PENDAHULUAN
Tingkat pencemaran lingkungan perairan dan tanah kini makin tinggi dan kompleks. Pencemaran ini diakibatkan masih maraknya penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya di tengah-tengah masyarakat maupun industri, serta belum baiknya sistem pengelolaan terhadap limbah yang dihasilkan.
Salah satu bahan kimia yang memberikan kontribusi cukup besar sebagai sumber pencemaran adalah pestisida dan detergen. Hal ini karena pestisida dan detergen masih cukup berperan dalam kehidupan masyarakat, baik dalam tingkat rumah tangga maupun dalam sektor industri dan terutama sektor pertanian.
Di tingkat rumah tangga pestisida
dimanfaatkan sebagai pembunuh serangga dan sebagainya, sedangkan dalam sektor pertanian, pestisida masih belum bisa dilepaskan sebagai salah satu upaya peningkatan produksi pertanian yang cukup andal. Demikian halnya dengan detergen, penggunaannya sebagai pembersih pakaian dan peralatan rumah tangga masih menjadi pilihan utama masyarakat.
Di antara senyawa penyusun pestisida, organoklorin merupakan salah satu senyawa penyusun pestisida yang cukup banyak digunakan. Beberapa senyawa organoklorin seperti para-diklorobenzena, klorofenol, asam
2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), DDT,
dikofol, heptaklor, endosulfan, klordan, dan
mireks telah lama digunakan sebagai
insektisida yang cukup ampuh dan efektif. Sayangnya senyawa organoklorin ini, terutama yang tergolong sebagai Persistent Organic
Pollutant (POP), memberikan efek buruk
terhadap lingkungan karena sifatnya yang toksik, persisten, dan dapat terakumulasi. Isnawati dan Mutiatikum (2005) menemukan adanya residu pestisida organoklorin α-endosulfon dan β-α-endosulfon dalam daging sapi yang berasal dari Bandung. Selain itu, KLH (2005) juga telah menemukan adanya residu heptaklor, dieldrin, serta pp’-DDT dan turunannya di beberapa sungai di Indonesia.
Surfaktan banyak digunakan dalam
berbagai industri seperti industri sabun, detergen, produk kosmetik, cat dan pelapis, industri perminyakan, dan lain sebagainya,
oleh karena kemampuannya dalam
menurunkan tegangan permukaan dan antar muka serta meningkatkan stabilitas emulsi. Beragamnya pemanfaatan surfaktan ini, selain memberikan dampak positif juga memberikan
dampak negatif terutama terhadap lingkungan, akibat limbah yang dihasilkan. Limbah surfaktan atau detergen dapat mengganggu keberlangsungan organisme dalam ekosistem perairan dan akan sangat berbahaya jika mencemari air yang dimanfaatkan oleh manusia. Limbah detergen dengan kandungan fosfat tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi di badan air sehingga kandungan oksigen akan berkurang akibat
pertumbuhan algae (fitoplankton) yang
berlebihan. Sebaliknya detergen dengan
kandungan fosfat rendah beresiko
menyebabkan iritasi pada kulit.
Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut, salah satunya adalah dengan teknik remediasi. Remediasi adalah proses degradasi senyawa organik dan senyawa kimia lainnya yang bersifat toksik menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dari senyawa semula. Salah satu teknologi remediasi yang cukup menarik perhatian dan telah dipelajari selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini adalah
penggunaan nanopartikel besi untuk
menghilangkan kontaminan lingkungan.
Menurut Zhang (2003), nanopartikel besi
dapat mengubah kontaminan-kontaminan
lingkungan seperti kelompok senyawa
benzena terklorinasi, pestisida organoklorin, pewarna organik, dan lain-lain. Sementara Liu (2006) melaporkan Fe valensi nol dapat memecah karbon tetraklorida menjadi metana,
karbonmonoksida atau format. Dalam
penelitian ini telah disintesis partikel Fe valensi nol dan diamati kemampuannya dalam
mendegradasi pestisida organoklorin
heksaklorobenzena dan heksakloroetana, serta
surfaktan dodesilbenzenasulfonat (DBS)
dengan mengukur kinetika reaksi yang meliputi orde reaksi dan tetapan laju reaksi (k).
