• Tidak ada hasil yang ditemukan

dp 2 P,h;qL,q g. (2.11) P(0) = P wh, (2.12) P(L) = P w f. (2.13)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dp 2 P,h;qL,q g. (2.11) P(0) = P wh, (2.12) P(L) = P w f. (2.13)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

dP dh = f2  P, h; qL,qg . (2.11) dengan P(0)= Pwh, (2.12)

Pwh, merupakan tekanan kepala sumur, dan

(2)

Bab 3

Performansi Sumur Dual Gas Lift

Performansi sumur dual gas lift menyatakan kemampuan sumur memproduksi cairan untuk suatu nilai laju gas injeksi tertentu. Performansi sumur gas lift akan diilus-trasikan melalui kurva performansi gas lift, equal slope dan kestabilan laju produksi sumur.

3.1

Kurva Performansi Gas Lift

Kurva performansi gas lift menggambarkan hubungan antara jumlah gas injeksi dengan jumlah liquid atau cairan yang dapat diproduksi oleh sumur. Kurva per-formansi gas lift sangat berperan dalam menentukan jumlah total gas injeksi yang diperlukan sumur-sumur minyak pada suatu lapangan minyak. Ilustrasi mengenai kurva performansi gas lift dapat dilihat pada gambar (3.1).

Persamaan (2.11) dan (2.12) merupakan permasalahan nilai awal. Misalkan Ph; qL,qg

 solusi dari masalah nilai awal (2.11) dan (2.12). Ph; qL,qg



merupakan keluarga

(3)

fungsi yang bergantung pada dua (2) parameter bebas, qL,qg.

Untuk setiap nilai qg yang diberikan, nilai qL (jika ada) dapat diperoleh dengan

menambahkan syarat (2.13) pada Ph; qL,qg



, yakni menyelesaikan persamaan im-plicit PL; qL,qg = Pw f = f1(qL)

Himpunan semua titikqL,qg



yang memenuhi (2.11), (2.12) dan (2.13) akan mem-bentuk kurva performansi gas lift. Laju produksi cairan, (qL) dapat dinyatakan

sebagai fungsi dari laju gas injeksi,qg



secara explicit, yaitu:

qL = ϕ

 qg



(3.1)

Gambar 3.1: Sketsa Kurva Performansi Gas Lift

Eksistensi kurva performansi gas lift secara analitik untuk sumur tunggal telah dibuktikan [6]. Pada mulanya peningkatan laju injeksi gas akan meningkatkan laju produksi minyak. Namun, sejalan dengan peningkatan laju injeksi gas tersebut, suatu saat akan tercapai kondisi dimana laju injeksi gas menjadi tidak efisien lagi sebagai media pangangkat fluida dari reservoir ke permukaan, yang ditunjukkan dengan semakin ditambahkan jumlah gas injeksi, semakin menurunkan jumlah pro-duksi minyak. Pada saat dimana kondisi ini terjadi disebut sebagai kondisi setelah

(4)

optimum. Kondisi tepat sebelum ini terjadi disebut sebagai kondisi optimum. Kondisi optimum menggambarkan bahwa banyaknya gas yang diinjeksikan kedalam sumur merupakan jumlah gas injeksi optimum yang akan mengakibatkan sumur memproduksi total cairan maksimum.

Berdasarkan kurva performansi gas lift dapat ditentukan total gas injeksi yang diper-lukan pada sebuah sumur jika sumur akan diproduksi pada laju produksi tertentu. Jumlah gas injeksi optimum ditunjukkan dari kemiringan pada kurva performansi gas lift, yaitu jika kemiringan kurva sama dengan nol, maka gas injeksi menun-jukkan jumlah maksimum.

dqL

dqg = 0.

(3.2)

Dalam prakteknya, jumlah gas injeksi optimum tersebut dapat dipenuhi jika perse-diaan gas dilapangan tidak terbatas, tetapi untuk suatu lapangan dengan jumlah gas injeksi terbatas, jumlah gas injeksi yang diberikan untuk sumur-sumur minyak di-tentukan pada saat kemiringan kurva performansi gas lift berharga positif, yaitu:

dqL

dqg

> 0. (3.3)

3.2

Equal Slope

slope pada istilah ini menyatakan perubahan laju produksi minyak untuk setiap pen-ingkatan laju gas injeksi. Pada subbab (3.1) telah diuraikan mengenai kurva perfor-mansi gas lift, dan telah disebutkan bahwa nilai produksi maksimum dipenuhi oleh persamaan (3.2).Untuk beberapa sumur gas lift (lebih dari satu sumur), jumlah total

(5)

gas injeksi yang memenuhi persamaan (3.2) lebih dari yang tersedia di lapangan, hal ini tidak mungkin diterapkan mengingat gas alam memiliki nilai jual yang tinggi. Akibatnya, harus dicari laju injeksi gas dari masing-masing sumur dimana jumlah gas injeksi kurang dari yang tersedia di lapangan. Maka laju injeksi optimum ini dicari melalui slope atau kemiringan yang sama pada tiap-tiap kurva performansi gas lift.

