• Tidak ada hasil yang ditemukan

GTH SEBAGAI PENGGANTI ABLASI MATA DALAM UPAYA PERCEPATAN KEMATANGAN GONAD UDANG VANAME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GTH SEBAGAI PENGGANTI ABLASI MATA DALAM UPAYA PERCEPATAN KEMATANGAN GONAD UDANG VANAME"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKT SEBAGA TIVITAS d AI PENGGA KEM DE FAKUL dan EFISIE ANTI ABL MATANGA K EPARTEM LTAS PERI INSTITU ENSI ANTI LASI MAT AN GONAD KRESNA Y MEN BUDID IKANAN D UT PERTA BOGO 2011 IDOPAMI A DALAM D UDANG YUSUF DAYA PER DAN ILMU ANIAN BOG OR 1 N dan HOR M UPAYA P VANAME RAIRAN U KELAUT GOR RMON GT PERCEPA E TAN TH ATAN

(2)

ABSTRAK

KRESNA YUSUF. Efektivitas dan Efisiensi Antidopamin dan Hormon GTH Sebagai Pengganti Ablasi Mata Dalam Upaya Percepatan Kematangan Gonad Udang Vaname. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT.

Kementrian Kelautan dan Perikanan berupaya meningkatkan target produksi udang pada periode 2010 – 2014. Namun teknik ablasi mata yang biasa digunakan untuk percepatan pematangan gonad udang terganjal oleh isu animal welfare, sehingga perlu ditemukan teknik lain untuk percepatan kematangan gonad udang. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat efektivitas ablasi mata dengan teknik percepatan pematangan gonad udang yang menggunakan hormon GTH dan antidopamin. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2011 bertempat di Balai Budidaya Air Payau Situbondo, Jawa Timur dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ablasi mata dilakukan dengan cara memotong salah satu tangkai mata pada udang, sedangkan hormon yang digunakan diberikan ke udang melalui pakan yang telah diberi tambahan perekat untuk meminimalisasi hilangnya hormon saat berada di air. Hasil penelitian menunjukkan pada dua minggu awal pemeliharaan telah ada udang matang gonad dari perlakuan hormon, dan jumlahnya terus meningkat dari 2 ekor menjadi 5 ekor pada dua minggu selanjutnya. Uji histologi gonad menunjukkan tingkat kematangan gonad udang perlakuan hormon telah mencapai TKG III. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hormon GTH dan antidopamin mampu mempengaruhi percepatan pematangan gonad pada udang vaname.

Kata kunci: udang vaname, gonad, hormon

---

ABSTRACT

KRESNA YUSUF. The Effectiveness and Efficiency of Antidomine and Hormone GTH to Replace Eye Ablation in Efforts to Accelerate The Maturity of Gonads Shrimp Vanamei. Supervised by AGUS OMAN SUDRAJAT.

The Ministry of Marine and Fisheries trying to increase shrimp production target in the period 2010 to 2014. But the eye ablation technique which is usually used for gonadal maturation acceleration of shrimp hampered by the issue of animal welfare, so that necessary to find other techniques to accelerate the maturity of the gonads shrimp. The aim of this research was to compare Effectiveness of Antidomine and Hormone GTH with eye ablation techniques in efforts to accelerate the maturity of gonads shrimp vanamei. This research was performed in May till June 2011 at the Brackishwater Aquaculture Development Center, Situbondo, East Java and Laboratory of Fish Health, Department of Aquaculture, Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural University. Eye ablation done by cutting one of shrimp eye stalks, while the hormone used is given to the shrimp through feed that has been given additional

(3)

adhesive to minimize the loss of hormones when in the water. The result showed the initial two weeks of maintenance has been found shrimp mature gonads from the hormone treatment, and the number continues to increase from 2 to 5 tail on the next two weeks. Gonad histology test showed the level of maturity gonadal hormone treatment shrimp had reached TKG III. The result of this research indicate that the hormones GTH and antidopamin able to influence the acceleration of gonadal maturation in shrimp vanamei

(4)

EFEKT SEBAGA sebag TIVITAS d AI PENGGA KEM

gai salah sat Program S DE FAKUL dan EFISIE ANTI ABL MATANGA K tu syarat unt Studi Teknol Departe Fakultas P Ins EPARTEM LTAS PERI INSTITU ENSI ANTI LASI MAT AN GONAD KRESNA Y

SKRIP

tuk memper logi & Man emen Budid erikanan da titut Pertani MEN BUDID IKANAN D UT PERTA BOGO 2011 IDOPAMI A DALAM D UDANG YUSUF

PSI

roleh gelar najemen Per daya Peraira an Ilmu Kel ian Bogor DAYA PER DAN ILMU ANIAN BOG OR 1 N dan HOR M UPAYA P VANAME Sarjana Per rikanan Bud an, autan, RAIRAN U KELAUT GOR RMON GT PERCEPA E rikanan pada didaya TAN TH ATAN a

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

EFEKTIVITAS dan EFISIENS ANTIDOPAMIN dan HORMON GTH SEBAGAI PENGGANTI ABLASI MATA DALAM UPAYA PERCEPATAN KEMATANGAN GONAD UDANG VANAME

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, November 2011 Kresna Yusuf C14070053

(6)

PENGESAHAN

Judul : Efektivitas dan Efisiensi Antidopamin dan Hormon GTH sebagai Pengganti Ablasi Mata dalam Upaya Percepatan Kematangan Gonad Udang Vaname.

Nama : Kresna Yusuf Nomor Pokok : C141070053 Departemen : Budidaya Perairan

Disetujui, Pembimbing

( Dr. Agus Oman Sudrajat ) NIP 19640813 199103 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

( Dr. Odang Carman ) NIP 19591222 198601 1 001 Tanggal Lulus :

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul ” Efektivitas dan Efisiensi Antidopamin dan Hormon GTH Sebagai Pengganti Ablasi Mata Dalam Upaya Percepatan Kematangan Gonad Udang Vaname.”.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2011 di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur, sedangkan Uji Histologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para dosen, Bapak Dr. Odang Carman selaku ketua Depatemen Budidaya Perairan, Bapak Dr. Agus Oman Sudrajat selaku Dosen Pembimbing Skripsi, dan seluruh staf pengajar di Departemen Budidaya Perairan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga, baik keluarga yang berada di Jakarta maupun di Situbondo yang telah memberikan dorongan semangat, tenaga, serta konsultasi kepada penulis. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pak Bambang ”Babe”, Pak Dandi, Mas Solihin, Mas Manijo, Sandy, Farrel, Sri Sukmawardani, Hedra Akhrari, Dimas Budiman, Gebbie Edriani, Liberty Ayu, Yunika Ayu Lestari, dan teman – teman IONA yang telah membantu penulis dalam menulis skripsi ini, serta teman-teman BDP angkatan 43, 44, 45, dan 46 atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2011

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1989 dari pasangan Bapak Basori dan Ibu Tatie SP. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 47, Jakarta pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur USMI pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Akuakultur periode 2009-2010. Selain itu, selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang di Balai Besar Air tawar Sukabumi, Jawa Barat, Balai Budidaya Air Payau Karawang, Jawa Barat dan Balai Budidaya Air Payau Situbondo, Jawa Timur. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Fisiologi Reproduksi Biota Air semester ganjil 2010/2011, dan Industri Pembenihan Organisme Akuatik semester ganjil 2010/2011. Penulis pernah mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa yang berjudul: Efektifitas Kawin Suntik Doctor Fish : Peningkatan Kontinuitas Produksi Benih Garra Rufa, dan Pendederan Ikan Doctor Fish Garra rufa. Penulis juga aktif dalam organisasi daerah Jakarta Community periode 2008-2010.

Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul ” Efektivitas dan Efisiensi Antidopamin dan Hormon GTH sebagai Pengganti Ablasi Mata dalam Upaya Percepatan Kematangan Gonad Udang Vaname ”.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

II. BAHAN DAN METODE ... 3

2.1 Waktu dan Tempat ... 3

2.2 Rancangan ... 3

2.3 Pelaksanaan ... 3

2.3.1 Persiapan Wadah ... 3

2.3.2 Pemilihan Calon Induk ... 4

2.3.3 Aklimatisasi Induk ... 4

2.3.4 Ablasi Mata ... 4

2.3.5 Pencampuran Hormon pada Pakan ... 4

2.3.5 Pemeliharaan Induk ... 5

2.4 Pengumpulan Data ... 5

2.5 Parameter Pengamatan ... 5

2.5.1 Derajat Kelangsungan Hidup ... 5

2.5.2 Tingkat Kematangan Gonad ... 6

2.5.3 Tingkat Pemijahan ... 6

2.5.4 Jumlah Telur ... 6

2.5.5 Derajat Penetasan Telur ... 7

2.5.6 Histologi Gonad ... 7

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

3.1 Hasil ... 8 3.2 Pembahasan ... 12 IV. KESIMPULAN ... 17 4.1 Kesimpulan ... 17 4.2 Saran ... 17 DAFTAR PUSTAKA ... 18 LAMPIRAN ... 20

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tingkat kelangsungan hidup udang vaname. ... 9

2. Jumlah udang vaname matang gonad ... 9

3. Tingkat pemijahan udang vaname. ... 10

4. Jumlah telur udang vaname ... 10

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bobot udang vanname Litopenaeus vanname. ... 8 2. Uji histologi gonad pada sampling ke 2 ... 11 3. Uji histologi gonad pada sampling ke 3. ... 11

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Tahapan ablasi mata ... 20

2. Tahapan pencampuran bahan percobaan pada pakan ... 20

3. Tahapan pembuatan preparat histologi ... 21

8.1 Diagram alir pembuatan blok paraffin ... 21

8.2 Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan pewarna haematoksilin dan eosin ... 22

(13)

I. PENDAHULUAN

Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dengan pertimbangan beberapa komoditas perikanan menjadi komoditas andalan ekspor sebagai sumber devisa negara, khususnya udang, tuna, dan rumput laut (KKP, 2010). Udang merupakan salah satu primadona komoditas perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai ekonomis tinggi dalam perdagangan internasional terutama udang windu dan udang vaname. Dalam periode 2010-2014 Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi udang meningkat 74,75% dari produksi sebesar 400.000 ton pada tahun 2009 menjadi 699.000 ton pada tahun 2014 atau menjadi produsen nomor satu dunia mengalahkan China, India, Thailand maupun Ekuador (FAO, 2008). Target peningkatan produksi udang ini termasuk dalam “Mega Program” yang dicanangkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, yakni produksi perikanan budidaya pada 2014 meningkat sebesar 353%. Target produksi udang sebesar itu berasal dari hasil penangkapan dan budidaya. Namun beberapa tahun terakhir usaha penangkapan semakin menunjukkan kondisi “over fishing”, terlebih kondisi global warming yang melanda dunia, menuntut Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan kebijakan mengurangi penangkapan dan mendorong pengembangan usaha budidaya, khususnya untuk komoditas unggulan termasuk udang.

Usaha budidaya udang di Indonesia telah berkembang sejak lama dengan komoditas utama udang windu Penaeus monodon, yang berkembang sangat pesat dengan menerapkan teknologi intensif sampai dekade 2000-an. Namun intensitas penggunaan lahan secara intensif yang terus-menerus menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan akibat selanjutnya adalah merebaknya penyakit white spot syndrome virus (WSSV) yang dikarenakan oleh virus WSSV. Kondisi tersebut membuat banyak petambak mulai beralih ke budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei, yang merupakan udang impor dari luar negeri. Pemilihan udang vaname dikarenakan produktivitasnya tinggi, waktu pemeliharaan relatif singkat dan permintaan pasar akan komoditas ini terus meningkat (KKP 2010). Selain itu udang vaname juga dapat dipelihara dengan kepadatan tinggi, pertumbuhannya

(14)

cepat, dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap serangan penyakit dan pengaruh lingkungan (Soleh, 2006).

Peningkatan produksi yang sangat tinggi dalam upaya memenuhi permintaan pasar ekspor, berdampak kepada meningkatnya permintaan benih udang, sehingga produksi benih udang harus dilakukan secara intensif. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi benih udang adalah dengan melakukan ablasi mata untuk mempercepat kematangan gonad. Ablasi mata adalah proses pemotongan tangkai mata udang yang terdapat organ X sebagai penghasil hormone penghambat perkembangan dan pematangan gonad (Gonade Inhibiting Hormone/GIH) serta penghambat pergantian kulit (Moulty Inhibiting Hormone/MIH). Jika organ X sudah tidak ada maka organ Y yang terletak di kepala dapat menghasilkan hormon perangsang pembentukan gonad (Gonade Stimulating Hormone/GSH) sehingga proses pematangan gonad dapat berlangsung cepat (Nurdjana, 1985).

Saat ini teknik ablasi mata sudah umum digunakan di Indonesia, namun penggunaan teknik ini ditentang oleh kelompok pecinta binatang melalui isu animal welfare. Eropa, Amerika, dan negara-negara maju lainnya sebagai importir terbesar dunia telah menjadikan isu animal welfare sebagai persyaratan dalam perdagangan biota air (Cholik, 2005). Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara eksportir udang perlu segera mengantisipasi isu tersebut melalui upaya perekayasaan anti ablasi mata yang dapat mempercepat kematangan gonad udang, namun tidak “menyakiti” induk udang yang digunakan. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan memberikan bahan kimia anti-dopamin yang berfungsi untuk menon-aktifkan organ X pada udang ataupun menambahkan hormon GTH untuk merangsang kematangan gonad. Seluruh teknik yang digunakan diadopsi dari teknik pembenihan ikan.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat efektivitas dan efisiensi antara ablasi mata dengan teknik percepatan kematangan yang menggunakan hormon GTH dan antidopamin dalam mempercepat kematangan gonad udang vaname Litopanaeus vannamei.

