• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADI SENGKETA PERTANAHAN ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN PERUSAHAAN PERKEBUNAN DIATAS TANAH REGISTER 40

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADI SENGKETA PERTANAHAN ANTARA MASYARAKAT ADAT DENGAN PERUSAHAAN PERKEBUNAN DIATAS TANAH REGISTER 40"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADI

SENGKETA PERTANAHAN ANTARA MASYARAKAT ADAT

DENGAN PERUSAHAAN PERKEBUNAN DIATAS TANAH

REGISTER 40

A. Deskripsi Luhat Simangambat

Tanah dapat memberikan penyediaan berbagai peluang dan pilihan untuk manusia mencukupi kebutuhannya. Sebidang tanah dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia seperti : perumahan, bercocok tanam berkebun, membangun jalan, jembatan dan berbagai fasilitas kepentingan umum lainnya. Mengingat sangat terbatasnya kemampuan lahan untuk menyediakan ruang, kebutuhan akan lahan ini dapat menimbulkan benturan kepentingan berbagai pihak, baik dalam hal kepemilikan maupun peruntukannya.32 Berdasarkan hasil identifikasi posisi Luhat Simangambat dan Luhat Ujung Batu terletak di kecamatan Barumun Tengah (dahulu kabupaten Tapanuli Selatan) pada tahun 2007 Luhat Simangambat dan Luhat Ujung Batu dimekarkan menjadi kabupaten Padang Lawas adalah kabupaten di provinsi Sumatera Utara yakni hasil pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten ini resmi berdiri sejak diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 38 tahun 2007, tepatnya pada tanggal 10 Agustus 2007 bersama-sama dengan dibentuknya kabupaten Padang Lawas Utara menyusul RUU yang disetujui pada tanggal 17 Juli 2007 Ibukota kabupaten ini adalah Sibuhuan kabupaten Padang Lawas adalah kabupaten di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yakni hasil pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten ini resmi berdiri sejak diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007,

32 Syaffruddin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

(2)

tepatnya pada tanggal 10 Agustus 2007, bersama-sama dengan dibentuknya kabupaten Padang Lawas Utara, menyusul RUU dengan luas 3.892,74 Km2, jumlah penduduk sekitar 233.933 jiwa (Tahun 2007), dengan kepadatan penduduk 60 jiwa/Km2 terdiri dari beberapa kecamatan antara lain33 :

1. Barumun

2. Barumun Tengah 3. Batang Lubu Sutam 4. Huristak

5. Huta Raja Tinggi 6. Lubuk Barumun 7. Sosa

8. Sosopan 9. Ulu Barumun

Terletak secara geografis pada koordinat antara LU = 010,23’,37” s/d 01033’24” B.T = 1000,03’,09”s/d 1000,15’00” yang meliputi beberapa desa antara lain :

Luhat Simangambat terdiri dari desa : Tanjung Botung, Aek raru, Langkimat, Paran Padang, Mandasip, Gunung Manaon, Simangambat Julu, Pangaran Tonga, Janji Matogu, Ujung Gading Julu, Sigagan, Huta Pasir, Tanjung Maria, Jabi-jabi, Simangambat Jae, Ulak Tano, Huta Baru, Ujung Gading Jae, Huta Baringin, Sionggotan.

10. Desa-desa di Luhat Ujung Batu : Ujung Batu Julu, Ujung Batu Jae, Jambu Tonang, Paya Bahung, Mananti, Huta Raja, Martujuan, Tebing Tinggi, Gunung Manaon, Labuan Jurung, Manaritua.

Adapun Raja Adat Panusunan Bulung Luhat Simangambat34 adalah Raja Manipo Hasibuan posisi tanah ulayat terletak di provinsi Sumatera Utara tempatnya di Tapanuli Selatan. sebelah Utara ada wilayah yang disebut Luhat Simangambat yang terjadi pada waktu itu ± 130 tahun dari sekarang Tahun 1874 ada wilayah Kerajaan di

33www.Wapedia.Com (diakses pada tanggal 25 Juni 2010)

34 Keterangan Saksi H. Raja Manipo Hasibuan dibawah sumpah pada persidangan perkara

(3)

