• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep & Paradigma KayaSejati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep & Paradigma KayaSejati"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Dr. Hilmy Bakar Almascaty

Konsep

KayaSejati

Meraih Kekayaan Melalui Spiritualitas Islam

Insya Allah terbit dipasaran secepatnya...

Mohon do’a para pembaca

(2)

Pendahuluan

Bagian Pertama

Fiqih KayaSejati

(Pengantar Memahami KayaSejati)

”Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan kebaikan, maka di-faqih-kannya dalam agama”

(al-Hadits)

1. Kesalahfahaman Terhadap Keutamaan

Miskin

Beberapa waktu lalu di Kuala Lumpur Malaysia saya bertemu dengan seorang konglomerat Malaysia yang sudah memiliki kekayaan berlimpah ruah dengan segala kemewahannya. Beliau menunjukkan kekecewaan mendalamnya pada sebuah latihan motivasi terkenal asal Jakarta yang menurutnya justru berdampak negatif terhadap kekayaan. ”Saya heran, setelah mengikuti latihan motivasi yang mahal itu, banyak teman dan anak buah saya yang membenci dunia, menganggap kekayaan dan uang tidak penting”. Beliau menilai paradigma tentang dunia dan akhirat yang ditawarkan pelatihan itu salah kaprah, sehingga orang yang kurang faham Islam akan menganggap dunia tidak penting, kekayaan dan uang tidak perlu bahkan mendorong orang lari dari semua itu.

Dengan bersemangat beliau menceritakan, ”Seorang teman saya yang memiliki rumah besar, mobil besar dan penghasilan besar menyalahkan semua yang dimiliki dan mencampakkannya setelah mengikuti latihan itu. Kekayaan yang dimilikinya itu dianggapnya telah menghambat dirinya menjadi seorang yang baik. Anehnya mereka memungut biaya besar untuk latihan yang menganggap duit tidak penting, padahal kami memungut biaya murah untuk mengajarkan pentingnya kaya dan duit bagi kehidupan” serunya kesal.

Saya pernah mendengar keluhan-keluhan seperti itu akibat dari kesalah fahaman dalam memahami hakikat dunia dan akhirat serta pola kehidupan Rasulullah dengan para sahabat. Ironisnya para motivator mahal itu menyerukan tidak pentingnya kekayaan dan harta dalam kehidupan dunia ini, namun pada saat yang sama mereka menunjukkan kemewahan atau tepatnya kemubaziran para pencinta dunia. Tinggal di rumah super mewah dengan perlengkapan mewahnya, mobil dan kantor yang mentereng serta menginap di hotel-hotel berpintang lima tempat tinggal para hartawan. Ironisnya motivator-motivator ini menyerukan tidak pentingnya sebuah kekayaan, sehingga orang yang tadinya memiliki kekayaan dengan usaha kerasnya mencampakkan keberhasilannya akibat sebuah pelatihan salah yang dibayarnya mahal.

(3)

”Seharusnya dengan biaya mahal itu mereka mendorong para peserta untuk menjadi orang-orang kaya yang memahami pentingnya kekayaan untuk beramal saleh dan membantu sesamanya” kata pengusaha yang telah bergelar Dato’ ini. ”Sudah berkali-kali saya ingatkan motivator itu untuk merubah paradigmanya tentang dunia akhirat, namun responnya lambat. Saya mengusulkan agar kekayaan didudukkan sebagaimana mestinya sebagai jalan untuk menggapai kemenangan akhirat”.

Setelah berdiskusi panjang, kami berdua menyimpulkan bahwa para motivator itu salah faham dalam menjelaskan urusan pentingnya kekayaan untuk jalan kebaikan dan kemeanngan akhirat. Sebenarnya para motivator itupun mengetahui nikmatnya kekayaan, buktinya mereka memiliki segala kemewahan dari hasil latihan yang mahal ini. Mereka seharusnya lebih tegas lagi menyampaikan pentingnya kekayaan atau wajibnya kaya bagi kaum muslimin agar tidak ada yang salah faham dan menganggap kemiskinan sebagai sebuah pilihan utama hidup, sebagaimana yang telah menimpa teman Dato’ itu.

Saya juga pernah menghadiri sebuah ceramah seorang ustadz di pinggiran Jakarta yang sedang membahas masalah ”keutamaan hidup miskin”. Dengan fasihnya ustadz muda ini membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang diperkuat dengan beberapa argumen dari kitab Ihya’ Ulum

al-Dien karya agung Imam al-Ghazali. Dengan seksama saya simak dalil-dalil

yang dibacakannya, sangat menarik. Saya mulai gelisah ketika sang ustadz menyatakan bahwa ”orang miskin akan cepat masuk surga, karena tidak terhalang oleh hisab kekayaannya sebagaimana orang kaya, yang akan dihisab dari mana memperoleh kekayaan dan ke mana mengeluarkannya”. Mungkin dia berfikir timbangan (mizan) Allah itu seperti alat manual manusia, sehingga jika jumlahnya banyak akan terkesan sangat lama dihitung dibandingkan jumlah yang sedikit. Dia berfikir jika orang kaya banyak harta akan dihitung bertahun-tahun yang menyebabkannya tertahan masuk surga. Padahal timbangan Allah mampu menghisab segala sesuatu dalam hitungan cepat, bahkan lebih cepat dari perhitungan komputer tercanggihpun.

Materi ceramah yang disampaikan tidak asing lagi bagi saya, karena saya juga pernah menganut pemahaman serupa di pengajian yang mendoktrinkan mulianya hidup miskin dalam spektrum yang berbeda. Namun referensi dan pengertiannya hampir sama. Akibat pemahaman ini, ketika muda dulu saya selalu mencibir orang-orang kaya sebagai kapitalis dan materialis, bahkan secara tidak sadar saya membenci orang kaya dan kekayaan yang mereka miliki. Ketika saya menjadi ustadz muda, seperti penceramah ini, saya juga seringkali membaca ayat-ayat dan hadits yang dibacakannya, menyerukan pendengar agar tidak mencintai dunia yang orientasinya menjadi orang yang hidup dalam kesederhanaan, bahkan lebih menjurus pada kemiskinan. Ironisnya ketika saya akan membangun gedung untuk lembaga pendidikan yang saya pimpin, saya datang kepada orang-orang kaya yang saya cerca dan benci untuk meminta-minta bantuan dana.

Jadi saya agak mengerti keadaan ustadz ini yang kurang memahami atau minimal salah faham terhadap paradigma kemiskinan yang dibolehkan Islam. Dia terjebak dalam metode pembahasan Imam al-Ghazali yang jika tidak dicermati secara menyeluruh seakan-akan lebih mengutamakan kemiskinan dari amalan-amalan lainnya. Padahal di lain tempat beliau juga

(4)

menyebutkan dalam karyanya tentang keutamaan hidup kaya, yang juga dipujinya sebagaimana memuji hidup dalam kemiskinan. Pujian-pujian sangat berlebihan terhadap kemiskinan tanpa memberikan penyeimbang terhadap keutamaan dan kemulian atas kelebihan kekayaan akan mendorong para pendengar untuk hidup dalam serta kekurangan. Bahkan akan memberi semangat kepada kemalasan dalam bekerja dan berkarir.

Jika Anda yang belum faham benar ajaran Islam, lalu mendengar ceramah ini, maka dengan serta merta dapat menyimpulkan bahwa kemiskinan adalah sebuah kemuliaan dan keutamaan yang dianjurkan Islam kepada para pemeluknya. Apalagi yang mendengar adalah orang yang tengah ditimpa kemiskinan, maka akan menjadi argumennya untuk tetap menjadi mulia dengan mempertahankan kemiskinannya. Celakanya, jika orang sudah kaya mendengar argumen ustadz ini, maka dia akan takut dengan kekayaannya serta memilih hidup miskin dan meninggalkan kerja yang telah membuatnya kaya. Sebagaimana yang dialami keluarga dekat teman saya yang telah meninggalkan kehidupan mapannya akibat salah memahami kemiskinan. Membuang rumah mewahnya, mobil mewahnya dan karir cemerlangnya, karena anggapan semua itu menjadi penghalangnya menjadi seorang Islam yang baik.

Mengakhiri bacaan ayat dan haditsnya, sang ustadz memberikan komentar dengan tambahan, ”maka berbahagialah orang-orang yang fakir dan miskin, mereka adalah hamba-hamba Allah yang menjadi kekasih-Nya di dunia dan akhirat”. Kata-kata selanjutnya membuat saya bertambah gelisah. Rasulullah saw junjungan kita, katanya dengan lantang, ”selalu berdoa, ”Ya Allah, hidupkanlah aku bersama dengan orang-orang miskin, matikan aku bersama orang-orang miskin, dan bangkitkan aku bersama orang-orang miskin pula”. Kesimpulan yang dapat saya ambil, ustadz ini berpendapat bahwa orang-orang miskin adalah pilihan Allah, kekasihnya di muka bumi. Saya tercengang dengan kesimpulan ini, karena tanpa disuruhpun memang kini orang-orang Islam adalah yang termiskin di Republik ini.

