• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rissho Ankoku Ron (Sebuah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rissho Ankoku Ron (Sebuah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA

Rissho Ankoku Di Abad 21

"MENCIPTAKAN KEDAMAIAN DAN MENYELAMATKAN

NEGARA MELALUI PENEGAKKAN AJARAN BUDDHA

YANG SEBENARNYA DI ABAD 21"

Oleh: YM.Kepala Bhiksu Tansei Iwama

Ketua Administrasi Nichiren Shu Headquater

R

issho Ankoku Ron (Sebuah Risalah untuk Menciptakan Kedamaian dan Menyelamatkan Negara Melalui Penegakkan Ajaran Buddha Yang Sebenarnya) adalah salah

musibah alam yang berkepanjangan, kelaparan, dan bencana-bencana lain yang menyebabkan penderitaan berat bagi rakyat banyak. Ketika Nichiren Shonin menyaksikan kondisi-kondisi yang dialami masyarakat Jepang, Beliau bertanya kepada diri sendiri, “Mengapa begitu banyak musibah berkepanjangan terjadi?” dan “Mengapa rakyat harus begitu menderita?” Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar dari penelitian dan langkah-langkah kebijakan yang Beliau keluarkan di kemudian hari, karena Beliau berpikir, semua rakyat Jepang harus diselamatkan dari penderitaan-penderitaan ini secepat mungkin. Menjawab masalah ini, sebagai langkah paling pertama, Nichiren Shonin mulai membaca semua Sutra-sutra Buddha yang pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap Rissho Ankoku Ron, dan ketika Beliau berusia 39 tahun, karya tulis ini diserahkan kepada pihak berwenang, Keshogunan Kamakura. Akan tetapi sebagai akibat dari tindakan ini, Nichiren Shonin juga harus mengalami begitu banyak tindakan kekerasan dan penganiayaan semata-mata hanya karena ingin membabarkan Dharma.

Jadi sebenarnya apa isi yang ingin diajarkan Nichiren Shonin melalui Rissho Ankoku Ron? Beliau mengajarkan kita, bahwa hanya dengan penegakkan dan kesetiaan kepada ajaran Buddhisme yang benar, maka seluruh rakyat dan negara akan merasakan dan menikmati satu dari hasil karya besar, Nichiren

Shonin. Pada masa Kamakura di Jepang, ketika Nichiren Shonin memulai untuk menyebarkan Saddharma Pundarika Sutra, rakyat sedang ditimpa oleh

(2)

keamanan. Kepercayaan yang tidak benar akan mengakibatkan ketidakharmonisan lingkungan, yang pada akhirnya akan membawa kemunculan berbagai musibah alam karena energi jahat dapat menyusup kedalam celah-celah yang ada dan hidup dalam jiwa sombong manusia. Lebih jauh lagi, apabila prinsip-prinsip moralitas manusia tidak diperdulikan, masyarakat akan jatuh kedalam kebingungan – sama seperti perumpamaan “jika tubuhnya

bengkok, maka bayangan pun akan mengikutinya menjadi bengkok”.

Jika prinsip-prinsip yang benar hilang, suatu masyarakat yang damai sudah pasti akan tercerai berai. Istilah “Rissho” (Penegakan akan Pengajaran Buddhisme yang Benar ) dan “Ankoku” (Suatu Negara yang Aman dan Damai) adalah satu kesatuan dan tidak seharusnya dianggap sebagai suatu kesatuan yang bertolak belakang. Apabila Dharma dari Buddhisme dibangun dan ditegakkan dalam suatu masyarakat, maka negara tersebut akan menjadi stabil dan aman. Jika kamu mencari suatu negara yang tenang, maka langkah pertama adalah mengubah hati kepercayaan dari seluruh masyarakatnya ke realita dari pengajaran-pengajaran Buddhis yang benar. Inilah eksistensi Buddhisme yang terpenting dan yang paling menentukan. Inilah pemikiran yang paling utama dibalik Rissho Ankoku Ron.

Kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan di dunia, tidak sesederhana pengkajian akan masalah perasaan satu orang, akan tetapi, lebih kepada suatu hal besar yang menyangkut masyarakat yang lebih luas. Ketika dihadapkan kepada realita dunia akan musibah-musibah alam, bencana, dan peperangan, masyarakat sesungguhnya menjadi sakit. Mereka dipaksa untuk bersama-sama memikul penderitaaan. Karena itu sangat tidak masuk akal jika kita hanya ingin menyelamatkan satu individu saja. Untuk menyelamatkan seluruh umat manusia, maka sangat penting untuk menanamkan prinsip-prinsip yang benar di dalam kehidupan bermasyarakat dan juga kehidupan politik. Selama politik tidak didasarkan pada prinsip-prinsip yang benar, maka suatu masyarakat dan negara yang sungguh-sungguh aman dan damai tidak akan terwujud. Berdasarkan teori ini, Nichiren Shonin memprotes penguasa

tertinggi dari pemerintahan Kamakura, sebagai upaya untuk melakukan revolusi sepritual seluruh masyarakat Jepang dengan mulai dari kalangan tertinggi (penguasa).

Semangat ini, yang terlihat dalam keseluruhan isi dari Rissho Ankoku Ron, didasari oleh rasa haru dan empati yang sangat besar dari Nichiren Shonin akan seluruh umat manusia, terutama masyarakat yang ada di sekitar Beliau. Nichiren Shonin menganggap semua penderitaan yang dialami orang-orang disekitarnya sebagai penderitaanya sendiri, dan di dalam Rissho Ankoku Ron ini Beliau secara tegas menekankan prinsip-prinsip Buddhis akan rasa empati yang diterapkan sendiri secara berulang-ulang oleh Beliau di sepanjang hidupNya, Sesaat sebelum wafatNya, ketika Nichiren Shonin menderita sakit berat, Beliau mengumpulkan murid-muridnya, dan mengajarkan Rissho Ankoku Ron, yang menunjukan betapa penting dan bernilainya karya ini bagi Nichiren Shonin sendiri.

Rissho Ankoku Ron bukan semata-mata suatu karya sastra klasik yang dilahirkan 740 tahun yang lalu, dan tidak seharusnya dipdanang dari sudut pdanang seperti itu. Karya ini justru seharusnya dibaca dari sudut pdanang masa modern sekarang. Memegang kepercayaan hanya karena bencana alam, ataupun terlalu menitikberatkan pada pentingnya dewa-dewa pelindung ataupun energi negatif dan neraka, ataupun mencampuradukkan agama dengan kepentingan politik pihak penguasa, adalah tidak lain dari tahyul dan mengejar kepentingan pribadi belaka.

Jangan hanya menertawakan bahwa Buddhismee adalah suatu omong kosong dibdaningkan pada masyarakat modern sekarang. Bahkan di era secanggih abad 21 sekarang, dimana dunia penuh akan pengembangan-pengembangan ilmiah, tetap saja kita belum berhasil untuk menyelesaikan masalah-masalah berikut: Lingkungan dan Manusia, Hasrat dan Kebahagiaan, prinsip Kebenaran vs Prinsip-prinsip Sesat, Masyarakat & Agama. Pada kenyataannya, kita harus menyadari bahwa dunia kita sudah menjadi jauh lebih buruk dibdaning Abad ke 13 dari

masa hidupnya Nichiren Shonin. Rissho Ankoku Ron secara cerdas menghadapi isu-isu ini dan memberikan solusi pada kita, memberikan gambaran pada kita akan perlunya mengkaji ulang kondisi-kondisi yang dapat membahayakan dunia modern kita sekarang.

Kita semua, pada hari ini, berjuang melalui Nichiren Shu untuk menbuktinyatakan prinsip-prinsip yang terkdanung dalam Rissho Ankoku Ron, berdoa agar semua mahluk hidup di seluruh planet, menggunakan tema dari perlindungan akan “Lingkungan – Perdamaian – Kehidupan” sama seperti pada saat kita menyebut Odaimoku. Kita melakukan ini karena setiap dari kita peduli akan bumi ini, sama seperti setiap dari kita menegakan perdamaian sebagai dasar dari hati kita, dan sama seperti setiap dari kita menghargai martabat dari seluruh kehidupan. Ini adalah satu hal yang bisa dilakukan oleh siapa saja, dan saya berharap, kita semua sama-sama mendorong semua yang ada disekitar kita untuk melakukan hal yang sama. Nichiren Shonin menyatakan dalam Itai Doshin Ji, “Tidak ada yang bisa dicapai

oleh orang yang memiliki maksud yang bertentangan dengan dirinya sendiri, mungkin hanya ratusan dari ribuan orang. Akan tetapi jika semua disatukan dalam satu jiwa, semua tujuanmu, dengan tanpa keraguan, akan tercapai”.

Walaupun negara yang kita tempati berbeda-beda, kita semua berada dalam rangkulan dan perjuangan yang sama dari hati terdalam Pendiri kita, Nichiren Shonin. Sekarang adalah waktu dimana kita semua menyebut Odaimoku dengan kepercayaan yang kuat dan membuat langkah besar untuk maju ke depan dalam kepercayaan dan penerapan Buddhist kita, juga dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai penutup, harap saya diperbolehkan untuk memberikan doa-doa saya kepada semuanya, untuk bergandeng tangan bersama dan berjuang untuk mencapai Kaiki Myoho (Semua mahluk hidup di langit dan empat penjuru lautan kembali kepada Myoho Renge Kyo), jiwa dari Rissho Ankoku Ron dan damai di seluruh penjuru dunia. SELESAI.

(Diterjemahkan Oleh: Yullya Yaladhari, Batam)

(3)

K

itab suci yang dewasa ini dipakai dalam agama Buddha ditemukan dalam bahasa Pali dan bahasa Sanskerta. Nama umum yang diberikan untuk kumpulan kitab suci agama Buddha adalah Tripitaka. “Tri “ berarti “tiga “ dan “pitaka “ berarti “keranjang “ atau biasa diartikan sebagai “kumpulan “. Tripitaka dengan demikian adalah “ Tiga Keranjang “ atau “Tiga Kumpulan”, terdiri dari:

1. Vinaya Pitaka atau Kumpulan

Disiplin Vihara.

