BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tembakau merupakan salah satu tanaman komoditi ekspor yang diandalkan oleh Indonesia. Selain itu tembakau merupakan tanaman yang memiliki peranan cukup penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari segi perdagangan tembakau di luar negeri dan dampak sosial-ekonomi untuk negara. Sejak dikelola oleh kolonial, perkebunan tembakau sudah menjadi perkebunan yang diandalkan untuk meningkatkan devisa negara. Tembakau sendiri dibedakan menjadi 2 jenis yaitu tembakau cerutu dan tembakau rajangan. Daun tembakau yang diekspor oleh Indonesia dihasilkan dari beberapa perkebunan besar yang berada di beberapa daerah seperti Deli, Besuki dan Surakarta (Klaten). Jenis tembakau yang berada di Surakarta (Klaten) merupakan jenis tembakau cerutu, yang diandalkan untuk memenuhi pasaran ekspor.
Adapun pasaran ekspor dari tembakau cerutu ini berada di Breman, Jerman.1
Pembudidayaan tanaman tembakau Vorstenlands dilakukan di
perkebunan-perkebunan yang berlokasi di wilayah Yogyakarta dan Surakarta, dengan Kabupaten Klaten sebagai pusat daerah pembudidayaan. Di daerah Klaten yang pertama kali ditanami tembakau adalah daerah Jetis pada tahun 1858. Penanaman tersebut kemudian berkembang ke daerah-daerah sekitarnya seperti Temulus, Trucuk, Wedi-Birit,
1
Soegijaanto Padmo & Edhie Djatmiko, Tembakau Kajian Sosial-Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 40.
Kebonarum, Demangan, dan Pandansimping. Dipilihnya Kecamatan Wedi menjadi alasan dibukanya perkebunan, berdasarkan faktor keadaan geografis yang cocok untuk ditanami tembakau dan tersedianya tenaga kerja untuk dibukanya perkebunan di wilayah ini. Perkebunan Wedi-Birit pertama kali dibuka oleh pekebun Belanda swasta yang berada di Klaten. Pada awalnya perkebunan Wedi-Birit merupakan bagian dari
perusahaan perkebunan besar NV. Klatensche Cultuur Maatschappij (NV. KCM), namun
kemudian dipisah menjadi perusahaan tersendiri yaitu CM. Wedi-Birit.2
Tanah di daerah Wedi termasuk dalam tipe tanah yang memiliki endapan-endapan Merapi yang masih muda dan letaknya berada disekitar sungai yang mengalir dari gunung Merapi. Jenis tanah di daerah Wedi ini hanya cocok untuk ditanami palawija, tembakau dan buah-buahan, rata-rata lahan yang berada di Kecamatan Wedi ini diusahakan untuk bercocok tanam palawija dan tembakau. Selain memiliki tanah yang cocok, Kecamatan Wedi juga merupakan daerah yang memiliki iklim yang cocok untuk ditanami tembakau, serta memiliki sumber irigasi dari aliran sungai-sungai yang terdapat di wilayah Wedi. Faktor-faktor penting tersebut menjadikan Wedi sebagai daerah yang
cocok untuk penanaman tembakau.3
Setelah terjadinya peristiwa nasionalisasi perusahaan Belanda di Kecamatan Wedi NV. KCM pada tahun 1957-1958, hal tersebut kemudian membawa dampak perubahan
2
Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vorstenlands Tobacco in Surakarta
Residency and Besuki Residency and its Impact on the Peasant Economy and Society: 1860-1960, (Yogyakarta : Aditya Media, 1994). Hlm 57-67.
3
A. Azis Lahiyah., Pertembakauan di Indonesia Jilid II Tembakau
penting dalam kehidupan sosial-politik dan ekonomi di daerah perkebunan di Indonesia. Perubahan tersebut memberikan dampak pada perkebunan yang kemudian kurang cocok untuk pengusahaan tanaman perdagangan, bila dibandingkan dengan masa kolonial
Belanda.4 Setelah penasionalisasian NV. KCM tersebut, terdapat kecenderungan
penurunan produksi dan kualitasnya dalam komoditi-komoditi perkebunan. Kemerosotan yang terjadi pada dasarnya merupakan akibat dari menurunnya mutu dari tanaman tembakau baik dari kualitas maupun kuantitasnya.