Anda bisa membayangkan bagaimana dampaknya jika kaum muslimin yang mayoritas menjadi fakir miskin semua karena mengejar keutamaan dan kemuliaan sebagaimana dinyatakan ustadz ini. Bukan hanya lembaga-lembaga sosial dan pendidikan Islam yang selama ini mendapat bantuan orang kaya yang akan gulung tikar, tapi juga negara akan bangkrut akibat hilangnya pendapatan pajak dari umat Islam dan sekaligus mengurusi kemiskinan mereka yang amat besar melalui Departemen Sosial. Apalagi jika seluruh umat Islam di dunia berfahaman seperti ini, akan seperti apa jadinya dunia ini. Jika sebuah masyarakat yang disebut Allah sebagai ummat terbaik yang bertugas menegakkan kebenaran dan keadilan dan mencegah kerusakan adalah orang-orang yang hidup melarat, terbelakang dan miskin apakah akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik di muka bumi? Mana mungkin masyarakat yang hidup dalam kemiskinan akan mampu memberikan pengarahan kepada masyarakat yang kaya dan maju, seperti yang kaum muslimin alami saat ini, walaupun jumlahnya besar tapi tidak mampu mendekte negara Amerika, padahal ada negara-negara muslim yang juga kaya. Apalagi jika miskin semua.

Di dalam benak saya terbayang kengerian dahsyat bagaimana seandainya kaum muslimin semuanya berlomba-lomba menjauhi dunia sebagaimana yang dianjurkan ustadz tersebut lalu menjadi fakir miskin.

(5)

Tidak ada lagi yang akan mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah, kaum muslimin tidak mampu membayar pajak kepada negara, tidak mampu menyediakan pendidikan berkualitas kepada generasi mudanya, dan seterusnya. Dan bagaimana jadinya jika yang kaya raya adalah orang-orang yang tidak peduli kepada agama dan kepentingan kaum muslimin, apalagi jika mereka adalah yang disebut al-Qur’an sebagai ”orang-orang yang

hendak memadamkan cahaya (agama) Allah”?

Dengan sabar saya menunggu materi selesai disampaikan. Setelah habis berceramah, dengan cepat saya mengangkat tangan, ”ustadz, saya mau bertanya” seru saya. Dengan mimik agak kaget, sang ustadz mempersilahkan. ”Saya ingin mengoreksi beberapa pendapat ustadz tadi”, kata saya tegas. Saya mulai menyanggah pemikiran sang ustadz sambil membaca beberapa ayat-ayat jihad yang semuanya hampir didahulukan dengan jihad bil mal (harta), sambil berkata: ”bukankah ayat tersebut memberi keutamaan kepada orang yang beriman kaya yang berjihad dengan harta”. Selanjutnya saya membacakan beberapa hadits Nabi tentang keutamaan orang-orang kaya yang banyak bersedekah, berjihad dan membaca dzikir dari orang-orang miskin yang sabar.

Saya menegaskan ada sebuah hadits yang menyatakan:

”sesungguhnya kefakiran itu hampir-hampir membawa orang kepada kekufuran” dengan memberikan contoh berapa banyak orang Islam yang

murtad karena miskin dan tidak sabar dengan kemiskinan yang menimpanya. Terakhir saya bacakan pendapat Sayyidina Ali yang berkata: ”Andaikan

kemiskinan itu berbentuk manusia, maka pasti akan kupenggal lehernya”.

Maknanya sahabat agung ini benar-benar serius ingin memerangi dan mengeyahkan kemiskinan dari kaum muslimin. Sayapun berujar: ”bagaimana kita akan mendirikan sekolah terbaik, jika kita semua menjadi miskin. Apakah kita berharap musuh-musuh Islam akan membangun sekolah yang baik untuk kegemilangan generasi kita? Justru sebaliknya, mereka mendirikan sekolah untuk memurtadkan dan melemahkan iman generasi muda kita”.

Dengan pendapat yang panjang lebar, saya meyakinkan bahwa menjadi orang miskin bukanlah satu-satunya pilihan bagi kaum muslimin, tapi boleh menjadi salah satu pilihan. ”Jadi menurut saya kemiskinan itu tidak salah, sebagaimana juga tidak salahnya orang menjadi kaya”. Bahwa Imam al-Ghazali memuji kemiskinan agar orang miskin tidak putus harapan dan tetap bersabar atas kemiskinan yang telah menimpanya. Jika seorang sudah miskin, tapi tidak bersabar atas kemiskinannya, boleh jadi akan membawa dirinya menjadi pelaku kriminal atau frustasi dan putus asa yang dekat dengak kekufuran pula. ”Bahkan pada kesempatan yang lain beliau juga menyanjung kekayaan yang terdapat pada orang-orang saleh, sebagaimana hadits: ”sebaik-baik kekayaan adalah pada orang saleh”. Atau ada hadits yang menyatakan bahwa ”tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di

bawah (peminta)”. Mafhumnya, tentu orang kaya yang memberikan hartanya

lebih baik dari orang miskin yang meminta-minta.

Mengakhiri sanggahan, saya menekankan bahwa seorang muslim yang miskin hendaklah bersabar dan berusaha dan terus berusaha pantang menyerah dengan sungguh-sungguh keluar dari kemiskinannya, agar hidupnya lebih mulia dengan menjadi pemberi atau tangan di atas. Namun apabila telah berusaha dengan sungguh-sungguh, namun tetap miskin juga, maka hendaklah mereka bersabar, karena Allah dan Rasul-Nya tetap

(6)

mencintai mereka dan akan dimasukkan ke dalam surga atas nasib miskin serta kesabarannya.

Demikian pula halnya dengan yang kaya, mereka wajib bersyukur dengan kekayaan yang diperolehnya. Bentuk kesyukuran itu adalah dengan menafkahkan hartanya di jalan Allah. Kesyukurannya inilah yang akan mengantarkannya beramal saleh sebanyak-banyaknya dengan kekayaannya, sehingga diapun layak masuk surga. Nah jika ada orang kaya yang tidak bersyukur, tentu lebih baik orang miskin yang bersabar.

Setelah termangut-mangut mendengarkan sanggahan saya, sang ustadz muda menyetujui pendapat saya. Dengan semangat dia menambahkan: ”saat ini kita sedang membahas masalah keutamaan miskin, namun di lain waktu kita akan membahas juga tentang keutamaan kaya, sebagaimana saran tadi”. Setelah selesai acara, beberapa orang pendengar mendatangi saya, dan memberi salam dan ucapan terima kasihnya atas sanggahan saya. Sayapun lega dan mendapat kekuatan baru untuk menerangkan pentingnya kaya, karena masih banyak yang keliru memahami kemiskinan yang dibenci Islam dengan orang miskin yang wajib disayangi dan dibela serta ditolong.

Bukan hanya sekali saja saya mengalami peristiwa seperti ini. Sering sekali saya bertemu dengan para ustadz atau penceramah yang membela mati-matian keutamaan hidup dalam kemiskinan dan mencerca kekayaan secara berlebihan. Suatu hari terjadi perdebatan yang panas antara saya dengan seorang ustadz yang sudah saya kenal lebih 30 tahun di Kuala Lumpur. Dengan penjelasan yang rinci beliau menyakinkan saya bahwa kemiskinan adalah lebih utama dari pada kaya. Karena untuk menjadi kaya sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya amatlah sulit, bahkan mustahil katanya. Setelah berdiskusi panjang lebar, beliau memberikan saya kitab terjemahan Ihya Ulum al-Dien, karya Imam al-Ghazali, jilid ke 5 yang begitu saya buka tertera judul Kitab Tercelanya Dunia yang diikuti dengan

Tercelanya Cinta Harta. Padahal 35 tahun lalu kitab ini menjadi kegemaran

saya.

Halaman demi halaman saya baca dengan penuh pemahaman, terutama hadits-hasdits yang dinukilkan dalam kitab tersebut. Setelah saya selesai membaca, saya jadi terguncang, mengingat kuatnya dalil-dalil yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali tentang bagaimana tercelanya harta termasuk menjadi kaya. Namun saya menenangkah hati. Meminta petunjuk kepada Allah agar diberikan kebenaran yang sebenar-benarnya, sambil mencari buku-buku referensi yang lain, dengan harapan mendapatkan pandangan yang berbeda.

Karena saya tengah mengambil Doktor sejarah di Universitas Kebangsaan Malaysia, maka saya sedikit banyak dapat memahami sebuah pendapat yang difatwakan berdasarkan kurun terjadinya peristiwa. Yang saya fahami adalah Imam al-Ghazali hidup di masa puncak kejayaan Islam, kejayaan yang paling puncak, sehingga kemakmuran bagi kaum muslimin sudah terlampau, karena 200 tahun sebelumnya, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintah, sudah sulit menemui penerima zakat, karena masyarakat Islam sudah terbebas dari kemiskinan. Kita dapat membayangkan keadaan pada waktu itu keadaan kaum muslimin yang menjadi super power dunia dengan menyatukan kekuatan-kekuatan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka tidak mengherankan telah

(7)

melahirkan orang-orang kaya dengan kemakmuran yang luar biasa. Keluarga Imam al-Ghazali sendiri termasuk dari kalangan orang kaya dan beliau juga awalnya adalah orang kaya, yang memahami hakikat kekayaan.

Setelah mencari-cari rujukan di beberapa perpustakaan pribadi sahabat dan berkeliling ke beberapa toko buku di sekitar Kuala Lumpur, akhirnya saya menemukan beberapa buku yang cukup menarik dan dapat menjadi hujjah saya dalam menguraikan, mana yang lebih utama pada waktu, antara orang miskin yang bersabar dan orang kaya yang bersyukur.

