• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA - MALAYSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPEMIMPINAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA - MALAYSIA"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

PERBATASAN INDONESIA - MALAYSIA

(Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan,

Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat)

GUSTI MUHAMMAD FADLI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia dengan Malaysia (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Gusti Muhammad Fadli

(3)

Development In Boundary Area Of Indonesia – Malaysia. Under the Supervision of Titik Sumarti and Djuara P Lubis

Village government leadership has a role as the agency that responsible for the development whether physical and non physical. In terms of community service, village government leadership acts as a community facilitator. The purpose of this study was to 1) Describing the mayor's leadership in formulating and implementing development policies, 2) Describing community participation in development. This study employed a qualitative descriptive method because it is based on a particular object. The only research site is the village of Nanga Bayan. The research result indicates that health development program was not able to motivate community participation in village health center development program. Begin with planning process, implementation and control. The community participation is not optimal yet, especially in ideas and suggestions and in decision making. The problems in village health center development, mostly because of facilitator failure in socialization and facilitating the phase of activities. Pattern and approach conducted were less providing space availability for public to determine the program agenda. The form of community participation observed in this program is only physic, i.e., cooperation that already becomes a tradition in the village. Community participation in the village health center development implementation majority empowered by motives that they require village health center development. Thus, the program were not become an empowerment process to improve the ability of village government in the development activity.

(4)

Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia - Malaysia. Dibimbing oleh Titik Sumarti dan Djuara P Lubis

Penelitian secara umum bertujuan untuk : (1) mendiskripsikan peran kepemimpinan kepala desa dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan, (2) mendiskripsikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Desa Nanga Bayan (3) menganalisis interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di Desa Nanga Bayan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif karena berdasarkan fenomena tertentu, yaitu kasus program pembangunan kesehatan di desa kawasan perbatasan.

Penelitian ini dilakukan di Desa Nanga Bayan. Pengumpulan data dengan menggunakan tekhnik bola salju (snowball). Penggalian informasi secara umum dengan mengadakan diskusi kelompok. Diskusi ini ditujukan untuk melihat gambaran umum mengenai pemerintahan desa dan permasalahannya dari sudut pandang subjek kasus yang terdiri dari: kepala adat, kepala dusun, ketua adat, tokoh masyarakat, ketua RT, dan mantan kepala desa. Penggalian lebih dalam mengenai informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan model analisis interaktif.

Dalam penelitian ini di analisis bahwa pembangunan merupakan proses yang membutuhkan kepemimpinan dan partisipasi. Kepemimpinan dan partisipasi sulit dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang. Kepemimpinan yang bagus tetapi dilandasi dengan partisipasi yang jelek tidak akan membawa proses pembangunan mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya, partisipasi yang bagus tetapi kepemimpinan tidak mendukung juga membuat tujuan pembangunan sulit dicapai sesuai harapan.

Di Desa Nanga Bayan terdapat kepemimpinan yang bersifat dualistik yang masing-masing memiliki legitimasi dan pengaruh yang kuat terhadap masyarakat dengan karakteristik yang berbeda yaitu kepemimpinan formal (kepala desa) dan kepemimpinan informal (temenggung). Pemerintah desa memperoleh legitimasi secara formal melalui surat pengangkatan dari Bupati sedangkan lembaga adat memperoleh legitimasi secara informal dari masyarakat. Meskipun pemerintah desa juga memperoleh legitimasi dari masyarakat melalui pemilihan langsung, namun kedua komponen ini tidak saling berebut pengaruh melainkan yang terjadi adalah pembagian fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua tipe kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat.

Dugaan sementara bahwa tipe kepemimpinan di desa Nanga Bayan baik formal maupun informal cenderung lebih menunjukkan tipe kepemimpinan demokratis dimana aspek pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama

(5)

pemerintahan desa dan mekanisme pelaksanaan pembangunannya secara umum masih bersifat top down, mulai dari aspek perencanaan hingga pengawasan. Oleh sebab itu partisipasi warga masih terbatas pada mobilisasi dalam kegiatan pembangunan desa. Artinya warga berpartisipasi hanya pada saat ada kegiatan pembangunan saja.

Dualisme kepemimpinan yang dijumpai di Desa Nanga Bayan tidak dipandang sebagai masalah oleh masyarakat karena adanya aspek pembagian fungsi sebagaimana diutarakan di atas. Dengan kata lain, meskipun pemerintah desa dan lembaga adat memiliki konstituen yang sama namun hal ini tidak menimbulkan benturan baik secara fungsi maupun pengaruh.

Adanya hubungan antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan pos kesehatan desa dilandasi oleh aspek sosial budaya yaitu:

Pertama, terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala desa dengan

warga desa. Dalam hal ini, intensitas dalam memotivasi masyarakat, membimbing dan interaksi komunikasi yang dilakukan kepala desa, serta pemberian kesempatan kepada warga desa untuk berpartisipasi dalam sosialisasi perencanaan kegiatan telah dan meningkatkan partisipasi warga desa dalam pembangunan desa.

Kedua, nilai-nilai budaya tradisional tentang pola perilaku interaksi dalam

hubungan kekerabatan mempengaruhi hubungan antara kepemimpinan kepala desa dengan partisipasi warga desa. Dalam hal ini, posisi otoritas kepala desa dilegitimasi nilai-nilai tradisional telah menempatkan kepemimpinan kepala desa dalam posisi ideal untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

(7)

PERBATASAN INDONESIA – MALAYSIA

(Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan,

Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat)

GUSTI MUHAMMAD FADLI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(8)

Nanga Bayan, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat)

Nama : Gusti Muhammad Fadli

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S Ketua

Dr. Ir. Djuara P Lubis, M.S Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(9)

penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia – Malaysia (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat).

