• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahan Basah. Warta Konservasi. Ucapan Terima Kasih dan Undangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lahan Basah. Warta Konservasi. Ucapan Terima Kasih dan Undangan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2 2 2 2

2 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

Disain dan tata letak:

Triana

Foto sampul muka:

I Nyoman N. Suryadiputra Yus Rusila Noor

Alue Dohong

Ucapan Terima Kasih dan Undangan

Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam terselenggaranya majalah ini. Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk mengirimkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada wadah pertukaran informasi tentang perlahanbasahan di Indonesia ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya tidak lebih dari 2 halaman A4.

Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi

Wetlands International - Indonesia Programme

Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002 tel: (0251) 312-189; fax./tel.: (0251) 325-755

e-mail: publication@wetlands.or.id

Lahan basah (termasuk danau, sungai, hutan bakau, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, laguna, estuarin dan lain-lain) mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya utama pendukung perekonomian dan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

Penerbitan Warta Konservasi Lahan Basah ini dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi lahan basah, guna kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.

Mudah-mudahan berbagai informasi yang disampaikan majalah ini dapat memperkuat dan mendukung terwujudnya lahan basah yang lestari melalui pola-pola pemanfaatan yang bijaksana dan berkelanjutan.

Warta Konservasi

Lahan Basah

○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○

○○○○○○○○○○

DEWAN REDAKSI:

Penasehat: Direktur Jenderal PHKA; Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP;

Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra; Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno

Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP), dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di Indonesia. WKLB diterbitkan secara berkala 3 (tiga) bulan sekali, dan disebarluaskan ke lembaga-lembaga pemerintah, non-pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat yang terlibat/tertarik akan lahan basah. Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah semata-mata pendapat para penulis yang bersangkutan.

(2)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 33333

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Fokus Lahan Basah

Kearifan Tradisional “Togo” di Muara Lanowulu

Rahasia di Balik Sukses Kota Tinanggea sebagai Penghasil Terasi ... 4

Konservasi Lahan Basah Pemanfaatan “Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk sebagai Bahan Penghasil Karbohidrat” ... 6

Berita Kegiatan Twinning Program: Program Studi Banding untuk Kelompok Masyarakat Binaan... 9

Gambut dan Kandungan Karbon ... 10

Lokakarya: Program Rehabilitasi Pesisir Partisipatif dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat ... 12

Menyambut Green Coast Phase 2 ... 16

Berita dari Lapang Lubuk Larangan: Melestarikan Sumberdaya Perikanan Sungai dan Mendukung Produksi Pertanian ... 17

Invasi Acacia mangium ke Hutan Galam SM Pelaihari Tanah Laut ... 18

Kearifan Tradisional: Selamatkan Tumbuhan Obat Kali Surabaya ... 20

Penanaman Pohon Mahoni dan Suren sebagai Perlindungan Catchment Area ... 22

Mengamati Para Penjelajah Dunia di P. Trisik: Perayaan Hari Burung Bermigrasi Sedunia ... 23

Flora dan Fauna Lahan Basah Ekspor Daging Kodok Perlu Pengendalian ... 26

Mengenal Capung ... 28

Dokumentasi Perpustakaan ... 31

Kotak Katik Lahan Basah ... 31

Warta Konservasi Lahan Basah

Vol 15 no. 2, Juli 2007

Dari Redaksi,

Di saat kemajuan teknologi berkembang pesat dan perkembangan populasi manusia melaju cepat, seiring itu pula kerusakan alam semakin mencuat. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada seringkali tidak memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian dan keberlanjutannya. Manusia lebih suka berpikir dan bertindak sesaat bahkan hanya demi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kearifan tradisional yang masih diberlakukan di beberapa daerah, ternyata justru memberikan dampak perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam beserta manfaat-manfaatnya. Seperti di Desa Tamiang, Kec. Kota Nopan, Sumatera Utara, dengan Lubuk Larangan-nya mampu melestarikan sumberdaya perikanan sungai dan mendukung produksi pertanian. Contoh lain adalah kearifan tradisional “TOGO” di Muara Lanowulu, Kendari, yang mampu mempertahankan kelestarian hutan mangrove bahkan menjadi kunci sukses Kota Tinanggea sebagai penghasil terasi.

Kearifan tradisional merupakan perwujudan kedekatan antara masyarakat dan alam. Alam telah menjadi guru bagi mereka untuk berbuat dan berperilaku. Pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.

~ Redaksi ~

(3)

4 4 4 4

4 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah 4

4 4 4

4 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

Kearifan Tradisional “Togo” di

Muara Lanowulu

Rahasia di Balik Sukses Kota Tinanggea

sebagai Penghasil Terasi

Oleh:

Dwi Putro Sugiarto, S.Hut*

P

ara pecinta sambal terasi di Sulawesi Tenggara tentu sangat familiar dengan Kota Tinanggea. Kota yang terletak di bagian selatan Propinsi Sulawesi Tenggara ini dikenal pula dengan sebutan kota terasi. Wajar saja masyarakat menyebut demikian, sebab dari daerah ini dihasilkan terasi-terasi berkualitas tinggi yang tidak hanya dijual di daerah Sulawesi tenggara saja, tetapi juga dikirim sampai ke luar propinsi. Jika anda pergi ke sana, anda akan menemukan satu perkampungan kecil yang bernama Muara Lanowulu. Tempat inilah yang menjadi sentral penghasil terasi terbesar Tinanggea dan menjadi aktor di balik sukses besar Tinanggea sebagai kota terasi.

MENUJU MUARA LANOWULU

Muara Lanowulu secara administratif berada di Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan. Lokasi ini berjarak ± 120 km dari Kota Kendari dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama ± 2,5 jam. Jalan utama yang

dilalui merupakan jalan poros propinsi yang kondisinya sangat bagus. Jalan ini membentang dari Kota Kendari sampai Desa Lanowulu. Dari jalan poros ini ke Muara Lanowulu harus melewati jalan kecil agak

bergelombang yang berjarak sekitar 4 km ke arah pantai. Dari sini membentang hutan mangrove TNRAW (Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai) mulai dari muara Sungai Roraya sampai Sungai Langkowala dengan luas 6.173 ha atau 5,87% dari total luas kawasan. Di balik hamparan bakau inilah masyarakat Muara Lanowulu menangkap udang kecil yang nantinya digunakan sebagai bahan baku membuat terasi. Masyarakat sekitar menamakan udang kecil ini dengan sebutan “udang rebon”. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk Muara Lanowulu umumnya bekerja sebagai nelayan penangkap udang, kepiting dan petani rumput laut, Nilai tangkapan tiap kepala keluarga (KK) di Muara Lanowulu digambarkan dalam tabel berikut :

No Jenis Tangkapan Alat Tangkap Hasil/KK Harga Penampung Keterangan

1 Udang putih pukat 0,5-3 kg/hari Rp 8.000,- s/d Rp 10.000,-/kg tujuan ekspor 2 Balaceng togo 10-20 liter kering Rp 700,- s/d Rp 1.000,-/ liter dibuat terasi

3 Kepiting bakau bubu nilon 4-5 ekor/hari Rp 7.500,- s/d Rp 45.000,-/ekor harga tergantung berat 4 Kepiting rajungan bubu bambu 2-4 kg/hari Rp 5.000,- s/d Rp 15.000,-/ekor harga tergantung berat 5 Kerang bubu 20-25 liter/hari Rp 1.000,-/kg Dilakukan ibu-ibu saat

perahu tidak melaut 6 Rumput laut tali 10-30 kg /bln Rp 4.000,-/kg Panen dilakukan

sebulan sekali

(4)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 55555 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 55555

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

KEANEKARAGAMAN FLORA Tipe tanah di Muara Lanowulu merupakan endapan lumpur (mudflat) sehingga sangat baik untuk tegakan dari famili Rhizophoraceae, seperti Rhizophora mucronata, R.

stylosa, R. Apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, C. decandra, dan Bruguiera parviflora

serta beberapa jenis dari famili Combretaceae seperti Lumnitzera

littorea dan L. racemosa. Formasi

vegetasi mangrove dalam kawasan TNRAW berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi yang dituang dalam peta partisipatif tahun 2004 terbagi atas empat formasi, yaitu formasi vegetasi pada zona mangrove terluar, zona mangrove tengah, zona mangrove pinggiran dan zona mangrove payau.

KEARIFAN TRADISIONAL TOGO Bakau Muara Lanowulu ternyata menyimpan kekayaan biota laut yang luar biasa. Vegetasi bakau telah menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan, udang dan kepiting. Disinilah puluhan keluarga nelayan Muara Lanowulu menggantungkan hidupnya dengan memasang berbagai alat tangkap seperti pukat, bubu dan

pancing. Terdapat pula alat-alat tangkap yang dikembangkan secara tradisional oleh warga muara. Mereka menamakan alat modifikasi tersebut dengan sebutan “Togo”.

“Togo dulunya bernama ‘Julu’. Julu

adalah alat tangkap berupa trawl (pukat) yang memiliki lubang-lubang agak besar. Sehingga hanya udang putih berukuran besar saja yang tertangkap oleh julu. Pada tahun 1975-an, warga muara Lanowulu memodifikasi julu ini untuk

menangkap udang-udang berukuran kecil. Kami menamakan alat itu dengan sebutan Togo”, ungkap Pak

Madamang, warga Muara Lanowulu ketika ditanya tentang kehidupan nelayan muara.

