• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KEONG MAS (Pomacea canaliculata Lamarck) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN PRODUKSI ITIK PETELUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KEONG MAS (Pomacea canaliculata Lamarck) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN PRODUKSI ITIK PETELUR"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KEONG MAS

(Pomacea canaliculata Lamarck) DALAM RANSUM

TERHADAP PERFORMAN PRODUKSI

ITIK PETELUR

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/ Program Studi Peternakan

Disusun oleh : Dyah Puspitasari H0505024

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

(2)

ii

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KEONG MAS

(Pomacea canaliculata Lamarck) DALAM RANSUM

TERHADAP PERFORMAN PRODUKSI

ITIK PETELUR

yang dipersiapkan dan disusun oleh Dyah Puspitasari

H 0505024

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 5 Mei 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Surakarta, Juni 2010 Mengetahui

Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian

Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, M.S NIP. 19551217 198203 1 003 Ketua

Ir. Ginda Sihombing

NIP. 19471111 198503 1 001

Anggota I

Dr. sc. agr. Adi Ratriyanto, S.Pt, MP NIP. 19720421 200012 1 001

Anggota II

Ir. Lutojo, MP

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Pengaruh Penambahan Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata

Lamarck) Dalam Ransum Terhadap Performan Produksi Itik Petelur.

Penulis menyadari bahwa selama pelaksanaan penelitian hingga selesainya skripsi ini telah mendapat bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ketua Jurusan Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Ir. Ginda Sihombing selaku Pembimbing Utama dan Penguji Utama. 4. Bapak Dr. sc. agr. Adi Ratriyanto, S.Pt, MP selaku dosen Pembimbing

Pendamping dan Penguji Pendamping I.

5. Bapak Ir. Lutojo, MP selaku dosen Penguji Pendamping II.

6. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan dorongan, baik material maupun spiritual dan kakak-kakakku yang selalu mendampingiku.

7. Teman-teman mahasiswa angkatan 2005 yang telah memberikan semangat perjuangan dan bantuan.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuan dan semangatnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangan sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi sempurnanya skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, Juni 2010

(4)

iv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

RINGKASAN ... viii SUMMARY ... x I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 2 C. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Itik ... 4

B. Ransum Itik ... 5

C. Keong Mas dan Tepung Keong Mas ... 6

D. Produksi Telur ... 7

E. Berat Telur ... 8

F. Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum ... 8

HIPOTESIS ... 10

III. METODE PENELITIAN ... 11

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 11

C. Persiapan Penelitian ... 13

D. Cara Penelitian ... 14

E. Cara Analisis Data ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

A. Konsumsi Ransum ... 17

(5)

v

C. Berat Telur ... 19

D. Konversi Ransum ... 20

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 21

A. Kesimpulan ... 21

B. Saran ... 21

DAFTAR PUSTAKA ... 22

LAMPIRAN ... 24

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman 1. Kebutuhan nutrien dalam ransum itik umur 24 minggu ... 11 2. Kandungan nutrien bahan untuk ransum perlakuan (%BK) ... 12 3. Susunan ransum dan kandungan nutrien ransum perlakuan ... 12 4. Rerata konsumsi ransum (as-fed) itik petelur selama

penelitian (g/ekor/hari) ... 17 5. Rerata produksi telur itik (Hen Day Average) selama

penelitian (%) ... 18 6. Rerata berat telur itik selama penelitian (g) ... 19 7. Rerata konversi ransum itik selama penelitian ... 20

(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Judul Halaman

1. Analisis variansi rerata konsumsi ransum itik (g/ekor/hari) ... 25

2. Analisis variansi rerata produksi telur itik (%) ... 27

3. Analisis variansi rerata berat telur itik (g) ... 28

4. Analisis variansi rerata konversi ransum itik ... 29

5. Denah kandang itik ... 30

6. Suhu kandang selama penelitian harian (0C) ... 31

7. Hasil analisis proksimat bahan pakan ... 33

(8)

viii

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KEONG MAS

(Pomacea canaliculata Lamarck) DALAM RANSUM

TERHADAP PERFORMAN PRODUKSI

ITIK PETELUR

Dyah Puspitasari H 0505024 RINGKASAN

Komponen terbesar pemeliharaan itik secara intensif adalah biaya pakan sekitar 60-70% dari total biaya produksi. Hal ini menjadi kendala bagi para peternak, untuk memecahkan masalah ini maka dicarikan pakan alternatif yang murah, mudah didapat dan kandungan nutrien yang cukup baik misalnya keong mas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) terhadap performan produksi itik petelur. Penelitian dilakukan di Kandang Percobaan Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta di Jatikuwung, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar selama tiga bulan yang dimulai 7 Oktober-30 Desember 2009 dengan menggunakan 80 ekor itik betina umur 24 minggu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 5 ekor itik. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan jika terdapat perbedaan antar perlakuan maka di uji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan konversi ransum.

Ransum yang digunakan terdiri dari jagung kuning, bekatul, bungkil kedelai, tepung ikan, grit, premix, minyak nabati dan tepung keong mas (TKM). Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan yaitu P0 (ransum basal + 0% TKM), P1 (ransum basal+3% TKM), P2 (ransum basal+6% TKM), P3 (ransum basal+9% TKM). Ransum diberikan 2 kali sehari kali sehari sebesar 160 g/ekor/hari sedangkan air minum diberikan ad libitum.

