7 PEMBAHASAN UMUM
Kendala umum yang dianggap sebagai penyebab kurang berhasilnya beberapa kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Indonesia diantaranya adalah: (1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk suatu kemajuan; (2) Struktur armada penangkapan yang masih didominasi oleh skala kecil dengan kemampuan IPTEK yang rendah; (3) Tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan lainnya masih timpang; (4) Masih banyaknya illegal fishing, unreported fishing, unregulated fishing yang terjadi karena lemahnya sistem monitoring dan pengawasan, serta kurangnya law enforcement di perairan laut Indonesia; (5) Infrastruktur perikanan untuk usaha penangkapan ikan belum memadai; (6) Masalah kerusakan ekosistem dan lingkungan laut akibat penambangan dan aktivitas manusia lainnya; (7) Rendahnya kemampuan pascapanen maupun pengolahan hasil perikanan; (8) Lemahnya market inteligence, yang meliputi penguasaan informasi pesaing, segmen pasar, selera konsumen, dan akses pasar; (9) Lemahnya management information system yang berbasis teknologi informasi dalam penyediaan data yang akurat dan tepat waktu; (10) Belum berkembangnya bioteknologi kaelautan dan perikanan; (11) Kualitas infrastruktur dan kapasitas kelembagaan di bidang kelautan dan perikanan belum optimal; (12) Lemahnya akses permodalan; (13) Lemahnya Public Policy (kebijakan publik) dan peraturan-peraturan di bidang perikanan yang terintegrasi dangan pemangku kepentingan (stakeholder) perikanan yang lain.
Kendala umum tersebut diperkirakan menjadi penyebab ketertinggalan nelayan kecil dari berbagai aspek kehidupan, dan kontribusi sektor perikanan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia baru sebesar 20,06%. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan perolehan negara-negara lain dengan garis pantai yang lebih pendek, seperti Korea Selatan (37%) dan Jepang (54%).
Dilihat dari penyerapan tenaga kerja, dengan potensi sumberdaya yang sangat besar, jumlah penduduk yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan
juga masih terbilang amat kecil yaitu 613.217 rumah tangga, atau sekitar 2,5 juta orang pada tahun 2004 (BPS, 2006). Dengan demikian penduduk yang bekerja di sektor perikanan laut tidak sampai 3 % dari total penduduk yang bekerja. Kecilnya proporsi jumlah penduduk yang bekerja sektor ini disinyalir terkait dengan kurangnya modal usaha dan prasarana yang dimiliki. Faktor modal ini mencakup biaya operasi, pengadaan alat tangkap, kapal motor, dan jaminan hidup selama beroperasi. Di sisi lain, kapasitas pemerintah terhadap permasalahan ini sangat minim, sehingga para tengkulak dan rentenir secara tradisional berperan dalam penyediaan modal namun kesejahteraan tidak pernah membaik. Padahal jika nelayan memiliki akses terhadap modal dengan biaya rendah kesejahteraan nelayan akan membaik. Selanjutnya, jika potensi kelautan dan perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal, bukan saja dapat mengurangi pengangguran tetapi juga dapat mensejahterakan nelayan, meningkatkan devisa dan ketersediaan protein hewani di dalam negeri.
Lemahnya kebijakan publik (public policy) dan peraturan-peraturan di bidang perikanan merupakan gambaran kurang terintegrasinya para pemangku kepentingan (stakeholder) perikanan. Kebijakan yang pernah atau masih ada umumnya bersifat sentralistik dan umum, sehingga kebijakan tersebut kurang efektif untuk mengatasi permasalahan lokal, kepentingan masyarakat yang mendasar, dan kurang mempertimbangkan potensi serta kondisi daya dukung sumberdaya setempat. Turunan dari kebijakan publik tersebut yaiyu program dan kegiatan yang diluncurkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan sampai saat ini belum juga menunjukkan hasil yang signifikan bagi kesejahteraan nelayan.
Dari kendala-kendala pembangunan perikanan tangkap tersebut, yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengaruh kebijakan publik (program PEMP sebagai kebijakan publik), perekayasaan kelembagaan (program PEMP sebagai perekayasaan program pemberdayaan nelayan), dan kemampuan berbisnis individu (program PEMP sebagai program pemberdayaan yang mengembangkan kewirausahaan nelayan keci)l, terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil.
7. 1 Kebijakan publik pembangunan nelayan kecil
Menurut Suharto (2005), kebijakan publik adalah sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata, sebagai upaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. Kebijakan publik di negara-negara maju sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini disebabkan sebagian besar dana untuk kebijakan tersebut dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintah) ke governance (tatakelola) sehingga kebijakan publik dipandang tidak lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari “penguasa orang banyak” yang diidentikkan dengan pemerintah, ke “bagi kepentingan orang banyak” yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan.
