• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yusran Baddu, Retno Dyah Puspitarini, Aminuddin Afandhi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Yusran Baddu, Retno Dyah Puspitarini, Aminuddin Afandhi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

51

PATOGENISITAS JAMUR ENTOMO-ACARIPATOGEN Beauveria bassiana

PADA BERBAGAI FASE PERKEMBANGAN TUNGAU TEH KUNING

Polyphagotarsonemus latus Banks (Acari: Tarsonemidae)

Yusran Baddu, Retno Dyah Puspitarini, Aminuddin Afandhi

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jln. Veteran, Malang 65145, Indonesia.

ABSTRACT

Yellow tea mite (YTM) Polyphagotarsonemus latus Banks is the important pest in more than 60 plant families in the world. Information about environmentally friendly control of YTM still limited. One of alternative way to control YTM is using entomo-acaripathogen fungus B. bassiana. The purpose of this study was to examine the sensitive phase of YTM applied by B. bassiana concentrations of 105 and 107 conidia/ml, LT50 values of B. bassiana. Experimental treatments are combination of three phases of YTM (larvae, nymph, and adult) and three concentrations of B. bassiana

(0 as control, 105 and 107 conidia/ml) with seven replications. Larvae, nymph, and adult of YTM on citrus leaves in experimental arena was sprayed with conidial suspension of each fungus B. bassiana concentration 0, 105 dan 107 conidia/ml. The fastest LT50 values was B. bassiana concentration of 107 conidia/ml in larvae (31,44 hours). The mortality percentage of larvae which applied by B. bassiana concentrations of 105 and 107 conidia/ml (73,38% and 100%) is higher than imago (57,14 and 87,14%) and nymph (27,14 dan 47,14%). The percentage of larvae was successfully become nymphs applied by B. bassiana concentration of 107 conidia/ml (0%) lower than larvae was applied by

B. bassiana concentration of 105 condia/ml (26,6%). All nymphs that emerged from larvae can not develop into imago. The percentage of nymphs which successfully become adult were applied by B. bassiana concentration of 10 conidia/ml (52,86%) lower than nymphs were applied by B. bassiana concentration of 10 conidia/ml (72,86%). All adult that emerged from nymphs only survive for two days. Thus, the most effective concentration of B. bassiana at YTM was the concentration of 107 conidia/ml on the larvae.

Keywords: Entomo-acarypatogen, Mortality, LT50 ABSTRAK

Tungau teh kuning (TTK) Polyphagotarsonemus latus Banks merupakan hama penting pada lebih dan 60 famili tanaman di dunia. Salah satu alternatif pengendalian TTK yang ramah lingkungan yaitu penggunaan jamur entomo-acaripatogen B. bassiana. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fase TTK yang peka terhadap aplikasi B. bassiana konsentrasi 105 dan 107 konidia/ml, dan nilai LT50 B. bassiana. Perlakuan percobaan merupakan kombinasi dan tiga fase TTK (larva, nimfa, dan imago) dan tiga konsentrasi jamur B. bassiana (0 sebagai kontrol, 105 dan 107 konidia/ml) dan diulang masing-masing tujuh kali. Masing-masing larva, nimfa, dan imago TTK pada daun jeruk di arena percobaan disemprot dengan konsentrasi 0, 105 dan 107 konidia/ml. Nilai LT50 tercepat adalah jamur B. bassiana konsentrasi 107 konidia/ml pada larva (31,44 jam). Persentase mortalitas larva yang diaplikasi jamur B. bassiana pada konsentrasi 105

(2)

52

dan 107 kondia/ml lebih tinggi (73,38 dan 100%) dibandingkan imago (57,14 dan 87,14%) dan nimfa (27,14 dan 47,14%). Persentase larva yang berhasil menjadi nimfa setelah aplikasi B. bassiana konsentrasi 107 konidia/ml lebih rendah (0%) dibandingkan konsentrasi 105 kondia/ml (26,6%). Semua nimfa yang muncul dan larva tidak ada yang berhasil menjadi imago. Persentase nimfa berhasil menjadi imago setelah aplikasi B. bassiana konsentrasi 107 konidia/ml lebih rendah (52,86%) dibandingkan konsentrasi 105 kondia/ml (72,86%). Semua imago yang muncul dan nimfa hanya bertahan hidup selama dua hari. Dengan demikian, konsentrasi B. bassiana yang paling efektif pada TTK adalah konsentrasi 107 konidia/ml pada fase larva TTK.