Barulah pada masa pemerintahan Orde Baru, mulai diadakan peningkatan pembangunan dalam berbagai sektor, salah satunya dalam sub sektor perkebunan. Tanaman tembakau merupakan tanaman rakyat yang memiliki faktor-faktor kelemahan dalam pengusahaannya, yang perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah, untuk meningkatkan hasil kualitas dan produktivitas. Guna meningkatkan sub sektor perkebunan pemerintah membuat sebuah kebijakan dengan menggunakan tiga cara yaitu
diversifikasi, perluasan area, dan intensifikasi.5 Hal ini sama dengan yang telah
disebutkan dalam Repelita keempat yaitu guna pembangunan pertanian tanaman pangan kegiatan dititikberatkan pada intensifikasi dan diversifikasi untuk mencapai hasil yang tinggi.
4
Tim Peneliti P3PK UGM, Pedesaan 1989 Masalah Dan Prospek Komoditi
Perkebunan, (Yogyakarta: P3PK UGM, 1989), hlm. 73.
5
Pemerintah mulai mengadakan program intensifikasi6 pada tanaman tembakau pada tahun 1983. Intensifikasi yang diterapkan pada perkebunan tembakau di wilayah
Klaten dilakukan pada tembakau jenis Virginia dan jenis Vorstenlands. Intensifikasi
untuk jenis tembakau Virginia dikenal dengan ITV (Intensifikasi Tembakau Virginia),
untuk jenis Vorstenlands dikenal dengan ITVL (Intensifikasi Tembakau Vorstenlands).
Program intensifikasi ini sendiri dicanangkan untuk meningkatkan kualitas dan
produktivitas dari tembakau, serta meningkatkan pendapatan petani pemilik lahan.7
Dalam mengusahakan tanaman tembakau, perkebunan membutuhkan tanah yang cukup luas untuk areal penanaman, sehingga mengharuskan pihak perkebunan untuk mengusahakan tanah disekitar perkebunan. Pihak perkebunan kemudian mengusahakan tanah melalui jalan kerjasama dengan petani guna mendapatkan lahan. Ketentuan dalam kerjasama guna penyewaan lahan tersebut dengan cara perkebunan menyewa semua tanah yang subur dalam satu blok areal tanpa dihalangi oleh tanaman lain, sehingga memudahkan perkebunan untuk melakukan transportasi, irigasi dan menejemennya.
Jika terjadi suatu keterlambatan penyerahan lahan ataupun kesulitan dalam penyediaan areal akan mengakibatkan terganggunya proses produksi. Keterlambatan penyerahan lahan dari petani kepada pihak perkebunan banyak terjadi pada saat sistem kolektif yaitu pada tahun 1962-1969. Namun setelah sistem koletif berakhir pada tahun
6
Intensifikasi adalah usaha untuk meningkatkan hasil pertanian dengan cara mengoptimalkan lahan pertanian yang sudah ada.
7
PT. Perkebunan XXVII., “Pelaksanaan Program Intensifikasi Tembakau dan
Dampaknya bagi Petani dan Pengelola”, Makalah Lokakarya Program Nasional
1970 sistem dalam perkebunan tembakau pun berubah menjadi sistem sewa. Proses sistem sewa adalah penyewaan lahan dari petani oleh pihak perkebunan. Petani yang terlibat dalam sistem sewa menerima sejumlah uang sewa pokok yang telah ditentukan
dengan surat keputusan Bupati. Sistem sewa ini berlangsung hingga tahun 1979.8
Pada tahun 1980-1982 perkebunan menerapkan sistem TVI (Tembakau Vorstenlands lntensifikasi Kerjasama), dan mulai tahun 1983 perkebunan menerapkan
sistem ITVL (Intensifikasi Tembakau Vorstenlands). Program Intensifikasi Tembakau
Vorstenlands (ITVL) merupakan sistem yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
maupun produktivitas dari tanaman tembakau Vorstenlands. Selain itu, tujuan lain dari
penerapan sistem ITVL dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani pemilik
lahan. Program intensifikasi tambakau Vorstenlands dilakukan oleh PNP XIX, dengan
menggunakan tanah milik petani dengan menggunakan pola kerjasama, dengan kata lain
PNP XIX sebagai pengelola atas dasar Surat Keputusan Bupati.9
Hubungan kerja sama antara petani dan pihak perkebunan dilaksanakan dalam rangka mendapatkan tanah yang dimiliki oleh petani dengan menggunakan bantuan dari pihak Kabupaten. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak perkebunan dengan pihak kabupaten adalah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Tingkat II Klaten
8Normalia Puspitasari, “Ajon-Ajon Perkebunan Tembakau dan Dampaknya
terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani di Klaten Tahun 1970-1983”, Skripsi, sarjana
strata Satu Jrusan Pendidikan IPS, FISIP Universitas Sebelas Maret,2007, Hlm. 48.