Kebijakan publik dalam penelitian ini difokuskan pada kebijakan pemerintah yang bertujuan memberdayakan masyarakat pesisir khususnya nelayan, yang diimplementasikan dalam bentuk program PEMP yang diinisiasi oleh DKP. Secara khusus analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh adanya program pemberdayaan sebagai kebijakan publik yang bertujuan mengatasi kebutuhan permodalan (berupa dana ekonomi produktif/DEP), yang penyalurannya menggunakan sistem dan mekanisme tertentu (skim kredit), dan dalam pelaksanaannya melibatkan lembaga perbankan sebagai bank mitra, terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil.
Kebijakan pemerintah dalam hal ini DKP meluncurkan Program PEMP, yang dirancang sejak tahun 2001 sampai dengan 2009 dapat dipandang sebagai upaya kongkret untuk mengatasi hal-hal seperti disebutkan sebelumnya. Program pemberdayaan ini merupakan penjabaran dari kebijakan publik/Pemerintah untuk mengatasi kemiskinan nelayan sesuai dengan amanat UU No. 31 tahun 2004 tentang pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, yaitu: (1) membangun penguasaan akan keterampilan dasar teknologi yang berkaitan dengan perikanan; (2) membangun keterampilan usaha dan manajerial; (3) meningkatkan praktek dan pengalaman usaha; dan (4) mengembangkan kewirausahaan secara terus menerus ke depan.
Program PEMP sejatinya ditujukan untuk mengatasi kebutuhan permodalan nelayan kecil, yang pada umumnya sementara ini sebagian besar dipenuhi oleh para tengkulak/juragan dan pelepas uang. Sebagaimana telah banyak diungkap, bahwa salah satu penyebab keterpurukan nelayan adalah lemahnya akses terhadap sumber modal. Karena modal dipandang sebagai energi utama bagi kelangsungan usaha dan kesejahteraan nelayan apabila diperoleh dari sumber dana yang benar, dan digunakan secara tepat dengan perhitungan usaha yang matang. Tetapi modal juga bisa menjadikan nelayan terus terpuruk dan terlilit utang secara berkepanjangan apabila diperoleh dari sumber dana yang tidak jelas, dengan bunga di luar batas aturan normal, dan hanya menguntungkan satu pihak. Oleh karena itu, agar mereka dapat mengakses modal dari lembaga keuangan resmi dengan aturan yang jelas dan terlindungi secara hukum, maka sejak awal mereka harus diperkenalkan dengan lembaga-lembaga keuangan resmi seperti perbankan dan sejenisnya, dengan segala produk, mekanisme, dan persyaratannya. Demikian pula agar modal yang diperoleh nelayan betul-betul berguna untuk keperluan usahanya secara tepat, berkembang dan berkelanjutan, maka perlu adanya pendampingan teknis dan manajerial usaha sesuai dengan potensi yang ada.
Kendala yang dihadapi oleh program-program pemberdayaan selama ini di antaranya adalah melekatnya pemahaman bahwa setiap program bantuan pemerintah yang ditujukan untuk penguatan modal atau sejenisnya, sering dipahami sebagai bantuan yang tidak perlu dikembalikan, demikian pula dalam penggunaannya yang bebas digunakan untuk apa saja. Pada sisi yang lain tidak adanya aturan dan sangsi yang jelas sebagai pembelajaran bagi peserta program yang menggunakan bantuan tidak sesuai aturan, sehingga sebesar apapun bantuan pemerintah menjadi tidak berbekas dan berdampak pada kesejahteraan. Demikian pula dengan pengelolaan dana program, selama ini umumnya hanya dikelola oleh lembaga pemerintah atau lembaga masyarakat yang kurang profesional, sarat dengan kolusi, dan lemah secara hukum.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa persepsi masyarakat/responden terhadap kebijakan/program pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan nelayan baik di Cirebon maupun Indramayu menunjukan bahwa kebijakan adanya
program PEMP tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat nelayan setempat (sekitar 30-35 % responden baik di Cirebon maupun Indramayu memberikan penilaian baik) terhadap kebijakan publik. Responden yang belum puas umumnya adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk mengikuti dan memenuhi persyaratan program.