(15)

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian penggunaan senyawa kimia antidopamin dimaksudkan untuk mencegah produksi hormon GIH yang berperan sebagai penghambat perkembangan kematangan gonad dan berlokasi di tangkai mata udang, sedangkan GTH berperan untuk merangsang percepatan pertumbuhan gonad. Pemberian senyawa anti-dopamin dan GTH dapat dilakukan menggunakan dua metoda, yaitu penyuntikan dan dicampur dengan pakan. Namun penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda pencampuran ke dalam pakan.

2.1 Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2011 yang bertempat di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur. Sedangkan pengambilan data sekunder berupa uji histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Rancangan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental, data diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 dan dibahas secara deskriptif. Terdapat lima perlakuan pada penelitian ini, yaitu :

- Perlakuan A : Antidopamin (And) - Perlakuan B : GTH

- Perlakuan C : Antidopamin + GTH - Perlakuan D : Ablasi mata

- Perlakuan E : Kontrol 2.3 Pelaksanaan

2.3.1 Persiapan wadah

Wadah yang digunakan berupa 5 buah bak bak beton. Sebelum digunakan bak terlebih dahulu disterilisasi menggunakan kaporit dengan dosis 100 ppm. Kaporit dilarutkan dalam air kemudian ditebar merata pada dinding, lantai dan

(16)

daerah disekitar bak pemeliharaan. Setelah 24 jam, dibilas dengan air tawar, lalu diberi KMnO4 sebanyak 10 mg/L. Sterlisasi juga dilakukan pada peralatan yang akan digunakan seperti selang aerasi, batu aerasi, pipa inlet dan outlet.

2.3.2 Pemilihan calon induk

Induk udang vaname yang di tebar bersal dari BBAP Situbondo yaitu Vaname Nusantara 1. Induk yang digunakan hanyalah induk betina dengan jumlah 110 ekor betina dan 30 ekor jantan. Kriteria induk yang baik adalah tubuh tidak cacat, warna cerah, organ tubuh lengkap dan normal, umur 7-8 bulan, ukuran induk betina dengan panjang > 16 cm dan berat >35 gr sedangkan induk jantan panjang > 15 cm dan berat >30 gr, organ reproduksi dalam keadaan baik dan bebas penyakit bakteri maupun virus.

2.3.3 Aklimatisasi induk

Sebelum tahap penelitian, dilakukan perlakuan aklimatisasi pada induk terlebih dahulu. Langkah ini perlu dilakukan agar udang yang akan digunakan untuk penelitian benar-benar dalam keadaan sehat dan nyaman di lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya. Hal ini penting untuk menghindari udang stres pada saat dilakukan penelitian. Aklimatisasi digunakan hingga calon induk pulih kembali nafsu makannya.

2.3.4 Ablasi mata

Proses ablasi yaitu proses pemotongan tangkai mata udang. Proses ablasi ini dilakukan pada induk udang betina dengan menggunakan gunting yang dipanasi terlebih dahulu (Lampiran 1). Pemotongan tangkai mata dilakukan dengan hati-hati tidak boleh ada pemutusan tangkai secara paksa karena dapat merusak jaringan yang lain. Induk udang yang sudah diablasi akan pulih setelah 3-7 hari dan sudah siap untuk dipijahkan.

2.3.5 Pencampuran hormon pada pakan

Hormon yang digunakan pada penelitian ini adalah antidopamin dan GTH. Dosis pemberian antidopamin adalah 20 mg per kg bobot tubuh, dosis GTH adalah 80 IU per kg bobot tubuh, sedangkan campuran antidopamin dan GTH dosis yang digunakan setengah dari dosis masing-masing bahan. Pakan yang digunakan berbentuk pelet, selain itu pakan merupakan pakan yang biasa dimakan

(17)

oleh calon induk. Hormon dicampur dengan progol (binder) dan vitamin c, lalu ketiga bahan tersebut dicampurkan ke pakan. Setelah itu pakan dikering anginkan dan dapat diberikan langsung ke udang (Lampiran 2). Pemberian pakan yang ditambah antidopamin dilakukan selama dua minggu diawal pemeliharaan. Pemberian pakan dilakukan empat kali dalam sehari. Pemberian pelet dilakukan pagi dan sore hari sebanyak 15% dari bobot badan udang, sedangkan tiram dilakukan siang dan malam sebanyak 30% dari bobot badan udang. Setelah dua minggu pemeliharaan udang diberi pakan berupa pakan segar (tiram dan cacing laut) dengan perbandingan 75:25.

2.3.6 Pemeliharaan induk

Induk yang telah diberi perlakuan lalu dimasukkan kembali kedalam wadah percobaan. Air yang digunakan berasal dari laut yang telah mengalami filterisasi. Suhu pemeliharaan dijaga antara 28-29°C dan salinitasnya 31-33 ppt. Selain itu juga diberikan aerasi untuk meningkatkan kadar O2.

2.4 Pengumpulan data

Sampling pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada hari ke-0 pemeliharaan, hari ke-14 pemeliharaan, dan hari ke-28. Data yang diambil pada hari ke-0 hanya data bobot udang vaname, pada hari ke-14 data yang diambil meliputi bobot udang, jumlah udang yang mati, dan tingkat kematangan gonad. Pada akhir pemeliharaan atau hari ke-28 keseluruhan data diambil.

2.5 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi kelangsungan hidup induk, dan tingkat kematangan gonad, tingkat pemijahan, fekunditas, derajat penetasan telur

2.5.1 Derajat kelangsungan hidup

Derajat kelangsungan hidup merupakan persentase jumlah udang yang hidup dari jumlah seluruh udang yang dipelihara dalam suatu wadah. Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup udang pada akhir pemeliharaan, digunakan rumus sebagai berikut:

(18)

% 100 × = o t N N SR Keterangan : SR = Survival Rate (%)

Nt = Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (ekor) No = Jumlah ikan pada saat awal (ekor)

2.5.2 Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad hanya diperiksa pada saat sampling ke - 2 dan ke-3. Udang yang dihitung hanya udang yang telah matang gonad. Udang yang telah matang gonad punggungnya berwarna merah kekuningan. Pemeriksaaan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan cara melihat perkembangan warna dan tingkat ketebalan gonad pada punggung udang.

