• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perkara Nomor 690k Pid.Sus 2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perkara Nomor 690k Pid.Sus 2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan

anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan dengan

kekayaan harta benda lainnya, oleh sebab itu maka anak harus senantiasa dijaga dan

dilindungi karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi, termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan

Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Apabila dilihat dari sisi

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa

depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak

atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.1

Perlindungan adalah “Suatu bentuk pelayanan yang wajib dilakukan oleh

aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik

maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan

kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahan penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan”2

1

Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. vii

. Pengertian perlindungan

2

(2)

yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut merupakan bentuk dari

perlindungan yang bersifat hukum.

Maria Theresia Geme mengartikan perlindungan hukum adalah “Berkaitan

dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum

negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak

seseorang atau kelompok orang.3 Satjipto Raharjo mengartikan perlindungan hukum

adalah “Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan

orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati

semua hak-hak yang diberikan oleh hukum”.4

Bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:

1. Perlindungan yang bersifat preventif

2. Perlindungan refresif.

Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan hukum yang

sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk

mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan

pemerintahan mendapat bentuk yang defenitif. Perlindungan hukum ini bertujuan

mencegah terjadinya sengketa, dan sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah

yang didasarkan pada kebebasan bertindak, sehingga dapat mendorong pemerintah

untuk berhati-hati dalam mengambil keputusam yang berkaitan dengan asas freies

3

Maria Theresia Geme, Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas, Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 99

4

(3)

ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya

mengenai rencana keputusan itu.

Perlindungan hukum refresif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi

sengketa. Indonesia dewasa ini memiliki badan yang secara parsial menangani

perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu:

1. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum;

2. Instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.

Peradilan umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung

yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada

umumnya. Peradilan umum meliputi: pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan

pengadilan khusus.5 Pengadilan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota,

dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi

berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.

Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan memeriksa,

mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu

lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur

dalam Undang-Undang.6

5

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum

Pengadilan khusus meliputi : pengadilan anak, pengadilan

6

(4)

niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan

hubungan industrial, dan pengadilan perikanan.7

Dibentuknya pengadilan anak dalam peradilan umum merupakan bukti dari

usaha pemerintah dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap anak, karena

dari tahun ke tahun jumlah anak yang berhadapan dengan hukum terus meningkat.8

Anak sebagai pelaku tindak pidana adalah anak yang melakukan perbuatan

yang terlarang bagi anak, baik terlarang menurut perundang-undangan, misalnya,

pencurian, penganiayaan, dan perbuatan lain yang dilarang undang-undang. Anak

sebagai korban tindak pidana adalah anak yang menjadi korban perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang yang dilakukan oleh orang lain, misalnya: anak korban

eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, dan perbuatan lain yang tidak sepatutnya

dialami oleh anak-anak.

Anak yang berhadapan dengan hukum bisa berupa anak sebagai pelaku tindak pidana

ataupun anak sebagai korban tindak pidana, dan keduanya berhak mendapatkan

perlindungan hukum sesuai dengan amanat Undang-Undnag Perlindungan Anak.

Eksploitasi seksual terhadap anak dapat berupa pelacuran anak, pornografi

anak, perdagangan anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak atau pernikahan

dini. Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah

transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Isu

7

Penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum

8

(5)

kuncinya adalah bahwa bukan anak-anak yanh memilih untuk terlibat dalam

pelacuran agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barang-barang konsumtif,

tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial dan pelaku-pelaku individu ke

dalam situasi-situasi dimana orang-orang dewasa memanfaatkan kerentanan mereka

serta mengkesploitasi dan melakukan kekerasan seksual kepada mereka.

Pornografi anak berarti pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang

melibatkan anak di dalam aktifitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang

menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual.9

1. Anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan seksual untuk

pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambar-gambar tesebut dibuat

dalam proses pengeksploitasian seorang anak secara seksual tanpa

sepengatahuan anak tersebut. Gambar-gambar tersebut kemudian disebarkan,

dijual atau diperdagangkan ;

Pengkesploitasian anak

melalui pornografi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

2. Orang-orang yang mengkonsumsi dan/atau memiliki gambar anak-anak tersebut

terus mengeksploitasi anak-anak ini. permintaan mereka atas gambar anak-anak

tersebut menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan porno tersebut;

3. Para pembuat bahan-bahan pornografi biasanya menggunakan produk-produk

mereka untuk memaksa, mengancam atau memeras anak-anak yang

dimanfaatkan untuk pembuatan produk-produk tersebut..

