• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat keratitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat keratitis"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Patofisiologi Gejala Herpes Simplek

HSV adalah virus DNA yang umumnya menyerang manusia. Infeksi terjadi oleh kontak langsung kulit atau membran mukosa dengan lesi virus-laden atau sekresinya. HSV yang menyerang manusia terdiri dari dua tipe yaitu HSV tipe 1 dan tipe 2. HSV tipe 1 (HSV-1) infeksinya terutama pada daerah orofasial dan ocular, sementara HSV tipe 2 (HSV-2) umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebabkan penyakit genitalia. HSV-2 jarang namun dapat menginfeksi mata melalui kontak orofasial dengan lesi genitalia dan secara tidak sengaja ditularkan kepada neonatus ketika neonatus lahir secara normal pada ibu yang teinfeksi HSV-2.

Keratitis herpetika yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal. Perbedaan ini perlu dipahami karena mekanisme kerusakannya yang berbeda.

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma,

(2)

leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.

Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Nebula bila ulkus tidak terlalu dalam dan tampak sebagai bercak seperti awan, yang hanya dapat dilihat di kamar gelap dengan cahaya buatan. Makula, terjadi bila ulkus lebih dalam dan tampak sebagai bercak putih yang tampak di kamar biasa. Leukoma, didapat bila ulkus lebih dalam lagi dan tampak sebagai bercak putih seperti porselen, yang sudah tampak dari jarak jauh.

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada kotoran mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat .

A. Manifestasi Klinis

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikularis, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat

(3)

terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didomininasi oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas.

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi siliar, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia. Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.Dengan mekanisnie yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks.

Herpes simpleks primer pada mata jarang ditemukan, bermanifestasi sebagai blefarokonjugtivitis vesikular, kadang-kadang mengenai kornea dan umumnya terdapat pada anak-anak muda. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti.

Serangan keratitis herpes jenis rekurens umumnya dipicu oleh demam, pajanan sinar yang berlebihan terhadap cahaya sinar UV, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau keadaan imunosupresi lokal atau sistemik lainnya. Umumnya unilateral, namun lesi bilateral dapat terjadi pada 4-6% kasus dan paling sering pada kasus atopik.

1. Gejala

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian sentral terkena akan terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anastesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejalanya minimal dan

(4)

pasien tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh-lepuh demam atau infeksi herpes lain, tetapi ulkus kornea terkadang merupakan satu-satunya gejala pada infeksi herpes rekurens.

2. Lesi

Lesi kornea dapat digolongkan menjadi 5 jenis, yaitu: a. Ulserasi dendritik

Paling khas, yang ditandai oleh percabangan linear khas dengan tepian kabur, dan memiliki bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya, yang akan terwarnai oleh fluoresin dan berkurangnya sensasi kornea.

a.

(5)

Gambar 1. a) Keratitis Dendritik tanpa flourescin; b) Keratitis Dendritik yang diwarnai dengan fluoresin

b. Ulserasi geografik (ameboid)

Bentuk ulkus dendritik kronik dengan lesi dendritik halus yang bentuknya lebih lebar. Tepian ulkus tidak terlalu kabur. Sensasi kornea menurun seperti pada penyakit kornea lainnya. Keadaan ini terutama terjadi pada mata yang diobati dengan steroid topikal secara kurang hati-hati.

Gambar 2. Ulkus geografik

c. Keratitis trofik

(6)

d. Keratitis disiformis

Terjadi karena hipersensitivitas terhadap virus herpes yang ditandai dengan penebalan stroma pada zona sentral dan edema epitel yang disertai iritis dan presipitat keratik.

Gambar 3. Keratitis Disiformis

e. Keratitis nekrotik (infiltratif)

Bentuk ini jarang terjadi, tetapi sangat serius karena dapat menimbulkan perforasi dan pembentukan parut kornea. Stroma kornea menjadi seperti keju dan keruh akibat infiltrasi aktif dan destruksi.

Keratitis varisela Zoster

Keratitis varisela zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini, maka akan memberikan keluhan pada daerah yang

(7)

vesikel pada kulit. Pada mata akan terasa sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa).

