• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Risiko Stunting Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Tapanuli Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor Risiko Stunting Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Tapanuli Utara"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan

orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir

dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat

mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak adalah pribadi yang masih bersih dan

peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Yuliana (2004)

berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih

sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari

keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang

penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.

Anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai

perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuannya itu merupakan totalitas psikis

dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.

Dalam proses perkembangan manusia, tahap-tahap perkembangan anak, dijumpai

beberapa tahapan atau fase dalam perkembangan, antara fase yang satu dengan fase

yang lain selalu berhubungan dan mempengaruhi serta memiliki ciri-ciri yang relatif

sama pada setiap anak.

Disamping itu juga perkembangan manusia tersebut tidak terlepas dari proses

pertumbuhan, keduanya akan selalu berkaitan. Apabila pertumbuhan sel-sel otak anak

semakin bertambah, maka kemampuan intelektualnya juga akan berkembang. Proses

perkembangan tersebut tidak hanya terbatas pada perkembangan fisik, melainkan juga

pada perkembangan psikis. Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan

(2)

perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis

dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada

masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase

selanjutnya. Anak usia dini dikelompokkan dalam tipe kelompok sebagai berikut : 1).

Kelompok bayi usia 0 – 12 bulan, 2).Kelompok bermain usia 1 – 3 tahun,3). Kelompok pra sekolah yakni usia 4 – 5 tahun, 4). Kelompok usia sekolah yaitu usia 6 – 8 tahun.

2.2 Tumbuh Kembang Anak

Periode lima tahun pertama anak sering juga disebut sebagai masa keemasan

(golden period) atau jendela kesempatan (window opportunity) atau masa kritis karena

periode ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat.

Mengingat masa lima tahun pertama merupakan masa yang pendek dan tidak dapat

terulang kembali dalam kehidupan anak. Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah

dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur dimana

untuk dapat menilai adanya pertumbuhan yakni adanya pertambahan tinggi badan,

berat badan dan lingkar kepala (Depkes RI, 2008).

Pertumbuhan dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu pertumbuhan yang

bersifat linear dan pertumbuhan massa jaringan. Pertumbuhan linear berhubungan

dengan panjang, misalnya panjang badan atau tingi badan, lingkar dada dan lingkar

kepala. Sedangkan contoh pertumbuhan massa jaringan yaitu berat badan, lingkar

lengan atas dan tebal lemak bawah kulit. Untuk mencapai pertumbuhan linear yang

(3)

merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; pertama

memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir,

kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif

sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air

susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat

meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI,

2008).

Ternyata pola pertumbuhan anak tidak merupakan suatu kurva garis lurus,

tetapi terdiri atas beberapa bagian (phase) yang menunjukkan tumbuh lambat. Phase

pertumbuhan cepat disebut growth spurt sedangkan phase pertumbuhan lambat disebut

phase growth plateu. Pada kurva pertumbuhan sesorang didapatkan dua phase growth

spurt yaitu periode umur bayi dan balita, serta pada periode remaja (Soegeng, 2009).

Pada phase pertama growth spurt (tumbuh cepat) terjadi saat anak menginjak

usia tahun kedua. Pada masa pertumbuhan tersebut anak sangat membutuhkan gizi

yang baik. Phase berikutnya disebut growth plateu yakni pada saat anak usia sekolah

dimana laju pertumbuhan menurun dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada phase

growth spurt . Sehingga kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan

dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga

dewasa. ( Almatsier,2011).

Anak pada usia pra sekolah mempunyai ciri khusus yaitu mengalami masa

pertumbuhan yang cepat untuk pertumbuhan ini anak membutuhkan makanan yang

(4)

tidak akan sempurna. Pada saat anak masuk usia sekolah masalah gizi semakin berat

karena pada usia anak masuk sekolah sudah beraktifitas tinggi dan mulai memilih

makanan yang diinginkan sehingga anak akan semakin mengalami pertumbuhan.