(9)

ix

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata konsumsi ransum dari keempat macam perlakuan berkisar antara 145,34 – 151,86 g/ekor/hari, produksi telur berkisar antara 37,35 – 39,03 %, berat telur berkisar antara 59,64 – 62,29 g dan konversi ransum berkisar antara 6,43 – 6,94. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan TKM dalam ransum berpengaruh terhadap konsumsi ransum tetapi tidak mempengaruhi produksi telur, berat telur dan konversi ransum.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian adalah penambahan TKM dalam ransum sampai taraf 9% dari total ransum mempengaruhi konsumsi ransum tetapi tidak berpengaruh terhadap produksi telur, berat telur dan konversi ransum.

(10)

x

THE EFFECT OF USED SNAIL MEAL (Pomacea canaliculata

Lamarck) ON PERFORMANCE PRODUCTION

OF LAYING DUCKS

Dyah Puspitasari H 0505024 SUMMARY

The biggest component in intensive caring of laying ducks is feed cost. The high feed cost becomes a problem for farmer. We have to find out solve this problem through looking for alternative feed materials. The alternative feed material must be cheap, get easy and contain good nutrients like snail meal.

This research was aimed to find out the effect of used snail meal on performance production of laying ducks. The research was done in Experimental Farm of Sebelas Maret University on Jatikuwung, Gondangrejo district, Karanganyar regency from October 7th until December 30th 2009.

In this experiment a completely randomised design was employed that consisted of four treatments and four replicates with five ducks in each replicate. The treatments were P0 (control ration without snail meal), P1 (ration with 3% snail meal), P2(ration with 6% snail meal) and P3 (ration with 9% snail meal). The parameters measured were feed comsumption, egg production, egg weight and feed conversion.

The result showed that average of feed consumption ranging between 145.34 and 151.86 g/head/day, egg production from 37.35 to 39.03 (% HDA), egg weight from 59.64 to 62.79 g and feed conversion from 6.43 to 6.93. Variance analyses indicated that snail meal affected the feed consumption but did not affect egg production, egg weight and feed conversion.

It can be concluded that the inclusion of snail meal at the level 9% level influenced feed consumption but did not influence egg production, egg weight and feed conversion.

(11)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Itik merupakan unggas air yang mengarah pada produksi telur dengan ciri-ciri umum : tubuh ramping, berdiri hampir tegak seperti botol, aktif dan lincah sebagai ciri khas dari unggas petelur (Rasyaf, 1993). Ternak itik memiliki keunggulan dibandingkan dengan ternak unggas lainnya yaitu tahan terhadap penyakit, pemeliharaan mudah dan efisien dalam merubah pakan berkualitas rendah menjadi telur. Selama berproduksi, itik akan mengalami rontok bulu (molting) selama 1-2 bulan.

Itik yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan tradisional dapat menghasilkan telur 100–150 butir/ekor/tahun (Martawijaya et al., 2004). Faktor yang menyebabkan rendahnya produksi telur adalah pakan sepenuhnya tergantung dari alam sehingga kualitas dan kuantitas pakan tidak memenuhi kebutuhan itik. Upaya untuk meningkatkan produktivitas itik dapat dilakukan dengan sistem pemeliharaan secara intensif. Pemeliharaan intensif merupakan pemeliharaan itik dengan cara dikandangkan dan pakan harus disediakan sesuai dengan kebutuhan itik (Prahasta dan Masturi, 2009).

Pakan adalah faktor terpenting dalam pemeliharaan ternak karena merupakan sumber gizi bagi ternak yang dapat dipergunakan untuk pertumbuhan dan produksi telur. Biaya pakan merupakan komponen terbesar dari total biaya produksi dapat mencapai 70% (Supriyadi, 2009). Besarnya biaya pakan disebabkan bahan pakan penyusun ransum harganya relatif mahal. Hal ini menjadi kendala bagi peternak sehingga untuk menekan biaya dapat mencari bahan pakan lokal yang lebih murah, mudah didapat dan kandungan nutrien cukup baik misalnya keong mas.

Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) merupakan hewan mollusca dengan siklus hidup pendek, bersifat hermaprodit dan perkembangbiakan cepat. Keong mas hidup di perairan berlumpur, tempat-tempat yang aliran airnya lambat dan lembab. Keong mas merupakan hama bagi petani karena dapat merusak padi yang sedang tumbuh sehingga hewan ini harus

(12)

2

dikendalikan pertumbuhannya (Sulistiono, 2007). Di sisi lain keong mas dapat digunakan sebagai pakan ternak. Penggunaan keong mas untuk pakan ternak harus melalui pengolahan terlebih dahulu karena mengandung zat anti nutrisi (thiaminase). Thiaminase merupakan suatu zat yang merangsang penghancuran thiamin atau vitamin B1, thiamin berfungsi mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas (BPPP Jakarta, 2000). Kandungan nutrien yang terdapat dalam TKM dari hasil analisis di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009 adalah PK 14,44%, Ca 9,14% dan P 2,53%.

Pemberian keong mas dalam bentuk tepung telah dilakukan di Sumatra Selatan pada ransum itik petelur sampai level 10% mampu meningkatkan produksi telur hingga 80%. (Sulistiono, 2007). Selain dalam bentuk tepung, silase daging keong mas juga telah terbukti menjadi sumber pakan ternak bagi ruminansia dan ayam buras dengan menggunakan 10% dalam ransum ruminansia dan 20% dalam ransum ayam buras (BP2TP Sumatra Utara, 2006).

B. Perumusan Masalah

Itik adalah salah satu hewan unggas air penghasil telur dan resisten terhadap penyakit dibanding unggas lain. Itik yang dipelihara secara tradisional hanya mampu berproduksi 100–150 butir/ekor/tahun (Martawijaya

et al., 2004). Upaya untuk meningkatkan produktivitas itik dapat dengan

melakukan pemeliharaan secara intensif. Pemeliharaan itik secara intensif biaya pakan dapat mencapai 70% dari total biaya produksi. Oleh sebab itu perlu penggunaan bahan pakan alternatif yang harganya murah, mudah diperoleh dan mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik yaitu keong mas.