Equal Slope digunakan untuk menyelesaikan permasalahan jumlah alokasi gas in-jeksi pada short string dan long string pada sumur dual gas lift dengan jumlah gas injeksi terbatas[3]. Prinsip equal slope adalah menghitung kemiringan atau gradien kurva performansi gas lift. Kurva performansi gas lift menggambarkan jumlah pro-duksi minyak sebagai fungsi dari jumlah gas yang diinjeksikan ke dalam sumur, sehingga dapat dituliskan:

qo= h

 qg



(3.4)

Kemiringan atau gradien dari kurva performansi gas lift dinyatakan:

h0qg



(3.5)

Fungsi turunan akan didekati oleh

h0qg = lim c → o h  qg+ c  − hqg  c

Dalam permasalahan sumur dual gas lift, equal slope akan dikenakan bagi masing-masing kurva performansi gas lift long string dan short string. Nilai produksi mak-simum bagi long string dan short string untuk total gas injeksi terbatas dipenuhi

(6)

oleh persmaan, ∀qgls,qgss∃qLls,qLss3 h 0 qgls = h 0 qgss  Persamaan h0qgls = h 0 qgss 

dapat dituliskan sebagai,

hqgls+ c  − hqgls  c = hqgss+ c  − hqgss  c diperoleh, hqgls+ c  − hqgls = hqgss+ c  − hqgss  (3.6) atau qL ls− qLls= qLss− qLss (3.7)

3.3

Kestabilan Produksi Sumur Gas Lift

Pada sub bab berikut akan diuraikan daerah kestabilan pada sumur gas lift berdasarkan penelitian Herald Asheim [4] dan F.J.S Alhanati [5]. Dalam penelitian Asheim, dikaji mengenai kestabilan pada valve titik injeksi dan pada formasi, sedangkan Al-hanati, mengkaji mengenai kestabilan pada choke gas injeksi di permukaan. Den-gan menggabungkan kedua kriteria tersebut diharapkan dapat dilakukan analisa kestabilan pada sebuah sumur gas lift melalui pengukuran parameter-parameter op-erasi di lapangan. Penelitian mengenai kestabilan produksi pada sumur gas lift juga telah dilakukan oleh [7],[8] dan [9] dengan mengembangkan penelitian Asheim dan Alhanati.

(7)

3.3.1

Kriteria Kestabilan Asheim

Kriteria kestabilan pada formasi dikembangkan berdasarkan laju alir fluida dari reservoir ke dalam sumur, dimana laju alir tersebut lebih sensitif terhadap tekanan dibandingkan laju injeksi gas, terutama pada reservoir yang memproduksi minyak berat atau pada kondisi produksi dengan kadar air tinggi. Oleh karena, peningkatan densitas rata-rata fluida campuran yang mengalir akan menyebabkan penurunan tekanan tubing di titik injeksi. Persamaan kestabilan F1dinyatakan dalam:

F1= ρgiq2gi qL BgJ (EA1)2 > 1. (3.8)

ρgi menyatakan massa jenis gas di titik injeksi



kg/m3 lbm/ f t3, qgi menyatakan

laju alir gas injeksim3/sec f t3/s, qLmenyatakan laju alir fluida reservoir



m3/sec f t3/s. Bg adalah faktor volume gas dalam formasi, J merupakan Indeks Produktivitas,

stdm3/s.Pa[sc f /sec.psi],m3/(kPa.s)[bpd/psi], Ai sebagai luas area port injeksi



m2 hf t2idan E: Faktor efisiensi orifice (diasumsikan 0.7).

Analisa kestabilan pada formasi ditentukan berdasarkan densitas gas injeksi, tekanan tubing di dasar sumur, dan jumlah gas injeksi yang masuk kedalam tubing. Dari kriteria ini, kestabilan aliran akan dipenuhi oleh sejumlah besar gas injeksi yang masuk ke dalam tubing, produktivity index (produktivitas cairan) tinggi, dan diam-eter valve injeksi yang kecil. Hal ini akan meningkatkan tekanan tubing di titik injeksi yang mengarah kepada keadaan stabil.

Ketaksamaan (3.8) dapat dituliskan dalam ql= f

 qg



sebagai langkah mendapatkan daerah kestabilan dari kriteria pertama.

(8)

dengan, α= ρgBgJ (EAi)2

Selain itu, Asheim [4] menambahkan sebuah kriteria lagi jika kriteria stabilitas F1

tidak terpenuhi. Jika F1 tidak terpenuhi, maka terjadi penurunan tekanan tubing

yang akan menyebabkan laju injeksi gas meningkat dan lebih besar dari laju alir cairan. Hal ini akan menyebabkan penurunan tekanan tubing pada titik injeksi, tetapi secara bersamaan akan terjadi penurunan tekanan injeksi gas di annulus pada titik injeksi. Dengan demikian, jika penurunan tekanan annulus lebih cepat dari-pada penurunan tekanan tubing dari-pada titik injeksi, maka perbedaan tekanan antara tekanan annulus dan tekanan tubing pada titik injeksi akan berkurang, dan demikian juga laju injeksi gas akan berkurang. Kondisi ini akan membuat aliran menjadi sta-bil.