9

(6)

Perdagangan anak atau trafiking adalah semua perbuatan yang melibatkan

perekrutan atau pengiriman orang di dalam maupun ke luar negeri dengan penipuan,

kekerasan atau paksaan, jeratan hutang atau pemalsuan dengan tujuan untuk

menempatkan orang tersebut dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti

pelacuran dengan paksaan, praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan,

penyiksaan, atau kekejaman yang ekstrim, pekerjaan dengan gaji yang rendah atau

pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang bersifat eksploitatif. Perdagangan anak bisa

terjadi tanpa atau dengan menggunakan kekerasan atau pemalsuan karena anak-anak

tidak mampu memberikan izin atas eksploitasi terhadap diri mereka.

Pariwisata seks anak merupakan eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh

orang-orang yang melakukan perjalanan sari satu tempat ke tempat yang lain dan di

tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Sebagian

wisatawan seks anak menjadikan anak-anak sebagai sasaran mereka, tetapi sebagian

besar dari mereka merupakan para pelaku kekerasan situasional yang biasanya tidak

memiliki keinginan khusus untuk berhubungan seks dengan anak-anak tetapi hanya

sekedar memanfaatkan situasi dimana seorang anak memang tersedia untuk mereka.

Perkawinan anak atau pernikahan dini yaitu perkawinan yang melibatkan

anak dan remaja usia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Eksploitasi seksual dalam

bentuk pernikahan dini ini yang menjadi topik penelitian. Pernikahan dini dianggap

sebagai sebuah bentuk eksploitasi seksual jika seorang anak diterima dan

dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual demi mendapatkan barang atau bayaran

(7)

seorang anak untuk mendapatkan keuntungan atau untuk membiayai keluarga

tersebut. Perkawinan anak dapat terjadi baik terhadap anak laki-laki maupun

perempuan, tetapi perkawinan anak umumnya terjadi pada anak perempuan yang

dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua dari mereka.10

Anak dalam kondisi apapun harus dilindungi dari segala bentuk perbuatan

yang bisa merusak masa depan anak. Perhatian dunia terhadap nasib anak,

sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib anak-anak yang dijadikan

budak yang mempunyai nasib yang sangat buruk. Beranjak dari fenomena tersebut,

maka pada tahun 1924 Liga Bangsa-Bangsa (LBB) telah mengesahkan Deklarasi Hak

Asasi Anak yang diusahakan oleh International Union for the Save Children.

Anak perempuan

tersebut dipaksa untuk menikah oleh orang tua atau keluarga pada usia yang masih

terlalu muda untuk membuat keputusan yang benar. Izin diberikan oleh orang lain

atas nama anak tersebut dan anak tersebut tidak memiliki kesempatan untuk

menggunakan haknya untuk memilih. Pernikahan dini sering berkaitan dengan

penelantaran isteri dan menjerumuskan anak-anak perempuan muda ke dalam

kemiskinan yang luar biasa.

11

Aksi-aksi perlindungan kepada anak-anak terus dilakukan secara serius dan

seterusnya diakui bahwa hak anak adalah hak asasi manusia oleh Perserikatan Bangsa

Bangsa (PBB). Perjanjian hak asasi manusia internasional terdiri dari 9 (sembilan)

10

ECPAT Internasional, Tanya dan Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Restu Printing, 2006 hlm. 15

11

(8)

butir, dimana hak anak disebutkan pada butir ke 6 (enam). Isi dari perjanjian hak

asasi manusia tersebut adalah sebagai berikut:12

1. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Ras;

2. Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan dua protokol

opsionalnya;

3. Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;

4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan dan protokol opsionalnya;

5. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang

Kejam, tidak Berperikemanusiaan dan Merendahkan;

6. Konvensi tentang Hak Anak dan dua protokol opsionalnya;

7. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan

Anggota Keluarga Mereka;

8. Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan

Paksa;

9. Konvensi tentang Hak Penyandang Cacat.

Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen internasional mengikat

pertama untuk mengemukakan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya

anak. Konvensi tersebut merupakan hasil negosiasi selama satu dasawarsa antara

pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Konvensi Hak Anak mulai

berlaku pada bulan September 1990 dan saat ini memiliki 193 negara peserta. Setiap

negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah meratifikasi atau ikut serta

dalam konvensi hak anak.13

Bulan Mei 2002, Perserikatan Bangsa Bangsa PBB menggelar Sidang Khusus

Majelis Umum tentang anak yang dilaksanakan di New York. Pertemuan yang belum

pernah terjadi sebelumnya ini dipersembahkan untuk anak-anak dan remaja dunia.