TINJAUAN PUSTAKA
Nanopartikel Besi
Secara umum, nanopartikel adalah partikel yang berukuran lebih kecil dari 100 nm dan
mengandung 20 sampai 15.000 atom.
Pemanfaatan nanopartikel telah dilakukan secara luas antara lain dalam bidang farmasi, elektronik, kosmetik, dan terutama dalam bidang lingkungan.
Logam atau besi valensi nol (Fe0) adalah reagen pereduksi yang cukup baik yang dapat
bereaksi dengan oksigen terlarut (DO) dan beberapa lainnya dengan air (Zhang 2003). 2Fe0(s) +4H+(aq) + O2(aq) → 2Fe2+(aq) + 2H2O(l)
Fe0(s) + 2H2O(aq) → Fe2+(aq) + H2(g) + 2OH-(aq)
Umumnya, nanopartikel besi dapat disiapkan dengan menggunakan natrium borohidrida sebagai reduktan kunci. Sebagai contoh, NaBH4 (0.2 M) ditambahkan ke dalam larutan
FeCl3·6H2O (0.05 M) (1:1 rasio volume). Besi
feri direduksi oleh borohidrida dengan reaksi berikut:
4Fe3+(aq) + 3BH4-(aq)+ 9H2O(aq) →
4Fe0(s)↓ + 3H2BO3
-(aq) + 12H +
(aq) + 6H2(g)
Dalam reaksi tersebut, borohidrida yang
berlebih biasanya diperlukan untuk
mempercepat reaksi sintesis dan memastikan pertumbuhan kristal besi yang seragam.
Pemanfaatan nanopartikel besi telah
dipelajari selama kurang lebih satu dekade terakhir. Nanopartikel besi menunjukkan suatu generasi baru dari teknologi remediasi lingkungan yang dapat memberikan solusi
efektif terhadap masalah pembersihan
lingkungan. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa nanopartikel besi sangat efektif untuk transformasi dan detoksifikasi berbagai kontaminan dalam lingkungan seperti
pelarut organik terklorinasi, pestisida
organoklorin, dan PCB (Zhang 2003).
Pestisida Organoklorin
Pestisida merupakan zat yang digunakan untuk mengendalikan dan mencegah dari gangguan organisme pengganggu atau hama. Ada beberapa jenis bahan aktif yang
terkandung di dalam pestisida seperti
organofosfat, karbamat, organoklorin, dan
lain-lain. Beberapa bahan aktif dalam
pestisida, terutama mereka yang tergolong dalam senyawa POP, memiliki sifat toksik dan persisten di lingkungan sehingga dapat membahayakan, baik bagi lingkungan itu sendiri maupun bagi manusia. POP merupakan senyawa organik yang resisten terhadap degradasi lingkungan melalui proses kimiawi, biologis, dan fotolitik. Oleh karena itu, mereka tahan di dalam lingkungan, dapat mengalami bioakumulasi pada manusia dan jaringan hewan, serta masuk ke dalam rantai makanan. Beberapa senyawa yang tergolong ke dalam POP adalah aldrin, klordan, DDT, dieldrin, endrin, heptaklor, heksaklorobenzena, mireks, PCB, polikloro dibenzo-p-dioksin, polikloro dibenzofuran, dan toksafen.
Pemanfaatan senyawa organoklorin
sebagai pestisida telah lama dilakukan, yaitu sejak ditemukannya DDT pada tahun 1939
sebagai pengendali nyamuk pembawa
penyakit malaria. Organoklorin merupakan insektisida organik komersial pertama yang dikembangkan. Beberapa contohnya adalah DDT, aldrin, klordan, dieldrin, lindan, dan heptaklor. Umumnya, DDT dan organoklorin
lainnya merupakan insektisida persisten
dengan spektrum yang luas. Residu mereka tahan di dalam lingkungan untuk waktu yang lama, mulai dari jangka waktu beberapa bulan hingga tahunan (Yu 2005).
Heksaklorobenzena
Heksaklorobenzena (HCB) merupakan
padatan kristal putih yang memiliki bobot molekul 284.78 g/mol dan rumus molekul C6Cl6. HCB tidak larut dalam air, sedikit larut
dalam etanol, larut dalam etil eter, dan sangat larut dalam benzena. Kelarutannya dalam air (pada 25°C) hanya sebesar 0.006 mg/L. HCB memiliki titik didih 325°C dan titik lebur 231°C (ATSDR 2002). Struktur molekul HCB disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur molekul senyawa HCB (ATSDR 2002).