9
Faturochman dan Bimo Walgito, “Ketidak Berdayaan Pemilik Lahan Sawah
Dan Ketidakadilan Terhadap Mereka: Kasus Penanaman Tembakau di Klaten”, Jurnal
setiap tahunnya sebelum masa tanam berlangsung.10 Surat keputusan itu memiliki peranan penting bagi pihak perkebunan untuk mempermudah dalam mendapatkan lahan dari petani. Pihak perkebunan mendapatkan tanah dari petani pemilik tanah dengan cara menyewa.
Kerjasama yang terjalin tersebut melibatkan antara pihak perkebunan, pemerintah dan petani yang diwakili oleh HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Setelah dikeluarkannya surat keputusan dari Bupati tersebut maka segera dilaksanakan musyawarah antara pihak perkebunan dengan kelompok tani (HKTI) untuk mensepakati harga tembaku setelah panen dan menentukan seperti apa proses pengerjaannya. Di sini HKTI memegang peranan penting yaitu sebagai wakil petani tembakau untuk menyampaikan semua aspirasai kepada pihak perkebunan. Namun pada kenyataannya, HKTI yang merupakan wakil dari petani tidak pernah menyampaikan aspirasi, sehingga petani tetap harus tunduk dan patuh pada surat keputusan yang dikeluarkan tersebut. Dengan hal tersebut petani merasa tidak pernah dilibatkan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan tidak mempunyai wakil yang dapat
menyuarakan aspirasi para petani.11
Keadaan yang tidak menguntungkan bagi petani, serta kerjasama yang terjalin sudah tidak sesuai yang diharapkan, petani melalui FPTV (Forum Petani Tembakau
Vorstenlands) kemudian mengajukan tuntutan kepada pihak perkebunan untuk
10
Normalia Puspitasari, op.cit, hlm. 48.
11
Werner Roll, Warner Roll, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia Studi Kasus
menselaraskan jalannya kerjasama, agar tidak memberatkan satu pihak, hingga akhirnya dicapailah sebuah sepakat dihapuskannya SK Bupati yang menjadi acuan sistem kerja
sama antara pihak perkebuanan dan petani.12
Penelitian ini lebih difokuskan pada dampak yang terjadi saat pelaksanaan
Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL), terhadap kondisi sosial-ekonomi
petani yang mengikuti program ITVL dan peningkatan pendapatan perusahaan perkebunan tembakau yang dikelola oleh PNP XIX. Penelitian ini dibatasi pada tahun
1983 saat perkebunan mulai menerapkan Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands
(ITVL), dan diakhiri pada tahun 1998 dengan dicabutnya SK Bupati yang mengubah
sistem sewa lahan melalui Program Intensifikasi tembakau Vorstenlands (ITVL).
Penelitian ini mengambil batasan wilayah di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, daerah tersebut merupakan area perkebunan tembakau yang cukup berpengaruh. Hal ini menarik karena di wilayah Wedi ini merupakan wilayah yang luas dan cukup subur karena dipengaruhi oleh jenis tanah yang cocok untuk ditanami tanaman tembakau, serta
tembakau yang ditanam merupakan jenis Vorstenlands yaitu jenis tembakau yang hanya
ditanam di perkebunan daerah Klaten saja.
12Henra Try Ardianto dan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S., “Bunga Rampai
Interaksi Kaum Marginal dalam Interaksi Patron-Klien Studi Kasus Perkebunan
Tembakau Vortenlanden Klaten Pasca-Orde Baru”, Jurnal Populasi, edisi
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi diterapkannya Program Intensifikasi Tembakau
Vorstenlands (ITVL) di Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten pada tahun 1983-1998?
2. Bagaimana hubungan antara petani dan perkebunan tembakau dalam melaksanakan
Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL) di Kecamatan Wedi Kabupaten
Klaten pada tahun 1983-1998?
