• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pulau-Pulau Kecil"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

Pada hakekatnya yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insuler. Keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup dan dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut (Dahuri, 1998).

Beberapa karakteristik yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan ke dalam aspek lingkungan hidup dan sosial-ekonomi-budaya. Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain :

a. Pulau-pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area) yang sempit, sehingga sumber air tawar yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh instrusi air laut,

b. Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka (rasio antara panjang garis pantai dengan luas area relatif besar), sehingga lingkungannya sangat mudah dipengaruhi oleh dinamika perairan di sekitarnya,

c. Spesies organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat endemik,

d. Pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam terestrial yang sangat terbatas, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar, maupun dengan kehutanan dan pertanian.

Menurut Hein (1990) dalam Dahuri (2003), bahwa karakteristik pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi-budaya antara lain : a. Pulau-pulau kecil memiliki infrastruktur yang sangat terbatas sehingga

sulit mengundang kegiatan bisnis dari luar pulau (diseconomies of scale), b. Pulau-pulau kecil memiliki pasar domestik dan sumberdaya alam yang

kecil, sehingga iklim usahanya kurang kompetitif. Hal ini akan mempersulit terjalinnya kerjasama melalui perdagangan internasional yang sangat kompetitif,

(2)

c. Kegiatan ekonomi di pulau-pulau kecil sangat terspesialisasi, yakni eksport dan tergantung pada import,

d. Pulau-pulau kecil biasanya sangat tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi yang bernilai strategis,

e. Jumlah penduduk yang ada di pulau-pulau kecil tidak banyak dan biasanya saling mengenal satu sama lainnya, serta terikat oleh hubungan persaudaraan.

Secara teoritis, ada beberapa kriteria dalam menentukan batasan suatu pulau kecil, yakni: (1) batasan fisik-luas pulau: (2) batasan ekologis; dan (3) keunikan budaya. Di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah atau buatan (man-made).

2.2. Potensi Dan Kendala Pengembangan Pulau-Pulau Kecil

Potensi sumberdaya alam di pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (environmental secvices). Sumberdaya yang dapat pulih antara lain: sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweed, lamun atau seagrass, mangroves dan terumbu karang. Selanjutnya, sumberdaya alam yang tidak dapat pulih antara lain: minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jas lingkungan adalah pariwisata, perhubungan laut, dan lainnya (Bengen, 2006). Selain segenap potensi pembangunan di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina ), siklus hidrologi dan biogekimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan tersebut mestinya secara seimbang diikuti dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan .

Potensi yang umumnya dimiliki pulau-pulau kecil menurut Dolman (1990) dalam Dahuri (2003), adalah pengembangan marikultur dan pengembangan

(3)

kegiatan kepariwisataan. Pengembangan marikultur atau budidaya laut di pulau-pulau kecil diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak merusak lingkungan. Kegiatan budidaya laut yang sesuai untuk pulau-pulau kecil dari jenis komoditi perikanan yang biasanya dibudidayakan antara lain : rumput laut, berbagai jenis ikan kerapu, teripang, dan kerang-kerangan.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Peraturan Presiden No. 78, Tahun 2005, tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Peraturan Presiden ini merupakan dasar hukum bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan terhadap 92 buah pulau kecil terluar di Indonesia dan dinilai sangat stategis untuk menyikapi dan mengambil langkah langkah yang tepat terhadap berbagai isu dan permasalahan yang muncul terkait PPKT. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan kedaulatan dan pendekatan ekonomi. Sedangkan prinsi-prinsip dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah wawasan nusantara, berkelanjutan dan berbasis masyarakat. (Numbery, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat 3 (tiga) tujuan pokok yang ingin dicapai dengan diterbitkannya Pepres tersebut, yaitu: (1) menjaga keutuhan NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa, serta menciptakan stabilitas kawasan; (2) memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan, dan (3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih dihadapkan pada berbagai kendala antara lain letaknya yang terpencil, terbatasnya sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Disamping itu, didalam pemanfaatan pulau-pulau kecil perlu memperhitungkan daya dukung pulau mengingat sifatnya yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat sehingga dapat diwujudkan pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat (Dahuri, 2003).