Aliran Menolak Dunia

Tidak dipungkiri ada aliran di kalangan kaum mislimin, terutama para pengikut ajaran tasauf atau tarikat tertentu yang berlebihan mengajarkan hidup zuhud sampai-sampai mewajibkan kemiskinan sebagai jalan mencapai kesempurnaan peribadahan. Karena menurut aliran ini, hanya dengan kemiskinanlah jalan yang akan membebaskan manusia dari segala keterikatan dunia yang fana, hina dan telah dilaknat. Bahkan mereka mengganggap bahwa dunia adalah penjara bagi kaum muslimin, atau tempat mendapat kepedihan dan kemiskinan, sementara surga bagi orang-orang kafir, sehingga mereka boleh meraup kekayaan semaunya. Jika seorang muslim ingin merdeka, bebas dari penjara dunia, menurut faham ini, mereka harus membebaskan diri dari segala bentuk dunia, termasuk menghindari diri dari kekayaan. Hidup dalam kesusahan, kekurangan dan kemiskinan bagaikan pertapa untuk mendapatkan kehidupan yang sempurna di akhirat kelak.

Awalnya para pengikut aliran ini hanya menyerukan kemiskinan kepada para jamaahnya saja, namun lama kelamaan, semakin dalam fanatismenya terhadap alirannya, merekapun akhirnya membenci kekayaan dan juga orang-orang kaya yang dianggapnya sebagai hamba dunia. Bahkan ada yang secara terbuka menyerang orang-orang kaya secara membabi buta. Akibatnya mereka semakin tersingkir dari dunia dan menjadi komunitas tersendiri yang apatis terhadap segala bentuk dunia, termasuk kemajuan peradaban dan pengetahuan yang merupakan bagian dari dunia. Mereka hidup menjadi ahli kebatinan yang berzikir siang malam, menikmati eksotisnya dunia mistis, fana dalam dunia ghaib menelantarkan kehidupan dunianya, perdagangannya dan termasuk anak dan istrinya karena terlalu nikmat dengan alam rohaninya. Semakin dalam mereka terlibat dalam alirat ini, sedikit demi sedikit mereka menolak ajaran Islam selain dari kekayaan, termasuk untuk berkeluarga yang dianggap akan menjadi penghalang dalam perjalanan kerohaniannya.

Jika ditelusuri sejarahnya, faham keagamaan ini berkembang pesat terutama di abad ketiga sampai dengan kelima hijriah, di saat Islam dan kaum muslimin menggapai kegemilangan dan kemegahan tiada taranya di muka bumi. Pusat-pusat dunia Islam adalah pusat peradaban, pengetahuan sekaligus kemakmuran sebagai akibat kebangkitan Islam dan kemenangannya, sehingga mendatangkan kemewahan yang luar biasa kepada kaum muslimin. Menurut para ahli sejarah, pada saat itulah puncak pencapaian Islam ditemukan, dengan segala kemakmuran dan kemewahan yang masih tersisa sampai saat ini. Maka pada saat seperti itulah, di mana kemewahan dan kekayaan telah menjadi panglima kehidupan dan mengubah arah kehidupan kaum muslimin, lahir para penyeru perbaikan yang mendakwahnya pentingnya hidup sederhana dan kemiskinan sebagai jalan

(8)

kembali (pertobatan) menuju kemuliaan. Ahli sufi terbesar seperti Imam al-Ghazali lahir dalam kondisi masyarakat muslim seperti ini, yang telah terlampau hidup dalam kemewahan dan bergelimang kekayaan. Beliau menyerukan kehidupan yang zuhud agar menjadi seorang muslim yang baik. Tapi tentu beliau kemudian tidak mengharamkan kaum muslimin menjadi kaya.

Dampak aliran pemikiran ini terhadap kaum muslimin sangat dahsyat. Banyak ahli sejarah yang menyebutkan bahwa aliran seperti ini telah bertanggung jawab atas kemunduran dan keterbelakangan kaum muslimin yang dimulai sejak abad pertengahan lalu. Akibat terlalu lenanya sebagian besar kaum muslimin kepada alam kerohanian sebagai pelarian terhadap budaya hedonisme segelintir penguasa dan bangsawan, telah menimbulkan kelemahan demi kelemahan yang berakibat fatal kepada peradaban Islam. Perhatian pada kekuatan ekonomi dan militer yang menjadi poros utama kekuataan Islam, yang sebelumnya menjadi prioritas utama pemerintahan Islam terbengkalai. Ketika kaum muslimin di serang pasukan bar-bar Genggish Khan dari Mongolia, pusat-pusat peradaban, pengetahuan dan ekonomi dihancurkan tanpa perlawanan berarti. Meninggalkan urusan dunia termasuk urusan ekonomi telah menyebabkan bencana kemunduran kepada kaum muslimin yang sampai saat ini masih terasa akibatnya. Kemunduran ekonomi telah mengakibatkan kemunduran sosial, pendidikan, militer yang berujung penjajahan kolonilis Barat yang telah merubah jati diri kaum muslimin.

Pada masa penjajahan Barat terhadap kaum muslimin, para penjajah sengaja memelihara dan mengembangkan aliran seperti ini, bahkan memberikan bantuan dana yang tujuannya jelas untuk memperlemah dan tetap memperbudak kaum muslimin yang hidup dalam kemiskinan. Bagaimana mungkin masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan tanpa harga diri akan dapat melawan penjajah yang kaya dan memiliki kekuatan teknologi. Penjajahan telah menimbulkan keterbelakangan dan utamanya kemiskinan kepada kaum muslimin. Masyarakat miskin akan melahirkan sebuah negara yang miskin pula, sebagaimana yang tengah menimpa sebagian besar negara-negara kaum muslimin yang dikatakan sebagai negara sedang berkembang saat ini. Negara terbelakang yang penuh dengan konflik, perebutan kekuasaan dan peperangan yang dipimpin oleh rezim-rezim diktator.

Walaupun sebahagian besar kaum muslimin didera kemiskinan saat ini, aliran pemikiran ini masih berkembang pesat, menjadi pembenaran atas kemiskinan yang tengah menimpa bahkan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang anti dunia dan kemajuan. Seakan-akan memang benar Allah telah menakdirkan mereka hidup dalam keterbelakangan di muka bumi. Bagaimana mungkin mereka dapat menjadi khalifah atau wakil Allah di muka bumi jika mereka dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Padahal yang diwakilinya adalah Allah, Tuhan seru sekalian alam Yang Maha Kaya Raya. Ironisnya semakin ditimpa kemiskinan dan kekuarangan, semakin dalam pula mereka menghanyutkan diri ke dalam dunia kerohanian dan meninggalkan dunia nyata sehingga perekonomian, pengetahuan, teknologi dan kemajuan peradaban lainnya dikuasai orang lain.

Di Aceh saya menyaksikan bagaimana dampak kemiskinan terhadap masyarakat luas. Syukurnya masyarakat Aceh adalah di antara masyarakat

(9)

yang kuat memegang adat dan tradisi yang berdasarkan Islam sehingga dampaknya tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Namun demikian, kemiskinan telah menjadi pintu efektif untuk setan menggoda manusia agar tergelincir dari jalan Allah. Setelah mengalami konflik berkepanjangan, masyarakat Aceh hidup di bawah rata-rata, yang lebih tepat diidentikkan dengan kemiskinan. Kemiskinan terstruktur ini telah membunuh bakat-bakat cemerlang generasi muda Aceh, yang seharusnya dapat menjadi orang sukses, cendekiawan ataupun profesional. Akibat kemiskinan yang mendera, sebagaian besar generasi berbakat Aceh tidak dapat mengenyam pendidikan layak apalagi berkualitas. Fasilitas pendidikan sangat minim sementara guru dibawah standar yang menjadikan kualitas pendidikan sangat rendah dan tidak mampu bersaing dengan tamatan daerah lainnya. Rendahnya kualitas pendidikan telah mengakibatkan rendahnya SDM, yang tentu berdampak langsung terhadap kemiskinan yang banyak menimpa masyarakat Aceh dengan segala akibat sosialnya, terutama pengangguran yang akan melahirkan kemiskinan juga. Di daerah lain, kemiskinan telah mengantarkan sebagian orang menuju kekufuran.

Dampak dari kemiskinan memang hanya dapat dihayati oleh mereka yang pernah mengalami hidup dalam kemiskinan atau hidup dalam lingkungan kemiskinan. Di waktu kecil saya memiliki pengalaman tersendiri tentang kemiskinan ini. Kesimpulan saya hidup dalam kemiskinan adalah menyakitkan yang menimbulkan trauma mendalam dan tentunya rendah diri maupun semangat hidup.

Ketika kecil saya tinggal bersama orang tua angkat yang termasuk orang kurang berada, bekerja sebagai buruh tani, pedagang asongan dan tinggal di rumah yang tidak layak kesehatan di sebuah kampung pinggiran kota Mataram, Lombok. Karena saya tidak betah tinggal di rumah sendiri sejak bayi, maka di boyong ke rumah orang tua angkat dan hidup dalam keadaan yang serba kurang. Dari kecil saya terbiasa ikut menjadi buruh tani atau penjual asongan keliling dengan hidup yang pas-pasan dan tentu kurang gizi. Saya tumbuh di tengah kemiskinan, bersama dengan anak-anak miskin di kampung. Sesekali saya diajak ke kota naik angkutan umum dan bertemu dengan anak-anak kota yang serba berkecukupan. Ketika anak-anak kota menikmati es krim atau coklat, saya hanya menelan liur saja, karena orang tua angkat tidak akan mampu membelikan. Untuk dapat uang jajan, saya harus bekerja atau memungut botol bekas. Saya sering menyaksikan ayah angkat saya dimarah oleh mandor tani, yang menimbulkan rasa minder pada diri saya.