2.3 Gangguan Pertumbuhan Linear (Stunting)

Stunting merupakan dampak dari kekurangan gizi dalam waktu lama pada masa

janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak yang mengakibatkan seorang

anak bila ditimbang berat badan dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu

dibandingkan dengan standar terlihat bawah anak tersebut dibawah normal atau secara

fisik anak akan lebih pendek dibandingkan dengan balita seumurnya.

Penyebab kejadian stunting akibat pada saat prenatal dan postnatal terutama

pada dua tahun pertama kehidupan anak, sehingga dapat dijelaskan bahwa anak yang

mengalami stunting akibat pada masa anak masih dalam kandungan dan semakin berat

ketika anak sampai usia dua tahun tidak terpenuhi kebutuhan gizinya Sehingga

stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan

meningkatnya resiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan fungsi

motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik.

Stunting mengidikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan

dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan

motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik, terhambatnya perkembangan

motorik dan mental ditandai oleh perilaku yang abnorml seperti apatis, kurang aktif,

(5)

yang diberikan (Astari, 2011). Umeta (2003) dalam peneltian Nurul (2011)

menyatakan bahwa Stunting pada anak balita berarti kurangnya atau gagalnya

pertumbuhan linear tubuh mencapai potensi genetik sebagai akibat asupan gizi yang

kurang dan penyakit. Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang rendah dan efek

kumulatif dari kurangnya atau ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat

gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi

berulang kali ( Nurul, 2011).

Stunting banyak terjadi pada anak balita terutama di negara-negara

berkembang. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan

2010 kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8%

(18.8% sangat pendek dan 18.0% pendek) pada tahun 2007 dan 35.6% (18.5% sangat

pendek dan 17.1% pendek) pada tahun 2010 atau lebih dari sepertiga balita di

Indonesia. Meskipun secara nasional jumlah tersebut mengalami penurunan, tetapi di

beberapa provinsi jumlahnya justru meningkat hingga 50% dibandingkan tahun 2007

lalu. Kejadian stunting merupakan indikator yang krusial untuk melihat keberhasilan

pembangunan di suatu daerah dan di suatu negara.

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak

yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga

didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara

kebutuhan dan masukan nutrien. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu

(6)

Penilaian status gizi anak biasanya digunakan adalah dengan mengunakan

metode antropometri yakni untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan

energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan

tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Indeks antropometri memiliki

beberapa kelebihan seperti dapat digunakan untuk mengindentifikasi keadaan gizi

ringan, sedang, dan buruk serta untuk memperoleh informasi tentang riwayat gizi masa

lampau yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain dan dapat digunakan untuk

melakukan screening test dalam rangka mengidentifikasi individu yang beresiko

terhadap malnutrisi (Siagian, 2010).

Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk

menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan

menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et

al. 2002). Tinggi badan menurut umur (TB/U) merupakan parameter yang

menggambarkan pertumbuhan skeletal. Indikator TB/U berguna untuk

menggambarkan status gizi masa lalu.

Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya

umur. Penilaian status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar

WHO 2007 untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal,

pendek atau sangat pendek yang disajikan pada Tabel 2.1. Dibawah ini :

Tabel 2.1 : Kategori Status Gizi Berdasarkan Indikator WHO 2007

Indeks Status Gizi Batas Ambang

(7)

Pendek ( Stunting ) Normal

Z- Score ≥ -3,0 s/d Z-Score < -2,0 Z-Score 2,0

Sumber : Depkes RI (2011)

Z-Score = Nilai Individu Subjek-Nilai Media Rujukan

Nilai Simpangan Baku Rujukan

Menurut Supariasa (2002) pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif

terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi

badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama sehingga kejadian stunting atau

kependekan merupakan indikator kekurangan gizi kronik yang menggambarkan

riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama dan dapat memberikan gambaran

gangguan keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan di masa lampau. Status gizi

memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya manusia yang

berkualitas di masa yang akan datang.

Status gizi berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan

pada masa usia dini tergantung pada asupan zat gizi yang diterima. Semakin rendah

asupan zat gizi yang diterima, semakin rendah pula status gizi dan kesehatan anak. Gizi

kurang atau buruk pada masa bayi dan anak-anak terutama pada umur kurang dari 5

tahun dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan jasmani dan kecerdasan anak.