Sambil memandangi Togo miliknya, Pak Madamang bercerita, “Togo

lahir dari ide warga muara. Kami tambahkan pada tali julu yang kami sebut ‘laso-laso’ itu dengan nilon yang sangat halus. Dengan togo tersebut kami berhasil menangkap ‘rebon’, udang kecil-kecil yang kemudian kami olah menjadi terasi.” Sejak saat itu,

perkampungan Muara Lanowulu dikenal sebagai sentral penghasil terasi. Dalam sebulan warga bisa menghasilkan 100-150 kg terasi.

Harga jual di penampung lokal Rp 5.000,-/kg. Selanjutnya penampung lokal ini menjual kembali terasi tersebut dengan harga Rp 7.500,-sampai Rp 8.000,- tiap kg. Warga Muara Lanowulu telah menjadikan togo sebagai salah satu identitas kebudayaan. Hal ini tertuang di dalam peraturan adat tentang pemakaian togo. Adat membatasi jumlah togo yang dapat digunakan oleh nelayan. Penempatan alat tangkap ini pun juga harus ditata berselang-seling. Bagi warga yang melanggar peraturan ini akan terkena sanksi adat. Kearifan tradisional togo muncul sebagai upaya warga muara menjaga kelestarian udang di masa mendatang agar tidak habis terambil. Pembatasan jumlah togo akan memungkinkan udang-udang muara untuk beregenerasi.

BERKOLABORASI

MENYELAMATKAN MANGROVE Warga muara menyadari bahwa kelestarian ekosistem mangrove merupakan prasyarat agar mereka dapat mengambil ikan dan udang secara berkelanjutan. Bagi mereka

Fokus Lahan Basah

Senja di Muara Lanowulu Togo yang dipasang di sekitar Mangrove

(5)

6 6 6 6

6 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

P

emanfaatan hutan mangrove dapat dilihat dari sisi pemanfaatan secara langsung dan pemanfaatan tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung berupa kayu untuk kontribusi kayu bakar, bahan bangunan, kertas, makanan, obat-obatan, minuman, penyamakan kulit, perikanan dan

Pemanfaatan HUTAN MANGROVE

“Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk

sebagai Bahan Penghasil Karbohidrat”

Oleh :

Alfredo Wanma*

pertanian. Sedangkan pemanfaatan secara tidak langsung adalah sebagai tempat hidup jenis ikan, crustaceae, molluska, lebah, burung, mamalia, reptil dan berbagai fauna lainnya. Menurut Onrizal (2006), berbagai jenis tujmbuhan mangrove dapat

dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat local sebagai bahan obat-obatan dan sebagai bahan makanan dan proses ini sudah berlangsung lama.

(6)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 77777

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI BAHAN MAKANAN

Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat lokal umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pemanfaatan untuk kayu bakar, bahan bagunan dan tempat untuk mendapatkan bahan pangan. Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan makanan dapat dilakukan dengan cara-cara tradisional sesuai dengan kebiasaan setiap masyarakat lokal. Beberapa jenis mangrove yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan adalah sebagai berikut : Acrosticum aureum,

Avicennia marina, Bruguiera sexangula. Jenis-jenis ini

yang dimanfaatkan adalah daunnya untuk dimakan dan dimasak sebagai sayur; dan jenis Avicennia alba dan A.

Officinalis bijinya dapat direbus dan dimakan (Onrizal,

2006).

BRUGUIERA GYMNORHIZA (L) LAMK

SEBAGAI BAHAN MAKANAN

Pemanfaatan jenis mangrove sebagai bahan makanan dan obat-obatan, oleh masyarakat lokal masih dilakukan secara tradisional. Masyarakat suku Biak merupakan salah masyarakat lokal yang berada di daerah Papua yang memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan mangrove secara langsung dapat menyediakan kebutuhan tersebut, salah satunya adalah sebagai sumber karbohidrat. Oleh masyarakat suku Biak, buah dari Bruguiera

gymnorhiza (L) Lamk dapat dijadikan bahan makanan

yang memiliki kandungan karbohidrat yang diperoleh dengan mengekstrak kandungan patinya.

PROSES PEMBUATAN DAN PENGOLAHAN BUAH BRUGUIERA GYMNORHIZA (L) LAMK MENJADI PATI

Pembuatan dan pengolahan buah Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk oleh masyarakat suku Biak diolah menjadi pati dilakukan secara tradisional, ditandai dengan alat-alat yang digunakan bersifat sederhana. Adapun tahapan-tahapan pembuatan dan pengolahan buah Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk menjadi pati sebagai berikut : pertama-tama dilakukan pengambilan buah yang sudah masak/siap panen dari pohon dan ada pula yang dipungut dari air dan sudah terlepas dari pohon, kemudian buah tersebut direbus selama ± 30 menit, setelah direbus didinginkan selama beberapa menit, lalu setelah dingin bagian permukaan kulit buah dikuliti dengan menggunakan cangkang bia/siput (Polymesoda sp), kemudian diiris menjadi beberapa irisan halus. Setelah itu, irisan tersebut direndam dengan air dingin selama 8 – 10 jam (malam hingga pagi) dengan maksud menghilangkan getah/lendir pada daging buah, lalu dicuci sekali lagi dengan air kemudian dimasak/dikukus. Setelah masak irisan tersebut dimasukan ke dalam noken/kantung kemudian digiling/ ditumbuk dengan kayu untuk membentuk pati dan untuk mengurangi kadar air. Pati yang dihasilkan dimasukan ke dalam wadah kemudian dibersihkan dari sisa-sisa kulit buah dan serat-serat dengan cara mengaduk pati tersebut dengan kayu sehinggakulit-kulit buah dan serat-serat dapat menempel pada kayu. Pati yang dihasilkan kemudian dijemur menjadi tepung. Produk tepung Bruguiera

gymnorhiza (L) Lamk dapat dimanfaatkan dan diolah

sama seperti tepung terigu, tepung sagu dan yang lainnya.

PERKEMBANGAN PATI BRUGUIERA

GYMNORHIZA (L) LAMK SEBAGAI BAHAN

MAKANAN

Pati dari Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan tradisional yang memiliki fungsi yang sama seperti makanan tradisional lainnya seperti sagu. Namun pati Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk umumnya hanya diketahui oleh suku-suku tertentu saja dan belum ada penelitian-penelitian yang mengkaji nilai gizi dari jenis ini. Untuk itu dengan adanya informasi ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan gizi dari tepung Bruguiera

gymnorhiza (L) Lamk dalam upaya menanggulangi

krisis pangan. zz

* Dosen Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan

Universitas Negeri Papua Manokwari

(7)

8 8 8 8

8 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Fokus Lahan Basah

mangrove adalah bagian dari kehidupan sehari-harinya. Maklum saja, pekerjaan sebagai nelayan menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Mereka kurang terampil dalam mengolah lahan pertanian, sehingga di Muara Lanowulu jarang sekali ditemukan lahan-lahan pertanian. Selama bertahun-tahun setelah mereka membangun perkampungan muara, pekerjaan ini telah digeluti secara turun-menurun. Warga biasa memetik propagul bakau ketika sedang mencari ikan. Propagul ini lalu ditanam secara swadaya di tempat-tempat yang tutupan bakaunya sedikit. Warga nelayan ini berharap bakau-bakau kecil itu nantinya mengundang kehadiran ikan dan udang sehingga mudah ditangkap.

Dengan difasilitasi CARE International Indonesia, pada tahun 2002 warga muara bersepakat membentuk

lembaga untuk dijadikan sebagai wadah bertukar informasi dan menyatukan persepsi tentang kelestarian mangrove. Warga menjalin kolaborasi dengan Balai TNRAW sebagai satu bentuk upaya untuk mengamankan mangrove dari oknum tak bertanggung jawab. Dalam kolaborasi ini warga membuat kesepakatan dalam pemanfaatan mangrove pesisir dengan pihak Balai TNRAW sebagai pengelola kawasan. Mereka menamakan organisasi tersebut Lembaga Komunitas Masyarakat - Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (LKM-TNRAW). LKM berjuang keras untuk kembali melembagakan kearifan tradisional “togo” yang telah terbukti berhasil mengangkat nama kampung Muara Lanowulu sebagai penghasil terasi yang terpenting. LKM juga

melakukan patroli rutin Pengamanan Swakarsa (PAM SWAKARSA) di

perairan mangrove untuk memastikan Kearifan Tradisional Togo diterapkan oleh masyarakat nelayan muara. “Kami berharap upaya pengamanan dan rehabilitasi yang kami lakukan ini bisa mempertahankan kelestarian mangrove di Muara Lanowulu. Mudah-mudahan ikan dan udang muara bisa dinikmati hingga anak cucu kami…”, ungkap Pak

Madamang sambil tersenyum. Kini, Pak Madamang telah menjadi salah satu anggota LKM yang turut aktif memperjuangkan konservasi mangrove di Muara Lanowulu. zz

* Mess Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Jl. Bunga kana no.6 kelurahan watu-watu Kemaraya, Kodya Kendari (0401) 328138 Mobile: 081319298480 Email: dwiputro_s@yahoo.com ... Sambungan dari halaman 5

Kearifan Tradisional “Togo” di Muara Lanowulu ...