Luhat Simangambat yang meliputi wilayah sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Sultan Kota Pinang, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Sultan Siak, di sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Sultan Parung Bolak dan di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Sultan Halomona. Di daerah tersebut sebelum Tahun 1967 ada daerah Asisten Wedana dan ada Dewan Negeri ada Daerah Asisten Wedana dan ada Dewan Negeri dan yang mengangkat Pejabat ini adalah Pemerintah di Sibolga yang disebut Residen. Di luar Simangambat mempunyai daerah 6 (enam) eks Dewan Negeri, yaitu : eks Dewan Negeri Binanga, eks Dewan Negeri Huristak, Eks Dewan Negeri Aek Nabaru, eks Dewan Negeri Gurindam dan pada tahun 1945 setelah Kemerdekaan RI ada yang masuk lagi yaitu eks Dewan Negeri Singapas, sehingga ada 7(tujuh) Dewan eks Negeri. Adapun selaku Raja Adat Panusunan Bulung di Luhat Simangambat.adalah mengatur tata rumah tangga, mengatur mengenai tanah adat. Luas tanah adat yang diserahkan kepada PT. Torganda adalah ± 72.000 hektar dan yang dikelola ± 23.000 hektar, kondisi tanah adat pada waktu diserahkan PT. Torganda dalam keadaan gundul dan berupa semak belukar, karena pohon-pohonnya telah ditebangi oleh para perambah hutan.

Selaku Raja Adat Panusunan Bulung di Luhat Simangambat bertugas mengatur tata rumah tangga sebagai contoh menempatkan sesuatu benda pada tempatnya, Raja adat bertugas mengatur mengenai tanah adat untuk diberikan kepada siapapun apabila dapat memenuhi syarat-syarat adat dan berwenang menyerahkan tanah adat beserta tokoh-tokoh adat35. Luas tanah adat yang diserahkan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit ± 72.000 Ha dengan kondisi dalam keadaan gundul dan berupa semak belukar, karena pohon-pohonnya telah ditebangi oleh perambah hutan.

35 Keterangan saksi Raja Manipo Hasibuan pada persidangan Perkara Pidana No. 481/PID.B/

(4)

Warga masyarakat adat pernah menyerahkan tanah adatnya kepada Pemerintah pada bulan Agustus 1977. Pemerintah Indonesia telah meminta sebagian tanah adat ± 1000 Ha dan di dalam kenyataannya tanah yang diberikan kepada masyarakat telah diolah oleh PT. Eka Pandawa Sakti. Pada tahun 1981., daerah Luhat Binanga telah juga menyerahkan tanah adat mereka kepada pemerintah seluas ± 12.000 Ha. Penyerahan tanah adat dari masyarakat kepada perseorangan atau perusahaan dengan pago-pago dan penyerahan tanah adat bukan hanya kepada pemerintah saja tetapi boleh juga kepada perseorangan atau perusahaan, sebagai contoh pada tahun 1958 sewaktu ada perang PRRI orang tua Raja Adat ini telah menyerahkan sebagian tanah adatnya kepada warga masyarakat Gunung Tua yang pindah rumah sebanyak satu kampung akibat perang PRRI tersebut.

B. Sejarah Terjadinya Sengketa Pertanahan Di atas Tanah Register 40 1. Hak Masyarakat Adat Atas Tanah

Masyarakat Adat yang diperkirakan paling sedikt 30 juta jiwa diantaranya berada di dalam atau di sekitar hutan, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan kawasan hutan negara seluas 143 juta Ha atau kurang lebih 70 % dari seluruh luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini dilakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan.36

Melihat status tanah dalam perspektif hukum adat sebenarnya mengkaji keberadaan hak ulayat diantaranya yang perlu diperhatikan disini ialah soal siapa pemegang hak ulayat. Pemegang persekutuan atas tanah adalah Raja yang bertindak

36 Satmaidi, Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Suatu Upaya Pemenuhan Hak Ekonomi (Diakses dari www.legalitas.org)

(5)

sebagai pengurus, pengatur dan pengawas agar pemakaian tanah dalam wilayahnya tidak bertentangan serta merugikan hak-hak persekutuan serta hak-hak perseorangan atas tanah37 serta yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaan hutan. Dalam pada itu harus diingat bahwa konsepsi umum hutan tanah ulayat yang dikenal di negara ini adalah bersumber dari teori klasik, yang menjelaskan bahwa tanah milik raja. Terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat bagi masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat semata-mata kedermawanan sang Raja, sehingga pemanfaatan dan penggunannya haruslah sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat, seperti antara lain :