Kriteria kestabilan pada titik injeksi sebagai pengaruh penurunan tekanan annulus diberikan oleh persamaan F2.

F2= C Vti Vc 1 gDi  qgi+ qL  qL[1 − F1] Pti ρL−ρgi > 1. (3.10)

Ketaksamaan (3.10) dapat dituliskan dalam

0 < qL< qg β . (3.11) dimana, β= V(1 − F1) t Vc 1 gLi Pti ρf i−ρgi − 1.

Kriteria Asheim diatas dibangun berdasarkan kondisi steady state atau kondisi tu-nak. Akibatnya, hubungan antara aliran dari reservoir dan tekanan dasar sumur

(9)

diberikan oleh hubungan inflow performance relationship yang steady state. Selain itu gas injeksi yang melalui choke dipermukaan dianggap konstan dan gas injeksi yang melalui valve injeksi diasumsikan dalam kondisi isothermal. Tekanan tub-ing diasumsikan hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi, sedangkan percepatan dan friksi diabaikan.

3.3.2

Kriteria Kestabilan Alhanati

Kriteria kestabilan yang dikembangkan oleh Alhanati [5] merupakan pengemban-gan dari kriteria yang dikembangkan oleh Asheim [4], denpengemban-gan tujuan melengkapi kriteria Asheim. Kriteria ini dikembangkan dari choke gas injeksi di permukaan sampai dengan gas lift valve. Dengan penambahan kriteria ini, diharapkan kestabi-lan produksi sumur gas lift dapat diperoleh berdasarkan parameter operasi di lapan-gan yang lebih lengkap.

Asumsi yang digunakan pada penurunan kriteria kestabilan ini adalah bahwa tekanan distribusi gas sejak dari choke injeksi dianggap konstan. Flow regime pada choke adalah aliran kritis, dimana aliran gas injeksi yang melalui choke konstan. Untuk kasus ini, aliran gas injeksi yang masuk melalui valve injeksi meningkat seiring dengan penurunan tekanan tubing.

Kriteria Alhanati dipenuhi oleh pertaksamaan:

F1 rv µv ! + F3 2 − rv µv > 0. (3.12) dan

(10)

F1 rv µv − 1 ! + rv> 0. (3.13) dimana F1 Bfq2gJρg (EAi)2qL, F3 (qL+qg)AtPtf−ρg)gqL, rv Pt Pc, µv (zT )t (zT )c.

Kriteria tersebut diatas merupakan kriteria yang terkait dengan kriteria F1 dan F2.

Jika hanya terjadi penurunan tekanan yang cukup kecil di valve, maka harga rv

dan µv akan mendekati 1, dan pada kondisi ini kedua pertaksamaan diatas dapat

direduksi menjadi:

(F1− 1)+ F3> 0.

dan

F1> 0.

dimana kedua pertaksamaan tersebut selalu benar. Jika kriteria I Asheim menye-butkan F1> 1, maka pertaksamaan (F1− 1)+ F3> 0 memenuhi dan pertaksamaan

F1> 0, selalu benar.

Ketaksamaan (3.12) dan (3.13) dapat dituliskan dalam qo

 qg



sebagai langkah men-dapatkan daerah kestabilan, yaitu:

0 < qL< γqg 1 − F1 rv µv  µv (2−rv)−γ (3.14) 0 < qL< αq2 gv rv−µv  (3.15)

(11)

dimana: γ = AtPti gf− rhog  , rv= Pt Pc , µv= (zT )t (zT )c

3.3.3

Kriteria Kestabilan Produksi Sumur Dual Gas Lift

Dengan menggunakan kriteria Asheim dan Alhanati diatas, kestabilan produksi sumur gas lift dapat dinyatakan sebagai daerah kestabilan sebagai berikut:

Kriteria Asheim: D1=         ql,qg  ∈ R2|0 < ql< ρgBgJq2g (EAi)2        (3.16) D2=                ql,qg  ∈ R2|0 < ql< qg (1−F1) Vt Vc 1 gL1ρf −ρgPt − 1               (3.17) Kriteria Alhanati: D3=              ql,qg  ∈ R2|0 < ql< AtPtqg gf−ρg)  1 − F1µrvv  µv (2−rv)−  AtPtqg gf−ρg)              (3.18) dan D4=              ql,qg  ∈ R2|0 < ql< q2gρfBgJ (EAi)2 µv rv −µv             (3.19) dimana: rv= PPct, µv= (zT )(zT )ct

(12)

D1 menyatakan daerah kestabilan Asheim pada formasi, D2 menyatakan daerah

kestabilan Asheim pada titik injeksi. Karena D1 dan D2 bukan merupakan kriteria

yang saling berpengaruh antara kriteria yang satu dengan yang lain maka hubungan antara daerah pertama dan kedua adalah gabungan D1∪ D2.