(8)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 99999

Berita Kegiatan

Berit

a Kegiat

an

W

I-IP bekerjasama dengan UNEP telah melakukan suatu program studi banding untuk kelompok masyarakat binaan di Aceh khususnya Desa Lham Ujong dan Pulot. Perwakilan dari masing-masing kelompok dikirim ke Pemalang untuk melihat secara langsung praktek kegiatan ekonomi yang menerapkan konsep silvofishery. Program ini disebut Twinning Program berupa program pengembaran antara kegiatan yang telah dilakukan oleh kelompok masyarakat di Pemalang, yaitu yang terlebih dahulu telah dibina oleh WI-IP sejak tahun 1998, dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh kelompok masyarakat binaan di Aceh untuk meningkatkan pendapatan ekonomi mereka pasca tsunami melalui mekanisme Small Grant. Kegiatan ini terdiri dari kegiatan pelatihan di Bogor dan Pemalang yang dilakukan selama 11 hari mulai dari tanggal 26 November hingga 6 Desember 2006, dan kegiatan praktek langsung dengan mendatangkan trainer ke Aceh selama 7 hari dari tanggal 22 hingga 28 Januari 2007. Tujuan diadakannya program kegiatan ini adalah untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat serta meningkatkan kelestarian lingkungan dengan cara mendorong dan memberdayakan kelompok masyarakat dan pihak-pihak lain agar menerapkan model silvofishery

(penanaman mangrove pada tambak) secara berkesinambungan di Aceh pasca tsunami. Output yang ingin dicapai dari program kegiatan ini selain kelompok masyarakat dapat meningkatkan pendapatan ekonomi mereka, juga berupa terbentuknya model percontohan

Program Studi Banding untuk kelompok

Masyarakat Binaan Aceh ke Pemalang

(Jawa Tengah)

Oleh:

Telly Kurniasari

Twinning Program

secara nyata yang mengkombinasikan penanaman mangrove dengan prinsip

aquaculture (model silvofishery) di daerah

pesisir yang terkena dampak tsunami. Pelatihan kegiatan ekonomi yang diberikan berupa (1) Pelatihan budidaya sayuran hidroponik; (2) Pelatihan budidaya lele dan teknik pemijahannya; (3) Pelatihan budidaya Ikan Nila; (4) Pelatihan silvofishery; (5) Pelatihan budidaya rumput laut; (6) Pelatihan pembuatan bandeng presto; (7) Pelatihan budidaya ikan/kepiting keramba; (8) Pelatihan budidaya melati di sekitar dan di dalam kolam/ tambak; (9) Pelatihan pembuatan kerupuk udang; (10) Pelatihan pembuatan terasi; (11) Pelatihan beternak itik dan puyuh; (12) Pelatihan pembuatan pupuk bokashi. Total peserta berjumlah 25 orang yang masing-masing merupakan wakil dari kelompok Makmu Besare dan Beu Udep dari Desa Pulot dan kelompok Lham Ujong-Selatan, Lham Ujong-Utara, Hidup Damai serta Bedoe Besare dari Desa Lham Ujong, Kabupaten Aceh Besar.

Kegiatan diawali dengan penandatanganan MoU antara kelompok masyarakat dengan Wetlands International - Indonesia Programme, dimana anggota kelompok masyarakat diminta untuk menerapkan Silvo-fishery (tambak tumpang sari) di lahan tambak anggota kelompok dan disisi lain mereka diberi modal kerja untuk menciptakan alternatif mata pencahariannya.

... bersambung ke halaman 14

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

(9)

10 10 10 10

10 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah 10

10 10 10

10 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

Berita Kegiatan

P

embentukan gambut di beberapa daerah pantai di Indonesia diperkirakan dimulai sejak jaman glacial akhir, sekitar 3.000 – 5.000 tahun yang lalu. Untuk gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu (Brady, 1997). Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan Lignin dan Nitrogen. Karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang dan akar besar. Berat jenis (bobot isi atau Bulk

Density-BD) gambut tropis

umumnya rendah (0,1 – 0,3 g/cm3)

dan sangat dipengaruhi oleh tahapan dalam proses dekomposisi dan kandungan mineral, serta porositas yang tinggi (70 – 95%). Lahan gambut tropis juga dicirikan oleh

rendahnya kandungan hara dan tingginya kemasaman. Pada umumnya perairan lahan gambut tropis memiliki pH asam (< 6). Hasil utama ekosistem hutan rawa gambut yang banyak dimanfaatkan masyarakat adalah kayu, seperti Gelam (Mellaleuca sp.) khususnya sebagai bahan bangunan ringan, kerangka pembuatan bangunan gedung dan bagan penangkap ikan. Selain itu, jenis-jenis komersial yang banyak diperdagangkan adalah Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea spp.) dan damar (Agathis dammara). Hasil tambahan lainnya adalah hasil non-kayu seperti getah Jelutung, tumbuhan obat, ikan dan buah-buahan.

Secara ekologis ekosistem hutan rawa gambut merupakan tempat pemijahan ikan yang ideal selain

Gambut dan Kandungan Karbon

*

Oleh:

Daniel Murdiyarso, dkk

menjadi habitat berbagai jenis satwa liar termasuk jenis-jenis endemik. Dengan kata lain, hutan rawa gambut merupakan sumber daya biologis penting yang dapat dimanfaatkan secara bijak dan dikonservasi untuk menjaga kelestariannya.

Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 – 0,9 m3/m3. Dengan

demikian lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Keberadaan air pada setiap musim sangat penting untuk menghambat oksidasi pirit (FeS2) dalam upaya untuk mengurangi kemasaman tanah dan keracunan tanaman. Sulfat yang terlarut juga akan berpengaruh di bagian hilir.

Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh tingginya akumulasi bahan organik dengan laju dekomposisi yang rendah. Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% diantaranya terdapat di Indonesia (Maltby & Immirizi, 1993). Karena itu lahan gambut di Indonesia yang tersebar di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi dan Papua, merupakan cadangan karbon terestris yang penting. Jika dilindungi pada kondisi alami, lahan gambut dapat meningkatkan kemampuannya

(10)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1111111111 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1111111111

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Berita Kegiatan

dalam menyerap karbon. Tetapi jika mengalami gangguan, lahan gambut berpotensi menjadi sumber

karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) yang cukup besar.

Akumulasi cadangan karbon tahunan di Indonesia diperkirakan berkisar antara 0,01 – 0,03 Gt C (1 Gt = 1 x 109 ton) atau 59 – 118 g C/m2/th

(Neuzil, 1997). Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi di lahan gambut sub-tropis atau boreal yang hanya berkisar antara 20 – 100 g C/m2/th.

Sementara itu laju penyerapan karbon melalui proses fotosintesis berkisar antara 8 – 80 g C/m2/th

(Harden et al., 1992).

Kegiatan penggunaan lahan, alih-guna lahan dan kehutanan (land-use,

land-use change and forestry –

LULUCF) adalah salah satu sumber (source) CO2 utama yang

menyebabkan perubahan iklim (IPCC, 2001). Kegiatan LULUCF di daerah tropis menyumbang lebih dari 25% total emisi CO2 tahunan yang selama dekade terakhir besarnya mencapai 8 Gt (IPCC, 2001). Sebagai cadangan karbon terestris yang besar, lahan gambut juga dapat menjadi sumber CO2 yang besar jika tidak dikelola secara benar. Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 – 525 Gt C atau 15 – 35% dari total karbon terestris. Sekitar 86% (455 Gt) dari karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m3, kandungan karbon 50%

dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt.

Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut di Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81 – 2,57 Gt (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut di sekitar Taman Nasional Berbak, Sumatera menunjukkan angka sebesar 7 juta ton karbon (Murdiyarso et al., 2002). Gangguan terhadap ekosistem lahan gambut akan mempengaruhi cadangan dan siklus karbon di alam. Gangguan tersebut dapat berupa konversi lahan setelah hutan gambut mengalami deforestrasi, kebakaran dan drainase yang meluas. Penebangan hutan di lahan gambut akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Pembukaan tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan komposisi hutan gambut.

Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (above-ground carbon

stocks) dan selanjutnya akan

mempengaruhi penyusutan

cadangan karbon bawah-permukaan (below-ground carbon stocks). Dampak drainase yang dilakukan terhadap lahan gambut yang tergenang akan menghanyutkan karbon terlarut sehingga mempengaruhi kesetimbangan karbon. Drainase yang berlanjut akan berpotensi menyebabkan

terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan asam sulfat beracun bagi tanaman sehingga

mempengaruhi produktifitas lahan. Drainase juga akan menyebabkan penurunan (subsidence) ketebalan lahan gambut dan selanjutnya mempengaruhi fungsi hidrologi lahan gambut. Fluktuasi tinggi muka air pada musim hujan dan musim kemarau akan meningkat karena kemampuannya dalam menampung air menurun. Disamping itu drainase juga akan memperbesar peluang intrusi air bergaram dari laut. Sementara itu mempertahankan cadangan karbon dan meningkatkan serapan karbon dapat dilakukan melalui kegiatan konservasi dan pengelolaan seperti pengayaan tanaman dan pengelolaan air. zz

(* Sumber: Buku Petunjuk Lapangan -Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut)

(11)

12 12 12 12

12 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah 12

12 12 12

12 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

T

erhitung sejak Tsunami 2004, setidaknya 20 LSM Lokal dan Internasional telah melakukan berbagai upaya rehabilitasi ekosistem dan peningkatan mata pencaharian masyarakat pesisir di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Namun bila melihat kenyataan di lapangan masih banyak lahan basah pesisir yang belum tersentuh program rehabilitasi maupun program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakatnya. Faktor yang menyebabkan kondisi diatas diantaranya adalah : (a) luasnya kerusakan ekosistem lahan basah pesisir baik yang diakibatkan oleh gempa/tsunami maupun akibat

aktivitas manusia sebelum Tsunami seperti pembukaan tambak,

penebangan mangrove dan konversi hutan mangrove menjadi

perumahan; (2) perubahan garis pantai yang menjorok ke darat mencapai ± 0,5 s/d 2 km di NAD; (3) serta hilangnya nafkah/mata pencaharian masyarakat. Untuk mengetahui sampai sejauh mana kegiatan rehabilitasi ekosistem, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir serta penataan ruang pesisir di NAD-Nias telah dilakukan, maka WI-IP dengan dukungan dana dari Danida telah melakukan suatu kajian/ inventarisasi data melalui Lokakarya

bertajuk “Perbaikan Penghidupan Masyarakat di Wilayah yang Terkena Dampak Tsunami melalui Rehabilitasi dan Pengelolaan Berkelanjutan Ekosistem Pesisir” di Aula Bappeda Prop NAD dari tanggal 18-19 April 2007. Lokakarya ini dihadiri sebanyak 67 peserta yang mewakili Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Bappeda dari 17 kabupaten Pesisir NAD dan 2 Kabupaten Nias disamping itu peserta juga berasal dari perwakilan BRR, Lembaga Donor (perwakilan Bank Dunia), LSM/NGO, CBO, dan perguruan tinggi.

Lokakarya dibagi menjadi tiga fokus utama pembahasan yaitu Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir, Pemberdayaan Ekonomi dan Kebijakan Tata Ruang Pesisir. Dari hasil diskusi kelompok pada masing-masing fokus pembahasan

teridentifikasi hal-hal sbb:

Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir

• Luas areal yang telah direhabilitasi dengan penanaman mangrove di propinsi NAD dan Nias saat ini diperkirakan mencapai luasan + 27.500 Ha dengan jumlah bibit + 29.500.000. Sedangkan untuk pantai berpasir, sekitar 28.900 Ha dengan penanaman 403.000 bibit tanaman pantai.

Lokakarya

Program Rehabilitasi Pesisir Partisipatif

dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Banda Aceh, 18 – 19 April 2007

Peserta lokakarya

(12)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1313131313 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1313131313

• Kegiatan rehabilitasi ekosistem pesisir yang hingga saat ini lebih banyak terfokus pada rehabilitasi mangrove dan hutan pantai, direkomendasikan agar kedepan mencakup beberapa type ekosistem pesisir lainnya seperti lahan gambut, rawa gambut, tambak, laguna, estuari dan terumbu karang.

• Kendala yang dihadapi dalam kegiatan rehabilitasi meliputi kendala teknis penanaman, administrasi, status lahan, maupun kebijakan.

• Masih rendahnya tingkat partisipasi/kesadaran masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi. Bentuk pelibatan masyarakat yang paling umum dalam kegiatan rehabilitasi adalah mekanisme “Cash for Work”, dimana masyarakat diposisikan sebagai pekerja lepas (misalnya buruh tanam, buruh angkut) sehingga masyarakat akan berhenti perannya setelah proyek penanaman selesai. Hal ini membuat masyakarat tidak memiliki ikatan emosional untuk memelihara bibit yang ditanam tersebut.

• Perlu adanya Tata Ruang Pesisir yang pasti dan jelas, peningkatan kapasitas pelaksana,

pemeliharaan dan monitoring terhadap tanaman rehabilitasi.

• Peningkatan koordinasi untuk menuju harmonisasi antar stake

holder dan tercapainya

keberhasilan rehabilitasi.

Pemberdayaan Ekonomi

• Sebaran kegiatan pemberdayaan ekonomi ternyata berfokus kepada wilayah pantai barat Aceh saja, sedikit sekali upaya di lakukan di wilayah Aceh Timur dan Nias.

• Upaya yang dilakukan oleh banyak pihak sebagian besar masih berfokus kepada upaya pengadaan kebutuhan pokok para pengungsi seperti rumah, sembako, perbaikan fasilitas publik (sekolah, MCK, TPI, Air Bersih), kesehatan (Puskesmas, klinik darurat, pelayanan

kesehatan)

• Kegiatan perbaikan penghidupan masih terfokus pada pemberian barang, masih sedikit yang menyediakan modal usaha

• Direkomendsaikan untuk mengkombinasian kegiatan rehabilitasi dan livelihood seperti tambak silvofishery, agroforestry, dan tumpang sari.

Kebijakan Tata Ruang Pesisir

• Kebijakan-kebijakan pendukung upaya rehabilitasi pesisir masih sangat kurang memadai terutama dalam penataan ruang dan

master plan rehabilitasi pesisir.

Dalam master plan rehabiltasi ekosistem pesisir Aceh, dinyatakan bahwa wilayah pantai sepanjang 500 meter ke arah darat harus dinyatakan sebagai kawasan sabuk hijau (Green

Belt) dan hal ini berlaku untuk

seluruh kawasan pantai di Aceh. Padahal fakta menyajikan bahwa hal tersebut tidak realistis bila diberlakukan di seluruh pantai di Aceh maupun Nias karena akan memiliki potensi konflik yang besar dan tidak sesuai dengan kondisi pemanfaatan lahan yang sebenarnya.

• Perencanaan tata ruang yang selama ini dilakukan masih bersifat Top-down, sehingga dalam pelaksanaanya di tingkat daerah sering mengalami konflik. Salah satu solusi yang dapat

dilakukan adalah dengan melakukan revisi tata ruang yang ada dengan mengambil input dari tata ruang desa. Apabila tata ruang desa belum ada, dapat dilakukan kegiatan penatagunaan lahan desa secara partisipatif dengan

melibatkan masyarakat, aparat desa, pemerintah Kecamatan/ Kabupaten dan NGO/LSM.

• Perlu disusun suatu rencana zonasi sabuk hijau yang detail sesuai dengan kondisi sebenarnya sesuai lokasi setempat dengan tetap mengacu kepada perundangan yang ada.

• Perlu dilakukan kegiatan penguatan kelembagaan baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah. Di tingkat masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan kelembagaan dan pengelolaan kelompok maupun pendampingan kelompok.

• Kebijakan-kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang ada perlu dikaji ulang agar sejalan dengan revisi tata ruang.

• Sebelum ditetapkan, kebijakan-kebijakan dan tata ruang pesisir harus disosialisasikan kepada publik. zz

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Berita Kegiatan

Penyerahan Draft Prosiding Lokakarya oleh Perwakilan Peserta Kepada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias

(13)

14 14 14 14

14 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah 14

14 14 14

14 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

Setelah penandatanganan MoU, peserta langsung mengikuti serangkaian program pelatihan yang dilaksanakan di Bogor dan Pemalang. Peserta diberikan berbagai materi pelatihan yang telah disebutkan diatas, lalu dilanjutkan dengan melihat secara langsung praktek kegiatan ekonomi yang di demonstrasikan oleh masing-masing pelatih. Selama kegiatan ini peserta telah dapat mengidentifikasi alternatif/pilihan kegiatan yang akan dilakukan di Aceh. Dari kedua belas macam pelatihan yang diberikan, kelompok memilih beberapa saja yang dianggap paling cocok dan paling mereka kuasai untuk diterapkan di daerah masing-masing, diantaranya : ‰ Kelompok Makmu Besare, Beu Udep dan Lham

Ujong-Utara memilih untuk berbudidaya Kepiting. Alasan mereka melakukan budidaya kepiting ini adalah selain karena tambak yang telah tersedia, juga karena hasil yang akan diperoleh cukup menjanjikan. Harga jual kepiting di Aceh cukup tinggi. Disisi lain, mereka telah memiliki pengalaman di bidang ini sebelum tsunami, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk kembali mengembangkannya. Kegiatan praktek langsung budidaya dilaksanakan pada Bulan Januari 2007. Kelompok didampingi trainer mempraktekan

langsung kegiatan budidaya ini mulai dari tahapan mencari benih/bibit kepiting yang baik hingga penaburan bibit di keramba dan pemberian pakan. Bibit kepiting yang baik memiliki kriteria sebagai berikut : (1) memiliki rangka yang lunak dan (2) jika bagian perut kepiting ditekan, tidak akan mengeluarkan telur. Dari hasil praktek langsung ini diperoleh beberapa pembelajaran diantaranya pencarian bibit kepiting sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan diusahakan didapat langsung dari pengumpul. Hindari membeli bibit dari pihak ketiga karena dikhawatirkan ketahanan bibit sudah lemah. Waktu yang diperlukan untuk mencari bibit kepiting juga harus diperhatikan karena dikhawatirkan jika terlalu lama dipasar, bibit akan lemah dan cepat mati. Bibit kepiting yang dijumpai di pasar Ikan Banda Aceh umumnya berjenis kepiting kuning, yang lebih dikenal dengan nama lokal kepiting isolasi atau lembayung, Scylla spp. Sebagai pengganti ikan rucah (ikan kecil), pakan yang diberikan berupa limbah ikan yang banyak tersedia di pasar dan dapat diperoleh secara gratis. Hal ini diharapkan akan menyelamatkan populasi ikan rucah di alam, karena semakin sering ikan rucah tersebut diambil dari alam semakin cenderung ikan tersebut akan punah. Setelah praktek langsung dengan bimbingan trainer, kelompok kemudian melanjutkan kegiatan budidaya sesuai dengan teknik yang telah diajarkan dan pada Bulan Maret 2007 kelompok telah berhasil memanen hasilnya dan menjual sebagian ke pasar Banda Aceh.