Pertumbuhan sel otak berlangsung sangat cepat dan akan berhenti atau mencapai taraf

sempurna pada usia 4-5 tahun. Perkembangan otak yang cepat hanya dapat dicapai bila

anak berstatus gizi baik. (Depkes RI, 2002).

Hasil penelitian penelitian dari Katryn (2010) menunjukkan bahwa adanya pengaruh

(8)

kebutuhan energi protein terpenuhi maka anak akan terhindar dari masalah gizi tersebut. Pada

penelitian Nurul (2011) dapat diketahui bahwa faktor terjadinya kejadian stuting pada balita di

Desa Sukawening Kabupaten Bogor antara lain pekerjaan dan pendapatan orang tua,

pendidikan orang tua dan tingkat pengetahuan orang tua.

WHO menginterprestasikan bahwa tingginya prevalensi stunting menunjukkan bahwa

terjadi masalah gizi kronis yang diakibatkan kekurangan asupan makanan bergizi dan tingginya

angka kesakitan akibat penyakit infeksi atau kombinasi dari kedua keadaan tersebut dalam

waktu yang lama. Agar dapat mengetahui telah terjadi stunting perlu dilakukan deteksi dini

tumbuh kembang yakni melalui upaya penyaringan untuk menemukan penyimpangan tumbuh

kembang anak dan segera mengenal faktor resiko pada anak. Upaya deteksi dini tersebut

dilakukan supaya dapat dilakukan pencegahan dan dapat dilakukan upaya penyembuhan sedini

mungkin pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang.

2.4 Faktor Risiko Stunting

Berdasarkan kerangka pikir Unicef ada dua faktor yang menyebabkan

terjadinya masalah gizi yakni faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung ada

dua yakni konsumsi makanan dan status kesehatan yang saling berpengaruh. Faktor

langsung ini disebabkan oleh faktor tidak langsung yaitu pola konsumsi anak, pola asuh

dan pelayanan kesehatan serta keadaan lingkungan (Depkes RI, 2008).

Supariasa (2002) mengambarkan faktor risiko yang mengakibatkan kejadian

stunting adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Faktor risiko tidak langsung pada

kejadian stunting adalah kebiasaan makan, pola asuh anak, lingkungan. Untuk dapat

(9)

dijelaskan melalui jaring-jaring sebab akibat yang dapat dilihat pada gambar dibawah

ini (Supariasa, 2002).

Gambar 2.1 Konsep Jaring-jaring Sebab Akibat (The Web Of Causations)

2.4.1. Pola Asuh Anak

Tumbuh kembang anak yang optimal membutuhkan dukungan pengasuhan

yang berkualitas, salah satunya adalah pola asuh makan anak dan pola asuh perawatan

anak. Faktor penyebab langsung yang menyebabkan gangguan pertumbuhan anak

adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang

memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang dan aman. Kebutuhan zat gizi

adalah konsumsi energi yang berasal dari makanan yang diperlukan tubuh untuk

menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi

(10)

Pola asuh anak dapat dinilai menurut jenis makanan yang dikonsumsi, frekuensi

makanan dan perilaku pemberian makanan anak yang menunjukkan pola kebiasaan

makan anak. Kebiasaan makan anak yang baik adalah anak makan dengan nilai gizi

yang baik akan menunjukkan konsumsi gizi anak baik. Kebiasaan makan anak

menunjukkan apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat anak

makan (Nurmiati, 2006).

Kebiasaan makan yang sehat harus dimulai pada usia dini. Anak harus dibiasakan

untuk makan makanan yang bergizi seimbang, seperti lauk pauk hewani dan nabati,

sayur, minum susu dan makan buah. Pemberian makanan yang baik akan membentuk

kebiasaan makan yang baik pula. menyangkut pola makan anak. Pemilihan jenis

makanan dan frekuensi makan anak merupakan bagian dari pola asug ibu terhadap

anak.

Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan oleh perilaku pengasuhnya. Kekurangan

gizi bisa pula muncul akibat ketidaktahuan. Perilaku ibu dalam memberikan pola asuh

makan anak berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang pola asuh anak yang baik.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan

terhadap obyek tertentu. Perilaku ibu dalam mengasuh anak akan baik apabila pengetahuan

gizi ibu juga baik.

Tumbuh kembang anak yang optimal membutuhkan dukungan pengasuhan

yang berkualitas baik pula, salah satunya adalah pola pengaasuhan makan anak yang

diterapkan orang tua terutama ibu sebagai penanggung jawab utama dalam pengasuhan

(11)

perilaku pengasuhan dengan adanya kedekatan hubungan antara anak dan orang tua,

orang tua memberikan stimulasi pada anak, waktu yang diberikan orang tua untuk

berinteraksi dengan anak (USAID, 2004).

Menurut Zeitlin et al. dalam penelitian Nurul (2011) menunjukkan bahwa

pengasuhan makan yang melibatkan interaksi psikis antar ibu dan anak seperti tatapan

mata, bujukan untuk makan atau strategi yang dilakukan ibu atau pengasuh agar anak

mau dan bersedia makan, merupakan cara yang tepat bagi anak untuk dapat

meningkatkan selera dan nafsu makan anak. Praktek pengasuhan makan terdiri dari

pemberian makan yang sesuai umur dan kemampuan anak, kepekaan ibu atau pengasuh

mengetahui waktu makan anak dan menumbuhkan nafsu makan anak, serta

menciptakan situasi makan yang baik, seperti memberi rasa nyaman saat makan.

Oleh karena itu, apabila praktek pengasuhan makan yang diterapkan ibu kurang

dapat menciptakan suasana atau situasi makan yang menyenangkan apalagi disertai

perilaku yang sering memaksa, akibatnya anak tidak mau makan bahkan menolak sama

sekali. Keadaan ini pada akhirnya mempengaruhi konsumsi makan anak yang kurang

memenuhi anjuran dengan tingkatan umur anak bahkan seringkali dibawah standar

yang berlaku (Suhardjo, 2002).

Pola asuh makan dimulai sejak anak lahir yakni melalui pemberian ASI

Eksklusif, kolosrtum dan usia penyapihan. ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan

pertama dan utama bagi bayi. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi

(12)

kepada bayi akan memberikan banyak dampak positif bagi kesehatan dan proses

tumbuh kembangnya.

ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi seimbang dan

sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI juga mengandung zat-zat penting

yang akan memberi perlindungan kepada bayi dari serangan penyakit dan alergi, serta

membantu pengembangan kecerdasan bayi secara optimal. Pemberian ASI juga akan

menunjang perkembangan kepribadian, kecerdasan emosional, kematangan spiritual,

dan perkembangan sosialisasi yang baik bagi bayi (Roesli 2000).

Hasil berbagai studi menyimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif secara

tepat merupakan intervensi utama dalam mengatasi berat badan lahir rendah dan

sekaligus meningkatkan IQ. Bayi yang tidak menyusui eksklusif dari lahir hingga usia

enam bulan tidak saja dirugikan untuk tidak tumbuh optimal akan tetapi juga tidak

mendapat stimulasi optimal untuk perkembangan otak. Melalui menyusui eksklusif

hubungan kasih sayang akan terbentuk antara ibu dan anak, karena pada saat menyusui

ibu akan berkomunikasi dengan bayinya (Syarief et al. 2007).

WHO dan UNICEF menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga

usia 6 bulan dan pemberiannya tetap diteruskan hingga usia 2 tahun atau lebih dengan

didampingi makanan padat yang benar dan tepat. Hal ini disebabkan banyak

kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di

tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A. Para ahli

menemukan bahwa manfaat ASI akan terus meningkat sesuai dengan lama pemberian

(13)

Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga yang biasa

dimakan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat produksi

dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah

yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga.

Tidak tersedianya makanan secara adekuat terkait langsung dengan keadaan sosial

ekonomi. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makanan yang adekuat

(BAPPENAS, 2011).