D3dan D4menyatakan daerah kestabilan Alhanati (choke gas injeksi di permukaan).

Karena D3dan D4 harus terpenuhi keduanya agar aliran pada choke injeksi di

per-mukaan stabil, maka hubungan antara D3dan D4adalah irisan, D3∩ D4.

Kriteria Asheim D1∪ D2 dengan kriteria Alhanati D3∩ D4 tidak saling

mempen-garuhi antara satu dengan yang lain, sehingga hubungan keterkaitan antara kriteria Asheim dan Alhanati adalah gabungan kriteria, (D1∪ D2) ∪ (D3∩ D4), yang dapat

dinyatakan sebagai: 0 < ql< Γ (3.20) dimana: Γ = max            max αq2g,qg β ! ,min            αq2 g µv rv−µv , AtPtqg gf−ρg)  1 − F1µrvv  µv 2−rv  − AtPt gf−ρg)                      

Dalam ilustrasi ruang parameter, daerah kestabilan sumur gas lift ditunjukkan pada gambar (2.3)

Dari Gambar (2.3) terlihat bahwa daerah kestabilan ditentukan oleh nilai F1. Jika

F1 =

ρgq2g

ql

BgJ

(EAi)2 > 1 dan aliran pada choke berada pada kondisi aliran kritis maka

menurut Asheim [4], hal ini menjamin stabilitas keseluruhan sumur gas lift. Kriteria F1 diturunkan dari kondisi fisis, jika parameter reservoir

 Bg, J



yang berada pada posisi pembilang bernilai tinggi, menunjukkan bahwa reservoir memiliki performa

(13)

Gambar 3.2: Ilustrasi Daerah Kestabilan Produksi Sumur Dual Gas Lift yang baik. Maka, daerah kestabilan memenuhi D1, persamaan (2.22).

Jika F1 =

ρgq2g

ql

BgJ

(EAi)2 < 1 maka permasalahan sumur gas lift secara umum masih

harus didefinisikan berdasarkan keadaan di titik injeksi dan aliran gas injeksi pada choke di permukaan. Jika aliran gas injeksi pada choke dipermukaan senanti-asa konstan, karena parameter aliran pada choke tersebut, yaitu P atau tekanan di downstream dan P atau tekanan pada upstream dapat diatur sehingga dapat mensta-bilkan aliran gas injeksi dalam choke, maka permasalahan daerah kestabilan sumur gas lift berada pada aderah D2. Daerah kestabilan produksi sumur dual gas lift

berdasarkan penurunan kriteria kestabilan Asheim [4] dan Alhanati [5] dinyatakan dalam (D1∪ D2) ∪ (D3∩ D4).

Kemiringan-kemiringan pada kurva performansi gas lift didalam daerah kestabilan bagi short string dan long string untuk suatu kondisi tertentu akan diilustrasikan pada Gambar (3.3).

(14)

Gambar 3.3: Ilustrasi kemiringan kurva performansi gas lift short string dan long string pada daerah kestabilan D1

(15)

Model Optimasi Alokasi Gas Injeksi

Sumur Dual Gas Lift

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab 2, sumur dual gas lift merupakan sumur dengan dua tubing, long string dan short string. Gas injeksi dari permukaan akan terbagi dua, masuk ke dalam long string dan sisanya masuk ke dalam short string.

Gambar 4.1: Ilustrasi Kurva Performansi Gas Lift untuk Short String dan Long String untuk satu kondisi tertentu

Hubungan antara laju injeksi gas dan laju produksi pada short string dan long string 31

(16)

dinyatakan melalui kurva performansi gas lift, seperti yang telah dijelaskan pada subbab (3.1). Kurva performansi gas lift untuk long string dan short string masing-masing diberikan oleh persamaan (4.1) dan (4.2),

qLls= ϕls  qgls  (4.1) qLss= ϕss  qgss  (4.2) Persamaan (4.1) memenuhi dPls dhls = f2ls  Pls,hls; qLls,qgls . (4.3) dengan Pls(0)= Pwhls, (4.4) P(Lls)= Pw fls= f1ls  qLls . (4.5) Persamaan (4.2) memenuhi dPss dhss = f2ss  Pss,hss; qLss,qgss . (4.6) dengan Pss(0)= Pwhss, (4.7)

(17)

P(Lss)= Pw fss= f1ss qLss

.