Pada dasarnya saat ini HCB tidak diproduksi sebagai produk akhir komersial. HCB biasanya dihasilkan sebagai produk samping atau pengotor dalam pembuatan
beberapa pelarut organik (contoh:
tetrakloroetilen, trikloroetilen, dan karbon tetraklorida), senyawa terklorinasi lainnya (contoh: vinil klorida), beberapa pestisida
(contoh: pentakloronitrobenzena,
tetrakloroisoftalonitril, asam
4-amino-3,5,6-trikloropikolinat, pentaklorofenol, dan
dimetiltetraklorotereftalat), dan juga
merupakan produk samping dalam pembuatan atrazin, propazin, simazin, dan mireks. Namun, untuk keperluan laboratorium, HCB dapat dibuat dengan mereaksikan benzena dengan klorin berlebih dan feri klorida pada suhu 150-200°C (ATSDR 2002).
Saat ini HCB tidak dimanfaatkan secara
komersial sebagai produk akhir.
Bagaimanapun juga, HCB telah digunakan sebagai fungisida pada bibit bawang, sorgum, gandum, dan tumbuhan biji-bijian lain hingga
tahun 1984. HCB juga digunakan dalam
produksi bahan peledak untuk militer,
produksi karet sintetik, sebagai pengontrol porositas dalam pembuatan elektroda, zat kimia antara pada manufaktur zat pewarna, dan pengawet kayu (ATSDR 2002).
HCB yang terlepas ke lingkungan perairan, tanah, dan udara akan mengalami berbagai proses baik proses kimia maupun fisika. Dalam bentuk uapnya, HCB dapat mengalami fotodegradasi di udara. HCB adalah senyawa yang persisten dan tidak terdegradasi secara signifikan baik oleh proses abiotik maupun biodegradasi di dalam air dan tanah. Di perairan, HCB akan terabsorbsi ke dalam bahan partikulat dan kemudian dibawa ke dasar sedimen (ATSDR 2002).
Selain berdampak buruk terhadap
lingkungan, HCB juga memiliki efek negatif bagi kesehatan. Dalam jangka pendek HCB dapat menyebabkan luka pada kulit dan kerusakan pada hati dan urat saraf. Sedangkan
dalam jangka panjang HCB dapat
menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal, gangguan reproduksi, dan kanker (US EPA 2006).
Heksakloroetana
Heksakloroetana (HCE) merupakan
padatan tak berwarna dan berbau seperti kapur barus dengan bobot molekul 236.74 g/mol dan
rumus molekul C2Cl6. HCE memiliki
kelarutan yang rendah dalam air, yaitu hanya sebesar 14 mg/L (pada 25°C). Namun, HCE dapat larut dalam pelarut organik seperti alkohol, benzena, kloroform, eter, dan minyak. HCE memiliki titik didih 186.8°C dan dapat menyublim atau perlahan-lahan akan menguap saat terbuka oleh udara. HCE dapat dibuat dengan klorinasi tetrakloroetilena dengan penambahan feri klorida pada suhu 100-140°C (ATSDR 1997). Struktur molekul HCE disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur molekul senyawa HCE (ATSDR 1997).
Pemanfaatan HCE di tengah masyarakat cukup beragam. HCE dapat digunakan sebagai komponen dalam formulasi fungisida dan insektisida, penolak ngengat, aditif polimer, pemlastis untuk selulosa ester pada kapur
barus, dan formulasi dalam minyak pelumas.
HCE bahkan juga dimanfaatkan oleh
kemiliteran untuk pembuatan granat (ATSDR 1997).
HCE dapat terlepas ke lingkungan
perairan, tanah, atau udara pada saat pembuatannya atau pemanfaatannya dan relatif persisten di lingkungan. HCE yang terlepas ke perairan atau tanah dapat menguap ke udara atau teradsorpsi ke dalam tanah atau sedimen. Bahan ini juga dapat terlepas ke air tanah melalui tanah (ATSDR 1997).