Penghargaa dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, M.S selaku komisi pembimbing atas arahan dan wawasan yang telah diberikan selama penulisan berlangsung.

2. Ir. Said Rusli, MA selaku penguji luar komisi

3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan.

4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan koordinator Mayor Sosiologi Pedesaan yang telah memberikan kesempatan bagi penulis mengikuti pendidikan Strata 2 di IPB.

5. Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang yang telah memberikan kesempatan bagi penulis mengikuti pendidikan Strata 2 di IPB.

6. Teman-teman seperjuangan di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang atas dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

7. Bapak Andreas kepala desa Nanga Bayan, masyarakat desa Nanga Bayan Kecamatan Ketungau Hulu yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian di daerahnya dan kepada seluruh informan yang telah bersedia memberikan informasi untuk kepentingan penelitian ini.

8. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman angkatan 2007 Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan yang tidak pernah habis-habisnya memberikan dukungan dan semangat kepada penulis hingga penulisan ini selesai.

9. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua Adi Nurman Iskam (alm) dan Mas Rusmini (alm) serta ananda Mas Ashifa Vera Fadila (alm) semoga mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada isteri Lisnawati dan anak Mas Sufefty Febby Chairani, Gusti Alvi Ridho Fadhel dan Gusti Fatih Nurfadhel atas segala pengertiannya dan pengorbanannya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar pada Program Pascasarjana IPB.

Bogor, Februari 2010

(10)

Adi Nurman Iskam (alm) dan Ibu Mas Rusmini (alm) sebagai putra pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SD Negeri X Sintang, pendidikan SLTP di SMP Purnama Sintang dan pendidikan SLTA di SMAN I Sintang. Pada Tahun 2001 penulis lulus dari Universitas Kapuas Sintang pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara dan pada tahun 2007 diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah Pascasarjana IPB melalui tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang.

Pada saat ini penulis bekerja di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sintang pada instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL……… iii

DAFTAR GAMBAR……… iv DAFTAR LAMPIRAN……… v I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 5 1.3. Tujuan Penelitian ... 6 1.4. Manfaat Penelitian ... 6 II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8 2.1. Tinjauan Pustaka 8 2.1.1. Konsep Pembangunan ... 8

2.1.2. Pemerintahan Desa ... 11

2.1.3. Kekuasaan dan wewenang ... 13

2.1.4. Kepemimpinan (leadership) ... 15

2.1.5. Type Kepemimpinan ... 18

2.1.6. Kepemimpinan formal dalam membangun perekonomian desa ... 24

2.1.7. Kepemimpinan Informal Dalam Pembangunan Desa ... 26

2.1.8. Beberapa Studi tentang Kepemimpinan ... 27

2.1.9. Partisipasi ……….………... 28

2.2. Kerangka Pemikiran ... 31

III METODE PENELITIAN ………. 36

3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.2.Pendekatan dan Strategi Penelitian ... 37

3.3.Metode Pengumpulan Data ... 37

3.4.Metode Analisis Data ... 40

3.5.Definisi Konseptual ... 43

IV GAMBARAN UMUM DESA ……….. 44

4.1. Kondisi Geografis ... 44

4.2. Kondisi Demografis ……..………... 47

4.3. Kondisi Perekonomian ………….………... 48

4.4. Tradisi Masyarakat ………... 52

4.5. Kelembagaan Desa ………... 56

4.6. Kondisi Sarana dan Prasarana ………..……… 60

V PROGRAM PEMBANGUNAN DI DESA NANGA BAYAN DAN MEKANISMENYA ………. 63

5.1. Peningkatan Kualitas Pendidikan ... 65

5.2. Peningkatan Sistem Pelayanan Kesehatan ... 68

(12)

VI KEPEMIMPINAN DALAM PEMBANGUNAN POSKESDES 89

6.1. Situasi Kepemimpinan di Desa Nanga Bayan ...…...… 89

6.2. Kepemimpinan Formal (Pemerintahan Desa) ...…... 90

6.3. Kepemimpinan Informal (Pemerintahan Adat) …... 97

6.4. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Poskesdes ... 101

6.5. Analisis Interaksi Kepemimpinan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Pembangunan Desa 108 6.6. Manfaat Program Pembangunan Desa …..……... 118

VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 122

7.2. Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124

(13)

Halaman 1. Jumlah informan dan subjek kasus... 38 2. Matriks Data Penelitian ... 40 3. Jumlah Penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan jenis kelamin dan

dusun Tahun 2009 ...

47 4. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan formal tahun 2009 ... 48

(14)

1. Kerangka pemikiran penelitian... 34

2. Lokasi Penelitian ... 36

3. Model analisis interaktif ... 41

4. Hubungan antara lembaga desa dalam bekerja ... 79

5. Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan ... 83

(15)

1. Pedoman wawancara ... 129 2. Form catatan harian ... 132

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia khususnya Negara Bagian Sarawak. Kondisi ini membawa konsekwensi, baik dari segi ekonomi, sosial dan politik terhadap Kabupaten Sintang pada khususnya dan kehidupan nasional pada umumnya. Dari segi ekonomi, kawasan perbatasan akan memicu pola hubungan yang diwarnai persaingan atau perbedaan ekonomi yang cukup tajam. Dari segi sosial, kawasan perbatasan berpotensi melahirkan pola interaksi berbagai dampak baik positif maupun negatif. Sedangkan dari segi politik, kawasan perbatasan akan berimplikasi pada kadaulatan negara serta harga diri bangsa di mata negara lain.