Kawasan pulau-pulau kecil kerap dihadapkan dengan beberapa kendala yang mesti menjadi perhatian dalam upaya pengembangannya. Menurut UNESCO (1991) beberapa kendala pembangunan pulau-pulau kecil sebagai berikut :

a. Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan), menyebabkan penyediaan sarana dan prasarana menjadi sangat mahal, serta minimnya

(4)

sumberdaya manusia yang handal yang mau bekerja di pulau-pulau kecil tersebut

b. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi sehingga turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia

c. Keterbatasan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir (coastal ecosystem) dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan.

d. Produktivitas sumbedaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lainnya.

e. Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan yang ingin dikembangkan.

2.3. Pengembangan Budidaya Laut di Pulau-Pulau Kecil

Pengembangan budidaya laut yang hendak diwujudkan di pulau kecil adalah sistem usaha perikanan yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan seyogyanya didasarkan pada beberapa hal, yaitu: (i) potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis budidaya, (ii) kemampuan dan aspirasi masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi budidaya, (iii) pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu, dan (iv) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan yang menjadi leading sector (Dahuri, 2003).

Kondisi biofisik wilayah pesisir pulau-pulau kecil di Indonesia berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga berimplikasi pada kesesuaian (sustability) untuk jenis budidaya perikanan yang dikembangkan (Dahuri, 2003). Dalam pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat (DKP, 2001), bahwa pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan terbatas, dan salah satunya adalah usaha budidaya perikanan laut (marine based aquacultur).

(5)

Jenis-jenis komoditas yang dapat dikembangkan meliputi ikan kerapu, teripang pasir, kerang-kerangan, dan rumput laut.

Dahuri (2002) mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil, kegiatan pengembangan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana, serta pengelolaan kesehatan organisme dan lingkungan. Kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan produksi usaha budidaya perikanan.

2.4. Budidaya Rumput Laut

Rumput laut (seaweed) merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang dipanen dari laut. Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang, dan daun. Secara keseluruhan, tumbuhan ini mempunyai bentuk yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda, yaitu berbentuk thallus. Budidaya rumput laut di Indonesia banyak dilakukan karena memiliki manfaat antara lain: sebagai pupuk organik, bahan baku industri makanan dan kosmetika, sampai obat-obatan. Rumput laut yang banyak dikembangkan yaitu jenis Eucheuma cottonii. Jenis ini banyak digunakan oleh industri makanan, kosmetika dan farmasi di dunia karena banyak mengandung carragenan (Nontji, 1993). Jenis-jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi

Jenis Rumput Laut Kelompok Penghasil

Eucheuma sp Karaginophytes Karaginan

Gracillaria sp Agarophytes Agar

Gelidium sp Agarophytes Agar

Sargasum sp Alginophytes Alginat

Sumber : BRKP (2001)

Dalam melakukan budidaya rumput laut, pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya usaha budidaya. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha rumput laut, hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh rumput laut (Anonim, 1992). Kriteria kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) seperti pada Tabel 2.

(6)

Tabel 2 Kriteria yang diinginkan untuk lokasi budidaya rumput laut. No Parameter Sangat Sesuai (S1) Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) Sumber 1 Kedalaman (m) 1,0 – 5,0 0,5 - <1,0 atau >5,0 - <10,0 <0,5 atau >10,0 Aslan (1998); Utoyo (2000) 2 Kecepatan Arus (m/s) 0,20 – 0,30 0,10 – 0,19 atau

0,30-0,40 < 0,10 atau >0,40 Aslan (1998); Sulistijo (1996) 3 Nitrat (mg/l) 0,90 – 3,00 0,10 - <0,90 atau 3,00 – 3,50 <0,10 atau >3,50 Sulistijo (1996) 4 Fosfat ((mg/l) 0,02 – 1,00 0,01 - <0,02 atau < 1,00 – 2,00 <0,01 atau >2,00 Sulistijo (1996) 5 Kecerahan (%) 80 - 100 60 - <80 <60 Aslan (1998) 6 Suhu (oC) 28 - 30 26 - 27 atau