2. Sutta/Sutra Pitaka atau

Kumpulan Ceramah/Dialog.

3. Abhidhamma/Abhidharma Pitaka atau Kumpulan Doktrin

Yang Lebih Tinggi, hasil susunan sistematis dan analisis skolastik dari bahan-bahan yang ditemukan dalam Sutta/Sutra Pitaka.

1. Tipitaka Pali

Tipitaka Pali (45 jilid) memiliki

pembagian sebagai berikut:

Vinaya Pitaka: 1. Parajika 2. Pacittiya 3. Mahavagga 4. Culavagga 5. Parivara Sutta Pitaka: 1. Digha Nikaya 2. Majjhima Nikaya 3. Samyutta Nikaya 4. Anguttara Nikaya 5. Khuddaka Nikaya Abhidhamma Pitaka: 1. Dhammasangani Catatan Redaksi:

Penjelasan Tripitaka ini merupakan kelanjutan dari Edisi Desember 2004 dan selesai pada edisi kali ini.

---2. Vibhanga 3. Dhatukatha 4. Puggalapannatti 5. Kathavatthu 6. Yamaka 7. Patthana

2. Mahapitaka (Tripitaka Mahayana)

Mahapitaka (Ta Chang Cing) terdiri dari 100 buku dengan pembagian sebagai berikut : 1. Agama 2. Jataka 3. Prajnaparamita 4. Saddharma Pundarika 5. Vaipulya 6. Ratnakuta 7. Parinirvana 8. Mahasannipata 9. Kumpulan Sutra 10. Tantra 11. Vinaya 12. Penjelasan Sutra 13. Abhidharma 14. Madhyamika 15. Yogacara 16. Sastra 17. Komentar Sutra 18. Komentar Vinaya 19. Komentar Sastra 20. Sekte 21. Aneka Sekte 22. Sejarah 23. Kamus 24. Daftar Isi

25. Komentar Sutra Lanjutan 26. Komentar Vinaya Lanjutan 27. Komentar Sastra Lanjutan 28. Aneka Sekte Lanjutan

Sutra-sutra dari kaum Theravada juga terdapat dalam Tripitaka Mahayana dengan sebutan Agama Sutra (A Han

Cing). Agama Sutra sebagian besar isinya

tidak berbeda dengan apa yang terdapat di Nikaya Pali. Agama Sutra ini terdiri dari :

1. Dhirghagama 2. Mdhyamagama 3. Samyuktagama

4. Ekottarikagama

Dalam Tripitaka Mahayana terdapat pula tujuh kitab Abhidharma dari golongan Sarvastivada (berbeda dengan Abhidhamma Pali), yaitu : 1. Jnanaprasthana 2. Samgitiprayaya 3. Prakaranapada 4. Vijnanakayasya 5. Dhatukaya 6. Dharmaskandha 7. Prajnaptisastra

3. Kangjur dan Tangjur (Tibetan

Tripitaka)

Disamping sutra-sutra

Mahayana dan Theravada yang

diambil sebagai kitab pokok dalam aliran Buddhisme Tibet (Tantrayana/

Vajrayana), mereka juga memiliki Kitab Kangjur dan Tangjur . Kitab Kangjur

(Bka’-‘gyur, yang berarti Terjemahan Sabda Sang Buddha) berisi 108 jilid merupakan deskripsi Ajaran Sang Buddha, sedangkan Tanjur

(Bstan-‘gyur, yang berarti Terjemahan Ajaran

Sang Buddha) berisi 227 jilid merupakan komentar dari teks dasar.

Kangjur memiliki 6 bagian

utama yang berisi (1) Tantra (2)

Prajnaparamita Sutra (3) Ratnakuta Sutra yang merupakan kumpulan naskah

pelengkap Mahayana (4) Avatamsaka

Sutra (5) Berbagai Sutra Mahayana dan Hinayana , dan (6) Vinaya.

Sedangkan Tanjur yang dapat dibagi menjadi 3.526 naskah dapat dibagi atas tiga kelompok utama, yaitu (1) stotras ; pujian agung dalam satu jilid termasuk 64 naskah (2) Ulasan tantra dalam 86 jilid termasuk 3.055 naskah, dan (3) Ulasan sutra-sutra dalam 137 jilid termasuk 567 naskah.

Naskah-naskah terjemahan dalam bahasa Tibet tersebut merupakan naskah peninggalan yang sangat penting setelah terdapat cukup banyak naskah di India dibakar habis oleh invasi agama lain di India.

(4)

Sekilas Pandang Tipitaka

Vinaya Pitaka

Vinaya Pitaka merupakan suatu

kumpulan Tata Tertib dan Peraturan Cara Hidup yang ditetapkan untuk mengatur murid-murid Sang Buddha yang telah diangkat sebagai bhikkhu atau bhikkhuni ke dalam Sangha. Peraturan-peraturan ini berupa himbauan dari Sang Buddha dengan tujuan agar mereka menguasai dan mengendalikan perbuatan jasmani dan ucapan mereka. Kitab ini juga menyangkut hal-hal mengenai pelanggaran peraturan; terdapat berbagai jenis peringatan dan usaha pengendalian sesuai dengan sifat pelanggaran yang dilakukan.

Secara umum Vinaya Pitaka dapat dibagi atas :

(1) Sutta Vibhanga

Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa/Patimokha yaitu peraturan-peraturan untuk para bhikkhu/ Bhiksu (227 peraturan) dan bhikkhuni/ Bhiksuni (311 peraturan).

(2) Khandaka-khandaka

Terdiri dari Mahavagga dan

Cullavagga. Mahavagga merupakan

serangkaian peraturan mengenai upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha, peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan [vassa], upacara pada akhir vassa [pavarana], peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan, pemberian jubah Khatina setiap tahun, peraturan bagi bhikhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan

sanghakamma (upacara sangha), dan

tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Cullavagga, terdiri dari

peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban guru [acariya] dan

calon bhikkhu [samanera], upacara pembacaan Patimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pasamu Agung Pertama di Rajagraha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali.

(3) Parivara,

Merupakan suatu ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan

Vinaya yang tersusun dalam bentuk

tanyajawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

Dalam Buddhisme Mahayana juga terdapat Brahmajala Sutra [Fan

Wang Cing] yang dipergunakan sebagai

pedoman untuk menerangkan sila,

pratimoksha dan Bodhisattva sila dimana

terdiri dari 10 pasal kesalahan besar [Garukapatti] dan 48 pasal kesalahan kecil [Lahukapatti]. Brahmajala Sutra yang dipakai oleh Buddhisme

Mahayana merupakan terjemahan dari

Kumarajiva antara tahun 401 - 409

M. Selain itu terdapat juga Upasika

Sila yang merupakan terjemahan dari

Dharmaraksa antara tahun 414-421 M.

Untuk Bhiksuni, terdapat juga Bhiksuni

Sanghika Vinaya Pratimoksha Sutra

yang diterjemahkan oleh I-Ching pada tahun 700-711 M dimana terdiri atas 348 pasal.

Sutra Pitaka [Sutta Pitaka]

Merupakan kumpulan pem-bicaraan antara Sang Buddha dengan berbagai kalangan, semasa Beliau mengembangkan ajaranNya. Sutra

Pitaka dapat dikelompokkan dalam lima

kelompok utama, yaitu :

- Digha Nikaya (kumpulan sutra yang isinya panjang),

- Majjhima Nikaya (kumpulan sutra yang isinya tidak terlalu panjang),

- Samyutta Nikaya (kumpulan sutra yang isinya secara kelompok),

- Anguttara Nikaya (kumpulan sutra atas beberapa topik utama),

- Khuddaka Nikaya (kumpulan sutra dari berbagai bahan).

Selain itu dalam Buddhisme Mahayana masih terdapat banyak sutra lainnya yang diperkirakan sekitar 300 sutra, dimana terdapat beberapa yang tersusun sesudah Parinirvana Sang Buddha. Sutra-sutra yang kebanyakan

berasal dari bahasa Sansekerta telah berhasil diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa saat ini berkat jasa-jasa dari para sesepuh Mahayana, seperti Kashyapamatanga dan Mdian Dharmaraksha, Tao-an, Kumarajiva, Siksananda, Buddhabhadra, Buddhajiva, Buddhayasas, Bodhiruci, Bhodiyasa, Gunabadra, Dhamakshema, Punyatara, Paramartha, I-ching, Fa-hsien, Hsuan-tsang, Subhakarasinha, Divakara, dan lain-lain. Kebanyakan sutra yang diterjemahkan pada awalnya ke dalam bahasa Mandarin tersebut dibawa dari India ataupun Srilanka melalui jalan darat yang dikenal sebagai Jalan Sutra (Silk Road). Sekarang sutra-sutra tersebut sudah ada dalam berbagai bahasa khususnya bahasa Tibet, Jepang, Korea, Vietnam dan malahan terdapat banyak sutra yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda. Di Indonesia, pada jaman kejayaan Sriwijaya dalam masa keprabuan Syailendra (sekarang Palembang, Sumatera), telah tercatat dalam sejarah sebagai pusat pendidikan Agama Buddha Mahayana dimana terdapat seorang guru agama Buddha yang terkenal bernama Sakyakirti

(Dharmakirti). Demikian juga di tanah

Jawa dimana sempat juga didatangi oleh beberapa tokoh yang terkenal dalam sejarah perkembangan Buddhisme dengan berbagai peninggalan sejarahnya seperti candi Borobudur, Mendut, Pawon dan lain-lain. Bhiksu Fa-hsien dari Cina pada tahun 414 M sempat tinggal selama lima bulan di Ho-ling (Jawa) yang sesuai catatannya bahwa di Jawa telah menerima agama Buddha yang beraliran Hinayana. Setelah itu Gunawarman dari Kashmir yang datang ke Jawa pada sekitar tahun 421 M. Bhiksu lainnya dari Cina,

Hui-ning juga pernah ke Jawa pada sekitar

tahun 664 M dan sempat tinggal selama tiga tahun. I-ching sempat dua kali ke Sriwijaya dimana pada tahun 685 M sempat tinggal selama empat tahun untuk menyelesaikan tugasnya menerjemahkan berbagai kitab dari bahasa Sansekerta ke bahasa Mandarin. Atisa (hidup tahun 982-1054) dari keluarga bangsawan Bengala yang menjadi Bhiksu pernah datang ke Sriwijaya untuk belajar filsafat dan logika agama Buddha Mahayana selama 12 tahun (antara tahun

(5)

1011-1023) dibawah bimbingan guru besar

Sakyakirti (Dharmakirti).