12

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, ECPAT Affiliate Member Group in Indonesia, Panduan Praktis, Memperkuat Hukum Penanganan Eksplotasi Seksual Anak, Medan: KONAS PESKA, 2010, hlm. 12

13

(9)

Pertemuan tersebut telah mempertemukan para kepala pemerintah, kepala negara,

lembaga swadaya masyarakat (LSM), advokat anak, dan remaja dan mencoba untuk

merealisasikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam World Ummit for Children

pada tahun 1990, dan untuk mengangkat hak-hak anak dalam agenda dunia. Sidang

tersebut membahas kemajuan yang telah dicapai World Summit dan menciptakan

sebuah komitmen baru dan berjanji untuk melakukan langkah-langkah khusus untuk

anak-anak dalam dekade mendatang. Sidang khusus tersebut menghasilkan sebuah

aksi global untuk anak-anak dan remaja yang disebut dengan Sebuah Dunia Yang

Layak Bagi Anak (A World Fir for Children).14

Deklarasi A World Fir for Children menunjukkan komitmen para pemimpin

untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan untuk

mengambil langkah yang diperlukan, pada semua tingkatan, sebagaimana mestinya,

untuk mengkriminalkan dan menghukum secara efektif, sesuai dengan semua

instrumen internasional yang berlaku dan terkait, semua bentuk eksploitasi seksual

dan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk dalam keluarga atau untuk tujuan

komersial, pelacuran anak, pedofilia, pornografi anak, pariwisata seks anak, trafiking,

penjualan anak dan organ tubuh mereka, pelibatan anak dalam buruh anak secara

paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi lain, sembari menjamin bahwa dalam perlakuan

14

(10)

oleh sistem peradilan pidana anak-anak yang menjadi korban, kepentingan terbaik

anak harus menjadi pertimbangan utama.15

Aksi menentang eksploitasi seksual anak tingkat internasional lainnya juga

bisa dilihat dengan diselenggarakannya Kongres Dunia Pertama di Stockholm,

Swedia tahun 1996, yang diikuti sebanyak 122 negara mengadopsi Deklarasi dan

Agenda Aksi Stockholm (Agenda Aksi). Agenda Aksi tersebut meminta

negara-negara dan semua sektor masyarakat serta organisasi-organisasi nasional, regional

dan internasional untuk mengambil sebuah langkah untuk menentang eksploitasi

seksual anak dalam 6 (enam) wilayah, yaitu: koordinasi, kerjasama, pencegahan,

perlindungan, pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak.16

Penegasan kembali komitmen terhadap Agenda Aksi tersebut ditandai dengan

diadopsinya dokumen yang merupakan keluaran dari kongres tersebut, yaitu

Komitmen Global Yokohama pada bulan Desember 2001. Para peserta mengakui dan

menyambut berbagai kemajuan positif yang telah dicapai sejak Kongres Dunia

Pertama yang dilaksanakan pada tahun 1996, termasuk pengimplementasian

Konvensi Hak Anak yang lebih baik dan mobilisasi yang lebih besar terhadap

pemerintah nasional dan masyarakat internasional untuk mengadopsi berbagai

undang-undang, peraturan dan program untuk melindungi anak-anak dari ekploitasi

seksual.17

15

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, ECPAT Affiliate Member Group in Indonesia, op.cit, hlm. 24

16

Ibid, hlm. 21

17

(11)

Bulan Juli 2007, Komite Menteri Dewan Eropa mengadopsi Konvensi tentang

Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual,18 yang

ditandatangani oleh 30 negara anggota pada Oktober 2008. Konvensi tersebut akan

berlaku setelah diratifikasi oleh 5 (lima) negara, termasuk sedikitnya 3 (tiga) negara

Dewan Eropa.19 Tujuan konvensi ini adalah untuk mencegah dan memerangi

eksploitasi seksual dan kekerasan seksual, melindungi hak-hak korban eksploitasi

seksual dan kekerasan seksual, mempromosikan kerjasama nasional dan internasional

untuk menentang eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Konvensi tersebut

menawarkan defenisi yang jelas tentang istilah-istilah kekerasan seksual terhadap

anak dan eksploitasi seksual terhadap anak dan mengharuskan bentuk-bentuk

kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak yang berbeda-beda tersebut untuk

dianggap sebagai pelanggaran kriminal.20

Bentuk dukungan pemerintah Indonesia terhadap aksi negara-negara

Internasional dalam hal perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan bentuk

penyiksaan lainnya adalah dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui

Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Selain meratifikasi perjanjian internasional

Konvensi Hak Anak, Indonesia juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada 22 Oktober 2002.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 merupakan peraturan khusus yang

18

Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eksploitassi Seksual dan Kekerasan Seksual, dalam

19

Peratifikasian negara dapat dilihat dari website Dewan Eropa. Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eskploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual, dalam

20

(12)

memberikan perlindungan terhadap anak secara utuh, menyeluruh, dan komprehensif

berdasarkan asas-asas nondiskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak

untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap

pendapat anak.

Berdasarkan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,

maka sangat beralasan bila pernikahan Pujiono Cahyo Widianto (Syeh Puji), seorang

hartawan sekaligus pengasuh pesantren berusia 43 tahun dengan gadis berusia 12

tahun yang bernama Lutviana Ulfah beberapa waktu yang lalu mengundang reaksi

keras dari Komnas Perlindungan Anak.21

Kasus lain yang tidak sampai tersorot media elektronik adalah Ki Masyhurat

dan Haji Naning, yang mengincar gadis-gadis belia. Ki Masyhurat, lelaki uzur asal

Sumenep-Madura ini mengoleksi istri 10 orang, ia menikahi istri-istrinya di usia

antara 9-12 tahun. Haji Naning, kakek 65 tahun, asal Dusun Patontongan, Kecamatan

Mandai, Sulawesi Selatan, menikahi Nurlia gadis berusia 11 tahun. Bahkan, Naning

mengincar Nurlia sejak masih usia balita (bayi usia di bawah lima tahun). Ki

Masyhurat dan Naning semuanya seperti berkedok orang-orang yang membantu

dhuafa. Gadis-gadis muda belia tersebut direlakan orang tuanya untuk dinikahkan

dengan kakek-kakek, karena mereka terbelit kemiskinan.22

21

“Pernikahan Dini”, dalam

22

“Pernikahan Usia Dini tak dapat Dipungkiri Namun tak Layak Diamini”, dalam

(13)

Berdasarkan studi yang berhasil dicatat menyebutkan bahwa pernikahan di

bawah umur terjadi di antaranya karena kebiasaan yang terjadi secara turun temurun.

Penelitian yang dilakukan di Kec. Jangkar Kec. Situbodo Jawa Timur, menyebutkan,

masyarakat yang menikah pada 1960-2000 belum memiliki akta nikah karena

dilakukan terhadap anak di bawah umur. Tahun 2001-2007 sebagian masyarakat

sudah memiliki akta nikah, namun pengantin perempuan rata-rata masih lulusan SD

atau juga masih di bawah umur. Pada periode 2007-2008 pernikahan bawah umur

kembali meningkat tajam, karena faktor ekonomi, pendidikan, dan tradisi turun

temurun. 23

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Kota Malang,

tercatat angka pernikahan di bawah umur pada 2008 meningkat sampai 500%

dibandingkan tahun sebelumnya. Fakta lain menyebutkan, Badan Pusat Statistik

(BPS) mencatat pada 2008 terdapat 32,2% perempuan yang menikah pada usia di

bawah 15 (lima belas) tahun, sedangkan pada laki-laki terjadi pada 11,9%.

Perempuan yang melahirkan antara usia 13-18 (tiga belas sampai delapan belas)

tahun mencapai 18%, dan pernikahan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun

angkanya mencapai 49%. Badan Pusat Statistik juga mencatat 5 (lima) provinsi yang

memiliki angka pernikahan bawah umur tertinggi, yaitu Jawa Timur (28%), Jawa

Barat (27,2%), Kalimantan Selatan (27%), Jambi (23%), Sulawesi Tengah (20,8%).

Data lain menyebutkan, Bappenas melansir pada 2008 sekitar 2 juta pasangan nikah

terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan dini atau pernikahan bawah umur.