Berbeda dari keratitis virus herpes simplek rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratitis varisela zoster mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendrite pada keratitis herpes simplek virus. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis disiformis dan mirip keratitis disiformis herpes simplek virus. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit virus varisela zoster mata.

2.3.6 Diagnosa

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus(Vaughan, 2009).

Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini(Vaughan, 2009).

(8)

Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.

Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.

Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.

Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.

Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.

B. Diagnosis

Pemeriksaan pada Kornea 1. Uji Fluoresein

Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.

(9)

Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan mata berwarna hijau.

3. Uji Placido

Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris.

4. Uji Sensibilitas Kornea

Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma kimia. Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah :

1. Mikroskop cahaya : sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi (Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang membesar menyerupai balon (balloning) dan ditemukan fusi.

2. Kultur virus dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV dapat berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya jika cairan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk

(10)

berkembang, hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.

3. Mikroskop elektron : mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali pada kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per millimeter.

4. Pemeriksaan antigen langsung : sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahay elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur virus.

5. Serologi : dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II serologic assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi antibodi yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi, sensitifitasnya 78% - 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaik di samping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga ahli.

6. Deteksi DNA HSV dengan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung sel manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil dari DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.

(11)

7. Kultur Virus : pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright, dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes Tzank dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi herpes virus. A. Diagnosis

Gambaran spesifik dendrit tidak memerlukan konfirmasi pemeriksaan yang lain. Apabila gambaran lesi tidak spesifik maka diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis infeksi kornea yang relatif sedang, dengan tanda – tanda peradangan yang tidak berat serta riwayat penggunaan obat – obatan yang menurunkan resistensi kornea seperti : anestesi lokal, kortikosteroid dan obat – obatan imunosupresif. Apabila fasilitas memungkinkan dilakukan kultur virus dan jaringan epitel dan lesi stroma.

B. Diagnosis banding - Keratitis zooster

- Vaksinia

- Keratitis stafilococcus

2.7 PEMERIKSAAN

Pemeriksaan pada Kornea : 5. Uji Fluoresein

Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.

6. Uji Fistel

Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan mata berwarna hijau.

(12)

Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris.

8. Uji Sensibilitas Kornea

Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma kimia. Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah :

8. Mikroskop cahaya

Sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi (Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang membesar menyerupai balon (balloning) dan ditemukan fusi.

9. Kultur virus

Sampel berasal dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV dapat berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya jika cairan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk berkembang, hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.

(13)

Mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali pada kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per millimeter.

11. Pemeriksaan antigen langsung

Sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahay elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur virus.

12. Serologi

Menggunakan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II serologic assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi antibodi yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi, sensitifitasnya 78% - 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaik di samping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga ahli.

13. Deteksi DNA HSV

Menggunakan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung sel manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil dari DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.

14. Kultur Virus

Pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright, dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes Tzank dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi herpes virus.

(14)

a. Gejala Klinis

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens (Vaughan, 2009).

Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia (Ilyas, 2000).

b. Lesi

Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial (Vaughan, 2009).

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat bentukan ulkus

(15)

bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil (Ilyas, 2006).

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009).

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes,

(16)

namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder (Vaughan, 2009).

c. Patogenesa

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009).

(17)

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Tabel 1. Perbedaan antara Keratitis Herpes Simpleks dan Herpes Varisella Zoster Herpes Simpleks Virus Herpes Zoster Virus

Distribusi dermatom Lengkap Lengkap

Sakit Sedang Parah

Morfologi dendrit Ulserasi sentral dengan lampu terminal; geografis

dihadapan kortikosteroid

Kecil tanpa ulserasi pusat atau lampu terminal; plak lendir dendritiform terjadi

kemudian

Kulit bekas luka Tidak ada Umum

Post herpetic neuralgia Tidak ada Umum

Atrofi iris Setengah-setengah sektoral

Keterlibatan bilateral Luar biasa Tidak ada

Keratitis epitel berulang Umum Jarang

Gambar

Gambar 1. a) Keratitis Dendritik tanpa flourescin; b)  Keratitis Dendritik yang diwarnai dengan fluoresin
Gambar 3. Keratitis Disiformis
Tabel 1. Perbedaan antara Keratitis Herpes Simpleks dan Herpes Varisella Zoster

Referensi

Dokumen terkait