperti, pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi, dan kompensasi kepada korban.)

Commentary Rule 11 di atas adalah sebagai berikut :

“Diversion, involving removal from criminal justice processing and

frequently, redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal systems. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. Thus diversion at the outset and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school or other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner. (Diversi, termasuk penghapusan dari proses pengadilan

(16)

masyarakat sudah bereaksi atau cenderung bereaksi dalam sikap yang tepat dan membangun).”

Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak yang

berkonflik dengan hukum, diversi dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi

yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana

anak. Melalui diversi, kemungkinan penuntutan pidana terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum gugur, rekor anak sebagai bekas terdakwa tidak ada, dan dengan

sendirinya stigmatisasi terhadap diri anak pun tidak terjadi.

Program diversi dalam perkara anak dapat dilakukan dengan cara Non-

intervensi. Non-intervensi merupakan upaya terbaik karena diversi tanpa melalui

proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi pidana yang tidak serius

dimana keluarga, sekolah, atau lembaga pengawasan sosial informal dapat berperan

dengan cara yang layak dan membangun. Cara Non-intervensi dapat dibagi

menjadi,97

a. Peringatan informal : melibatkan polisi untuk mengatakan kepada anak bahwa apa yang dilakukannya salah dan memperingatkan agar tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk itu.

b. Peringatan Formal : polisi harus mengantarkan anak pulang dan memberi peringatan kepada orang tua atau walinya. Polisi mencatat peringatan itu dalam catatan diversi yang disimpan di kantor polisi. c. Ganti kesalahan dengan kebaikan / restitusi : anak diminta mengganti

kesalahan dengan kebaikan, misalnya dengan membayar ganti kerugian pada korban sesuai dengan kemampuan anak.

97

Wayan Dinar Purba Prasetyo, Diversi Sebagai Upaya penyelesaian Anak yang Berhadapan

Dengan Hukum, dalam

(17)

d. Pelayanan masyarakat : anak diminta melakukan pelayanan masyarakat atau penuhi tugas tertentu selama beberapa jam. Hal ini berfungsi untuk pengembangan kejiwaan dan pendidikan anak.

e. Melibatkan anak dalam program keterampilan : melibatkan anak pada program keterampilan yang dikelola lembaga pelayanan sosial – LSM, baik anak pelaku maupun anak pada umumnya.

f. Menyusun rencana polisi, anak, dan keluarga : melibatkan anak, keluarga, dan polisi, bersama-sama membahas hal yang harus dilakukan, misalnya ganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban maupun masyrakat perkuat ikatan keluarga dan dukungan anak lain, serta mencegah penanggulangan tindak pidana lagi.

g. Rencana yang diputuskan lembaga tradisional adat : kasus-kasus anak dapat juga dilimpahkan penanganannya pada lembaga tradisional. h. Rencana didasarkan hasil pertemuan kelompok keluarga : pertemuan

antar kelompok keluarga melibatkan semua pihak terkena dampak tindak pidana anak.

Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur

melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak

penegak hukum. Keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap

keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate

treatment) .Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu;98

1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri,

memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

98

M. Lutfi Chakim, Implementasi Konsep Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan dengan

Hukum, dalam

(18)

3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or

restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi

kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Ide diversi adalah pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada arapat

penegak hukum untuk mengambil tindakan- tindakan kebijaksanaan dalam

menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil

jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses

peradilan pidana atau mengembalikan/ menyerahkan kepada masyarakat dan

bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam

semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan

disidang pengadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini

dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses

peradilan tersebut.99 Untuk lebih memahami fungsi diversi sebagai wujud dari asas

ultimum remedium dapat dilihat pada skema di bawah ini

99

Manunggal K. Wardaya & Dwi Hapsari Retnaningrum, Diversi Sebagai Bentuk

Perlindungan Hak Asasi Manusia Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, dalam

(19)

Skema 1. Kedudukan Asas Ultimum Remedium dalam Proses penyelesaian Perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Hukum Internasional

Sistem Peradilan Pidana Anak

Sumber : Diolah dari uraian-uraian tentang Diversi

Skema di atas memperlihatkan bahwa sistem peradilan pidana anak

merupakan suatu mekanisme penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan

hukum yang harus ditempuh sebagai jalan terakhir. Asas ultimum remedium

mengarahkan proses penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum

melalui mekanisme diversi terlebih dahulu sehingga apabila perkara anak itu telah

sedemikian rupa tidak mampu diselesaikan lewat diversi maka barulah sistem

peradilan pidana anak itu digunakan. Penyelesaian Perkara Anak yang

Berkonflik dengan Hukum

Diversi

(20)

2. Pengertian dan Tujuan Restorative Justice Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling

mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan

pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui Basic

Principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif

adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional.

Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai

sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab

ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Keadilan

Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem

peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan

korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan

pidana yang ada pada saat ini. Keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka

berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi

penegak dan pekerja hukum.100

Restorative Justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara yang

dilakukan di luar peradilan formal. Restorative Justice mempunyai cara berfikir dan

paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh

seorang manusia tanpa semata-mata memberikan hukuman pidana. Penanganan

100

Eva Achjani Zulfa, Mendefinisikan Keadilan Restoratif, dalam

(21)

terhadap tindak pidana dapat dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang

lebih luas tehadap korban, pelaku, dan masyarakat. Konsep restorative justice dimulai

dan berawal dari pengertian bahwa kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang

atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran/pengrusakan terhadap suatu

norma hukum yang berlaku.101

Restorative justice atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan

restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan

masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi

seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum

terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.

James Dignan menjelaskan bahwa,102

“ Keadilan restoratif pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Kedua berhubungan dengan keadilan distributif, yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Ketiga adalah keadilan restoratif, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi.”

Pandangan keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban pelaku

sebagai usaha dalam memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan

kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban

umum. Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang bertujuan

101

Marlina (2), Op.Cit., hal.38

102

James Dignan sebagaimana dikutip dalam Restorative justice dalam

(22)

menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja sistem peradilan pidana yang ada saat ini.

Pendekatan ini dipakai sebagai bingkai strategi penanganan perkara pidana.103

Pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan

berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang

tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut:104

“Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and

conflict that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.(Keadilan restoratif adalah suatu kerangka kerja

baru untuk merespon penyalahgunaan wewenang dan benturan yang cepat memperoleh penerimaan dan dukungan oleh institusi pendidikan, hukum, sosial, dan konseling profesional serta kelompok masyarakat. Keadilan restoratif adalah pendekatan berbasis nilai untuk menanggapi kesalahan dan konflik, dengan fokus yang seimbang pada orang yang dirugikan, orang menyebabkan kerugian, dan masyarakat yang terkena dampak).”

Defenisi tersebut di atas mensyaratkan adanya kondisi tertentu yang

menempatkan keadilan restoratif sebagai nilai dasar yang digunakan dalam merespon

suatu perkara pidana, dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian

antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak

penyelesaian perkara pidana tersebut di dalam masyarakat.

Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam

tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan bahwa;105

103 Ibid 104

Luqman, Pengertian dan Tujuan Restorative Justice dalam

(23)

“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future. (Keadilan

restoratif adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).

Tujuan dari keadilan restoratif adalah mendorong terciptanya peradilan

yang adil dan mendorong para pihak untuk ikut serta didalamnya. Korban merasa

bahwa penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang disepakati seimbang

dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak mesti mengalami

penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru dengan kesepakatan untuk

mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut dapat

diperolehnya. Sementara bagi masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam

kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh pemerintah.106

Tujuan utama restorative justice adalah memberdayakan korban, dimana

pelaku didorong agar memperhatiakan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan

terpenuhinya kebutuhan material, emosional, dan sosial sang korban. Keberhasilan

keadilan restoratif, diukur oleh sebesar apa kerugian yang telah dipulihkan pelaku,

bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya, sedapat

mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara. Tetapi, seperti yang

dikatakan Kent Roach, keadilan restoratif bukan hanya memberikan alternatif bagi

penuntutan dan pemenjaraan, melainkan juga meminta tanggung jawab pelaku.