Keong mas merupakan bahan pakan yang murah, mudah diperoleh dan kandungan nutrisi di dalamnya cukup baik. Zat-zat yang terkandung di dalam TKM yaitu PK 14,44%, Ca 9,14% dan P 2,53%. Sulistiono (2007) menambahkan bahwa penambahan TKM telah dilakukan di daerah Sumatra

(13)

3

Selatan sampai level 10% dalam ransum itik petelur mampu menaikkan produksi telur hingga 80%.

Berdasarkan uraian di atas, maka diadakan penelitian tentang pengaruh penambahan TKM dalam ransum itik terhadap performan produksi itik petelur.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh penambahan TKM dalam ransum terhadap performan produksi itik petelur.

2. Mengetahui penambahan level TKM yang optimal dalam ransum itik petelur.

(14)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Itik

Menurut Srigandono (1997) taksonomi itik sebagai berikut : Kingdom : Animal

Phylum : Vertebrata Sub phylum : Craniata Class : Aves

Ordo : Anseriformes Family : Anatidae Subfamily : Anatinae Genus : Anas

Species : Anas plathyrynchos

Itik merupakan salah satu jenis unggas penghasil telur yang potensial dengan kemampuan produksi tinggi meskipun pemeliharaannya dilakukan secara sederhana, tingkat kematian rendah dan tahan terhadap penyakit (Martawijaya et al., 2004).

Menurut Supriyadi (2009), berdasarkan tipenya itik dibagi menjadi tiga jenis yaitu itik petelur (Indian Runner, Khaki Champbell, Orpington dan CV 2000-INA), itik pedaging (Peking, Rouen, Aylesbury, Muscovy dan Cayuga) dan itik ornamen (East india, Mandarin, Blue Swedish, Crested dan Wood). Itik petelur yang dikembangkan di Indonesia ada dua macam yaitu itik lokal dan itik hasil persilangan. Berbagai jenis itik lokal dikenal berdasarkan wilayah asal dan sifat morfologis seperti itik Alabio, itik Tegal, itik Bali, itik Turi, itik Magelang dan itik Mojosari. Itik yang banyak dibudidayakan antara lain itik Tegal, itik Mojosari, itik Bali dan itik Alabio (BPTP Jakarta, 2001).

Karakteristik itik petelur adalah tubuh langsing, mata bersinar, berdiri hampir tegak seperti botol dan mampu berjalan jauh (Rasyaf, 1993). Agromedia (2007) menambahkan bahwa karakteristik itik petelur antara lain : pergerakan lincah, bentuk leher kecil, kepala kecil, bulu halus dan merata. Itik Mojosari merupakan salah satu itik petelur unggul lokal yang berasal dari

(15)

5

Kecamatan Mojokerto, Jawa Timur. Itik Mojosari berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha ternak itik komersial dengan ciri-ciri : postur tubuh lebih kecil dibandingkan itik petelur jenis lain, ukuran telur besar, produksi telur rata-rata 230-250 butir/ekor/tahun dan warna kerabang biru kehijau-hijauan (BPTP Jakarta, 2001).

B. Ransum Itik

Menurut Rasyaf (1993) ransum dasar dianggap telah memenuhi standar kebutuhan ternak apabila cukup energi dan protein. Anggorodi (1985) menambahkan bahwa zat-zat nutrisi dalam ransum terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Prahasta dan Masturi (2009) menambahkan pula bahwa pakan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup, reproduksi, produksi dan mengganti sel-sel yang rusak.

Menurut Supriyadi (2009) bahan baku pakan dibagi menjadi dua kelompok yaitu bahan pakan sumber energi dan bahan pakan sumber protein. Suharno dan Amri (2008) menambahkan secara garis besar bahan pakan itik dibagi menjadi dua golongan yaitu bahan pakan asal nabati dan hewani. Bahan pakan asal nabati yang diberikan kepada itik berupa biji-bijian merupakan sumber energi seperti jagung kuning, dedak dan bekatul. Bahan pakan asal hewani merupakan sumber protein, diantaranya keong mas, bekicot, cacing, tepung ikan, limbah industri udang dan tepung bulu.

Menurut Wahju (1985) bahan pakan untuk ransum itik tidak berbeda dengan ransum ayam. Tilman et al. (1991) menambahkan bahwa itik membutuhkan karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan air untuk hidup pokok dan produksi telur. Pemberian protein hewani pada pakan itik sangat penting untuk meningkatkan produktivitas (Ranto dan Sitanggang, 2005). Kebutuhan nutrisi itik disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan produksi. Itik yang sedang bertelur membutuhkan pakan dengan kandungan protein sekitar 17-20% dan energi 2700-2800 Kkal/kg. Suharno dan Amri (2008) menambahkan bahwa itik yang sedang bertelur membutuhkan Ca 3,25% dan P 0,47%, apabila dalam ransum kekurangan kedua jenis

(16)

6

mineral tersebut maka itik akan mengalami kelumpuhan. Ca dan P juga dibutuhkan itik untuk untuk pembentukan kerabang telur.

Itik kurang biasa beradaptasi dengan pakan dalam bentuk kering karena bentuk morfologi paruh itik yang berbeda dari unggas lain. Pakan yang diberikan dalam bentuk basah dengan kandungan air sekitar 15-20% (Prahasta dan Masturi, 2009).