1. Hutan tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dengan cara apapun sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan ;

2. Hutan tanah ulayat tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik pribadi/ perorangan ;

3. Warga suku yang bersangkutan secara perorangan boleh memanfaatkan tanah hutan tersebut dengan beberapa ketentuan atau kewajiban-kewajibannya yang perlu ditaati, seperti memberikan sebagian hasilnya kepada Kepala Desa menjadi penghasilan desa. (H.Anwar Saleh, Eksistensi Hutan Tanah Ulayat di Provinsi Riau dan Prospeknya di masa datang : 1989.9)

Hukum adat memiliki satu kesatuan dengan hak ulayat dengan maksud tiang penting tempat hukum adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adat bertopang, dasar-dasar-dasar tempat hukum adat berpijak pada Tiang-tiang hukum adat yang ditegakkan oleh Van Vollenhoven adalah :

1. Persekutuan Hukum. 2. Hak Ulayat.

(6)

3. Daerah Hukum Adat.

4. Perjanjian adalah perbuatan konkret.

5. Hukum Adat tidak mengenal konstruksi juridis yang abstrak.

6. Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan pancaindera sebagai dasar bagi membuat kategori hukum dan sebagai ukuran untuk membeda-bedakan.

7. Sifat susunan keluarga.

Mahadi menulis : “ bahwa masyarakat hukum adat itu in heren dengan adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima tidak adanya masyarakat hukum adat berarti tidak adanya hak ulayat itu”. Dalam hubungannya dengan pembangunan kehutanan seperti disebutkan dalam hukum kehutanan, hutan dalam statusnya ada hutan negara dan hutan hak38. Hutan negara dapat berupa hutan adat yang mana harus ditetapkan statusnya sebagai tanah adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih berada dikawasan hutan tersebut, sebagai dasar pengakuan tersebut. Sejalam dengan perkembangan hukum adat yang bersangkutan tidak berlaku lagi maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah yang mengelolanya (Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999)39

Hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat termasuk hutan negara, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan tersebut dalam satu ekosistem yang dalam sistem kehutanan harus tidak terpisah dari pengertian hutan itu sendiri. Di dalam isi hak ulayat tidak membedakan hutan dan bukan hutan, sebab yang menjadi hak ulayat itu sendiri meliputi :

c. Tanah (daratan) ;

d. Air (perairan) seperti misalnya sungai, danau, pantai beserta perairannya ; e. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar ;

f. Binatang yang hidup liar di hutan ;

38 Mahadi,

Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Bandung : Alumni, 1991,Halaman 58

39 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis HukumAgraria, Medan : Pustaka Bangsa

(7)

Bahkan menurut Hilman yang dikatakan hak ulayat desa adalah berupa tanah hutan, termasuk hutan larangan yang diserahkan pengawasannya kepada desa yang bersangkutan, seperti tanah hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas perladangan yang telah ditinggalkan penggarapnya yang berada pada wilayah batas desa yang bersangkutan, yang dikuasai oleh desa yang bukan milik kerabat, perseorangan,, perusahaan dan sebagainya (Hilman Hadikesuma : 1992.181). Didalam proses terciptanya hak ulayat atas suatu hutan rimba yang belum berpenghuni dan meliputi pula hutan belukar, padang ilalang, rawa-rawa, sungai bahkan laut di sekitarnya.(Erman Rajagukguk, Pemahaman Rakyat atas Tanah, Prisma, September : 197, LP3ES dan Varia Perdilan, Maret 1992, No.78 : 137) tidak hanya dilihat dari objeknya tetapi dari subjeknya perlu ditelaah, apakah untuk sekelompok masyarakat atau seseorang yang bukan anggota persekutuan. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa hak ulayat itu adalah kekuasaan yang diabadikan atas suatu wilayah masyarakat yang bersangkutan. Mereka hidup, berkembang biak dan beristirahat untuk selama-lamanya (Kosnoe : 1998 : 1-3)

Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut : Bagian-bagian marga masing-masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula mendiami daerah itu, yang didirikan huta-huta di daerah tersebut disebut marga asal, marga raja, atau marga tanah, yaitu marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu disebut marga rakyat. Kedudukan marga rakyat di dalam suatu huta adalah kurang daripada kedudukan marga raja.40

(8)