Dari hasil penelitian, dekomposisi faktor-faktor penentu keragaan pembangunan perikanan tangkap menunjukkan, bahwa secara keseluruhan kebijakan publik pembangunan perikanan sebagai program pemberdayaan menunjukkan pengaruh paling nyata terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap (Tabel 17). Baik di Cirebon maupun Indramayu (sekitar 53-58 % responden, baik di Cirebon maupun Indramayu memberikan penilaian 4 dan 5 skala Likert) terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap. Hal ini disebakan karena pendekatan pengelolaan program-program pemberdayaan masyarakat terutama untuk nelayan yang selama ini bersifat sentralistik sudah mulai terdistribusi ke daerah sejalan dengan berjalanya otonomi daerah. Seperti disebutkan pada Bab 2 tentang “Organisasi pengelola program PEMP” bahwa dalam pelaksanaannya program PEMP melibatkan beberapa pemangku kepentingan sesuai dengan tugas dan fungsinya, yaitu (1) Pemerintah pusat, dalam hal ini DKP, yang bertindak sebagai penanggung jawab dan pembina program pada tingkat nasional. Berfungsi dalam penyusunan pedoman umum, sosialisasi dan pelatihan tingkat nasional, monitoring dan evaluasi, serta pelaporan, (2) Pemerintah Daerah, dalam hal ini DKP provinsi yang bertugas menyeleksi dan mengusulkan kabupaten/kota calon penerima program, terlibat dalam sosialisasi, monitoring dan evaluasi. (3) DKP kabupaten/kota sebagai penanggung jawab operasional program bertugas menetapkan Konsultan Manajemen (KM), koperasi pelaksana, melaksanakan sosialisasi dan publikasi tingkat kabupaten/kota, memfasilitasi pembentukan LKM, perekrutan Tenaga Pendamping Desa (TPD), pelatihan, monitoring, evaluasi, dan pelapora, (4) Konsultan Manajemen (KM), yaitu konsultan yang ditunjuk untuk membantu DKP kabupaten/kota dalam pelaksanaan program dalam aspek teknis dan manajemen, (5) Tenaga Pendamping Desa (TPD), yaitu tenaga profesional yang bersedia tinggal di tengah masyarakat sasaran, bertugas mendampingi masyarakat selama kegiatan program, (6)
Koperasi, yang merupakan holding company masyarakat pesisir dengan berbagai unit usaha, yang berfungsi sebagai ujung tombak pelaksanaan program PEMP di daerah, (7) Bank Pelaksana, yaitu lembaga perbankan yang ditetapkan oleh DKP dengan tugas dan fungsi menyediakan kredit bagi koperasi sebagai konsekuensi dari adanya DEP yang dijaminkan untuk kegiatan penguatan modal.
Dari fakta tersebut terlihat bahwa Pemerintah Daerah dan LSM sudah dilibatkan dalam program sejak tahap perencanaan, sosialisasi, dan pelaksanaan, serta pembinaan dan pengawasan. Dengan demikian Pemerintah daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap terlaksananya program dengan baik untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, dan menghindari “tragedi milik bersama”. Tanggung jawab ini harus dilaksanakan secara seimbang antara tanggung jawab memberdayakan masyarakat dan melestarikan sumberdaya. Sudah saatnya pemerintah daerah mempertimbangkan untuk menerapkan prinsip ko-manajemen dimana otoritas pengelolaan perikanan (sementara ini adalah pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota) secara bersama dengan stakeholder merancang dan menentukan pengelolaan perikanan.
Di beberapa daerah, ko-manajemen bisa dikembangkan dengan mudah karena adanya kelembagaan dan pranata lokal yang mendukung. Dimanapun daerahnya, tugas pemerintah daerah dengan dibantu oleh Pusat, melakukan identifikasi dan karakterisasi kelembagaan sosial yang mungkin dijadikan basis pengembangan ko-manajemen. Alternatif lain, pemerintah harus dapat membagi wewenang dan tanggung jawabnya kepada masyarakat secara langsung atau melalui organisasi masyarakat atau lembagsa sosial masyarakat (LSM) yang ada di setiap daerah. Pemberdayaan model PEMP yang melibatkan berbagai pihak terkait dalam setiap tahapan sesuai fungsinya, dan bersifat accountable, merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kebuntuan yang ada.
Berdasarkan hasil analisis pengembangan, bagi kawasan perairan yang sudah overfishing, dan profesi nelayan sudah tidak layak lagi dipertahankan, kebijakan publik di masa yang akan datang sebaiknya mencakup relokasi nelayan dan pengembangan mata pencaharian alternatif. Walaupun sangat disadari bahwa rekomendasi tersebut bukan persoalan yang mudah untuk diimplementasikan
karena untuk perpindahan lokasi dan perubahan profesi memerlukan pengetahuan, keterampilan, sarana, dan lingkungan usaha yang baru. Rekomendasi lain yang mungkin dapat diterima masyarakat nelayan adalah peningkatan kualitas SDM untuk menyiapkan mereka agar dapat menyerap teknologi yang dapat meningkatkan hasil tangkapan. Teknologi yang diterapkan hendaknya bersifat teknologi tepat guna yang mudah diserap oleh kemampuan SDM dan sesuai dengan potensi lokal. Dengan adanya peningkatan teknologi penangkapan, diharapkan daerah tangkapan menjadi lebih jauh ke tengah dan masa tangkapan menjadi lebih lama, yang akan berakhir dengan pendapatan yang lebih besar. Permasalahan yang akan muncul selanjutnya adalah setelah produktivitas meningkat diperlukan ketersediaan pasar dan modal kerja.
Apabila rekomendasi ini dikaitkan dengan program PEMP, maka permasalahan pasar dan kebutuhan modal dapat diatasi dengan adanya lembaga keuangan mikro (LKM) yang dapat diakses oleh masyarakat nelayan. Format LKM ini dapat berupa unit usaha utama koperasi dan lembaga perbankan, sedangkan kebutuhan pasar dapat diwadahi oleh koperasi sebagai penyangga produksi, atau unit khusus pemasaran hasil sebagai salah satu unit usaha koperasi. Untuk menunjang kelangsungan usaha berkaitan dengan sarana produksi, di dalam program PEMP telah diinisiasi unit usaha khusus yang akan mewadahi kepentingan sarana penangkapan yaitu unit usaha Kedai Pesisir. Kedai pesisir didesain untuk memenuhi kebutuhan nelayan terhadap alat penangkapan dan sarana produksi lainnya dengan harga terjangkau, dan berada di sekitar lokasi usaha (pesisir).
