BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah korupsi ini bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan
hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak
ribuan tahun yang lalu, baik dinegara maju maupun dinegara berkembang
termasuk Indonesia, bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini
sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena
sudah meningkat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.4
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis
multimedimensial serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari
kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai
permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui
keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan seluruh
potensi yang ada di dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak
hukum.
Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei Transparansi Internasional
Indonesia (TII) menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup
nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar
lebih korup dibandingkan Indonesia.5 Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK),
4 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hal 1.
ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara Papua Nugini, Vietnam,
Philipina, Malaysia dan Singapura. Sedangkan pada tingkat dunia, negara-negara
yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang
mengalami konflik.6
Masalah korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain masalah
moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan
lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan
sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem sosial-ekonomi, masalah sistem/budaya politik,
masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi
(termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik”.7
Penyelamatan keuangan negara ditempuh dengan berbagai cara antara lain
pelacakan/pengejaran dan penyitaan barang/kekayaan yang diduga ada kaitannya
dengan kejahatan korupsi. Penjatuhan pidana denda telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengalami perubahan kembali
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
kemudian diterbitkan pula Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 mengatur tentang sanksi pembayaran denda dan uang pengganti atas
perbuatan korupsi yang dilakukan oleh orang pribadi maupun badan hukum.
6 Ibid., hal 2.
7 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Tujuan pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk memaksimalkan
pengembalian uang negara yang telah dikorupsi.
Dalam kenyataannya pembayaran ganti kerugian dalam tindak pidana
korupsi tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan dengan baik,
dikarenakan banyaknya faktor penghambat baik pada terpidana, penegak, hukum,
dan pada aturan-aturan pelaksanaannya, sementara uang hasil korupsi telah habis
dibelanjakan, dengan demikian terlihat bahwa kemampuan dan profesionalisme
aparat hukum merupakan faktor penentu dalam pemberantasan tindak korupsi di
samping fakor perundang-undangan.
Diperlukan perubahan mendasar tentang ketentuan uang pengganti dalam
UU No.31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan tetap
mempertimbangkan pemulihan keseimbangan antara kerugian negara,
masyarakat, dan kepentingan perlindungan hak kepemilikan terdakwa tindak
pidana korupsi perlu segera diundangkan Rancangan Undang-Undang Tentang
Perampasan Aset Kejahatan, termasuk aset yang berasal dari tindak pidana
korupsi perlu segera dibentuk kantor pusat pengendali (central authority)
ditingkat nasional.8
Salah satu instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi selain
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk sesuai dengan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 adalah Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Disamping
kewenangan Kejaksaan dibidang penuntutan dan penyidikan untuk tindak pidana
khusus, berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
8 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing,
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dibidang perdata dan tata
usaha negara kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam
maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Kewenangan kejaksaan dibidang perdataan dan tata usaha negara ini
diantaranya adalah apabila terpidana tindak pidana korupsi tidak mampu
membayar uang pengganti atau apabila barang yang disita belum atau tidak
mencukupi jumlah uang pengganti atau barang-barang terpidana telah habis maka
jaksa penuntut umum selaku eksekutor dapat menunggu sampai terdakwa
mempunyai harta kekayaan lagi dan apabila ternyata setelah beberapa lama (telah
selesai menjalani pidana badan) memiliki harta kekayaan maka jaksa penuntut
umum dapat meminta kekurangan pembayaran uang pengganti melalui gugatan
perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Nomor 3 Tahun 1990.
Terdapat fakta-fakta mengenai sangat minimnya hukuman yang dijatuhkan
kepada pelaku korupsi sehingga belum sesuai dengan peraturan yang ada.9 Pada
dasarnya pencantuman mengenai lamanya pidana penjara dan adanya denda yang
ditetapkan tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya tindakan/perilaku koruptif
akan tetapi dalam kenyataan dilapangan, hukuman maksimal yang telah
ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan jarang sekali diterapkan atau
diambil oleh seorang hakim.