3. Bagaimana dampak yang timbul bagi petani dan perkebunan tembakau setelah adanya
pelaksanaan Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL) di Kecamatan Wedi
Kabupaten Klaten pada tahun 1983-1998?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang adanya pelaksanaan Program Intensifikasi Tembakau
Vorstenlands (ITVL) diperkebunan tembakau Wedi-Birit pada tahun 1983-1998.
2. Untuk mengetahui peranan petani dalam pelaksanaan Program Intensifikasi Tembakau
Vorstenlands (ITVL) di perkebunan tembakau Wedi-Birit pada tahun 1983-1998.
3. Untuk mengetahui dampak yang timbul setelah adanya pelaksanaan Program
Intensifikasi Tembakau Vorstenlands (ITVL) di perkebunan tembakau Wedi-Birit pada
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberi sumbangan pengembangan sejarah sosial-ekonomi terutama sejarah
perkebunan, khususnya perkebunan tembakau diwilayah Kabupaten Klaten.
2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai referensi bagi penelitian dengan
tema serupa.
3. Sumber bacaan dan pengetahuan bagi masyarakat umum yang ingin mengetahui sejarah
mengenai perkebunan terutama perkebunan tembakau di Wedi-Birit Klaten.
E. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa studi yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan sejarah perkebunan tembakau di Klaten. Pertama diesertasi karya Soegijanto Padmo yang
berjudul “The Cultivation of Vorstenlands Tobacco in Surakarta Residency and Besuki
Residency and its Impact on the Peasant Economy and Society: 1860-1960”(1994).13 Disertasi ini membahas tetang perkebunan tembakau yang berada diwilayah Karesidenan Surakarta dan Besuki. Menjelaskan pula mengenai perusahaan-perusahaan tembakau yang berada di Surakarta dan Besuki, serta dampak terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Karesidenan Surakarta. Selain itu dijelaskan pula mengenai pengembakangan sistem perkebunan tembakau dan mengenai persyaratan lahan yang cocok dan sesuai untuk mengusahakan tanaman tembakau. gambaran mengenai munculnya dampak terhadap kehidupan masyarakat petani di wilayah Surakarta dan Besuki, munculnya
13
Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vorstenlands Tobacco in Surakarta
Residency and Besuki Residency and its Impact on the Peasant Economy and Society: 1860-1960, (Yogyakarta : Aditya Media, 1994).
kebutuhan perusahaan tembakau terhadapat tanah dan tenaga kerja. Buku ini digunakan untuk mengkaji dan sebagai acuan terhadap gambaran umum perkebunan tembakau di wilayah Surakarta khususnya wilayah Klaten, pemanfaatan tanah untuk penanaman tembakau di Surakarta, serta keadaan sosial ekonomi kaum tani yang berada dalam lingkungan perkebunan tembakau.
Kedua, Gunawan Wirad dalam buku yang berjudul ”Reforma Agraria:
Perjalanan Yang belum Berakhir”(2009).14 Buku ini menjelaskan mengenai tanah yang subur di Indonesia yang di kuasai oleh segolongan kecil yang memiliki kekuatan politik atau kaum “raja uang” yang senang merampas tanah-tanah petani bagi pengembangan industrinya, sehingga terjadi sengketa yang berkepanjangan. Selain itu buku ini menjelaskan tentang tonggak Reforma Agraria di beberapa negara sampai dengan terjadinya piagam petani, yang menyatakan bahwa tujuan Reforma Agraria dan pembangunan pedesaan adalah transformasi kehidupan dan kegiatan pedesaan dalam semua aspeknya yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, lingkungan, dan kemanusiaan.
Ketiga, Endang Suhendar, dkk (ed) dalam buku yang berjudul “Menuju Keadilan
Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi”(2002). Buku ini menjelaskan tentang masalah agraria telah muncul ke permukaan seiring dengan semakin derasnya program-program pembangunan yang dijalankan, terutama masa pemerintahan Orde Baru. Masalah-masalah tersebut diantaranya berupa ketimpangan struktur pemilikan tdan penguasaaan
14
Gunawan Wirad, Reforma Agraria: Perjalanan Yang belum Berakhir, (Jawa
tanah, tumbuhnya monopoli penguasaan sumber daya agraria, konflik-konflik atas penguasaan tanah adat yang berkepanjangan, konflik-konflik yang berkaitan dengan pengadaan tanah berskala besar, serta masalah konflik agraria lainnya. Masalah-masalah tersebut memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat karena cukup merugikan.