Efek HCE terhadap kesehatan antara lain dapat menyebabkan iritasi kulit, selaput lendir, dan hati pada manusia. Efek terhadap fungsi saraf, hati, dan ginjal hanya ditemukan pada hewan yang terkontaminasi HCE. Belum ada data mengenai efek karsinogenik HCE pada manusia, namun EPA mengklasifikasikannya sebagai bahan yang berpotensi karsinogen pada manusia (US EPA 2007).
Analisis Klorida
Klorida merupakan salah satu anion anorganik utama dalam air dan air limbah. Rasa asin yang dihasilkan oleh konsentrasi klorida dapat bervariasi dan bergantung pada komposisi kimia air. Air yang mengandung 250 mg Cl-/L rasa asinnya dapat terdeteksi jika kationnya adalah natrium. Akan tetapi, rasa asin dalam air bisa hilang jika kation yang dominan adalah kalsium dan magnesium (Cleseri et al. 1998).
Analisis ion klorida dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis ion
klorida secara kualitatif dapat berupa
pembentukan endapan putih AgCl yang
menunjukkan adanya klorin dengan
menggunakan pereaksi asam nitrat pekat dan
perak nitrat. Sedangkan untuk analisis
kuantitatif ion klorida dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode argentometri, merkuri nitrat, potensiometri, ferisianida otomatis, dan merkuri tiosianat (injeksi alir). Metode-metode tersebut memiliki kelebihan, kelemahan, dan spesifikasi tertentu dalam mengukur ion klorida.
Metode penentuan kadar klorida yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode merkuri nitrat. Prinsip metode merkuri nitrat ialah titrasi klorida dengan merkuri nitrat menggunakan indikator difenilkarbazon. Ion merkuri akan berikatan dengan ion klorida lalu setelah semua ion klorida terikat, ion merkuri
akan berikatan dengan difenilkarbazon.
Difenilkarbazon menunjukkan titik akhir titrasi dengan membentuk kompleks ungu
dengan ion merkuri yang berlebih. Metode ini dapat dilakukan pada kandungan klorida hingga kurang dari 10 mg. Bahan yang dapat mengganggu dalam analisis ini ialah kromat, feri, dan ion sulfit ketika keberadaannya lebih dari 10 mg/L (Cleseri et al. 1998).
Surfaktan Alkilbenzenasulfonat (ABS)
Surfaktan merupakan senyawaan kimia yang memiliki dua gugus berbeda di kedua ujung molekulnya, yaitu gugus hidrofobik dan gugus hidrofilik. Gugus hidrofobik surfaktan
umumnya merupakan hidrokarbon yang
mengandung 10 hingga 20 atom karbon. Gugus hidrofilik terdiri atas 2 tipe, yaitu yang
mengionisasi di air dan yang tidak
mengionisasi di air. Berdasarkan jenis
muatannya, surfaktan ionik dibagi menjadi 2, yaitu surfaktan anionik (yang memiliki muatan negatif; contoh: (RSO3)-Na+) dan surfaktan
kationik (yang memiliki muatan positif; contoh: (RMe3N)
+
Cl-). Surfaktan nonionik umumnya mengandung suatu gugus hidrofilik
polioksietilena (ROCH2CH2OCH2CH2…
OCH2CH2OH).
Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan permukaan dan digunakan sebagai bahan penyusun detergen yang berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian, alat rumah tangga, dan lain sebagainya. Konsentrasi surfaktan di lingkungan perairan umumnya di bawah 0.1 mg/L, kecuali di sekitar sumber pembuangan.
Salah satu golongan senyawaan surfaktan adalah golongan alkilbenzenasulfonat (ABS), yang merupakan jenis surfaktan anionik. ABS tergolong detergen jenis keras, yaitu detergen yang sukar terurai. Salah satu surfaktan ABS adalah DBS. Gambar 3 menunjukkan struktur molekul DBS.
Gambar 3 Struktur molekul senyawa DBS (Shupe et al. 1991).