C. Keong Mas dan Tepung Keong Mas

Menurut Turgeon et al. (1998) taksonomi keong mas sebagai berikut : Kingdom : Animal

Phylum : Mollusca Class : Gastropoda Sub class : Prosobranchia Ordo : Architaenioglossa Family : Ampullariidae Genus : Pomacea

Spesies : Pomacea canaliculata Lamarck

Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) atau dikenal GAS (Golden

Apple Snail) atau siput murbai merupakan hewan lunak (Mollusca) dari kelas Gastropoda yang berarti berjalan dengan perut. Hewan tersebut dikenal

dengan nama keong mas karena cangkang berwarna kuning keemasan. Keong mas dapat hidup antara 2 sampai 6 tahun dengan tingkat fertilitas tinggi dan berjenis kelamin hermaprodit. Rumah keong mas (cangkang) berwarna kuning keemasan dan dagingnya berwarna putih susu sampai merah keemasan atau oranye. Keong mas merupakan hama padi karena sering menyebabkan kegagalan panen. Dalam mengendalian populasi keong mas perlu diperhatikan dua hal yaitu keong mas sebagai hama padi dan sebagai sumber protein. Berdasarkan hasil tersebut maka keong mas dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Sulistiono, 2007).

Pemberian keong mas dalam bentuk segar dapat menyebabkan pengaruh negatif karena mengandung zat anti nutrisi (thiaminase). Thiaminase

(17)

7

merupakan suatu zat yang dapat menghancurkan thiamin (vitamin B1) sehingga menurunkan produksi telur. Penggunaan keong mas sebagai bahan pakan harus diolah terlebih dahulu melalui perebusan selama 15-20 menit untuk menghilangkan thiaminase (BPPP Jakarta, 2000).

D. Produksi Telur

Produksi telur dapat diukur dalam satuan Hen Day Average (HDA). HDA merupakan produksi telur dibagi dengan jumlah ternak dan biasanya diukur setiap hari. Periode bertelur mulai dihitung dari pertama kali produksi minimal 5% HDA (Rasyaf, 1996).

Menurut Supriyadi (2009), itik mulai bertelur pada umur 5,5 bulan dengan periode bertelur selama 8-10 bulan dengan masa produksi 2-3 tahun. Produksi telur itik tergantung dari genetik, pemeliharaan, pakan dan lingkungan. Ranto dan Sitanggang (2005) menambahkan bahwa peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan pemeliharaan secara intensif.

Produktivitas dan kestabilan produksi itik ditentukan oleh kandungan nutrien dalam pakan terutama protein (Martawijaya et al., 2004). Wahju (1985) menambahkan bahwa kemampuan produksi telur dipengaruhi oleh imbangan zat-zat pakan yang terdapat dalam ransum, khususnya kandungan energi dan protein. Ditambahkan pula oleh Suharno dan Amri (2008) bahwa bahan pakan asal hewani berperan terhadap produksi telur karena merupakan sumber protein.

Menurut BPTP Jakarta (2001), produksi telur itik Mojosari antara 230-250 butir/ekor/tahun. Prahasta dan Masturi menambahkan bahwa produksi telur itik Khaki campbell antara 300-330 butir/ekor/tahun, itik Tegal sekitar 200 butir/ekor/tahun dan itik Alabio antara 200-250 butir/ekor/tahun.

E. Berat Telur

Proses peneluran ayam lebih lama yaitu 25,4 jam dibandingkan itik 24– 24,4 jam. Keadaan ini berkaitan adanya perbedaan dalam ukuran saluran reproduksi betina (oviduk). Panjang oviduk pada itik dewasa sekitar 45-47 cm

(18)

8

sedangkan pada ayam panjang oviduk 72 cm. Adanya perbedaan panjang oviduk dapat menentukan lama proses pembentukan telur (Srigandono, 1997).

Menurut Wahju (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi berat telur adalah konsumsi pakan, genetik dan dewasa kelamin, umur, obat–obatan, penyakit dan kandungan gizi ransum. North (1984) menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi berat telur adalah suhu lingkungan dan berat badan. Anggorodi (1990) menambahkan pula bahwa faktor terpenting dalam pakan yang mempengaruhi berat telur adalah protein karena sekitar 50% dari bahan kering telur adalah protein, maka penyediaan asam-asam amino untuk sintesis protein sangat penting untuk produksi telur.

Penggunaan protein dalam ransum kurang dari 17% akan menurunkan berat telur sehingga sebaiknya penggunaan protein di atas 17% (Yuwanta, 1995). Berat telur itik Tegal rata-rata 65–70 g/butir, itik Alabio 65-70 g/butir, itik Bali 49 g/butir (Suharno dan Amri, 2008) dan itik Mojosari 65 g (BPTP Jakarta, 2001).

F. Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum

Menurut Wahju (1992) konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dimakan dalam periode tertentu. Pencatatan konsumsi ransum oleh peternak bertujuan untuk mengatur anggaran pembelian ransum serta menunjukkan produktivitas ternak unggas (Williamson dan Payne, 1993). Rasyaf (1993) menambahkan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah kesehatan itik, kandungan energi dalam ransum, macam bahan penyusun ransum, kondisi ransum yang diberikan, kebutuhan produksi, selera dan metode pemberian ransum yang digunakan.

Konsumsi akan meningkat bila diberi ransum dengan kandungan energi rendah dan konsumsi akan menurun bila diberi ransum dengan kandungan energi tinggi. Unggas mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi. Kelebihan energi dalam ransum terjadi bila perbandingan energi dan protein, vitamin serta mineral dalam keadaan berlebihan daripada yang dibuat untuk perkembangan normal, produksi dan aktivitas (Wahju, 1978).