Persekutuan hukum adat di daerah Padang Lawas disebut Luhas dimana di dalam tiap-tiap persekutuan hukum adat disebut huta. Yang menjadi kepala negeri/

kuria dan kepala huta adalah seorang dari marga asal, yaitu seorang keturunan marga Hasibuan sebagai pembuka tanah dan pembuka huta di dalam daerah yang bersangkutan (Raja Panusunan). Marga lain-lain yang ikut bertempat tinggal di daerah tersebut atau di huta itu di Tapanuli Selatan marga ini disebut parripe yang artinya mempunyai seorang wakil di dalam pimpinan daerah dan pimpinan huta yang diambil dari marga rakyat masing-masing. Wakil dari marga rakyat yang tertua menjadi pembantu pertama dari kepala daerah atau kepala huta, serta disebut imboru di Tapanuli Tengah (bajo-bajo na godang di Tapanuli Selatan), wakil dari marga rakyat lain-lainnya disebut natoras.41

Dengan berkembangnya kehidupan masyarakat hukum adat tersebut telah mengaburkan hubungan haki ulayat itu dengan masyarakatnya. Masyarakat Adat yang meninggalkan tanahnya dan pindah ke tempat lain, karena dianggap tidak subur lagi di tempat semula dan akan pergi kedaerah lain sehingga eksistensi hak ulayat itu mulai diperjualbelikan dan menjadi menguatlah hak seseorang di atas tanah ulayat. 42 Dalam pertemuan itu, para sesepuh adat itu juga menegaskan, bahwa 23.000 Ha tanah yang kini subur sebagai areal perkebunan sawit milik KPKS Bukit Harapan dengan anggota 1.310 KK warga petani setempat dari total pekerja 15.000 KK,adalah murni tanah adat yang selama ini merupakan lahan mata pencaharian rakyat. Secara kronologis, menurut Tokoh Adat setempat, tanah adat itu semula dikuasai leluhurnya Sutan Radja Sampe Dibata di Luhat Simangambat pada tahun 1874. Batas-batasnya antara lain: Tanah Sultan Kota Pinang Simataniari di bagian Utara, Tanah Lompatan Harimau di Padang Bolak (Selatan), sungai Sijabi-jabi Nagodang di bagian Barat, dan

41 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung,

1995. Halaman 88

(9)

tanah Sultan Siak atau Muara Sori dan Sungai Batang di bagian Timur. Pada 29 Agustus 1929, para sesepuh adat atau raja-raja negeri dengan sebutan Dewan Negeri ketika itu, berkumpul di tempat Siak, yang antara lain menetapkan ‘patok-patok alam’ pada setiap ‘ujung tano’ (batas tanah) tanah adat tersebut. Lalu, pada tahun 1945, pihak Belanda mencoba mengklaim tanah tersebut dari ke-6 Dewan Negeri Luhat Simangambat (Simangambat, Ujung Batu, Binanga, Rutterindang, Sijabi-jabi Nagodang) tapi gagal, sehingga seterusnya tanah adat tersebut dikuasai para keturunan Raja Sampe Dibata, hingga keluarga besar Raja Manipo Hasibuan selaku generasi ke-7 saat ini. Pada 1950, terjadi semacam pemekaran daerah dengan ditetapkannya Luhat Simangambat dan Ujung Batu sebagai daerah kelurahan berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 1949 dan PP No.9 Tahun 1950. Namun, kedua kelurahan atau Luhat tersebut tetap bersatu memiliki dan mengelola tanah adat yang diperoleh turun temurun. Pada tahun 1977, Pemerintah RI melalui Departemen Kehutanan meminta 1.000 hektar lahan setempat untuk dijadikan lahan reboisasi, tapi gagal, dan akhirnya pada tahun 1985 lalu, menyaksikan hadirnya ‘armada’ ber-merek First Mujur Plantation (FMP) di perbatasan tanah adat itu “Pada tahun 1986, masyarakat adat dari sekitar 500-an KK warga Luhat Ujung Batu mulai berjaga-jaga mencegah aksi perambahan hutan. Sepanjang tahun 1992-1993, hampir setiap hari masyarakat adat lihat kayu-kayu gelondongan ditebang dan dihanyutkan melalui sungai Barumun ke selat Melaka. Masyarakat Adat bahkan terpaksa sering bergantian menginap di hutan dengan membawa perbekalan, dan tak terhitung berapa kali berhadapan dengan para petugas bersenjata dengan arloji cap Garuda merk “Cendana’,” menurut Raja Asli Ujung Batu sembari mencontohkan maraknya ‘Hama