Methylene Blue Active Substance
(MBAS)
Salah satu metode standar yang biasa digunakan untuk penentuan kadar detergen atau surfaktan adalah dengan Methylene Blue
Active Substance (MBAS). Prinsip penentuan
surfaktan dengan metode ini adalah adanya transfer biru metilena, suatu pewarna kationik, dari suatu larutan berair ke dalam suatu pelarut organik yang tak saling campur pada kondisi ekuilibrium. Hal ini terjadi melalui susunan pasangan ion, yaitu oleh anion MBAS dan kation biru metilena. Intensitas dari warna biru yang dihasilkan dalam fase organik merupakan jumlah MBAS yang terukur. Pengukuran dengan metode ini dapat dilakukan pada konsentrasi MBAS 2 mg/L hingga 0.025 mg/L dan jumlah minimum yang dapat dideteksi adalah sekitar 10 µg MBAS (Cleseri et al. 1998).
Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan detergen anionik dengan biru metilena sehingga membentuk garam yang berwarna biru yang larut dalam kloroform. Kemudian absorbansinya diukur pada panjang gelombang 651 nm dengan spektrofotometer UV-Vis.
Beberapa senyawa organik dan anorganik dapat mengganggu proses analisis. Senyawa organik seperti sulfat, sulfonat, karboksilat, fosfat, dan fenol akan mengompleks dengan biru metilena, sedangkan senyawa anorganik seperti sianat, klorida, nitrat, dan tiosianat dapat membentuk pasangan ion dengan biru metilena. Kesalahan positif lebih umum terjadi dibandingkan dengan kesalahan negatif.
Kinetika Reaksi
Kinetika kimia adalah salah satu lingkup ilmu kimia yang membahas kecepatan atau laju pada setiap reaksi kimia yang terjadi
(Chang 2002). Laju reaksi merupakan
perubahan dalam konsentrasi suatu reaktan atau produk dalam suatu satuan waktu. Pengukuran laju reaksi kimia dilakukan dengan menganalisis secara langsung maupun tidak langsung banyaknya produk yang terbentuk atau banyaknya pereaksi yang tersisa setelah penggal-penggal waktu yang sesuai.
Metode untuk menentukan konsentrasi
pereaksi atau produk bermacam-macam
menurut jenis reaksi yang diselidiki dan keadaan fisika dari komponen reaksi.
Pada dasarnya, sebuah reaksi dapat digambarkan sebagai perubahan dari reaktan menjadi produk, yang mana reaktan digunakan sementara produk terbentuk.
Reaktan → Produk
Misalkan dalam sebuah reaksi sederhana, molekul A dikonversi menjadi molekul B:
A → B
maka laju berkurangnya jumlah molekul A dan bertambahnya jumlah molekul B seiring
waktu (t) dapat digambarkan dengan persamaan:
Laju = -∆[A]/∆t atau Laju = ∆[B]/∆t
yang mana ∆[A] dan ∆[B] adalah perubahan
konsentrasi (molaritas) seiring berjalannya waktu (∆t). Bila dinyatakan sebagai -∆[A] / ∆t,
laju reaksi merupakan nilai rata-rata selama interval waktu yang dipilih. Selain itu, laju
reaksi juga dapat dinyatakan sebagai
kemiringan garis tangen (negatif) dari kurva hubungan waktu dan [A].
Laju reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan matematika yang dikenal sebagai hukum laju. Misalkan untuk reaksi A + B → C
+ D, maka laju reaksi dapat dinyatakan sebagai berikut:
Laju = k [A]x[B]y
[A] dan [B] adalah konsentrasi molar senyawa A dan B, pangkat x dan y adalah orde reaksi, dan faktor k adalah tetapan laju. Orde reaksi
adalah jumlah semua eksponen dari
konsentrasi dalam persamaan laju dan faktor k merupakan sifat khas dari suatu reaksi.
Penentuan tetapan laju dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan metode grafik, substitusi, dan waktu paruh. Sebagai contoh, sebuah reaksi orde ke-0 memiliki persamaan laju sebagai berikut:
[A] = [A]0 - kt
Persamaan tersebut mencerminkan
persamaan linier y = a – bx. Maka penentuan tetapan laju dengan metode grafik dapat
dilakukan dengan mengukur penurunan
konsentrasi reaktan pada interval waktu tertentu dan kemudian dibuat kurva hubungan konsentrasi dan waktu. Persamaan orde ke-0 di atas juga dapat disubstitusi menjadi sebagai berikut:
k = [A]0 – [A] t
Maka penentuan tetapan laju dengan metode substitusi dapat dilakukan dengan mengukur jumlah reaktan yang berkurang selama waktu tertentu. Penentuan tetapan laju dengan metode waktu paruh dilakukan dengan mengukur waktu yang diperlukan untuk reaktan menjadi setengah dari konsentrasi awalnya.