30 - 33 <26 atau >33 Djurjani (1999) 7 Salinitas (ppt) 28 - 32 25 – 27 atau 33 - 35 <25 atau >35 Aslan (1998); Djurjani (1999) 8 Oksigen terlarut (mg/l) >4,00 2,00 – 4,00 <2,00 Djurjani (1999) 9 pH 7,00 – 8,50 6,50 - <7,00 <6,50 atau >8,50 Djurjani (1999) 10 Kekeruhan (NTU) <10,00 10,00 – 40,00 >40,00 Aslan (1998);

Hidayat (1994) 11 Tinggi Gelombang (m) 0,20 – 0,30 0,10 – 0,20 atau

0,30 – 0,40

<0,10 atau >0,40 Aslan (1998); Hidayat(1994) 12 Substrat Dasar Pasir,

Pecahan Karang

Karang, Pasir Berlumpur

Lumpur Indriani dan Sumiarsih (1991); Hidayat (1994) 13 Keterlindungan Terlindung (teluk, selat) Cukup terlindung (perairan dangkal dengan karang penghalang) Terbuka (perairan terbuka) Efendi (2004)

Selain pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut, metode penanaman juga perlu diperhatikan. Menurut Aslan (1998), terdapat tiga metode penanaman rumput laut berdasarkan posisi tanam terhadap dasar perairan, yaitu : (i) metode dasar (bottom method); (ii) metode lepas dasar (off bottom method); dan (iii) metode apung (floating method).

Syamsudin (2004), menyatakan bahwa pemilihan metode budidaya rumput laut memiliki korelasi terhadap produktivitas dan pertumbuhan thallus rumput laut yang dibudidayakan. Ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan dengan membandingkan produktivitas 3 (tiga) metode budidaya rumput laut, yaitu metode tali rawai/apung, metode lepas dasar, dan metode dasar. Selanjutnya dikatakan bahwa metode tali rawai/apung merupakan metode budidaya rumput laut yang paling produktif dengan laju pertumbuhan harian thallus rata-rata 7,67% per hari, metode lepas dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata

(7)

7,54% per hari, dan metode dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata sebesar 2,12% perhari. Dengan menggunakan metode tali rawai/apung dan metode lepas dasar pada kedalaman yang sesuai, thallus rumput laut yang dibudidayakan dapat mencapai berat 4 – 5 kali lipat dari berat awal thallus. Dengan demikian disimpulkan bahwa untuk mencapai produktivitas yang tinggi, budidaya rumput laut disarankan untuk dilakukan dengan metode tali rawai/apung dan metode lepas dasar pada kedalaman yang sesuai

2.5. Budidaya Ikan Kerapu

Ikan kerapu adalah jenis ikan laut yang banyak dijadikan komoditas budidaya, karena memiliki nilai penting di pasar dalam dan luar negeri (Laining et al., 2003). Hal ini disebabkan faktor tingginya harga jual ikan kerapu sebagai ikan konsumsi, terutama harga di pasar eksport seperti di Negara Singapore dan Hongkong (Trisakti, 2003).

Keramba jaring apung (KJA) adalah salah satu teknik budidaya ikan kerapu yang cukup produktif dan intensif dengan konstruksi yang tersusun dari karamba-karamba jaring yang dipasang pada rakit terapung di perairan pantai (Sunyoto, 1996). Salah satu keuntungan budidaya ikan kerapu dengan KJA dibandingkan dengan teknologi selain KJA yaitu ikan dapat dipelihara dengan kepadatan tinggi tanpa khawatir akan kekurangan oksigen (Basyarie, 2001). Sedangkan keuntungan KJA lainnya ialah hemat lahan, tingkat produkivitasnya tinggi, tidak memerlukan pengelolaan air yang khusus sehingga dapat menekan input biaya produksi, mudah dipantau, unit usaha dapat diatur sesuai kemampuan modal, jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak perlu pengolahan tanah, pemangsa mudah dikendalikan dan mudah dipanen (Sunyoto, 1996).