Keempat, skripsi karya Normalia Puspitasari tahun 2007 dengan judul “Ajon-Ajon Perkebunan Tembakau dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani
di Klaten Tahun 1970-1983”.15 Sekripsi ini mengkaji mengenai sistem ajon-ajon yang
ada di daerah perkebunan tembakau di Kecamatan Gayamprit, Kabupaten Klaten. Sistem ini berlaku sejak adanya sistem sewa tanah pada perkebunan tersebut. Selain sistem sewa dijelaskan pula mengenai keadaan sosial ekonomi petani di perkebunan Gayamprit. Adanya hubungan yang terjalin antara petani dan pihak perkebunan (PT Perkebunan X
(PERSERO)) setelah adanya sistem ajon-ajon, karena dari sistem sewa yang
diberlakukan tersebut muncul berbagai permasalahan yang bersumber dari SK Bupati Klaten yang digunakan pihak perkebunan untuk menguasai tanah milik petani untuk menanam tembakau. Sekripsi ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan tema penelitian yang diangkat tentang sistem sewa tanah pada perkebunan tembakau di Klaten. Persamaan tersebut adalah dalam penelitian ini mengkaji mengenai bagaimana sistem sewa tanah yang berlaku dalam hubungan petani dan perkebunan dengan didasari SK
15
Normalia Puspitasari, Ajon-Ajon Perkebunan Tembakau dan Dampaknya
terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani di Klaten Tahun 1970-1983, Skripsi, Sarjana
Bupati. Selain itu sekripsi ini juga mengkaji mengenai bagaimana keadaan sosial-ekonomi petani dalam lingkungan perkebunan tembakau pada masa Orde Baru. Masa Orde Baru, merupakan periode dimana pemerintah tengah gencar melakukan peningkatan pembangunan dalam berbagai sektor termasuk sub sektor perkebunan. Sedangkan untuk perbedaannya adalah tempat dilakukannya penelitian, selain itu untuk penelitian ini mengkaji seluruh proses yang terjadi dalam program intensifikasi yang dilakukan pada perkebunan baik itu mengenai sistem sewa lahan, apa saja yang muncul dari adanya
sistem sewa lahan termasuk ajon-ajon tersebut, sedangkan sekripsi ini hanya mengkaji
dari sitem sewa lahan yang berlangsung dalam perkebunan tembakau di klaten.
Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko dalam buku yang berjudul “Tembakau:
Kajian Sosial Ekonomi”(1991).16 Buku ini menjelaskan mengenai bagaimana budidaya tanaman tebakau pada perkebunan di Indonesia. Perkebunan tembakau tentu saja erat kaitannya dengan proses pengolahan hingga pemasaran tanaman tembakau. Proses ini sendiri meliputi pra-panen dan pasca panen yang memiliki tahap-tahap yang cukup rumit, hingga akhirnya hasil panenan daun tembakau bisa untuk dipasarkan. Selain pengolahan buku ini juga membahas mengenai apa saja jenis-jenis tembakau yang ditaman di perkebunan tembakau Indonesia. Buku ini juga membahas mengenai kehidupan petani setelah adanya perkebunan, hubungan antara petani dengan perkebnunan, dan peranan tembakau dalam ekonomi Indonesia dan industri rokok.
16
Soegijanto Padmo dan Edhie Djatmiko, Tembakau: Kajian Sosial-Ekonomi.
Kajian teori tentang sewa tanah perkebunan tembakau diambil dari beberapa hasil studi sebelumnya, mengenai sistem sewa tanah dan sosial ekonomi dalam perkebunan, di
antaranya adalah: Warner Roll dalam bukunya “Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia
Studi Kasus Daerah Surakarta-Jateng”(1983).17 Buku tersebut mengkaji mengenai gambaran tentang sistem sewa tanah yang terjadi di pedesaan, dengan fokus pengkajian di daerah Klaten. Selain itu juga menjelaskan seperti apa perkembangan sosial-ekonomi penduduk dan pembangunan dalam sektor pertanian yang berada di Klaten dari tahun ke tahun. Buku ini juga menjelaskan mengenai keterkaitan antara luas area dan penduduk dalam sektor pertanian. Buku ini digunakan sebagai landasan teori tentang pembahasan mengenai sistem sewa tanah yang berlangsung pada tanah di Kabupaten Klaten.