... Sambungan dari halaman 9

Twinning Program ...

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Berita Kegiatan

Praktek budidaya kepiting keramba

(14)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1515151515 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1515151515 ‰ Kelompok Lham Ujong-Selatan dan Bedoe

Besare memilih untuk berbudidaya Itik. Alasan mereka melakukan budidaya ini diantaranya karena pengalaman yang telah dimilki, hasil yang diperoleh mudah untuk dipasarkan, mudah untuk memeliharanya dan pakan alami banyak tersedia di sekitar desa. Hasil berupa telur itik cukup diminati dipasaran, begitu juga dengan dagingnya. Selain itu, budidaya itik ini banyak melibatkan kaum ibu/wanita sehingga beban kerja terhadap laki-laki dapat dikurangi dan mereka dapat melakukan kegiatan lain sebagai tambahan pendapatan. Pada awal kegiatan, kelompok didampingi trainer mencari bibit itik dan membeli pakan. Kandang terlebih dahulu telah dibuat oleh kelompok sebelum praktek kegiatan dimulai. Pada Bulan Maret 2007 telah ada beberapa itik yang bertelur dan hasilnya sebagian telah dapat dinikmati oleh anggota kelompok dan sebagian lagi telah dijual ke pasar.

‰ Kelompok Hidup Damai memilih untuk berbudidaya Ikan Mujair/Nila. Alasan utama mereka memilih kegiatan ini karena teknik budidayanya yang cukup sederhana dan Ikan Mujair/Nila memilki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit. Selain itu Ikan Mujair juga memiliki toleransi terhadap variasi salinitas air yang luas, sehingga dinilai sesuai dengan kondisi kolam-kolam ikan di pesisir Aceh bagian Barat yang sering kesulitan air tawar dalam jumlah yang besar terutama di musim kemarau. Bibit ikan mujair diperoleh dari rawa-rawa di sekitar tambak yang telah disiapkan oleh kelompok. Bibit yang telah diperoleh tidak lantas di tabur di kolam, melainkan di tampung sementara dalam jaring yang terbuat dari marlin. Hal ini agar benih ikan mengalamai penyesuaian terlebih dahulu dari suasana rawa ke kolam. Biasanya bibit dari alam akan memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap pakan buatan. Hal ini terbukti pada saat pertama kali benih diberi pakan buatan, tidak disentuh sama sekali karena mereka masih terbiasa dengan pakan alami di habitat aslinya berupa plankton. zz

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Berita Kegiatan

Praktek budidaya Itik

(15)

16 16 16 16

16 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

Berit

a Kegiat

an

K

olaborasi selama kurang lebih dua tahun antara Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP) untuk mengelola hibah kecil dan rehabilitasi ekosistem serta kajian kebijakan yang dikelola oleh WWF Indonesia melalui kegiatan Green Coast telah membuahkan hasil yang positif tidak hanya 638 ha ekosistem pesisir telah direhabilitasi dengan penanaman 1.191.600 mangrove dan tanaman pantai dengan tingkat survival rate mencapai 68% melainkan juga adanya jalinan kerjasama yang erat dengan 51 LSM lokal Aceh-Nias.

Selain tingginya kebutuhan dana untuk mendukung rehabilitasi ekosistem dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Aceh-Nias bila dibandingkan empat negara lain dimana kegiatan Green Coast dilaksanakan (India, Malaysia, Srilanka, dan Thailand), maka keberhasilan yang telah dicapai pada Green Coast phase 1 di Indonesia juga menjadi bahan pertimbangan penting bagi OXFAM Novib untuk melanjutkan kegiatannya di Aceh dan Nias.

Sedikit berbeda dengan Green Coast phase 1 dimana komponen Green Coast hanya terdiri dari : (1) Survey Kondisi ekosistem pesisir Pasca Tsunami; (2) Rehabilitasi ekosistem pesisir yang dikombinasikan dengan pemberdayaan ekonomi; dan (3) Analisi kebijakan. Maka kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan di Green Coast phase dua lebih beragam. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah: 1. Pemberdayaan ekonomi yang dikombinasikan

dengan Rehabilitasi Ekosistem pesisir. 2. Penentuan lokasi kegiatan tidak hanya pada

lahan basah pesisir yang terkena dampak Tsunami saja tapi pada ekosistem lahan basah pesisir yang terancam keberadaaannya baik yang disebabkan bencana alam, perubahan alam atau aktivitas manusia.

3. Melakukan kajian-kajian terhadap faktor-faktor keberhasilan/kegagalan kegiatan rehabilitasi pada tahap GC-1 untuk selanjutnya hasil kajian akan dituangkan ke dalam suatu dokumen “hasil pembelajaran”/Lesson Learned yang akan disebarluaskan ke berbagai pelaksana maupun pengambil kebijakan di bidang rehabilitasi.

4. Identifikasi beberapa lokasi lahan basah penting sebagai kawasan lindung. 5. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan kampanye

kepedulian Lingkungan.

6. Pembuatan jaringan komunikasi dengan LSM Lingkungan Aceh-Nias.

7. Pemberian masukan-masukan teknis untuk proses rekonstruksi yang akan bersinggungan langsung dengan ekosistem lahan basah pesisir dan memberikan alternatif pembangunan yang ramah lingkungan. 8. Memberikan masukan-masukan teknis dalam

pembuatan/ proses AMDAL bagi rencana rekonstruksi.

9. Membuat dan menyeminarkan dokumen Hasil Pembelajaran Rehabilitasi Ekosistem Pesisir. 10. Membangun dialog kebijakan dengan BRR

dan pelaku utama program rekonstruksi seperti ADB dan Bank Dunia

11. Mendukung kemitraan inter-sektoral dan memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan peran masyarakat dalam merencanakan pembangunan.

Selain kegitan yang lebih beragam, komposisi Tim Penasihat di Green Coast ditambah dengan memperbanyak pelibatan perwakilan para pemangku kepentingan terkait, yaitu terdiri dari: Ismiyati Aziz, MS. Staf Pengajar Fakultas Dakwah, IAIN Ar Raniry, Banda Aceh; (2) Miftahuddin Cut Ade, MSi Sekretaris Panglima Laot Provinsi, Banda Aceh; (3) Ir. Munthi Syurga dan Ir. Sahyadi. Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Provinsi NAD, Banda Aceh; (4) Ir. Saodah Lubis, Direktorat Lingkungan dan Konservasi, BRR, Banda Aceh; (5) Rosdiana ST Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi NAD, Banda Aceh; (6) Zulkarnain Haiyar Spi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD; (7) Anas Mahmudi Dinas Kehutanan Provinsi NAD. zz

Menyambut Green Coast Phase 2

Berita Kegiatan

16 16 16 16

(16)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1717171717

J

ika pembaca memiliki kesempatan mengunjungi kawasan sungai Aek Batang Gadis yang mengalir di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) atau Aek Batang Toru yang melewati Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), maka anda akan banyak menjumpai kawasan lubuk larangan, terutama pada daerah yang belum banyak dipengaruhi oleh budaya luar/pendatang. Kedua sungai tersebut memiliki hulu di kaki

pegunungan bukit barisan bagian barat, lalu bermuara di pantai barat

Sumatera. Sebelum pemekaran daerah marak pasca reformasi, kedua daerah aliran sungai (DAS) tersebut termasuk wilayah Kabupaten Tapsel. Sejak tahun 2005, sebagian kawasan di daerah aliran sungai (DAS) Aek Batang Gadis telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan inisiasi awal dari masyarakat lokal kemudian disambut baik oleh PemKab setempat dan Pemerintahan Pusat. Saat ini, banyak daerah yang dicalonkan untuk menjadi kawasan konservasi, baik di Kab. Tapsel, maupun di Kab. Madina. Banyak pejuang dan tokoh yang lahir dan berasal dari daerah tersebut, antara lain mantan wakil presiden Adam Malik (beliau jarang menggunakan marga Batubara di belakang namanya), Jendaral Besar AH Nasution, mantan Rektor IPB Prof Andi Hakim Nasution dan banyak lagi yang lainnya. Masyarakat asli

penghuni kedua DAS tersebut didominasi oleh suku Mandailing, namun pada beberapa tahun terakhir banyak masuk pendatang dari suku Nias dengan membuka lahan untuk kebun karet, baik pada hutan primer maupun hutan sekunder bekas tebangan perusahaan kayu (HPH), dimana saat ini operasional perusahaan kayu tersebut telah banyak yang tutup. Pada awal tahun 2007, penulis mendapat kesempatan mengunjungi DAS Aek Batang Gadis, terutama kawasan antara Kota Nopan dan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal

untuk mengetahui kondisi dan potensi hutan di kawasan tersebut. Dalam kunjungan tersebut, tepatnya di Desa Tamiang, Kecamatan Kota Nopan yang juga dilalui jalan negara lintas tengah Sumatera dari kota Bukittinggi (Sumbar) menuju Kota