Sebagai bentuk perlibatan masyarakat (partisipatif), adanya kemitraan, kemandirian, dan adanya unsur bisnis profesional dalam kebijakan/program ini adalah:
(1) PEMP dikelola oleh lembaga masyarakat atau perwakilan dari masyarakat dalam satu lembaga berbadan hukum Koperasi, sedangkan dinas terkait bertindak hanya sebagai pembina dan fasilitator;
(2) bermitra dengan sektor ekonomi terkait, seperti koperasi, perbankan, swasta, dan stakeholders lainnya;
(3) berorientasi bisnis, sehingga dituntut perencanaan dan perhitungan yang matang, mandiri, dan dikelola secara profesional, serta penuh tanggung jawab;
(4) dikelola secara transparan dan accountable.
Dari uraian tersebut, maka sangat beralasan apabila program PEMP sebagai salah satu kebijakan publik di bidang perikanan sudah mulai mendapat tempat di sebagian besar nelayan dan Pemerintah Daerah. Hal ini juga tidak lepas dari upaya sosialisasi program yang terus menerus dan melibatkan seluruh stakeholder, baik Pusat maupun Daerah, baik unsur pelaksana maupun pengawasan, yang kesemuanya itu sudah dilibatkan sejak penyusunan Pedoman Umum pelaksanaan program (DKP, 2004).
Hal yang masih perlu mendapat perhatian berkaitan dengan masih adanya responden yang masih memberikan tanggapan negatif/buruk atau belum bisa menerima yang disebabkan oleh kesulitan mengikuti persyaratan ádalah: Perlu adanya keberpihakan kebijakan kepada nelayan kecil dalam bentuk segmentasi/pengkelasan tingkat kemampuan ekonomi nelayan sasaran program, sehingga setiap level sasaran diperlakukan sesuai kemampuannya, Adanya pengkelasan status kemampuan nelayan kecil tersebut ke dalam potential passive, potential active, feasible, eligible, dan bankable, dapat dijadikan patokan penentuan skim pembiayaan.
7.2 Perekayasaan kelembagaan
Arifin dan Rachbini (2001), menyebutkan bahwa pengertian kelembagaan mencakup dua demarkasi penting, yaitu konvensi (conventions) dan atau aturan main (rules of the games). Untuk menegakkan konvensi dan aturan diperlukan otoritas eksternal seperti Negara, karena apabila seseorang dapat saja mempunyai insentif untuk mencuri hak-hak orang lain. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Setiap perilaku ekonomi juga sering disebut kelembagaan, sehingga setiap yang dinamis, berproses, beraktivitas, yang berupa manajemen, semuanya
tercakup dalam ekonomi kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going concerns).
Dengan demikian kelembagaan menentukan “bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain (kebolehan atau liberty), bagaimana mereka dapat (mampu) mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif (kemampuan atau hak), dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya. Dikatakan bahwa kelembagaan itu adalah serangkaian hubungan keteraturan (ordered relationships) antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai hak orang lain, dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan tersebut.
Berkaitan dengan kelembagaan, baik dalam bentuk aturan maupun organisasi, merupakan hal yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Minimnya keterlibatan (patisipasi) masyarakat sasaran dalam program pemberdayaan menyebabkan sasaran program menjadi tidak akurat, karena mereka tidak dilibatkan dalam program baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam pengawasan. Sehingga program yang diluncurkan terkesan bukan sebagai aksi kolektif yang harus diusung dan dipertanggungjawabkan bersama melainkan sebagai program yang berdiri sendiri. Keterlibatan stakeholders masih dianggap tabu, sehingga harapan agar program tersebut mendapat respon positif malah terjadi sebaliknya.
Kelembagaan nelayan diharapkan mampu mewadahi, menaungi dan menjembatani kepentingan, serta memfasilitasi kerjasama semua pelaku pembangunan perikanan tangkap, seperti nelayan, kalangan swasta, dan kalangan pemerintah baik pusat maupun daerah. Program pemberdayaan yang diteliti ini merupakan rekayasa kelembagaan melalui pengembangan lembaga keuangan mikro.
Konsep pengembangan LKM dalam program PEMP didasari bahwa LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) khususnya dalam hal sumberdaya finansial pada saat pihak perbankan tidak mampu menjangkaunya ataupun masyarakat tidak mampu memenuhi persyaratan konvensional skema perkreditan bank. LKM mempunyai karakteristik yang ”merakyat”, yaitu sesuai dengan ritme kehidupan ekonomi masyarakat, dengan prosedur sederhana dan mudah.