(10)

2. Lahirnya Register 40

Di daerah Tapanuli Selatan ada kawasan hutan Padang Lawas yang telah ditetapkan oleh Government Besluit Nomor 50, yang ditetapkan sebagai kawasan hutan kayu liar dan harus dipertahankan sebagai hutan dan di Padang Sidempuan ada 2 (dua) wilayah (Afdeling) dan meliputi 18 (delapan belas) kompleks hutan dan salah satunya adalah hutan Padang Lawas dan kompleks hutan Padang Lawas di dalam GB 50 dijelaskan sebagai berikut :

Hutan dan daerah-daerah dikenal dengan nama-nama Torsigalagala, Padang Hutan batu, Adiansibolak, Adiansipangsikolung, Adianaekhorsik,Tinjoanpangulubalang, Doloklubuloncat, Torsihornop, Pintupadang, Rimbusibodak, Rimbukumu, Rimbogaringging dan Rimbomanato terletak dalam daerah-daerah Luhat Simangambat, Binanga dan Unterudang, Aeknabara, Janjilobi Ujingjilok dan Hutarajatinggi, Ujung Batu, berbatasan : di sebelah utara : dengan hutan-hutan, ladang-ladang pertanian dan pengembalaan; di sebelah Timur : dengan Daerah Pemerintahan Gubernur (Daerah Tingkat 1) Pantai Timur Sumatera ; di sebelah selatan : dengan hutan-hutan, ladang-ladang pertanian dan pengembalaan luhat-luhat Kutarajatinggi, Ujungjilok, Janjilobi dan Aeknabara ; di sebelah Barat : dengan hutan-hutan, ladang-ladang pertanian dan pengembalaan luhat-luhat Aeknabara, Binanga, Unterudang dan Simangambat.

Kawasan hutan Padang Lawas diatur dalam GB. 50 yaitu kompleks Hutan Padang Lawas tertanggal 25 Juni 1924 masih berlaku sampai sekarang. Bahwa pernah ada perubahan kawasan hutan sejak adanya GB. 50 tahun 1924, sekitar tahun 1981 ada penyerahan tanah masyarakat sebanyak 3 (tiga) tahap, yang pertama adalah Berita Acara Penyerahan Tanah seluas 12.000 Ha, tanggal 20 Mei 1981, yang kedua ; Berita Acara Penyerahan Tanah pada tanggal 26 Mei 1981, seluas 10.000 Ha dan

(11)

penyerahan tanah yang ketiga pada tanggal 06 Juni 1981 seluas 8.000 Ha. Status dari areal Padang Lawas berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 areal Padang Lawas merupakan hutan tetap, fungsi hutan tetap sebagai hutan produksi dimana hutan yang mempunyai fungsi utama memproduksi hasil hutan

Pada tanggal 06 Juli 1978 ada Berita Acara Tata Batas yang dimulai dari Aek Sigalagala dan di Pasang Pal B Nomor 1 sampai Pal B Nomor 468, kemudian tanggal 17 Nopember 1978 ada Berita Acara Tata Batas yang dimulai dari Pal B Nomor 468 sampai Pal B 605, kemudian 24 Mei 1980 ada Berita Acara Tata Batas yang dimulai dari Pal B 605 sampai Pal B 733 dan pada tanggal 20 April 1981 ada Berita Acara Tata Batas dimulai dari Pal B Nomor 733 sampai Pal B Nomor 868.

Kawasan hutan Register 40 memiliki luas keseluruhan 178.508 Ha dimana 90 % dari luasan tersebut sudah menjadi hamparan hijau perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh 43 perusahaan , yayasan, PMA, PMDN, perorangan, masyarakat. Versi Menteri Kehutanan Register 40 kawasan hutan dan berdasarkan Perda Tapsel No.14 kawasan ini adalah kawasan perkebunan.