Beberapa sutra dalam Mahayana yang dianggap sangat penting, antara lain:

-Avatamsaka Sutra (Hua Yen Cing) -Maha Ratnakuta Sutra (Ta Pao Ci

Cing)

-Maha Sanghata Sutra (Ta Ci Cing) -Astasahasrika Prajnaparamita Sutra

(Pa Chien Sung Phan Jo Cing) -Maha Prajnaparamita Sutra (Ta Phan

Jo Cing)

-Prajnaparamita Hrdaya Sutra (Sim Cing)

-Saddharma Pundarika Sutra (Fa

Hua Cing)

-Mahaparinirvana Sutra (Ta Ch’eng

Nie Phan Cing)

-Surangama Sutra (Leng Yeng Cing Ta Fo Ting Shuo Leng Yeng Cing) -Amitabha Sutra (O Mi Tho Cing) -Sukhavati Vyuha Sutra (Wu Liang

Shuo Cing / Fo Shuo A Mi Tho Cing) -Amitayur Dhyana Sutra (Kuang Wu

Liang Shuo Cing)

-Vaipulya-mahavyuha Sutra (Ta Cuang Yen Cing)

-Vimalakirti Nirdesa Sutra (Wei Mo Cing)

-Suvarnaprabhasa Sutra (Cin Kuang Ming Cui Sen Wang Cing),

-Lankavatara Sutra (Leng Cia Cing) -Sandhi Nirmocana Vyuha Sutra (Cie

Sen Mi Cing)

-Vajrachedika-prajna-paramita Sutra (Cin Kang Cing)

-Mahavairocanabhi-sambhodi Sutra (Ta Re Ru Lai Cing)

-Lalita Vistara Sutra (P’u Yao Cing) -Suvarna Prabhasa Sutra (Cin Kuang

Ming Cui Sen Wang Cing) -Dasabhumika Sutra (Se’ Ti Cing) -Mahayana Buddha Pacchimovada

Pari Nirvana Sutra (I Chia Yu Cing) -Brahmajala Sutra (Fan Wang Cing) -Dasa Kausalya Karma Sutra (Se’ San

Ye Tao Cing)

-Maha Samnipata Sutra (Ta Chi Cing) -Tathagatagarbha Sutra (Ta Fang Teng

Ju Lai Tsang Cing)

-Yogacarabhumi Sutra / Dharmatara Dhayna Sutra (Ta Mo To Lo Ch’an Cing)

-Bhaishajyaguru Vaiduryaprabha Tathagata Sutra (Yo Shi Liu Li Kuang Ju Lai Pen Yuan Khung Te Cing)

-Sanmukhi Dharani Sutra (Liu Men To Lo Ni Cing)

-Sutra Hui Neng atau Sutra Altar (Liu Cu Than Cing)

-Ksitigarbha Bodhisattva Sutra (Ti Chang Phu Sat Pen Yuan Cing) -Bodhisattva Treasury Sutra (Phu Sat

Tsang Cing)

Abhidharma Pitaka [Abhidhamma Pitaka]

Merupakan kumpulan ber-dasarkan klasifikasi yang detail mengenai fenomena kejiwaan, logika, analisa metafisik dan informasi penting dari kosa kata. Kitab Abhidhamma dapat juga disebut sebagai ilmu psikologi Buddhisme yang mengajarkan analisis yang mendalam mengenai berbagai komponen dan proses dari batin dan jasmani.

Abhidhamma Pitaka sesuai

uraian dari kaum Sthaviravada (Pali

canon) dapat diuraikan menjadi tujuh

jilid buku [pakarana], yaitu :

a. Dhammasangani, menguraikan

mengenai etika dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa

b. Vibhanga, menguraikan apa

yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini dapat dibagi lagi dalam delapan bab [vibhanga], dan masing-masing bab memiliki tiga bagian yaitu Suttantabhajaniya,

Abhidhammabhajaniya dan Pannapucchaka atau daftar

pertanyaan-pertanyaan.

c. Dhatukatha, menguraikan

mengenai unsur-unsur batin yang terbagi atas empat belas bagian.

d. Puggalapannatti, menguraikan

berbagai watak manusia [puggala] yang terkelompok dalam sepuluh urutan kelompok.

e. Kathavatthu, terdiri dari dua

puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan [katha] dan sanggahan terhadap pandangan salah yang dikemukan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi

dan metafisika.

f. Yamaka, terdiri dari sepuluh

bab [yamaka], yaitu Mula,

Khanda, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya. g. Patthana, menerangkan

mengenai sebab-sebab yang berkenaan dengan dua puluh empat hubungan antara batin dan jasmani [Paccaya].

Abhidharma Pitaka dari

kaum Sarvastivada (Sansekerta) dapat dikelompokkan dalam tujuh kitab, yaitu: a. Jnana-prasthana, b. Sangitiparyaya, c. Prakaranapada, d. Vijnanakayasya, e. Dhatukaya, f. Dharmaskandha, g. Prajnaptisastra.

Disamping itu terdapat juga beberapa kitab komentarnya, seperti

Abhidhamma Maha Vaibasha Sastra

dan Abhidhamma Kosa Sastra. Demikian juga yang ditulis oleh kaum Madhyamika, antara lain Madhyamika Karika,

Dwi-dasa-Sastra, Sata Sastra. Asanga

dari kaum Vijanavada yang dikenal dengan Yogacara menyusun beberapa karyanya yang berhubungan dengan

Abhidhamma, yaitu : Saptadasabhumi Sastra Yoga-caryabhumi, Sutralankara- Tika, Madhyatavibhaga Sastra Grantha, Vajracheda Sutra Sastra, Yogavibhaga Sastra dan Mahayanasamparigraha Sastra. Vasubandhu juga menulis

beberapa kitab yang berhubungan dengan Abhidhamma, yaitu :

Vidyama-trasiddhi, Pancaskandhaka Sastra, Vidyamatrasiddhi Tridasa Sastra Karika, Karma- siddhaprakarana Sastra, Dasabhumika Sastra, Gayasirsha Sutra Tika dan Saddharmapundarika Sutra Upadesa.

Keahlian seseorang dalam menguasai berbagai kitab suci yang ada dalam Buddhisme bukanlah sebagai jaminan akan memperoleh manfaat kehidupan suci, tetapi yang penting adalah berbuat sesuai ajaran dalam kehidupan sehari-hari baik melalui pikiran, ucapan ataupun perbuatan.

(6)

“Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci. Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana, maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.” (Dhammapada, 19, 20)

Ketika kita menyatakan berlindung kepada Dharma (Dhammang Saranang Gacchami) berarti kita harus memiliki pengertian yang benar terhadap Ajaran Sang Buddha dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari secara bijaksana.

Sekilas Sekte Tien-Tai dan Nichiren Shu

Sekte Tien-tai di China, adalah salah satu sekte dari aliran Mahayana yang terkemuka. Sekte Tien-tai didirikan oleh Bhiksu Ce Khai (531-597SM), Beliau juga disebut Chih-i atau Chih-ce atau juga Mahaguru Thien-Tai (T'ien-t'ai). Sekte ini berpedoman pada Saddharma Pundarika Sutra (Fa Hua Cing - Myo Ho Ren Ge Kyo), Amitartha Sutra (Wu Liang I Cing) dan Nirvana Sutra (Nie Phan Cing). Teori yang terkenal dari Sekte ini adalah Tentang Tiga Ribu Alam dalam Sekejap Jiwa (Icinen Sanzen). Mahaguru lain yang terkenal adalah Mahaguru Miao-Lo, pemimpin ke-enam (jika Chih-I dihitung sebagai yang pertama, kesembilan jika Nagarjuna dihitung sebagai yang pertama). Chan-Jan (Miao-Lo) menghidupkan kembali sekte Tien-t'ai yang sempat mengalami kemunduran. Beliau menulis tiga penjelasan tentang karya Chih-i yang terkenal yakni: "Keterangan mengenai kata dan kalimat dari Saddharma Pundarika Sutra, Penjelasan tentang Makna mendalam dari Saddharma Pundarika Sutra, dan Keterangan mengenai Pemahaman dan Konsentrasi Agung."

Sekte Tien-t'ai kemudian dibawa oleh Bhiksu Saicho ke Jepang (Sekte Tendai). Ia menjadi bhiksu

pada usia 19 tahun 785 dan kemudian pindah ke Gunung Hiei. Disana Beliau menghabiskan waktunya untuk mempelajari karya-karya dari Mahaguru Chih-I. Tahun 804, Ia dikirim oleh kerajaan ke China beserta muridnya Gishin. Disana selama sembilan bulan, Beliau mempelajari Buddhisme Tien-T''ai bersama Tao-sui, pemimpin ke tujuh, dan Hsing Man, yang juga merupakan murid langsung dari Chan-jan. Setelah meninggalnya Saicho (822), Gishin menjadi penerusnya dan pemimpin ke dua Sekte Tendai di Jepang. Pada tahun 823, Kaisar Saga memberikan nama baru kepada Kuil di Gunung Hiei, Engryaku-Ji. Pada tahun 866, Kaisar Seiwa menganugerahkan nama Dengyo Daishi kepada Saicho. Setelah meninggalnya Mahaguru Dengyo, ajaran sekte Tendai di Jepang mulai tercampur aduk, sehingga tidak terkosentrasi pada Saddharma Pundarika Sutra lagi, bahkan mengadopsi ajaran Eksoterik dan lain-lain.