Kata kunci: Entomo-acaripatogen, Mortalitas, LT50 PENDAHULUAN

Permasalahan utama penggunaan jamur entomo-acaripatogen Beauveria bassiana Vuill. sebagai pengendali hama adalah jamur membutuhkan waktu yang lama untuk mengakibatkan mortalitas inang. B. bassiana kurang efektif digunakan untuk pengendalian hama yang siklus hidupnya pendek (Indrayani dkk., 2009). Salah satu hama penting yang memiliki siklus hidup singkat yaitu tungau teh kuning (TTK) Polyphagotarsonemus latus Banks (Acari: Tarsonemidae). Siklus hidup TTK dari telur sampai menjadi dewasa lebih kurang lima hari sehingga peningkatan populasi juga semakin cepat. Populasi yang tinggi akan meningkatkan serangan TTK sehingga gejala kerusakan semakin parah (Gerson, 1992; Puspitarini, 2011; Wuryantini, 2014).

Fase TTK yang menyebabkan kerusakan tanaman adalah larva dan imago. Pergerakan larva TTK yang baru keluar dari telur lambat dan berpencartidak jauh dari tempat menetasnya. Tubuh larva lunak dengan lapisan kutikula yangtipis. Pergerakan fase imago TTK lebih cepat dengan lama hidup 7-10 hari.Pergerakan dan lama hidup imago dapat mengakibatkan kerusakan yang parahpada daun (Tukimin, 2012). Berdasarkan perilaku dan biologi fase larva dan imago TTK tersebut maka pengendalian menggunakan jamur B.

bassiana masih memungkinkan untuk diaplikasikan pada TTK.

Penelitian sebelumnya tentang pengaruh konsentrasi terhadap mortalitas inang diketahui bahwa jamur B. bassiana

konsentrasi 106 dan 108 konidia/ml menyebabkan kematian Helopeltis antonii

Sign. (Hemiptera: Miridae) berturut-turut 100 dan 72,0% di laboratorium (Atmajaya dkk., 2010). Aplikasi jamur B. bassiana

pada larva hama penggerek bonggol pisang, diketahui bahwa larva muda lebih rentan terhadap jamur B. bassiana

dibanding fase dewasa (Hasyim dan Harlion, 2002). Meskipun penggunaan jamur B. bassiana efektif pada serangga hama, namun belum banyak informasi aplikasi B. bassiana pada berbagai fase perkembangan TTK. Pengkajian potensi jamur B. bassiana pada TTK dapat dilakukan dengan penggunaan jamur B. bassiana 105 dan 107 dan berbagai fase perkembangan TTK. Informasi tentang konsentrasi yang efektif untuk mengendalikan semua fase perkembangan TTK dapat digunakan sebagai dasar untuk aplikasi di laboratorium. Keberhasilan aplikasi jamur B. bassiana di laboratorium diharapkan dapat membantu petani untukpengendalian hama TTK di lapang.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nematologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas

(3)

53 Pertanian, Universitas Brawijaya, mulai bulan Desember 2013 sampai Februari 2014. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok dengan enam perlakuan yang masing-masing diulang tujuh kali. Masing-masing-masing ulangan menggunakan 10 ekor tungau. Perlakuan percobaan terdiri dari tiga fase TTK yaitu larva, nimfa, dan imago, serta tiga konsentrasi jamur B. bassiana yaitu 0 (sebagai kontrol), 105 dan 107 konidia/ml.

Perbanyakan Jamur Entomopatogen B. bassiana

Perbanyakan jamur B. bassiana

dilakukan dengan dua tahap, yaitu perbanyakan pada media padat potato dextrose agar (PDA) dan media cair ekstrak kentang gula pepton (EKGP). Biakan jamur pada cawan Petri diinkubasi pada suhu 26-29°C dan kelembaban 69-79% selama 14 hari. Jamur B. bassiana

yang sudah diperbanyak pada media PDA kemudian diperbanyak di media cair. Biakan jamur kemudian dishaker selama 48 jam dengan kecepatan 120 rpm. Setelah itu biakan diinkubasi selama enam hari.