(4.8)

Agar sistem dual gas lift berjalan stabil,qgls,qgss



harus terletak pada daerah kesta-bilan, yakni:  qgls,qgss  ∈ D=nDls1 ∪ Dls2 ∪Dls3 ∩ Dls4×D1ss∪ D2ss∪D3ss∩ D4ss|0 ≤ qgls+ qgss≤ qgtersedia o dengan, Dls1 =            qLls,qgls  ∈ R2|0 < qLls< ρglsBglsJlsq 2 gls  EAils 2           , Dls2 =                      qLls,qgls  ∈ R2|0 < qLls< qgls  1−F1ls Vtls Vc 1 gLils Ptls ρflsρg − 1                     , Dls3 =                  qLls,qgls  ∈ R2|0 < qLls< AtlsPtlsqgls gfls−ρgls  1 − F1ls rvls µvls  µ vls  2−rvls− AtlsPtlsqgls gfls−ρgls !                 , Dls4 =                   qLls,qgls  ∈ R2|0 < qLls< q2glsρflsBglsJls  EAils2 µvls rvls −µvls                  . dimana: rvls= Ptls Pc , µvls= (zlsTls)t (zT )c

(18)

D1ss=         qLss,qgss  ∈ R2|0 < qLss< ρgssBgssJssq 2 gss EAiss 2       , D2ss=                   qLss,qgss  ∈ R2|0 < qLss < qgss (1−F1ss) Vtss Vc 1 gLissρfssPtssρg − 1                  , D3ss=              qLss,qgss  ∈ R2|0 < qLss< AtssPtssqgss gfss−ρgss)  1 − F1ss rvss µvss  µ vss (2−rvss)−  AtssPtssqgss gfss−ρgss)              , Dss4 =                qLss,qgss  ∈ R2|0 < qLss< q2gssρfssBgssJss (EAiss)2 µvss rvss −µvss               . dimana: rvss= Ptss Pc , µvss= (zssTss)t (zT )c

Dls1, Dls2 dan Dss1, D2ss masing-masing menyatakan daerah kestabilan Asheim un-tuk long string dan short string. Dls3, Dls4 dan D3ss, D4ss masing-masing menyatakan daerah kestabilan Alhanati untuk long string dan short string.

4.1

Model Optimasi

Akan dibangun model optimasi sumur dual gas lift yang dikaitkan dengan equal slope. Masalah memaksimumkan produksi minyak pada sumur dual gas lift dapat dituliskan sebagai berikut.

(19)

max ϕ1  qgls + ϕ2ξ qgls  (4.9) dimana, qgss= ξ  qgls  yang memenuhi ϕ01qgls = ϕ 0 2  qgss  . denganqgls,qgss  ∈ D.

Untuk kondisi laju gas injeksi yang sangat sedikit, maka solusi optimum untuk model dual gas lift mungkin jatuh dibawah kurva performansi gas lift. Kondisi ini tidak diharapkan, karena tidak memberikan interpretasi kemampuan produksi sumur gas lift. Pada penelitian ini, laju gas injeksi optimum akan dicari pada daerah kestabilan sepanjang kurva performansi gas lift. Daerah pencarian laju gas injeksi optimum dinyatakan dalam Dqg

Dqg = n qgls,qgss  |q+gls≤ qgls≤ qgtersedia,q + gss ≤ qgss≤ qgtersedia o (4.10)

q+glsdan q+gssadalah nilai laju gas injeksi terkecil sehingga titikq+gls,q+L

ls



danq+gss,q+L

ss

 berada pada kurva performansi gas lift didalam daerah kestabilan.

4.2

Skema Numerik

Untuk suatu nilai qgls dan qgss yang diberikan, nilai ϕ1

 qgls  dan ϕ2  qgss  dapat diperoleh dari solusi persamaan implicit,

Pls  Lls; qgls,qLls  − Pw fls  qLls = 0 (4.11) Pss  Lss; qgss,qLss  − Pw fss qLss = 0 (4.12)

(20)

Dimana Pls



Lls; qgls,qLls



memenuhi masalah nilai awal (4.3), (4.4) dan (4.5). Pss



Lss; qgss,qLss

 memenuhi masalah nilai awal (4.6), (4.7) dan (4.8). Dalam skema numerik, Pls

 Lls; qgls,qLls  dan Pss  Lss; qgss,qLss 

akan dihitung dengan metode Runge-Kutta orde 4. Nilai qLls

dan qLss akan dihitung dengan metode shooting, (prosedur metode shooting dapat

dilihat di lampiran).

Dalam skema numerik, permasalahan optimasi (4.11) dapat dinyatakan sebagai masalah pemaksimuman produksi liquid dari short string dan long string.

max ¯qLls+ ¯qLss (4.13) dengan, ¯ qL ls− ¯qLls= ¯qLss− ¯qLss (4.14) qgls+ qgss≤ qqtersedia (4.15) dan,qgls,qgss  ∈ D(qg).

Nilai ¯qLlsdan ¯qLss diperoleh dengan metode shooting untuk nilai qgls dan qgssyang

berpadanan. Nilai q∗¯L

ls dan

¯ qL

ss diperoleh dengan metode shooting untuk nilai

 qgls+ c



danqgss+ c



yang berpadanan, untuk suatu nilai c yang cukup kecil.