Seiring dengan desakan desentralisasi dan kebijakan nasional pasca
reformasi, maka Daerah Papua khususnya daerah Kabupaten Fak-Fak merupakan
9 VIVANews, Rabu, 19 Januari 2011 14:55: Kenapa Hakim 'Hanya' Vonis Gayus 7 Tahun,
daerah yang memiliki Otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat,
dimana pemberian otonomi khusus ini membuat pembangunan yang nampak
pesat diberbagai bidang. Ini tentunya didukung oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) makin bertambah, dari sekitar Rp.300 Milyar di awal
tahun 2000-an hingga sekarang mencapai lebih dari setengah Triliun Rupiah.10
Dengan besarnya jumlah Pendapatan dari daerah Kabupaten Fak-Fak
tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya pelanggaran Tindak
Pidana Korupsi, karena didaerah yang memiliki Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang lebih sedikit saja ada Pelanggaran Tindak Pidana Korupsi.
Peran dari Kejaksaan sangat diperlukan untuk mengontrol perkembangan
dari Tindak Pidana Korupsi. Tujuan penulis membahas masalah peranan
kejaksaan dalam pembayaran uang pengganti di daerah Kabupaten Fak-Fak
adalah ingin memberi sedikit gambaran perkembangan kasus korupsi yang terjadi
didaerah Kabupaten Fak-Fak dimana daerah Kabupaten Fak-Fak memiliki
Otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah Pusat dalam penyaluran APBD
nya. Selain itu penulis sebelumnya telah melakukan riset di kejaksaan Negeri
Medan dengan judul yang sama tetapi tidak ada respon yang positif dari pihak
Kejaksaan Negeri Medan sehingga akhirnya penulis tertarik melakukan riset di
daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat.
Dari uraian tersebut penulis tertarik untuk mengetahui secara lebih
mendetail mengenai implementasi sanksi pembayaran denda pada terpidana kasus
10 Membangun Gerakan Anti-Korupsi Untuk Tercapaina Pemerintahan yang Bersih
korupsi didaerah Kabupaten Fak-Fak, melalui sebuah penelitian untuk
kepentingan penyusunan skripsi dengan judul:
“Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Pembayaran Uang
Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi di Daerah Kabupaten
Fak-Fak Papua Barat.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas,
maka permasalahan dalam skripsi ini adalah :
3. Bagaimana peranan kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang
pengganti?
4. Bagaimana pelaksanaan dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pihak
kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti pada perkara
tindak pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang peranan kejaksaan dalam
pelaksanaan pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di
Daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kejaksaan
dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak pidana
korupsi dan upaya yang telah dilaksanakan oleh kejaksaan untuk
mengatasi hambatan tersebut.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Peranan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Pembayaran
Negeri Kabupaten Fak-Fak)”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan
studi kepustakaan dan melakukan riset ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak
Papua Barat guna memperoleh data-data yang dapat mendukung penulisan skripsi
ini. Sehubungan dengan pemeriksaan yang penulis lakukan di perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka pembuktian bahwa
judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti skripsi ini benar-benar
merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan dari karya tulis orang
lain.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
A. Pengertian Tindak Pidana
Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan
diuraikan pengertian tentang tindak pidana, pembentukan Undang-Undang kita
menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi
tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.
Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,
yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian
dari kenyataan”, sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara
harfiah perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat
dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui
bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan,
perbuatan, atau tindakan.11
Menurut Simons dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah : “Tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.12
Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah Peristiwa
Pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan
handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).
Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum Tindakan semua unsur dari peristiwa pidana, yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum ( unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab. Menurut Moeljanto,
straafbaarfeit adalah perbuatan yang dilarang suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang
menimbulkan kejahatan).13
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
straafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut :
1. Bahwa kata feit dalam istilah sraafbaarfeit mengandung arti kelakuan atau
tingkah laku;
2. Bahwa pengertian straafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tersebut.14
B. Hukum Pidana Umum dan Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku
untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas
pribadi subjek hukum tertentu.