(19)

9

Menurut Anggorodi (1985), konversi ransum erat kaitannya dengan efisiensi penggunaan ransum selama proses produksi telur dan didefinisikan sebagai perbandingan antara konsumsi ransum dengan unit berat telur yang dihasilkan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan jumlah ransum sisa (Rasyaf, 1996).

(20)

11

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta di Desa Jatikuwung, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini dilaksanakan selama selama 84 hari dimulai tanggal 7 Oktober–30 Desember 2009.

Analisis proksimat bahan pakan dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Itik

Itik yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik Mojosari umur 24 minggu sebanyak 80 ekor dengan berat badan awal rata-rata 1490,61  107,47 g/ekor.

2. Ransum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari jagung kuning, bekatul, bungkil kedelai, tepung ikan, premix, grit dan minyak sawit dan TKM. Kebutuhan nutrien ransum itik, kandungan nutrien dan susunan ransum dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 1. Kebutuhan nutrien dalam rasum itik umur 24 minggu

No. Nutrien Kebutuhan

1 2 3 4

Energi Metabolis (Kkal/kg)1) Protein Kasar (%)2) Ca (%)1) P tersedia (min %)3) 2900 17 2,75 0,35 Sumber : 1) NRC (1994) 2) Rasyaf (1993) 3)

(21)

12

Tabel 2. Kandungan nutrien bahan untuk ransum perlakuan (% BK)

No Bahan Ransum ME (Kkal/kg) PK Ca P tersedia 1 2 3 4 5 6 7 8 Jagung kuning1) Bekatul1) Bungkil kedelai1) Tepung ikan2) TKM 3) Premix 5) Grit4) Minyak sawit5) 3546,102) 3178,672) 2411,852) 3065,22 1920 - - 8800 10,19 10,29 39,75 65,27 14,44 - - - 0,133) 0,123) 0,213) 5,55 9,14 50 37 - 0,023) 0,043) 0,083) 1,61 2,31 15 - - Sumber : 1) Hasil Analisis Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan

Peternakan, FP UNS (2009). 2) NRC (1994)

3) Hasil Analisis Lab. Kimia dan Kesuburan Tanah FP UNS (2009).

4)

Johari (2004)

5) Mineral B 12 (Produksi Eka Farma Semarang)

Tabel 3. Susunan ransum dan kandungan nutrien ransum perlakuan

No. Bahan pakan (Feedstuff) Perlakuan (Treatment) P0 P1 P2 P3 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Jagung kuning Bekatul Bungkil kedelai Tepung ikan TKM Premix Grit Minyak sawit 40 32 14 7 0 3 2 2 40 32 14 7 3 3 2 2 40 32 14 7 6 3 2 2 40 32 14 7 9 3 2 2 Jumlah 100 103 106 109 1. 2. 3. 4. EM (Kkal/kg) PK (%) Ca (%) P tersedia (%) 2983,40 17,50 2,75 0,69 2952,43 17,36 2,93 0,74 2923,21 17,22 3,11 0,78 2895,60 17,08 3,28 0,82 Sumber : Perhitungan dari Tabel 2

3. Kandang dan Peralatannya

Penelitian ini menggunakan 16 petak kandang litter dengan ukuran (1,5 x 1,0 x 0,50) m3. Bahan untuk sekat tiap kandang dari bambu dan untuk litter dari sekam dengan ketebalan 5 cm dari alas kadang. Peralatan kandang yang digunakan adalah :

(22)

13

a. Tempat pakan

Pemberian tempat pakan sesuai dengan jumlah kandang yaitu 16 buah dan terbuat dari bahan plastik dengan penempatan 1 buah di setiap petak.

b. Tempat minum

Pemberian tempat pakan sesuai dengan jumlah kandang yaitu 16 buah dan terbuat dari bahan plastik dengan penempatan 1 buah di setiap petak.

c. Termometer

Penambahan termometer ruang bertujuan untuk mengetahui suhu ruang kandang setiap harinya.

d. Lampu

Lampu yang digunakan adalah lampu 25 watt sebanyak 4 buah yang ditempatkan pada bagian tengah petak kandang bertujuan sebagai penerangan di malam hari.

e. Timbangan

Timbangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan merk Five Goats kapasitas 5 kg dengan kepekaan 1 g untuk menimbang itik, pakan dan telur.

f. Sapu

Sapu yang digunakan adalah sapu lidi dan sapu ruangan berfungsi untuk membersihkan kandang.

g. Alat tulis

Alat tulis digunakan untuk mencatat data yang diperoleh saat penelitian berlangsung.

C. Persiapan Penelitian 1. Persiapan kandang

Sebelum dilakukan proses pemeliharaan, kandang dan peralatan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan antiseptik bermerk Antisep dengan cara perendaman. Penjemuran peralatan dilakukan setelah proses

(23)

14

perendaman. Pengapuran pada dinding dan lantai berfungsi mencegah tumbuhnya bakteri.

2. Penentuan petak kandang

Penempatan perlakuan petak kandang dilakukan secara acak. 3. Persiapan Itik

Itik ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat badan kemudian itik dimasukkan ke dalam petak kandang secara acak (setiap petak kandang berisi 5 ekor itik).