2.5.3 Tingkat pemijahan

Pemijahan dilakukan dengan memindahkan induk betina yang telah matang gonad kedalam bak pemijahan yang didalamnya terdapat induk jantan. Tingkat pemijahan diperiksa 5-8 jam setelah induk betina dan jantan digabungkan. Persentase tingkat pemijahan dapat dihitung sebagai berikut

Induk yang memijah

Tingkat Pemijahan = --- x 100% Total induk betina yang digabung

2.5.4 Jumlah Telur

Jumlah telur dari setiap ekor induk ditentukan atas dasar contoh sebanyak 1 liter dari media yang diambil acak 10 kali. Jumlah telur contoh dalam media dihitung untuk dijadikan dasar penentuan jumlah total telur yang dilepas hewan uji dengan rumus,

Bp

Jt = --- x Yt Ps x Gc

Jt = Jumlah telur yang dihasilkan setiap ekor induk Bp = Volume air wadah pemijahan

(19)

Gc = Volume air contoh gelas ukur yang dipergunakan dalam pengambilan contoh telur

Yt = Jumlah telur dari seluruh contoh

2.5.5 Derajat Penetasan Telur (HR)

Derajat penetasan telur adalah persentase jumlah embrio yang menetas (EM) dibandingkan jumlah telur yang dibuahi (TB). Perhitungan HR dilakukan setelah telur menetas secara keseluruhan, dan HR dihitung dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

EM

HR = x 100%

TB

2.5.6 Histologi Gonad

Untuk mengetahui pengaruh rangsangan hormonal terhadap perkembangan sel telur diperlukan pengamatan secara histologis terhadap ovarium yang sedang mengalami proses pematangan gonad. histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi pada tingkat jaringan dan sel suatu organisme. Terdapat beberapa tahap dari histologi, yaitu fixation, decalcification, bleaching, embedding, sectioning, staining, dan mounting (Lampiran 3).

(20)

3.1 Hasil Be tinggi terd 1,06 g da perlakuan bobotnya udang ber sampling sampling k Gambar Tingkat k Be memiliki dilakukan hidup pad 34 34.5 35 35.5 36 36.5 37 37.5 38 38.5 39 0 erdasarkan G dapat pada u ri bobot rat 4 terjadi sempat naik rtambah m pertama, n ketiga menj 1 Bobot ud kelangsung erdasarkan T tingkat ke . Proses ad a kondisi lin

III. HA

Gambar 1 d udang perla ta-rata awa penurunan k. Bobot pe enjadi 36,5 namun bob jadi 36,27 g dang vannam an hidup Tabel 1 dik elangsungan daptasi hing ngkungan te

Bobo

ASIL DAN

diketahui b akuan 5, rat al pemelihar n bobot tub erlakuan 4 p 52 pada sam bot udang g. me Litopena ketahui bahw n hidup se gga 3 mingg erkontrol.

ot

 

udang

N PEMBA

ahwa penin ta-rata bobo raan 36,33 buh, walaup pada awal pe mpling ked kembali m aeus vannam wa udang v ebesar 100% gu membua 1

g

 

vanam

AHASAN

ngkatan bob ot udang be g menjadi pun pada emeliharaan dua atau 2 mengalami p me aname di se % hingga at udang pe

me

bot udang p ertambah se 37,39 g. U sampling k n 36, 29 g, b minggu se penurunan eluruh perla sampling ercobaan m paling ebesar Udang kedua bobot etelah pada akuan ke 3 ampu 2

(21)

Tabel 1 Tingkat kelangsungan hidup udang vaname.

Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

Hari ke-0 Hari ke-14 Hari ke-28

Ad 100 100 100

GTH 100 100 100

Ad + GTH 100 100 100

Ablasi Mata 100 100 100

Tanpa Perlakuan 100 100 100

Tingkat kematangan gonad

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa pada awal pemeliharaan tidak ada udang yang telah matang gonad terlebih dahulu pada semua perlakuan. Setelah 1 minggu setelah perlakuan, gonad udang sudah mulai berkembang. Udang yang telah matang gonad mulai tampak pada sampling ke-2 atau 14 hari setelah perlakuan. Jumlah udang yang paling banyak matang gonad berasal dari udang yang diberi perlakuan ablasi, sedangkan udang yang tidak diberi perlakuan tidak ada yang matang gonad. Jumlah udang yang matang gonad meningkat hampir dua kali lipatnya pada sampling ke-3 atau 28 hari setelah perlakuan. Udang yang diberi perlakuan ablasi kembali menjadi yang paling banyak jumlahnya, yaitu 13 ekor, sedangkan udang yang tidak diberi perlakuan hanya 2 ekor.

Tabel 2 Jumlah udang vaname matang gonad.

Perlakuan Jumlah Udang Matang Gonad Hari ke-0 Hari ke-14 Hari ke-28

Ad 0 2 5

GTH 0 2 5

Ad + GTH 0 3 7

Ablasi Mata 0 6 13

Tanpa Perlakuan 0 0 2

Pemijahan dan penetasan telur

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa udang yang diberi perlakuan ablasi memiliki tingkat pemijahan dengan persentase tertinggi, yaitu sebesar 69%. Udang yang diberi perlakuan antidopamin, GTH, maupun campuran antara keduanya memiliki tingkat pemijahan yang memiliki persentase keberhasilan sekitar 60% atau tidak terlalu berbeda dengan udang pada perlakuan ablasi, sedangkan udang yang tidak diberi perlakuan tidak ada yang memijah. Tingginya

(22)

tingkat pemijahan selain dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad betina juga dipengaruhi oleh kesiapan udang jantan. Udang jantan yang telah beberapa kali dipijahkan dapat membuat persentase keberhasilan pemijahan meningkat.

Tabel 3 Tingkat Pemijahan Udang Vaname

Perlakuan  Tingkat Pemijahan  Matang Gonad  (ekor)  Memijah  (ekor)  Persentase  keberhasila n  Ad  5  3  60 %  GTH  5  3  60 %  Ad + GTH  7  4  57 %  Ablasi Mata  13  9  69 %  Tanpa Perlakuan  2  0  0 % 

Tabel 4 Jumlah Telur Udang Vaname.

Perlakuan  Jumlah Telur (butir) 

Pemijahan 1  Pemijahan 2  Pemijahan 3 

Ad  56000 58000  49000

GTH  48000 46000  44000

Ad + GTH  60000 55000  63000

Ablasi Mata  110000 86000  98000

Tanpa Perlakuan  0 0  0

Tabel 5 Jumlah Telur yang Menetas

Perlakuan 

Jumlah Telur yang Menetas 

Pemijahan 1  Pemijahan 2  Pemijahan 3  Naupli (ekor) %  Naupli (ekor) %  Naupli  (ekor)  %  Ad  11000 20 15000 26 9000  18 GTH  10000 21 8000 17 9000  20 Ad + GTH  14000 23 10000 18 18000  29 Ablasi Mata  57000 52 42000 49  48000  49 Tanpa Perlakuan  0 0 0 0 0  0

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa jumlah telur atau fekunditas udang vaname paling banyak terdapat pada udang yang diberi perlakuan ablasi mata, yaitu sebesar 110.000 butir yang terjadi pada saat dilakukan pemijahan pertama. Udang yang diberi perlakuan ablasi mata memiliki fekunditas telur yang lebih

(23)

tinggi dibanding perlakuan lainnya. Udang yang tidak diberi perlakuan tidak diketahui jumlah fekunditasnya karena tidak ada induk yang memijah.