Budidaya ikan kerapu dengan menggunakan KJA terdiri dari serangkaian kegiatan (Sunyoto, 1996), yaitu:

a. Pemilihan dan penentuan lokasi KJA dengan mempertimbangkan faktor-faktor gangguan alam (badai dan gelombang besar), adanya predator, pencemaran, konflik pengguna, faktor kenyamanan dan kondisi hidrografi. b. Pembuatan disain dan konstruksi KJA dengan mempertimbangkan

ukuran, disain, bahan baku dan daya tahannya, harga dan faktor lainnya. c. Penentuan Tata letak KJA dengan mempertimbangkan faktor kondisi

(8)

keramba (luas dan kedalaman), ukuran mata jaring, jumlah keramba yang searah dengan arus, jarak antar ke-ramba dan lama pemeliharaan. d. Pengadaan sarana budidaya, seperti kerangka rakit, jaring kurungan,

pelampung, jangkar, keramba, pengadaan benih dan tenaga kerja.

Selanjutnya Sunyoto (1996) mengatakan pengelolaan budidaya ikan kerapu terdiri dari kegiatan penebaran benih dengan padat penebarannya, pendederan, pembesaran, pemberian pakan dan pengelolaannya, pencegahan timbulnya penyakit ikan, perawatan sarana budidaya dan pengamatan kualitas air, serta kegiatan panen, penanganan pasca panen dan pemasarannya.

Budidaya ikan kerapu telah dikembangkan secara intensif karena dorongan permintaan pasar dan harga jual yang tinggi. Selain itu, pengembangan budidaya ikan kerapu dalam keramba jarung apung diperkirakan mampu mengurangi kerusakan terumbu karang karena teknik penangkapan yang tidak ramah lingkungan (Subandar, 2003). Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan demersal yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek pasar yang baik di dalam maupun di luar negeri seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis ikan kerapu yang bernilai ekonomis tinggi untuk dikembangkan Jenis Ikan

No

Nama Indonesia Nama Latin

1 Kerapu malabar Epinephelus malabaricus 2 Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus 3 Kerapu lumpur Epinephelus suillus

4 Kerapu sunu Plectropomus spp

5 Kerapu bebek Cromileptis altivelis Sumber : Balai Budidaya Laut Lampung, 1998

Berkaitan dengan pengembangan budidaya ikan dalam KJA, pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan dalam kegiatan budidaya. Pemilihan lokasi ideal tidak boleh dilakukan secara gegabah karena menyangkut modal yang tidak sedikit dan kelangsungan usaha. Menurut Anonim (1998), lokasi yang dipilih untuk budidaya ikan dalam KJA harus memenuhi kriteria lingkungan untukbudidaya karena akan menentukan tingkat keberhasilan budidaya tersebut. Pemilihan lokasi yang tepat akan mempengaruhi nilai ekonomis budidaya karena membutuhkan biaya pengelolaan, tingkat produksi ikan dan mortalitas. Apabila di suatu wilayah perairan telah ditetapkan zonasi peruntukannya, maka KJA harus diletakkan pada zona budidaya yang telah ditetapkan. Kriteria budidaya ikan kerapu dalam KJA seperti pada Tabel 4.

(9)

Tabel 4 Nilai ideal yang diinginkan dari parameter utama pemilihan lokasi perairan untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA

No Parameter Sangat Sesuai

(S1) Cukup Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) Sumber

1 Keterlindungan Terlindung Agak Terlindung Tidak Terlindung Sutrisno et al (2000) 2 Kedalaman (m) 10 – 20 >20 - 25 atau 4 - <10 <4 atau >25 Sunyoto (1996); Utojo dkk (2000) 3 DO (mg/l) 5,00 – 8,00 3,00 - <5,00 <3,00 atau >8,00 Djurjani (1999); Sunyoto (1996) 4 Salinitas (ppt) 30,00 – 35,00 25,00 - <30,00 <25,00 atau >35,00 Sunyoto (1996)

5 Gelombang (m) <0,20 0,20 – 0,50 >0,50 Akbar dan Sudaryanto (2001) 6 Arus (m/s) 0,20 – 0,40 0,05 - <0,20 atau >0,40 – 0,50 <0,05 atau >0,50 Sunyoto (1996)