Nichiren Shonin, pada usia 15 tahun telah masuk kebhiksuan, Beliau belajar di Kuil Seicho-Ji, sebuah kuil aliran Tendai dan dibimbing dibawa Bhiksu Dozen, kepala kuil tersebut. Setelah belajar di Seicho-Ji, Beliau melanjutkan pelajarannya di Hachimangu-Ji. Kuil ini mempunyai hubungan dengan Kuil Onjo-ji di propinsi yang sama. Sedangkan Kuil Onjo-ji berkiblat ke Kuil Enryaku-Ji di Gunung Hiei. Pada tahun 1241, Nichiren Shonin pergi ke Kuil Enryaku-Ji untuk melanjutkan pendidikannya. Kuil ini adalah pusat Sekte Tendai di Jepang. Sekte ini juga dikenal sebagai Hokke Shu atau Sekte Saddharma Pundarika Sutra. Setelah belajar bertahun-tahun tentang semua ajaran Buddha dari satu kuil ke kuil yang lain bahkan Nichiren Shonin juga belajar sastra Kong Fu Cu dan lain-lain, Beliau mencapai sebuah kesimpulan bahwa Ajaran yang seharusnya dibabarkan dan disebarluaskan serta dipuja pada masa Akhir Dharma adalah Saddharma Pundarika Sutra. Nichiren Shonin mengajarkan pemujaan terhadap judul dari Saddharma Pundarika Sutra (O'daimoku) "Namu Myoho Renge Kyo." Nichiren Shonin pertama kali menyebut O'daimoku dan mendirikan sekte Nichiren Shu pada tanggal 28 April 1253. Nichiren Shonin juga mewujudkan Maha Mandala berdasarkan ajaran tersirat Saddharma

Pundarika Sutra dan digunakan sebagai objek pemujaan bagi seluruh umat manusia. Pusat dari sekte Nichiren Shu adalah Kuil Kuon-Ji, Gunung Minobu. Saat sekarang Nichiren Shu telah berkembang dan tersebarluaskan diseluruh dunia, dan memiliki lebih dari 9.000 bhiksu/bhiksuni serta menangani lebih dari 6.000 kuil diseluruh Jepang dan negara lain. Nichiren Shu sering juga di sebut Nichiren Hokke Shu atau Sekte Hokke Shu, karena berpedoman pada Saddharma Pundarika Sutra

Nichiren Shu di Indonesia saat ini memiliki dua buah kuil yakni Kuil Ji (Myoho San Renge-Ji) Jakarta, dan Cetya Bodhicitta di Kepulauan Seribu. Mari kita bersama-sama dengan semangat Pendiri kita, Nichiren menyebarluaskan ajaran ini, Saddharma Pundarika Sutra. SELESAI.

Dirangkum oleh Sidin Ekaputra,SE.

Hati Kepercayaan dan Odaimoku Istri dan Suami

Hati kepercayaan bukanlah sesuatu yang istimewa. Seorang istri mencintai suaminya, dan seorang suami mencurahkan hidupnya untuk istrinya; orang tua tidak akan meninggalkan anak-anaknya, dan anak-anak juga tidak akan pergi dari ibunya. Begitupun juga, percaya dalam Saddharma Pundarika Sutra, Buddha Sakyamuni, Buddha Taho, seluruh para Buddha, Bodhisattva dan Dewa-dewi. Kemudian sebutlah Namu Myoho Renge Kyo. Inilah Hati Kepercayaan

Myoichi Ama Gozen Gohenji Surat Balasan Kepada Myoichi Ama (Latar Belakang : 18 Mei 1280, di Gunung Minobu, Showa Teihon, p.1749)

(7)

Buku "Writing Of Nichiren Shonin" Doctrine 2 Edited by George Tanabe.Jr, Compiled by Kyotsu Hori

Terbitan : Nichiren Shu Overseas Propagation Promotion Association, Tokyo - Japan Diterjemahkan oleh Sidin Ekaputra,SE

Catatan Redaksi:

Gosho ini sambungan dari bulan lalu edisi Desember 2004. Gosho ini terdiri dari 13 seri pertanyaan, edisi bulan lalu telah dibahas sampai pertanyaan no.6, dan edisi kali ini telah selesai.

---P

ertanyaan 7: Apakah bukti dari semua ini ? Jawaban 7:

“Sutra Meditasi Bodhisattva Samantabhadra (fugen), bagian akhir dari Saddharma Pundarika Sutra menyatakan: “Sutra Mahayana ini

adalah gudang pusaka dari seluruh Buddha, kebenaran sesungguhnya dari seluruh Buddha di alam semesta dari masa lampau, sekarang dan akan datang.” Dan “Sutra Mahayana ini adalah mata dari seluruh Buddha dan seluruh Buddha dilengkapi dengan kelima mata5 dari Sutra Mahayana

ini. Trikaya6 dari Buddha adalah hasil

dari sutra ini. Sutra ini berisi seluruh Dharma, bagaikan samudera yang berisi semua jenis air. Trikaya Buddha yang tak terhingga adalah hasil dari sutra bagaikan samudera ini. Trikaya dari tubuh Buddha bagaikan lapangan dimana dewa dan manusia dapat menanam kebajikan, dan mereka adalah diantara yang pertama berhak menerima persembahan.” Menurut

beberapa kalimat sutra, Buddha lahir dari Saddharma Pundarika Sutra, dimana sama seperti seorang ibu yang memberikan kelahiran. Buddha adalah

badan dan Saddharma Pundarika Sutra adalah jiwanya. Oleh karena itu,

upacara pembukaan mata dari gambar atau patung kayu dari Buddha harus dilakukan dengan Saddharma Pundarika Sutra. Merupakan sebuah kesalahan besar jika melakukan pembukaan dengan mengunakan mudra Buddha dan mantra

HONZON MONDO SHO

dari Buddha Dainichi, sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu.

Pertanyaan 8: Mana lebih baik menerima Saddharma Pundarika Sutra sebagai Honzon atau menerima Buddha Dainichi sebagai Honzon?

Jawaban 8: Jika kamu mengikuti keinginan Guru Agung Kobo, Jikaku dan Chisho, maka Buddha Dainichi lebih unggul dari Saddharma Pundarika Sutra.

Pertanyaan 9: Untuk alasan apa ? Jawaban 9: Ringkasan

dari “Sepuluh Tingkat Pikiran”, Guru Agung Kobo menyatakan kunci berharga untuk pusaka rahasia: “Delapan adalah Saddharma Pundarika Sutra, Sembilan adalah Sutra Karangan Bunga (Kegon-Kyo), dan Sepuluh adalah Sutra Buddha Dainichi,” dalam uraian mengenai kemajuan dari ajaran yang paling dangkal ke yang paling dalam. Guru Agung Jikoku dalam “Catatan Sutra Kongocho-Kyo dan Catatan Sutra Soshitsuji-Kongocho-Kyo” dan juga Guru Agung Chisho “Panduan Sutra Dainichi” dikatakan bahwa: Sutra Dainichi adalah yang pertama dan Saddharma Pundarika Sutra adalah yang kedua.”

Pertanyaan 10: Apakah yang anda pikirkan tentang mereka?

Jawaban 10: Menurut penilaian Buddha Sakyamuni, Buddha Prabhutaratna dan para Buddha seluruh alam semesta,

“Saddharma Pundarika Sutra adalah yang terbaik dari seluruh naskah buddhis dimana, yang telah dibabarkan7, sedang dibabarkan8 atau

yang akan dibabarkan9.”

Pertanyaan 11: Bhiksu Tendai, Shingon dan sekte lainnya, juga raja dan masyarakat Jepang sekarang, dan seluruh manusia di dunia berpikir, “Bagaimana dapat Bhiksu Nichiren disamakan dengan Guru Agung seperti Kobo, Jikaku dan Chisho ?” Apa yang anda pikirkan tentang ini ? Jawaban 11:

Saya, Nichiren, akan menjawab dalam tanggapan sebagai berikut: Pertama, Apakah anda pikir bahwa Guru Agung Kobo, Jikaku dan Chisho adalah lebih unggul daripada Buddha Sakyamuni, Buddha Prabhutaratna dan Para Buddha dari sepuluh penjuru dunia di alam semesta? Kedua, seluruh manusia di Jepang sekarang, termasuk raja Jepang dan masyarakatnya, adalah anak dari Buddha Sakyamuni. Sutra Nirvana, dimana adalah sutra yang terakhir dan wejangan dari Sakyamuni Buddha dikatakan: “Percayalah kepada Dharma

dan jangan kepada manusianya.” Untuk

kita dapat dikatakan, “Saddharma

Pundarika Sutra adalah yang terunggul diantara seluruh sutra” adalah untuk

percaya kepada Dharma. Bukankah para bhiksu, raja dan masyarakat dan seluruh umat manusia yang berpikir bahwa Nichiren lebih rendah dari ke-Tiga Guru Agung, dan sama dengan pelayan mereka, kuda dan sapi, karena itu semua tidak patuh kepada Buddha Sakyamuni?

