• Tidak ada hasil yang ditemukan

referat tiroid kehamilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "referat tiroid kehamilan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan selama kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh. Wanita hamil dengan eutiroid memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip dengan disfungsi tiroid sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Sebagai contoh, wanita hamil dengan eutiroid dapat menunjukkan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung, takikardi ringan, dan tekanan nadi yang melebar, suatu tanda-tanda yang dapat dihubungkan dengan keadaan hipertiroid.

Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan hipotiroidisme pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi pada wanita muda dan dapat mempersulit kehamilan, demikian pula sebaliknya. Penyakit Graves terjadi sekitar lebih dari 85 % dari semua kasus hipertiroid, dimana Tiroiditis Hashimoto adalah yang paling sering untuk kasus hipotiroidisme. Tiroiditis postpartum adalah penyakit tiroid autoimun yang terjadi selama tahun pertama setelah melahirkan. Penyakit ini memberikan gejala tirotoksikosis transien yang diikuti dengan hipotiroidisme yang biasanya terjadi pada 8-10% wanita setelah bersalin.

Oleh karena itu, tatalaksana yang tepat sangatlah penting bagi kesehatan ibu dan janin. Makalah ini akan membahas fisiologi tiroid ibu selama kehamilan, diagnosis dan konsekuensi dari penyakit Graves pada ibu hamil, dan pilihan terapi untuk penyakit Graves. Kemudian makalah ini juga membahas fisiologi tiroid janin, dampak penyakit Graves ibu hamil dan pengobatannya terhadap fungsi tiroid janin dan neonatus.

BAB II PEMBAHASAN

(2)

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI HORMON TIROID

Kelenjar tiroid terdiri dari lobus kanan dan kiri dimana kedua lobus tersebut dihubungkan oleh istmus. Kelenjar ini terdapat pada bagian inferior trakea dan beratnya diperkirakan 15-20 gram. Lobus kanan bisasanya lebih besar dan lebih vascular dibandingkan lobus kiri. Kelenjar ini kaya akan pembuluh darah dengan aliran darah 4-6 ml/menit/gram. Pada keadaaan hipertiroid, aliran darah dapat meningkat sampai 1 liter/menit/gram sehingga dapat didengar menggunakan stetoskop yang disebut bruit. Kelenjar tiroid mendapatkan persarafan adrenergik dan kolinergik yang berasal dari ganglia servikal dan saraf vagus. Kedua system saraf ini mempengaruhi aliran darah pada kelenjar tiroid yang akan mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid seperti TSH dan iodid. Selain itu, serabut saraf adrenergik mencapai daerah folikel sehingga persarafan adrenergik diduga mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid secara langsung. Folikel atau acini yang berisi koloid merupakan unit fungsional kelenjar tiroid. Dinding folikel dilapisi oleh sel kuboid yang merupakan sel tiroid dengan ukuran bervariasi tergantung dari tingkat stimulasi pada kelenjar. Sel akan berbentuk kolumner bila dalam keadaaan aktif, dan berbentuk kuboid bila dalam keadaan tidak aktif. Setiap 20-40 folikel dibatasi oleh jaringan ikat yang disebut septa yang akan membentuk lobulus. Di sekitar folikel terdapat sel parafolikuler atau sel C yang menghasilkan hormon kalsitonin.Di dalam lumen folikel, terdapat koloid dimana tiroglobulin yang merupakan suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel tiroid yang akan disimpan.

Kelenjar tiroid memelihara tingkat metabolisme dari sebagian besar sel dalam tubuh dengan menghasilkan dua hormon tiroid di dalam sel folikelnya, yaitu triiodothyronin (T3) dan tetraiodohyronin (T4) atau tirosin. Iodin (I2) memilki berat atom sebesar 127 dan berat molekulnya 254. T4 memilki berat molekul sebesar 777 Dalton yang 508 didalamya merupakan iodida. Hormon tiroid sangat penting dalam perkembangan saraf

(3)

normal, pertumbuhan tulang, dan pematangan seksual. Sel parafolikel yang disebut sel C berada di dekat sel folikuler yang menghasilkan suatu hormon polipeptida, kalsitonin.

Pada orang dewasa, hormon tiroid disintesis di kelenjar tiroid melalui beberapa tahap, yaitu :

1. Iodin (I2) yang direduksi menjadi iodide (I) di lambung dan usus cepat diabsorbsi dan beredar dalam sirkulasi dalam bentuk iodide.