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa jumlah rata-rata naupli atau udang yang baru menetas paling tinggi terdapat pada udang yang diberi perlakuan ablasi mata. Jumlah tertinggi terjadi pada pemijahan pertama yang berjumlah 57000. Jumlah telur yang menetas pada ketiga perlakuan hormon rata-rata hanya mencapai 20%, sedangkan udang yang diberi perlakuan ablasi bisa mencapai 50%.

Gambar 2 Uji histologi gonad pada sampling ke 2. CRs (cortical rods), nk (nukleus), Ahv (akhir vitelogenesis).

Gambar 3 Uji histologi gonad pada sampling ke 3, CRs (cortical rods), nk (nukleus), Ahv (akhir vitelogenesis), pre (previtelogenesis).

Berdasarkan uji histologi yang dilakukan pada sampling ke 2 (gambar 2) maupun sampling ke 3 (gambar 3) diketahui bahwa gonad udang yang diberi perlakuan hormon (antidopamin, GTH, dan campuran keduanya) telah berkembang hingga TKG III. Udang yang tidak diberi perlakuan, gonadnya baru

nk Ahv Ahv CRs Ad GTH Ad + GTH ABLASI GTH Ad Ahv nk Ad + GTH pre CRs Tanpa Perlakuan ABLASI Ad GTH Ad + GTH

ABLASI Tanpa Perlakuan

Ahv

nk

(24)

mencapai TKG II pada minggu ke 4 masa pemeliharaan. Sedangkan udang perlakuan Ablasi mata pada minggu ke 2 gonadnya telah mencapai TKG IV.

3.2 Pembahasan

Udang vaname digolongkan ke dalam famili Peneidae, genus Litopenaeus pada filum Anthropoda dari kelas Crustacea (Wyban dan Sweeney, 2000). Ciri-ciri kelas Crustacea yaitu memiliki 3 pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo Decapoda (Haliman dan Dian, 2005). Bagian tubuh udang vaname terdiri dari kepala yang bergabung dengan dada (chepalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang terdiri dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxiliped. Perut udang vaname terdiri dar 6 ruas dan juga terdapat pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson. Spesies ini memiliki 6 stadia naupli, 3 stadia zoea, 3 stadia mysis dan stadia post larva dalam siklus hidupnya. Stadia post larva berkembang menjadi juvenil dan akhirnya menjadi dewasa (Haliman dan Dian, 2005).

Budidaya udang vaname di Indonesia sudah berkembang sangat pesat saat ini, bahkan di Indonesia telah dihasilkan strain udang vaname nusantara 1. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya udang vaname adalah pemilihan induk yang baik. Kriteria induk yang baik adalah tubuh tidak cacat, warna cerah, organ tubuh lengkap dan normal, umur 7-8 bulan, ukuran induk betina dengan panjang > 18 cm dan berat 40-45 g sedangkan induk jantan panjang > 17 cm dan berat 35-40 g, organ reproduksi dalam keadaan baik dan bebas penyakit bakteri maupun virus (KKP, 2009). Induk betina yang digunakan untuk penelitian ini mempunyai ukuran awal yang kurang dari 40 g, hal ini dikarenakan calon induk yang digunakan mengalami penurunan nafsu makan saat masa adaptasi kedalam bak-bak percobaan. Masa adaptasi ini dilakukan selama 3 minggu hingga nafsu makan induk kembali normal.

Adaptasi diperlukan karena sebelum dipelihara di bak-bak beton dalam lingkungan terkontrol udang vaname dipelihara pada tambak udang. Perbedaan suhu, salinitas, dan kualitas air lainnya membuat udang stress, sehingga nafsu

(25)

makannya menurun. Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa peningkatan bobot rata-rata paling tinggi terdapat pada udang yang tidak diberi perlakuan sama sekali, rata-rata bobot udang bertambah sebesar 1,06 g dari bobot rata-rata awal pemeliharaan 36,33 g menjadi 37,39 g. Pada udang yang diabalasi matanya terjadi penurunan bobot tubuh, walaupun pada sampling kedua bobotnya sempat naik. Bobot udang yang diablasi matanya pada awal pemeliharaan 36, 29 g, bobot udang bertambah menjadi 36,52 pada sampling kedua atau 2 minggu setelah sampling pertama, namun bobot udang kembali mengalami penurunan pada sampling ketiga menjadi 36,27 g.

Bertambah atau berkurangnya bobot udang selain dipengaruhi oleh faktor adaptasi udang terhadap lingkungan baru, juga dipengaruhi jenis pakan yang diberikan. Pada penelitian ini pelet yang diberikan kepada udang diperkaya dengan penambahan vitamin C agar nutrisi udang tercukupi. Selain itu juga dilakukan penambahan minyak cumi-cumi untuk merangsang nafsu makan udang percobaan. Pemberian pelet diselingi pakan segar yang berupa cumi-cumi dan tiram dilakukan 2 minggu diawal perlakuan. Menurut Aquacop (1979) dalam Ismail (1991) kombinasi pakan segar dan pakan buatan lebih efektif dibandingkan pemberian satu jenis pakan maupun kombinasi pakan alami saja. Pada 2 minggu berikutnya pakan yang diberikan berupa cacing laut, dan tiram. Pakan segar sangat berpengaruh pada perkembangan gonad udang. Hal ini didukung oleh Susilowarno (2011) yang menyatakan bahwa kandungan protein dan omega 3 dari cacing laut nereis sangat tinggi.

Pemberian pakan yang berprotein tinggi ternyata harus diikuti dengan teknik percepatan kematangan gonad yang tepat. Teknik ini dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi kinerja dari organ-X yang ada pada udang. Organ-X ini bekerja menghasilkan hormon GIH dan MOIH. Hormon GIH mempunyai peranan dalam pematangan gonad baik jantan dan betina, hal ini dikarenakan GIH merupakan hormon yang bekerja menghambat perkembangan gonad. Sama halnya dengan hormon MOIH yang berfungsi untuk menghambat proses sintesis methyl farnesoate oleh organ mandibular (Huberman, 2000). Pengaruh hormon GIH maupun MOIH sangat dominan pada udang sehingga dapat menghambat perkembangan gonad.