Pertanyaan 12: Jadi menurut anda, Guru Agung Kobo tidak membaca Saddharma Pundarika Sutra ? Jawaban 12: Guru Agung Kobo

seharus telah membaca semua sutra. Bagaimanapun, dalam penyampaian untuk keputusan hubungan mendalam dalam ajaran antara Saddharma Pundarika Sutra, Sutra Karangan Bunga dan Sutra Dainichi, dia lalai membaca kutipan dalam Saddharma Pundarika Sutra, sebagai contoh, “ Saddharma

Pundarika Sutra ini adalah Dharma Sejati dari seluruh Buddha.” Ditafsir, Ini

adalah lebih rendah dari seluruh sutra, dan

“Baisajyaraja ! terdapat begitu banyak sutra yang dibabarkan dan Saddharma Pundarika Sutra ini adalah yang terbaik.” Lagi pula, Guru Agung Jikaku

dan Chisho juga salah membaca seperti yang dikatakannya, “Diantara sutra-sutra

(8)

itu, ini adalah menengah;” dan “Ini adalah yang kedua.” Bagaimanapun, seluruh Buddha termasuk Sakyamuni Buddha, Buddha Prabhutaratna dan Buddha Dainichi membandingkan Saddharma Pundarika Sutra dengan seluruh sutra lainnya, dan membabarkan, “Saddharma

Pundarika Sutra adalah yang paling utama;”10 dan “Saddharma Pundarika

Sutra adalah yang tertinggi.”11 Jadi, Siapa yang kamu percaya, Buddha Sakyamuni dan para Buddha sepuluh penjuru alam semesta, atau Tiga Guru Agung Jikaku, Chisho dan Kobo ? Karena kamu memandang rendah kepada saya, Nichiren, dan sungguh-sungguh percaya kepada pendapat dari Tiga Guru Agung, kamu mempunyai sebab tidak mematuhi Buddha Sakyamuni dan seluruh Buddha sepuluh penjuru alam semesta.

Pertanyaan 13: Guru Agung

Kobo yang berasal dari propinsi Sanuki dan murid dari Kepala Bhiksu Gonso. Beliau secara mendalam belajar dari 6 sekte (di Nara) termasuk Sanron dan Hosso12, pada bulan lima tahun Enryaku

ke-23 (804) dengan perintah kerajaan dari Kaisar Kammu, dia ingin pergi ke China. Mendapatkan sebuah ijin dari Kaisar Shun-tshun, dia mewariskan kepada Guru Dharma Chen-yen (Shingon) buddhisme dari Yang Mulia Hui-kuo dari kuil Ch’ing-lung. Hui-kuo, pewaris ke tujuh dari Buddha Dainichi, setelah meninggalnya Guru Dharma Chen-yen bagaikan menuangkan air dari satu bejana ke yang lainnya. Jadi, meskipun demikian setiap orang adalah tidak sama, Dharma yang ditinggalkan sama jika mendapatkan pengajaran langsung dari Buddha Dainichi sendiri. Meskipun bejananya berubah dari Buddha Dainichi kepada Vajrasattva, diikuti oleh Nagarjuna, Nagabodhi, Vajrabodhi, Amoghavajra, Hui-kuo dan terakhir Kobo; air yang ditinggalkan menurun sama kepada Guru Dharma Chen-yen. Penerimaan Dharma Chen-yen dari Yang Mulia Hui-kuo, Guru Agung Kobo kembali ke Jepang menyeberangi lautan sebanyak 3000ri, memberikannya kepada ke Tiga Kaisar Heijo, Saga dan Junna. Pada tanggal 19 bulan kelima tahun Konin ke-14 (823), Kobo menerima ijin kerajaan untuk membangun Kuil Toji, dimana dia menyebarkan ajaran Dharma rahasia dari Shingon. Oleh karena ini,

setiap orang mengunakan sebuah vajra (penumbuk-intan) atau gelang bel vajra Shingon dalam lima propinsi di kota utama13 , tujuh distrik14, 66 provinsi15,

dan dua pulau;16 juga diseluruh Jepang,

semua pengikut Guru Agung Kobo tanpa kecuali.

Guru Agung Jikaku berasal dari propinsi Shimotsuke dan merupakan murid dari Bodhisattva Kochi17. Pada

tahun Daido ke-3 (808), diusia 15, beliau mendaki ke atas Gunung Hiei, dimana selama 15 tahun dia belajar di enam sekte18 dan juga di Sekte Hokke (Tendai)

dan Shingon. Setelah berlalu kekaisaran T’ang, China pada Tahun Jowa Ke-5 (838), selama tenggang waktu kekaisaran Wu-tsung, beliau bertemu beberapa pendeta Tien-tai (Tendai) dan bhiksu Chen-yen (Shingon) yang terkenal seperti Fa-ch’uan, Yuan-chen, I-chen, Fa-yueh, Tsung-jui, dan Chih-yuen, dari beberapa guru eksoterik dan ajaran eksoterik. Khususnya, Beliau berjuang sepuluh tahun belajar Chen-yen untuk menjadi pewaris kesembilan setelah Buddha Dainichi. Kembali ke Jepang pada tahun Kajo ke-1 (847), Beliau menjadi guru dari Kaisar Nimmyo, menulis komentar mengenai Sutra Kongocho-kyo dan Sutra Soshitsuji-kyo selama periode Ninju dan Saiko, membangun Kuil Soji-in di Gunung Hiei dan menjadi Kepala Bhiksu ke-Tiga dari Kuil Enryakuji. Inti sari ajaran Shingon di Sekte Tendai Jepang berawal dari Beliau.

Guru Agung Chisho dari Propinsi Sanuki memasuki Gunung Hiei pada umur 14 tahun di tahun Tencho Ke-4 (827), dan menjadi murid dari Kepala Bhiksu Gishin.19 Di Jepang,

Beliau belajar di delapan sekte20 dibawa

Kepala Bhiksu Gishin, Guru Agung Jikaku, Encho21, dan Kojo.22 Pada tahun

Ninju Ke-1 (853) dengan ijin kerajaan dari Kekaisaran Montoku, Beliau ingin pergi ke China untuk belajar eksoterik dan ajaran eksoterik dibawa beberapa guru seperti Acharya Fa-ch’uan dan Yang Mulia Liang-hsu untuk beberapa tahun selama rentang waktu Kekaisaran Hsuan-tsung (pada era Ta-chung). Pada tahun Ten’an Ke-2 (858) Beliau pulang ke Jepang dan menjadi guru dari Kekaisaran Montoku dan Seiwa.

Raja yang terkenal dan masyarakatnya mempunyai rasa hormat

dan memuja ke Tiga Guru Agung dan berganti kepada ajaran mereka sebagai matahari dan bulan bagi kepentingan sekarang dan kehidupan mendatang mereka. Karena inilah, umat awam yang tidak mempunyai pengertian tidak mempunyai pilihan tetapi menghormati dan percaya kepada ke Tiga Guru Agung dan ajaran mereka. Sehingga kami melanggar peringatan Buddha Sakyamuni yang dibabarkan dalam Sutra Nirvana: “Mengikuti Dharma dan bukan manusianya,” Bagaimana dapat kami bergantung pada guru ini di China dan Jepang seperti Guru Agung Kobo, Jikaku dan Chisho daripada kepada Buddha ? Jika kami mematuhi

peringatan, kemudian bagaimana kami dapat memperoleh pengertian yang lebih baik ? pada akhirnya, apa yang harus kami lakukan ?

Jawaban 13: Memperhatikan penyebaran Buddha Dharma di India selama periode 1000 tahun pertama setelah meninggalnya Buddha Sakyamuni, ajaran Hinayana tersebarluaskan selama 500 tahun pertama dan kemudian ajaran Mahayana selama 500 tahun kedua. Selama beberapa tahun ini perdebatan antara ajaran Buddhisme Mahayana dan Hinayana terus berlanjut dan antara ajaran sementara dan sesungguhnya; Bagaimanapun ketidak-jelasan per-kembangan antara eksoterik dan ajaran eksoterik. Buddha Dharma telah tersebarluaskan ke China untuk pertama kali pada 15 tahun setelah dimulainya Masa Persamaan Dharma. Pertama, perdebatan yang terjadi semakin panas antara Kongfucius dan Buddhisme, tetapi penentuan akan dicapai untuk yang terunggul. Secara perlahan Buddha Dharma tersebarluaskan, pertengkaran dimulai antara Mahayana dan Hinayana dan antara ajaran sementara dan sesungguhnya. Bagaimanapun, tidak ada perkembangan yang berarti antara mereka setelah 600 tahun setelah pengenalan Buddha Dharma di China, ketika ke Tiga Guru Tripitaka; Subhakarasimha, Vajrabodhi dan Amoghavajra datang dari India untuk mendirikan sekte Chen-yen selama waktu Kekaisaran Hsuan-tsung. Sebagai sebuah kesimpulan, sekte lain seperti Tien-t’ai dan Karangan Bunga saling memandang rendah dan setiap orang dari Kekaisaran sampai umat awam

(9)

percaya terhadap perbedaan antara Chen-yen dan Saddharma Pundarika Sutra adalah sangat besar bagaikan langit dan bumi. Setelah itu, pada waktu Kekaisaran Te-tsung, Maha Guru Miao-le memahami Chen-yen tidak dapat dibandingkan dengan Saddharma Pundarika Sutra, tetapi sejak itu Beliau menekan secara tegas mengenai hal ini, sehingga tidak seorangpun mengetahui perbandingan keunggulan antara sekte Teratai dan Chen-yen.