12 Ibid. hal. 5. 13 Ibid., hal. 7.
14 Pengertian Tindak Pidana,
Hukum Pidana khusus adalah mempelajari suatu hukum dibidang pidana
yang pada umumnya berada ketentuannya diatur diluar KUHP yang berhubungan
dengan hukum pidana umum. Pidana umum dan penyimpangan – penyimpangan
yang ada terhadap hukum pidana umum dalam bentuk serta lembaga yang
berwenang mengadilinya.15
Tujuan dari pidana khusus adalah membahas bentuk-bentuk hukum pidana
yang tergolong kedalam hukum pidana khusus :
1. Latar belakang
2. Jenis-jenis
3. Perundang-undangan yang mengaturnya
4. Proses penyelesaian16
Latar belakang munculnya Tindak Pidana Khusus :
1. Karena dalam kenyataan sehari – hari banyak ditemukan delik – delik
yang tidak diatur dalam KUHP.
2. Adanya delik yaitu pidananya relatif ringan, sedangkan delik itu pada
waktu sekarang mempunyai dampak yang besar.17
Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana
umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk
diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan hukum pidana khusus adalah
hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi
orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Bersenjata, ataupun
15 Hukum Pidana Khusus,
http://vanplur.wordpress.com/2011/04/23/hukum-pidana-khusus/, Diunduh Rabu, 6 Juni 2012 Pukul 01.18 WIB.
merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya
tindak pidana fiskal.18
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana korupsi
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Salah satu jenis kejahatan yang sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana
adalah korupsi. Perbuatan korupsi merupakan suatu perbuatan curang dan tidak
jujur yang bermula sebagai perbuatan jahat yang memerlukan kemampuan
berpikir (inteligensi), dengan pola perbuatan yang demikian itu kemudian paling
mudah merangsang untuk ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat. Sebagaimana
dimaklumi bahwa terbentuknya kelompok masyarakat kriminal itu diciptakan dari
perbuatan meniru yang tumbuh dalam masyarakat.
Secara tata bahasa kata korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio atau
corruptus yang artinya merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga
mengandung arti kejahatan, kebusukan, keburukan, tidak bermoral, dan
kebejatan.19
Arti harfiah dari kata ini adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 20
Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dimaksud dengan korupsi adalah
18 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984,
hal. 1-2.
19Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia,
Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, hal. 146
20 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi,
penyelewenangan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.21
Disamping itu definisi korupsi yang banyak dikutip adalah merupakan
tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara
karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan,
keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan
beberapa tingkah laku pribadi.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam
penjelasan umumnya memberikan pengertian korupsi sebagai
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara
melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil.22 Dengan perumusan
tersebut pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat mencakup
perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus
dituntut dan dipidana. Tindak pidana korupsi yang telah meluas dan mengakar
dalam masyarakat harus dicari sumber-sumbernya berdasar latar belakang sejarah
dan kebudayaannya.
Korupsi dapat didefinisikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) oleh pejabat negara yang mendapatkan amanah dari rakyat untuk
mengelola kekuasaan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara umum korupsi adalah tindakan melanggar norma-norma hukum
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berakibat rusaknya tatanan yang
sudah disepakati, baik tatanan hukum, politik, administrasi, manajemen, sosial
dan budaya serta berakibat pula pada terampasnya hak-hak rakyat yang
semestinya didapat.
Menurut Ensiklopedia Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti,
pengertian korupsi (dari bahasa latin : corruptio = penyuapan; corruptor =
merusak) adalah gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunaan
wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya.23
Adapun secara harfiah korupsi dapat diartikan sebagai berikut :
1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran;
2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya.
3. Korup = busuk; suka menerima uang suap; memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri.24
Berdasarkan arti secara harfiah tersebut, maka dapat dimengerti bahwa
sebenarnya korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan, dalam hal ini uang
negara atau uang perusahaan, untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Jadi
apabila membicarakan korupsi maka perbuatan tersebut akan menyangkut
segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, penyelewenagan kekuasaan dalam
suatu jabatan karena adanya pemberian dan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya
yang berhubungan dengan urusan kedinasan atau suatu jabatan.