Spektrofotometri Ultraviolet dan Sinar Tampak (UV-Vis)
Menurut Pavia et al. (2001), sebagian besar molekul organik dan gugus fungsi dapat
ditembus oleh sebagian spektrum
elektromagnetik yang kita sebut dengan daerah ultraviolet dan sinar tampak, yaitu daerah dengan kisaran panjang gelombang antara
190-800 nm. Oleh karena itu, pemanfaatan spektroskopi absorpsi terbatas pada kisaran panjang gelombang ini.
Saat radiasi kontinu melewati suatu bahan yang tembus cahaya, sebagian radiasi dapat terabsorpsi. Kemudian radiasi yang tidak terabsorpsi, saat melewati sebuah prisma, akan menghasilkan suatu spektrum yang terpisah yang disebut dengan spektrum
absorpsi. Spektrum absorpsi merupakan
karakteristik kualitas suatu bahan. Sebagai akibat dari absorpsi energi, atom atau molekul akan berpindah dari keadaan energi rendah (keadaan dasar) ke keadaan energi yang lebih tinggi (keadaan tereksitasi) (Pavia et al. 2001). Dalam spektroskopi ultraviolet dan sinar tampak, transisi yang dihasilkan akibat absorpsi radiasi elektromagnetik merupakan transisi di antara tingkat-tingkat energi elektronik (Pavia et al. 2001). Transisi tersebut umumnya antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital bukan ikatan atau orbital anti ikatan (Williams et al. 1995).
Panjang gelombang serapan merupakan
ukuran perbedaan tingkat-tingkat energi dari orbital yang bersangkutan.
Tingkat absorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu dapat digunakan untuk menentukan jumlah suatu sampel. Hal ini
didasarkan pada Hukum Lambert-Beer.
Menurut Williams et al. (1995), Hukum Lambert menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak bergantung pada intensitas sumber cahaya dan Hukum Beer menyatakan bahwa penyerapan sebanding dengan jumlah molekul yang menyerap. Hubungan ini dinyatakan sebagai berikut :
log I0/I = ε.l.c
I0 adalah intensitas sinar awal (tanpa absorpsi),
I adalah intensitas sinar yang diteruskan
melewati larutan sampel, log I0/I adalah serapan cahaya atau absorbans (A), ε adalah absorptivitas molar, l adalah tebal sel sampel (dalam cm), dan c adalah konsentrasi molar larutan sampel.
Peralatan spektrofotometer UV-Vis
umumnya terdiri atas sumber cahaya,
monokromator, dan detektor. Sumber cahaya biasanya adalah sebuah lampu deuterium yang memancarkan radiasi elektromagnetik dalam spektrum daerah ultraviolet. Sumber cahaya kedua, yaitu lampu tungsten, digunakan untuk panjang gelombang dalam spektrum daerah sinar tampak. Monokromator adalah suatu kisi difraksi yang berperan untuk menyebarkan
sinar menjadi komponen panjang
gelombangnya. Sistem celah mengarahkan panjang gelombang yang diinginkan kepada
sel sampel. Sinar yang menembus sel sampel ditangkap oleh detektor yang merekam
intensitas cahaya yang diteruskan (I).
Umumnya detektor adalah sebuah tabung fotopengganda meskipun dalam instrumen modern dapat juga digunakan fotodiode. Dalam instrumen berkas rangkap, sinar yang keluar dari sumber terbagi menjadi dua sinar, yaitu sinar sampel dan sinar pembanding (Pavia et al. 2001).