Mubyarto dkk, dalam buku “Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan” (1992).18
Mengkaji mengenai sejarah perkebunan di Indonesia dan tenaga kerja perkebunan. Membahas mengenai usaha pengusaha Perkebunan dalam memperoleh tanah dan tenaga kerja rakyat yang dilihat dari aspek sejarah dan aspek teknis agronomis. Selain itu, dibahas pula mengenai Perkebunan rakyat dan Perkebunan besar. Tanah dan tenaga kerja merupakan unsur pokok sistem Perkebunan yang telah ada di masa kekuasaan pemerintahan Kolonial Belanda. Dulu keterikatan tanah dan tenaga kerja dapat dilihat dari cara pengerahan tenaga kerja dengan memanfaatkan kemudahan dalam hak guna atas
17
Warner Roll, Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia Studi Kasus Daerah
Surakarta-Jateng, (Jakarta : CV.Rajawali, 1983).
18
Mubyarto dkk, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, (Yogyakarta:
tanah dan kerja rodi untuk dipergunakan bagi kepentingan umum maupun pribadi para penguasa. Hal ini berlanjut hingga sekarang, perkebunan masih menggunakan sistem penggunaan tanah lungguh para pemimpin desa untuk menanam tembakau dengan sitem sewa. Penggunaan tenaga kerja pun juga sama, perkebunan menggunakan sistem sewa lahan pada petani dan mengikut sertakan petani untuk mengolah lahan mereka atau menyewa buruh untuk mengolah perkebunan. Buku ini merupakan buku penunjang yang berkaitan dalam pembahasan penulisan skripsi ini.
Suhartono “Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial Dipedesaan Surakarta
(1830-1920)” (1991).19 Buku ini menjelaskan mengenai tanah apanage dan bekel di Karesidenan Surakarta terutama mengenai perubahan sosial di pedesaan-pedesaan sekitar Karesidenan Surakarta pada abad XX. Sebagai wilayah kerajaan Surakarta tidak bisa
dipisahkan dengan lahan yang luas serta berkaitan dengan tanah apanage dan bekel.
Berdirinya perkebunan besar di Vorstenlands mengakibatkan kebutuhan akan lahan yang
luas. Tanah yang luas di wilayah Karesidenan Surakarta merupakan tanah apanage yaitu
tanah lungguh atau tanah milik kerajaan yang diberikan kepada kerabat dan pejabat
kerajaan (bekel) sebagai upah. Jabatan bekel sendiri biasanya merupakan seorang kepala
desa, yang bertugas sebagai penarik pajak. Didalam masyarakat tradisional mereka
menguasai tenaga kerja ditanah apange tersebut. Tanah apanage ini kemudian disewa
oleh Belanda untuk pengusahaan perkebunan. Setelah tanah di sewa oleh perusahaan
19
Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial Dipedesaan
perkebunan, hak-hak yang ada pada patuh akan beralih pada perusahaan perkebunan. Penyewaan lahan dengan sistem tersebut masih sama dengan atau masih dipakai sampai sekarang, yaitu penyewaan lahan oleh pihak perusahaan perkebunan kepada pemilik lahan. Adapun lahan yang di sewa saat ini merupakan tanah lungguh milik pejabat desa atau lurah oleh pihak perkebunan.
F. Metode Penelitian
Suatu penelitian yang bersifat ilmiah mustahil dilakukan tanpa didukung dengan keberadaan fakta-fakta. Apalagi penelitian sejarah keberadaan fakta sangat diperlukan, dianalisis dan dikembangkan untuk merekonstruksi peristiwa masa lampau sedangkan fakta tidak mungkin ditemukan tanpa tersedianya data. Berasal dari data-data tersebut fakta dapat ditemukan setelah melalui proses interpretasi sedangkan data baru dapat ditemukan setelah melakukan penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah.
Dalam penelitian ini untuk mencapai hasil yang maksimal maka digunakan metode didalam penulisannya. Adapun metode yang digunakan adalah metode historis yaitu sebuah proses pengujian dan penganalisisan secara kritis rekaman dari pengalaman
masa lampau.20 Adapun metode sejarah ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan
antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.