Kemiskinan akan mendorong orang menjadi lemah mental dan kurang mendapat kesempatan dalam pendidikan dan hanya sedikit orang yang mendapatkan kesempatan emas keluar dari permasalahan yang menghimpitnya. Berbeda dengan orang kaya, kesempatan untuk mendapat pendidikan terbaik terbuka lebar untuknya, sehingga menjadi sarana untuk menggapai kesuksesan di masa depan.

Pada masa kehidupan Rasulullah dan sahabatpun telah tumbuh pola hidup yang dianggap mengutamakan kemiskinan, padahal lebih tepatnya hidup dalam kesederhanaan. Namun sangat berbeda substansinya dan tidak seekstrim yang berkembang kemudian sebagaimana digambarkan di atas. Di dorong oleh pemahaman yang mendalam tentang hakikat keimanan dan kehidupan dunia fana ini, ada di antara para sahabat terkemuka yang

(10)

berkonsentrasi penuh memikirkan kehidupan akhirat dan menghindari dunia serta telah menjadikan kemiskinan menjadi jalan hidup dan pilihan mereka seperti yang dikenal dengan sahabat ahl al-suffah, yang hidup miskin bahkan diantaranya sampai tidak mampu memiliki rumah dan keluarga. Para ahli sejarah menyatakan jumlah mereka sekitar tujuh puluhan orang dari puluhan ribu jumlah total para sahabat Nabi Muhammad. Artinya tidak semua para sahabat menjadi seperti kelompok ahl al-suffah. Jika sahabat mayoritas lainnya sibuk dengan perdagangan, perkebunan atau urusan kehidupan duniawi, maka mereka menyibukkan diri dengan berdoa dan berzikir di masjid dan menerima penghidupan dari santunan negara atau pemberian kaum muslimin.

Ada juga dikalangan sahabat agung ini yang berasal dari orang kaya raya, karena perjuangan Islam masa itu membutuhkan dana yang besar, mereka telah menginvestasikan kekayaannya di jalan Allah. Membelanjakannya untuk perjuangan menegakkan dakwah Islam dan memilih hidup sederhana untuk mendapat kebahagian sejati di akhirat kelak. Atau kekayaan mereka dirampas oleh kaum musyrikin Mekkah ketika berhijrah ke Madinah, kemudian mereka memulai hidup baru dari nol lagi. Mereka dipuji oleh Allah : di antara manusia ada orang-orang yang membeli

dirinya untuk mendapatkan ridha Allah. Ayat ini berkaitan dengan salah

seorang sahabat yang meninggalkan kekayaannya untuk berhijrah mencari ridha Allah bersama Rasul-Nya.

Kehidupan sahabat Umar bin Khattab juga menggambarkan hal ini. Beliau adalah kepala pemerintahan Islam yang telah menaklukkan dua super power masa itu, Romawi dan Persia, karena dasar keimanan mendalam memilih hidup sangat sederhana, diriwayatkan rumahnya sangat sempit dan bajunyapun penuh tambalan. Padahal jika beliau mau, istana Persia yang megahpun dapat dipindahkan menjadi rumahnya, dan segala kemewahannya dapat diraupnya sebagai kepala negara kaum muslimin yang terbentang luas. Sebelumnya sahabat Umar adalah seorang kaya raya dan setelah memeluk Islam serta menjadi kepala negara justru memilih kesederhanaan sebagai pola hidupnya. Inilah kemiskinan yang menjadi pilihan hidup, seorang yang kaya raya dan mampu kaya raya namun memberikan seluruh kekayaan yang didapatnya dan memilih hidup sederhana karena pemahamannya yang mendalam tentang keimanan. Tradisi ini diikuti oleh kepala pemerintahan pengganti beliau bernama sahabat Usman bin Affan, yang juga kaya raya namun menjadikan kesederhanaan sebagai pola hidupnya.

Keadaan ini tentu berbeda dengan generasi Islam abad bertengahan. Setelah mereka mengalami puncak kemakmuran kemudian meninggalkan urusan dunia dan lari pada alam kerohanian. Tapi generasi Islam angkatan sahabat menyumbangkan seluruh kekayaan dunianya untuk mendapatkan ketinggian kerohanian. Para sahabat mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, menjadi kaya raya, kemudian berlomba-lomba membelanjakannya di jalan Allah adalah cara para sahabat untuk mendapatkan ketinggian spiritualitas. Mereka sangat faham dengan makna ayat al-Qur’an: ”engkau tidak akan mencapai kebaikan tertinggi, sehingga

menafkahkan harta yang paling engkau sukai”. Untuk dapat mengeluarkan

(11)

Para sahabat yang terpuji dan mulia memilih pola hidup kaya juga atas dasar pemahaman dan keimanan, yang akan dijadikan sebagai sarana menegakkan peribadatan kepada Allah. Dalam sejarah kehidupan sahabat banyak di antara mereka yang senantiasa dilimpahkan kekayaan yang berlimpah ruah, seperti yang dialami sahabat Abdurrahman bin ’Auf. Walaupun beliau telah menyumbangkan kekayaannya di jalan Allah, kekayaannya bukan habis atau berkurang tapi malah bertambah banyak. Namun dengan kekayaannya tidak menjadikan beliau lupa daratan. Memilih hidup kaya seperti sahabat Abdurrahman juga merupakan kemuliaan, bukan sebuah laknat dan kehinaan sebagaimana yang dituduhkan.

Jika kita telusuri sejarah hidup beberapa Nabi, maka kita akan mendapati ada kesamaan pola, bahwa ada beberapa Nabi sebelum diangkat menjadi Nabi adalah orang kaya atau hidup dalam lingkungan kaya. Mereka telah mengecap kekayaan terlebih dahulu dan diangkat menjadi Nabi. Hikmahnya tidak lain, karena orang kaya lebih memiliki rasa percaya diri yang besar dalam menyampaikan ajaran Allah dan terpandang oleh masyarakatnya dibandingkan dengan orang yang miskin. Karena watak dari manusia lebih mendengar perkataan orang yang ada diatasnya dari pada dibawahnya. Kebanyakan para Nabi dan utusan Allah adalah dari keturunan orang-orang mulia dan terpandang di dalam lingkungan masyarakatnya. Mereka adalah orang-orang besar yang memiliki sejarah kebesaran keluarga dan dipersiapkan oleh Sang Pencipta untuk menyampaikan ajarannya.

Bapak para Nabi, Ibrahim as digambarkan sangat kaya raya dengan kekayaan berupa binatang ternak yang memenuhi padang rumput seluas mata memandang, sehingga masyarakat memuliakannya dan mengangkatnya sebagai pemimpin komunitasnya. Nabi Yusuf misalnya, beliau dibesarkan dalam lingkungan orang kaya dan akhirnya menyandang bendaharawan negara Mesir yang kaya raya. Nabi Musa as, terlahir dalam lingkungan Bani Israil yang tengah diperbudak oleh Fir’aun, kemudian beliau dengan cara yang luar biasa menjadi seorang Pangeran di lingkungan istana Fir’aun dengan segala kemegahan dan kekayaan tentunya. Ketika tiba saatnya menjadi Nabi, beliau dikeluarkan dari istana dan menentang Fir’aun yang pernah menjadi kerabatnya. Yang paling spektakuler adalah Nabi Sulaiman as yang digambarkan memiliki kekayaan yang luar biasa banyaknya, memiliki istana yang terbuat dari batu permata yang tiada tandingannya bahkan dapat memindahkan kemegahan yang dikehendakinya dalam sekejap mata. Semua kekayaannya digunakan sebagai sarana menegakkan kekuasaan Allah di muka bumi.

Kehidupan Muhammad Rasulullah saw sebelum dan sesudah diangkat menjadi Nabi juga perlu menjadi pelajaran buat kita. Sebagaimana yang ditulis para ahli sejarah, bahwa Rasulullah adalah seorang anak yatim piatu yang dipelihara oleh pamannya. Digambarkan bahwa kehidupan beliau dalam keadaan yang sangat sederhana. Namun keadaan ini tidak mematahkan semangat beliau untuk keluar dari keadaannya. Beliau memulai karir sebagai pengembala kambing dan seterusnya menjadi seorang pedagang. Karena strategi perdagangan yang dijalankannya, Nabi Muhammad menjadi salah seorang pedagang ternama yang terkenal jujur dan amanah. Kesuksesan demi kesuksesan yang dialaminya dalam berdagang telah mengangkat kehidupannya dan mensejajarkannya dengan para pedagang ternama Quraisy di Makkah. Hal inilah yang menarik perhatian pedagang kaya

(12)

Khadijah untuk menjadikannya sebagai mitra dagang dan selanjutnya menjadi pasangan hidup.

Untuk mengukur tingkat kekayaan Nabi Muhammad, yang saat itu berusia 25 tahun, adalah dengan mahar atau mas kawin yang diberikannya kepada mempelai wanitanya, Khadijah. Manurut riwayat, Nabi Muhammad yang ketika itu menjadi seorang pedagang telah menyerahkan sebanyak 20 ekor unta muda sebagai mas kawinnya dan belum termasuk berbagai bentuk hadiah mas dan pakaian mewah. Menurut pakar ekonomi kontemporer, jika dinilai dengan harga sekarang, kira-kira senilai enam miliar rupiah. Jumlah yang sangat besar bagi seorang pengusaha muda yang berangkat dari nol sebagaimana Nabi Muhammad. Namun itulah ukuran kesuksesan dan kekayaan beliau.