2.4.2 Riwayat Penyakit Infeksi

Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan

tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Apalagi

negara terbelakang dan negara berkembang seperti Indonesia dimana kesadaran akan

kebersihan/personal hygiene yang masih kurang serta ancaman endemisitas penyakit

infeksi kronik. Konsumsi makanan dan riwayat penyakit infeksi bersifat saling

mendorong (berpengaruh). Anak yang tidak mengkonsumsi zat gizi yang dibutuhkan

oleh tubuh akan mengakibatkan daya tubuh anak rendah sehingga mudah terserang

penyakit infeksi, sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan ISPA akan

mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik. Untuk itu,

cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian

kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis

(14)

Penyakit infeksi dan status gizi merupakan suatu masalah kesehatan yang saling

berkaitan. Anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki

daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi.

Sebaliknya penyakit infeksi dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh

dengan baik sehingga berakibat gizi buruk.

Penyakit infeksi adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh sebuah agen

biologi (seperti virus, bakteria atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka

bakar) atau kimia (seperti keracunan). Bayi dan anak-anak di bawah lima tahun adalah

kelompok yang rentan terhadap berbagai penyakit karena sistem kekebalan tubuh

mereka belum terbangun sempurna sehingga infeksi yang terjadi dalam tubuh anak

balita dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Oleh karena itu, mencegah

terjadinya infeksi juga dapat mengurangi masalah gizi yang ditunjukkan dengan

tingginya prevalensi stunting (BAPPENAS, 2007).

2.4.3 Berat Badan Lahir Rendah

Keadaan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat badan bayi yang lahir

dibawah 2500 gram. Ada dua keadaan BBLR yaitu 1) bayi lahir kecil karena kurang

bulan (prematur) yaitu bayi baru lahir pada umur kehamilan antara 28-36 minggu bayi

lahir kurang bila mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang bulan berfungsi normal

untuk mempertahankan hidup diluar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ

tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosisnya yang memburuk. 2) bayi lahir kecil

untuk masa kehamilan yaitu bayi lahir kecil akibat retardasi pertumbuhan janin dalam

(15)

(mature) dan berfungsi lebih baik dibandingkan dengan bayi lahir kurang bulan,

walaupun berat badan sama (Kemenkes,2011).

BBLR dapat merusak fungsi kekebalan tubuh anak, perkembangan kognitif,

dan meningkatkan risiko terhadap penyakit diare, pneumonia, dan penyakit infeksi

lainnya. Kejadian stunting berhubungan dengan berat badan lahir yang rendah. Bayi

yang lahir dengan berat badan yang rendah juga memiliki kemungkinan yang kecil

untuk memulai menyusui dan lebih mungkin untuk disapih lebih awal.

BBLR disebabkan karena kekurangan gizi pada masa kehamilan sehingga

mengakibatkan anak yang BBLR mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan fisik,

perkembangan motorik, dan gangguan perkembangan kognitif . Keadaan gizi yang

buruk sewaktu janin di dalam kandungan dan setelah dilahirkan, mempunyai pengaruh

sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa yang akan datang.

Bayi BBLR berisiko untuk mengalami proses hidup dimasa depan kurang baik,

memiliki resiko meninggal dalam usia balita dan bila tidak meninggal bayi BBLR akan

tumbuh lebih lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif dan makanan pendamping

ASI yang tidak cukup, maka bayi BBLR cenderung besar menjadi balita dengan status

gizi rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup dalam lima tahun pertama akan

mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang

kehidupan dibandingkan bayi non BBLR (Siti,dkk.2010).

Pada saat janin dalam kandungan sampai bayi dilahirkan, 66 persen dari jumlah

sel otak dan 25 persen dari berat otak dewasa telah tercapai. Sisanya akan ditentukan

(16)

minggu ke 15-20 dan minggu ke 30 masa kehamilan, serta bulan ke 18 setelah kelahiran

(BAPPENAS, 2011).

2.4.4 Pendidikan Orang Tua

Menurut Langeveld dalam buku Sadiman (2009) pendidikan adalah setiap

usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada

pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap

melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau

yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari,

dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.

Menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Sadiman et all, 2009).

Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan ibu di suatu negara

merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi kurang gizi di negara tersebut.

Pengetahuan dan pendidikan orang tua sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga,

karena pendidikan seseorang dapat membantu sampainya informasi tentang kesehatan juga

gizi, sehingga kurangnya pendidikan merupakan penyebab tidak langsung timbulnya masalah

gizi pada anak ( Nurmiati,2006).

Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada tingkah laku yang baik.

(17)

kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Nurmiati (2006) dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu dan ayah yang rendah

mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif

tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan

kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang

rendah.

Menurut penelitian Aeda (2006) adanya hubungan antara tingkat pendidikan ibu

dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada anak, semakin tinggi pendidikan ibu semakin

tinggi tingkat konsumsi energi protein anak, hal ini dimungkinkan karena penegtahuan ibu

akan lebih baik tentang manfaat energi protein bagi anak dibandingkan ibu yang meniliki

pendidikan lebih rendah.

Menurut Nasar (2010), banyak orang tua yang memberikan makan kepada anak-anak

sebatas supaya kenyang, sementara komposisinya tidak disesuaikan dengan kebutuhan gizinya.

Rendahnya pendidikan juga seringkali menyebabkan kebiasaan, kepercayaan, pantangan, dan

tahayul yang keliru. Adanya pantangan mengonsumsi makanan tertentu yang salah dalam

pemberian makan anak akan sangat merugikan dan menghilangkan kesempatan anak untuk

mendapat asupan gizi yang cukup. Pendidikan sangat penting bagi ibu rumah tangga yang turut

bertanggung jawab akan keadaan gizi setiap anggota keluarga.

Hasil penelitian Katryn,dkk (2011) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan akan

mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi

cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka

(18)

FAO (1989) menyatakan tingkat pendidikan, status kesehatan, dan lingkungan hidup

dapat berpengaruh terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta

terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor seperti

rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat menimbulkan dampak

serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu dan keluarga (Katryn, dkk.2011).

2.4.5 Besar Keluarga

Definisi besar keluarga menurut BPS (2011) adalah semua orang yang biasa

bertempat tinggal di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada saat

pencacahan maupun sementara tidak ada atau anggota rumah tangga yang telah

berpergian selama enam bulan atau semua orang yang telah tinggal di suatu rumah

tangga selama enam bulan atau lebih atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga

kurang dari enam bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut dianggap

sebagai anggota rumah tangga.

Menurut BKKBN tahun 1998, besar keluarga adalah keseluruhan jumlah

anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya

yang tinggal bersama. Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar keluarga

dikelompokkan menjadi 3, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar.

Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga kurang dari empat

orang, keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga antara lima

sampai tujuh orang, sedangkan keluarga besar adalah keluarga dengan jumlah anggota

(19)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dini Latief, dkk (2000) menunjukkan

adanya penurunan rata-rata intake energi dan protein selama terjadi krisis moneter.

Distribusi pangan yang dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang

mempunyai anggota yang cukup besar. Pada rumah tangga yang beranggotakan enam

orang atau lebih menunjukkan tingkat konsumsi pangan yang memburuk. Pada rumah

tangga yang beranggotakan tiga sampai lima orang rata-rata intake energi dan protein

masih mendekati nilai yang dianjurkan.

Jumlah keluarga yang banyak akan semakin menjadi faktor risiko terjadinya

masalah gizi karena akan mempengaruhi jumlah konsumsi gizi dan faktor kemiskinan

akan meningktkan resiko keluarga besar mengalami gangguan gizi. Pangan yang

tersedia pada sebuah keluarga yang besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang

besarnya setengah dari keluarga tersebut.

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin merupakan kelompok

paling rawan kurang gizi di antara anggota keluarganya. Anak yang paling kecil

biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Seandainya anggota keluarga

bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang. Usia 1 -6 tahun merupakan masa

yang paling rawan. Kurang energi protein berat akan sedikit dijumpai pada keluarga

yang jumlah anggota keluarganya lebih kecil (Aeda, 2006).