Versi Dinas Kehutanan Sumatera Utara bahwa luas yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit 167.585 Ha terdiri izin Menhut untuk 8 perusahaan seluas 75.885 Ha, izin lokasi dari Bupati Tapsel kepada 7 perusahaan seluas 31.200 Ha, izin lokasi dari BPN Tapsel kepada Koperasi Serba Guna seluas 4.000 Ha. Selanjutnya perusahaan, koperasi, perorangan yang merambah ada 5 (lima) kelompok tanpa mendapat HGU, izin pelepasan dari Dephut dan izin lokasi dari Bupati Tapsel seluas 56.500 Ha.

Versi Data BPN Sumut bahwa luas yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit 154.554,15 Ha (di dalamnya terdapat 8.194 sertifikat) terdiri izin Menhut 1 perusahaan dan transmigrasi seluas 17.000 Ha, HGU oleh BPN Pusat untuk 4 (empat)

(12)

perusahaan seluas 32.954,15 Ha. Izin lokasi oleh Bupati Tapsel 8 perusahaan seluas 55.000 Ha, izin lokasi BPN Tapsel 2 Perusahaan seluas 6.400 Ha kemudian seluas 42.700 Ha belum ada izin.

Versi data Pemkab Tapsel bahwa luas Register 40 yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit adalah 259.489,881 Ha. Sampai saat ini Register 40 belum ditata batas.

Adapun nama-nama perusahaan perkebunan yang berada di kawasan hutan Register 40 Padang Lawas kabupaten Tapanuli Selatan (Tahun 2006).43

No

Nama Perusahaan

Luas (Ha)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

PT. Hexa Setia Sawita PT. Sumber Sawit Makmur PT. Damai Nusa Sekawan PT. Agro Mitra Karya Sejahtera PT. First Mujur Plantation dan Industri PT. Wonorejo Perdana

PT. Austindo/ PT. Eka Pendawa Sakti PT. Barumun Raya Padang Langkat PT. Sinarlika Portibi Jaya Plantation PT. Mazuma Agro Indonesia PT. Karya Agung Sawita PT. Perkebunan Nusantara II PT. Sibuah Raya

PT. Perkebunan Nusantara IV PT. Tiga Saudara Makmur PT. Victorindo Alam Lestari PT. Permata Hijau Sawit PT. Sejahtera Utama PT. Jati Murni Pratama PT. Sati Raja Naga PT. Sihapas Indah

PT. Sikorang Saut Sejahtera PT. Subur Langgeng

PT. Adiya Kurnia ( Eri Rangkuti) PT. Parma

PT. Barumun Sari Palma (Andi T) PT. Barumun Sari Palma

PT. Sumber Huta Baru Makmur

1.176 Ha 2.072 Ha 2.384 Ha 11.642,86 Ha / 9.900, 37 Ha 15.000 9.692 6.000 Ha/ 238 Ha/ 5000 Ha 2.372,97 Ha 1.679, 12 Ha 2.797,46 ha/ 9.468,97 Ha 14.374, 86 Ha 4.000 Ha 1.750 Ha 7.294, 20 Ha 192,55 Ha 3.000 Ha 6.028 Ha 617 Ha 4.100 Ha 2.750 Ha 5.000 Ha 3.000 Ha 4.500 Ha 125, 54 Ha - 30,01 Ha 112,01 Ha 288,03 Ha

(13)

29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 CV. Arkami Perkasa CV. Matahari CV. National M.Said Ginting cs

Ir Aspan Mawardi Hasibuan UD. Lian Fill

KUD Tani Mukti KUD Mekar Mulya Koperasi Sinar Maduma KUD Langkimat

Koperasi Parsub

PT. Torganda/ KUD Bukit Harapan PT. Rezeki Alam Semesta

Ir Taufik Ruli Sinulingga cs Kebun Imbalo Sakti Nasution dkk

390,93 Ha 300 Ha 225 Ha 150 Ha 150 Ha 150 Ha 736,54 Ha 479,16 Ha 1.765 Ha - - 47.000 Ha 1500 Ha 103,10 Ha 51,164 Ha

* Data diambil dari Dinas Perkebunan kabupaten Tapanuli Selatan

Luas Register 40 Padang Lawas 178.508 Ha. Dari luasan ini 90 % telah menjadi perkebunan kelapa sawit dengan usia tanam 2 tahun sampai 10 tahun yang diusahai oleh 43 Perusahaan seperti daftar diatas.