Keberadaan dan peranan pemerintahan desa sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan tersebut sebagai kawasan prioritas, wilayah maju dan berkembang sehingga menjadi “halaman depan” yang menentukan citra dan kedaulatan negara dengan melaksanakan fungsi pemerintahan seperti yang termuat dalam UU No. 32/2004 bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan Nasional sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.

Secara teoritis, menurut Davey (1988). ada tiga fungsi utama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu public

service funtion (fungsi pelayanan masyarakat), development function (fungsi

pembangunan) dan protection function (fungsi perlindungan). Fungsi pelayanan masyarakat lebih berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah, kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas – fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, dan sebagainya. Fungsi pembangunan mendudukkan pemerintah sebagai agen pembangunan, terutama dalam merangsang dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup warganya. Pemerintah

(17)

mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi, mendirikan pasar-pasar, mengeluarkan surat ijin berusaha, menyiapkan jaringan jalan dan jembatan serta fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjang pembangunan. Fungsi perlindungan memberikan peran kepada pemerintah untuk melindungi warganya baik dari gangguan alam maupun gangguan yang disebabkan oleh manusia.

Reformasi dan otonomi desa telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat di desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintahan desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa (Setiawan, 2008). Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi desa yang disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah dengan kepentingan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan prioritas, pemerataan dan keterbatasan anggaran.

Dalam pembangunan desa, hal yang perlu diketahui, dipahami dan diperhatikan adalah berbagai kekhususan yang ada dalam masyarakat pedesaan. Tanpa memperhatikan adanya kekhususan tersebut mungkin program pembangunan yang dilaksanakan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Kekhususan pedesaan yang dimaksud antara lain adalah bahwa masyarakat desa relatif sangat kuat keterikatannya pada nilai-nilai lama seperti adat istiadat maupun agama.

Dalam pelaksanaan program pembangunan pedesaan, keberadaan pemimpin informal bagi masyarakat desa di daerah perbatasan ini memiliki posisi strategis, karena melalui mereka-lah berbagai informasi dan komunikasi dapat dialirkan bagi kepentingan masyarakat. Segala bentuk perilaku dan sikap seringkali bersumber dari seseorang yang dianggap sebagai panutan dan sumber pengetahuan. Sosok sebagai figur panutan biasanya diperoleh seseorang melalui berbagai cara yang secara otomatis dilekatkan oleh masyarakat setempat, seperti karena pengaruh kewibawaannya, kepandaiannya, kekayaannya, keberaniannya

(18)

atau karena kekuasaannya. Jika seseorang telah mendapatkan predikat sebagai panutan maka biasanya menjadi sumber segala perhatian masyarakat, yang secara emosional menjadi acuan sikap dan perilakunya.

Melalui figur kepemimpinan informal tersebut, berbagai program pemerintah dan missi pembangunan dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu dalam berbagai kegiatan pembangunan masyarakat tradisional, sosok pemimpin informal tidak bisa diabaikan peranannya. Meskipun demikian, penggunaan saluran formal tetap berdaya guna, karena dengan cara formal biasanya disertakan pula alat pemaksa berupa sanksi hukum formal. Dengan demikian akan menjadi lebih baik jika digunakan kedua-duanya sekaligus, sebab di satu sisi pemberdayaan masyarakat harus tetap berjalan, di sisi yang lain penegakan hukum formal juga perlu terus ditegakkan.

Pembahasan mengenai pembangunan dalam kaitannya dengan aspek kepemimpinan dan partisipasi menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan kasus desa di daerah perbatasan. Hal ini mengingat desa-desa di perbatasan sangat rentan dipengaruhi oleh negara lain melalui sentuhan pembangunan dan ketika nilai manfaat pembangunan tersebut dirasakan oleh masyarakat bisa saja mendorong mereka untuk cenderung menerima pengaruh yang lebih besar lagi.

Isu strategis konsultasi publik nasional di Jakarta, pada tanggal 18 Nopember 2007 (sumber Bappeda Kab. Sintang, 2007), mengemukakan bahwa kondisi ketidakberdayaan masyarakat desa di kawasan perbatasan tersebut dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut; pertama, aspek ekonomi ditandai dengan suasana kehidupan masyarakat yang diliputi rendahnya taraf kesejahteraan masyarakat terutama jika dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat negara tetangga. Ada beberapa alasan mengapa penduduk pedesaan atau dari daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia lainnya seperti di kabupaten Sintang lebih memilih berinteraksi ke seberang (baca Malaysia). Alasannya antara lain adalah, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Orientasi ekonomi masyarakat pada kawasan tapal batas cenderung dominan pada negara tetangga Malaysia, hal ini disebabkan wilayah negara tetangga tersebut lebih mampu memberikan kontribusi perkembangan sektor perekonomian karena kelancaran proses perdagangan dan fasilitas lainnya

(19)

yang dapat mengakomodasikan masyarakat perbatasan. Berkaitan dengan bidang ekonomi, kegiatan masyarakat di bidang koperasi, usaha kecil dan menengah serta perdagangan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini masih terdapat Koperasi yang sudah dibentuk, akan tetapi tidak aktif, dan belum semua jenis usaha termasuk perdagangan memiliki perizinan.