4. Persiapan ransum

Keong mas yang diperoleh terlebih dahulu dicuci bersih lalu direbus selama 15-20 menit dengan air kapur untuk menghilangkan lendir dan zat anti nutrisi (thiaminase). Daging dikeluarkan dari cangkang dan kotorannya dibuang, daging dan cangkang dikeringkan melalui proses penjemuran dibawah sinar matahari selama 3 hari kemudian digiling. Perlakuan untuk cangkang ditumbuk terlebih dahulu agar ukuran menjadi lebih kecil sehingga memudahkan dalam penggilingan.

Pencampuran bahan pakan untuk ransum yaitu jagung kuning, bekatul, bungkil kedelai, tepung ikan, premix, grit, minyak sawit dan TKM.

D. Cara Penelitian 1. Metode penelitian

Penelitian tentang pengaruh penambahan TKM dalam ransum terhadap performan produksi itik petelur dilakukan secara eksperimental. 2. Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan empat macam perlakuan (P0, P1, P2, P3), masing-masing perlakuan diulang 4 kali dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor itik. Adapun perlakuan ransum adalah sebagai berikut :

(24)

15

P0 = ransum basal + 0% TKM (kontrol) P1 = ransum basal + 3% TKM

P2 = ransum basal + 6% TKM P3 = ransum basal + 9% TKM 3. Pelaksanaan penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 3 periode (3 x 28 hari) dan penelitian mulai dilaksanakan pada saat itik mencapai produksi telur 20% HDA. Adaptasi dilakukan selama 10 hari sebelum pengambilan data. Pakan diberikan dua kali sehari pagi pukul 08.00 WIB dan sore 15.00 WIB, air minum diberikan secara ad libitum. Pengambilan data dilaksanakan selama masa pemeliharaan yaitu selama 3 periode (3 x 28 hari) dimulai tanggal 7 Oktober–30 Desember 2009 dan pencatatan data dilakukan setiap hari.

4. Peubah Penelitian a. Konsumsi ransum

Konsumsi ransum dihitung dari jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum yang tersisa selama penelitian yang dinyatakan dalam g/ekor/hari.

b. Produksi telur (Hen Day Average/HDA)

Produksi telur dapat diukur dalam satuan HDA yang merupakan rerata produksi telur harian yang diperoleh dari pembagian jumlah produksi telur dengan jumlah ternak dikalikan 100%.

c. Berat telur

Berat telur diperoleh dengan menimbang masing-masing telur yang dihasilkan setiap harinya (g/butir).

d. Konversi ransum

Penghitungan konversi ransum dilakukan dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi (g) dengan rerata berat telur (g) yang dikalikan dengan produksi telur (HDA) dalam jangka waktu yang sama.

(25)

16

E. Cara Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalis dengan analisis variansi berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y ij = µ + t I + ε ij Keterangan :

Y ij = respon nilai pengamatan pada perlakuan ke I ulangan ke-j µ = rataan nilai dari seluruh perlakuan atau nilai tengah perlakuan ke-I t I = pengaruh perlakuan ke-I

ε

ij = kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-I ulangan ke-j.

Apabila hasil analisis diperoleh beda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan’s. (Yitnosumarto, 1993).

(26)

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsumsi Ransum

Rerata konsumsi ransum itik untuk masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rerata konsumsi ransum (as-fed) itik selama penelitian (g/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rerata

1 2 3 4 P0 P1 P2 P3 153,47 147,83 145,79 149,59 154,68 141,46 148,58 152,09 151,68 146,70 141,58 149,75 147,42 145,37 152,32 154,09 151,86 b 145,34 a 147,09 ab 151,38 b Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata

Rerata konsumsi ransum dari keempat macam perlakuan berkisar antara 145,34-151,86 g/ekor/hari. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan TKM sampai level 9% dalam ransum memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi ransum. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa P1 berbeda nyata dengan P0 dan P3 tetapi berbeda tidak nyata dengan P2.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini jauh berbeda dengan penelitian Danurdjo (2007), penambahan TKM sampai level 6% dalam ransum ayam broiler menunjukkan adanya peningkatan konsumsi ransum dari P0, P1, P2 dan P3. Hal ini disebabkan karena pada penelitian Danurdjo, perbedaan nyata dipengaruhi oleh palatabilitas dan rendahnya kandungan nutrisi sedangkan pada penelitian ini kandungan nutrisi sudah tercukupi tetapi tidak dipengaruhi palatabilitas. Berbeda halnya dengan penelitian Diskawati (2008) yang menggunakan TKM sampai level 3% menunjukkan ransum yang diberi TKM sebesar 1% (P1) justru lebih tinggi konsumsi ransumnya dibanding dengan penambahan TKM 2% (P2), 3% (P3) dan tanpa TKM. Hal ini disebabkan karena TKM dalam ransum tidak mempengaruhi palatabilitas, sifat fisik ransum dan tingginya energi dalam ransum. Parakkasi (1993) menambahkan bahwa perbedaan konsumsi ransum dipengaruhi oleh kondisi tubuh ternak yaitu normal atau sakit, stres yang diakibatkan oleh lingkungan dan tingkat kecernaan ransum.

(27)

18

B. Produksi Telur

Rerata produksi telur itik untuk masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rerata produksi telur itik (Hen Day Average) selama penelitian (%)

Perlakuan Ulangan Rerata

1 2 3 4 P0 P1 P2 P3 34,76 36,91 38,33 31,67 37,14 39,29 35,48 36,43 36,67 36,67 36,91 30,97 45,48 43,23 40,71 50,32 38,51 39,03 37,86 37,35 Rerata produksi telur dari keempat macam perlakuan berkisar antara 37,35-39,03%. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan TKM dalam ransum memberikan pengaruh tidak nyata terhadap produksi telur. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan TKM sampai level 9% dalam ransum tidak berpengaruh terhadap produksi telur.