Panyambungan (Madina, Sumut), penulis melihat papan pengumuman tentang lubuk larangan, yang antara lain berbunyi : LUBUK LARANGAN DESA TAMIANG. DITUTUP TANGGAL 4 SYAWAL, DIBUKA TANGGAL 2 SYAWAL (Dalam Perencanaan). SK No. xxx. Izin No. xxx. Sanksi ... dst. (Gambar 1).

Lubuk Larangan:

Melestarikan Sumberdaya Perikanan Sungai

dan Mendukung Produksi Pertanian

Oleh:

ONRIZAL*

Berita dari lapang

Gambar 1. Penulis berfoto di dekat papan pengumuman Lubuk Larangan Desa Tamiang.

Penetapan kawasan lubuk larangan ditetapkan berdasarkan SK Desa yang mengatur kapan lubuk tersebut ditutup dan kapan dibuka, serta sanksi bagi yang melanggar. Khusus di Desa Tamiang, sanksi bagi yang mengambil ikan di waktu lubuk larangan ditutup adalah Rp. 1.000.000,-/orang. Sampai foto tersebut diambil (30 Januari 2007) belum ada yang melanggar ketentuan tersebut. (Foto oleh Bpk Nurdin Sulistiyono, M.Si) ... bersambung ke halaman 24

(17)

18 18 18 18

18 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

I

nvasi jenis merupakan dampak dari pengembangan jenis (tumbuhan/hewan) eksotik. Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, invasi jenis dikategorikan merugikan. Hal ini disebabkan jenis (tumbuhan/ hewan) asli atau endemik kalah berkembang dan bisa jadi akan mengalami kepunahan.

Invasi jenis terjadi di banyak negara. Pada tahun 1877, Akasia gila (Prosopis juliflora) diperkenalkan ke Gujarat dan Rajasthan (India) untuk mengurangi perluasan padang pasir. Namun, tumbuhan ini merajalela dan hampir seabad kemudian justru mengurangi padang rumput yang menjadi habitat beberapa satwa langka berkembang biak dan mencari makan (Tiwari, 1999). Pada tahun 1969, Acacia nilotica yang konon berasal dari India ditanam sebagai sekat bakar di Savana Bekol, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Tumbuhan ini kemudian berkembang tak terkendali dan menutupi ruang tumbuh rumput dan spesies tumbuhan asli lainnya yang menjadi pakan banteng, satwa langka yang dilestarikan di taman nasional ini (Arief, 1992). Sampai saat ini pengelola taman nasional belum mampu mengatasi invasi A.

nilotica. Pada tahun 1957, ilmuwan

mengintroduksi satu spesies lebah afrika ke Brazil. Lebah ini kemudian

menyebar ke beberapa negara di Amerika Selatan dan berubah menjadi lebah pembunuh. Lebah ini memakan makanan utama spesies lebah asli dan sangat garang terhadap hewan lain.

Invasi jenis terjadi juga di Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut (SMPTL), salah satu dari tujuh kawasan konservasi di Kalimantan Selatan. Di SMPTL yang sekitar tiga per empat luasnya merupakan lahan basah (Dishut Tala dan LPM Unlam, 2006), Akasia daun lebar (Acacia

mangium) mampu tumbuh dan

berkembang di sela-sela hutan rawa yang didominasi Galam (Melaleuca

cajuputi) (Gambar 1).

Akasia daun lebar merupakan tumbuhan asli daerah Indonesia timur (Seram, Kepulauan Aru, Irian Jaya Barat) atau Australia

(Queensland). Tumbuhan ini memang dikenal cepat tumbuh. Pada dasawarsa 1980-an akasia direkomendasikan ditanam di hutan bekas tebangan atau hutan tidak produktif untuk memprakondisikan lingkungan, sehingga pada tahun-tahun berikutnya dapat menjadi penaung bagi tumbuhan jenis lain. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah akasia tumbuh, tidak banyak jenis tumbuhan lain yang mampu tumbuh dengan baik di bawah tegakan akasia.

Di areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT Inhutani III, akasia sengaja ditanam untuk bahan baku industri kertas. Akasia yang ditanam pada awal dasawarsa 1990-an tenyata kemudian berkembang dan tumbuh di kawasan SMPTL yang terletak di selatan areal HPHTI. Jenis ini tumbuh tidak hanya di sepanjang batas areal HPHTI dengan kawasan SMPTL, tetapi masuk sampai sejauh 2 km ke dalam kawasan. Karena lebar kawasan SMPTL 2-3 km, akasia ini dapat dikatakan tumbuh di lokasi yang dekat dengan pantai (pematang tambak atau di jalan tanah menuju tambak). Dengan menginvasi hutan rawa galam hingga ke dekat pantai di SMPTL, akasia daun lebar sebetulnya telah menunjukkan sifat aslinya. Menurut Sindusuwarno dan Utomo (1981), di habitat asalnya (Queensland) jenis tumbuhan ini ditemukan di hutan mangrove,

Melaleuca, dan riparian.

Tiga dari banyak mekanisme invasi akasia ke SMPTL adalah sebagai berikut. Pertama, biji akasia terbawa alat angkutan (dalam hal ini misalnya menempel di ban sepeda motor, truk) yang dipergunakan masyarakat untuk keluar masuk pertambakan. Lokasi yang dilewati oleh masyarakat

Invasi Acacia mangium

ke Hutan Galam Suaka Margasatwa Pelaihari

Tanah Laut

Oleh:

Suyanto1 dan Mochamad Arief Soendjoto2

(18)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 1919191919

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Desa Kandangan Lama (Kabupaten Tanah Laut) sebelum memasuki pertambakan adalah areal HPHTI. Kedua, biji terbawa aliran air dari areal HPHTI ke arah laut. Ketiga, biji akasia bersemai dan tumbuh dengan cepat setelah kebakaran merambah hutan galam. Galam memang merupakan salah satu jenis tumbuhan tahan api. Sekitar dua bulan setelah lokasi tumbuhnya terbakar, apalagi bila digenangi air, biji galam dapat bersemai dengan cepat. Namun, apabila lokasi kebakaran ini tidak segera digenangi air, bukan hal yang tidak mungkin, biji galam lambat bersemai. Dengan kalimat lain, pada lokasi yang tidak digenangi ini, biji akasia justru lebih cepat bersemai daripada biji galam. Kebakaran galam di SMPTL dapat dikatakan terjadi setiap tahun. Kejadian ini muncul sebagai akibat langsung pembakaran di dalam SMPTL atau tidak langsung dari pembakaran di luar SMPTL. Pembakaran di dalam SMPTL dilakukan, ketika masyarakat

memanfaatkan areal SMPTL (terutama di sekitar Sungai Sanipah yang termasuk dalam Desa Kandangan Lama) sebagai padang penggembalaan sapi. Tujuan pembakaran adalah untuk menghijaukan (meregenerasi) rerumputan yang kering selama musim kemarau. Pembakaran di luar SMPTL merupakan upaya masyarakat untuk membersihkan lahan dari potongan-potongan kayu, sehingga pada gilirannya lahan mudah ditanami tanaman pangan, seperti padi atau jagung. Areal di luar SMPTL ini dapat berupa areal HPHTI (yang dianggap oleh masyarakat sebagai lahan sengketa) atau areal yang sudah lama dikuasai oleh masyarakat. zz

DAFTAR PUSTAKA

Arief, H. 1992. Pengaruh pembakaran terhadap kualitas dan kuantitas Savana Bekol di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Media

Konservasi 4(1):23-30.

Dishut Tala dan LPM Unlam. 2006.

Laporan Hasil Penelitian Kawasan Suaka Margasatwa Kabupaten Tanah Laut Tahun Anggaran 2006 (Kajian Kondisi Aktual Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut). Dinas Kehutanan Kabupaten

Tanah Laut dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Sindusuwarno, R. dan D.I. Utomo. 1981. Acacia mangium, jenis pohon yang belum banyak dikenal. Duta

Rimba 7(48):2-4.

Tiwari, J.W.K. 1999. Exotic weed

Prosopis juliflora in Gujarat and

Rajasthan, India – boon or bane?

Tigerpaper 26(3):21-25.