105

Restorative Justice dalam

diakses pada hari Senin tanggal 6 Mei 2013 pukul 09.00 wib

106

(24)

Tindakan kriminal dalam keadilan restoratif, ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap

hukum dan negara, lagi pula yang dihadapi pelaku adalah korban dan komunitasnya,

bukan pemerintah.107

Filsafat keadilan restoratif menyatakan bahwa kejahatan tidak selalu

dibatasi sebagai serangan pada negara, melainkan suatu pelanggaran oleh seseorang

terhadap yang lain. Hal ini bukan berarti mengambil kembali wewenang balas

dendam dari negara kepada korban kejahatan. Keadilan restoratif berpijak pada

hubungan yang manusiawi antara korban dengan pelanggar dan fokusnya pada

dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan pada semua pihak, bukan hanya pada

korban tetapi juga pada masyarakat dan pelanggar sendiri. Elemen-elemen keadilan

restoratif dalam pemidanaan adalah konsensasi, mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan,

dan pemaafan. Elemen-elemen tersebut berbeda dengan elemen keadilan retributif

yakni pembalasan, pemidanaan, isolasi, stigmatisasi, dan pemenjaraan.108

Peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi

terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan

keterlibatan dari korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar ialah

bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara

107

Ibid

108

Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah (2), Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan

(25)

adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memeroleh

keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.109

Bentuk praktek restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa,

Amerika Serikat, Kanada, Australia dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis yang

kemudian menjadi pioneer penerapan restorative justice. Bentuk-bentuk tersebut

yakni;110

1. Victim-Offender Mediation (VOM)

Suatu pertemuan antara korban dengan pelaku yang dipimpin oleh seorang mediator. VOM awalnya berasal dari Kanada sebagai bagian dari alternatif sanksi pengadilan.

2. Family Grup Conferencing (FGC)

Peserta FGC lebih luas dibandingkan VOM. Jika VOM sebatas pelaku dan korban, maka pada FGC juga melibatkan keluarga inti, teman dan ahli. FGC biasanya sering digunakan dalam perkara yang dilakukan oleh anak-anak. Program ini digunakan oleh Australia dan Selandia Baru, di Brazil program seperti ini disebut Restorative Conferencing (RC).

3. Community Restorative Boards (CRB)

CRB merupakan suatu grup/panel/lembaga yang terdiri dari orang-orang yang telah dilatih untuk bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah. Pelaksanaan CRB di Inggris dan di Wales, Hakim bisa memerintahkan kepada pelaku untuk mengikuti program ini. Polisi juga dapat merujuk pelaku untuk mengikuti program ini sebelum mereka melanjutkan penyidikan. Korban bertemu dengan pelaku dan dengan panelis untuk mendiskusikan masalah dan solusinya dalam jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan, grup/panel tersebut akan melimpahkan kembali perkara tersebut ke pengadilan atau ke polisi.

109

Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Kriminologi, Universitas Diponegoro, 2006, hal.32

110

RestorativeJusticedala

(26)

4. Restorative Circles

Referensi

Dokumen terkait

Selan itu, dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan, sehingga dapat

Kedaulatan rakyat memiliki kekuasaan tertinggi di negara adalah rakyat dan menurut UUD 1945 hasil amandemen dalam Bab 1 bentuk dan kedaulatan pasal 1 ayat 2 ,

Pada tingkat pelayanan ini, tersedia ruang yang cukup bagi pejalan kaki untuk memilih kecepatan berjalan normal dan mendahului pejalan kaki lain terutama yang bergerak

Thomas Engel has taught chemistry for more than 20 years at the University of Washington, where he is currently Professor of Chemistry and Associate Chair for the Undergraduate

The details of anthropometric measurements (height, weight, BMI, waist circumference, and blood pressure); measurement of routine biochemical variables (fasting glucose,

Beberapa tahun kemudian Desa Parakan mendapat bantuan dari pihak PERKIMSIH (Dinas Permukiman Bersih) berupa pembangunan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) setelah

Penyusunan skripsi yang berjudul Sosialisasi Program Kantor Bebas Asap Rokok di PT Kaltim Prima Coal (Analisis Sosialisasi Program Berdasarkan Teori Dramaturgi),

Menurut penulis teknik tersebut dilakukan oleh seluruh perawat karena dalam mengajarkan pasien cara bernapas pelan-pelan tidak memerlukan media khusus sehingga