Hal ini sesuai dengan hasil Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan

Pembangunan Milenium Indonesia BAPPENAS (2007) yang menyatakan bahwa

anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah yang paling rawan

(20)

biasanya yang paling terpengaruh terhadap kekurangan pangan. Sebagian memang

demikian, sebab seandainya besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap

anak berkurang dan banyak orang tua menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda

memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan

demikian, anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan. Kurang energi

protein berat akan sedikit dijumpai bila jumlah anggota keluarganya lebih kecil.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu

rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Jumlah anggota rumah tangga

biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi

pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas

lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota

keluarga dapat terbagi secara merata (Arpansah, 2010).

2.4.6 Faktor Ekonomi

Tingginya kompleksitas dari masalah angka kemiskinan yang dihadapi

Indonesia membuat pengentasan masalah ini menjadi tidak mudah dan diperlukan

komitmen bersama dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat dan donor.

Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengentaskan masalah

kemiskinan sebagaimana tercantum dalam stategi nasional penanggulangan

kemiskinan (SNPK). Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk menurunkan angka

kemiskinan dari 18.2 persen di tahun 2002 menjadi 8,2 persen ditahun 2009 untuk

(21)

Beberapa faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan. Kimiskinan dinilai

mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik sebagai sumber permasalahan gizi

yakni kemiskinan menyebabkan kekurangan gizi sebaliknya individu yang kurang gizi

akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan.

Hal ini disebabkan apabila seseorang mengalami kurang gizi maka secara

langsung akan menyebabkan hilangnya produktifitas kerja karena kekurangan fisik,

menurunnya fungsi kognitif yang akan mempengaruhi tingkat pendidikan dan tingkat

ekonomi keluarga. Dalam mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan gizi,

tantangan yang dihadapi adalah mengusahakan agar masyarakat miskin, terutama ibu

dan anak balita dapat memperoleh bahan pangan cukup dengan gizi yang seimbang dan

harga yang terjangkau ( BAPPENAS,2007).

Standar kemiskinan yang digunakan BPS (2011) bersifat dinamis, disesuaikan

dengan perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realistis yaitu Ukuran Garis

Kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk

makanan setara 2.100 kilo kalori per orang/hari dan untuk memenuhi kebutuhan

nonmakanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan

aneka barang/jasa lainnya. Biaya untuk membeli 2.100 kilo kalori/hari disebut sebagai

garis kemiskinan makanan. Sedangkan biaya untuk membayar kebutuhan minimum

non-makanan disebut sebagai garis kemiskinan non-makanan.

Keluarga yang pengeluarannya lebih rendah dari garis kemiskinan disebut

sebagai penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau penduduk miskin.

(22)

maka sebaiknya dilakukan penilaian tingkat ekonomi dimasa yang lalu. Saat ini

pemerintah menetapkan bahwa masyarakat miskin memberikan jaminan pelayanan

kesehatan masyarakat miskin dan beras miskin. Penilaian masyarakat miskin tersbut

dilakukan oleh BPS berdasarkan kategori miskin.

2.5 Landasan Teori

Kejadian stunting merupakan indikator yang mengambarkan riwayat kurang

gizi anak dalam jangka waktu lama. Akibat lebih lanjut dari tingginya prevalensi

kurang gizi pada masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan

(catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila

pada usia sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi kronis yang mengakibatkan

anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah.

Kondisi anak sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi.

Kejadian stunting dapat disebabkan pola asuh anak yang meliputi pola asuh

makan anak dan pola asuh perawatan anak. Pola asuh makan anak menujukkan

kebiasaan makan anak yang dapat diketahui dari jenis makanan dan frekuensi makanan

yang sering dimakan anak. Kebiasaan makan anak dapat menunjukkan riwayat gizi

anak pada masa yang lalu. Pola asuh perawatan anak menujukkan bagaimana pola asuh

untuk merawat anak .