Kedua, aspek sosial yang disebabkan masih sangat minimnya sarana dan

prasarana transportasi seperti angkutan umum baik melalui jalan darat maupun maupun melalui sungai. Selain itu minimnya sarana dan prasarana pendidikan di daerah tersebut yang menyebabkan banyak anak-anak hanya lulusan sekolah dasar serta relatif mahalnya biaya untuk memperoleh pendidikan dikarenakan jarak antara sekolah dengan rumah penduduk sangat jauh. Disisi lain juga, untuk melanjutkan ke tingkat lebih tinggi mereka harus ke ibukota kecamatan yang merupakan satu-satunya SMP yang ada di kecamatan tersebut. Masyarakat di Kawasan Perbatasan masih mengalami tingkat/derajat kesehatan yang rendah. Kondisi kehidupan masyarakat khususnya anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan lingkungan pemukiman yang kurang sehat. Selain itu sarana dan prasarana atau fasilitas penunjang kesehatan masyarakat kurang memadai dan terbatasnya tenaga kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya. Sampai akhir tahun 2007 tercatat satu buah pondok kesehatan desa dengan satu orang tenaga perawat/bidan. Sedangkan untuk sarana dan prasarana lainnya seperti pusling air dan kendaraan operasional lainnya belum tersedia. (Bappeda Kabupaten Sintang, 2007).

Ketiga, aspek politik, akibat dari adanya permasalahan di bidang ekonomi

seperti tersebut di atas, secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kehidupan di bidang politik. Misalnya masyarakat di Kawasan Perbatasan lebih mengetahui dan mengenal pemimpin atau pejabat di negara tetangga Malaysia dibandingkan dengan di negara sendiri, ataupun cenderung lebih sering menggunakan mata uang negara tetangga dari pada mata uang sendiri. Selain itu stabilitas dan keamanan di Kawasan Perbatasan sangat rawan. Hal ini mengingat belum jelasnya batas negara, sehingga rawan pencurian sumber daya alam, penyelundupan barang-barang maupun keluar masuknya tenaga kerja ilegal, masuknya budaya asing yang kurang sesuai dengan nilai dan adat istiadat maupun

(20)

agama, sehingga berpengaruh dan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat baik lahir maupun bathin.

Semua program pembangunan yang dilaksanakan pemerintahan desa di kawasan perbatasan seakan tidak pernah ada hasilnya dalam mengatasi masalah sosial, ekonomi dan politik. Hal ini tercermin dalam aktivitas perekonomian lebih berorientasi bahkan terserap ke pusat-pusat perekonomian/perdagangan di negara tetangga. Kurangnya nilai manfaat dari pembangunan yang bisa dirasakan oleh masyarakat mengindikasikan adanya kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan program-program pembangunan yang mereka terima. Salah satu sarana penghubung kedua elemen tersebut adalah partsipasi masyarakat yang tidak lepas dari peran-peran pemimpin lokal, baik pemimpin formal maupun informal dalam menggerakkan partisipasi dimaksud.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti memandang penting dilakukan penelitian yang fokus mengkaji keterkaitan antara kepemimpinan, partisipasi, dan pembangunan sehingga fenomena kecenderungan masyarakat di desa perbatasan menerima pengaruh dari negara lain bisa dijelaskan.

1.2. Rumusan Masalah

Pelaksanaan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 di seluruh wilayah Republik Indonesia dimaksudkan untuk mewujudkan perangkat pemerintahan desa yang mampu melayani dan mengayomi masyarakat, menggerakkan partisipasi aktif masyarakat serta mampu melaksanakan fungsi pemerintahan secara lebih efektif dan efisien.

Dalam konteks desa di perbatasan, keberadaan pembangunan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung sangat penting karena hal ini ada kaitannya dengan aspek pengintegrasian, apakah masyarakat tersebut cenderung menerima pengaruh dari Malaysia atau Indonesia. Dengan demikian konsep pembangunan yang diperlukan adalah pembangunan yang berorientasi kebutuhan. Konsep semacam ini diyakini bisa diwujudkan jika dalam proses pembangunan tersebut terdapat unsur partisipasi masyarakat teruma dalam perencanaan, dengan tidak mengabaikan partisipasi dalam pelaksanaan, monitoring, dan evalusasi. Jika pemimpin

(21)

didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain, maka untuk mengggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan sangat diperlukan peran-peran pemimpin lokal. Oleh karenanya penting untuk dilihat lebih dalam mengenai peran-peran kepemimpinan lokal dalam menggerakkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan sehingga masalah kurangnya nilai manfaat pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat di daerah perbatasan dapat dijelaskan.

Atas dasar uraian di atas, beberapa pertanyaan sebagai masalah penelitian yang akan dijawab dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana peran kepemimpinan pemerintah desa dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan?

2. Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pembangunan di Desa Nanga Bayan?

3. Bagaimana interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan Desa Nanga Bayan?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan : 1. Mendiskripsikan peran kepemimpinan pemerintah desa dalam merumuskan

kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan.

2. Mendiskripsikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Desa Nanga Bayan.

3. Menganalisis interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di Desa Nanga Bayan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi secara ilmiah serta dapat memperkuat teori mengenai sosiologi pedesaan khususnya dalam hal kepemimpinan pemerintahan desa dalam melaksanakan pembangunan di kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia.