2. Sel folikuler pada kelenjar tiroid membentuk iodide trap yang dibawa ke sel melalui gradien elektrokimia.

3. Retikulum endoplasma kasar mensintesis molekul besar yang disebut tiroglobulin.. Iodida-tiroglobulin bebas diangkut dalam bentuk vesikel ke membran apikal,dimana vesikel tersebut kemudian berfusi dengan membran dan akhirnya melepaskan tiroglobulin pada membran apikal 4. Pada membran apikal, iodida yang teroksidasi berikatan dengan unit

tirosin (Ltyrosine) dalam tiroglobulin pada satu atau dua posisi, membentuk prekursor hormon monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT).

5. Setiap molekul tiroglobulin bisa mengandung sampai 4 residu T4 dan nol hingga satu T3. Tiroglobulin disimpan kembali ke dalam sel folikuler sebagai droplet koloid melalui proses pinositosis.

6. Lisosom eksopeptidase mengancurkan ikatan antara tiroglobulin dan T4 (atau T3). Sebagian besar (80%) T4 dilepaskan ke kapiler darah dan hanya sejumlah kecil (20%) T3 disekresi dari kelenjar tiroid.

7. Proteolisis tiroglobulin juga melepaskan monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT). Molekul-molekul ini dideiodinasi oleh enzim deiodinase sehingga iododa dapat digunakan kembali untuk membentuk T4 atau T3.Normalnya, hanya beberapa molekul tiroglobulin utuh yang meninggalkan sel folikuler.

8. TSH merangsang hampir semua proses yang melibatkan sintesis dan sekresi hormon tiroid.

(4)

pertumbuhan. Produksi dan pelepasan hormon tiroid diatur oleh thyroid-releasing hormone (TRH) dari hipotalamus. TRH mencapai hipofisis anterior melalui sistem portal, dimana sel tirotropik dirangsang untuk menghasilkan thyroid-stimulating hormone (TSH) atau thyrotropin. TSH dilepaskan ke aliran darah sistemik kemudian dibawa sampai ke kelenjar tiroid. Di sini, TSH merangsang pengambilan iodida, dan semua proses yang mendorong pembentukan dan pelepasan T4 dan T3. TSH mengaktifasi adenilsiklase yang berbatasan dengan membran sel folikel dan meningkatkan kerja cAMP. T3 memiliki efek inhibisi kuat terhadap sekresi TRH. Hampir semua T3 dalam sirkulasi berasal dari T4. TSH juga merangsang konversi T4 menjadi T3 yang secara biologis lebih aktif. Sebagian besar hormon tiroid terikat pada protein plasma agar hormon tersebut terlindungi selama diangkut. Terdapat keseimbangan antara hormon yang terikat protein dengan hormon yang bebas. Hormon tiroid larut dalam lemak dan dapat dengan mudah melintasi membran sel melalui proses difusi. Di dalam darah, tubuh kita hanya memiliki sejumlah kecil thyroxine-binding globulin (TBG) sekitar 10 mg/L, tetapi afinitasnya terhadap T4 sangat tinggi. T4 total sekitar 10-7 mol/L setara dengan 77,7 μg/L serum darah, karena 777 gram T4 sama dengan 1 mol dari total. Kurang lebih 70% dari T4 dan T3 berikatan pada TBG, dan sisanya terikat pada thyroxine-binding albumin (TBA) dan transthyrenin. Estrogen merangsang sintesis TBG. Hormon T3 dieliminasi dengan cepat (waktu paruhnya 24 jam), karena memiliki derajat terendah terhadap pengikatan protein. Molekul tiroksin(T4) memiliki waktu paruh biologis sekitar 7 hari, hampir setara dengan waktu paruh isotop radioaktif I131 (8 hari).Hormon tiroid adalah molekul yang larut lemak dan dapat melewati membran sel dengan mudah. T3 berikatan pada protein reseptor nuklear dengan sebuah afinitas sepuluh kali lipat dibandingkan T4. Informasi tersebut mengubah transkripsi DNA menjadi mRNA, dan akhirnya diterjemahkan ke dalam banyak protein efektor. Satu tipe protein reseptor tiroid terikat pada elemen pengatur tiroid dalam gen sel target. Susunan seluler penting yang dirangsang oleh T3 : mitokondria, pompa Na+-K+,myosin ATPase, reseptor β adrenergik, banyak sistem enzim dan protein untuk pertumbuhan dan pematangan termasuk perkembangan sistem saraf pusat.