Terkait dengan tindak pidana korupsi, Pasal 2 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menentukan : “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah)”.
Kemudian lebih lanjut dalam pasal 3 diterangkan bahwa “Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat satu (1) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun)
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan atau
denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana korupsi
adalah :
1. Tindak melawan hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
4. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan.25
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yang
dapat diklasifikasikan menjadi faktor internal dan faktor internal dan faktor
eksternal, yaitu:
1. Faktor Internal
Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri
seorang pemegang kekuasaan yang mendorong untuk melakukan penyalahgunaan
kekuasaan demi keuntungan pribadi dan atau kelompok, baik keuntungan secara
ekonomi maupun keuntungan secara politik.26 Faktor internal ini bisa terjadi
karena orang dalam keadaan terpaksa, karena gaji tidak mencukupi untuk pola
hidup yang mewah, dan dapat juga terjadi karena kerakusan untuk
menumpuk-numpuk materi/harta kekayaan.
Dorongan untuk penyalahgunaan kekuasaan/korupsi karena kerakusan
tersebut dapat disebabkan karena renggangnya nilai-nilai sosial keagamaan dan
budaya masyarakat, yang tergantikan dengna nilai-nilai hedonism, materialism,
pragmatism dan konsumerisme. Ukuran kehormatan bagi masyarakat dengan
nilai-nilai seperti ini adalah sesuatu yang dapat menyenangkan secara lahiriah,
misalnya kekayaan, jabatan, dan lain-lain. Orang juga tidak banyak
memperhatikan asal muasal kekayaan yang diperoleh oleh orang lain dalam hal
ini adalah pejabat, semakin kaya seorang pejabat semakin ia dianggap berhasil
oleh masyarakat, terlepas dari apakah kekayaan tersebut diperoleh dengan cara
25 Ikhwan Fahrojih, dkk, Mengerti dan Melawan Korupsi, Yappika dan Malang
CorruptionWatch (MCW), Jakarta, 2005, hal. 10.
wajar atau tidak. Pejabat dengan karakter seperti ini sangat berpotensi untuk
menggunakan kekuasaan yang dipegangnya untuk memperkaya diri sendiri.
Pejabat dengan karakter seperti ini juga tidak akan pernah puas dengan gaji yang
diterima, walaupun sudah ada kenaikan gaji yang sangat tinggi.
Pejabat dengan karakter seperti ini bahkan sangat berpotensi pula untuk
mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya dengan cara menggunakan
kekuasaan yang dimilikinya untuk mengumpulkan uang demi membiayai
praktek-praktek politiknya. Ketika orang melakukan investasi politik maka ada motivasi
untuk melipatgandakan keuntungan atas investasi tersebut. Baik keuntungan
secara politik maupun ekonomi yaitu terpeliharanya kekuasaan dengan
praktek-praktek korupsinya dan keuntungan secara ekonomi yaitu bertambahnya kekayaan
pribadi karena praktek-praktek korupsi.
2. Faktor Eksternal
Yang dimaksud dengan faktor eksternal ini adalah adanya sistem
pemerintahan yang memang memberikan kesempatan kepada pemegang
kekuasaan untuk melakukan korupsi.27
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah :
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
2. Perbuatan melawan hukum;
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian;
4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya
karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain.28
Dari uraian pengertian dan penyebab korupsi diatas, dapat disimpulkan
bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat
dari korupsi adalah sebagai berikut :
1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tersebut. Disamping itu, negara lain juga lebih mempercayai negara yang pejabatnya bersih dari korupsi, baik dalam kerja sama di bidang politik, ekonomi, ataupun dalam bidang lainnya. Hal ini akan mengakibatkan terhambatnya pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan ekonomi, serta terganggunya stabilitas perekonomian negara dan stabilitas politik.