Faktor risiko yang lain adalah karakteristik dalam keluarga yakni pendidikan

orang tua dan besar keluarga. Semakin tingginya pendidikan orang tua akan

(23)

baik. Keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya semakin tinggi

dibandingkan orang tua yang berpendidikan lebih rendah. Pekerjaan orang tua juga

menunjukkan waktu yang diberikan orang tua untuk mengasuh anak. Semakin berat

pekerjaan orang tua semakin kecil kesempatan anak untuk memperoleh pengasuhan

yang baik dari orang tua.

Besar jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi kebiasaan makan anak

dan pola pengasuhan anak. Semakin besar jumlah keluarga makan semakin sedikit

makanan yang diperoleh oleh masing-masing anggota keluarga. Besar kemungkinan

anak akan semakin sedikit untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi. Besar jumlah

anggota keluarga juga dapat mempengaruhi kesempatan perhatian orang tua terhadap

seluruh anggota keluarga.

Pekerjaan akan mengambarkan kemampuan orang tua dalam memberikan pola

pengasuhan anak yang meliputi perilaku pemberian makan anak, perilaku membentuk

psikososial anak dan perilaku pengasuhan anak. Pekerjaan menunjukkan

Penyakit infeksi merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Penyakit infeksi

yang diderita oleh anak mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap

makanan karena penyakit infeksi akan menghambat absorbsi zat gizi dalam tubuh.

Penyakit infeksi dapat terjadi akibat keadaan lingkungan yang tidak baik, sehingga

anak mudah terkena penyakit infeksi.

Pemberian ASI eksklusif akan menghindari anak terkena infeksi karena

kandungan ASI mengandungkolostrum sebagai zat anti bodi selain itu banyak unsur

(24)

lahir rendah akan mempunyai resiko lebih tinggi berisiko dalam tumbuh kembang

secara jangka panjang dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan

normal, terlebih lagi jika anak tersebut tidak mendapat kebutuhan gizi yang baik.

Kemiskinan merupakan faktor risiko terjadinya masalah stunting. Kemiskinan

menyebabkan keluarga tidak mampu menyediakan kebutuhan makanan dalam

keluarga. Ketidak mampuan untuk membeli makanan menyebabkan anak tidak dapat

mengkonsumsi makanan yang bergizi.

Berdasarkan model penyebab kurang gizi yang dikembangkan UNICEF (1998)

maka dapat diketahui kerangka pikir terjadinya stunting secara jelas yang dapat dilihat

pada kerangka pikir dibawah ini :

(25)

Pendidikan rendah, Pengetahuan rendah dan keterampilan rendah

Pokok Masalah

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan Akar Permasalahan

Gambar 2.1: Kerangka Pikir UNICEF tentang Penyebab Masalah Gizi

2.6 Kerangka Konsep

Gambar

Gambar 2.1 Konsep Jaring-jaring Sebab Akibat (The Web Of

Referensi

Dokumen terkait

dengan status gizi buruk atau mengalami KEK (Kurang Energi Kronis) cenderung melahirkan bayi BBLR dan dihadapkan pada risiko kematian yang lebih besar dibanding

Hasil perhitungan Population Attributable Risk (PAR) pemberian ASI Eksklusif diperoleh 59% artinya pemberian ASI Eksklusif akan menurunkan kejadian stunting pada anak

Penyebab dari stunting adalah berat bayi lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan..

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan energi, riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), riwayat ASI eksklusif, status ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan ibu

Ada pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT, status pemberian vitamin A, status gizi balita, pemberian ASI eksklusif, berat badan.. lahir, riwayat

Status gizi ayah dalam penelitian ini bukan merupakan faktor risiko kejadian overweight pada anak stunting. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya di Inggris

Tidak ada hubungan antara status gizi ibu hamil dengan stunting pada anak usia 6-24 bulan di Puskesmas Bulakamba.. Tidak ada hubungan yang bermakna antara BBLR,

Bayi yang tidak mendapatkan ASI dengan cukup berarti cenderung memiliki asupan gizi yang kurang baik dan dapat menyebabkan kekurangan gizi salah satunya dapat menyebabkan stunting,