Secara khusus program PEMP membangun LKM Swamitra Mina, sebagai produk kerjasama program dengan PT Bank Bukopin. LKM tersebut adalah hasil rekayasa dari lembaga keuangan konvensional menjadi lembaga keuangan modern, yaitu operasionalisasinya sudah menggunakan manajemen perbankan dengan sistem online atau off line.
Mekanisme penyaluran dana kepada masyarakat yang semula menggunakan sistem dana bergulir, direkayasa menjadi dana program yang dihibahkan kepada koperasi masyarakat pesisir (koperasi LEPP-M3) sebagai perwakilan masyarakat nelayan, dan merupakan sasaran antara dari program. Namun dana berstatus hibah tersebut wajib disimpan di rekening koperasi di bank pelaksana dengan status sebagai jaminan bagi pinjaman koperasi di Bukopin. Dengan demikian masyarakat tidak meminjam langsung ke perbankan dengan segala persyaratanya, tetapi melalui LKM dengan mekanisme unit simpan pinjam-nya (USP) koperasi yang dipadu dengan mekanisme perbankan, terutama dalam menguji kelayakan usulan, penilaian agunan, dan manajemen keuangan.
Semua rekayasa kelembagaan ini adalah dalam rangka mendidik dan secara pelan-pelan merubah perilaku nelayan yang semula kurang bertanggungjawab menjadi bertanggungjawab, yang semula tidak mengenal manajemen menjadi menggunakan manajemen usaha. Yang pada akhirnya kelak mereka mampu mengakses modal usahanya langsung dari perbankan. Di samping itu mereka juga diharapkan mampu memilih sendiri lembaga pendanaan atau perbankan yang sesuai dengan kemampuan akses mereka. Swamitra Mina juga mendidik para pengelola untuk bekerja secara profesional dan transparan, karena keragaan manajemen Swamitra Mina online dapat diakses oleh siapa saja di layar komputer, sedangkan yang offline dipantau bank mitra dengan ketat dan secara periodik.
Dilihat dari sisi hukum, dengan status berbadan hukum, maka Koperasi LEPP-M3 telah memenuhi peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa hanya lembaga perbankan dan koperasi yang berbadan hukum yang diperbolehkan menyerap dana masyarakat dan memberikan pinjaman kepada masyarakat.
Variabel-variabel kelembagaan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi lembaga/organisasi nelayan, lembaga kemasyarakatan yaitu Koperasi LEPP-M3 (koperasi yang terbentuk dalam rangkaian proses penguatan kelembagaan/institusionalisasi program PEMP), dan kelembagaan keuangan nelayan yaitu LKM Swamitra Mina dan Unit Simpan Pinjam (USP) koperasi. Berdasasarkan hasil penelitian (Tabel 17), Koperasi LEPP-M3 paling berperan dalam perekayasaan kelembagaan program pemberdayaan.,
Status LKM di dalam program adalah sebagai salah satu unit usaha koperasi LEPP-M3 di bidang keuangan mikro, sedangkan Swamitra adalah LKM produk Bank Bukopin yang pengelolaannya bekerjasama dengan koperasi. Mekanismenya adalah Bukopin menyediakan pinjaman untuk koperasi dengan bunga tertentu, dan koperasi meminjamkan kepada anggotanya dengan bunga tertentu pula. Keuntungan koperasi dalam bentuk Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagi dengan Bukopin sesuai dengan perjanjian dan aturan yang disepakati oleh kedua belah pihak (PEDUM PEMP, 2004). Keuntungan yang dapat dipetik dari kerjasama ini adalah: (1) Koperasi mendapatkan modal untuk pinjaman anggotanya (nelayan) dengan bunga terjangkau, (2) nelayan bisa mendapatkan pinjaman dengan mekanisme dan persyaratan yang relatif mudah dengan bunga sesuai pasar, (3) “berdasarkan pengalaman”, bagi koperasi/LKM dengan keragaan bagus, bank dapat memberikan modal tanpa batas, (4) koperasi/LKM mendapatkan manajemen pengelolaan keuangan secara profesional seperti layaknya manajemen perbankan, sehingga mandiri (tidak tergantung dan tidak bisa diintervensi pihak luar), (5) sistem pengelolaan keuangan bersifat transfaran dan accountable, terutama bagi yang pengelolaanya sudah menggunakan online system.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden di Kabupaten Cirebon dan Indramayu menganggap bahwa rekayasa kelembagaan tersebut bersifat edukatif, partisipatif, dan dipandang dapat menyelesaikan permasalahan secara berkelanjutan (sekitar 40-50 % responden baik di Cirebon maupun Indramayu memberikan penilaian baik/4-5 skala Likert) terhadap perekayasaan kelembagaan. Penerimaan dan penilaian yang baik dari masyarakat nelayan di kedua lokasi penelitian ini bisa dimengerti karena pada kenyataannya program-program pemerintah dalam hal ini DKP manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat.