(5)

Hormon tiroid merangsang konsumsi oksigen pada hampir semua sel. Hormon tiroid merangsang kecepatan dari (1) pengeluaran glukosa hati dan utilisasi glukosa perifer, (2) metabolisme asam lemak, kolesterol, dan trigliserida hati, (3)sintesis protein penting (pompa Na+-K+, enzim pernapasan, eritropoietin, reseptor β adrenergik, hormon seksual, faktor pertumbuhan, dll), (4) absorpsi karbohidrat di usus dan ekskresi kolesterol, dan (5) pengaturan fungsi reproduksi. B. FISIOLOGI TIROID DALAM KEHAMILAN

Hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) disintesis di dalam folikel tiroid. Tiroid-stimulating hormone (TSH) merangsang sintesis dan pelepasan T3 dan T4, yang sebelumnya didahului dengan pengambilan iodide yang penting untuk sintesis hormon tiroid. Walaupun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di jaringan perifer T4 dikonversi menjadi T3 yang lebih poten melalui proses deiodinasi. Selama kehamilan normal kadar tiroid binding globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat dan juga akhirnya T3 dan T4 ikut meningkat.

Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan otak bayi dan sistem saraf. Selama trimester pertama kehamilan, fetus bergantung pada ibu untuk menyediakan hormon tiroid melalui plasenta karena fetus tidak dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai trimester kedua. Pada minggu ke-10-12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi namun fetus tetap membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan hormon tiroid. Selama trimester kedua dan ketiga, hormon tiroid disediakan oleh ibu dan fetus, namun lebih banyak oleh ibu. Selama kehamilan, fungsi kelenjar tiroid maternal bergantung pada tiga faktor independen namun saling terikat, yaitu (a) peningkatan konsentrasi hCG yang merangsang kelenjar tiroid, (b) peningkatan ekskresi iodide urin yang signifikan sehingga

(6)

menurunkan konsentrasi iodin plasma, dan (c) peningkatan thyroxine-binding globulin (TBG) selama trimester pertama, menyebabkan peningkatan ikatan hormone tiroksin. Pada akhirnya, faktor-faktor ini bertanggung jawab terhadap peningkatan kebutuhan tiroid.

a. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)

Seperti yang disebutkan di atas, human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan hormon peptid yang bertanggung jawab untuk produksi progesteron dalam konsentrasi yang adekuat pada awal kehamilan, sampai produksi progesteron diambil alih oleh plasenta yang sedang berkembang. Konsentrasi hCG meningkat secara dramatis selama trimester pertama kehamilan dan menurun secara bertahap setelahnya. Secara struktural, peptide hCG terdiri atas dua rantai, sebuah rantai α dan rantai β, dimana rantai α dari hCG identik dengan struktur yang membentuk TSH. Struktur yang homolog ini menjadikan hCG mampu merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid, namun tidak sekuat TSH.

Kadar TSH turun selama kehamilan trimester pertama, berbanding dengan peningkatan hCG Walaupun hCG sebagai stimulan kelenjar tiroid, konsentrasi hormon tiroid bebas (tidak terikat) pada umumnya dalam batas normal atau hanya sedikit di atas normal selama trimester pertama. Efek perangsangan dari hCG pada kehamilan normal tidak signifikan dan normalnya ditemukan pada pertengahan awal kehamilan. Pada awal minggu ke-12 atau pada kondisi patologis tertentu, termasuk hipermesis gravidarum dan tumor trofoblastik, konsentrasi hCG mencapai kadar maksimal yang akan menginduksi keadaan hipertiroid dimana

(7)

kadar tiroksin bebas meningkat dan kadar TSH ditekan. b. Ekskresi Iodin Selama Kehamilan

Konsentrasi iodine plasma mengalami penurunan selama kehamilan, akibat peningkatan filtrasi glomerulus (GFR). Peningkatan GFR menyebabkan meningkatnya pengeluaran iodine lewat ginjal yang berlangsung pada awal kehamilan. Ini merupakan faktor penyebab turunnya konsentrasi iodine dalam plasma selama kehamilan. Kompensasi dari kelenjar tiroid dengan pembesaran dan peningkatan klirens iodin plasma menghasilkan hormon tiroid yang cukup untuk mempertahankan keadaan eutiorid. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembesaran kelenjar tiroid adalah hal yang fisiologis, merupakan kompensasi adaptasi terhadap peningkatan kebutuhan iodin yang berhubungan dengan kehamilan.