Usaha perdagangan yang dilakukan Nabi Muhammad bersama Khadijah berkembang pesat, dan tidak diragukan telah mengantarkan mereka menjadi salah satu jajaran pedagang kaya raya di kota Makkah. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila diketahui teman-teman dekat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman dan lainnya adalah pengusaha-pengusaha sukses yang kaya raya. Setelah masuk Islam mereka menjadikan kekayaannya sebagai penunjang perjuangan dakwah Islam. Maka sebenarnya tidak berlebihan jika dikatakan kehidupan Nabi Muhammad adalah kehidupan kalangan kelas menengah atau orang kaya di Makkah. Terutama setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses dan terkenal di semenanjung Arabia. Tidak diragukan bahwa Rasulullah adalah orang kaya yang kemudian menginvestasikan kekayaannya di jalan Allah.

Setelah diangkat menjadi Nabipun, sebenarnya Muhammad saw adalah orang yang kaya. Diriwayatkan ketika kembali dari perang Hunain, Rasulullah mendapat bagian dari rampasan perang yang sangat banyak. Lalu beliau berkata: ”letakkanlah semua di masjid”. Jumlah rampasan itu adalah yang terbanyak yang pernah diterimanya. Kemudian beliau salat di masjid, tanpa menoleh kepada rampasan tadi. Ketika beliau selesai salat, beliau duduk dekat rampasan tersebut dan memberikannya kepada setiap orang yang memintanya. Beliau baru berdiri setelah semua rampasan tersebut habis dibagi, tanpa beliau ambil sedikitpun.

Di lain waktu juga diriwayatkan datang seseorang kepada beliau untuk meminta sesuatu. Oleh beliau diberikanlah orang itu kambing yang banyak, saking banyaknya sampai memenuhi jalan antara dua bukit. Lalu orang itu kembali kepada kaumnya dan berkata, ”Masuk Islamlah kamu sekalian, sesungguhnya Muhammad bila memberi, dia seperti orang yang tidak takut miskin.” Dari kedua peristiwa ini saja dapat digambarkan bagaimana kayanya Rasullah, jika beliau mau menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri. Karena sebagai seorang Rasul sekaligus kepala negara, beliau mendapat bagian yang besar.

Kemiskinan yang mulia dan terpuji di sisi Islam hanyalah pola hidup yang telah dipilih atas dasar pemahaman yang mendalam dan kesadaran jiwa untuk menggapai kehidupan yang lebih tinggi dan sempurna sebagaimana yang telah dilalui para sahabat agung. Mereka sangat mampu menjadi kaya raya karena mereka adalah pengusaha sukses dan kepala pemerintahan. Mereka tetap bekerja keras bahkan lebih giat mencari kekayaan sebanyak-banyaknya lebih banyak dari sebelumnya bukan untuk

(13)

kepentingan pribadi sebagaimana dahulu namun untuk Allah dan Rasul-Nya, untuk disumbangkan kepada perjuangan menegakkan Islam di muka bumi.

Jika dahulu para sahabat agung hanya berdagang, setelah kemenangan Islam mereka menjadi pengendali pasar-pasar besar, penguasa jalur perdagangan dan sumber-sumber ekonomi yang berlimpah ruah, menyatukan kekayaan dan kemakmuran Romawi, Persia, Mesir dan lainnya dalam satu poros pemerintahan yang menegakkan keadilan dan kebenaran Islam. Mereka sangat mampu melampaui kekayaan dan kemakmuran Romawi, Persia dan Mesir, namun prioritas perjuangan mereka menghendaki untuk lebih fokus kepada penyebaran Islam daripada berfoya-foya atau berdagang dan menumpuk kekayaan, sehingga mereka memilih hidup sederhana atau lebih mendekati kemiskinan, namun mereka bukanlah orang-orang yang miskin. Mereka adalah manusia-manusia agung yang zahirnya miskin namun sangat kaya raya, kekayaannya tidak mereka tumpuk dan pamerkan di dunia, tapi mereka investasikan untuk kehidupan akhirat kelak.

Jika para sahabat agung ingin menjalankan hidup super mewah seperti masyarakat Romawi, Persia atau Mesir dengan membangun istana-istana megah di Madinah misalnya, pasti mereka sangat mampu. Seluruh sumber kemewahan sudah berada di telapak tangan mereka. Karena mereka sangat memahami hakikat ajaran Islam, kekayaan yang diperolehnya dari penaklukkan dan kemenangan tidak mereka timbun di Madinah dan tidak pula menyulap kota Madinah menjadi kota super mewah. Kekayaan dan kemewahan yang mereka dapatkan, mereka investasikan kembali kepada Allah untuk perjuangan Islam. Mereka menikmati kekayaan itu hanya sedikit saja, sekedar untuk mampu bertahan hidup dan menjalankan perjuangan selanjutnya. Keadaan ini yang menjadikan mereka kelihatan seperti orang-orang miskin, namun hakikatnya mereka memiliki investasi jangka sangat panjang yang besar. Mereka diajarkan untuk membangun kemewahan kelak di akhirat yang kehidupannya kekal abadi. Mereka rela hidup sederhana bahkan miskin, namun pada hakikatnya mereka adalah orang-orang kaya raya yang sedang menginvestasikan kekayaannya.

Sejarah mencatat bahwa mayoritas para sahabat agung sangat giat berjuang mendapatkan kekayaan dunia yang akan diinvestasikannya untuk kehidupan akhiratnya. Mereka rela berkorban, bepergian juah, melakukan peperangan, penaklukan besar ataupun perdagangan sampai ke Romawi, Persia, Mesir, Eropa, Sumatera, China, Afrika dan lainnya, yang dibuktikan dengan banyaknya sahabat yang wafat di tempat-tempat tersebut. Mereka sangat giat mengumpulkan kekayaan, dan setiap mendapat kekayaan, segera mereka investasikan kembali, demikianlah seterusnya, sehingga hanya sedikit yang tersisa untuk kehidupan dunianya. Seperti itulah kehidupan mayoritas sahabat, kelihatan miskin dan sederhana tapi sangat kaya raya.

Kehidupan seperti ini jelas berbeda halnya dengan kemiskinan akibat dari kemalasan dan kekalahan mental dalam berjuang mencari rizki. Kemalasan dan kekalahan akan bersatu mencari alasan-alasan yang membenarkan keadaannya, seperti seorang miskin yang berkata ”ya saya sudah ditakdirkan miskin, mau apa lagi, biar berusaha tetap juga miskin”. Padahal dia kalah sebelum bertanding, mentalnya lemah menghadapi persaingan hidup yang keras dan tidak tahu harus berbuat apa untuk keluar dari kemiskinan. Keadaan ini biasanya menimpa mereka yang hidup dalam

(14)

lingkaran setan kemiskinan, hidup miskin, keturunan orang miskin, berada dalam lingkungan miskin, pasrah dengan kemiskinan, dan yang paling parah miskin dari agama dan semangat hidup.

Seakan-akan dia menyalahkan Allah Yang Maha Kaya atas kemiskinan yang menimpanya, padahal pada saat yang sama dia sama sekali tidak gundah atas kemiskinan yang menimpanya apalagi berusaha semaksimal kemampuannya menjadi kaya, bercita-cita kayapun tidak berani. Kita tidak boleh pasrah miskin, karena kita diperintahkan berusaha semaksimal kemampuan kita, termasuk berusaha untuk kaya. Namun setelah kita berusaha dengan segala ikhtiar, tetap juga miskin, maka bersabarlah atas kemiskinan yang menimpa, yang penting sudah ada niat untuk kaya dan memanfaatkan kekayaan di jalan Allah.

Jika ”kemiskinan dekat dengan kekufuran” maka ”kekayaan bisa dekat dengan keimanan”. Kemiskinan yang diikuti dengan ketaatan dan kesabaran adalah kemiskinan yang dianjurkan dan akan mengantarkan mereka menuju surga. Namun jika kemiskinan yang tidak taat dan juga tidak sabar, maka akan menjerumuskan pelakunya menuju kemurkaan Allah. Realitasnya berapa banyak yang ditimpa kemiskinan, namun tidak bersabar, kemudian akibat kemiskinan yang tidak dapat ditanggungnya mendorongnya melakukan perkara kriminal, menjual diri, mencuri, korupsi sampai menjual keimanannya. Itulah yang dimaksud dengan kemiskinan dapat menghantarkan kepada kekufuran.

Sementara kekayaan yang digunakan untuk tujuan kebaikan, tentu akan menjadi sarana beribadah yang akan meningkatkan keimanan pemiliknya. Dengan banyaknya bersedekah, menolong orang susah atau pergi berhaji dengan kekayaan yang dimilikinya dapat mendekatkan dirinya kepada Allah dan mendekatkannya kepada keimanan.