Permasalahan optimasi ini akan diselesaikan dengan menggunakan algoritma genetika. Untuk menyelesaikan permasalahan dengan algoritma genetika diperlukan men-gubah masalah optimasi dengan kendala menjadi masalah optimasi tanpa kendala, dengan menggunakan pendekatan fungsi penalti. Permasalahan pemaksimuman (4.13), (4.14) dan (4.15) dapat dituliskan menjadi masalah peminimuman,

(21)

min f = 1 1+ ¯qLls+ ¯qLss + r1g+ r2h (4.16) dengan, qgls,qgss  ∈ Dqg. g= max0,hqgss+ qgls− qgtersedia i2 . h=qL¯ ls− ¯qLls= ¯qLss− ¯qLss 2 .

r1dan r2merupakan faktor penalti yang nilainya diambil cukup besar. Dalam

algo-ritma genetika, r1dan r2akan dipilih sebagai fungsi yang naik terhadap generasi.

4.3

Algoritma Genetika

Algoritma genetika merupakan metode optimasi dengan menggunakan teknik pen-carian acak berdasarkan mekanisme seleksi alam. Algoritma genetika dapat menye-lesaikan permasalahan optimasi dengan kendala maupun masalah optimasi tanpa kendala. Masalah optimasi dengan kendala terbagi menjadi kendala persamaan (equality constraints) dan atau kendala pertaksamaan (inequality constraints). Algoritma Genetika bekerja pada sekumpulan titik calon solusi optimum yang dise-but sebagai populasi [10],[11]. Setiap titik di dalam populasi disedise-but sebagai in-dividu, dan setiap individu dinyatakan oleh sejumlah bit yang merepresentasikan sifat dan karakteristik dari individu itu sendiri. Dalam thesis ini digunakan string biner untuk menyatakan sejumlah bit tersebut. Untuk suatu populasi akan diproses melalui beberapa iterasi sehingga diperoleh individu terbaik sebagai solusi optimum dari permasalahan yang diberikan.

Ukuran baik atau tidaknya suatu individu dilihat dari nilai fitness-nya, dimana nilai fitness merupakan harga dari suatu individu yang diperoleh dengan cara memetakan

(22)

individu tersebut menjadi suatu fungsi fitness. Individu yang memiliki nilai fitness tertinggi di dalam suatu populasi merupakan individu terbaik.

Secara umum langkah-langkah pada algoritma genetika dijelaskan pada sub bab berikut ini.

4.3.1

Populasi Awal Pada Algoritma Genetika

Pada tahap awal, Algoritma Genetika akan membangkitkan sebanyak N individu, dari bilangan acak, yang disebut sebagai ukuran populasi. N individu ini disebut sebagai populasi awal. Setiap individu dinyatakan oleh sejumlah bit, yang dalam thesis ini direpresentasikan dalam string biner. Namun, sebelum membangkitkan individu-individu tersebut, perlu ditentukan panjang dari string biner yang akan digunakan untuk merepresentasikan masing-masing individu dalam populasi. Panjang string biner dalam algoritma genetika didefinisikan sebagai berikut: Misalkan diberikan suatu permasalahan yang memiliki M variabel x1, x2,..., xM

dengan xi∈ [ai,bi] dan kimerupakan ketelitian angka di belakang koma yang

dike-hendaki untuk variabel ke-i, untuk i= 1,2,..., N.

Misalkan li adalah panjang string biner yang akan ditentukan untuk variabel ke-i,

maka li yang optimal adalah bilangan bulat li terkecil yang memenuhi persamaan

berikut :

1+ (bi− ai) · 10ki≤ 2li.

untuk i= 1,2,..., N.

(23)

string biner untuk setiap variabel: l= N X i=1 li.

Selanjutnya, populasi awal dibangun dengan membangkitkan bilangan acak yaitu bilangan 1 dan 0 sebanyak ukuran populasi dikalikan dengan panjang string satu individu, yaitu N × l. Bilangan acak diperoleh dengan menggunakan fungsi pem-bangkit bilangan acak yang tersedia dalam perangkat lunak komputer.

4.3.2

Fungsi Fitness

Setelah terbentuk populasi awal yang berupa string biner dilanjutkan dengan menghi-tung nilai objektif, f (x) dengan merubah terlebih dahulu dari string biner ke real. Dalam algoritma genetika untuk mengukur tingkat adaptif suatu individu terhadap lingkungannya digunakan fungsi fitness. Fungsi fitness F (x) merupakan hasil trans-formasi dari fungsi objektifnya.

Karena permasalahan yang dihadapi adalah masalah meminimumkan suatu fungsi objektif f maka fungsi fitness F yang digunakan adalah:

F (x)= max( f (x1), f (x2),..., f (xN)) − f (xi).