c. Thyroxine Binding Globulin

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan TBG menyebabkan peningkatan ikatan tiroksin, yang merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi fungsi tiroid selama kehamilan. Hormon tiroid dalam serum diangkut oleh tiga protein, yaitu thyroxine binding globulin (TBG), albumin, dan thyroxine binding prealbumin (TBPA) atau transtiretin. Dari ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap tiroksin. Pada pasien tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormon tiroksin diikat oleh TBG. Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan dari konsentrasi TBG sekitar dua kali lipat dari normal selama kehamilan sampai 6-12 bulan setelah bersalin. Hal ini menggambarkan peningkatan kadar hormon tiroksin total (TT4) pada semua wanita hamil, namun kadar tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total (FTI) normal. Untuk menjamin kestabilan kadar hormon bebas, mekanisme umpan balik merangsang pelepasan TSH yang bekerja untuk meningkatkanpengeluaran hormon dan menjaga kestabilan hemostasis kadar hormon bebas. Peningkatan konsentrasi TBG merupakan efek langsung dari meningkatnya kadar estrogen selama kehamilan.

Estrogen merangsang peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu paruh dalam sirkulasi, dan menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum.

(8)

Estrogen juga merangsang hati untuk mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan kapasitas TBPA. Pada akhirnya, proporsi hormon tiroksin dalam sirkulasi yang berikatan dengan TBG meningkat selama kehamilan, dan dapat mencapai 75%. Kadangkala perubahan hormonal ini dapat membuat pemeriksaan fungsi tiroid selama kehamilan sulit diinterpretasikan.

Hipertiroid

Insidensi kehamilan dengan gejala klinik hipertiroidisme adalah 1:2000 kehamilan. Kehamilan normal akan menimbulkan keadaan klinik yang mirip dengan kelebihan tiroksin (T4), sehingga tirotoksikosis yang ringan mungkin akan sulit terdiagnosis. Beberapa gejala yang sering ditemukan adalah takikardi pada kehamilan normal, nadi rata-rata pada waktu tidur meningkat, tiromegali, eksoftalmus, dan berat badan tidak bertambah walaupun cukup makan.

Gambaran laboratorium memperlihatkan kadar serum T4 bebas meningkat, sedangkan kadar tirotropin menurun. Kadar tirotropin bisa terdeteksi sampai kadar kurang dari 0,1 mU/l, sehingga akan menyebabkan ditemukannya keadaan hipertiroid subklinis (sekitar 1%). Keadaan subklinis ini dapat ditemukan dan terdeteksi dengan pemeriksaan tirotropin. Efek jangka panjang keadaan tirotoksikosis subklinikal yang persisten ini tidak banyak diketahui. Walaupun begitu, pasien dengan keadaan subklinis ini perlu diawasi secara berkala karena dapat menyebabkan terjadinya aritmia jantung, hipertrofi ventrikel jantung, dan osteopenia.

C. ETIOLOGI

Penyebab yang paling umum terjadinya tirotoksikosis dalam kehamilan adalah penyakit Graves. Proses autoimun pada organ spesifik ini biasanya berhubungan dengan antibodi yang merangsang kelenjar tiroid. Antibodi yang merangsang kelenjar tiroid ini (thyroid-stimulating antibody) selama kehamilan akan menurun dan pada sebagian besar perempuan akan menyebabkan terjadinya remisi kimia

(9)

Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit Grave yang merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi penyakit Grave tidak diketahui secara pasti. Dilihat dari berbagai manifestasi dan perjalanan penyakitnya, diduga banyak faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit ini. Dari hasil penelitian, masih timbul sejumlah pertanyaan yang belum terjawab, antara lain :

• Apakah kelainan dasar penyakit tiroid otoimun terjadi didalam kelenjar tiroid sendiri, didalam sistem imun atau keduanya.

• Kalau terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan sistem imun, apakah kelainan primer terjadi pada fungsi sel T (aktifitas sel T supresor yang meningkat dan sel T helper yang menurun atau sebaliknya).

• Apakah terdapat pengaruh faktor genetik dan lingkungan pada tahap awal terjadinya penyakit tiroid otoimun.

Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis Hashimoto) atau menimbulkan stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit Grave).

Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu :

Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar tiroid) karena pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas humoral.

Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang menimbulkan imunitas seluler.

Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating Antibody (TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang telah dikenal beberapa stimulator tiroid yang berperan dalam proses terjadinya penyakit Grave, antara lain :

1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)

2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P) 3. Human Thyroid Stimulator (HTS)

4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS) 5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)

(10)

Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat pada membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan biosintesis hormon tiroid.

Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave berdasarkan hasil penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas sel T supresor pada penyakit Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa pada penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui bahwa dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam proses produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor dalam menekan produksi antibodi tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana yang paling dominan, maka produksi antibodi spesifik oleh sel B dapat mengalami stimulasi atau supresi. Kecenderungan penyakit tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui selama beberapa tahun terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita penyakit Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave diperkuat pula oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave berbeda-beda diantara berbagai ras.

Gray dan kawan-kawan (1985) menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan seperti trauma fisik, emosi, struktur keluarga, kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak terbukti berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada kehamilan trimester pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Pada usia kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan.

(11)

Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu selama kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-faktor supresor. Faktor-faktor supresor ini melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang.

Hal ini dapat menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survai yang dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita Jepang menderita tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah melahirkan dengan manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien diikuti hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan yodium radioaktif yang sangat rendah (0 – 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis postpartum diduga merupakan “rebound phenomenon” dari proses otoimun yang terjadi setelah melahirkan.

E. DIAGNOSIS

Sebagaimana diluar kehamilan, penilaian fungsi tiroid bergantung kombinasi gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pada kehamilan, kita lebih sulit mendeteksi perubahan awal status tiroid karena sering tertutupi dengan gejala dan tanda kehamilan yang begitu beragam. Hal ini menyebabkan penilaian sangat tergantung pada pengukuran biokimiawi.

(12)

referensi status tiroid normal pada kehamilan. Pada awal kehamilan status tiroid ibu hamil cenderung kearah hipertiroid sedangkan pada akhir kehamilan cenderung bergerak ke arah hipotiroid, sehingga sangatlah penting untuk menilai status tiroid sesuai dengan umur kehamilan

Baik TSH, fT4 dan fT3 harus diperiksa saat menilai status tiroid ibu, sedangkan total T4 dan total T3 tidak boleh digunakan. Berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan penilaian status ini juga harus diperhatikan misalnya suplemen kalsium dan besi yang sering dikonsumsi wanita hamil juga dapat menurunkan absorbsi T4, muntah dapat menyebabkan absorbsi menurun. Sebaliknya TSH dapat tetap rendah ketika fT4 dan fT3 kembali normal pada keadaan hipertiroid.

Pada kehamilan, perjalanan klinis penyakit Graves ditandai oleh eksaserbasi gejala pada trimester awal dan selama periode post partum dan perbaikan gejala pada paruh kedua kehamilan. Stimulasi HCG plasenta terhadap kelenjar tiroid dipikirkan menjadi penyebab eksaserbasi ini, sedangkan respon imunologis yang disebabkan oleh perubahan subset limfosit dapat menjelaskan perbaikan yang terjadi pada trimester dua.

Hipertiroidisme dalam kehamilan dapat terjadi pada pasien hipertiroid yangmengalami kehamilan atau sedang menjalani pengobatan hipertiroid dengan OAT. Dapatjuga terjadi penyakit Graves pada kehamilan, suatu keadaan yang lebih jarang terjadi. Padasemua kasus, riwayat kelainan tiroid harus dievaluasi secara rinci. Bila status tiroid pasiennormal sebelum kehamilan, resiko kepada janin menjadi sangat minimal. Dapat pula terjadieksaserbasi Graves pada kehamilan namun hal ini jarang terjadi. Eksaserbasi Graves lebih sering terjadi pada saat post partum.

Tidak semua pasien datang dengan keluhan hipertirodisme yang lengkap, oleh karena itu klinisi harus berhati-hati dalam mengevaluasi kemungkinan hipertiroid. Salah satu tanda yang mudah diamati adalah penurunan berat badan atau tidak dapat meningkatkan berat badan padahal nafsu makan pasien normal atau meningkat. Sebagaimana disebutkan, pada trimester pertama ketelitian diagnosis sangatlah penting mengingat gejala dan tanda yang dicari dapat terjadi

(13)

pada kehamilan normal.