(14)

Tidak ada data yang pasti namun pernikahan di bawah umur terjadi merata di seluruh

wilayah Indonesia.24

Eksploitasi seksual dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak

seorang anak untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk

hidup produktif, berharga dan bermartabat. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan

dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam nyawa jiwa anak

sehubungan dengan perkembangan-perkembangan fisik, psikologis, spiritual,

emosional, dan sosial serta kesejahteraannya. Dampaknya bervariasi berdasarkan

pada situasi-situasi yang dihadapi anak-anak dan tergantung pada berbagai faktor

seperti tahap perkembangan dan sifat lamanya serta bentuk kekerasan, namun semua

anak yang mengalami eksploitasi seksual akan menderita berbagai dampak negatif.

Dampak-dampak psikologis dari eksploitasi seksual dan ancaman-ancaman yang

dipergunakan biasanya akan membekas sepanjang sisa hidup mereka.

Bentuk eksploitasi seksual dalam pernikahan dini yang akan dibahas dalam

penelitian ini dilihat melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

690K/PID.SUS/2010 yang dalam amar putusannya menerima putusan hakim

Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 436/PID.B/2009/PN.RAP serta

membatalkan putusan tingkat banding Pengadilan Tinggi Medan Nomor

712/PID/09/PT.MDN.

24

(15)

Terdakwa adalah H. Aska Hasibuan, laki-laki berusia 37 tahun yang

berdasarkan putusan hakim pengadilan negeri Rantau Prapat telah terbukti secara sah

dan meyakinkan melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dengan menikahi gadis belia bernama Rohimah Boru Lubis,

berusia 13 tahun. Pernikahan H. Aska Hasibuan dengan Rohimah Boru Lubis ini

adalah pernikahan yang berlatar belakang ekonomi, sehingga dapat dikategorikan

sebagai eksploitasi seksual terhadap anak dalam bentuk pernikahan dini.25

Haji Aska Hasibuan menikahi Rohimah Boru Lubis secara siri26 agar bisa

memperoleh keturunan. Demi mewujudkan keinginannya menikah dengan Rohimah

Boru Lubis, Haji Aska Hasibuan menjanjikan kepada orang tua Rohimah Boru Lubis

bahwa perkawinan yang dimaksudkannya adalah kawin gantung,27

25

Mengacu kepada pengertian pernikahan dini yang mengarah kepada eksploitasi seksual, dalam ECPAT Internasional, op.cit

sehingga Rohimah

tetap bisa melanjutkan sekolahnya tanpa harus terbebani tanggung jawabnya sebagai

seorang isteri. Haji Aska Hasibuan juga menjanjikan akan memberikan rumah,

sebidang tanah, menjadikan Rohimah sebagai penerus usaha panglong miliknya, dan

menanggung biaya sekolah Rohimah sampai ke tingkat perguruan tinggi. Bujukan

dan janji-janji manis Haji Aska Hasibuan berhasil membuat orang tua Rohimah

menyetujui permintaannya, dan bersedia menikahkan anak gadisnya kepada

terdakwa.

26

Nikah Siri adalah nikah yang tidak dicatat oleh negara, dalam

27

(16)

Haji Aska Hasibuan melanggar kesepakatan, sebab Rohimah dipaksa

melayaninya selayaknya seorang isteri kepada suami, sehingga menyebabkan

Rohimah hamil. Kehamilan Rohimah ternyata tidak diinginkan oleh Haji Aska

Hasibuan. Rohimah dan orang tuanya diusir dari kediaman Haji Aska Hasibuan

karena malu kalau sampai orang lain mengetahuinya hal tersebut. Orang tua Rohimah

melaporkan Haji Aska Hasibuan kepada pihak yang berwajib karena merasa

dibohongi, sebab semua yang pernah diucapkan dan dijanjikannya mulai dari janji

hanya kawin gantung, memberikan rumah dan tanah, menjadikan Rohimah sebagai

penerus usaha panglong, dan menanggung biaya sekolah Rohimah sampai perguruan

tinggi, tidak satupun ditepati. Keadaan Rohimah bahkan menjadi sangat

memprihatinkan, masa anak-anak yang seharusnya penuh dengan keceriaan telah

hancur karena di usianya yang baru menginjak 13 (tiga belas) tahun harus merawat

dan membesarkan anak dengan segala keterbatasannya sebagai seorang ibu.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 690K/PID.SUS/2010 dinilai menarik untuk diteliti, sebab

dalam hal penjatuhan hukuman terhadap H. Aska Hasibuan mulai dari putusan Hakim

tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi berbeda satu dengan lainnya.

Pengadilan Negeri Rantau Prapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 7

(tujuh) tahun penjara dan denda sebesar 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah),

sedangkan Pengadilan Tinggi Medan menjatuhkan hukuman 1 (satu) tahun penjara.