(22)

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan desa di kawasan perbatasan baik kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, maupun Pemerintah Kecamatan.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Pembangunan

Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah dilakukan secara luas, tetapi hasilnya dianggap belum memuaskan dilihat dari pelibatan peran serta masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Rencana pembangunan desa harus disusun berdasarkan pada potensi yang dimiliki dan kondisi yang ada sekarang. Kondisi yang ada itu meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, prasarana dan sarana pembangunan, kelembagaan, aspirasi masyarakat setempat, dan lainnya. Karena dana anggaran pembangunan yang tersedia terbatas, sedangkan program pembangunan yang dibutuhkan relatif banyak, maka perlu dilakukan: (1) penentuan prioritas program pembangunan yang diusulkan, penentuan prioritas program pembangunan harus dilakukan berdasarkan kriteria yang terukur, dan (2) didukung oleh partisipasi masyarakat untuk menunjang implementasi program pembangunan tersebut. Penentuan program pembangunan oleh masyarakat yang bersangkutan merupakan bentuk perencanaan dari bawah, dan akar rumput bawah atau sering disebut sebagai bottom-up planning. Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowering) secara nyata dan terarah.

Menurut pandangan Haq, (1985) tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini mempunyai dua sisi.

Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan,

pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia.

Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia menjadi pembicaraan seperti yang dikemukakan oleh Goulet (1977) yang mengkaji falsafah dan etika pembangunan, misalnya,

(24)

mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat.

Nilai-nilai lama atau biasa disebut dengan budaya tradisional itu sendiri menurut Dove (1985) sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik dari masyarakat pada tempat di mana budaya tradisional tersebut melekat. Dalam penelitian Dove (dikutip oleh Suwarsono, 1994) yang melakukan penelitian tentang budaya lokal dan pembangunan di Indonesia, antara lain suku Punan di pedalaman Kalimantan, suku Samin di pedalaman Jawa Tengah, suku Wana di Sulawesi Tengah, penduduk Bima dan masyarakat Ngada di Flores. Hasil penelitian Dove ini menyatakan bahwa budaya lokal dan agama di beberapa suku tersebut ternyata sangat berperan dalam proses pembangunan dan dinamika sosial perkembangan masyarakat. Karena bagaimanapun juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak bisa dilepaskan dari agama dan budaya, bahkan nilai-nilai budaya tersebut adalah merupakan faktor mental yang menentukan perbuatan ataupun aktifitas seseorang maupun kelompok masyarakat (Koentjaraningrat, 1971).

Dalam era reformasi dilakukan perombakan dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) diterapkan tiga prinsip yang mendasar, yaitu :

transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (bertanggung jawab), dan resfonsivitas

(daya tanggap). Dalam perencanaan pembangunan, penerapan pendekatan yang tadinya adalah bersifat top down digantikan oleh pendekatan bottom up. Dalam pendekatan bottom up masih dirasakan pengaruh top down meskipun relatif kecil. Demikian sebaliknya dalam perencanaan top down, harus tetap memperhatikan aspirasi masyarakat bawah.

Memperhatikan kekurangan perencanaan pembangunan pedesaan pada masa yang lalu, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pendekatan pembangunan pedesaan yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kompleksitas pembangunan serta aspirasi masyarakat. Konsep pendekatan pembangunan yang lalu yang bersifat sentralistik harus direformasi menjadi

(25)

desentralistik, disesuaikan dengan masalah, potensi, kondisi, dan kebutuhan masyarakat setempat, secara spasial dan terpadu, tetapi harus pula berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Setelah memperhatikan berbagai pendekatan pembangunan pedesaan yang cukup banyak seperti dikemukakan di atas, maka pendekatan perencanaan pembangunan pedesaan sekurang-kurangnya menggunakan pendekatan bottom up, partisipatif dan berkelanjutan; dan diantaranya adalah pendekatan partisipasi yang perlu mendapat penekanan.

Pembangunan pedesaan yang partisipatif merupakan suatu konsep fundamental yang berlaku dan diterapkan sejak dahulu hingga sekarang dan tetap relevan untuk masa depan. Partisipasi masyarakat itu mengikuti perkembangan zaman dari sistem pemerintahan yang berlangsung dalam suatu kurun waktu. Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik, mekanisme perencanaan pembangunannya adalah top down, dan partisipasi masyarakatnya adalah bersifat mobilisasi atau pengerahan massa. Sedangkan dalam sistem pemerintahan yang desentralistik (otonomi daerah), mekanisme perencanaan pembangunannya adalah

bottom up dan partisipasi rnasyarakatnya dilakukan dengan kesadaran dan

kebersamaan yang tinggi. Oleh sebab itu partisipasi masyarakat sangat diperlukan sebagai kekuatan dinamis dan merupakan perekat masyarakat akar bawah (pedesaan) untuk menunjang pembangunan pedesaan.

Dari sisi masyarakat, menurut (Setiawan, 2008) poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Ditambah lagi oleh setiawan, dalam proses musrenbang keberadaan delegasi masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi kosmetik untuk sekedar memenuhi qouta adanya partisipasi masyarakat dalam proses musrenbang.

Menurut Kartasasmita (1997), menyebutkan bahwa kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi

(26)

masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1). pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2). pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3). pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4). pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan.

2.1.2. Pemerintahan Desa

Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya susunan organisasi pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari unsur staf, unsur pelaksana dan unsur wilayah. Unsur staf terdiri dari Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Urusan, sedangkan unsur pelaksana terdiri dari Kepala-kepala Seksi dan unsur wilayah terdiri dari Kepala-kepala Dusun.

BPD dalam pemerintahan desa berkedudukan sebagai lembaga legislatif, yaitu sebagai badan untuk tempat berdiskusi bagi para wakil masyarakat desa. Dalam proses berdiskusinya itu, para anggota BPD berkedudukan sebagai wakil dari kelompok masyarakat yang memilihnya. Dengan demikian, BPD berada dalam posisi/kedudukan di pihak masyarakat, bukan di pihak lembaga eksekutif desa, yaitu bukan sebagai pelaksana pemerintahan desa sebagaimana kedudukan kepala desa beserta perangkatnya.