Pada pemeriksaan fisik, ibu hamil dapat terlihat hiperaktif, tremor dan memiliki gejala hiperkinetik. Wajah tampak kemerahan, bicara cepat, kulit hangat dan lembab. Kelenjar tiroid membesar difus antara 2-6 kali ukuran normal, kenyal, kadang pada palpasi batasnya ireguler

F. TERAPI

Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap wanita hamil, maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak pada pilihan antara penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan pembedahan. Namun obat-obat anti tiroid hendaklah dipertimbangkan sebagai pilihan pertama.

Obat-obat anti tiroid

Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid melalui blokade proses yodinasi molekul tirosin. Obat-obat anti tiroid juga bersifat imunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui kerjanya mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Oleh karena obat ini tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons klinis baru terjadi setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eutiroid tergantung dari jumlah koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada umumnya perbaikan klinis sudah dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan eutiroid baru tercapai setelah 4-6 minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme. Namun PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol antara lain :

a) PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat sintesis hormon tiroid.

b) PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.

(14)

bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar T4 serum, dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4 serum hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan bahwa dari 11 neonatus hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari pada ibu hamil hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan masih dapat ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4 dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi. Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan, sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi hipertiroidisme. Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama trimester ketiga, sehingga kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun terjadi penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat menimbulkan hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk tetap meneruskan pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg perhari). Dengan dosis ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap neonatus dari keadaan hipertiroidisme. Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin karena ibu hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau mendapat pengobatan anti tiroid yang tidak adekuat. Bila keadaan hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan pengobatan diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih sering, misalnya setiap 4 – 6 jam. Alasan mengapa PTU masih dapat diberikan dengan dosis tinggi ini

(15)

berdasarkan hasil penelitian Gardner dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam serum pada trimester terakhir masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum. Namun dosis diatas 600 mg perhari tidak dianjurkan.

Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah pemberian 40 mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah dapat mempengaruhi faal tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU yang melewati ASI setelah pemberian dosis 400 mg dan dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus. Menurut Lamberg dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa menyusui asalkan dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap faal tiroid neonatus.

Beta bloker

Gladstone melaporkan bahwa penggunaan propranolol dapat menyebabkan plasenta yang kecil, hambatan pertumbuhan janin, gangguan respons terhadap anoksia, bradikardia postnatal dan hipoglikemia pada neonatus. Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil. Walaupun demikian cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker pada wanita hamil cukup aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis bila dikombinasi dengan yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam dengan yodida biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari. Yodida secara cepat menghambat ikatan yodida dalam molekul tiroglobulin (efek Wolff-Chaikoff) dan memblokir sekresi hormon tiroid. Namun pengobatan yodida jangka panjang dapat berakibat buruk karena menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Sebagai pengganti dapat diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu.

Tindakan operatif

Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus spontan. Lagipula

(16)

tindakan operatif menimbulkan masalah tersendiri, antara lain :

a) Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat pengaruh obat-obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin.

b) Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus, hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi.

c) Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.

Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap obat-obat anti tiroid atau bila obat-obat-obat-obat tersebut tidak efektif dalam mengontrol keadaan hipertiroidisme serta apabila terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma. Sebelum dilakukan tindakan operatif, keadaan hipertiroisme harus dikendalikan terlebih dahulu dengan obat-obat anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid. Setelah operasi, pasien hendaknya diawasi secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme, dianjurkan untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.

G. DAMPAK YANG TIMBUL

1. Dampak Hipertiroid pada Ibu

Selama 30 tahun terakhir, laporan mengenai komplikasi maternal dan janin menurun akibat kontrol yang lebih baik terhadap hipertiroidisme pada kehamilan. Komplikasi maternal yang paling sering adalah pregnancy-induced hypertension (PIH). Pada pasien dengan hipertiroid tidak terkontrol, resiko preeklamsia berat menjadi lima kali lebih berat dibanding pasien yang terkontrol. Komplikasi lain dapat berupa abruptio plasenta, kelahiran preterm dan keguguran. Gagal jantung dapat terjadi pada pasien yang tidak diobati terutama bila terdapat PIH. Pada pasien dengan gejala gagal jantung disfungsi ventrikel kiri dengan derajat keparahan yang berbeda dapat dideteksi dengan echocardiografi. Walaupun kelainan ini reversibel, namun gejalanya dapat menetap dalam beberapa minggu setelah status eutiroid tercapai, namun penurunan resistensi vaskular dan cardiac output yang tinggi dapat tetap terjadi pada keadaan tiroksin normal. Hal ini penting karna dekompensasi ventrikel kiri pada wanita hamil yang hipertiroid dapat terjadi bersamaan dengan preeklamsia, pada waktu kelahiran atau

(17)

bersamaan dengan komplikasi lain misalnya anemia atau infeksi. Kejadian krisis tiroid pada kehamilan juga pernah dilaporkan walaupun relatif jarang. Hipertiroid juga dilaporkan sebagai factor resiko independen operasi Caesar.