Menurut Surisdiarto (1999) ransum perlakuan dengan kandungan protein yang relatif sama menyebabkan jumlah konsumsi protein menjadi sama sehingga produksi telur tidak berbeda. Adanya pengaruh tidak nyata pada produksi telur juga disebabkan karena kandungan protein dalam ransum masing-masing perlakuan relatif sama sehingga penambahan TKM dalam ransum sampai taraf 9% tidak mempengaruhi produksi telur. Adanya kecukupan gizi dari masing-masing perlakuan menyebabkan proses produksi dan pembentukan telur berjalan normal. Anggorodi (1985) menambahkan bahwa produksi telur dipengaruhi oleh tingkat protein ransum. Protein adalah komponen nutrien yang sangat penting sebagai sumber energi dan produksi (Suprijatna et al., 2005). Rasyaf (1982) juga menambahkan bahwa kebutuhan protein dalam tubuh juga dipengaruhi oleh umur ternak, pertumbuhan, reproduksi, suhu, tingkat energi, penyakit dan bangsa.

(28)

19

C. Berat Telur

Rerata berat telur itik untuk masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rerata berat telur itik selama penelitian (g)

Perlakuan Ulangan Rerata

1 2 3 4 P0 P1 P2 P3 61,37 59,53 60,81 60,08 60,47 65,61 61,74 62,21 62,43 61,84 59,22 63,87 62,05 62,17 58,77 61,79 61,58 62,29 59,64 62,24 Rerata berat telur itik dari keempat macam perlakuan berkisar antara 59,64-62,29 g. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan TKM dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap berat telur. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan TKM sampai level 9% dalam ransum tidak mempengaruhi berat telur.

Menurut Wahju (1985) faktor yang mempengaruhi berat telur adalah kandungan protein dalam ransum yang telah dikonsumsi. Adanya pengaruh tidak nyata dikarenakan protein yang terkandung dalam ransum relatif sama sehingga penambahan TKM dalam ransum sampai taraf 9% tidak mempengaruhi berat telur. Penelitian Diomande et al. (2008) menunjukkan TKM dapat menggantikan tepung ikan sampai level 100% dalam ransum ayam broiler.

Anggorodi (1990) menyatakan bahwa faktor terpenting dalam pakan yang mempengaruhi berat telur adalah protein karena kurang lebih 50% dari bahan kering telur adalah protein, maka penyediaan asam-asam amino untuk sintesis protein sangat penting untuk produksi telur. Keong mas dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk sumber protein dan mineral. Menurut Sholikhati (1999) dalam Sulistiono (2007) TKM dapat menggantikan tepung ikan sampai level 25-75% dalam ransum ikan patin.

(29)

20

D. Konversi Ransum

Rerata konversi ransum itik untuk masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Rerata konversi ransum itik selama penelitian

Perlakuan Ulangan Rerata

1 2 3 4 P0 P1 P2 P3 7,84 7,90 7,20 7,85 6,86 5,64 7,18 6,68 6,72 6,56 6,80 8,08 5,19 5,62 6,58 5,00 6,65 6,43 6,94 6,90 Rerata konsumsi ransum itik dari keempat macam perlakuan berkisar antara 6,43-6,94. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan TKM dalam ransum memberikan pengaruh tidak nyata terhadap konversi ransum. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan TKM sampai level 9% dalam ransum tidak mempengaruhi konversi ransum. Tidak adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan terhadap konversi ransum dapat disebabkan

kualitas ransum relatif sama. Penelitian ini mendekati penelitian Saleh et al. (2007) penggunaan TKM sampai level 10% dalam ransum kelinci

jantan lokal lepas sapih tidak berpengaruh terhadap konversi ransum.

North (1984) menyatakan bahwa nilai konversi ransum diperoleh dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan rerata berat telur yang dikalikan dengan produksi telur. Konversi ransum mencerminkan jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur selama produksi, semakin rendah nilai konversi maka produksi semakin efisien. Penambahan TKM dalam ransum berpengaruh terhadap konsumsi ransum tetapi tidak berpengaruh terhadap produksi telur dan berat telur sehingga penambahan TKM dalam ransum itik memberikan hasil yang tidak nyata terhadap konversi ransum. Anggorodi (1985) menambahkan besar kecilnya konversi pakan dipengaruhi oleh kemampuan daya cerna, kualitas pakan yang dikonsumsi dan keserasian nilai nutrien yang terkadung dalam pakan.

(30)

21

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung keong mas dalam ransum sampai taraf 9% dari total ransum mempengaruhi konsumsi ransum tetapi tidak berpengaruh terhadap produksi telur, berat telur dan konversi ransum.

B. Saran

Saran yang diberikan adalah penambahan TKM sampai taraf 9% dapat digunakan dalam ransum itik petelur.

(31)

22

DAF TAR PUSTAKA

Agromedia, 2007. Beternak Iitik Hemat Air. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Anggorodi, R, 1985. Kemajuan Mutakhir Dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. University Indonesia Press. Jakarta.

Anggorodi, R, 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional, 2006. Standar Nasional Indonesia Pakan Itik

Bertelur (Duck Layer). Jakarta.

BPPP Jakarta. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, 2000.

Penyusunan Ransum Untuk Itik Petelur. Jakarta.

BPTP Jakarta, 2001, Keunggulan Itik Mojosari Sebagai Itik Petelur. Jakarta. BP2TP Sumatra Utara. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

(BP2TP), 2006. Pemanfaatan Silase dan Tepung Daging Keong Mas Untuk

Pakan Ternak. Sumatra Utara.