7 Suhu (oC) 27,00 – 32,00 20,00 – 26,00 <20,00 atau >32,00 Amin (2001); Djurdjani (1999) 8 Kecerahan (m) > 5,00 3,00 - <5,00 <3,00 Al Qodri et al (1999) 9 BOT 21,00 – 25,00 10,00 – 20,00 atau 26,00 – 50,00 <10,00 atau >50,00 Akbar dan Sudaryanto (2001); Al Qodri (1999) 10 Subtrat Dasar Pasir, Pecahan

Karang, Karang

Pasir Berlumpur Lumpur

2.6. Budidaya Laut Yang Berkelanjutan

Dalam konsep pengembangan pulau-pulau kecil didasarkan atas potensi yang dominan di pulau tersebut (Heriawan et al, 1999), terutama budidaya laut. Dalam pengembangan budidaya laut perlu memperhatikan aspek daya dukung lingkungan demi keberlanjutan kegiatan tersebut. Salah satu faktor yang merupakan dasar pertimbangan pemilihan lokasi peruntukan lahan untuk budidaya perikanan laut adalah kemampuan daya dukung ruang. Kemampuan daya dukung yang dimaksud adalah seberapa besar ruang tersebut dapat berproduksi secara optimal dengan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga kelestarian produksi tetap terjamin (DKP, 2002).

Pengembangan budidaya laut di Indonesia berjalan sangat lamban disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang dihadapi, yaitu: masalah yang berkaitan dengan alam/lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa untuk keberlanjutan usaha pengembangan budidaya laut, harus didukung oleh lingkungan, kondisi sosial ekonomi, dan kelembagaan.

(10)

Pengembangan budidaya laut didasari pada pemahaman bahwa kegiatan budidaya laut mampu memberikan konstribusi yang baik kepada pelaku budidaya maupun terhadap lingkungan, melalui 3 (tiga) aspek ‘sustainability’ , yaitu : 1. Keberlanjutan Sosial. Budidaya laut memiliki kontrol terhadap siklus produksi

yang tinggi dengan teknik yang relatif budah, sehingga kebergantungan masyarakat lokal terhadap orang luar (outsiders) dalam melakukan budidaya laut dapat direduksi seminim mungkin dalam periode waktu relatif singkat. Dengan demikian akan memberikan keberlanjutan sosial dalam penerapannya. 2. Keberlanjutan Ekologis. Budidaya laut merupakan ‘extractive-based activity’

yaitu rasionalisasi pengelolaan SDA hayati perikanan melalui penambahan produksi dari kegiatan diluar penangkapan. Dengan demikian akan mengurangi dampak ekologis dari aktivitas ekstraksi langsung dari alam.

3. Keberlanjutan Ekonomi. Budidaya laut dapat dilakukan sepanjang tahun, sehingga memungkinkan produksi yang kontinyu. Selanjutnya, penggunaan sumberdaya dan spesies ekonomis tinggi seperti rumput laut dan ikan kerapu dapat memberikan nilai return yang sangat tinggi.

2.7. Metode Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut

2.7.1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)

Pembangunan pada dasarnya merupakan usaha untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah tanpa meninggalkan aspek lingkungan (Hartono, 1995). Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari terwujud apabila terpenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu : (i) keharmonisan spasial, (ii) kapasitas asimilasi atau daya dukung lingkungan, dan (iii) pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (sustability) lahan dan keharmonisan antara pemanfaatan (Bengen, 2002).

Keharmonisan spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi zona preservasi dan konservasi. Keharmonisan spasial juga menuntut penataan dan pengelolaan pembangunan dalam zona pemanfatan dilakukan secara bijaksana, artinya suatu kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai dengan kebutuhan

(11)