Dampak positif dari rekayasa kelembagaan (berupa pembentukan, penguatan, dan pengembangan kelembagaan, serta kemitraan) terhadap keragaan pembangunan perikanan dapat dilihat dari: (1) semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengikuti aturan-aturan dan kesepakatan yang dibuat (mengikuti pedoman umum program dan persyaratan-persyaratan lainnya), (2) semakin besarnya pemupukan modal usaha yang dihimpun oleh koperasi. Hal ini digambarkan dengan meningkatnya kepercayaan lembaga perbankan dan lembaga keuangan lainya terhadap koperasi melalui unit usaha Lembaga Keuangan Mikronya, dalam bentuk pemberian tambahan pinjaman modal, (3) semakin banyak masyarakat sasaran di wilayah pesisir yang dapat dijangkau. Bertambahnya kemampuan modal koperasi dan tersedianya skim kredit dengan persyaratan sesuai dengan kondisi nelayan, maka akses masyarakat terhadap modal semakin besar, (4) meningkatnya kepercayaan lembaga lain, seperti perbankan dan investor, (5) bertambah luasnya jaringan usaha.
Sebagai contoh, pendapatan peserta program di Indramayu mengalami peningkatan pendapatan 57,32% - 72,46% dari pendapatan sebelumnya. Peserta lembaga-lembaga baru ini juga semakin bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Bila pada tahun 2001 hanya menjangkau 172 pemanfaat (57 diantara sektor penangkapan ikan), maka pada tahun 2006 sudah mencapai 986 pemanfaat (495 diantaranya penangkapan ikan).
Berkaitan dengan adanya kemungkinan bahwa pemberian kredit atau subsidi secara jangka panjang bisa menyebabkan ovecapitalized yang menyebabkan economic overfishing dimana jumlah armada yang semakin banyak
justru menghasilkan produksi perikanan yang semakin sedikit (Fauzi, 2005). Di samping itu untuk daerah yang sudah mengalami overfishing hal tersebut akan meningkatkan tekanan kepada daya dukung sumberdaya. Program PEMP sebagai program yang ditujukan untuk mengatasi kebutuhan permodalan nelayan kecil menyediakan rambu-rambu agar usaha perikanan tidak menyebabkan kejenuhan dan merugikan pelaku usaha. Dengan kata lain, bahwa PEMP merupakan instrumen pengendalian perikanan tangkap yang mungkin lebih efektif daripada pengendalian oleh otoritas pengelolaan perikanan. Melalui aturan/persyaratan yang diterapkan oleh LKM dalam bentuk seleksi dan identifikasi usaha yang sedang dan akan dilakukan oleh peminjam dana merupakan konsekuensi yang harus diambil oleh peminjam. Keunggulan khusus dibandingkan dengan rentenir atau pelepas uang adalah, rentenir tidak peduli dengan status sumberdaya ikan, dan hanya tertarik untuk mendapatkan keuntungan semata dari bunga utang dan pembelian ikan dengan harga murah dari nelayan pengutang.
7.3 Kemampuan berbisnis individu (entrepreneurship)
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah kemampuan seseorang untuk memulai usaha, menata semua urusan usahanya, selanjutnya mengambil risiko dalam rangka memperoleh keuntungan. Orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya (Nikijuluw, 2005). Prijosaksono dan Bawono (2004) memperkenalkan istilah kecerdasan wirausaha (entrepreneurial intelligence), yaitu dasar bagi seseorang, siapapun dia, untuk membangun usahanya. Kecerdasan wirausaha adalah dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya. Selanjutnya dikatakan bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya di sekitarnya secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya secara berkelanjutan.
Kemampuan berbisnis individu, yang diasumsikan akan meningkatkan kemampuan pengelolaan bisnis perikanan, dalam penelitian ini dikaji melalui tiga indikator, yaitu pengalaman usaha, pengetahuan, dan keberanian mencoba usaha baru. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, maka untuk menjadi wirausahawan yang tangguh diperlukan pengalaman yang memadai, pengetahuan yang mumpuni, dan keberanian mencoba usaha baru yang cukup.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa secara umum responden di kedua lokasi penelitian mempunyai pengalaman berbisnis yang cukup baik, mempunyai dasar-dasar berbisnis yang cukup baik. Pemahaman akan bisnis yang baik ini diduga berkaitan erat dengan status usaha yang dilakukan oleh keluarga nelayan. Selain profesi nelayan, profesi yang ditekuni oleh keluarga nelayan pada umumnya adalah bidang perdagangan hasil perikanan, pengolah hasil perikanan, dan jasa perdagangan sembako atau sarana perikanan. Umumnya mereka melakukan kegiatan bisnis perikanan secara turun temurun atau hanya mencoba keberuntungan. Meskipun demikian, nelayan di lokasi penelitian mempunyai keberanian yang cukup tinggi untuk mengambil resiko membuka usaha baru.