(26)

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mempercepat kematangan gonad pada udang. Berdasarkan hasil yang didapat jumlah udang yang paling banyak matang gonad berasal dari udang yang diberi perlakuan ablasi, sedangkan udang yang tidak diberi perlakuan tidak ada yang matang gonad. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada sampling kedua saja udang yang diberi perlakuan ablasi telah ada 6 ekor yang matang gonad, dan jumlahnya meningkat pada sampling ketiga yaitu 13 ekor. Ablasi mata merupakan teknik yang paling efektif untuk mempercepat kematangan gonad. Hal ini juga dikemukanan oleh Hess (1941) dalam Nurdjana (1985) yang menyatakan bahwa tujuan ablasi mata adalah menghilangkan atau mengurangi hormon penghambat kematangan gonad. Ablasi mata dapat merangsang perkembangan telur pada krustase, akibat dihilangkannya kelenjar sinus. Ablasi mata dilakukan dengan cara memotong tangkai mata udang. Proses ablasi ini hanya dilakukan pada induk udang betina dengan menggunakan gunting yang dipanasi terlebih dahulu. Pemotongan tangkai mata dilakukan dengan hati-hati tidak boleh ada pemutusan tangkai secara paksa karena dapat merusak jaringan yang lain.

Selain teknik ablasi mata pada penelitian ini juga dilakukan teknik percepatan kematangan gonad dengan menggunakan hormon. Hormon yang digunakan adalah antidopamin, GTH, dan campuran keduanya. Berdasarkan hasil penelitian jumlah udang yang matang gonad karena pengaruh hormon tersebut sudah ada walaupun belum sebanyak udang yang diablasi. Udang yang diberi perlakuan antidopamin pada sampling kedua memiliki 2 ekor udang yang matang gonad, dan pada sampling ketiga meningkat sedikit menjadi 5 ekor. Adanya sedikit perbedaan antara udang yang diberi perlakuan hormon dengan udang tanpa perlakuan dapat berarti hormon yang diberikan pada udang telah bekerja walaupun belum maksimal. Belum maksimalnya pengaruh hormon yang digunakan dikarenakan dosis yang digunakan pada penelitian ini merupakan dosis yang biasa digunakan pada ikan. Antidopamin merupakan suatu zat kimia yang biasa digunakan untuk menyuntik ikan sebelum ditemukannya ovaprime. Seperti yang dikatakan Chen et al. (2003) dalamTarsim (2007) yang menyatakan bahwa antidopamin adalah bahan kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang berperan dalam menghambat

(27)

pematangan gonad udang. Dopamin menghambat pematangan gonad dengan menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) (Fingerman, 1997). Antidopamin yang terkandung dalam ovaprim berfungsi untuk memblok dopamin sehingga menstomilasi sekresi gonadotropin (Harker, 1992).

Hal serupa juga terjadi pada udang yang diberi perlakuan GTH, pada sampling kedua telah ada 2 ekor udang yang matang gonad dan meningkat pada minggu ketiga menjadi 5 ekor. GTH merupakan salah satu jenis hormon yang memiliki fungsi untuk menyeragamkan ukuran telur, sehingga waktu kematangan gonadnya dapat sama. Menurut Hafez (2000) dalam Latifa (2007), sintesis hormon GTH terjadi dalam sel epitel berbentuk mangkuk dari jaringan endometrium uterus. Segera setelah disintesis, hormon GTH akan dibawa dalam sirkulasi darah untuk selanjutnya dibawah menuju organ sasaran yaitu kelenjar ovarium, karena hormon ini bekerja sebagai pendorong pertumbuhan folikel baru yang ada di ovarium (Hardjopranjoto, 2000)

Perlakuan hormon yang nilainya paling baik adalah udang yang diberi perlakuan campuran kedua hormon pada sampling kedua memiliki 3 ekor udang yang matang gonad, dan pada sampling ketiga meningkat sedikit menjadi 7 ekor. Adanya sedikit perbedaan antara penggunaan hormon secara tunggal dan campurannya, sehingga dapat diketahui bahwa kerja dari Antidopamin dan GTH saling melengkapi. Pada hewan betina, GTH mempunyai beberapa pengaruh seperti mendorong pertumbuhan folikel muda pada ovarium menjadi folikel yang lebih dewasa, meningkatkan sintesis hormon steroid oleh sel granulosa dari folikel, meningkatkan jumlah cairan folikel, dan meningkatkan jumlah sel granulosa dari folikel (Hardjopranjoto, 2000). Menurut Nalbandov (1998) dalam Latifah (2007) pemberian hormon GTH dapat menggertak pertumbuhan folikel apabila diberikan secara subkutan, tetapi bila diberikan secara subkutan diikuti dengan suntikan intravena dapat mendorong ovulasi pada hewan betina.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa jumlah tingkat pemijahan berbanding lurus dengan banyaknya telur dan naupli yang dihasilkan. Udang yang diberi perlakuan ablasi menghasilkan performa yang tertinggi diantara kesemua perlakuan. Persentase keberhasilan pemijahannya mencapai 69%, jumlah telur terbanyak yang dihasilkan 110.000 butir, dan derajat penetasan

(28)

telurnya ada yang mencapai 52%, sedangkan untuk ketiga perlakuan hormon tingkat keberhasilan pemijahan rata-rata 60%. Jumlah telur terbanyak yang dihasilkan untuk perlakuan hormon sedikit berbeda, pada perlakuan antidopamin telur terbanyak yang dihasilkan mencapai 58.000 butir dengan derajat penetasan telurnya 26 %. Perlakuan menggunakan hormon GTH telur terbanyak yang dihasilkan 48.000 butir dengan derajat penetasan telurnya 21 %, sedangkan campuran keduanya telur terbanyak yang dihasilkan mencapai 63.000 butir dengan derajat penetasan telurnya 29 %.

Tingginya nilai seluruh parameter pada udang yang diberi perlakuan ablasi dikarenakan udang yang diablasi organ-Xnya telah hilang keseluruhannya, sedangkan pada udang yang diberi perlakuan hormon hanya mengurangi aktivitas organ-X pada udang. Hilangnya organ-X pada udang membuat tingkat kematangan gonad pada udang yang diablasi mencapai TKG 4 sehingga udang yang dipijahkan mampu menghasilkan telur yang banyak dan derajat penetasan telurnya pun tinggi. Pada penelitian ini tingkat kematangan gonad udang diamati dengan cara melihat warna punggung udang dan uji histologi (Gambar 2 dan 3).

Berdasarkan uji histologi yang telah dilakukan pada penelitian ini didapatkan hasil pada udang yang diablasi mata telah mencapai TKG 4 yang ditandai dengan munculnya cortical rods (CRs), selain itu inti mulai melebur dan beberapa sudah tidak tampak lagi. Uji histologi pada perlakuan hormon baik perlakuan homon GTH, antidopamin dan campuran keduanya telah mencapai TKG 3, hal ini menunjukkan hormon mampu mempengaruhi percepatan kematangan gonad jika dibandingkan dengan udang yang tidak diberi perlakuan. Udang yang tidak diberi perlakuan setelah di uji histologi, tingkat kematangan gonadnya baru mencapai TKG 2.