Mohd. Nahar Mohd. Arshad dalam bukunya Hidup Kaya Tanpa Riba menulis: Islam sebenarnya menyuruh kita menjadi kaya. Ibn Qayyim dengan jelas menyatakan kedudukan berharta dan berpengaruh adalah lebih utama asalkan seseorang itu menjadi lebih bersyukur kepada Tuhan dan tahu melaksanakan tanggungjawabnya pada orang lain, yaitu tidak mementingkan diri sendiri. Ibn Qayyim menyatakan zuhud adalah sikap rohani manusia yang tidak terpengaruh dengan pesona keduniaan lalu menjadikan seseorang itu tidak meletakkan kekayaan dan kedudukan dunia sebagai tujuan kehidupannya. Orang kaya mampu mencapai dan memiliki sikap rohani ini, tetapi orang miskin sukar mencapainya.

Terhadap kemiskinan ini, sepatutnya kita bersikap seperti yang dikatakan sahabat besar Sayyidina Ali, ”andaikan kemiskinan itu berbentuk

manusia akan kupenggal lehernya”. Sikap ini adalah sikap seorang yang

sangat faham dengan hakikat terdalam ajaran Islam, karena Sayyidina Ali dijuluki sebagai pintu ilmu oleh Rasulullah saw. Kebencian beliau kepada kemiskinan, bukan terhadap orang-orang miskin. Karena kemiskinan adalah sarana dan pintu yang akan memudahkan syaitan untuk menggelincirkan manusia menuju kejahatan. Dengan kata lainnya kemiskinan harus kita benci dan tidak tertarik dengan sebagaimana sikap sahabat nabi tersebut. Jika kebencian harus ditimpakan kepada kemiskinan, maka lawannya, tentu kita dianjurkan untuk menjadi kaya yang menjadi lawan dari kemiskinan. Paradigma mencitai kaya inilah yang sepatutnya dipegang kaum muslimin agar mereka dapat beribadah dengan sempurna dan terhindar dari

(15)

perkara-perkara yang menjauhkan dirinya dari Allah akibat kemiskinan yang mendera.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjadi kaya menurut tuntunan Islam adalah sebuah kemuliaan. Hidup dalam kekayaan bahkan lebih baik daripada kemiskinan. Bagi seorang yang beriman, kekayaan akan memberikan manfaat yang banyak untuk dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Jika seorang muslim diberikan pilihan maka jelas menjadi seorang kaya yang bersyukur lebih utama, karena dengan kekayaan dan kesyukurannya akan memberikan nilai tambah. Dia dapat beribadah dan berdoa seperti orang miskin yang bersabar, namun kelebihannya dapat mengeluarkan kekayaannya untuk kebajikan yang tidak dapat dilakukan oleh orang miskin.

2. Kaya Menurut Islam

Setiap yang saya tanya: “Maukah kaya?”. Hampir semua menjawab dengan spontan dan bersemangat: “mau”, “pasti maulah”, “hari gini, siapa yang ngak pingin kaya?”. Tidak diragukan memang, setiap manusia ingin menjadi kaya, ingin memiliki kekayaan yang berlimpah ruah agar hidupnya nyaman penuh kemudahan dan kebahagian tentunya. “Siapa sih yang gak mau kaya?, kan sekarang dunia serba pake duit”, kata teman saya menimpali pertanyaan sama. “Mau pergi haji atau berdakwah aja perlu dana, mau bangun pondok pesantren juga perlu dana”, kata Pak Kiyai saya. Saya menjadi ingat nasihat orang tua, ketika saya masih kecil dulu.”Orang kaya lebih banyak kesempatannya untuk beramal saleh, termasuk untuk membahagiakan diri, keluarga dan orang lain”. ”Kaya itu jalan untuk mencapai kebahagiaan, bukan tujuan hidup”.

Namun jika kembali kita bertanya, apakah arti kaya, maka mereka akan memberikan jawaban yang beraneka ragam. Ada yang menunjuk seperti Pak Pengusaha Kaya itu, atau seperti Pak Pejabat sana, atau seperti para artis glemour itu dan pribadi-pribadi yang terkenal lainnya. Ada juga yang menjawab lebih spesifik : ”memiliki banyak uang”, ”memiliki rumah besar”, ”mobil mewah”, ”sawah-ladang luas”, ”binatang ternak yang banyak”, ”memiliki saham yang banyak”. Anak saya yang masih di sekolah menengah menceritakan teman-temannya banyak anak-anak orang kaya, ”karena mainannya barang-barang mahal”. Demikian juga ketika di kampung saya membangun rumah yang lumayan besar, maka orang menganggap saya orang kaya. Pandangan orang desa dengan orang kota terhadap kaya tentu berbeda, tapi ada persamaan, yaitu seseorang dianggap kaya apabila telah dianggap mampu memenuhi segala keperluan hidupnya di atas rata-rata. Dengan kata lainnya, seseorang yang dapat memenuhi segala keinginannya, seperti memiliki rumah besar, mobil mewah, sawah-ladang luas, saham yang banyak dan berbagai kekayaan lainnya dapatlah dianggap sebagai kaya.

Sementara jika kita menanyakan orang-orang yang sudah kita anggap kaya, apakah mereka adalah orang kaya, maka mereka akan menghindar bahkan kurang senang jika dijuluki sebagai orang kaya. Saya beberapa kali bertemu dengan orang yang sudah saya anggap kaya, memiliki penghasilan besar, rumah mewah, mobil bagus dan fasilitas lainnya, namun ketika saya bertanya apakah mereka menganggap dirinya sebagai orang kaya?.

(16)

Rata-rata dengan tersenyum mereka menjawab dengan rendah hati, mereka belum merasa dirinya sebagai orang kaya. Orang lain saja yang telah menganggap mereka kaya. Seorang teman yang sudah saya anggap kaya pernah berkata, ”jika kamu tanya orang terkayapun di muka bumi ini, tentu mereka tidak mau mengaku disebut kaya, jika mereka sudah menganggap dirinya kaya, maka mereka akan berhenti dari mencari kekayaan. Ukuran kaya adalah ketika mereka sudah mati, berapa kekayaan yang ditinggalkannya” katanya dengan nada yakin.

Kaya biasanya disandangkan kepada orang yang memiliki kekayaan berlimpah, yang telah memiliki kebebasan dari masalah kehidupan sehingga tidak memerlukan bantuan ekonomi dari orang lain. Menurut Kamus Kontemporer Arab-Indonesia karya Atabik Ali, kaya dapat disepadankan dalam bahasa Arab sebagai ghina’ sementara jamaknya adalah aghniya’ yang dapat diartikan sebagai kecukupan. Huwa fi ghina anhu, maknanya dia merasa cukup atau tidak perlu lagi. Dengan pengertian ini, maka dalam pandangan Islam, seseorang dapat dikategorikan sebagai kaya, apabila telah terbebas dari keperluan-keperluan asasi manusia, tidak memerlukan bantuan orang lain dalam kehidupannya, mampu berdiri sendiri memenuhi keperluan hidupnya, lepas dari jerat kemiskinan dan hutang serta yang paling penting telah mampu mengeluarkan kekayaannya di jalan Allah, baik untuk zakat, infaq, sedekah dan seumpamanya. Pada dasarnya seseorang yang telah mampu mengeluarkan hak-hak Allah dari kekayaannya, maka dapatlah dikategorikan sebagai kaya.

Kaya adalah naluri kemanusiaan yang telah menjadi sifat bawaannya. Manusia manapun di muka bumi ini tidak ada yang tidak ingin kaya. Apakah mereka berkulit putih, merah, hitam kuning ataupun sawo. Manusia kapitalis di dunia Barat bahkan menciptakan berbagai metode untuk meraup kekayaan berlimpah ruah dengan semboyan ”dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya”. Para petinggi Republik Rakyat Cina (RRC) atau Rusia yang awalnya adalah pemeluk fanatik idiologi komunisme-sosialisme sejati yang memiliki semboyan ”sama rata sama rasa” (biar miskin yang penting sama-sama miskin), kini menukar kebijakannya untuk memberikan peluang kaya raya tanpa batas kepada rakyatnya yang mampu, sehingga melahirkan banyak orang kaya baru (okb) yang memiliki kekayaan melimpah ruah, bahkan menjadi deretan orang kaya dunia yang melampaui kekayaan orang di negara kapitalis. Manusia telah mewariskan watak mencintai kekayaan bahkan sebagiaannya berbentuk keserakahan yang telah mendorong peperangan, penjajahan dan eksploitasi berlebihan terhadap alam. Generasi tua juga menasihatkan kepada generasi mudanya agar selalu bekerja keras, rajin belajar, meniti karir dengan baik, menjadi pegawai yang cemerlang dan sebagainya agar dapat hidup kaya.

Kaya bagi masyarakat modern adalah lambang dari sebuah kesuksesan dalam meniti karir kehidupan. Jika ada yang mengaku sukses tapi belum menunjukkan dirinya sebagai orang kaya, maka masyarakat belum menganggapnya sebagai orang yang sukses. Masyarakat yang bersifat materialistis akan mencemooh orang yang menganggap dirinya sukses, namun masih menggantungkan keperluan hidup dan kehidupannya pada belas kasihan orang lain, walaupun telah mencapai kesuksesan pada bidang lain, pada bidang akademis misalnya. Seorang profesor yang miskin akan ditertawakan oleh kebanyakan orang, karena ukuran keberhasilannya dinilai

(17)

dari kekayaan yang dikumpulkannya. Itulah sebabnya, banyak orang saat ini melambangkan diri dengan kekayaan untuk mendapat penghargaan atau penghormatan masyarakat. Saya terkejut ketika berkunjung ke rumah beberapa orang ustadz terkenal, walaupun mereka adalah penceramah agama dan pejuang Islam, namun rumah mereka besar dan tergolong mewah. Sebagiannya dibangunkan oleh murid atau pengikutnya yang kaya tentunya, dengan alasan untuk menjaga kehormatan sang ustadz dengan menunjukkannya setatusnya sebagai orang kaya.