2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat
Apabila banyak dari pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan keuangan negara, masyarakat akan bersikap apatis terhadap segala anjuran dan tindakan pemerintah. Sifat apatis masyarakat tersebut mengakibatkan ketahanan nasional akan rapuh dan mengganggu stabilitas keamanan negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1998 yang lalu, masyarakat sudah tidak mempercayai lagi pemerintah dan menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya karena dinilai tidak lagi mengemban amanat rakyat dan melakukan berbagai tindakan melawan hukum menurut kacamata masyarakat.
3. Menyusutnya pendapatan negara
Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari dua sektor, yaitu dari pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan negara dapat
berkurang apabila tidak diselamatkan dari penyelundup dan
penyelewengan oleh oknum pejabat pemerintah pada sektor-sektor penerimaan negara tersebut.
4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara
Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila para pejabat pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak memaksakan ideology atau pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan cita-citanya. Pengaruh korupsi juga dapat mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat terhadap negara.
5. Perusakan mental pribadi
Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang mentalnya akan menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan materi dan akan melupakan segala yang menjadi tugasnya serta hanya melakukan tindakan ataupun perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya ataupun orang lain yang dekat dengan dirinya. Yang lebih berbahaya lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru atau dicontoh oleh generasi muda Indonesia. Apabila hal tersebut terjadi maka cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur semakin sulit untuk dicapai.
6. Hukum tidak lagi dihormati
Negara kita merupakan negara hukum dimana segala sesuatu harus didasarkan pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum saja namun juga pada seluruh warga negara Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak akan terwujud apabila para penegak hukum melakukan tindakan korupsi sehingga hukum
tidak dapat ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat.29
Adapun ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya
“Sosiologi Korupsi” sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti, adalah sebagai
berikut :
1. Korupsi senantiasa melihatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang pejabat yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian
penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan
atau rekening hotel, namun disini seringkali ada pengertian diam-diam diantara pejabat yang mempraktekkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.
2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah
merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada didalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya, namun walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
4. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh
badan publik atau umum (masyarakat).
7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.30
Berdasarkan ciri-ciri korupsi tersebut diatas dapat disimpulkan secara garis
besar bahwa suatu tindak pidana korupsi paling tidak melanggar tanggung jawab
pada sistem publik atau kepentingan umum dan merusak sistemnya. Suatu sistem
public atau ketertiban umum, lebih mementingkan kepentingan umum diatas
kepentingan khusus. Jadi para pelanggar terhadap kepentingan umum untuk
kepentingan khusus adalah korup.
Selanjutnya Syed Hussein Al-Attas menyatakan bahwa korupsi
disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
2. Sistem kolonialisme, karena pemerintahan asing tidak memberikan
tergugahnya kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
3. Kurangnya pendidikan
4. Kemiskinan
5. Tiada sanksi yang keras.
6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
7. Struktur pemerintahan.
8. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal,
korupsi muncul sebagai suatu penyakit yang transisional.
9. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan
keadaan masyarakat secara keseluruhan.31
Menurut Prof.Dr.Baharuddin Lopa SH, suatu tindak pidana korupsi itu
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
Pertama – yang bersumber pada kebiasaan (tradisional) dimana seseorang
membiasakan diri memberikan hadiah kepada pejabat, atau pegawai bawahan
memberikan hadiah kepada atasan dengan maksud terselubung. Kedua – karena
ketidakberesan manajemen dimana belum efektifnya mekanisme pengawasan sementara administrasi makin meningkat disebabkan pembangunan dan
modernisasi tumbuh pesat, juga membuka peluang terjadinya korupsi. Ketiga –
karena tekanan ekonomi, rendahnya gaji pegawai negeri dan tingginya kebutuhan membuat mereka tidak berdaya menghadapi godaan untuk berkhianat, menyelewengkan wewenang dan korup dimana awalnya hanya sekedar
menyambung hidup tetapi berubah menjadi serkah. Keempat – karena erosi mental, misalnya mental yang rusak sehingga setiap kesempatan yang diperolehnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan melahap ludes apa saja
yang dapat dijangkau untuk korup. Kelima – karena gabungan beberapa faktor,
terjadi karena alasan yang paling terkait dan saling mempengaruhi. Misalnya seseorang melakukan korupsi untuk mengumpulkan dana dengan tujuan agar