Selama rentang waktu Kekaisaran ke-30 Kimmei, Buddha Dharma tersebarluas ke Jepang untuk pertama kalinya melalui Kerajaan Paekche. Kemudian lebih dari 30 tahun sejak pengenalan itu, perdebatan memanas antara pendukung Buddhis dan penduduk Shinto. Selama rentang waktu raja yang berkuasa ke-34, Maharani Suiko, Pangeran Shotoku untuk pertama kalinya secara resmi mendirikan Buddha Dharma di Jepang. Dua Bhiksu Tinggi, Hyegwan dari Koguryo dan Kwalluk dari Paekche, datang ke Jepang dan mendirikan sekte Sanron. Pada masa Kekaisaran Kotoku, Bhiksu Dosho ingin pergi ke China, menyebarkan Buddhisme Zen di Jepang setelah kepulangannya. Selama masa Kekaisaran Temmu, Chiho membawa ajaran Hosso dari Silla. Kemudian, selama masa Kekaisaran ke-44 Gensho, Guru Tripitaka Subhakarasimha membawa masuk Sutra Dainichi, tetapi tidak tersebarkan secara luas. Pada waktu Kekaisaran Shomu, Bhiksu Tinggi Shen-hsiang dan Kepala Bhiksu Roben membawa ajaran Kegon. Pada masa Kekaisaran ke-46 Koken, Yang Mulia Bhiksu Chien-chen membawa ajaran Ritsu dan Saddharma Pundarika Sutra, tetapi dia hanya menyebarluaskan Sekte Ritsu dan tidak Saddharma Pundarika Sutra.

Pada bulan ketujuh tahun Enryaku ke-23 (804), selama rentang waktu Kekaisaran ke-50 Kammu, Maha Guru Dengyo ingin pergi ke China dengan ijin kekaisaran dan menerima metode meditasi dan kebijaksanaan dari Sekte Teratai dari Tao-sui dan Hsing-man, yang mana keduanya merupakan murid dari Maha Guru Miao-le. Maha Guru Dengyo juga menerima aturan prilaku dari Bodhisattva dari Guru Ajaran Tao-hsuan melalui kedua guru tersebut.

Beliau, selanjutnya menerima Dharma rahasia dari Chen-yen dari Yang Mulia Shun-hsiao sebelum kembali ke Jepang. Hal Ini memperlihatkan kepada Beliau, tentang perbandingan keunggulan antara ajaran Shingon dan Hokke tidak dapat sesuai dengan pendapat dari sekte-sekte China. Selanjutnya, Beliau membandingkan penafsiran dari Sutra Buddha Dainichi dan Sutra Saddharma Pundarika melalui dirinya sendiri, memutuskan tidak hanya bahwa Sutra Buddha Dainichi lebih rendah dari Saddharma Pundarika Sutra, tetapi juga komentar mengenai hal ini23 telah dicuri

dari pemikiran Tien-t’ai dan menaruhnya di Sekte Shingon. Tersinggung melihat bahwa Sutra Buddha Dainichi, sutra dasar dari Sekte Shingon, diremehkan, Guru Agung Kobo kemudian mencoba untuk menata ulang reputasi dari Sekte Shingon dengan mengeluarkan pernyataan, “Saddharma Pundarika Sutra lebih rendah tidak hanya terhadap Sutra Buddha Dainichi tetapi juga terhadap Sutra Karangan Bunga.” Bagaimanapun, jika Guru Agung Jikaku dan Chisho tidak menyebarluaskan doktrin dari Guru Agung Kobo di Gunung Hiei dan di Kuil Onjoji24, pandangan keliru

Guru Agung Kobo tidak akan menjadi tersebarluas di Jepang. Guru Agung Jikaku dan Chisho tidak setuju bahwa Sutra Karangan Bunga lebih unggul daripada Saddharma Pundarika Sutra, tetapi menerima hubungan keunggulan antara Saddharma Pundarika Sutra dan Sutra Buddha Dainichi dari Shingon, mereka melengkapi persetujuan dengan Guru Agung Kobo. Kedua ini tidak terwujudnyata, tetapi secara tak sengaja mereka menjadi musuh besar dari Guru Agung Dengyo.25

Banyak Bhiksu Tinggi di Jepang setelah mereka bertambah bijaksana dan berbudi, tetapi mereka tidak menyamai ke Tiga Guru Agung Kobo, Jikaku dan Chisho. Sebagai kesimpulan, untuk lebih dari 500 tahun sampai hari ini, semua orang di Jepang telah menerima Shingon (dan ini berdasarkan Sutra Buddha Dainichi) adalah lebih unggul dari Saddharma Pundarika Sutra. Selain itu, mereka yang telah mempelajari Buddhisme Tendai dan melaksanakan Shingon adalah tidak sama dengan Saddharma Pundarika Sutra,

mereka tidak berani bersuara, takut akan mendatangkan kemurkaan seperti aturan pengucilan dari bangsawan di Kuil Ninnaji dan Kepala Bhiksu di Gunung Hiei. Mereka yang belajar Buddhisme Tendai tanpa mengerti bahwa Shingon adalah tidak sama dengan Saddharma Pundarika Sutra, mungkin dikatakan, “Shingon dan Saddharma Pundarika Sutra adalah tidak sama tingkatannya.” Bhiksu Shingon, bagaimanapun, hanya memperolok sambil berkata, “Ini adalah kesalahan yang tidak masuk diakal,” dan sulit membuat mereka serius.

Konsekwensinya, ratusan ribu kuil dan tempat suci di seluruh Jepang termasuk Sekte Shingon. Sama jika kemungkinan dimana kuil-kuil dimana ajaran Shingon dan Hokke dilaksanakan, mereka menyuguhkan Shingon sebagai raja dan Saddharma Pundarika Sutra sebagai penerima; atau meskipun beberapa belajar kedua-duanya Shingon dan Hokke, mereka semua secara pribadi percaya Shingon lebih unggul. Kepala kuil dan pegawai pengurus semua anggota dari Sekte Shingon, dan adalah sebab yang alami, sesuatu yang lebih kecil mengikuti mereka yang lebih unggul, orang di Jepang semua adalah anggota dari Sekte Shingon.

Sama halnya dengan semua orang di negeri Jepang hanya perkataan dibibir saja mengenai sutra ini, dengan berkata, “Saddharma Pundarika Sutra adalah yang terunggul,” dalam pikiran mereka dikuasai oleh pemikiran ini “Saddharma Pundarika Sutra adalah yang kedua” atau sama “Saddharma Pundarika Sutra berada ditempat ketiga.” Mereka melakukan hal ini tidak hanya dalam pikiran saja tetapi juga dalam perkataan dan perbuatan. Setelah meninggalnya Guru Agung Dengyo, tidak terdapat

pelaksana Saddharma Pundarika Sutra lebih dari 500 tahun dimana orang yang membaca, “Saddharma Pundarika Sutra adalah yang terunggul” dengan badan, mulut dan pikiran. Selanjutnya,

saya meragukan para pelaksana, siapa yang “Sepertinya Menjaga Saddharma Pundarika Sutra ini” akan muncul. Sebagaimana ramalan dari Sang Buddha Sakyamuni dalam Bab X “Guru Dharma” Saddharma Pundarika Sutra, “Banyak orang yang akan membenci sutra ini dengan penuh kedengkian selama

(10)

hidupKu. Demikian jugalah, orang-orang pada masa setelah kemoksaanKu.” Semua orang dalam masa akhir dharma, mulai dari Kekaisaran sampai ke rakyat biasa, semuanya menjadi musuh besar dari Saddharma Pundarika Sutra.

Saya, Nichiren, anak seorang nelayan di tepi laut di daerah Tojo, Nagasa, dalam propinsi Awa, dimana adalah daerah ke-12 dari 15 propinsi dalam daerah Tokaido. Pada umur 12 tahun, Saya pegi ke Kuil Kiyosumi-dera (Seicho-ji) dalam daerah Tojo untuk belajar. Meskipun, sejak saat itu selalu berpindah-pindah tempat, walaupun itu banyak terdapat kuil, tidak terdapat satupun sekte disana. Inilah kenapa saya mengunjungi beberapa propinsi lainnya yang merupakan bagian dari pelatihan dan pembelajaran saya. Karena saya tidak mempunyai seorang guru yang dapat mengajarkan saya, adalah sangat sulit untuk belajar tentang keaslian dari kesepuluh sekte dan membandingkan keunggulan diantara mereka; jadi saya sungguh-sungguh berdoa, memohon kepada para Buddha dan Bodhisattva untuk membimbing saya, dan membabarkan ajaran dari semua sutra. Sebagai hasilnya, ketika saya meneliti ke sepuluh sekte; Sekte Kusha26 terlihat

sebagai ajaran yang dangkal sesuai dengan prinsip ajaran Hinayana. Sekte Jojitsu merupakan campuran Mahayana dan Hinayana, jadi ini adalah sebuah kesalahan. Sekte Ritsu, aslinya adalah ajaran Hinayana, kemudian mengubah diri kepada ajaran sementara Mahayana27

dan sekarang kepada ajaran Mahayana sesungguhnya. Disamping itu, mereka ajaran Ritsu dari Guru Agung Dengyo yang diterima dari Tao-sui, dimana adalah berbeda dari Sekte Ritsu yang ada disini. Sekte Hosso, aslinya adalah ajaran dangkal dari Mahayana sementara, berkembang dengan tidak tahu malu mengakui diri sama dengan ajaran Mahayana sesungguhnya, dan pada akhirnya mencoba berusaha menjadi sekte Mahayana sesungguhnya seperti Tendai. Ini sama seperti Taira Masakado dan Fujiwara Sumitomo yang memberontak kepada Kekaisaran. Sekte Sanron, dimana menyebarkan ajaran Mahayana sementara, doktrin dari kekosongan, lalu percaya bahwa ajaran mereka adalah Mahayana sesungguhnya. Sekte Kegon

berkata bahwa ia adalah sekte Mahayana sementara, tetapi lebih unggul dari sekte lainnya, hal ini sama seperti Kerajaan Regent atau Chancellor. Ini seperti menempatkan Saddharma Pundarika Sutra seperti seorang pemberontak terhadap raja yang agung. Sekte Jodo adalah sekte ajaran sementara Mahayana, tetapi Shan-tao dan Honen sangat pintar membabarkan semua sutra termasuk Sutra Tanah Suci kepada orang yang ingin lebih maju dan Tiga Sutra Tanah Suci agar mudah dimengerti. Mereka juga mengajarkan kepada orang-orang sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengerti adalah suatu hal yang bagus28