Kaya bukan hanya mengangkat status dan derajat seseorang di tengah masyarakat, namun dengan kekayaan yang dimilikinya mereka bisa merebut kekuasaan, dapat menjadi wakil rakyat di parlemen, mendapat jabatan empuk seperti Bupati, Gubernur, Menteri bahkan Wakil Presiden. Dalam masyarakat, orang-orang kaya biasanya mendapat kedudukan terhormat dan memiliki percaya diri yang tinggi. Kekayaan juga dapat menjadi ladang amal saleh bagi pemiliknya, dengan hartanya mereka bisa membayar zakat, mengeluarkan infak dan sedekah, pergi umrah dan naik haji, membangun masjid, pesantren, panti asuhan dan sarana sosial lainnya. Kekayaan dapat menjadi sarana untuk mencapai kebahagian bagi pemiliknya di dunia dan di akhirat. Kekayaan dapat membawa perdamaian, namun juga menjadi penyebab peperangan di antara umat manusia. Kekayaan juga telah menimbulkan penjajahan dan penindasan bangsa terhadap bangsa lainnya.

Dalam dunia modern sekarang, tidak mengherankan apabila manusia berlomba-lomba menjadi kaya. Karena kaya akan memberikan banyak keistimewaan kepada penyandangnya. Orang yang miskin kurang mendapat perhatian dari keluarga sendiri, bahkan banyak yang menjauhi mereka, namun berbeda halnya dengan orang kaya, semua orang akan mengakuinya sebagai keluarga dan mendekat kepadanya dengan berbagai harapan. Kaya telah membius sebagian besar manusia modern, bahkan untuk mencapai tujuannya banyak yang menempuh berbagai cara yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan negara. Itulah sebabnya, orang akan memandang aneh terhadap mereka yang tidak mau dan tidak ada keinginan untuk menjadi kaya.

Ironisnya, kita menyaksikan ada sebagian manusia yang mendapatkan kekayaan berlimpah ruah dengan fasilitas yang serba lengkap, namun belum juga mendapat kebahagian yang dirasakannya. Seorang teman menceritakan bahwa Bapaknya punya seorang teman yang memiliki kekayaan berlimpah ruah, dari rumah mewah sampai pesawat terbang dengan pengangkat tuasnya berlapis emas, saking kayanya. Namun setiap ujung minggu dia menghabiskan hidupnya di apartemen sendirian sambil menyantap mie instan, jauh dari keluarga dan masyarakatnya. Hidupnya sepi, gundah dan frustasi. Seperti inilah gambaran masyarakat super metropolis yang mengalami krisis spiritual sebagaimana digambarkan Danah Zohar, dalam

Spiritual Quatient.

Tentang pentingnya kaya ini akan saya ceritakan pengalaman pribadi saya ketika memimpin lebih seribu orang relawan kemanusiaan ketika bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Organisasi relawan kami adalah salah satu organisasi nekat yang berangkat menuju lapangan tanpa perlengkapan dan logistik yang mencukupi untuk melaksanakan tugas-tugas kemanusian. Karena kami memang tidak berpengalaman sebagai sebuah organisasi kemanusian yang menghadapi bencana dahsyat seperti ini. Saya

(18)

berangkat dari lapangan terbang Halim di Jakarta tanpa membawa bekal apapun, dengan uang di dompet yang sangat terbatas. Sampai di Banda Aceh yang porak poranda, saya kebingungan, harus berbuat apa dan bagaimana. Pada saat yang sama saya melihat organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya datang dengan perlengkapan canggih dan logistik cukup. Apa yang saya lakukan dengan para relawan adalah perjuangan di jalan Allah yang mulia, namun tanpa ditopang oleh fasilitas memadai sehingga hasilnya kurang maksimal. Pada tahap-tahap awal, kami mengalami kekurangan makanan, minuman dan juga alat. Untuk mengevakuasi mayat yang membusuk, relawan kami hanya memakai sarung tangan yang biasanya digunakan untuk mencuci piring. Pada saat tersulit itu saya berguman “andaikan saya orang kaya, maka keadaan seperti ini tidak akan terjadi”. Seperti yang dilakukan pengusaha kaya dermawan dari Arab, yang dengan kekayaannya dia memberikan sumbangan kepada para korban bencana dengan tangannya sendiri. Pada saat-saat seperti itulah saya menyadari pentingnya menjadi orang kaya untuk menopang sebuah pekerjaan mulia, sebagaimana disebutkan Rasulullah: “sebaik-baik kekayaan

adalah pada seorang yang saleh”. Artinya bila kekayaan dimiliki oleh orang

saleh, maka dapat dimanfaatkan untuk keperluan amal saleh.

Hukum Kaya Menurut Fiqih Islam

Adapun hukum kaya bagi seorang muslim menurut fiqih Islam, apakah termasuk wajib, sunat, haram, boleh (jaiz) atau lainnya. Sebagaimana hukum umum yang berkaitan dengan mua’amalah, maka para ulama memberikan patokan, ”al-Aslu fie al-Muamalat al-Ibahah illa maa dalla al-dalil ala

tajrimiha” artinya Hukum pokok dari muamalah adalah boleh, kecuali ada

dalil yang mengharamkannya.

Hukum kaya pada dasarnya adalah dibolehkan (ibahah/jaiz) kepada mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk meraihnya dengan cara-cara yang digariskan syari’at. Namun pada waktu keadaan tertentu dapat jatuh kepada hukum wajib atau haram. Misalnya ada seorang yang memiliki kemampuan dan kesempatan lalu bercita-cita kaya, dengan kekayaannya dia akan berbuat maksiat, menentang Islam, berkeinginan untuk mencelakakan kaum muslimin ataupun dengan kekayaannya akan melaksanakan yang diharamkan agama, maka kepada orang ini hukumnya diharamkan kaya atasnya, karena niat dan tujuannya kaya adalah untuk melakukan yang diharamkan.

Demikian pula sebaliknya, jika seseorang yang memiliki kemampuan dan kesempatan, memiliki aqidah yang lurus, akhlak mulia lalu bercita-cita kaya, kemudian bekerja sesuai dengan perintah Allah dan kelak dengan kekayaannya akan bertujuan untuk menegakkan amal saleh untuk dirinya dan orang lain, serta menegakkan kewajiban agama, seperti jihad fi sabilillah, maka jelas hukumnya adalah wajib, merujuk kepada kaidah fiqih: ma la

yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib (segala sesuatu yang dengannya

tidak tertegak yang wajib, maka hukumnya wajib pula). Kaya (mampu) adalah jalan untuk menegakkan kewajiban agama, maka kaya menjadi wajib pula hukumnya bagi seseorang yang bercita-cita menegakkan agama Allah.

Menurut pandangan ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf al-Qardhawy misalnya, bahwa pada zaman modern ini diperlukan sebuah fatwa-fatwa baru yang berkaitan dengan hukum sosial yang berdasarkan pada fiqh

(19)

al-Aulawiyah (fiqih prioritas). Jika ditinjau dari fiqih prioritas, maka kaya

adalah sebuah kewajiban yang menjadi prioritas kaum muslimin. Karena pada saat ini kebanyakan kaum muslimin dalam keadaan terbelakang dan fakir-miskin yang telah melemahkan keadaan kaum muslimin terhadap bangsa-bangsa lainnya, yang telah menempatkan posisi kaum muslimin sebagai ummah yang lemah dari semua sisi. Untuk membangkitkan kembali kaum muslimin, diperlukan perjuangan yang menyeluruh, baik dalam perjuangan pendidikan, perjuangan ekonomi, perjuangan sains-teknologi sampai kepada perjuangan militer yang semuanya memerlukan pendanaan. Artinya perjuangan akan berjalan apabila ada tersedia banyak dana (mal) pada kaum muslimin. Tentu dana hanya dimiliki oleh orang-orang yang memilikinya, yaitu orang kaya. Maka dengan pandangan ini seorang muslim pada zaman sekarang menurut fiqih prioritas adalah wajib.

Jika kita perhatikan keadaan kaum muslimin secara menyeluruh saat ini, terutama dari sisi ekonomi atau kekayaan, maka keadaan kaum muslimin adalah di antara orang-orang yang mengalami kekurangan dan kemiskinan, walaupun ada sebagian kecil yang kaya, namun tidak mencukupi kekayaannya untuk menegakkan Islam secara sempurna. Kekayaan melimpah terkumpul pada orang-orang bukan Islam bahkan ada yang memusuhi Islam dan kaum muslimin dengan kekayaan yang mereka miliki. Orang-orang kaya dari musuh Islam telah melancarkan berbagai serangan terhadap kaum muslimin, baik secara terang-terangan ataupun melalui kekuatan yang dibiayainya, sementara orang-orang kaya kaum muslimin tidak menjalankan kewajibannya untuk menegakkan Islam sebagaimana diperintahakan karena takut ataupun bakhil. Maka mengambil fiqih prioritas, adalah wajib ada dikalangan kaum muslimin yang bercita-cita kaya dan berusaha kaya di jalan Allah yang akan menjadikan kekayaannya sebagai sarana untuk mempertahankan dan menegakkan Islam, sehinggalah kalimat Allah tegak di muka bumi dan kaum muslimin menjadi sebuah ummat yang termulia dan teragung.