Sampai tahun 1970 Register 40 ini masih hutan perawan, lalu sejak tahun 1970 sampai dengan 1990 (selama 20 tahun) digarap oleh 5 (lima) pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Setelah berakhir masa HPH kawasan ini gundul dan tidak dirawat oleh pihak Kehutanan sehingga sejak tahun 1995 digarap oleh 43 perusahaan, yayasan, koperasi, perorangan, dan masyarakat.44

Diketahui Register 40 ada datanya, baik berupa Grand Besluit, peta kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dan luasnya 178.000 Ha disebut Hutan Padang Lawas. Ada perbedaan luas hutan Register 40 yang terdapat dalam peta yang di jaman Belanda dengan peta sekarang, lebih luas sekarang. Dengan adanya perubahan luas kawasan hutan, penentuan batasnya harus dilakukan peninjauan ke lokasi kembali. Bila ada anggota masyarakat ingin membuka hutan, untuk kebun kelapa sawit, seharusnya minta ijin dari Departemen Kehutanan. Di daerah Tapanuli Selatan,

44 Keterangan Saksi Ir. Saulian Sabbih sebagai Kepala Dinas Perkebunan Kab. Tapsel pada waktu persidangan perkara pidana D.L Sitorus

(14)

banyak terdapat tanah adat atau tanah ulayat, tetapi sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria tahun 1999, disebutkan bahwa untuk tanah adat/ulayat harus ada pengesahan dari Pemerintah Daerah setempat tentang tanah adat tersebut.45

3. Perjanjian Kerjasama Tokoh-tokoh Adat eks Dewan Negeri Luhat Simangambat dengan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan

Bidang –bidang tanah yang berada di kawasan Register 40 sampai dengan tahun 1995 dalam keadaan terlantar, ditumbuhi semak-semak dan alang-alang serta tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali. Oleh karenanya masyarakat adat diwakili oleh tokoh adat setempat bermaksud memanfaatkannya demi kesejahteraan masyarakat setempat. Namun apabila digarap sendiri-sendiri oleh masyarakat sudah tentu hasilnya tidak akan maksimal karena keterbatasan dana dan keahlian. Melalui tokoh-tokoh adat telah mengambil keputusan untuk mencari investor yang memiliki dana dan berminat untuk mengelola tanah tersebut sebagai lahan perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit.

Untuk menindaklanjuti rencana pengelolaan perkebunan kelapa sawit tersebut, kemudian ditandatangani perjanjian-perjanjian sebagai berikut :

Surat Perjanjian tertanggal 23 Juli 1998, untuk lahan seluas ± 100.000.000 M2 (± 10.000 Ha) dan ± 720.000.000 (± 72.000 Ha) ditandatangani oleh dan antara PT. Torganda dengan tokoh-tokoh eks Dewan Negeri Luhat Simangambat. Surat Perjanjian ini dilegalisasi oleh Notaris Setiawati Rantau Parapat No.68/L/1998 dan No.186/L/1998. Dalam perjanjian ini disepakati masyarakat adat setuju untuk bekerjasama dengan Darianus.Lungguk Sitorus dengan pola “Bapak Angkat” yang akan mengelola dan membiayai perkebunan.

45 Keterangan Saksi H.M Tohir Lubis bekerja sebagai Kepala Seksi Penyusunan Rencana dan

(15)

Namun dalam perkembangannya terjadi perubahan tentang pihak mana sebaiknya yang secara fisik akan menguasai, mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut dan akhirnya tokoh-tokoh adat memutuskan untuk mendirikan suatu wadah berbentuk koperasi dengan nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan.

Adapun anggota koperasi tersebut adalah masyarakat yang berasal dari eks Dewan Negeri Luhat Ujung Batu dan Luhat Simangambat. Oleh karena adanya perubahan pihak yang akan menguasai dan mengelola lahan tersebut, maka tanah yang telah menjadi objek perjanjian antara tokoh adat dengan Dairianus Lungguk .Sitorus, kemudian diserahkan kepada KPKS Bukit Harapan. Oleh karena itu KPKS Bukit Harapan mengadakan kerjasama dengan PT. Torganda yang dalam hal ini diwakili oleh Darianus.Lungguk Sitorus dan bentuk kerjasama tersebut dituangkan didalam : Akta No.15 tertanggal 30 September 1998 tentang Perjanjian Kerjasama antara KPKS Bukit Harapan dengan D.L Sitorus dibuat dihadapan Setiawati,

Notaris Rantau Parapat.