Pada masa berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang lalu, Kepala Desa dan perangkatnya merupakan satu-satunya aktor penyelenggara pemerintahan desa. Pada saat itu banyak mengandung kelemahan karena program-program pembangunan seringkali berasal dari atas dan pengawasan terhadap kepemimpinannya sangatlah lemah. Dalam kaitannya dengan desa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, ingin menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU. No.5 tahun 1979.

(27)

Kehadiran BPD dianggap sebagai penyeimbang dan mitra kerja. Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka BPD diganti dengan Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Badan Permusyawaratan Desa ini diharapkan bisa mengurangi kelemahan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya.

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten (Wijaya, 2002). Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999 adalah sebagai berikut:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asalusul yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.

(28)

Dengan adanya pengaturan desa diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

2.1.3. Kekuasaan dan wewenang

Kekuasaan dengan wewenang (authority/legalized power) memiliki pengertian yang berbeda, yaitu bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Suatu masyarakat yang kompleks susunannya dan sudah mengenal pembagian kerja yang terperinci, maka wewenang itu biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan cara menggunakan kekuasaan itu (Soekanto, 1973).

Menurut Max Weber (1947) kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang actor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Walter Nord merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya.

Secara sederhana, kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi, sedang kekuasaan diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seseorang pemimpin tersebut. Adapun otoritas (Authority) dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki oleh pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan (legitimatized) oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi.

Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Karena kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, maka mungkin sekali setiap interaksi dan hubungan sosial dalam suatu organisasi melibatkan penggunaan kekuasaan. Cara

(29)

pengendalian unit organisasi dan individu di dalamnya berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar beberapa pihak, lebih dari satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau kelompok yang terisolasi tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain atau kelompok lain.

Kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain bertindak, pengertian disini harus meliputi kemampuan untuk membuat keputusan mempngaruhi orang lain dan mengatasi pelaksanaan keputusan itu. Biasanya dibedakan antara kekuasaan yang berarti dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat menyebabkan orang lain tersebut bertindak dan wewenang yang berarti hak untuk memerintah orang lain.

Wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Penggunaan wewenang secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektevitas organisasi. Peranan pokok wewenang dalam fungsi pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda formal, dimana pemimpin menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi. Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar kekuasaan dan pengaruh informal. Pemimpin perlu menggunakan lebih dari wewenang resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan mereka.

Pengertian tentang wewenang dapat dipandang secara klasik dan juga secara pengakuan. Secara klasik, wewenang dimiliki oleh atasan dan bawahan berkewajiban mematuhinya. Kondisi ini dapat menimbulkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Pandangan pengakuan berdasarkan adanya pengakuan dari seseorang yang dipengaruhi terhadap orang lain yang mempengaruhi mereka. Dengan demikian, dalam lingkup sempit, wewenang yang sah belum tentu memperoleh pengakuan orang lain. Weber menyebut wewenang sebagai

(30)

wewenang yang legal dan sah. Weber juga membagi wewenang menjadi wewenang kharismatik, rasional, dan tradisional.

Indonesia kini menuju kepada pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, sehingga azas desentralisasi lebih tampak. Pembagian ini menuju kepada pemberian wewenang kepada daerah lebih besar dengan hak mengelola sendiri daerahnya untuk kegiatan-kegiatan tertentu, dan ada keseimbangan penerimaan antara daerah dan pusat. Hal ini dilakukan untuk mencegah usaha pemisahan diri oleh daerah-daerah.

2.1.4. Kepemimpinan (leadership)

Sekarang hampir setiap pemimpin dengan daya tarik yang sangat populer disebut pemimpin kharismatik, seperti misalnya tokoh agama. Max Weber (1947), seorang sosiolog besar menganalisis suatu kharisma melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kharisma adalah kualitas tertentu dari seorang individu yang karenanya ia berbeda jauh dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supranatural. Kualitas ini dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang biasa dan atas dasar itu individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan. Dalam proses selanjutnya pemimpin ini menjadi seorang panutan, sehingga kecil kemungkinan dia akan melakukan kesalahan.

Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik dan dia tidak perlu berusaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahkan kekuasaannya. Kalau demokrasi sebagai sistem politik mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat, bukan karena faktor darah atau keturunan. Akhirnya kita tidak hanya berharap pemimpin yang kharismatik tetapi lebih daripada itu kita mengharapkan pemimpin yang demokratis. Atau pemimpin yang kharismatik sekaligus demokratis

Harapan masyarakat terhadap seorang pemimpin tidak pernah memperkirakan dan mempertimbangkan kesulitannya, namun hanya

(31)

permasalahannya tuntas. Pemimpin diharapkan menjadi tokoh yang selalu menyediakan solusi. Dalam keadaan yang terjepit secara financial dan kelembagaan dituntut untuk menjalankan program, kata-kata “tidak ada budget” bisa diungkapkan oleh departemen keuangan, tetapi pemimpin tetap tidak bisa mengelakkan kalau program harus dijalankan. Pemimpinlah yang harus putar otak dan mengarahkan semua sumber daya untuk mencari solusi (Simbolon, 1994).

Hill dan Caroll (1997) berpendapat bahwa, kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama. Struktur organisasi adalah kerangka atau susunan unit atau satuan kerja atau fungsi-fungsi yang dijabarkan dari tugas atau kegiatan pokok suatu organisasi, dalam usaha mencapai tujuannya. Setiap unit mempunyai posisi masing-masing, sehingga ada unit yang berbeda jenjang atau tingkatannya dan ada pula yang sama jenjang atau tingkatannya antara yang satu dengan yang lain.