memperoleh kedudukan politik atau susatu jabatan dalam pemerintahan.32
Menurut Munawar Fuad Noeh, suatu tindak pidana korupsi itu disebabkan
oleh lima variabel yaitu :
Pertama – variabel penjajahan (kolonialisme) yang telah turut andil
mengembangkan budaya korupsi di Indonesia. Kedua – variabel kebudayaan,
misalnya budaya ewuh. Ketiga – variabel ekonomi, rendahnya gaji pegwai negeri
dan tingginya kebutuhan membuat mereka tidak berdaya menghadapi godaan
untuk berkhianat, menyelewengkan wewenang dan korup. Keempat – variabel
struktur, struktur kekuasaan yang sentralistik antara lain dapat berakibat pada terbatasnya kelompok pengambilan keputusan dan melimpahnya para pengharap keputusan sehingga pengambil keputusan memiliki daya tawar tinggi. Situasi
demikian membuatnya rakus dan gampang memeras. Kelima – variabel partai
politik, sumber dana partai politik di negara berkembang umumnya tidak mapan, karena itu parpol berharap banyak pada bantuan negara. Partai berkuasa tentu berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya, untuk itu ia akan memonopoli penghisapan dana negara dengan cara apapun demi kelangsungan
partai dan tentu saja secara tidak langsung dengan rezim.33
B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi
Sekretaris LSM Alammak Babel Joni Irawan menyebutkan, ada tiga puluh
jenis tindak pidana korupsi yang kerap dilakukan para koruptor. Bentuk/jenis
tindak pidana korupsi itu yaitu :
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara
3. Menyuap pegawai negeri
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya 5. Pegawai negeri menerima suap
32 Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan Dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi,
Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 79.
33 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Zikrup Hakim, Jakarta,
6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya 7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat menerima suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan 11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administras 12. Pegawai negeri merusakkan bukti
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti 14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti 15. Pegawai negeri memeras
16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain 17. Pemborong berbuat curang
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang 19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang 21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
22. Pegawai negeri menyerobot tanah Negara sehingga merugikan orang lain
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya 24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK 25. Merintangi proses pemeriksaan
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya 27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28.Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
30. Saksi yang membuka identitas pelapor34
C. Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi
Sistem Pemidanaaan dalam tindak pidana korupsi selain Uang Pengganti
ada juga beberapa jenis Pemidanaan yang di berikan kepada Terdakwa didalam
Putusan Hakim. Diantaranya ada Pidana Penjara dan Pidana Denda.35
Alasan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat diketahui dari
konsiderans butir b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :
34 Bangkapos.com Jumat, 4 Maret 2011 18:12 WIB : 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi,
www.bangkapos.com, diunduh Kamis, 6 Juni 2012 pukul 01.17 WIB
35 Wawancara dengan Bapak Arfan, Kepala Bagian Pidana Khusus, Kejaksaan Negeri
1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum;
2. Menghindari keragaman penafsiran hukum;
3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,
serta
4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Perubahan terhadap Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut adalah berupa :
1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mencantumkan
tentang adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Karena hanya menyebutkan tentang adanya perubahan terhadap penjelasan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka selain
penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
penjelasan yang lain dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal, menurut
hemat penulis masih tetap berlaku atau tidak ada perubahan.
2. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak
mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.
Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan yang masing-masing terdapat
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 – adalah ketentuan-ketentuan yang
mengaitkan dengan mencantumkan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal
388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP yang naskah aslinya mempergunakan
bahasa Belanda, yaitu seperti yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht.
Dikatakan tidak mengacu lagi pada pasal-pasal dari KUHP, karena dalam
Pasal 43 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah ditentukan
bahwa Pasal 209, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal
418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tetapi meskipun demikian, putusan pengadilan dan pendapat pakar
mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang
diacu, menurut hemat penulis masih dapat dipergunakan sebagai pedoman
dalam menerapkan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, dan Pasal 12.
3. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa
diantara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12A, Pasal 12B dan Pasal 12C.
4. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa
Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 26A.
5. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipecah menjadi Pasal 37
6. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa
diantara Pasal 38 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 38A, Pasal 38B dan Pasal 38C.
7. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa
diantara Bab VI dan Bab VII ditambah Bab VI A yang berisi Pasal 43 A.
8. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa
dalam Bab VII sebelum Pasal 44 ditambah Pasal 43B.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (3),
telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 27
Desember 2002.
Meskipun sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal
43 ayat (3), Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ini telah banyak mengadakan perubahan mengenai ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan mengenai perkara tindak pidana korupsi yang terdapat dalam
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dengan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang kemudian disusul
dengan adanya Undang Nomor 30 Tahun 2002, diharapkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi
perkembangna kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
Untuk mewujudkan usaha mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi tersebut, telah dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis
penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana
korupsi adalah Pidana Pokok dan Pidana Tambahan.
1. Pidana Tambahan
Pidana tambahan berupa :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.36
Lembaga yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi adalah
Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dimana Menurut UU No 15 Tahun 1961 dan secara terperinci dalam pelaksanaan
tupoksi kejaksaan diatur dengan Kepres No 86 Tahun 1982 juncto Kepres No 83
Tahun 1982 juncto Keputusan Kajagung No 116/JA/183, Kejaksaan Agung
Republik Indonesia memiliki Tugas Pokok dan Fungsi yang telah diatur.
Fungsi dari Kejaksaan Negeri Republik Indonesia yaitu melaksanakan
tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di daerah hukum Kejaksaan Tinggi
yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Perumusan kebijaksanaan
pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta
pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Fungsi dari Kejaksaan Negeri Republik Indonesia yaitu :
1. Penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana,
pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;
2. pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan
keadilan di bidang pidana;
3. pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang
ketertiban dan ketentraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;
4. penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat
perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal - hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
5. pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan
peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
6. koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik
fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
7. Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik
di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.37
Disamping kewenangan kejaksaan dibidang penuntutan dan penyelidikan
untuk tindak pidana khusus, dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa dibidang
perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dalam kuasa khusus dapat bertindak baik
didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Kewenangan kejaksaan dibidang keperdataan dan tata usaha negara ini
diantaranya adalah apabila terpidana tindak pidana korupsi tidak mampu
membayar uang pengganti atau apabila barang yang disita belum atau tidak
mencukupi jumlah uang pengganti atau barang-barang terpidana telah habis maka
jaksa penuntut umum selaku eksekutor dapat menunggu sampai terdakwa
mempunyai harta kekayaan lagi dan apabila ternyata setelah beberapa lama (telah
selesai menjalani pidana badan) memiliki harta kekayaan maka jaksa penuntut
umum dapat meminta kekurangan pembayaran uang pengganti melalui gugatan
perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Nomor 3 Tahun 1990.38
Ketentuan mengenai pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada
tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pembayaran uang pengganti adalah salah satu upaya
37 http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=31&sm=2, diunduh Minggu,
pukul 01.08 WIB
untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari usaha penyelamatan/pengembalian
kerugian negara. Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh
terdakwa, berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pidana tambahan
dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari
pokoknya dan ditentukan dalam putusan pengadilan.
Selanjutnya mengenai pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang
pengganti diatur di dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan :
“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.
Sedang dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa :
“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum
dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”39
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembayaran uang pengganti adalah suatu
upaya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari usaha
penyelamatan/pengembalian kerugian negara ataupun kekacauan negara. Apabila
pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa, berlakulah
39 Undang-Undang Nomor 31 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan-pelaksanaan pidana tambahan dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya dan ditentukan dalam putusan pengadilan.