(24)

4.3.3

Elitis

Elitis merupakan pemilihan individu terbaik dalam populasi pada suatu generasi un-tuk terus memasuki generasi berikutnya. Elitis bertujuan unun-tuk menjamin individu dengan nilai fitness tertinggi untuk tetap bertahan ke tahap lebih lanjut. Biasanya jumlah individu yang dipilih dalam elitis adalah dua individu.

max F (x) .

Dengan F (x)= max( f (x1), f (x2),..., f (xN)) − f (xi).

4.3.4

Reproduksi

Setelah populasi mengalami proses elitis, selanjutnya populasi akan mengalami re-produksi, yang merupakan pemilihan individu dalam populasi secara acak berdasarkan nilai fitness-nya. Semakin tinggi nilai fitness suatu individu berarti semakin besar peluangnya untuk terpilih memasuki tahap selanjutnya, bahkan memungkinkan su-atu individu terpilih lebih dari ssu-atu kali.

Reproduksi yang digunakan dalam Algoritma Genetika Sederhana adalah repro-duksi yang berdasarkan mekanisme roda rolet (roulette wheel). Semakin tinggi nilai fitness suatu individu, semakin besar proporsi areanya di roda rolet. Pemilihan in-dividu dilakukan dengan memutar roda rolet secara acak sebanyak ukuran populasi. Individu yang proporsi areanya ditunjuk oleh pin roda rolet berarti berhak mema-suki tahap selanjutnya. Oleh karena itu, individu yang memiliki proporsi area yang lebih besar memiliki peluang untuk terpilih yang lebih besar pula.

(25)

masing-masing. Setiap individu memiliki peluang seleksi yang besarnya bergantung pada nilai fitness-nya. Selanjutnya, ilustrasi roda rolet dapat digambarkan pada gam-bar(3.2).

Gambar 4.2: Roulette Wheel Langkah-langkah proses reproduksi:

1. Hitung total nilai fitness populasi

Ftotal= N

X

i=1

f (xi),i = 1,2,..., N

2. Hitung peluang seleksi setiap individu

Pi=

F (xi)

Ftotal,i = 1,2,..., N

3. Hitung peluang kumulatif setiap individu:

Qk= k

X

i=1

Pi,k = 1,2,..., N

(26)

sehingga r ≤ Qj, maka individu ke- j merupakan individu yang bertahan ke

tahap selanjutnya

5. Ulangi langkah 4 sampai diperoleh sebanyak N − e individu, e merupakan banyak individu dalam elitis.

4.3.5

Persilangan (Crossover)

Setelah populasi mengalami proses elitis dan reproduksi, selanjutnya di dalam pop-ulasi akan mengalami persilangan, yang merupakan pertukaran substring antara dua individu secara acak sehingga menghasilkan dua individu yang baru. Dalam proses persilangan terdapat peluang persilangan (Pc) yang menentukan apakah di antara

dua individu yang dipilih secara acak tersebut akan mengalami persilangan atau tidak. Metode persilangan yang digunakan dalam thesis ini adalah one point cut, dimana dipilih suatu bilangan acak di antara 1 dan n − 1 sebagai posisi persilangan, dengan n adalah panjang string dari suatu individu.

Misalkan bilangan acak yang diperoleh adalah tiga maka persilangan terjadi pada posisi di antara bit ketiga dan bit keempat. Skema metode one point cut dapat digambarkan sebagai berikut.

Langkah-langkah persilangan:

1. Semua individu dalam populasi dipasangkan dua-dua sehingga terbentukjN2k pasangan ; jN2k = bilangan bulat terbesar yang lebih kecil atau sama dengan

N

(27)

2. Acak bilangan rk antara [0, 1], k= 0,1,...,

jN

2k =; jika rk < Pc maka

pasan-gan ke-k mengalami persilanpasan-gan jika tidak, pasanpasan-gan ke-k tidak mengalami persilangan.

4.3.6

Mutasi

Mutasi adalah proses evolusi terakhir yang dialami oleh populasi setelah mengalami elitis, reproduksi, dan persilangan. Mutasi merupakan perubahan nilai bit individu secara acak dari 1 menjadi 0 dan dari 0 menjadi 1. Dalam proses mutasi juga ter-dapat peluang mutasi (Pm) yang menentukan apakah suatu bit dari individu dalam

populasi mengalami mutasi atau tidak. Langkah-langkah mutasi:

1. Acak bilangan rk ∈ [0, 1], k= 0,1,...,R R merupakan banyak bit dalam

pop-ulasi, yakni ukuran populasi dikalikan dengan panjang satu individu

2. Jika rk< Pmmaka ubah nilai bit ke-k dari 0 menjadi 1 atau dari 1 menjadi 0

Jika tidak maka bit ke -k tidak mengalami mutasi

4.3.7

Uji Penghentian

Terdapat dua pengujian yang dilakukan untuk menentukan kriteria penghentian it-erasi, yakni : Uji kekonvergenan dan uji iterasi.