Sel sampel harus terbuat dari bahan yang dapat ditembus oleh radiasi elektromagnetik yang digunakan dalam percobaan. Sel sampel untuk spektrum pada daerah sinar tampak umumnya terbuat dari kaca atau gelas. Namun untuk pengukuran spektrum pada daerah ultraviolet, kaca dan gelas tidak dapat digunakan karena dapat menyerap radiasi ultraviolet sehingga harus digunakan sel dari kuarsa yang tidak menyerap radiasi pada daerah ini (Pavia et al. 2001).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan adalah pengaduk magnetik, peralatan gelas, buret, corong pisah, neraca analitik, sentrifus Kokusan H-107, dan spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20D+ Thermospectronic.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
heksaklorobenzena, heksakloroetana,
dodesilbenzenasulfonat, akuades, Na2S2O3,
FeSO4·6H2O, NaOH, H2SO4 pekat, HNO3
pekat, Hg(NO3)2·H2O, AgNO3, NaCl,
indikator campuran (difenilkarbazon,
bromfenol biru, dan etanol), biru metilena, kloroform, NaH2PO4·H2O, dan indikator pH
universal.
Metode Sintesis Partikel Fe0
Sebanyak 50 ml Na2S2O3 0.12 M
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan larutan FeSO4 0.1 M
sebanyak 50 ml tetes demi tetes menggunakan buret dan sambil diaduk dengan pengaduk magnet. Setelah itu ditambahkan larutan NaOH 3 M sampai pH larutan 13 dan terbentuk endapan hitam. Endapan yang diperoleh disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm (2000 g) selama 5 menit lalu dicuci dengan akuades sampai pH netral. Endapan yang diperoleh dimasukkan ke dalam vial dan disimpan dalam air akuades.
Uji Daya Degradasi dengan Pestisida Organoklorin Heksaklorobenzena dan Heksakloroetana
Sebanyak 50 ml larutan sampel HCB dan HCE dengan konsentrasi masing-masing 250, 500, 750, dan 1000 ppm ditambahkan partikel Fe0 sebanyak 0.5 ml sambil diaduk, kemudian
dilakukan pengaturan pH dengan
menambahkan asam sulfat atau NaOH dengan variasi pH 4, 7, dan 10. Setelah itu dilakukan analisis klorida, yaitu 10 ml campuran tadi
ditambahkan 8 tetes larutan indikator
campuran hingga larutan berwarna ungu lalu ditambahkan 1-2 tetes asam nitrat pekat hingga larutan berwarna kuning. Setelah itu, larutan dititrasi dengan merkuri nitrat 0.0141 N hingga berwarna ungu. Pengukuran klorida dilakukan pada waktu reaksi setelah 1, 2, 3, 4 dan 5 jam. Analisis klorida dilakukan secara triplo.
Pembuatan Kurva Standar
Dodesilbenzenasulfonat (DBS)
Larutan dodesilbenzenasulfonat 10 ppm diencerkan hingga konsentrasinya menjadi 0.2, 0.5, 1.0, 1.5, dan 2.0 ppm. Setelah itu sebanyak masing-masing 100 ml larutan tersebut dan akuades (sebagai konsentrasi 0 ppm) dimasukkan ke dalam corong pisah dan dianalisis dengan metode MBAS.
Uji Daya Degradasi dengan Surfaktan Dodesilbenzenasulfonat (DBS)
Uji daya degradasi diawali dengan
penentuan pH terbaik untuk degradasi DBS. Sebanyak masing-masing 50 ml larutan DBS 100 ppm dibuat dalam pH 4, 7, dan 10 dengan menambahkan asam sulfat atau NaOH. Selanjutnya ke dalam tiap larutan tersebut
ditambahkan 0.5 ml partikel Fe0 dan
direaksikan selama 1 jam sambil diaduk. Setelah itu diambil sebanyak 2 ml dari tiap larutan hasil reaksi tersebut dan diencerkan menjadi 100 ml lalu dianalisis dengan metode MBAS.
Sebanyak masing-masing 50 ml larutan DBS 100 ppm dan 200 ppm pada kondisi pH terbaik ditambahkan dengan 0.5 ml partikel Fe0 lalu diaduk. Setelah itu dianalisis dengan metode MBAS setelah 10, 20, 30, 40, 60, 80, 100, dan 120 menit dengan mengambil sebanyak 1 ml (untuk DBS 200 ppm) dan 2 ml (untuk DBS 100 ppm) dari tiap larutan hasil reaksi tersebut dan diencerkan menjadi 100 ml. Selain itu, untuk mengetahui pengaruh jumlah partikel Fe0 yang ditambahkan, larutan DBS 200 ppm sebanyak 50 ml direaksikan dengan 1 ml partikel Fe0 kemudian dianalisis