Didalam perjanjian tersebut antara lain disepakati hal-hal sebagai berikut : 1. KPKS Bukit Harapan berkewajiban untuk menyediakan lahan sebagai

perkebunan kelapa sawit.

2. PT. Torganda akan menyediakan dana dalam bentuk pinjaman, tenaga ahli, sarana dan pra sarana.

3. KPKS Bukit Harapan memberikan wewenang penuh kepada PT. Torganda untuk menunjuk Menejer Pengembangan yang mengelola penggunaan dana. Bidang-bidang tanah milik para masyarakat adat tersebut sejak tahun 1998 hingga saat ini secara fisik telah dikuasai, dikelola oleh KPKS Bukit Harapan

(16)

digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut diatas.46

C. Penyebab Terjadi Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Adat Dengan Perusahaan Perkebunan Di Atas Tanah Register 40

Proses eksekusi perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 Ha yang berada di kawasan Register 40 yang berada di kawasan Register 40 Padang Lawas sebagai akar penyebab terjadinya sengketa dikarenakan adanya diskriminasi penerapan hukum yang mana dalam satu objek perkara yang sama terdapat 3 (tiga) putusan (Pidana, Perdata, PTUN)

Dalam perkara Pidana putusan MA No.2642 K/Pid/ 2006 tanggal 12 Pebruari 2007, menyatakan terdakwa D.L Sitorus terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah dan menghukum Darianus Lungguk Sitorus 8 tahun penjara, denda Rp. 5 Milyar.

Selanjutnya, mengeksekusi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Register 40 Padang Lawas seluas 23.000 Ha yang dikuasai oleh KPKS Bukit Harapan dan 24.000 Ha Perkebunan Kelapa Sawit yang dikuasai Koperasi Parsub dan PT.Torganda.

Sementara Perkara Tata Usaha Negara, Putusan MA No.134K/TUN/2007 tanggal 19 Juni 2007 dalam perkara antara KPKS Bukit Harapan melawan Departemen Kehutanan, MA memutuskan menyatakan batal surat Menteri Kehutanan No.S 149/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004 perihal permohonan untuk mengelola perkebunan di dalam kawasan hutan Register 40 Padang Lawas provinsi Sumatera Utara.

46 Adanya Perjanjian Kerjasama disebutkan dalam Putusan Nomor 26/Pdt.PLW/2007 PN.PSP,

(17)

Demikian juga Perkara Perdata, masyarakat adat Padang Lawas menggugat Jaksa Agung RI yang mana Putusan PN Padang Sidempuan No.13/PDT.PLW/2007/PN.PSP, mengabulkan gugatan masyarakat adat dan menyatakan masyarakat adat itu adalah pemilik sah dan beritikad baik dalam hak atas bidang-bidang tanah perkebunan itu.

Kemudian dalam putusan itu dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum Berita Acara Penyitaan (Letak Sita) tertanggal 22 November 2005 oleh Kejaksaan Agung terkait objek perkara Darianus Lungguk Sitorus dan menguatkan bukti kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki masyarakat secara turun temurun (8 keturunan) telah mendiami dan menguasai lahan tersebut.47

47 Harian Andalas Tanggal 28 September 2009, Media Center D.L Sitorus Bahas Status Hukum 47.000 Ha Hutan Palas.

Referensi

Dokumen terkait

Didusun tersebut, terdapat Tanah Negara Bebas dan Tanah Hutan Masyarakat adat, oleh pihak perusahaan digunakan untuk lahan perkebunan, yang hingga saat ini belum memenuhi

Tugas dan Fungsi Lembaga Persekutuan Adat (LPA) Lape Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Adat Lape Untuk Mewujudkan Kepastian Hukum di Kabupaten

Masyarakat adat Toto Tana Djea di Anakoli dengan Pemerintah

Judul: Peran Mosa Sebagai Lembaga Pemangku Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Upaya Perdamaian Bagi Masyarakat Hukum Adat Kecamatan

untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakuakn oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk

5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, mengandung arti bahwa secara langsung dan jelas negara telah mengakui hak

Analisis data dilakukan dari penelusuran dokumen sengketa penguasaan tanah hak adat di Kantor Pertanahan Kota Padang melalui mediasi dan peradilan adat nagari dan wawancara

Menurut hukum adat jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti yang dimaksud dalam Pasal 1457 KUHPerdata, melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah