• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir Senin, 15 Juni :57 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 16 September :07

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir Senin, 15 Juni :57 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 16 September :07"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Tepat pada umur 40 tahun, Muhammad bin Abdullah, suami dari Siti Khadijah, menerima tugas kenabian yang harus disampaikan ke seluruh umat manusia. Tugas yang tentu saja tidak mudah, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri pada awalnya sempat ragu, apakah benar yang diterima adalah wahyu, dan apakah juga merupakan pengangkatan sebagai Nabi (yang menerima wahyu) dan Rasul (yang diutus

menyampaikan misi). Tetapi sang pendamping Siti Khadijah, yang teguh hati, menenangkan, menentramkan, menguatkan dan memastikan bahwa yang diterima benar wahyu dan baginda benar-benar diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Kita membaca salah satu dialog yang terjadi antara Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah RA, pada awal penerimaan wahyu. Nabi Muhammad SAW pernah berkeluh kesah dan berkata pada Khadijah RA: “Wahai Khadijah, tidak ada sesuatu yang paling aku benci kecuali berhala dan para peramal itu, aku khawatir aku akan diangkat

menjadi peramal”. “Tidak”, kata Khadijah. “Demi Allah, Dia tidak akan

menghinamu, karena kamu adalah orang yang baik terhadap keluarga, suka menjamu tamu, berani mengambil tanggung jawab besar, memberi orang yang kekurangan, dan membantu orang-orang kesusahan. Kamu memiliki banyak sifat-sifat yang baik, yang dengan itu, kamu sama sekali tidak akan didatangi setan”, sambung Khadijah. (Amin Duwaidar, Shuwarun min Hayat ar-Rasul, hal. 123). (Teks hadis diriwayatkan Imam Bukhari, lihat pada Kitab Nikâh, bab Man Qâla Lâ Nikâha illâ bi-Waliyyin). Pada kesempatan lain, Siti Khadijah memastikan dan meyakinkan: “Tenanglah wahai anak pamanku, dan tabahlah. Demi Dzat yang menguasai Khadijah, aku yakin kamu terpilih menjadi Nabi bagi umat ini”. (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, I/191). Khadijah RA pun kemudian menenangkan Nabi SAW, dengan membawa beliau bertemu Pendeta Waraqah bin Nawfal, yang bisa meyakinkan bahwa yang ditemui Nabi SAW adalah benar Malaikat Jibril seperti yang juga datang kepada Nabi Musa AS.

Kekhawatiran Nabi ini mungkin muncul karena kebesaran misi kenabian yang harus diemban. Misi untuk melakukan perubahan besar pada kehidupan manusia, yang dalam bahasa al-Qur’an dilukiskan sebagai misi ‘yukhrijuhum min azh-zhulumât ilâ an-nûr’ atau mengeluarkan manusia dari kehidupan yang penuh kegelapan menuju kehidupan yang penuh cahaya. Dari kegelapan kemusyrikkan dan kezaliman, menuju cahaya ketauhidan dan keadilan. Dari kegelapan karena kerusakan dan kekerasan, menuju cahaya kebaikan dan kasih sayang.

“Alif Lâm Râ, (ini) adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu, agar kamu (dapat) mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dengan izin Tuhanmu, yaitu ke jalan (Tuhan) Yang Maha Agung dan Amat Terpuji”. (QS. Ibrahim, 14: 1).

Lebih tegas lagi, misi kenabian itu dilukiskan al-Qur’an surat al-A’râf ayat ke-157:

(2)

namanya tertulis dalam Kitab Taurat dan Injil, (misinya) menyeru mereka pada kebaikan, melarang kemungkaran, menghalalkan sesuatu yang baik bagi mereka, mengharamkan mereka (mengkonsumsi) sesuatu yang kotor, melepaskan mereka dari beban berat dan belenggu-belenggu yang (menggelayuti) mereka”. (QS. Al-A’râf, 7: 157).

Ini tentu saja, bukan misi yang ringan dan mudah. Hanya karena taufiq dan ma’unah (pertolongan) dari Allah SWT, serta keteguhan hati dan kekuatan moralitas Nabi SAW, yang membuat misi itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, 23 tahun. Tidak heran, sehingga saat sebelum Nabi SAW wafat, turunlah ayat “al-yawma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa radhitu lakum al-islâma dînan” (Pada hari ini, telah Aku lengkapkan agamamu, dan Aku sempurnakan nikmatku kepadamu, dan Aku rela Islam sebagai agamamu). Tentu saja, kesempurnaan yang dimaksud adalah dalam hal prinsip untuk menegaskan ketauhidan dan keadilan, serta menegasikan kemusyrikan dan

kezaliman. Karena dalam tataran praktis, ayat ‘kesempurnaan’ ini bukan ayat terakhir. Masih ada jeda waktu enam bulan paska turunnya ayat ini. Di mana Nabi SAW - pun, masih menerima wahyu ayat-ayat al-Qur’an. Di samping kesempurnaan al-Qur’an juga masih harus dijelaskan dengan teks-teks hadis, ijma’, qiyas, kajian bahasa dan pendekatan-pendekatan ijtihad yang lain.

Misi Kenabian dalam Teks Hadis

Jika bicara misi kenabian dalam teks hadis, hampir ingatan orang tertuju pada

sebuah hadis yang sangat terkenal: “Bu’itstu li-utammima makârim al-akhlâq” (Bahwa aku diutus (ke dunia ini), untuk menyempurnakan (misi) akhlaq mulia). Tetapi tidak semua orang tahu persis makna akhlak yang dimaksud. Hampir kebanyakan orang memaknai akhlak hanya sebatas sopan santun, adab, dan tata krama. Atau memaknai dengan cara makan, cara berpakaian, cara berjalan, atau berbicara.

Padahal, akhlaq lebih dasar dari itu. Dalam kamus Lisân al-‘Arab, kata akhlaq berasal dari al-khuluq, yang masih satu dasar dengan al-khalq. Akhlaq berarti

sesuatu yang alami dan melekat dalam kepribadian seseorang (as-sajiyyah). Kalau al-khalq berarti penciptaan yang bersifat fisik pada diri seseorang, maka al-khuluq adalah penciptaan (yang melekat) yang bersifat non-fisik pada seseorang. Secara lebih sederhana, akhlaq bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang melekat pada setiap orang secara mendasar. Akhlaq baik, ketika membuat seseorang yang memilikinya terhormat sebagai manusia. Sedangkan akhlaq buruk, ketika sebaliknya hanya menistakan orang sekitar dan membuat dirinya tidak lagi terhormat sebagai manusia. Redaksi hadis di atas, yang lebih tepat, seperti dituturkan Ibn al-Atsir dalam Jâmi’ al-Ushûl adalah sebagai berikut:

(3)

Dari Malik bin Anas ra, disampaikan kepadanya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik/bu’itstu li utammima husn al-akhlâq”. (Riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa`, lihat; Ibn al-Atsîr, Jâmi’ al-Ushûl, jilid IV, hal. 413, no. hadis: 1974). Kebaikan akhlaq adalah misi utama kenabian yang diemban Rasulullah SAW.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai akhlaq yang baik; posisi dan definisinya dalam Islam, kita bisa lebih lanjut membaca seluruh teks hadis yang dihadirkan Ibn al-Atsîr dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl tersebut.

Akhlaq baik adalah pangkal kebaikan dan pahala (al-birr), sebaliknya akhlaq buruk adalah pangkal kejahatan dan dosa (al-itsm). Sahabat Nawas bin Sam’an pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai kebaikan (al-birr) dan dosa (al-itsm). Nabi Saw menjawab: “Perbuatan al-birr adalah akhlaq yang baik, dan perbuatan dosa adalah sesuatu yang di dadamu terasa ragu dan karenanya kamu tidak suka dilihat orang lain”. (Riwayat Muslim dan Turmudzi, Ibid, jilid IV, hal. 416, no. hadis: 1980).

Akhlaq baik merupakan wasiat Nabi SAW yang paling akhir sekali disampaikan terhadap Mu’adz bin Jabal RA. (lihat: Ibid, no. hadis: 1973). Juga, sebagai sesuatu yang paling memberatkan timbangan amal, kelak di hari kiamat. Sahabat Abu Darda RA., mendengar dari Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa tidak ada sesuatu yang paling memberatkan timbangan seorang mukmin di hari kiamat, kecuali akhlaq yang baik. Dan Allah membenci orang yang buruk perangai, kotor perilaku dan kasar”. “Bahwa orang yang berakhlaq mulia, bisa sederajat dengan mereka yang tekun berpuasa dan shalat”. (lihat: Ibid, no. hadis: 1976).

Dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang aku cintai, paling dekat denganku kelak di hari kiamat, adalah mereka yang berakhlaq baik. Dan orang yang paling aku benci dan kelak paling jauh denganku di hari kiamat, adalah mereka yang keras, kasar, dan sombong”. (Lihta: Ibid, no. hadis: 1979).

Dengan demikian, misi kenabian bagi kemanusiaan adalah bagaimana menciptakan kehidupan yang penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, kekasaran dan

kesombongan. Dalam salah satu teks hadis lain, lebih tegas disebutkan:

“Sesungguhnya, aku hanyalah diutus untuk menebar kasih sayang, dan tidak untuk pelaknatan”. (Riwayat Imam Muslim, lihat: Ibid, jilid XI, hal. 324, no. hadis: 8401).

Akhlaq dan Misi Keadilan bagi Perempuan

(4)

akhlaq terhadap perempuan (istri), sebagai implementasi dari misi kenabian untuk menebar akhlaq mulia. Pertama, yang diriwayatkan Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya, orang yang paling sempurna keimanannya, adalah orang yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling ramah terhadap istrinya”. (lihat: Ibid, jilid IV, hal. 414, no. hadis: 1976). Kedua, yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang beriman yang paling sempurna, adalah mereka yang paling baik berakhlaq, dan orang yang paling baik (dari semua itu), adalah mereka yang paling baik terhadap istrinya”. (lihat: Ibid, no. hadis 1977). Berbuat baik terhadap perempuan, atau istri, adalah dengan menempatkan mereka sebagai manusia yang sederajat, yang memiliki hak, perasaan, dan harapan sebagai manusia. Memberikan peluang dan kesempatan yang cukup, agar mereka menjadi manusia terhormat, sehingga tidak dijadikan sebagai obyek kekerasan dan pelecehan oleh individu maupun sistem sosial. Ketika mereka melakukan tuntutan keadilan, maka semua sistem harus memberikan peluang agar tuntutan itu bisa dipenuhi. Banyak peristiwa dalam teks-teks hadis, yang mendiskripsikan kepada kita, bagaimana perempuan melakukan tuntutan atas tindakan-tindakan yang menimpa diri mereka. Termasuk yang dilakukan para suami mereka, atau keluarga mereka. Mereka tidak segan datang kepada Nabi SAW, menceritakan dan melaporkan, bahkan

melakukan tuntutan.

Adalah Khansa bint Khidam RA, yang datang ke Rasulullah SAW melaporkan tindakan ayahnya yang menikahkan dirinya dengan orang yang tidak ia cintai. Nabi SAW kemudian menyatakan kepada Khansa RA: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir RA. Dari perkawinan ini ia

dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: az-Zayla’i, Nashb ar-Râyah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, , juz III, hal. 237).

Hampir semua pengkaji Islam mendengar hadis khulu’. Yaitu, kisah perempuan yang sudah tidak bisa lagi hidup dengan suaminya, sekalipun suaminya baik dan taat beragama. Kemudian Nabi SAW memberi pilihan itu (khulu’) kepada perempuan, dengan syarat ia mengembalikan mahar yang diberikan oleh sang suami. Dan Nabi pun tidak melecehkan perempuan, tidak juga menganggap sebagai perempuan tak berbakti, atau menyalahkan karena melaporkan keadaan rumah tangga yang seharusnya (secara umum) ditutup rapat-rapat.

Adalah Jamilah RA, istri Tsabit bin Qays RA, yang bertandang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasul, aku tidak merendahkan akhlaq dan ketakwaan suamiku, tetapi aku tidak ingin melakukan kekufuran (karena serumah dengannya)”. Nabi SAW lalu bertanya: “Kamu mau mengembalikan kebun yang ia berikan

kepadamu?. “Ya, aku mau”, kata Jamilah. Lalu Nabi SAW berkata kepada suaminya, Tsabit bin Qays RA, “Terimalah kebun itu, dan ceraikan dia”. (Riwayat

al-Bukhari, lihat: Subulussalam, III/166).

(5)

bahwa ada seorang perempuan yang melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya terhadap dirinya. Nabi SAW mendengar laporan itu, menerima dan bermaksud membalaskan untuknya, tetapi ayat al-Qur’an berbicara lain. Pada akhirnya, Nabi SAW tetap membela si perempuan dan menyatakan untuk tidak memukul perempuan. Dalam suatu teks hadis, bahkan disebutkan bahwa mereka yang masih suka memukul perempuan adalah bukan orang-orang yang baik. (Lihat: Jâmi’ al-Ushûl, juz VII, hal. 330, no. hadis: 4719).

Pelajaran yang bisa dipetik di sini, bahwa misi utama kenabian adalah ketauhidan dan keadilan. Untuk konteks kemanusiaan, misi kenabian adalah menghidupkan akhlaq mulia. Karenanya, siapapun, laki-laki atau perempuan berkewajiban menegakkan akhlaq mulia, dengan memuliakan, menghormati dan berbuat baik terhadap semua manusia, bahkan kepada seluruh makhluk di muka bumi ini. Pada saat yang sama, setiap orang berhak untuk menuntut keadilan. Terutama ketika mereka menjadi korban kekerasan, baik dari individu maupun dari sistim sosial yang tidak bersahabat. Tuntutan ini tentu saja, agar setiap orang di muka bumi menjadi orang yang terhormat, bertanggung jawab, memiliki hak dan kewajiban

secara manusiawi dan terbebas dari segala bentuk kezaliman dan penistaan. Wallahu a’lam bi ash-shawâb.]

Referensi

Dokumen terkait

dimaksudkan disini adalah pembangunan dari segala bidang.Untuk menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas dibuat Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang

Berkaitan dengan penegak hukum, dirasakan bahwa jumlah Polisi Lalu Lintas (Polantas) yang berada dibawah naungan Polres Kota Pekanbaru jauh dari angka ideal

Tegasnya, Syaykh Abd Aziz bin Abd Salam telah memberi suatu sumbangan yang besar terhadap metodologi pentafsiran kepada pengajian tafsir di Malaysia.. Sumbangan

Untuk penilaian pengetahuan Ananda sudah melakukan dengan cara mengisi lembar kerja yaitu LK.2.1 dalam aktivitas 3 yang dilakukan dalam pembelajaran. Sebagai acuan

PPKA Bodogol atau yang dikenal dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol adalah sebuah lembaga konservasi alam di daerah Lido Sukabumi dan masih merupakan bagian dari

Penelitian ini diharapkan bagi pihak atau intansi lain terkait dalam hal ini Minimarket Rita Jaya Tegal, agar penelitian yang dilakukan ini dapat memberikan manfaat berupa

Berdasarkan paparan hasil penelitian mengenai pengguna jasa, dapat diketahui bahwa perilaku masyarakat Kota Semarang yang mendukung pelaksanaan tugas Bidang

dan n %u %u&u &u. ;ntu& itu< &ami menghara,&an &e&urangan dan masih !auh dari &esem,urnaan.. #alah satu su% sistem &esehatan nasional