pembangunan yang dimaksud, oleh karena itu diperlukan suatu analisis kesesuaian lahan bagi setiap peruntukan pesisir (Bengen, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa kesesuaian pemanfaatan lahan pesisir dan laut untuk berbagai pemanfaatan pulau-pulau kecil seperti perikanan budidaya perikanan didasarkan pada kriteria kesesuaian untuk setiap kegiatan tersebut. Kriteria ini disusun berdasarkan parameter biofisik yang relevan untuk kegiatan yang dimaksud.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pulau kecil untuk budidaya laut, informasi untuk mendukung pengelolaannya sangat diperlukan. Pengelolaan informasi meliputi pengumpulan, pemprosesan, penelusuran, dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunaannya pada waktu yang diinginkan. Pengelolaan informasi sedemikian dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis/SIG (Dahuri et al., 2004). Sistem Informasi Geografis sebagai sebuah sistem yang mempunyai kesamaan dengan sistem informasi lainnya, dimana sistem ini juga merupakan satu kesatuan yang terdiri dari berbagai subsistem yang mempunyai tugas masing-masing, dan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengelola sejumlah data yang bervariasi dan cukup kompleks sehingga dihasilkan suatu bentuk informasi yang dapat dipakai untuk proses pengambilan keputusan dan penetapan kebijaksanaan dalam berbagai bidang yang melibatkan aspek keruangan atau spasial (Soenarmo, 1994).

SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu model data raster dan model data vektor. Model data vektor menyajikan data grafis (titik, garis, poligon) dalam struktur format vektor. Struktur data vektor adalah suatu cara untuk membandingkan informasi garis dan areal ke dalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Borrough, 1987 dalam Soenarmo, 1994).

2.7.2. Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan adalah kapasitas atau kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan organisme secara sehat sekaligus mempertahankan produktivitas, kemampuan adaptasi, dan kemampuan memperbaharui diri (Sunu, 2001). Daya dukung lingkungan adalah jumlah populasi organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas perairan tersebut.

(12)

Rachmansyah (2004), menyatakan daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang, predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas

Konsep daya dukung telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinyuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam jangka waktu lama.

Scones (1993) dalam Soselisa (2006) membagi daya dukung lingkungan menjadi dua, yaitu: daya dukung ekologis (ecologycal carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-paremater kelayakan usaha secara ekonomi.

2.8. Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Budidaya Laut

Keberhasilan suatu usaha pemanfaatan sumberdaya akan dinilai dari besarnya pendapatan yang diperoleh (keuntungan). Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dikeluarkan. Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga jual produk, sedangkan biaya merupakan semua pengeluaran yang digunakan dalam kegiatan usaha. Suatu usaha dapat diketahui menguntungkan atau tidak, dapat diukur dengan menggunakan indikator perimbangan antara penerimaan dan biaya. Berdasarkan pengukuran tersebut, jenis usaha dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) jenis usaha yang bersifat musiman, dan (2) jenis usaha yang bersifat tahunan. Jenis usaha musiman biasanya memiliki karakteristik : (1) periode produksi lebih dari satu kali dalam setahun, (2) umumnya memerlukan

(13)

modal relatif kecil, (3) diusahakan dalam skala kecil dan teknologi yang sederhana. Jenis usaha musiman ini dianalisis dengan R/C (revenue cost ratio).

Kriteria pengambilan keputusan adalah usaha menguntungkan bila R/C > 1, usaha berada pada titik impas bila R/C = 1, dan usaha merugi bila R/C < 1 .

Jenis usaha tahunan memiliki karakteristik antara lain: (1) memiliki periode produksi yang lebih lama, kurang lebih satu tahun atau lebih, (2) umumnya memerlukan modal dan investasi cukup besar, (3) diusahakan dalam skala besar/proyek. Menurut Kadariah et al (1999), dalam rangka mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya suatu usaha tahunan, di kembangkan melalui pendekatan analisis beberapa indeks (investment criteria). Hakekat dari semua kriteria tersebut adalah mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam menilai kelayakan proyek sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada, tiga diantaranya adalah (1) NPV, (2) Net B/C, (3) IRR. Selanjutnya Kusumastanto (1998), mengemukakan kriteria yang digunakan dalam evaluasi kebijakan untuk usaha yang bersifat tahunan adalah sebagai berikut :

1. Net Present Value (NPV), adalah analisis yang memperhitungkan selisih antara present value dari benefit dan present value dari biaya.

Kriteria pengambilan keputusan adalah usaha dinyatakan layak bila NPV >0, jika NPV =0 berarti usaha tersebut mengembalikan persis sebesar interest rate, dan jika NPV < 0 berarti usaha tidak layak dilakukan.