(17)

perlindungan hukum yang diberikan pengadilan kepada Rohimah Boru Lubis sebagai

korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan

yang akan dibahas pada peneltian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tentang larangan eksploitasi seksual pada pernikahan

anak usia dini dalam perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana pertimbangan Hakim pada Tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan

Tinggi, dan Mahkamah Agung, dalam memberikan perlindungan hukum

terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang larangan eksploitasi

seksual pada pernikahan anak usia dini dalam perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Hakim pada Tingkat

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual

(18)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi para

akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan

manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum

perlindungan anak secara khusus di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berperan sebagai masukan kepada

pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menciptakan suatu peraturan

mengenai perlindungan anak yang lebih jelas dan tegas, khususnya mengenai

batasan usia dewasa bagi perempuan.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan

membuka wawasan masyarakat kita, khususnya mayarakat yang masih berada

di perkampungan, dan dengan ekonomi lemah, akan bahaya menikahkan anak

(19)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang didapat melalui penelusuran kepustakaan di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya perpustakaan cabang fakultas

hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul: “Analisis Perkara

Nomor 690K/PID.SUS/2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini”, tidak pernah dilakukan sama

sekali.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang

sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data dan juga pemeriksaan terhadap

hasil-hasil penelitian yang ada. Berdasarkan hasil observasi, ada beberapa penelitian

yang memiliki topik yang sama, yakni:

1. Nancy Yosepin Simbolon, 097005097, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara, judul Tesis “Penanggulangan dan Perlindungan Hukum

Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak”.

2. Hanan, 107005047, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, judul

Tesis “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara Komersial

Terhadap Anak di Kabupaten Asahan”.

Kedua tesis ini tidak membahas eksploitasi seksual terhadap anak dalam

konteks pernikahan dini, sehingga dalam hal permasalahan dan pembahasan tidak

(20)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk memperjelas

nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang

tertinggi.28 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan,

pegangan teoritis, yang mungkin akan disetujui ataupun tidak disetujui, yang

merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikit dalam penulisan.29

Teori merupakan suatu generalisasi yang dicapai setelah mengadakan

pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup faktor yang sangat luas.

Kadang-kadang dikatakan orang, bahwa teori itu sebenarnya merupakan “an elaborate

hypotheis”, suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan diterima

oleh ilmuwan, sebagai suatu keadaan yang benar dalam keadaan-keadaan tertentu.30

Teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan pelaksanaan

perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seksual dalam

pernikahan di usia dini adalah teori perlindungan hukum. Teori perlindungan hukum

digunakan untuk melihat apakah Hakim dalam memutus perkara terkait pernikahan

H. Aska Hasibuan dan Rohimah Boru Lubis sudah memberikan perlindungan hukum

terhadap korban, sebagaimana amanah Undang-Undang Perlindungan Anak.

28

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 254

29

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hlm. 80

30

(21)

Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu, legal

protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan theorie van de

wettelijke bescherming, dan dalam bahasa Jerman disebut dengan theorie der

rechtliche schutz. Teori ini bersumber dari teori hukum alam yang dipelopori oleh

Plato, Aristoteles, dan Zeno. Aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum

bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan

moral tidak dapat dipisahkan.

Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang secara kodrati memiliki hak

asasi. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah.

Hukum dibuat dan dibentuk ke dalam suatu aturan yang kongkrit oleh lembaga

pemerintah untuk dipatuhi oleh masyarakat. Apabila dikaitkan dengan konsep teori

hukum alam tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hukum yang sejatinya bersumber

dari Tuhan tersebut, dibuat dan disusun ke dalam satu bentuk aturan hukum yang

kongkrit oleh lembaga pemerintah yang berwenang, untuk melindungi hak-hak

manusia.

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan

itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan

oleh hukum. Terkait dengan penelitian ini, hak asasi manusia yang dirugikan tersebut

(22)

oleh seorang dewasa, sehingga anak tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya yang

semestinya penuh dengan keceriaan, terpaksa berhenti sekolah, kehilangan rasa

percaya diri, merasa dikucilkan oleh teman-teman seumuran dan masyarakat karena

statusnya yang telah menjadi seorang ibu di usianya yang masih anak-anak. Hak-hak

anak tersebut yang seyogianya mendapatkan perlindungan dari negara.

Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk

mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk

memperoleh keadilan sosial. Terkait dengan penelitian ini anak yang menjadi korban

eksploitasi seksual dalam pernikahan dini dalam hal ini berasal dari keluarga ekonomi

lemah. Kelemahan posisi anak tersebut dimanfaatkan oleh orang yang tidak

bertanggung jawab yang memiliki kekuasaan terhadap anggota keluarga anak

tersebut. Hukum semestinya memberikan jaminan kepada anak tersebut untuk

memperoleh keadilan berupa hukuman setimpal terhadap orang yang telah berbuat

tidak semestinya pada diri anak tersebut melalui persidangan.

Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi

rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.

Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,

yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan

keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk

menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.

Terkait penelitian ini, perlindungan hukum preventif yang dilakukan pemerintah

(23)

pernikahan dini adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang khusus dengan

sanksi hukuman yang lebih berat lagi, sehingga diharapkan masyarakat menjadi

takut menikahi anak di bawah umur baik secara sah maupun tidak sah. Perlindungan

hukum represif dalam upaya menyelesaikan perkara eksploitasi seksual terhadap

anak adalah melalui persidangan yang adil berasaskan nondiskriminasi, kepentingan

yang terbaik bagi anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan hukum,

tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Beliau berpendapat

bahwa “Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum

mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah

menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan

keseimbangan, sehingga ketertiban di dalam masyarakat tercapainya serta

kepentingan manusia terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas

membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi

wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara

kepastian hukum.31

Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo tersebut, untuk mencapai

tujuan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual

dalam pernikahan dini, harus ditempuh dengan membagi antara wewenang untuk

mengadakan perlindungan anak, wewenang untuk memecahkan masalah eksploitasi

31

(24)

seksual anak dalam pernikahan dini tersebut, serta wewenang untuk memelihara

kepastian hukum jika terjadi kasus yang serupa di kemudian hari. Terkait kepada

pihak yang berwenang mengadakan perlindungan anak sesuai dengan bunyi

undang-undang adalah negara dan masyarakat, yang terwujud dalam satu Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wewenang untuk memecahkan masalah

eksploitasi seksual anak dalam pernikahan dini terkait pada penelitian ini adalah

lembaga peradilan Indonesia, baik pada tingkat satu, tingkat banding, maupun tingkat

kasasi. Wewenang untuk memelihara kepastian hukum dalam hal ini dipegang oleh

pihak aparat penegak hukum, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

lembaga bantuan hukum.

2. Konsepsi

Kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis menjadi syarat

yang sangat penting dalam suatu penelitian hukum. Kerangka konsep memaparkan

beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian

hukum, kemudian pada bagian landasan/kerangka teoritis sebagai suatu sistem aneka

theore’ma atau ajaran (di dalam bahasa Belanda: leesrstelling).32

Permasalahan dalam penelitian ini akan dijawab melalui pendefenisian

beberapa konsep agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana

32

(25)

penelitian ini dan secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan

tujuan yang telah ditentukan.

a. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman

kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan pengadilan.33

b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah bertujuan untuk melihat sejauh mana peraturan

perundang-undangan perlindungan anak baik nasional dan internasional memberikan

perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam pernikahan

dini.

34

c. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Anak yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah Rohimah Br. Lubis yang berusia 13 tahun pada saat melangsungkan

pernikahan.

35

33

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Korban yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah Rohimah Br. Lubis, dimana pada saat

pernikahan masih berusia 13 tahun, yang secara hukum belum diperbilehkan

untuk menikah.

34

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

35

(26)

d. Eksploitasi seksual adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual

guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi,

perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari

eksploitasi seksual terhadap anak itu.36

e. Pernikahan dini adalah perkawinan yang melibatkan anak dan remaja di bawah

usia 18 tahun. Perkawinan anak dapat dianggap sebuah eksploitasi seksual jika

seorang anak diterima dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual demi

mendapatkan barang atau bayaran dalam bentuk uang atau jasa. Kasus-kasus

tersebut biasanya orang tua atau sebuah keluarga menikahkan seorang anak

untuk mendapatkan keuntungan atau untuk membiayai keluarga tersebut. Eksploitasi seksual yang dimaksud dalam

penelitan ini adalah bahwa pernikahan yang dilakukan H. Aska Hasibuan berusia

37 tahun dan Rohimah Br. Lubis 13 tahun, tidak dilatarbelakangi oleh niat yang

tulus, melainkan karena untuk tujuan tertentu, yakni keturunan, sebab istri

pertama pelaku tidak bisa memberikan keturunan dan pemuas nafsu si pelaku.