selama periode Kebenaran dan Kepalsuan Dharma, tetapi adalah bodoh selama masa akhir dharma. Kemudian mereka menetapkan bahwa Nembutsu adalah ajaran yang sesuai untuk orang yang rendah kemampuannya pada masa akhir dharma. Berdasarkan kepada kemampuan setiap orang dan tidak pada kebenaran doktrin, mereka membantahi semua ajaran suci seumur hidup Sang Buddha dan mendirikan Buddhisme Tanah Suci. Sebagai contoh, ini adalah sama seperti orang pintar memperdayakan dengan pujian dan memberi hormat kepada manusia dengan pikiran bodoh untuk kepentingan beberapa keuntungan, karena alasan itu seorang arif bijaksana meninggalkan mereka. Sekte Zen menegaskan bahwa mereka adalah ajaran Dharma Sesungguhnya disamping semua sutra suci dari Buddha Sakyamuni babarkan selama hidupNya. Ini adalah pikiran yang mengelikan untuk membuang sutra suci Buddha Sakyamuni dalam tujuan untuk mengikuti pikiran diri sendiri sama seperti membunuh orangtua untuk mendapatkan anaknya atau seorang rakyat yang membunuh raja sendiri dan mengambil tempatnya. Sekte Shingon tidak hanya seorang pembohong besar tetapi mereka juga menyembunyikan keaslian mereka, orang-orang yang bodoh tidak dapat melihat semua hal ini dan tertipu. Pertama dari semuanya, tidak ada sekte yang mengenal Shingon di India, sebagaimana yang mereka kata. Dimana terdapat bukti tentang hal ini ? Dalam sebuah kasus, karena Sutra Buddha Dainichi, dasar sutra dari Sekte Shingon, telah dibawa ke Jepang, kita dapat membandingkan dengan

Saddharma Pundarika Sutra dan terlihat bahwa itu adalah tujuh tingkat dibawa Saddharma Pundarika Sutra. Bukti ini telah menjelaskan antara Sutra Buddha Dainichi dan Saddharma Punarika Sutra, tetapi Saya akan mengambil beberapa kutipan kalimat disini. Sekalipun demikian, Sekte Shingon mengklaim Sutra Buddha Dainichi adalah seorang raja yang mana dua atau tiga tingkatan lebih unggul dari Saddharma Pundarika Sutra. Ini adalah sungguh-sungguh kesalahan yang fatal. Hal ini sama seperti Liu-tsung dari Han (satu dari diantara 16 kerajaan) yang menghancurkan Kerajaan Chin Barat dan membuat ini menjadi kerajaan yang terakhir, Min-ti melayani bagaikan seorang mempelai, dan Ch’ao-kao, orang yang berbahaya bagi Dinasti Ch’in, merencanakan sebuah muslihat dan berkeras hati mencapai tahta kerajaan. Ini adalah sama seperti Brahman yang sangat sombong di India membuat sebuah patung Buddha Sakyamuni sebagai kaki dari mimbar. Di China, tidak seorang pun yang mengerti akan hal ini, juga di Jepang tidak seorang pun telah memunculkan kesalahan ini tentang Sekte Shingon semenjak diperkenalkan di Jepang lebih dari 500 tahun yang lalu.

Penyebabnya adalah sangat tajamnya kebinggungan akan kebenaran dari Buddha Dharma, kepentingan politik telah ikut menyebabkannya, sampai akhirnya negeri ini diserbu oleh kekuatan dari luar negeri. Inilah kenapa Negeri Jepang mengalami kemunduran. Hanya saya, Nichiren, telah menwujudkan hal ini. Untuk kepentingan Buddha Dharma dan politik, Saya, Nichiren menyusun inti sari kalimat-kalimat dari berbagai sutra dalam satu bagian tulisan dengan judul “Rissho Ankoku-ron” (Strategi Menyebarkan Perdamaian Keseluruh Negeri Dengan Menegakkan Dharma Yang Sesungguhnya) dan mengirimkannya kepada Bhiksu Saimyoji. Saya menjelaskan semuanya tentang hal ini secara lengkap dalam tulisan, tetapi orang yang bodoh sangat sulit untuk mengerti, Saya sekarang secara langsung menjelaskan hal ini dengan fakta-fakta.

Penguasa ke-82 Jepang, Kaisar Gotoba, yang disebut “Raja Dharma” setelah pensiun, mencoba meruntuhkan Hojo Yoshitoki, Bupati

(11)

dari Keshogunan Kamakura. Pada akhirnya, pada tanggal 15 bulan kelima tahun Jokyu ke-3 (1221), bekas kaisar itu menangkap Hangan Iga Taro Mitsusue29,

wakil shogun di Kyoto. Beliau mengalang prajurit di lima propinsi di Kota Utama dan tujuh daerah, mencoba dengan sia-sia menaklukan Hojo Yoshitoki di Kamakura dalam Propinsi Sagami. Beliau berhasil ditaklukan oleh Hojo Yoshitoki, dan pada akhirnya, bekas kaisar mengasingkan diri ke Pulau Oki; dua dari pangerannya dikirimkan ke Pulau Sado30 dan Propinsi

Awa31 dengan hormat; dan ketujuh

pegawai istananya dipenggal lehernya. Kenapa dia juga dapat ditaklukan secara cepat ? Untuk seorang raja seperti beliau untuk menaklukan Yoshitoki, rakyatnya sendiri, hal ini bagaikan seekor elang berusaha menangkap seekor merak atau seekor kucing menangkap seekor tikus, tetapi kenyataannya tidak sama bagaikan jika seekor kucing dimakan oleh tikus atau seekor elang dimangsa oleh seekor merak.

Disamping itu, istana Kekaisaran membuat usaha doa untuk mendukung kekuatan Kamakura Bakufu untuk menyerah. Kepala Kuil Tendai Jien, ketua dari Sekte Shingon, Omura (Kepala Bhiksu) dari Kuil Ninnaji, Kepala Kuil Onjoji, dan bhiksu tinggi arif bijaksana yang bercahaya bagaikan matahari dan bulan, di tujuh atau lima belas kuil besar di Nara semua berdoa dengan darah, keringat dan air mata dari hari ke-19 hari bulan ke-5 sampai hari ke-15 dari bulan ke-6 mengunakan 15 altar untuk Dharma rahasia Shingon yang didirikan oleh Tiga Guru Agung Kobo, Jikaku dan Chisho. Terakhir, Omuro dari Kuil Ninnaji, yang merupakan seorang pangeran kerajaan, melaksanakan dalam ruang utama dari Istana Kerajaan, doa Dharma agung dimulai pada hari ke-8 bulan keenam, setiap pendoa telah bergantian secara terus menerus setiap tiga kali. Kemudian, pada bulan ke-14, tentara Kamakura mematahkan garis pertahanan di Uji dan Seta dan menyerang Kyoto, menangkap ke tiga bekas kaisar. Mereka menyalakan api membakar Istana Kekaisaran dan meratakannya. Kemudian tentara mengasingkan ke tiga bekas kaisar ke tiga propinsi dan memenggal kepala ke tujuh pegawai istana. Diatas semua ini, tentara menghancurkan sampai

ke Istana Omuro menangkap dan memenggal Seitaka, pelayan tercinta pangeran, yang tidak dapat menerima kesedihan akan tragedi ini dan mati dalam kesengsaraan. Kemudian, setelah Seitaka dan ibunya meninggal, 10 juta orang yang mendukung upacara doa ini mati satu persatu atau menginginkan hal itu. Semua hal ini terjadi hanya dalam tujuh hari, antara hari ke-8 bulan ke-9, sejak Omuro memulai doanya, dan pada hari ke-14. 15 altar Upacara Dharma Rahasia yang dilaksanakan dalam kesempatan ini seperti Upacara Dharma Agung Sebuah-Kata-Roda Mas, Empat Raja Langit, Raja Penjaga Tak Bergerak, Raja Penjaga Kekuatan Agung dan Kebajikan, Raja Pemutar Roda Dharma, Permata Pengabur Keinginan, Raja Penjaga Cinta, Mata Buddha, Enam Kata (Manjusri), Anak Permata (Vajra-Kumara), Bodhisattva Penglihatan Luar Biasa, Raja Penjaga Atavaka (Taigensui Myoo), Sutra Perlindungan Negeri dan sebagainya. Pelaksanaan Upacara Dharma ini untuk mengalahkan musuh negara, membunuh mereka dan mengirim jiwa mereka ke Tanah Suci Persembahan Gaib, dimana Buddha Dainichi berada. Pelaksanaan doa ini dilakukan oleh Bhiksu Tinggi dari tingkatan terbaik, termasuk 41 orang yang berpengaruh seperti Bhiksu Kepala Gunung Hiei, Jien32, ketua dari Sekte Shingon pada

waktu itu, Pangeran Omura dari Kuil Ninnaji, Bhiksu Ryoson dari Kuil Jojuin di Mii, dan masih banyak lagi seperti 300 orang bhiksu yang menyertai mereka. Selanjutnya doa Dharma, pelaksanaan, dan segalanya begitu sempurna, kenapa pihak kekaisaran dapat dikalahkan dalam konflik ini ? Peristiwa kekalahan mereka ini, tidak seorang pun mengetahui alasan kenapa mereka begitu mudah dan memalukan dapat dikalahkan. Untuk raja menaklukan rakyat, ini adalah mudah bagaikan burung elang terbang diatas burung yang lebih rendah. Ini seharusnya membutuhkan sedikitnya satu tahun atau dua atau satu dekade atau dua untuk kekuatan kekaisaran dapat dikalahkan untuk alasan apapun juga, tetapi semua ini dimulai pada hari ke-15 bulan ke-5 dan mereka dapat dikalahkan pada hari ke-14 bulan ke-6, hanya membutuhkan waktu 30 hari. Ditempat lain, Shogun Daerah Yoshitoki tidak membutuhkan

serangkaian upacara, juga beliau tidak berdoa atau tindakan balasan.