(29)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Perlakuan hormon dapat memberikan pengaruh positif terhadap percepatan kematangan gonad udang, yang terlihat dari adanya udang yang matang gonad pada sampling ke-2 dan jumlahnya terus meningkat pada sampling ke-3. Gabungan antara antidopamin dan hormon GTH memperlihatkan hasil yang paling baik diantara perlakuan hormon lainnya, karena adanya sinergisitas dan saling melengkapi.

4.2 Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan dosis optimal antidopamin dan hormon GTH, sehingga dapat menggantikan fungsi ablasi mata.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Bailey-Brock JH and Moss SM. 1992. Peneid taxonomy, biology, and zoogeography, p. 9-27. Didalam Fast A.W. and L.J. Lester. (Eds). Marine shrimp culture: principles and practices. Development in aquaculture and fisheries science, volume 23. Elsevier Science Publisher. B.V. Netherlands. Cholik F, Jagatraya A, Poernomo R, Jauzi A. 2005. Akuakultur tumpuan harapan

masa depan bangsa. Jakarta: PT. Victoria Kreasi Mandiri.

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Prikanan.2009. Rencana strategi budidaya udang. Jakarta

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan Prikanan.2010. Rencana strategi budidaya udang. Jakarta

FAO. 2008. FAO Fisheries Technical Paper. Rome

Fingerman M. 1997. Roles of neurotransmitters in regulating reproductive hormone release and gonadal maturation in decapods crustacean. Invertebrate Reproduction Development. 31 : 47-54

Haliman RW dan Dian A. 2005. Udang vaname.Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hal Hardjopranjoto S. 2000. Diktat endokrinologi umum. Pragram Pascasarjana.

Universitas Airlangga. Surabaya. Hal. 209-223.

Harker K. 1992. Pembiakan kap dengan menggunakan ovaprim di India. Warta Akuakulture. Volume 2, No. 3.

Huberman A. 2000. Shrimp endocrinology. A review. Aquaculture. 191:191-208. Ismail A. 1991. Pengaruh rangsangan hormon terhadap perkembangan gonad

individu betina dan kualitas telur udang windu Penaeus monodon. [Disertasi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Latifa R. 2007. Upaya peningkatan kualitas telur itik afkir dengan hormon Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG). Jurnal. Jurusan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang.

Laufer H, Takac P, Ahl JSB and Laufer MR. 1997. Methyl farnesoate and the effect of eyestalk ablation on the morphogenesis of the juvenile female spide carb Libinia emarginata. Invertebrate Reproduction Developmant. 31 : 63-68. Nurdjana ML. 1985. Pengaruh ablasi mata terhadap perkembangan telur dan

embrio, serta kualitas larva udang windu (Penaeus monodon). [Disertasi], Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 438 hal.

(31)

Soleh M. 2006. Biologi udang vaname Liptopenaeus vaname. BBPBAP Jepara Susilowarno RG, Hartono RS, Mulyadi, Murtiningsih EM, Umiyati. 2011. Biologi

untuk SMA kelas X. Grasindo. Jakarta.

Tarsim. 2007. Rangsangan perkembangan gonad induk udang putih litopenaeus vannamei dengan penyuntikan hormon estradiol-17β. [Tesis]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Wyban JA and Sweeney JN. 2000. Intensive shrimp production technology. The Oceanic Institute. Honolulu, Hawai, USA. Hal. 13-14.

(32)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tahapan ablasi mata

1. Calon induk udang yang tidak cacat dipilih terlebih dahulu. 

2. Calon induk yang akan diablasi ditaruh kedalam ember dan ember ditaruh  didekat bak pemeliharaan. 

3. Gunting besi, tabung  gas  kecil,  dan  pemantik  api  yang telah dimodifikasi  disiapkan. 

4. Salah satu mata udang digunting menggunakan gunting yang telah dipanaskan  dengan api. 

5. Udang dimasukkan kedalam bak pemeliharaan. 

Lampiran 2. Tahapan pencampuran bahan percobaan pada pakan

1. Pakan komersil gold coin supreme 964 disiapkan dengan feeding rate 15%.  2. Lalu siapkan antidopamin sebanyak 20 mg/kg udang, dan bahan tambahan 

berupa vitamin c sebanyak 3‐5 g/kg udang, progol sebanyak 2‐3 g/kg pakan, dan  minyak cumi 1 ml. 

3. Seluruh bahan tersebut dicampurkan dalam baskom.  4. Lalu dikering anginkan selama 1 hari. 

5. Pakan siap digunakan.                    

Lampiran 3. Tahapan Pembuatan Preparat Histologi 1. Diagram alir pembuatan blok paraffin 

(33)

 

2. Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan pewarna haematoksilin dan eosin.

Sampel organ ikan uji

Fiksasi dalam larutan Bouin’s selama 24 jam Rendam dalam alkohol 70% atau larutan formalin

4%, selama 24 jam Alkohol 70%, selama 24 jam

Alkohol 80%, selama 2 jam Alkohol 90%, selama 2 jam Alkohol 95%, selama 2 jam Alkohol absolut I, selama 12 jam Alkohol absolut II, selama 1 jam Alkohol : Xylol (1:1), selama 30 menit

Xylol I, selama 30 menit Xylol II, selama 30 menit Xylol III, selama 30 menit Infiltrasi paraffin dalam oven 60 oC Xylol : paraffin (1:1), selama 45 menit

Paraffin I, selama 45 menit Paraffin II, selama 45 menit Paraffin III, selama 45 menit

Dicetak dalam blok paraffin Fiksasi Jaringan

Dehidrasi

Clearing

Impregnasi

(34)

Preparat jaringan

Dicelup dalam larutan xylol I, 5 menit Alkohol absolut I, 2-3 menit Alkohol absolut II, 2-3 menit Alkohol 95%, 2-3 menit Alkohol 90%, 2-3 menit Alkohol 80%, 2-3 menit Alkohol 70%, 2-3 menit Alkohol 50%, 2-3 menit

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 2 menit Haemotoksilin , 7 menit

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 5 menit Eosin, 3 detik

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 5 menit Alkohol 50%, 2-3 menit

Alkohol 70%, 2-3 menit Alkohol 85%, 2-3 menit Alkohol 90%, 2-3 menit Alkohol absolut I, 2-3 menit Alkohol absolut II, 2-3 menit

Xylol I, 2-3 menit Xylol II, 2-3 menit

Preparat dilapisi dengan entellan neu kemudian ditutup dengan cover glass jangan samapai ada udara Dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC, 24 jam

(35)