Kepemimpinan akan berlangsung efektif bilamana mampu memenuhi fungsinya, meskipun dalam kenyataannya tidak semua tipe kepemimpinan memberikan peluang yang sama untuk mewujudkannya. Dalam hubungan itu sulit untuk dibantah bahwa setiap proses kepemimpinan juga akan menghasilkan situasi sosial yang berlangsung di dalam kelompok atau organisasi masing-masing. Untuk itu setiap pemimpin harus mampu menganalisa situasi sosial kelompok atau organisasinya yang dapat dimanfaatkan dalam mewujudkan fungsi kepemimpinan dengan kerja sama dan bantuan orang-orang yang dipimpinnya.

Fungsi kepemimpinan menurut Hill dan Caroll (1997) memiliki dua dimensi sebagai berikut: a). dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya; b). dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin.

Ada tiga peran utama pemimpin menurut Mitzberg, (dikutip oleh Handoko (2003) yaitu: (1) interpersonal role, yaitu sebagai tokoh, (2) informational role,

(32)

yaitu sebagai pemicara, dan (3) decisional role, yaitu sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan. Dengan adanya keputusan berarti ada masalah yang dapat dipecahkan sehingga organisasi selalu dinamis dan berkembang.

Menurut P. Hersey dan Blancard, (dikutip oleh Tohardi, 2002) Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses mempengaruh kegiatan individu dan kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan. Siagian (2002) mengatakan kepemimpinan dari seseorang atau sekelompok orang adalah antara lain untuk memperoleh kepercayaan dari orang–orang yang dipimpin dan keterampilan untuk menggerakkan orang–orang yang dipimpin, sehingga pencapaian tujuan yang telah ditentukan dapat terlaksana dengan efisien, efektif dan ekonomis.

Mengacu kepada Weihrich and Koontz (1994:490) “Leadership is definied

as influence, that is, the art or process of influencing people so that they will strive willingly and enthusiastically toward the achievement of group goals”

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dengan cara apapun, agar mampu mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Kepemimpinan memainkan peran penting dalam perkuatan dan peningkatan disiplin individu serta produktivitas tenaga kerja. Dalam sosiologi, bicara tentang kepemimpinan berarti bicara tentang ”status” dan ”otoritas” menurut Marx Weber, (dikutip oleh Syahyuti, 2006), ada 3 jenis kekuasaan atau otoritas kepemimpinan, yaitu kekuasaan tradisional berdasarkan kepercayaan yang telah ada, kekuasaan rasional berdasarkan hukum legal, dan kekuasaan kharismatis berdasarkan individual.

Kepemimpinan ada dalam setiap sistem sosial, karena akan selalu ada inter-relasi antara pihak yang mempengaruhi dan yang di pengaruhi, pada hakikatnya, seseorang dapat disebut pemimpin jika ia dapat mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu tujuan tertentu, meskipun tidak dalam ikatan formal sebuah kelembagaan. Pencapaian yang tertinggi dari seseorang pemimpin adalah memperoleh respek dan kepercayaan. Dalam kontek respek dan kepercayaan, suatu ungkapan yang populer dari Dwight D. Eisenhower, (dikutip oleh Syahyuti, 2006) ”Kepemimpinan adalah seni mendapatkan orang lain untuk melakukan hal lain yang ia ingingkan karena orang itu menginginkannya.

(33)

2.1.5. Type Kepemimpinan

Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.

Dalam perkembangannya, type yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai type kepemimpinan transformasional. Type ini dianggap sebagai type yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.

(a). Watak Kepemimpinan ( Traits Model of Leadership)

Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill, 1974).

Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan.

(b). Kepemimpinan Situasional ( Model of Situasional Leadership)

Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi-studi tentang kepemimpinan situasional

(34)

mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the

organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate),

karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

(c). Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)

Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka.

Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya

(35)

kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).

Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d). Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)

Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel, 1987).

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk

(36)

mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).

Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House, 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative

leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang

dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

(e). Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational

Leadership)

Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional.

(37)

Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.

Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational

leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan

pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.

Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi, idealized influence (pengaruh ideal),

inspirational motivation (motivasi inspirasi), intellectual stimulation (stimulasi

(38)

Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky, 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (misalnya Weber, 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns, 1978)

Beberapa ahli menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new

leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai

pemimpin penerobos (breakthrough leadership).

Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.

Dari pendekatan type yang berbeda, yang berdasarkan kebutuhan terdapat tiga type kepemimpinan yaitu : otokratik, demokratik, dan bebas terkendali. Type kepemimpinan otokratik adalah memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri. Mereka menata situasi kerja yang rumit bagi para bawahan dan melakukan apa saja yang diperintahkannya. Kepemimpinan otokratik umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman (Kreitner, 1999).

(39)

Beberapa manfaat kepemimpinan otokratik adalah bahwa type ini sering memuaskan pemimpin, memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat, memungkinkan pendayagunaan bawahan yang kurang kompeten, dan menyediakan rasa aman dan ketentuan bagi para bawahan. Kelemahan gaya ini yang utama adalah bahwa orang-orang tidak menyukainya, terutama apabila mencapai suatu titik yang menimbulkan rasa takut dan keputusasaan.