3. Dasar Hukum Uang Pengganti Dalam Hukum Pidana
A. Dasar Hukum Uang Pengganti Dalam Hukum Pidana
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Sehubungan dengan adanya kalimat “dapat dijatuhi pidana tambahan” dalam
Pasal 17 tersebut, maka penjatuhan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah fakultatif, artinya bahwa hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan terserah pada pertimbangannya apakah disamping menjatuhkan pidana pokok,
hakim juga bermaksud menjatuhkan suatu pidana tambahan atau tidak.40
Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa pengumuman putusan hakim yang
dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan merupakan pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.3 KUHP, kecuali dalam putusan
hakim tersebut terdapat perintah kepada Jaksa agar putusan hakim diumumkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHP.41
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tersebut di atas, maka Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa
pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan yang berupa uang
pengganti sebagaiman ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka
40 P.A.F. Lamintang, Loc.Cit, hal. 84
41 R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
perlu adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli (sebagaimana diatur dalam
Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan
berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana
korupsi yang dilakukannya.42 Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana
tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak
pidana korupsi.
Adapun yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut menurut R. Wiyono tidak
hanya ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi
yang masih dikuasai oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan
putusannya, tetapi ditafsirkan juga termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil
tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya,
harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan penguasaannya kepada orang
lain.43
Sehubungan dengan adanya kalimat “selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan
adalah …..dst” dalam perumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, maka
dapat diketahui bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa
dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pidana tambahan yang ditentukan
dalam :
1. Pasal 10 huruf b KUHP, yang meliputi :
a. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP terdiri dari :
1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
2) Hak memasuki angkatan bersenjata
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum
4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang bukan anak sendiri
5) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP
ditentukan bahwa dapat dirampas atas :
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan
2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan.
c. Pengumuman keputusan hakim.
2. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, yang terdiri dari :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
b. Pembayaran uang pengganti
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.44
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk
melakukan pengkajian terhadap hukum pidana dan penerapan pidana
sebagai sarana kebijakan hukum pidana, dalam rangka pembangunan dan
pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis empiris
dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap eksistensi pidana
badan di Indonesia dan aplikasinya terhadap penegakan hukum di
Indonesia.45
2. Sumber Data
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat
yang terdiri dari :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
2) Badan Hukum Sekunder, yaitu badan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari
buku-buku literatur, makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yang terdiri dari :
a) Kamus Umum Bahasa Indonesia
b) Kamus Istilah Hukum
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Fak-Fak pada instansi :
Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak
4. Narasumber Penelitian
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak atau yang
mewakilinya
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian lapangan; dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan
dengan cara wawancara dan mengajukan daftar pertanyaan kepada
narasumber penelitian.
b. Penelitian kepustakaan; dalam penelitian ini pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mempelajari
dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan
penelitian ini.
6. Analisis Data
Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah
a. Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahan dalam penelitian
b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan
c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan
dasar dalam pengambilan kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan
sistematika penulisan dari skripsi ini yang terbagi ke dalam beberapa bab dan
masing bab terbagi lagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun
masing-masing bab tersebut adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan bekal
dasar bagi penulis dalam menyusun skripsi ini. Selanjutnya pada bab ini juga
diuraikan tentang metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data,
lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.
Pada akhir dari bab ini disajikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
YANG BERUPA UANG PENGGANTI
Pada bab ini diuraikan dan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi. Adapun uraian pada bab ini meliputi : Tugas pokok
korupsi yang berupa uang pengganti, Penetapan uang pengganti, dan Prosedur
penyelesaian pembayaran uang pengganti.
BAB III PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN
PEMBAYARAN UANG PENGGANTI PADA PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSI DIKEJAKSAAN NEGERI KABUPATEN
FAK-FAK
Pada bab ini diuraikan dan dianalisis hasil penelitian lapangan terhadap
peranan kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak
pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak. Adapun uraian dan analisis pada
bab ini meliputi Peranan Kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang
pengganti pada tindka pidana korupsi di Kejakasaan negeri Kabupaten Fak-Fak,
dan Hambatan yang dihadapi pihak Kejaksaan dan upaya penyelesaiannya
penyelesaiannya.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap
permasalahan dalam skripsi ini dan sekaligus disajikan saran yang merupakan
sumbangan pemikiran dan rekomendasi dari penulis tentang peranan Kejaksaan
dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di