1. Uji Kekonvergenan

Iterasi akan dihentikan apabila populasi telah mengalami kestabilan. Suatu populasi dikatakan stabil apabila populasi tersebut memenuhi definisi

(28)

kesta-bilan populasi sebagai berikut. Definisi Populasi Stabil(Offersman 1995): Misalkan P suatu populasi yang terdiri dari n individu. l banyaknya gen dari suatu individu. Ai= Ai(1), Ai(2), . . . , Ai(l) kromosom untuk individu ke-i pada

P. Gen Ai dikatakan stabil jika dan hanya jika terdapat lebih dari 90%

indi-vidu dalam populasi dengan Ai(p)= c;c = 1,2,...,n c bernilai 0 atau 1 untuk

suatu p (p= 1,2,...,l). Permutasi dikatakan stabil apabila semua gen dalam P tersebut stabil.

Pada praktiknya, kriteria ini sulit untuk dicapai, terutama bila panjang string yang digunakan cukup besar.

2. Uji Iterasi

Selain kriteria kekonvergenan di atas, suatu iterasi akan mengalami penghen-tian apabila telah mencapai iterasi maksimum yang telah ditentukan sebelum-nya.

4.3.8

Fungsi Penalti

Permasalahan alokasi gas injeksi untuk mendapatkan total produksi maksimum merupakan permasalahan optimisasi dengan kendala. Algoritma genetika akan menyelesaikan permasalahan optimisasi tersebut dengan mengubahnya menjadi fungsi tanpa kendala atau dengan kendala yang sederhana (domain constraints). Kendala ditambahkan pada fungsi objektif melalui parameter penalti apabila terjadi pelang-garan terhadap kendala.

Secara umum, fungsi penalti yang tepat harus memberikan penalti positif untuk titik infeasible dan meniadakan penalti untuk titik feasible. Apabila diberikan suatu masalah optimasi yang disertai kendala seperti berikut:

(29)

hj(X)= 0, untuk i = 1,2...,n.

Maka fungsi penalti P yang sesuai untuk masalah tersebut adalah:

P (X)= m X i=1 φgi(X)+ l X i=1 ϕ[hi(X)]

dengan φ dan ϕ fungsi kontinu yang memenuhi: φ(y) = 0 jika y ≤ 0 dan φ(y) ≥ 0 jika y > 0. ϕ(y) = 0 jika y = 0 dan ϕ(y) > 0 jika y , 0.

Bentuk fungsi yang memenuhi persamaan diatas: φ(y) = max(0,y)q

dan ϕ(y)= |y|q

q merupakan bilangan bulat positif. Oleh karena itu, fungsi penalti P biasanya berbentuk: P (X)= m X i=1 max (0, gi(x))q+ n X i=1 |hi(x)|q

4.4

Penerapan algoritma genetika dalam masalah

op-timasi alokasi gas injeksi dalam sumur dual gas

lift

Prosedur metode algoritma genetik dalam mencari solusi optimum dalam daerah kestabilan bagi permasalahan dual gas lift:

(30)

2. Menentukan banyaknya individu dalam sebuah generasi. 3. Menentukan peluang persilangan (cross over).

4. Menentukan peluang mutasi.

5. Menentukan ketelitian yang diinginkan.

6. Dalam kasus optimasi pada sumur dual gas lift ini dibutuhkan 2 (dua) buah kromosom yang berada pada sebuah populasi. Dimana dua buah kromosom tersebut mewakili qgss,qgls. Daerah pencarian dibatasi pada daerah kestabilan

produksi masing-masing string.

7. Menghitung nilai qL untuk masing-masing tubing dengan metode Shooting

dan Runge-Kutta orde 4 dimana nilai qg diperoleh dari variabel acak pada

nomor 6.

8. Melakukan proses evolusi yaitu menghitung nilai kendala, nilai fungsi objek-tif dan nilai fungsi fitness.

9. Melakukan proses seleksi (elitis dan reproduksi) dan proses evolusi (mutasi dan cross over).

10. Memeriksa kriteria pemberhentian, bila belum terpenuhi kembali ke nomor 7.

Diagram alir penyelesaian optimasi alokasi gas injeksi diilustrasikan pada Gam-bar (4.3). Sedangkan diagram alir mengenai proses optimasi dengan menggunakan algoritma genetika diilustrasikan pada gambar (4.4).

(31)

Gambar 4.3: Diagram alir tesis

Gambar

Gambar 3.1: Sketsa Kurva Performansi Gas Lift
Gambar 3.2: Ilustrasi Daerah Kestabilan Produksi Sumur Dual Gas Lift
Gambar 3.3: Ilustrasi kemiringan kurva performansi gas lift short string dan long string pada daerah kestabilan D 1
Gambar 4.1: Ilustrasi Kurva Performansi Gas Lift untuk Short String dan Long String untuk satu kondisi tertentu
+3

Referensi