Hasil penelitian juga menunjukkan, bahwa secara sendiri faktor kemampuan berbisnis individu secara nyata paling berpengaruh terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil dibanding faktor lainnya (Tabel 16), dan secara bersama-sama (berkorelasi) pengaruhnya semakin kuat dengan faktor rekayasa kelembagaan (Tabel 18). Meningkatnya pengalaman dan pengetahuan nelayan, serta meningkatnya keberanian untuk mencoba usaha baru sebagai penyebab signifikannya pengaruh kemampuan berbisnis individu terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap (Tabel 17) . Walaupun secara umum, masyarakat perikanan melakukan kegiatan usaha perikanan secara turun-temurun atau mencoba, dan bukan karena proses pembentukan, namun apabila ada pembinaan yang tepat sesuai kebutuhan dan berbasis lokal dapat menimbulkan keberanian untuk berkreasi mencoba dan mengembangkan usaha baru. Berdasarkan analisis potensi dasar yang dimiliki masyarakat perikanan, kesadaran, dan nilai-nilai berbisnis dalam dirinya, maka peningkatan kemampuan berbisnis dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) membangun penguasaan keterampilan dasar teknologi yang berkaitan dengan
perikanan; (2) meningkatkan kemampuan manajerial usaha; (3) meningkatkan praktek dan pengalaman usaha; dan (4) mengembangkan jiwa dan praktek kewirausahaan secara terus menerus ke depan.
Dari hasil penelitian (Bab 6.5) strategi pengembangan “kemampuan berbisnis individu” di masa yang akan datang adalah: (1) Peningkatan kapasitas SDM dalam pengembangan wirausaha sesuai dengan potensi lokal. (2) Pengembangan teknologi tepat guna dalam rangka menciptakan usaha yang lebih bernilai ekonomis, (3) Peningkatan pemasaran produk perikanan untuk meningkatkan gairah usaha (bisnis) sektor perikanan, (4) Peningkatan bantuan permodalan melalui berbagai skim pemberian modal dengan persaratan ringan dan terjangkau masyarakat, (5) Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan.
7.4 Keragaan pembangunan perikanan tangkap
Dalam position paper pemberdayaan masyarakat pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan (2002) disebutkan, bahwa berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir (nelayan) dan cakupan pemberdayaan, maka pemberdayaan nelayan harus dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, yakni pembangunan dengan memiliki ciri-ciri: (1) berbasis lokal (melibatkan sumberdaya lokal sehingga return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Sumberdaya lokal yang patut digunakan adalah sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan (menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi), (3) berbasis kemitraan (kemitraan yang mutualistis antara orang lokal atau orang miskin dengan orang yang lebih mampu, untuk membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik atau profesional, serta pergaulan bisnis yang lebih luas), (4) secara holistik atau multi aspek (pembangunan mencakup semua aspek, setiap sumberdaya lokal patut diketahui dan didayagunakan), dan (5) bekelanjutan (keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri, mencakup aspek ekonomi dan sosial).
Keragaan pembangunan perikanan tangkap dalam penelitian ini dikaji dengan menggunakan 3 indikator utama, yaitu berbasis lokal, berorientasi pada peningkatan kesejahteraan, dan berkelanjutan. Hasil penelitian (Tabel 15), menunjukkan bahwa indikator “berorientasi peningkatan kesejahteraan” paling berpengaruh terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap dibanding indicator lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa meskipun ada beberapa catatan, baik nelayan di Cirebon maupun Indramayu memberikan penilaian yang baik terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap. Penilaian yang positif ini antara lain disebabkan oleh adanya berbagai bantuan modal yangt diterima nelayan yang selama ini menjadi kendala utama. Hasil penelitian di Cirebon menunjukkan bahwa sekitar 53% responden memberikan penilaian baik (nilai 4 dan 5 skala Likert) terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap dalam upaya mensejahterakan nelayan. Sedangkan jumlah responden di Indramayu yang memberikan apresiasi baik terhadap indikator manfaat kegiatan perikanan bagi kesejahteraan nelayan lebih tinggi yaitu 58%.
Masyarakat telah memahami akan pentingnya keberlanjutan penangkapan ikan, terbukti dari kuisioner yang diberikan, mereka membuat beberapa catatan tentang pelarangan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan. Sekitar 53% responden di Cirebon dan 48% responden di Indramayu memberikan penilaian baik (nilai 4 dan 5 skala Likert) terhadap keberlanjutan perikanan tangkap. Berbeda dari dua variabel sebelumnya, di Cirebon proporsi responden yang memberikan penilaian baik (nilai 4 dan 5 skala Likert) terhadap indikator manfaat kegiatan perikanan bagi masyarakat lokal relatif lebih rendah, yaitu sekitar 43%. Berbeda dengan di Cirebon, responden di Indramayu yang memberikan penilaian baik terhadap indikator ini justru menempati proporsi yang paling besar, yaitu sekitar 52% responden.