20
Helius Sjamsuddin., Metodologi Sejarah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, 1996), hlm.6
1. Heuristik (pengumpulan data)
Heuristik merupakan proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber sejarah. Data-data yang digunakan berupa dokumen, arsip, data yang diperoleh melalui wawancara, maupun studi pustaka yang relevan dengan tema dan permasalahan. Adapun arsip yang digunakan antara lain: daftar jumlah sumberdaya manusia, Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Klaten, Nomor: 525.2/107/1985 Tahun: 1985, daftar desa-desa dan luas tanah sawah yang disediakan untuk menanam tembakau 1985, surat tentang sewa tanah untuk tapak los dan bedengan, surat tentang luas areal yang
digunakan untuk program intensifikasi tembakau Vorstenlands. Arsip-arsip yang
digunakan berasal dari data PTPN X Unit Klaten karena arsip sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Data-data yang terkumpul seperti salinan Surat Keputusan Bupati, surat Direksi, surat rencana areal program ITVL, dan surat keputusan Menteri Pertanian mengenai Intensifikasi Tembakau tersebut tidak begitu lengkap, hal ini dikarenakan banyaknya data-data yang hilang akibat tidak tertata rapi atau tidak diterapkannya sistem katalogisasi pada arsip yang ada, dan terjadinya bencana gempa bumi dan kebakaran pada kantor PTPN X Unit Klaten, sehingga mempersulit dalam proses pencarian arsip. Pengumpulan sumber juga dilakukan dengan jalan wawancara adapun narasumber yang dipilih adalah bapak Arjo, bapak Yadi, Bapak Sukino, dan bapak Partoyo merupakan petani yang dulu mengikuti program ITVL, serta bapak Dwi Yulianto sebagai kepala bagian gudang pengolahan PTPN X kebun Wedi-Birit.
2. Kritik Sumber
Kritik ada dua macam pertama kritik ekstern yaitu untuk mencari otensitas sumber, yang kedua kritik interen adalah untuk membuktikan bahwa isi dari suatu sumber tersebut memang dapat dipercaya. Data yang telah diperoleh harus diuji, baik secara intern maupun eksteren. Data dari kantor PTPN X Unit Klaten, dan buku-buku kemudian dikritik sesuai dengan permasalahn yang dikaji.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu penafsiran terhadap data-data yang dimunculkan dari data yang sudah terseleksi dan telah dilakukan kritik sumber. Langkah ini digunakan untuk menyatukan sejumlah fakta maupun data yang diperoleh dari arsip-arsip kemudian diseleksi dan dianalisis sesuai dengan permasalahan yang ada.
4. Hostoriografi
Historiografi merupakan penulisan sejarah dengan mengaitkan fakta-fakta yang telah ditemukan dalam arsip maupun data kemudian disusun menjadi kisah sejarah menurut teknis penulisan sejarah. Disinilah pemahaman dan interpretasi atas fakta sejarah itu ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang menarik dan logis.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini membagi pembahasan dalam 5 bab, sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan. Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II. Membahas mengenai gambaran umum mengenai wilayah Kecamatn Wedi, seperti kondisi geografis dan demografis. Pertama menjelaskan mengenai bagaimana kondisi alam Kecamatan Wedi seperti keadaan tanah, iklim, cuaca dan pengairan atau irigasi. Kedua menjelaskan kondidi masyarakat di Kecamatan Wedi, seperti keadaan sosial-ekonomi masyarakat pada tahun 1983-1998.
Bab III. Membahas mengenai Program Intensifikasi Tembakau Vorstenlands
(ITVL) yang berlaku dari tahun 1983-1998 di Kecamatn Wedi, Kabupaten Klaten. Bagaimana latar belakang dari pelaksanaan program intensifikasi ini, selanjutnya dijelaskan mengenai implementasi program ITVL serta hubungan antara petani dan perkebunan.
Bab IV. Membahas mengenai dampak sosial-ekonomi yang timbul setelah
diadakannya program Intensifikasi tembakau Vorstenlands (ITVL). Baik itu dampak
yang terjadi bagi pihak perkebunan maupun pihak petani yang mengikuti program ITVL di daerah perkebunan tembakau Wedi-Birit.
Bab V. Kesimpulan, berisi jawaban atas pertanyaan yang dimunculkan dalam rumusan masalah.