Pada suatu penelitian oleh Kriplani dkk dengan sampel 32 kelahiran pada ibu hamil yang mengalami hipertiroidisme ternyata didapatkan partus preterm terjadi pada 25% pasien, 3% mengalami hipermesis, 22% mengalami hipertensi pada kehamilan dan 9% mengalami krisis tiroid.

2. Dampak Hipertiroid pada Janin

Hipertiroidisme maternal dapat mempengaruhi janin dan neonatal melalui dua cara yaitu hipertiroid maternal yang tidak terkontrol (tanpa kadar TSI yang tinggi) dan TSI mengalami pasase transplasenta. Pada hipertiroidisme maternal yang tidak terkontrol janin mengalami resiko intrauterine growth retardation (IUGR), stillbirth dan prematuritas. Resiko prematuritas meningkat dari 11% menjadi 55% pada ibu yang tidak diobati, resiko stillbirth meningkat dari 5%-24%. Pada suatu penelitian pada 230 kehamilan, 15 neonatus (6,5%) mengalami IUGR. Konplikasi pada janin meningkat secara signifikan pada ibu yang tetap hipertiroid pada paruh kedua kehamilan. Faktor resiko IUGR pada pasien ini meliputi tirotoksikosis maternal selama lebih dari 30 minggu dalam kehamilan, riwayat penyakit Graves selama lebih dari 10 tahun, dan onset penyakit Graves sebelum 20 tahun.

3. Krisis Tiroid

Krisis tiroid adalah suatu keadaan emergensi, dan status hipermetabolik yang extreme yang terjadi akibat komplikasi dari keadaan hipertiroid. Krisis tiroid jarang terjadi, hanya 1 % terjadi pada hipertiroid dalam kehamilan, akan tetapi meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung. Diagnosis krisis tiroid adalah kombinasi dari tanda dan gejala seperti takikardi, mudah lelah, demam, perubahan status mental, diare, dan aritmia. Terdapat faktor pencetus yang dapat menyebabkan krisis tiroid, contohnya adalah infeksi, operasi, dan persalinan. Apabila krisis tiroid dicurigai, maka evaluasi FT4,FT3 dan TSH perlu untuk mengkonfirnasi diagnosis, akan tetapi terapi sudah diberikan tanpa menunggu hasil laboratorium tersebut. Manajemen krisis tiroid membutuhkan gabungan dari beberapa obat, yang mempunyai peran spesifik dalam mensupresi produksi

(18)

hormone tiroid :

1. PTU diberikan dengan tujuan mencegah konversi T4 menjadi T3, dosis yang diberikan adalah 600-800 mg/oral, kemudian dilanjut 150-200 mg per 4-6 jam.

2. 1-2 jam setelah pemberian PTU, iodide diberikan untuk menghambat pelepasan T3 dan T4. Diberikan sodium iodide 500-1000 mg /8 jam, atau potassium iodide 5 tetes/8 jam, dan dapat diberikan lugol 10 tetes/8 jam. apabila terdapat reaksi anafilaksis terhadap pemberian iodide makan lithium karbonat diberikan 300 mg/6jam

3. dexamethasone 2 mg/6 jam dberikan sebanyak 4 dosis untuk memblok lebih lama konversi T4 ke T3 .

4. Beta blocker dberikan untuk mengontrol takikardi dengan heart rate lebih dari 120 kali per menit , propranolol diberikan 20-80 mg/6jam. propanolo1 1-2 mg iv setiap 5 menit dengan total 6 mg, kemudian 1-10 mg /4jam. Apabila terdapat bronkospasme, maka diberikan :

a) reserpine 1-5 mg/6jam

b) guanetedhine 1mg/kg /12 jam c) diltiazem 60 mg oral 6-8 jam 5. Phenobarbital 30-60 mg/8 jam

Kesejahteraan janin harus dievaluasi pada keadaan kirisis tiroid , USG, profile biofisik, dan non stress test tergantung dari usia kehamilan. Secara umum, terminasi kehamilan dicegah pada pasien hamil dengan krisis tiroid, kecuali terdapat indikasi dari janin tersebut.