Konidia dihitung menggunakan haemocitometer di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 400 kali. Konsentrasi konidia dihitung dengan menggunakan rumus Hadioetomo (1993) sebagai berikut:

C = t

n x 0,25x 10 6

yang C adalah konsentrasi konidia per ml larutan, t adalah jumlah total konidia dalam sampel yang diamati, n adalah jumlah kotak sampel (5 kotak besar x 16 kotak kecil) dan angka 0,25 adalah faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil pada haemocitometer.

Perbanyakan Tungau Teh Kuning Perbanyakan TTK dilakukan dua tahap, yaitu perbanyakan pada tunas jeruk

dan arena percobaan. Perbanyakan TTK dilakukan pada benih jeruk berumur 1 tahun. Perbanyakan dan pemeliharaan TTK juga dilakukan pada arena percobaan untuk mendapatkan umur TTK yang sama.

Masing-masing arena percobaan ditempatkan 10 imago TTK. Pemindahan imago ke arena yang baru dilakukan setiap 24 jam untuk mendapatkan semua fase. Fase TTK yang digunakan adalah fase TTK generasi kedua untuk menghindari mortalitas TTK karena faktor selain perlakuan. Pengamatan imago dilakukan setiap 24 jam. Apabila imago meletakkan telur minimal 10 butir maka imago dipindahkan ke arena yang baru. Telur pada arena sebelumnya dipelihara sampai imago. Telur yang dihasilkan pada hari kedua dipelihara sampai nimfa. Untuk fase larva didapatkan dari telur yang dihasilkan oleh imago pada hari ketiga. Pada hari keenam semua fase TTK sudah tersedia untuk diperlakukan.

Uji Hayati Jamur B. bassiana pada TTK

Pembuatan suspensi konidia B. bassiana dilakukan dengan mengambil masing-masing 10 ml biakan jamur dari media cair konsentrasi 105 dan 107. Suspensi B. bassiana diaplikasikan dengan menggunakan handsprayer pada jarak lebih kurang 20 cm dengan kemiringan 45° dari arena.

Pengamatan dilakukan setiap 24 jam selama delapan hari. Variabel yang diamati adalah mortalitas larva, nimfa dan imago TTK, larva yang berhasil menjadi nimfa, dan nimfa yang berhasil menjadi imago. Kriteria TTK yang mati akibat infeksi jamur B. bassiana adalah tubuh tidak bergerak. Gejala awal warna tubuh

kuning kecoklatan dan tubuh

membengkak. Gejala lanjutnya tubuh berwarna coklat kemerahan dan tubuh mengecil dan kering.

(4)

54

Analisis Data

Data mortalitas, waktu kematian dan persentase yang berhasil menjadi fase selanjutnya dianalisis dengan program SPSS 15.0. Data persentase mortalitas dan larva yang berhasil menjadi nimfa dan nimfa yang berhasil menjadi imago dianalisis dengan analysis of variance

(ANOVA), bila berbeda nyata diuji lanjut dengan Duncan pada taraf nyata 5%. Data waktu kematian larva, nimfa dan imago ditransformasi ke dalam analisis probit sehingga diperoleh nilai LT50.

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai LT50 Jamur B. bassiana pada

berbagai Fase TTK

Berdasarkan hasil analisis statistika bahwa aplikasi B. bassiana 105 dan 107

berpengaruh terhadap nilai LT50 pada fase larva, nimfa dan imago TTK (Gambar 1). Seperti halnya yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa biologi dan perilaku TTK serta konsentrasi jamur B. bassiana

berpengaruh terhadap mortalitas TTK, faktor-faktor tersebut juga berpengaruh terhadap nilai LT50. Nilai LT50 tercepat adalah B. bassiana 107 pada larva TTK. Nilai LT50 B. bassiana 107 pada fase larva (31,44 jam) lebih cepat (42,24 jam) dibandingkan B. bassiana 105 pada fase nimfa (73,68 jam). Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Nugroho dan Ibrahim (2004) bahwa dengan peningkatan konsentrasi B. bassiana sebanyak 10 kali lipat yang diaplikasikan pada TTK di rumah kaca dapat menurunkan nilai LT50 yaitu 42 jam.