7.5 Pengaruh kebijakan publik, perekayasaan kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu, terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap
Hasil analisis SEM (Tabel 15), baik di Indramayu maupun di Cirebon menunjukkan bahwa semua faktor penentu keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil dalam penelitian ini mempunyai pengaruh yang nyata. Program PEMP ternyata mempunyai dampak yang lebih besar terhadap masyarakat perikanan yang didominasi oleh usaha perikanan berskala kecil dibandingkan dengan terhadap masyarakat perikanan yang didominasi oleh usaha perikanan berskala sedang dan besar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya akses modal nelayan kecil, sehingga adanya modal dengan akses yang relatif lebih mudah merupakan barang langka di kalangan mereka. Di samping itu modal yang dibutuhkan umumnya tidak besar jumlahnya, sehingga mengakses permodalan dari LKM merupakan hal yang paling tepat. Selama ini pihak-pihak penyandang dana atau sumber modal masih enggan membuka akses kepada mereka, karena nelayan kecil masih dipandang sebagai usaha yang berrisiko tinggi. Lain halnya dengan nelayan menengah dan besar yang karena sudah lebih dipercaya oleh sumber-sumber permodalan yang lebih besar, dan karena kebutuhan modalnya lebih besar, maka mereka akan mengakses modal dari sumber dana yang lebih besar pula. Pada umumnya mereka lebih dipercaya karena skala dan manajemen usahanya sudah lebih baik.
Bila dikaitkan dengan analisis tingkat ketergantungan daerah perikanan (Tabel 14), hasil analisis SEM ini menunjukkan bahwa meskipun Indramayu mempunyai tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding Cirebon, ternyata tidak berpengaruh terhadap hasil akhir penilaian keragaan pembangunan perikanan tangkap.
Kebijakan publik perikanan juga secara nyata mempengaruhi terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap. Fenomena ini diduga karena pendekatan pengelolaan program-program pemberdayaan masyarakat terutama untuk nelayan yang telah mengalami perubahan paradigma, dari sistem sentralistik ke desentralisasi dan partisipatif. Pemerintah Daerah telah dilibatkan pada tahap pelaksanaan program, sehingga tanggung jawab Pemerintah Daerah
menjadi lebih besar, pengendalian pelaksanaan semakin kuat, mekanisme pelaksanaan transparan dan akuntabel, serta para pemanfaat program (benefisaries) mampu melakukan kontrol terhadap keefektifan program yang dilaksanakan.
Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang signifikan utk mengelola laut, dan Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 telah memberikan kewenangan terhadap setiap daerah untuk menata, mengatur, dan mengelola sumberdaya perairan pesisir sendiri secara mandiri. Pengelolaan perairan pesisir hingga 4 mil dari garis pantai bagi kabupaten/ kota dan 12 mil dari garis pantai bagi propinsi, diduga juga telah memberikan andil akan signifikannya faktor kebijakan publik terhadap keragaan perikanan tangkap.
Hasil empiris analisis SEM (Tabel 15) menunjukkan bahwa ketiga variable kebijakan publik, rekayasa kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu memiliki hubungan keterkaitan, yang menggambarkan bahwa ketiga variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, walaupun masing-masing memiliki tingkat keterkaitan/hubungan yang berbeda.
Pengaruh besar indikator Koperasi LEPP-M3 (Tabel 17), baik di Indramayu maupun Cirebon terhadap faktor perkayasaaan kelembagaan dibandingkan dengan indikator lainnya mengindikasikan bahwa stakeholder program, terutama pengelola Koperasi LEPP-M3 sudah mulai memahami tugas pokok dan fungsinya. Pemahaman tupoksi ini merupakan modal utama dalam pelaksanaan program secara baik dan benar. Sedangkan persepsi masyarakat yang cukup baik terhadap konsep dan prinsip program merupakan bukti keberhasilan sosialisasi dan pendampingan program.
Sejak terjadinya perubahan paradigma penyaluran dan pengelolaan DEP pada tahun 2004, maka pengelolaan Koperasi LEPP-M3 menunjukkan kecenderungan perkembangan yang positif. Berdasarkan hasil evaluasi komprehensif Program PEMP pada tahun 2006 (DKP, 2006), kondisi terakhir perkembangan Koperasi LEPP-M3 secara nasional menunjukkan keragaan cukup baik.
Sistem dan mekanisme pengelolaan keuangan atau dana ekonomi produktif (DEP) yang relatif lebih transparan dan mudah pada koperasi LEPP-M3 diduga juga memberikan andil positif terhadap keragaan Koperasi LEPP-M3. Masyarakat sebagai pemanfaat jasa lembaga keuangan ini tentu memiliki pertimbangan khusus yang berkaitan dengan kemampuannya untuk berinteraksi dengan sistem lembaga keuangan yang terorganisasi dengan baik.
Hasil penelitian yang menunjukan bahwa kebijakan publik perikanan dan kemampuan berbisnis individu nelayan juga secara nyata berpengaruh terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap, menunjukan bahwa fenomena ini diduga karena pendekatan pengelolaan program-program pemberdayaan masyarakat terutama untuk nelayan yang selama ini bersifat sentralistik, sudah mulai diturunkan ke Daerah sejalan dengan berjalanya otonomi daerah. Saad (2003) menyatakan bahwa secara kategorik, produk hukum perikanan memiliki tiga ciri pokok, yaitu sentralistik, berbasis pada doktrin open access dan anti pruralisme hukum.