2. Internal Rate of Return (IRR) adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol.

Jika ternyata IRR suatu usaha sama dengan nilai i (discount rate), maka NPV dari proyek itu adalah sebesar 0, jika IRR< discount rate, berarti NPV < 0. Oleh karena itu, nilai IRR suatu usaha yang lebih besar/sama dengan nilai discount rate menyatakan usaha layak untuk dilaksanakan, sedangkan IRR<0 memberikan tanda bahwa usaha tidak layak dilakukan.

3. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), merupakan perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya terdiri atas present value total dari benefit bersi dalam tahun-tahun dimana benefit bersih bersifat positif, sedangkan penyebutnya terdiri dari present value total dari biaya bersih dalam tahun-tahun dimana Bt – Ct bersifat negatif, yaitu biaya kotor lebih besar daripada benefit kotor.

(14)

Net B/C akan terdapat apabila paling sedikit salah satu Bt – Ct bersifat negatif. Dengan perkataan lain NPV proyek= 0. Kalau rumus memberikan hasil lebih besar dari 1, berarti NPV >0. NET B/C >1 merupakan tanda usaha layak, sedangkan NET B/C <1 merupakan tanda usaha tidak layak

Alternatif-alternatif kegiatan dari hasil langkah-langkah diatas, kemudian disusun berdasarkan rasio manfaat-biaya (Benefit-Cost Ratio). Pada umumnya para pengambil kebijakan hanya tertarik pada alternatif yang mempunyai rasio lebih dari satu. Dengan kata lain, agar secara ekonomi layak, sebuah alternatif kegiatan diharapkan memberikan lebih banyak manfaat daripada biaya yang harus dikeluarkan. Dari semua alternatif yang rasionya lebih besar dari satu (B/C>1), biasanya alternatif dengan rasio tertinggi cenderung dipilih. Bagi para pengambil keputusan, yang penting adalah mengarahkan penggunaan sumber-sumber yang langka kepada kegiatan usaha yang dapat memberikan hasil yang paling banyak untuk perekonomian sebagai keseluruhan, artinya yang menghasilkan social returns atau economic returns yang paling tinggi.

Gambar

Tabel 1  Jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi
Tabel 2  Kriteria yang diinginkan untuk lokasi budidaya rumput laut.  No Parameter  Sangat  Sesuai   (S1)  Sesuai  (S2)  Tidak   Sesuai  (N)  Sumber  1  Kedalaman (m)  1,0 – 5,0  0,5 - &lt;1,0 atau   &gt;5,0 - &lt;10,0  &lt;0,5 atau &gt;10,0  Aslan (1998);
Tabel 3  Jenis ikan kerapu yang bernilai ekonomis tinggi untuk dikembangkan  Jenis Ikan
Tabel 4 Nilai ideal yang diinginkan dari parameter utama pemilihan lokasi  perairan untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA

Referensi

Dokumen terkait

Kinerja link yang efektif menyerap gempa ditunjukkan dengan kelelehan yang mampu membentuk sudut rotasi inelastik yang cukup besar pada link, dimana hal ini direncanakan terjadi

Metafora sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna, artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau

PT Greenspan Packaging System sudah baik, hal ini dapat dilihat dari pembagian tanggung jawab fung- sional diantaranya fungsi penjualan terpisah dengan fungsi gudang untuk

Jumlah ini turut dibuktikan melalui data yang dikeluarkan oleh CIDB (2005) berkaitan penggunaan IBS dalam sektor pembinaan iaitu majoriti pemaju di Malaysia masih gemar

&#34;Saya bersumpah,he4anji, bahwa saya akan melakukan pekeq'aan Ilmu Kedokteran, Ilmu Bedah dan Ilmu Kebidanan dengan pengetahuan dan tenaga saya yang

Jika dilakukan observasi di lokasi kejadian kecelakaan, pemasangan rambu rambu sementara yang dilakukan petugas layanan jalan tol belum sesuai dengan aturan SK DIREKSI

Apabila ketepatan pengukuran suhu permukaan laut melaui satelit adalah sempurna maka pasangan data satelit dan in situ pada waktu dan tempat yang sama, jika

Pada dasarnya program ini berorientasi pada strategi pemerataan pembangunan, yang dapat berorientasi sektoral apabila terkait dengan beragamnya kegiatan sektoral dalam satu