Gambar 1. Diagram nilai LT50 jamur B. bassiana pada berbagai fase TTK Tabel 1. Rerata presentase mortalitas TKK yang diaplikasi B. bassiana

Perlakuan Mortalitas (%) Larva+ B. bassiana 0 0,00 a Larva+ B. bassiana 105 73,38 e Larva+ B. bassiana 107 100,00 g Nimfa+ B. bassiana 0 0,00 a Nimfa+ B. bassiana 105 27,14 b Nimfa+ B. bassiana 107 47,14 c Imago+ B. bassiana 0 0,00 a Imago+ B. bassiana 105 57,14 d Imago+ B. bassiana 107 87,14 f

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata pada uji Duncan (=0,05); data ditransformasi menggunakan rumus arcsin √x

(5)

55

Persentase Mortalitas Larva, Nimfa dan Imago Tungau Teh Kuning

Berdasarkan hasil analisis statistika bahwa aplikasi jamur B. bassiana 105 dan 107 berpengaruh terhadap mortalitas larva, nimfa dan imago TTK (Tabel 1). Mortalitas TTK tertinggi terjadi pada fase larva yang diaplikasi B. bassiana 107. Hal ini karena pergerakan larva yang lambat dan lapisan kutikula tipis dan lunak. Kondisi ini akan memudahkan hifa dan konidia jamur untuk melakukan penetrasi tubuh larva sehingga menyebabkan kematian larva. Selain itu, stadia larva selama 2-3 hari memungkinkan konidia

jamur untuk berkecambah dan

menumbuhkan miselia di dalam tubuh larva.

Mortalitas imago TTK lebih rendah dibandingkan dengan fase larva. Pergerakan imago TTK relatif lebih cepat dibandingkan dengan larva, sehingga konidia yang menempel di permukaan tubuh tidak mudah untuk berkecambah dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh imago. Hal ini kemungkinan karena konidia yang menempel di permukaan tubuh imago terlepas. Meskipun demikian, konidia juga bisa menempel pada tungkai imago sehingga bisa menyebakan kematian imago. Selain faktor tersebut di atas, mortalitas imago juga kemungkinan dipengaruhi oleh lama stadia imago TTK. Lama stadia imago adalah 7-10 hari.

Dengan lama stadia tersebut

memungkinkan konidia untuk

menginfeksi tubuh imago.

Mortalitas TTK terendah adalah pada fase nimfa setelah aplikasi B. bassiana 105 dan 107 Rendahnya mortalitas nimfa karena konidia yang

diaplikasikan menempel pada kutikula nimfa. Pada saat nimfa menjadi imago, konidia akan tetap menempel pada kutikula nimfa tersebut, sehingga konidia tidak melakukan penetrasi tubuh nimfa. Selain itu, stadia nimfa yang hanya satu hari tidak memungkinkan konidia jamur berkecambah dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh nimfa dan menyebabkan nimfa tetap hidup. Menurut Soetopo dan Indrayani (2009), konidia jamur B. bassiana membutuhkan minimal dua hari untuk berkecambah dan membentuk miselia di dalam tubuh inang.

Persentase TTK yang Berhasil Menjadi Fase Selanjutnya

Berdasarkan hasil analisis statistika bahwa aplikasi B. bassiana 105 dan 107 berpengaruh terhadap fase larva yang berhasil menjadi fase nimfa. Semua larva berhasil menjadi nimfa pada perlakuan kontrol (Tabel 2). Tidak ada larva yang berhasil menjadi nimfa setelah diaplikasi

B. bassiana 107. Hal ini tampaknya karena konidia yang melakukan penetrasi menyebabkan kerusakan dan kematian larva. Sementara itu, persentase larva yang berhasil menjadi nimfa setelah aplikasi B. bassiana 105 adalah 26,62. Hal ini karena konsentrasi yang diaplikasi lebih rendah dan rendah pula konidia yang melakukan penetrasi tubuh larva, sehingga larva masih mampu menjadi fase nimfa. Meskipun masih ada larva yang berhasil menjadi nimfa akan tetapi nimfa tersebut mati setelah satu hari. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh konidia yang sudah masuk ke dalam tubuh larva dan memproduksi racun sehingga mempengaruhi perkembangan nimfa dan menyebabkan kematian nimfa. Menurut

(6)

56 Matsumura (1975), racun yang telah masuk mengganggu sistem saraf maupun metabolisme tubuh sehingga akan mempengaruhi fisiologis maupun morfologis dari tubuh inang.