1 Dosen Program Studi Manajemen Hutan,

Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat

2 Guru Besar Konservasi Flora Fauna,

Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat Gambar 1. Acacia mangium tumbuh di sela-sela hutan rawa galam Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut

(19)

20 20 20 20

20 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

Berita dari Lapang

Kearifan Tradisional

Selamatkan Tumbuhan Obat Kali Surabaya

Oleh:

Amirudin Mutaqien*

K

eberadaan Tumbuhan obat di bantaran kali Surabaya, terselamatkan oleh kearifan masyarakat setempat yang masih menggunakan dan memelihara

tumbuhan-tumbuhan obat yang terancam oleh pengalihan lahan. Sebagian kecil masyarakat yang tinggal di pinggir kali ini masih memegang erat tradisi leluhur untuk memanfaatkan daun encok, daun tapak liman, daun bandotan, meniran, pecut kuda untuk mengobati penyakit yang mereka derita.

Sejak awal tahun 1990 bantaran kali Surabaya yang awalnya berfungsi sebagai daerah resapan air, telah beralih fungsi menjadi lahan terbangun. Yang menjadi kekhawatiran Ecoton adalah masih belum tergalinya potensi alam seperti tumbuhan-tumbuhan obat dibantaran kali yang membentang sepanjang hampir 55 km tersebut. Dari eksplorasi awal yang dilakukan Ririn Triwulandari, Ssi (Staf peneliti Ecoton, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan basah-1998-1999) teridentifikasi 70 jenis tumbuhan berkhasiat obat. Untuk menindaklanjuti temuan itu, tim Ecoton dibantu oleh seorang pemerhati tumbuhan obat (penggerak, penyuluh Jawa timur) Bapak Bambang Saryanto dan Kasimin (Juara I Lomba TOGA Tingkat nasional 1998), telah melakukan identifikasi kearifan masyarakat bantaran terhadap pemanfaatan tumbuhan-tumbuhan obat. Ternyata masyarakat secara turun temurun telah memanfaatkan tumbuhan obat yang ada disana.

Identifikasi kearifan ini dilakukan Ecoton bekerjasama dengan Yayasan KEHATI dalam Rangka UPAYA PEMASYARAKATAN TUMBUHAN OBAT KALI SURABAYA 2000-2001 di 10 Desa di Sepanjang bantaran kali Surabaya. Untuk mendukung upaya ini Ecoton telah memproduksi 1000 eksemplar buku tumbuhan Obat. Berikut ini daftar Isi Tumbuhan obat yang telah umum dimanfaatkan oleh Masyarakat Bantaran Kali Surabaya 1. Anting-anting Acalypha indica Anting-anting atau juga biasa disebut kucing-kucingan, lelatang merupakan gulma yang sering dijumpai di bantaran Kali Surabaya, menempel di tepian got, dan sangat umum

ditemukan liar dipinggir jalan.

Dalam beberapa penelitian akar Anting-anting dapat memperbaiki fungsi ginjal pada kucing.

Sifat dan Khasiat

Rasanya pahit, sifatnya menyejukkan (astrigen). Berkhasiat untuk mengobati penyakit rematik (Gout), radang pada leher rahim, susah buang air besar (Sembelit), luka berdarah, koreng, radang kulit, dan berak darah.

2. Tapak Liman Elephantopus scaber

Tapak liman merupakan tanaman liar tegalan, lerengan andil bantaran kali, tumbuhnya seperti menempel pada

tanah. Daun hijau tua agak kasar, permukaannya berbulu halus. Panjang daun tidak kurang dari 25 cm, tepinya bergerigi. Bunga berwarna unggu.

Sifat dan Khasiat

Rasanya pahit, pedas, sejuk. Tapak Liman mengandung stigmaterol yang membentuk hormon progesteron, memacu gairah pria, melancarkan peredaran darah, mencegah kehamilan, melancarkan air seni Lupeol, Isodeoxyelephantopin, 11, 13 Dihydrodeoxoxyelephantopin, asam amino senyawa sesquiterpenoid hasil reduksi deoxyelephantopin merupakan senyawa antitumor, peradangan akibat bakteri, antibiotik terhadap staphylococ-cus penyebab keputihan.

3. Bandotan Ageratum conyzoides Tumbuh liar dibibir sungai, tegalan dan halaman rumah, tersebar luas dari Bambe sampai Lebani Waras. Apabila daunnya di remas perlahan akan menimbulkan bau lebus seperti wedus. Tingginya antara 30-90 cm, bercabang, batang berambut kasar, daun hijau tua dan kasap bila diraba permukaannya, bunga putih. Bagian yang digunakan untuk obat adalah herba (bagian diatas tanah) dan akar, dalam kondisi segar atau yang telah di keringkan.

Sifat dan Khasiat

Herba ini rasanya sedikit pahit, pedas, dan sifatnya netral. Bandotan

berkhasiat stimulan, tonik, peredah demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan,

(20)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 2121212121

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Berita dari Lapang

menghentikan pendarahan

(hemostatis), peluruh haid (emenagog), tonik, peluruh kencing (diuretik), dan peluruh kentut (Karminatif).

4. Alang-alang Imperata cylindrical Tersebar di sepanjang Bantaran Kali Surabaya mengisi semak-semak diantara pohon pisang, dan lahan tegalan.

Sifat dan Khasiat

Alang-alang rasanya manis, sejuk, dapat menurunkan panas (antipiretik), peluruh kemih (Diuretik), menghentikan pendarahan (Hemostatik),

menghilangkan haus, Masuk meriden paru-paru, lambung dan usus kecil. Bagian yang dipakai Rimpang (akar), daun dan bunga.

5. Meniran Phyllanthus urinaria Tumbuh liar di tegalan, bantaran kali dan semak diantara pohon-pohon pisang. Banyak dijumpai di bantaran Kali Dusun Sarirejo, Ngambar dan Wates. Daunnya kecil-kecil dan bentuknya lonjong, terdapat butiran hijau ditangkai daunnya. Tingginya kurang dari setengah meter.

Sifat dan Khasiat

Banyak mengandung Kalium dan zat filantik yang berkhasiat menghancurkan batu ginjal dan melancarkan air seni. Meniran dapat mengobati susah kencing disertai sakit perut/pinggang, nyeri buang air kecil, hepatitis,

rheumatik, batu ginjal, koreng, sakit Gigi, dan dapat menurunkan Berat Badan.

6. Patikan Kebo Euporbhia hirta Tumbuhan semak-semak ini banyak dijumpai disela rerumputan, bebatuan, tempat terbuka, dapat tegak memanjat, tinggi mencapai 50 cm (dibantaran Kali Surabaya umum dijumpai dengan

tinggi tak kurang dari 30 cm), batang berambut,warna batang merah kecoklatan, daun lonjong meruncing dengan tepi bergerigi, Bancar mengeluarkan getah putih bila batangnya dicuwil.

Sifat dan Khasiat

Rasa agak pahit dan asam, sejuk, sedikit toksik (beracun), anti inflamasi, peluruh air seni, menghilangkan gatal (antipruritik).

7. Ceguk Quisqualis indica Jarang ditemukan dalam keadaan berbunga karena umumnya orang menganggap Ceguk tak berguna. banyak ditemukan ditanggul-tanggul bertanah padat dan barongan bambu.

Sifat dan Khasiat

Tumbuhan yang batangnya bisa merambat ini bersifat manis, hangat, beracun mengandung pontassium guisgualata yang mampu masuk meridian limpa dan lambung, pembunuh cacing, membantu pencernaan dan memperkuat limpa.

8. Biduri Calotropis gigantea Biduri banyak ditemukan didaerah kering Seperti wilayah Driyorejo, mudah dijumpai di tepi jalan, pada tanah keras/paras seperti Desa Mulung. Di Bantaran Kali Surabaya mudah dijumpai di wilayah bantaran yang berdekatan dengan Jalan Raya Seperti dusun Gading, Wates, dan Krikilan. Daunnya lebar berbentuk bulat telur permukaan atas dilapisi rambut putih rapat (bila diusap akan terasa seperti gumpalan tepung).

Sifat dan Khasiat

Daun berkhasiat sebagai peluruh keringat, perangsang muntah, dan peluruh kencing serta menghilangkan gatal. Bunga berkhasiat tonik, dan menambah nafsu makan. Getah beracun dan dapat menyebabkan

muntah. Bila sebagian tumbuhan dilukai akan mengeluarkan getah putih encer, rasanya pahit lama kelamaan terasa manis. Untuk borok atau luka, giling daun kering sampai halus taburkan serbuknya kebagian yang luka.

9. Pecut Kuda Stachytarpheta jamaicensis

Ciri khas: adanya tangkai bulir yang memanjang dari ujung tangkainya seperti pecut. Bunganya kecil berwarna ungu pada bagian tangkai, daun bergerigi.Tinggi bisa mencapai 2 meter. Dibantaran Kali Surabaya banyak dijumpai didesa Lebani Waras.

Sifat dan Khasiat

Rasa pahit, sifatnya dingin. Berkhasiat sebagai pembersih darah, anti radang, dan peluruh kencing.