Lampiran 4. Data sampling Sampling ke-1

Bak 1 Bak 2 Bak 3 Bak 4 Bak 5

no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat

1 17.5 42 1 18 42 1 18 41 1 16.5 33 1 16 33 2 17.5 40 2 17 37 2 17 35 2 17 37 2 17 36 3 16.5 37 3 17 40 3 16.5 35 3 17 36 3 16.5 34 4 16.5 44 4 18 44 4 17 34 4 17 36 4 17.5 35 5 16.5 33 5 17 34 5 17 39 5 17 33 5 16.5 34 6 18 42 6 16.5 34 6 17 39 6 18.5 46 6 17 37 7 16.5 33 7 17.5 38 7 16.5 31 7 16.5 36 7 16 33 8 17.5 38 8 16.5 35 8 17 35 8 16 32 8 17 35 9 17 37 9 18 47 9 16 32 9 16.5 36 9 17 35 10 17 37 10 17 31 10 17 37 10 17.5 41 10 16 33 11 17 37 11 17.5 40 11 17 36 11 17 40 11 18 45 12 17.5 35 12 16.5 33 12 17 36 12 18 42 12 16.5 33 13 17.5 37 13 17 37 13 17 35 13 16 31 13 17 35 14 17 34 14 17 37 14 18 44 14 17 33 14 17.5 41 15 18 41 15 17 34 15 17 37 15 16.5 32 15 16.5 34 16 17.5 32 16 16.5 35 16 17 39 16 17 35 16 17.5 41 17 18 31 17 17 37 17 16.5 31 17 18 42 17 17 35 18 18 36 18 17.5 32 18 17.5 38 18 17 37 18 17.5 42 19 18 43 19 16.5 38 19 17 35 19 17 36 19 17 38 20 17 35 20 18 40 20 17 35 20 17 33 20 16 35 21 18 46 21 17 36 21 17 36 21 17 35 21 17.5 39

(36)

Sampling ke-2.

Bak 1 Bak 2 Bak 3 Bak 4 Bak 5

no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat

1 16.5 34 1 16.5 35 1 17 35 1 17 36 1 17 38 2 17 37 2 17 37 2 18 44 2 17 40 2 17.5 41 3 18 39 3 18 47 3 17 35 3 18.5 46 3 16.5 33 4 18 43 4 16.5 34 4 18 41 4 16.5 36 4 17 35 5 17 34 5 17 32 5 17 34 5 17 35 5 16 34 6 17.5 37 6 18 44 6 17 37 6 17 37 6 16.5 35 7 18 33 7 17 39 7 17.5 39 7 18 42 7 17 35 8 18 41 8 17 34 8 16 33 8 16.5 36 8 16.5 36 9 16.5 44 9 17 37 9 17 39 9 17 34 9 17 36 10 17 37 10 18 42 10 16.5 31 10 18 42 10 16 33 11 17.5 40 11 16.5 35 11 17 37 11 16.5 35 11 17 35 12 18 42 12 17.5 40 12 16.5 36 12 17 37 12 17.5 35 13 16.5 37 13 18 40 13 17 36 13 17.5 41 13 16 34 14 17 36 14 17 35 14 16.5 31 14 16.5 32 14 17 36 15 17.5 32 15 17.5 38 15 17 36 15 17 35 15 17 37 16 16.5 33 16 17 37 16 17 35 16 16 32 16 17.5 41 17 17 37 17 17.5 32 17 17 35 17 17 33 17 16 35 18 17.5 38 18 16.5 33 18 17 37 18 16 32 18 17 36 19 17.5 43 19 17 36 19 17 37 19 17 33 19 17.5 42 20 18 34 20 17 37 20 17 38 20 17 37 20 17.5 42 21 18 46 21 17.5 40 21 17 39 21 17 36 21 18 45

(37)

Sampling ke-3

Bak 1 Bak 2 Bak 3 Bak 4 Bak 5

no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat no. Panjang Berat

1 16.5 34 1 16.5 35 1 17 36 1 17 33 1 17.5 42 2 17 38 2 17 37 2 17 35 2 17 34 2 17 35 3 18 43 3 18 47 3 18 42 3 18.5 46 3 17 33 4 17 34 4 16.5 34 4 17 34 4 16.5 37 4 16 34 5 17.5 37 5 17 33 5 17 36 5 17 34 5 16.5 35 6 17 38 6 17 39 6 17.5 39 6 17 35 6 17 34 7 17 44 7 17 35 7 16.5 33 7 18 43 7 16.5 38 8 18 36 8 18 43 8 17 36 8 16.5 36 8 17 36 9 17 39 9 16.5 35 9 16.5 32 9 17 36 9 16 35 10 17.5 43 10 17.5 40 10 17 36 10 16.5 35 10 17 37 11 18 43 11 18 41 11 17 36 11 17 37 11 17.5 41 12 17 39 12 17 36 12 17 37 12 16.5 32 12 16.5 34 13 18 33 13 17.5 41 13 16.5 32 13 17 37 13 17 37 14 17.5 40 14 17 39 14 17 37 14 16 32 14 18 40 15 17 38 15 17.5 34 15 17 38 15 17 37 15 16 36 16 17.5 38 16 16.5 33 16 17 37 16 16 32 16 17 41 17 18 43 17 17 38 17 17.5 40 17 17 37 17 17.5 42 18 18 34 18 17 38 18 17 40 18 17 40 18 18 43

Gambar

Tabel 1  Tingkat kelangsungan hidup udang vaname.

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian ICDE yang menyatakan bahwa UT merupakan LO sejalan dengan Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa salah satu program reformasi adalah mentransform

Tarpasmeninis (socialinis) intelektas suteikia galimyb ę suprasti kitus žmones, jų jausmus, jautriai bendrauti tarpusavyje, tapti lyderiu savo grup÷je. Nat ū ralistinis

a. Perilaku tersebut lebih dari ketentuan pekerjaan yang telah ditentukan. Tindakan tersebut tidak memerlukan latihan, bersifat alami dan sukarela c. Tindakan tersebut tidak

Tahapan pelatihan adalah untuk mendapat bobot nilai pada file huruf dan angka dari pelatihan yang telah diinputkan selanjutnya dilakukan proses yang dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ibu menyusui, keluarga, dan masyarakat dalam melakukan kegiatan family friendly melalui integrasi model family center nursing

Menurut hasil penelitian yang sudah didapat, menunjukkan bahwa adanya pengaruh persepsi kegunaan yang positif signifikan terhadap minat beli. Berdasarkan Tabel 3.10,

Amandemen harus dilakukan dalam rangka perubahan terhadap Buku Pedoman Pengoperasian Bandar Udara (aerodrome manual) untuk memastikan status amandemen serta data dan

Efektivitas media yaitu media dapat digunakan sebagai media pembelajaran, Media sesuai dengan tujuan pembelajara, Isi media sudah relevan dengan materi yang dipelajari,