Berdasarkan analisis statistika bahwa konsentrasi konidia jamur B. bassiana berpengaruh pada nimfa yang berhasil menjadi imago TTK (Tabel 3). Hal ini diduga semakin tinggi jumlah konidia B. bassiana yang menempel maka racun yang dihasilkan semakin besar. Racun yang dihasilkan B. bassiana dapat

menurunkan perkembangan dan

pertumbuhan nimfa menjadi imago. Imago yang muncul dari nimfa yang diaplikasi dengan B. bassiana semuanya mati. Hal ini tampaknya karena konidia yang ikut termakan bersama dengan daun

merusak saluran pencernaan imago. Selain merusak saluran pencernaan, racun yang dihasilkan oleh jamur akan merusak seluruh tubuh sehingga mengakibatkan kematian imago. Menurut Matsumura (1975) jamur B. bassiana menghasilkan toksin beauvericin, beauverolit, bassianolit, isorolit dan asam oksalit. Toksin ini dalam mekanisme kerjanya akan menyebabkan terjadinya kenaikan pH hemolimfa, penggumpalan hemolimfa dan terhentinya peredaran hemolimfa.

Pengaruh infeksi jamur

entomoacaripatogen tidak hanya bersifat mematikan tetapi juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta menurunkan kemampuan reproduksi inang.

Tabel 2. Rerata persentase larva yang berhasil menjadi nimfa yang diaplikasi B. bassiana

Konsentrasi (konidia/ml) Larfa berhasil menjadi nimfa (%)

0 100,00 e

105 26,62 b

107 0,00 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berarti berbeda nyata pada uji Duncan (=0,05); data ditransformasi menggunakan rumus arcsin √x; semakin kecil nilainya maka aplikasi B. bassiana semakin efektif

Tabel 3. Rerata persentase nimfa yang berhasil menjadi imago yang diaplikasi B. bassiana

Konsentrasi (konidia/ml) Nimfa berhasil menjadi imago (%)

0 100,00 c

105 72,862 b

107 52,86 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berarti berbeda nyata pada uji Duncan (=0,05); data ditransformasi menggunakan rumus arcsin √x; semakin kecil nilainya maka aplikasi B. bassiana semakin efektif

(7)

57

Gambar 2. Tubuh imago TTK yang terinfeksi B. bassiana a: gejala awal berwarna kuning kecoklatan, b: gejala lanjut berwarna coklat kemerahan.

Gejala Infeksi B. bassiana pada TTK

Pada fase larva tidak ditemukan adanya hifa yang tumbuh pada tubuh tungau. Gejala yang terlihat adalah perubahan warna tubuh dan ukuran tubuh TTK. Gejala awal TTK yang terinfeksi B. bassiana adalah warna tubuh kuning kecoklatan. Sedangkan gejala lanjutnya adalah tubuh TTK berwarna coklat kemerahan (Gambar 2). Selain perubahan warna, tubuh TTK juga mengalami pembengkakan. Setelah pengamatan ke delapan tubuh mengecil dan kering. Pada fase nimfa, tanda bahwa tungau sudah mati yaitu tungau tidak berhasil menjadi imago. Karena umur dari nimfa sangat singkat yaitu hanya 1-2 dua hari maka nimfa yang sudah tidak menetas pada hari kedua setelah aplikasi dianggap mati. Imago yang muncul dari nimfa mati pada hari kedua.

KESIMPULAN

Nilai LT50 tercepat adalah jamur B.bassiana konsentrasi 107 konidia/ml pada larva yaitu 31,44 jam. Mortalitas tertinggi adalah larva yang diaplikasi jamur B. bassiana pada konsentrasi 107 kondia/ml yaitu sebesar 100%. Persentase larva berhasil menjadi nimfa terendah adalah larva yang diaplikasi B. bassiana

konsentrasi 107 konidia/ml yaitu 0%. Persentase nimfa berhasil menjadi imago

terendah adalah nimfa yang diaplikasi B. bassiana konsentrasi 107 konidia/ml yaitu 52,86%.