10. Beluntas Pluchea indica Tanaman perdu yang sering tumbuh liar, biasa dipakai sebagai pagar tanaman dan dimanfaatkan sebagai laukpauk/lalapan (Kulupan) ini tak asing bagi masyarakat bantaran Kali

Surabaya, tingginya bisa mencapai 1-2 m. Daunnya bertangkai pendek, letaknya berseling, pinggirnya bergerigi, dan warnanya hijau terang.

Mendinginkan sehingga banyak keringat yang keluar dan suhu tubuh menjadi turun. Selain itu juga bisa dimanfaatkan untuk menambah nafsu makan pada anak.

11. Putri malu Mimosa pudica Semak berduri ini memiliki sifat manis, agak dingin, penenang, peluruh dahak, anti batuk, penurun panas anti radang, peluruh air seni. tumbuhan yang daunnya menutup bila disentuh. Banyak dijumpai di bibir tanggul Stren Kali Surabaya.

(21)

22 22 22 22

22 zzzzzzzzzzzzzzz Warta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan BasahWarta Konservasi Lahan Basah

D

esa Sumbung yang terletak di wilayah Kecamatan Cepogo berjarak 12 kilometer dari kantor ibukota

Kabupaten Boyolali merupakan salah satu desa yang paling subur dari sekitar 12 desa yang berada di lereng gunung Merapi sampai Merbabu, selain itu Desa Sumbung merupakan salah satu desa yang mempunyai sumber mata air yang umumnya keluar di sepanjang dasar sungai Sooka (daerah tangkapan air). Sampai saat ini terdapat 5 desa di bawahnya yang memanfaatkan sumber mata air tersebut dengan system gravitasi. Yayasan Pengembangan Akhlaq Mulia (YPAM) yang aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, melalui kerjasama dengan Mercy Corps dan Australian Embassy, telah

melakukan pendampingan bagi masyarakat sekitar yang memanfaatkan air dari Desa

Sumbung sejak tahun 2000 yang lalu. Pada saat ini YPAM bekerjasama dengan PT. Aqua Tirta Investama Pabrik Klaten dengan dasar perjanjian kerjasama nomor: 03/PK/TIV/KLT/XII/ 2006 tertanggal 13 Desember 2006: tentang kerjasama Pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk melaksanakan program Corporate

Social Responsibilty (CSR) selama 3

tahun. Untuk itu dipilihlah Desa Sumbung yang berjarak sekitar 25 kilometer dari produksi PT Aqua. Adapun kegiatan CSR ini dititikberatkan

pada pendampingan kelompok masyarakat dengan fokus penanaman tanaman Mahoni dan Suren. Namun dari kegiatan ini, tanaman mahoni agaknya memiliki potensi kematian yang diakibatkan oleh adanya tupai. Satwa ini suka sekali menguliti kulit ranting pohon mahoni yang pada akhirnya pohon tersebut mati, selain itu faktor cuaca juga sangat menentukan kelangsungan hidup atau pertumbuhan mahoni.

PENDAMPINGAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Kelompok masyarakat dampingan YPAM di Desa Sumbung adalah kelompok tani Srirejeki. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, mereka dilibatkan mulai dari perencanaan melalui teknis pelaksanaan yang menitikberatkan pada musim dan tingkat kesehatan benih pohon mahoni dan suren. Setelah mendapat benih dari kelompoknya, para anggota kelompok akan melakukan proses tanam secara sukarela (tanpa mendapat ongkos tanam). Untuk perawatan, dilakukan pemupukan dengan jenis pupuk organik yang bahannya dikirim oleh PT. Aqua. Untuk memantau perkembangan pertumbuhan tanaman, kelompok dilibatkan/diajak langsung.

Luas cakupan lahan untuk penanaman diperkirakan mencapai 40 hektar, yang sebagian besar berada di sepanjang

sungai Sooka dimana masyarakat banyak tinggal di daerah tersebut. Sampai saat ini sudah tertanam sebanyak 15.000 batang pohon mahoni dan suren.

Kegiatan penghijauan di Desa Sumbung ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat, dengan bekal pengarahan teknis dari Dipertanhutbun Cepogo Boyolali, kegiatan penanaman dan perawatan pohon mahoni dan suren dilakukan dengan antusias dan penuh keyakinan agar sumber air di wilayah mereka tetap terjaga. zz

Penanaman 15.000 Pohon Mahoni dan Suren

Sebagai Perlindungan Catchment Area

Oleh:

Puji Hartono*

* YPAM Boyolali Tel. 0276 3293385 E-mail: diyaheko@yahoo.com

(22)

Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007 Vol 15 no. 2, Juli 2007

Vol 15 no. 2, Juli 2007 zzzzzzzzzzzzzzz 2323232323

T

idak banyak orang yang tahu—apalagi merayakan— World Migratory Bird Day (WMBD) atau Hari Burung

Bermigrasi Sedunia yang tahun 2007 ini diperingati pada tanggal 12-13 Mei lalu. Meski tidak semeriah peringatan hari besar lingkungan yang lain, namun peringatan WMBD juga mempunyai misi dan tujuan yang tidak kalah penting. Dalam penyampaian lewat situs resminya (www.worldmigratorybirdday.org), dikatakan bahwa WMBD merupakan sebuah prakarsa global yang dipersembahkan guna merayakan keindahan burung-burung yang bermigrasi dan untuk

mempromosikan upaya konservasinya di seluruh dunia. Tema utama perayaan WMBD untuk tahun ini adalah “Burung Migran Dalam Perubahan Iklim” yang diselaraskan sebagaimana tema besar perubahan iklim global yang diusung oleh UNEP dalam rangka memeringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2007 tanggal 5 Juni. Dalam rangka kegiatan monitoring burung pantai Indonesia (MoBuPI) dan sekaligus untuk merayakan WMBD tersebut, kami yang tergabung dalam kelompok studi burung BIONIC UNY mengunjungi P. Trisik, Kulon Progo, Yogyakarta, hari Minggu, 13 Mei lalu. Daerah ini memang telah cukup lama dikenal oleh para pengamat burung Jogja

sebagai lokasi terbaik untuk pengamatan burung, terutama bila ingin mengamati burung pantai migran, para penjelajah dunia yang berasal dari belahan bumi utara. Oleh karena pengamatan dilakukan dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari, kami pun terbagi menjadi dua kelompok sebagai penyesuaian. Kelompok pertama yang berangkat pada pagi hari telah melakukan pengamatan terlebih dahulu. Saya yang termasuk kelompok sore, bersama 7 kawan yang lain, baru mulai melakukan pengamatan pada sekitar pukul 15.30 WIB. Dengan berkendara sepeda motor kami harus menempuh perjalanan lebih

dari 40 km ke selatan, dari kampus menuju kawasan wisata P. Trisik. Meski telah lama menjadi daerah tujuan wisata, namun P. Trisik saat ini tidak terlalu ramai dikunjungi akibat terputusnya jembatan Srandakan beberapa tahun lalu. Jembatan Srandakan yang baru memang telah selesai dibangun dan telah dapat digunakan. Namun selain belum diresmikan, akses

transportasi umum yang menuju kawasan pantai belum berfungsi lagi seperti sedia kala sehingga hanya para pemancing dan masyarakat sekitar Kulon Progo saja yang kerap berkunjung.

Mengamati Para Penjelajah Dunia di P. Trisik:

Sebuah Perayaan di Hari Burung Bermigrasi

Sedunia Ala Pengamat Burung

Oleh:

Imam Taufiqurrahman*

Suasana saat pengamatan (Foto: Jarot)

... bersambung ke halaman 30

Gambar

Foto sampul muka:
Gambar 1.  Penulis berfoto di dekat papan pengumuman Lubuk Larangan Desa Tamiang.
Gambar 3. Jalan lintas tengah Sumatera yang melintasi Desa Tamiang dari kota Bukitinggi menuju Medan

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pada motor listrik harus dilakukan perawatan atau maintenance agar motor listrik dapat beroperasi dengan baik dan dapat mencegah kegagalan operasi

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara budaya organisasi terhadap kinerja indi- vidual dan kepuasan pelanggan serta peran employee engagement sebagai pemediasi

→ Menjawab pertanyaan tentang materi unsur kebahasaan dari ungkapan memberi dan meminta informasi terkait niat melakukan suatu tindakan/kegiatan yang terdapat pada buku

“Perbandingan Penggunaan Filter Single Tuned dan Second Order untuk Mereduksi Harmonisa pada Motor Induksi Satu Fasa yang dijalankan dengan Programmable Logic Control

Serta dari hasil eksperimen didapat juga nilai smoothness index yaitu 9,274 yang berarti kelancaran pada lintasan perakitan yang terbentuk cukup baik, karena jika semakin

Masjid ini diresmikan oleh Presiden Gaston Doumergue pada tanggal 15 Juli 1926Pada bulan September 1976, pemerintah mengeluarkan surat edaran melalui Sekretariat Negara Pekerja

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur peningkatan kemampuan pemahaman pada materi Model OSI dengan menerapkan Model Pembelajaran VAK pada multimedia pembelajaran

Pada penelitian ini, selain penentuan aktivitas selulase dari tanah menggunakan kedua metode tersebut di atas, juga dilakukan perbandingan penentuan aktivitas