Kepemimpinan demokratik adalah mendesentralisasikan wewenang. Keputusan partisipatif tidak bersifat sepihak, seperti pemimpin otokratik, karena keputusan ini timbul dari upaya konsultasi dengan para pengikut dan keikutsertaan yang dipimpin. Pemimpin dan kelompok bertindak sebagai suatu sosial. Para pengikut memperoleh informasi dan pemimpin tentang kondisi yang mempengaruhi pekerjaan mereka dan didorong untuk mengungkapkan gagasan dan mengajukan saran. Kecenderungan yang umum adalah kearah penerapan praktek partisipasi lebih luas karena konsisten dengan perilaku organisasi.

Pemimpin bebas kendali cenderung menghindari kuasa dan tanggung jawab. Mereka sebagian besar bergantung pada kelompok untuk menetapkan tujuan dan menanggulangi masalah sendiri. Pemimpin hanya memainkan peran kecil. Kepemimpinan bebas kendali mengabaikan kontribusi pemimpin dengan cara yang kurang lebih sama seperti kepemimpinan otokratik mengabaikan kelompok. Kepemimpinan ini cenderung memungkinkan berbagai unit organisasi yang berbeda untuk bergerak maju dengan tujuan yang bertentangan satu sama lain, dan ini dapat menimbulkan kekacauan. Karena alasan inilah type bebas kendali tidak digunakan sebagai type yang dominan, tetapi bermanfaat dalam situasi dimana pemimpin dapat memberi peluang sepenuhnya kepada kelompok untuk melakukan pilihan mereka sendiri.

2.1.6. Kepemimpinan formal dalam membangun perekonomian desa

Peran kepemimpinan sangat besar bagi kemajuan maupun kemunduran perekonomian suatu masyarakat, terlebih pada masyarakat yang kandungan semangat patronasenya kuat. Keberadaan seorang pemimpin yang kuat dalam masyarakat pedesaan sangat menentukan peluang dan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat pedesaan.

(40)

Aspek kepercayaan (trust) dalam kepemimpinan untuk menggerakkan masyarakat ke arah kemajuan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan akan dihargai serta dihormati jika pemimpin tersebut memiliki keunggulan karena mampu memecahkan dan mengatasi masalah masyarakat termasuk masalah produksi dan ekonomi pertanian mereka. Hal ini penting untuk menghindarkan munculnya sifat ‘manja’ dan ‘ketergantungan’ petani terhadap bantuan pemerintah, yang akan menyebabkan kemerosotan daya kreatif petani dalam mengelola sumberdaya pertanian di daerahnya.

Seorang pemimpin juga harus mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat dan menghilangkan sifat mementingkan diri dan golongannya semata. Petani juga mengharapkan semangat “altruistik” (mau berkorban lebih dulu) dari seorang pemimpin, agar memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat yang otomatis tentu akan menjadi pendukungnya (misalnya, merintis jalur pemasaran lintas desa/daerah, memperhatikan sarana dan prasarana pertanian, irigasi dan mengembangkan usahatani). Seorang pemimpin diharapkan memiliki visi dan

misi yang jelas dan ditranparansikan ke petani, memiliki pemahaman local knowledge yang baik, mampu menggerakkan inspirasi kekolektifitasan antar

petani dan terorganisir dengan baik, serta mentransmisi dan mendinamisasi persaingan sehingga menjadi energi kolektif kemajuan masyarakat setempat.

Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan tradisional merupakan salah satu usaha dalam program pembangunan pedesaan (yang salah satunya dengan partisipasi masyarakat lokal) untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat petani (agar tidak hanya sekedar subsisten dan agar mampu berkelanjutan), agar dapat mendorong usaha pertanian petani untuk berproduktivitas tinggi, meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dan menuju pertanian yang modern serta mampu memenuhi pasar komersial.

2.1.7. Kepemimpinan Informal Dalam Pembangunan Desa (Sosial Budaya) Pemimpin informal tidak menjadi pemimpin karena faktor legalitas, tapi terutama karena faktor ”legitimasi”. Artinya, walaupun tak ada kongres atau muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dan umat dengan spontan menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka.

Gambar

Gambar 2. Lokasi penelitian yang berbatasan langsung dengan Malaysia
Tabel 1. Jumlah informan dan subjek kasus
Tabel 2. Matriks Data Penelitian
Gambar 3. Model analisis interaktif
+4

Referensi

Dokumen terkait

i) Wakaf tunai iaitu wakaf orang ramai dalam bentuk cek atau wang tunai yang dimasukkan ke dalam akaun bank atau tabung wakaf masjid/surau atau diserahkan kepada

bahwa untuk menjamin pelayanan klinis dilaksanakan sesuai kebutuhan pasien, bermutu, dan memperhatikan keselamatan pasien, maka perlu disusun kebijakan pelayanan klinis

Ors Perempatan Radio Dlm (PN15) No. Tangan Pertama Dari Baru. Raya Dermaga No. Mandala Raya No.. Dr Saharjo no. Jago Ujung No. Ster Kmplt 78Jt Jl. 2, 1jt siap pakai Pisangan

merupakan beberapa mekanisme yang terkait dengan perubahan pada fungsi motorik. pada pasien

jadi subjek,’ dengan menginterpelasi si individu, Peter, untuk membuat dirinya menjadi subjek, yang bebas untuk mematuhi atau tidak mematuhi seruan yang ada, yaitu irman-irman

Analisis dan evaluasi implementasi kurikulum nasional yaitu Kurikulum Inti Pendidikan Ners Indonesia 2015 yang diterbitkan oleh AIPNI ke dalam kurikulum institusi

Lampiran ii Data Variabel Penelitian Tahun 2006 (Sebelum

PENEBARAN BENIH IKAN UNTUK LUBUK LARANGAN WILAYAH I. JB: Barang/jasa