DAFTAR PUSTAKA

Atmajaya, W.R., T.R. Wahyono, dan A. Dhalimi. 2010. Aplikasi Beberapa Strain Beauveria bassiana

terhadap Helopeltis antonii Sign pada Bibit Jambu Mete. Bul. Littro 21(1): 37-42.

Gerson, U. 1992. Biology and Control of

the Broad Mite,

Polyphagotarsonemus latus

(Banks) (Acari: Tarsonemidae). Exp. & App. Acar. 13:163-178. Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi

Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT. Gramedia. Jakarta.

Hasyim, A. dan Harlion. 2002. Patogenisitas Isolat Beauveria bassiana Bals. Dalam Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang Cosmopolites sordidus Germar di Sumatera Barat. Indonesia. Farming 1(1):53-57.

Indrayani, I.G.A.A., H. Prabowo, dan D. Soetopo. 2009. Pengaruh Infeksi Beberapa Strain Jamur Beauveria bassiana dan Patogenisitasnya terhadap Ulat Buah Kapas

(8)

58

Helicoperva armigera. Balittas.doc.

Matsumura, F. 1975. Toxicology of Insecticides. Edisi ke 2. New York: Plenum Press. 446 hlm. Nugroho, I., and Y.B. Ibrahim. 2004.

Laboratory Bioassay of Some Entomopathogenic Fungi Against Broad Mite (Polyphagotarsonemus latus). Int. J. of Agri. & Bio 6(2): 223-225.

Puspitarini, R.D. 2011. Tungau Fitofag Pertanian dan Perkebunan di Indonesia. Penerbit Selaras.

Soetopo, D., dan I.G.A.A. Indrayani. 2009. Jamur Entomo-acaripatogen

Beauveria bassiana: Potensi dan Prospeknya dalam Pengendalian Hama Tungau. J. Persp. 8(2): 65-73.

Tukimin, S.W. 2012. Bioekologi dan Pengedalian Tungau Kuning

Polypahotarsonemus latus (Banks) dengan Pestisida Nabati pada Tanaman Wijen. J. Persp. 11(1): 6978.

Wuryantini, S. 2014. Biologi dan Serangan Tungau Perak Jeruk

Polyphagotarsonemus latus

(Banks) (Acari: Tarsonemidae) pada Tanaman Jeruk. Tesis. Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

Gambar

Gambar 1. Diagram nilai LT 50  jamur B. bassiana pada berbagai fase TTK
Tabel  2.  Rerata  persentase  larva  yang  berhasil  menjadi  nimfa  yang  diaplikasi  B
Gambar 2.  Tubuh imago TTK yang terinfeksi B. bassiana a: gejala awal berwarna  kuning   kecoklatan, b: gejala lanjut berwarna coklat kemerahan

Referensi

Dokumen terkait

Suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai fitnah apabila memenuhi syarat-syarat berikut: (1) mengandung tuduhan; (2) menjelekkan orang lain; (3) arah tuduhannya

Pada tahun 173 ditemukan lapangan minyak -asim di Irian !aya di daerah yang telah ditinggalkan oleh 4.4.(.P.M., yang kemudian ternyata merupakan sumur dengan

231 Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan, telp.

Output model Jaringan Syaraf Tiruan pada posisi koordinat pengukuran titik ke 1 sampai titik ke 77, dan intensitas bunyi hasil pengukuran pada titik ke-k

dorsalis yang terperangkap pada perangkap Steiner yang berisi atraktan ekstrak daun selasih ungu 20%, rata-rata 0,0 ekor, konsentrasi 40% 0,4 ekor, konsentrasi 60%

Evaluasi pembelajaran di PKBM Citra Pakuan Bogor dapat dikatakan sebagai langkah penting dan yang paling utama dalam manajemen program pembelajaran PKBM dan perlu

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan fasies Gunungapi Merapi yang terletak di DAS Bedog Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan bahaya gunungapi yang