BAB III KESIMPULAN

1. Hipertiroidisme dalam kehamilan lebih sering disebabkan oleh penyakit Grave yang merupakan penyakit otoimun.

2. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan secara klinis sulit ditegakkan, oleh karena itu perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium penunjang.

(19)

3. Pemeriksaan laboratorium yang paling ideal adalah pemeriksaan fT4I, karena tidak dipengaruhi oleh proses kehamilan.

4. Prioritas penatalaksanaan hipertiroidisme dalam kehamilan adalah dengan pemberian obat-obat anti tiroid dan PTU merupakan obat pilihan yang paling aman.

5. Propranolol dan preparat yodida hanya diberikan sebagai tambahan pada keadaan hiperdinamik dan hipermetabolik yang berat dan tidak boleh diberikan lebih dari 1 minggu.

6. Tindakan operatif hanya dilakukan pada keadaan-keadaan : a. Hipersensitif terhadap obat-obat anti tiroid

b. Obat anti tiroid tidak efektif dalam mengendalikan keadaan hipertiroidismenya c. Terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma

7. Tindakan operatif sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama.

8. Terapi dengan yodium radioaktif merupakan kontraindikasi pada wanita hamil karena dapat menimbulkan hipotiroidisme permanen pada janin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Burrow GN, Fisher DA, Larsen PR. Maternal and fetal thyroid function. N Engl J Med 1994;331:1072–8.

2. Burrow GN. Thyroid function and hyperfunction during gestation. Endocr Rev. 1993;14: 194–202

(20)

Obstet Gynecol. 2006; 107: 337–341

4. Casey BM, Dashe JS, Wells CE, McIntire DD, Leveno KJ, Cunningham FG. Subclinical hyperthyroidism and pregnancy outcomes. Obstet Gynecol 2006;107:337-41.

5. Chan GW, Mandel SJ. Therapy Insight: management of Graves’ disease during pregnancy. Nature clinical practice endocrinology & metabolism 2007;3:470-8.

6. Cheron RG. Neonatal thyroid function after PTU therapy for maternal Graves’ disease. N Engl J Med.1981;304:525-528.

7. Girling J. Thyroid disorders in Pregnancy. Current Obstetric and Gynaecology 2006;16:47-53.

8. Glinoer D. The Regulation of Thyroid Function in Pregnancy: Pathways of Endocrine Adaptation from Physiology to Pathology. Endocr

Rev.1997;l8(3):404-433.

9. Glinoer D. Thyroid dysfunction in the pregnant patient. (Chapter 14.) In: Thyroid disease manager.2007. www.thyroidmanager.org/Chapter14/14-frame.htm

10. Lazarus JH. Hyperthyroidism during pregnancy: etiology, diagnosis and management. Women’s Health 2005;1:97-104

11. Mestman JH. Hyperthyroidism in pregnancy. ClinObstet Gynecol. 1997; 40: 45–64

12. Purnamasari D. Subekti I. Penatalaksanaan Kelainan Tiroid pada Kehamilan. Dalam : Penyakit-Penyakit Pada Kehamilan : Peran seorang Internis. Editor : Laksmi P, Mansjoer

Referensi

Dokumen terkait

Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.. Food Emulsifier and Their

Hasil Analisis kadar protein es krim susu sapi segar dengan penambahan tepung kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 6.. Rata – Rata Kadar Protein Sumber :

silikat yang berbentuk isomorfis yang memiliki dua jenis yaitu yang pertama kaya magnesium forsterite (Mg 2 SiO 4 ) dan yang kedua olivine yang kaya akan besi

Kompensasi yang baik akan menjamin terjadinya keadilan di antara karyawan dalam organisasi. Pemberian kompensasi juga berkaitan dengan keadilan internal maupun

Festival Miangas berlokasi di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Pulau Miangas adalah pulau terluar di Utara Wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Philiphina

Peserta UKA adalah peserta sertifikasi guru kuota tahun 2012 yang ditetapkan Kementerian Agama Pusat (Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam). Koordinator

Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa termasuk di dalam katagori bendungan ialah pondasi, bukit atau tebing tumpuan beserta bangunan lain sebagai pelengkap dan peralatannya

Dari data hasil pengamatan pada tabel di atas diketahui guru mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pada siklus II ini guru telah mampu mengkondisikan