Adapun kewajiban ini temasuk wajib ’ain (fardhu a’in) atau wajib kifayah (fardhu kifayah), adalah tergantung pada kondisi dan keadaan kaum muslimin. Jika kekayaan digunakan untuk mempertahankan kaum muslimin dari ancaman musuh secara nyata yang telah menguasai kaum muslimin, maka mayoritas ulama memberikan fatwa bahwa hukum jihad menjadi fardhu ’ain atau menjadi kewajiban terhadap seluruh kaum muslimin untuk menggunakan kekayaannya membela Islam. Jika kekayaan akan dipergunakan untuk perjuangan secara umum, maka hukumnya menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban ini terbebani kepada kelompok tertentu yang mampu melakukannya. Namun apabila tidak ada kelompok tertentu yang melaksanakannya, maka kewajiban ini menjadi fardhu ’ain sampai ada sekelompok tertentu yang telah melaksanakannya.

Menurut pemahaman dan tinjauan maqasid al-syari’at, tujuan syar’i dari jihad ekonomi untuk menjadi kaya adalah sama dengan tujuan jihad fi sabilillah pada umumnya, yaitu untuk menegakkan kalimah Allah (Islam) di muka bumi, memberikan rahmat, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia (rahmat lil alamin). Sebagaimana jihad militer (jihad askari), yang memerlukan pelatihan dan persiapan sempurna, demikian pula halnya dengan jihad ekonomi ini, diperlukan seperangkat pengetahuan (ulum wa

(20)

mencapai kemenangan sesuai dengan keperluannya. Jika kemenangan dalam jihad militer adalah memenangkan peperangan, maka tujuan dari jihad ekonomi adalah terkumpulnya sebanyak-banyaknya aset pada orang-orang beriman yang akan dijadikan sebagai sarana menegakkan kalimah Allah. Artinya tujuan syar’i dari jihad ekonomi adalah melahirkan sebanyak-banyak muslim yang kaya raya, yang memiliki aset kekayaan. Maka pengetahuan

(ma’rifah) tentang jihad ekonomi ini adalah sama wajib hukumnya dengan

mempelajari ilmu pengetahuan jihad militer. Pelatihan (tarbiyah) jihad ekonomi adalah sama wajib hukumnya dengan pelatihan kemiliteran (tarbiyah jundiyah). Sementara seluruh ulama sepakat dan telah memutlakkan hukum wajib untuk pelatihan jihad militer ini, sementara kurang kita dengar fatwa yang mewajibkan pelatihan jihad ekonomi dan pelatihan yang akan menjadi wasilah kayanya seorang muslim.

Maka dengan dasar pemikiran ini, bagi saya, pelatihan jihad ekonomi atau segala sesuatu pelatihan yang akan menjadikan seorang muslim menjadi kaya adalah wajib hukumnya, sebagaimana wajibnya pelatihan militer dalam hukum Islam. Hal ini sudah saya bahas panjang lebar dalam buku saya Panduan Jihad. Implikasinya bahwa segala sesuatu pengetahuan yang berhubungan dengan jihad ekonomi, pelatihan dan metode memperoleh kekayaan yang halal adalah wajib pula hukumnya, mengambil kaidah fikih “ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fa huwa wajib”.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “sebaik-baik harta kekayaan

adalah yang dimiliki oleh orang saleh”. Artinya orang-orang yang saleh

diperintahkan untuk mencari harta benda sebanyak-banyaknya untuk digunakan menegakkan Islam. Karena punya harta atau kaya adalah jalan untuk memenuhi kewajiban jihad, maka dengan demikian menjadi kaya adalah sebuah kewajiban pula. Sebagaimana disebutkan di atas, kewajiban jihad menjadi kaya ini memerlukan sebuah pengetahuan yang membahas tata cara tentang kaya. Sebuah fiqih atau ajaran-ajaran yang bersumber pada Islam yang membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kaya, baik makrifat, hakikat, syariat, manhaj maupun tariqatnya. Pengetahuan ini bukan hanya dapat memahamkan tentang kaya dengan segala seluk beluknya, tapi yang paling penting adalah bagaimana cara menggapai kaya, sehingga pembacanya diharapkan dapat menemukan jalan menjadi orang kaya menurut ajaran Islam.

Hujjah Tentang Kewajiban dan Keutamaan Kaya

Untuk memperkuat hujjah tentang kewajiban dan keutamaan kaya, maka di bawah ini akan disampaiakan beberapa hujjah, di antaranya adalah:

1. Hujjah Dari al-Qur’an

- Surat al-Shaff ayat 10-11

”Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) Kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

(21)

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada

surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang-orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

- Surat al-Hadid ayat 7

"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

- Surat al-Baqarah ayat 261

”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

- Surat al-Nur ayat 33

”Dan berikanlah kepada mereka sebagian harta yang dikaruniakan

kepadamu”

- Surat al-Taubah ayat 103

”Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka

- Surat al-Baqarah ayat 267

”Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (pada jalan Allah)

sebahagian daripada hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”

Perintah untuk membelanjakan harta di jalan Allah, baik berupa zakat, infaq, sadaqah dan sejenisnya pada dasarnya merupakan perintah agar kaum muslimin memiliki harta kekayaan atau mereka menjadi orang yang kaya. Jika mereka bukan orang kaya yang memiliki kekayaan, maka mana mungkin dapat menjalankan perintah Allah ini. Artinya hanya orang-orang kayalah yang mampu menjalankan perintah Allah untuk membelanjakan harta kekayaan sesuai dengan yang telah digariskannya. Jika kaum muslimin dalam keadaan miskin semua, maka tentu ayat ini akan sulit dijalankan, maka itulah sebabnya secara tidak langsung Allah memerintahkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk kaya agar mencari kekayaan dan menjadi orang kaya. Pendapat ini diperkuat oleh beberapa ayat di bawah ini:

- Surat al-Qashas ayat 77

”Carilah apa yang diberikan oleh Allah kepada kamu di negeri Akhirat dan jangan kamu lupa bahagian kamu di dunia ini. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu dan janganlah kamu

(22)

membuat kerusakan di atas bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

- Surat al-Jumu’ah ayat 10

”Apabila selesai mengerjakan salat (Jum’at) maka bertebaranlah di atas bumi dan carilah karunia Allah dan banyaklah berzikir kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapat kejayaan.”

2. Hujjah Dari Hadits Nabi Muhammad saw

- Hadits Riwayat Muslim

”Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang kaya lagi menyembunyikan (kekayaannya).”

- Hadits Riwayat Muslim dari Abu Dzar

Bahwasanya orang-orang dari sahabat Rasulullah saw datang menemui beliau. Mereka berkata: “ Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah

memiliki banyak pahala, mereka salat seperti kami; mereka puasa seperti kami; dan mereka bersedekah dengan harta mereka”.

Hadits ini menerangkan bahwa para sahabat yang miskin merasa cemburu dengan para sahabat yang kaya, yang dapat bersedekah dengan harta yang mereka miliki, sementara mereka tidak memiliki harta untuk disedekahkan. Demikianlah keutamaan orang yang memiliki kekayaan, mereka dapat lebih banyak beramal saleh dengan kekayaannya.

- Hadits Riwayat Tabrani dari Ibn Umar

”Sesungguhnya Allah SWT memiliki hamba-hamba yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hamba-hamba yang lainnya (orang kaya). Dan orang-orang (miskin) selalu berdatangan untuk meminta pertolongan kepada mereka (orang kaya) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka itu (orang kaya) adalah orang-orang yang selamat dari adzab Allah SWT.”

- Hadits Riwayat Bukhari

“Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utus tali, kemudian pergi ke gunung kemudian kembali memikul seikat kayu baker dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesame manusia, baik mereka memberi maupun tidak.”

- Hadits Riwayat Muslim

“Bekerjalah kamu untuk dunia seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhirat, seolah-olah kamu akan mati esok hari.”

- Hadits Riwayat Tabrani

“Sesungguhnya di antara dosa-dosa terdapat dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan salat, sedekah dan haji. Dan ia terhapuskan dengan jerih payah untuk mencari penghidupan (rezeki).”

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini memberikan lebih banyak gambaran mengenai hubungan antara variabel ketidakpastian lingkungan dan sistem akuntansi manajemen terhadap kinerja manajerial

Persamaan alometrik pendugaan biomassa pohon dengan menggunakan variabel bebas diameter pohon dapat dipakai untuk menduga massa biomassa pohon pada perkebunan kelapa

Hasil analisis menunjukkan bahwa viskositas dari masing-masing formula tidak menunjukan perubahan yang signifikan baik sebelum dan sesudah kondisi dipaksakan. Hal

Serupa dengan sistem pendinginan ONAN, kecuali adanya pump yang digunakan untuk mensirkulasi oil ke dalam winding.. Dibandingkan dengan ONAN design, the top-to-bottom oil

Performance Management , tolak ukur dari kinerja sistem atau layanan yang diberikan kepada user atau pelanggan salah satunya adalah dari nilai Service Level Aggreament (SLA)

Menurut Bruner, (dalam tim pengajar matematika I:2005:I), dalam belajar matematika, anak akan lebih berhasil jika proses belajar mengajar diarahkan pada

[r]

Untuk semua pengadaan barang/jasa, setelah penyedia barang memperbaiki kerusakan atau mencukupi kekurangan atau hal-hal lain yang dimintakan oleh PPKom, maka penyedia barang