Dalam pendapat sederhana saya, alasan dari apa yang telah terjadi ini disebabkan orang-orang ini mengunakan doa dengan Dharma palsu dari Shingon. Pada mulanya hanya seorang yang membuat kesalahan, menjadi sebuah bencana bagi seluruh negeri. Sebagaimana hanya doa seorang saja dapat membawa kepada kehancuran satu atau dua negeri. Selanjutnya, sebab ke 300 bhiksu sendiri dengan raja melaksanakan doa Shingon, menjadi musuh besar dari Saddharma Pundarika Sutra, bagaimana tidak membawa kepada kehancuran ? Iblis besar Dharma merasuki seperti sebuah bencana bergerak ke area Kanto secara perlahan-lahan sejalan berlalunya waktu, dan para Bhiksu Shingon mendapat persetujuan Kepala Bhiksu dan pengawai dari berbagai kuil dan mereka seringkali melaksanakan pelayanan doa palsu. Orang-orang di area Kanto didasarkan pada semangat kepahlawanan negara, siapa yang tidak tahu mengenai ajaran ini adalah benar atau salah, percaya secara sederhana dimana mereka harus mendirikan altar dari Tiga Pusaka; Buddha, Dharma dan Sangha. Jadi secara alami, mereka menjadi penganut dari Shingon. Oleh karena akibat dari menimbunnya Dharma palsu Shingon selama bertahun-tahun, Jepang akan diserang oleh negara lain dan ini akan terjadi kehancuran. Tidak hanya Kepala Bhiksu di dalam delapan propinsi dalam area Kanto, tetapi juga di Gunung Hiei, Kuil Toji, Kuil Onjoji dan tujuh kuil agung di Nara, semua berada dibawah penguasaan Shogun Kamakura akan dihancurkan. Sama seperti bekas kaisar di Oki, Hojos telah menjadi penganut dari iblis besar ajaran Shingon.

Tidak peduli ukuran negeri, menjadi raja tergantung pada kehendak dari Raja Surga Brahma, Indra, Dewa Matahari, Dewa Bulan dan Empat Raja Langit. Semua mahluk surgawi ini telah berjanji menghukum, segera setelah mereka menjadi musuh dari Saddharma Pundarika Sutra. Sebab inilah, kaum Bhiksu Taira Kiyomori, mewakili ke-80 pertama pemerintah Kekaisaran Antoku, dan dalam perintah untuk Minamoto Yoritomo membuat Gunung Hiei, menjadi kuil kaum mereka dan

(12)

membuat dewa pelindung tempat suci Sanno menjadi dewa yang melindungi33.

Kaisar Antoku, selanjutnya, tenggelam mati ke dalam laut di Dan no Ura, dan Pendeta Myoun, Kepala Kuil Gunung Hiei, dibunuh oleh Kiso Yoshinaka, juga kaum Heike akan hancur pada waktunya. Sekarang, bukti pertama dari kehancuran hidup dari kepercayaan dalam Dharma yang salah adalah kepunahan dari kaum Heike, dan bukti kedua adalah ganguan Jokyu.

Sebentar lagi penyerbuan Mongol akan menjadi bukti ke tiga. Tanpa mengindahkan peringatan dari Nichiren, jika mereka mengunakan Dharma palsu dari Shingon untuk berdoa menahan ambisi Mongol, yang akan terjadi dan kekuatan Jepang akan menyerah. Dalam Bab XXV “Bodhisattva Avalokitesvara” Saddharma Pundarika Sutra dikatakan, “kutukan akan kembali kepada pengutuknya.” Jadi, ketika kita berpikir tentang ini, Saddharma Pundarika Sutra adalah jalan yang agung dimana memberikan kita untuk menerima keuntungan tanpa menyelesaikan hukuman. Minamoto Yoritomo dapat menghancurkan Heike melalui kebajikan beliau atas tekad hati menerima Saddharma Pundarika Sutra, dan memberikan bukti kepada orang-orang akan mendapatkan keuntungan dalam kehidupan sekarang.

Alasan saya, Nichiren, dapat melihat kebenaran ini adalah balasan untuk kasih sayang yang saya terima dari kedua orangtua dan guru. Bagaimanapun, orangtua saya telah meninggal. Yang Mulia Dozen-bo yang lalu adalah guru saya tetapi, sejak saya menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra, beliau takut kepada Pejabat Tojo Kagenobu, penganut Tanah Suci, dan memperlihatkan kebencian kepada saya sebagai seorang musuh meski dalam hatinya, beliau pasti mempunyai rasa simpati kepada saya. Kemudian, saya mendengar beliau terlihat mempunyai hati kepercayaan dalam Saddharma Pundarika Sutra meskipun sedikit, tetapi saya tidak tahu perasaan dia tentang ini ketika beliau meninggal. Saya sangat memperhatikan hal ini. Saya percaya dia tidak akan jatuh kedalam neraka, tetapi saya meragukan dia sendiri mendapatkan penderitaan dalam hidup

dan kematian. Perasaan saya penuh dengan penyesalan ketika saya berpikir beliau mengkhawatirkan kelanjutan dari bagian antara hidup sekarang dan akan datang. Ketika Pejabat Tojo Kagenobu mencoba untuk membunuh saya dalam kemarahan34, kamu dan Gijo-bo

mengawal keamanan saya lari dari Kuil Seicho-ji. Juga walaupun kamu tidak melakukan sesuatu yang istimewa untuk kepentingan Saddharma Pundarika Sutra, saya menerima ini sebagai pelayanan untuk Saddharma Pundarika Sutra, dan saya yakin kamu berdua akan memotong rantai hidup dan mati.

Tidak seorang pun pernah menyebarluaskan Honzon ini dalam dunia (jambudvipa) selama lebih dari 2,230 tahun sejak Buddha Sakyamuni membabarkannya. Maha Guru Tien-t’ai

di China dan Dengyo di Jepang secara jelas mengetahui hal ini, tetapi tidak menyebarluaskan semua ini. Sekarang, pada masa akhir dharma, ini pasti akan tersebarluaskan. Saddharma Pundarika Sutra, dinyatakan bahwa Bodhisattva Pelaksana Unggul (Visistacaritra) dan Pelaksana Tidak Terbatas (Anantacaritra) akan terwujud secara nyata di dalam dunia untuk menyebarluaskan sutra ini, tetapi mereka belum terwujud. Saya, Nichiren, bukanlah seorang manusia yang agung seperti para bodhisattva, sekarang saya telah mengerti hal ini secara jelas. Jadi sebagai seorang

pelopor, sampai bodhisattva muncul dari bumi timbul, saya banyak atau sedikit telah menyebarluaskan sutra ini dan menjadi ujung tombak kalimat ramalan tentang “Waktu setelah kemoksaanKu”35 dalam Bab “Guru Dharma” Saddharma Pundarika Sutra. Ini adalah harapan saya untuk mewariskan kebajikan saya kepada kedua orangtua saya, guru saya dan semua orang di dunia. Ini disampaikan kepadamu agar mengetahui hal ini secara jelas, saya mengirimkan kamu tulisan ini untuk menjawab pertanyaanmu. Sederhananya untuk kepentingan pelaksana lainnya seperti Shingon dan Nembutsu dan doa diri sendiri sebelum Honzon ini untuk masa depan hidupmu. Saya akan menulis kepadamu lagi, jadi harap menerima salam dari saya untuk para bhiksu pengikutmu.

Tertanda, Nichiren

Catatan kaki:

1. Dalam Sutra Pengertian Yang Tak Terkira, sebuah tulisan penjelasan untuk Saddharma Pundarika Sutra, ini bagian dalam lebih 50 tahun ajaran Kebenaran belum mewujudkannya.

2. Nirmanakaya Dangkal : Buddha Sakyamuni sejarah yang membabarkan ajaran Tripitaka. 3. Nirmalakaya Unggul: Buddha

Sakyamuni sejarah yang merupakan bentuk sempurna dan hanya dapat dilihat oleh mereka yang mempunyai kemampuan tinggi. 4. Sang Buddha yang telah mencapai

Penerangan Agung untuk pertama kali dibawah pohon bodhi. 5. Kelima mata antara lain; mata

manusia, mata surga, mata kebijaksanaan, mata dharma dan mata Buddha.

6. Trikaya atau Tiga Tubuh dari Sang Buddha yang terdiri dari Dharmakaya atau Tubuh Dharma, Sambhogakaya atau Tubuh Kebajikan, dan Nirmanakaya atau Tubuh Perwujudan.

7. Semua sutra yang dibabarkan sebelum Saddharma Pundarika Sutra.

8. Berhubungan dengan Sutra Pengertian Yang Tak Terkira, yang mana adalah pengantar dari Saddharma Pundarika Sutra. 9. Berhubungan dengan Sutra Meditasi

Samantabhadra, dimana merupakan bagian dari Saddharma Pundarika Sutra dan Sutra Mahayana Mahaparinirvana.

10. Kutipan dari “Guru Dharma” bab dari Saddharma Pundarika Sutra. 11. Kutipan dari Bab “Pelaksanaan

Yang Tenang” dari Saddharma Pundarika Sutra.

12. Ke-empat sekte lain yakni Kusha, Jojitsu, Ritsu dan Kegon

13. Yamashiro, Yamato, Kawachi, Izumi dan Settsu.

14. Tokai, Tosan, Hokuriku, San’in, Sanyo, Nankai dan Saikai. 15. Lima ki dan 7 do termasuk 66

propinsi. 16. Iki dan Tsushima.

17. Bodhisattva Kochi adalah seorang bhiksu dari Kuil Onodera di Shimotsuke, yang belajar pertama kali dibawah seorang murid dari Ganjin bernama Dochu, dan kemudian, belajar doktrin Tendai langsung dibawa Saicho dan menyebarluaskannya dalam area

Referensi

Dokumen terkait