Danurdjo, D, 2007. Penambahan Tepung Daging Keong Mas (Pomacea

caniculata) Dalam Pakan Standar Periode Finisher Terhadap Performan Ayam Ayam Ras Pedaging. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas

Islam Negeri Sulthan Syarif Kasim Riau. Riau.

Diomande, M., M. Koussemon., K. V. Allo and A. Kamenan, 2008. Effect of snail

(Achatina fulica) Meal on Broiler Production and Meat Sensorial Quality.

University of Abobo-Adjame. Livestock Research For Rural Development 20 : 1-6.

Diskawati, E, 2008. Pengaruh Penambahan Tepung Keong Mas Dalam Ransum

Terhadap Penampilan Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Johari, S, 2004. Sukses Beternak Ayam Ras. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Martawijaya, E. I., E. Martanto dan N. Tinaprilla, 2004. Panduan Beternak Itik

Petelur Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.

North, M. O, 1984. Commercial Chicken Production Manual. 3th eds. Avi Publ. Co. Inc. Westport Conecticut. California.

NRC, 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy Press Washington DC.

Parakkasi, A., 1993. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ruminansia. UI Press. Jakarta. Prahasta, A. dan H. Masturi, 2009. Agribisnis Itik. Pustaka Grafika. Bandung. Ranto dan M. Sitanggang, 2005. Panduan Lengkap Beternak Itik. Agromedia.

Jakarta.

(32)

23

Rasyaf, M, 1991. Pengelolaan Produksi Telur. Kanisius. Yogyakarta. Rasyaf, M, 1993. Mengelola Itik Komersial. Kanisius. Yogyakarta.

Rasyaf, M, 1996. Manajemen Peternakan Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Saleh E., Hamdan dan S. J. B. Tarigan, 2007. Pemanfaatan Tepung Keong Mas

Sebagai Substitusi Tepung Ikan Alami Dalam Ransum Terhadap Performan Kelinci Jantan Lepas Sapih. Jurnal Agribisnis Peternakan. Fakultas

Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Vol. 3 No. 2 : 1.

Srigandono, B, 1997. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suharno, B. dan K. Amri, 2008. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sulistiono, 2007. Keong Mas Sebagai Nutrisi Alami Alternatif. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana, 2005. Ilmu Dasar Ternak

Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Supriyadi, 2009. Panduan Lengkap Itik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Surisdiarto, 1999. Penggunaan Fermentasi Onggok dan Kotoran Ayam Sebagai

Pengganti Bekatul Dalam Pakan Ayam Petelur. Bulletin Peternakan.

Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 23 : 34-41.

Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawiro dan S. Lebdosoekojo, 1991. Ilmu Malkanan Ternak Dasar. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Turgeon, D. D., J. F. Quinn, Jr., A. E. Bogan, E. V. Coan, F. G. Hochberg and W. G. Lyons. Common and Scientific Name of Aquatic Invertebrates From

The United State and Canada : Mollusks, 2nd ed. American Fisheries

Society Special Publication 26 : 526. USA. ISBN/ISSN : 1-888569-01-8, 0097-0638.

Wahju, J, 1978. Cara Pemberian dan Penyusunan Ramuan Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wahju, J, 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wahju, J, 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Williamson dan Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Universitas Gadjah Mada Prees. Yogyakarta.

Yitnosumarto, S, 1993. Perancangan Percobaan Analisis dan Interpretasinya. Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta.

Yuwanta, T, 1995. Mengapa Telur Mudah Pecah. Gallusia Edisi 09 X. fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Gambar

Tabel 2. Kandungan  nutrien bahan untuk ransum perlakuan (% BK)  No  Bahan Ransum  ME  (Kkal/kg)  PK  Ca  P  tersedia   1  2  3  4  5  6  7  8  Jagung kuning 1) Bekatul1) Bungkil kedelai 1) Tepung ikan2)TKM 3)Premix 5) Grit4)  Minyak sawit5)  3546,10 2) 31
Tabel 4. Rerata konsumsi ransum (as-fed) itik  selama penelitian (g/ekor/hari)
Tabel 5. Rerata produksi telur itik (Hen Day Average) selama penelitian (%)
Tabel 6. Rerata berat telur itik selama penelitian (g)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Daripada mempertimbangkan banyaknya kemungkinan pola pemotongan, metode penghasil kolom bekerja dengan membangun suatu model bagian dari masalah pemotongan persediaan yang

Kemudian untuk kategori kepadatan lahan terbangun sedang adalah kategori yang mendominasi berikutnya dimana Kecamatan Kendari Barat merupakan wilayah dengan kategori sebaran

Sesuai dengan penjelasan yang diterapkan di atas, dan dengan menerapkan tema Arsitektur Simbiosis Mutualisme pada objek Hotel Resort dan Wisata Bahari di Desa

Perancangan gedung pementasan musik di Kota Gorontalo ini merupakan wadah yang berfungsi sebagai tempat pagelaran/pementasan seni musik bagi pecinta dan pelaku seni musik

yang dilakukan untuk mempertahankan koleksi agar dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Tidak setiap perpustakaan harus melakukan kegiatan pelestarian koleksi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil evaluasi formulasi sediaan masker serbuk ekstrak beras hitam telah memenuhi syarat

Untuk penggunaan dalam pembayaran perjalanan cukup sederhana, yaitu sebelum naik kendaraan, penumpang diwajibkan melakukan proses tap- in pada gerbang masuk, setelah itu

Karakter password internet banking lebih secure daripada pin ATM karena user diberi kebebasan menggunakan angka, huruf (besar dan kecil) dan karakter simbol dalam membuat