37

36

Tanya dan Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Sebuah Buku Saku Informasi Oleh ECPAT Internasional, op.cit, hlm. 18

Pernikahan dini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernikahan yang

dilakukan H. Aska Hasibuan berusia 37 tahun dan Rohimah Br. Lubis 13 tahun,

dengan iming-iming H. Aska Hasibuan akan memberikan sebuah rumah,

sebidang lahan sawit, dan lain-lain kepada Rohimah Br. Lubis. Pernikahan yang

dijanjikan oleh korban kepada pelaku adalah “kawin gantung”, artinya

pernikahan tersebut tanpa hubungan suami istri sampai waktu yang disepakati,

37

(27)

sehingga korban bisa melanjutkan sekolah hingga kuliah sesuai dengan yang

dijanjikan pelaku kepada korban dan keluarganya. Mengingat latarbelakang

ekonomi keluarga korban yang lemah, maka orang tua korban menyetujui

pernikahan tersebut. Setelah menikah, pelaku melanggar kesepakatan dan

menyetubuhi korban, sehingga hamil.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif atau

disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang

menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law

as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui

proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process).38

Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif analitis yang ditujukan untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait

dengan perlindungan hukum terhadap anak korban yang menjalani pernikahan di

usia dini.

38

(28)

2. Sumber Bahan Hukum

Sebagai penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini hanya

menggunakan data sekunder sebagai bahan hukumnya. Data sekunder meliputi :

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas perundang-undangan

yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Bahan hukum primer

yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Kitab Undang-Undnag Hukum

Pidana, Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak

Anak, Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional

Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang diperoleh dari berbagai

sumber baik jurnal hukum, buku-buku hukum, makalah hukum, tulisan-tulisan

hukum yang diperoleh dari internet, serta putusan pengadilan. Bahan hukum

sekunder berupa buku-buku teks hukum dan lainnya yang digunakan dalam

penelitian ini memiliki keterkaitan dengan masalah eksploitasi seksual terhadap

anak dan masalah pernikahan dini, yang dapat dilihat pada bagian daftar pustaka,

sedangkan bahan hukum sekunder berupa putusan pengadilan meliputi: putusan

(29)

Pengadilan Tinggi Medan Nomor 712/PID/2009/PT-MDN, dan Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 690K/PID.SUS/2010.

c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa

kamus hukum, ensiklopedia hukum, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang digunakan dalam penelitian

ini diperoleh dan dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan (library research)39,

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi

penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan

laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan, yakni masalah

eksploitasi seksual terhadap anak dan masalah pernikahan dini.

39

(30)

4. Analisis Bahan Hukum

Data sekunder yang telah terkumpul selanjutnya akan dianalisis secara

kualitatif, karena hasil penelitian nantinya berupa uraian-uraian kalimat.40

a. Mengumpulkan bahan hukum berupa inventarisasi peraturan

perundang-undangan yang relevan dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang mendukung; Analisis

kualitatif dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

b. Memilih bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan

sistematisasi bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan;

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkan untuk

menemukan kaidah, asas, konsep yang terkandung di dalam bahan hukum

tersebut;

40

Referensi

Dokumen terkait

Intergasi cellular automata dan regresi logistik biner untuk prediksi perubahan penutup lahan di Kota Salatiga mampu mendapatkan overall akurasi 78,20% serta indeks kappa 0,48

Secara umum kandungan logam berat baik Pb, maupunCu dalam air memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di sedimen.Hal ini disebabkan karena

Alasan-alasan penyidik tersebut merupakan diskresi kepolisian karena KUHAP pasal 109 ayat (2) telah mengatur mengenai bagaimana penyidik dapat menghentikan

Dan membuat VOD dengan memasukkannya ke dalam aplikasi E-learning yang berbasis php MySQL, baik untuk live unicast maupun on -demand streaming. Sehingga informasi yang membutuhkan

ALAT UKUR KAPASITAS VITAL PAKSA (KVP) BERBASIS MICROCONTROLLER ATMega16.

Aplikasi Multimedia Mengenai Info Musik Kelompok BARTENZ yang dibuat dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 ini dapat memberi kemudahan kepada user yang ingin mengetahui

Dengan munculnya beberapa motif baru ini menimbulkan beberapa masalah yang menarik untuk diteliti yaitu mengenai penerapan sumber ide pada batik Sendang dalam