KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKToRAT JENDERAL KELAUTAN, PEsIsIR DAN PULAU-PULAU KEcIL DIREKToRAT KoNsERvAsI KAwAsAN DAN JENIs IKAN
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Gedung Mina Bahari III Lt. 10, Jakarta 10110
Telp/Fax : (021) 3522045 © 2010
Pedoman UmUm Pemanfaatan Kawasan
KonseRVasI PeRaIRan
UntUK BUdIdaYa PeRIKanan
Kata Pengantar
Salah satu strategi yang dipilih untuk melakukan upaya konservasi SDI,
yaitu konservasi ekosistem, dengan upaya mencadangkan, menetapkan,
dan selanjutnya mengelola kawasan-kawasan konservasi perairan.
Konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan perlindungan habitat
dan populasi ikan; rehabilitasi habitat dan populasi ikan; penelitian dan
pengembangan; pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan;
pengembangan sosial ekonomi masyarakat; pengawasan dan
pengendalian; dan/atau monitoring dan evaluasi.
Dalam konteks pengelolaan bersama, suatu kawasan perairan yang
di dalamnya terdapat sumberdaya alam dan lingkungan fisik tidak dapat diproteksi untuk
kepentingan orang perorang atau kelompok tertentu. Berbagai kegiatan perikanan dan
budidaya serta kegiatan ekonomi lainnya di kawasan perairan jika tidak dikelola secara rasional
dan tidak terkendali akan menimbulkan dampak negatif terhadap kawasan tersebut, termasuk
terhadap kawasan sekitarnya.
Untuk kepentingan kegiatan budidaya, budidaya sebagai suatu kegiatan ekonomi tidak bisa
dipandang sebagai usaha nonproduktif karena budidaya saat ini menjadi industri yang dapat
dikembangkan sebagai salah satu alternatif mata pencaharian masyarakat yang ada di sekitar
kawasan konservasi dan dapat dikategorikan sebagai industri yang ramah lingkungan dan
memiliki manfaat rekreasi dan edukatif untuk pengelola, wisatawan, dan juga masyarakat di
sekitarnya. Oleh karena itu, peran masyarakat lokal di kawasan budidaya ini menjadi penting
dan sebagai pemain kunci dalam menyukseskan kegiatan budidaya.
Akhir kata, semoga Buku Pedoman Umum Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan
untuk Budidaya ini mampu menjadiacuan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam
pengelolaan dan pengembangan budidaya di kawasan konservasi perairan.
Jakarta, 2010
Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan,
Ir. Agus Dermawan, M.Si
Pedoman UmUm Pemanfaatan Kawasan
KonseRVasI PeRaIRan UntUK BUdIdaYa PeRIKanan
PENGARAH :
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
PENANGGUNG JAWAB : Drs. Riyanto Basuki, M.Si PENYUSUN :
Ir. Pingkan Roeroe, M.Si Ir. Ikram Sangaji, M.Si
Tjahyo Tri Hartono, S,Hut.,M.Si Drs. Kusnadi, MA
Dr. Ir. Etty Riani, MS Suraji, SP, M.Si Sri Rahayu, S.Pi, M.Si Yusra, S.Si, M.Si Leny Dwihastuty, S.Pi A. Darwis, S.Sos Muschan Ashari, S.Hut Ahmad Sofiullah, S.Pi DITERBITKAN OLEH :
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan ISBN 978-602-98450-0-6
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16
Gedung Mina Bahari III Lt. 10, Jakarta Pusat 10110 Telp/fax. (021) 3522045
www.kkp.go.id © 2010
Daftar isi
Kata PenGantaR ... 3 daftaR IsI ………...5 I. PendaHULUan ...7 1.1 Latar Belakang ... 7 1.2 Tujuan ... 7 1.3 Sasaran ... 7II. tInJaUan UmUm KKP ...9
2.1 Konservasi Sumberdaya Ikan ... 9
2.2 Kawasan Konservasi Perairan dan Sistem Pengelolaannya... ... 10
2.3 Kewenangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan... 12
2.4 Kegiatan Budidaya Ikan dalam Kawasan Konservasi Perairan ……….. ... 13
III. PRInsIP PemBUdIdaYaan IKan daLam Kawasan KonseRVasI PeRaIRan... 15
3.1. Prinsip ... 15
3.2. Daya dukung (kesesuaian fungsi kawasan, potensi kawasan) ... 15
3.3. Jenis ikan yang dibudidaya ... 16
3.4 Teknologi dan pakan ... 16
3.5 Jumlah unit usaha……….. ... 16
IV. PRosedUR dan tata CaRa PeRIZInan BUdIdaYa IKan daLam Kawasan KonseRVasI PeRaIRan ... 33
4.1. Kewenangan Perizinan ... 33
4.2. Tata Cara Memperoleh Izin ... 33
4.2.1 Persyaratan Izin ... 34
4.2.2 Prosedur Perizinan ... 34
4.3. Pengawasan dan Pengendalian ... ..………... 34
V. PenUtUP ... 39
daftaR PUstaKa ... 40
daftaR IstILaH ... 41
BaB i
PenDaHULUan
1.1. Latar Belakang
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan dalam upayanya mengelola Kawasan Konservasi Perairan
(KKP) terus mengembangkan pengelolaan yang dapat diterima masyarakat sekitar
kawasan agar tujuan melakukan konservasi dapat berjalan optimal.
Pengelolaan KKP di Indonesia dari sisi kualitas dan integritas, KKP tersebut masih
jauh dari layak, bahkan dari waktu ke waktu makin menurun. Terdapat beberapa
masalah yang mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan KKP. Salah satunya adalah
pola pemanfaatan sumberdaya hayati yang dilakukan selama ini, khususnya di zona
perikanan berkelanjutan dalam KKP.
Salah satu bentuk yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah dan tekanan
terhadap sumberdaya hayati tersebut adalah dengan mengintroduksi cara-cara
pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang ramah lingkungan. Oleh karena
itu, upaya-upaya untuk memfasilitasi sarana pemanfaatan biota perairan yang
berkelanjutan di suatu zona perikanan berkelanjutan dalam KKP merupakan suatu
keharusan. Dengan kata lain, pemanfaatan biota perairan ini harus diarahkan
kepada upaya-upaya pemanfaatan yang ramah lingkungan dalam melakukan
kegiatan budidaya perikanan di zona perikanan berkelanjutan KKP sebagai alternatif
pendapatan bagi masyarakat.
1.2. Tujuan
Tujuan disusunnya pedoman umum pemanfaatan kawasan konservasi perairan
melalui kegiatan pembudidayaan ikan adalah sebagai acuan bagi pemerintah,
pemerintah daerah, pengelola dan penyelenggara serta masyarakat dalam kegiatan
pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk pembudidayaan ikan
1.3. Sasaran
Sasaran yang menjadi capaian dari penyusunan pedoman umum pembudidayaan
ikan di kawasan konservasi perairan sebagai berikut :
1. Tersedianya acuan tentang kegiatan pembudidayaan ikan di zona perikanan
berkelanjutan dalam kawasan konservasi perairan;
2. Tersedianya tata cara memperoleh izin pembudidayaan ikan di zona perikanan
berkelanjutan dalam kawasan konservasi perairan.
BaB ii
tinJaUan UMUM
2.1. Konservasi Sumber Daya Ikan
Konservasi sumber daya alam hayati dan non-hayati merupakan bagian penting dari
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Hal tersebut telah
menjadi kebijakan pemerintah sejak tahun 1990, ditandai dengan ditetapkannya
Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pentingnya konservasi sumber daya ikan sebagai bagian dari upaya mewujudkan
pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan dipertegas dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 yang terakhir diubah menjadi UU No.45 tahun
2009 Tentang Perikanan. Dalam peraturan-perundangan tersebut diamanahkan kepada
pemerintah untuk melakukan konservasi sumber daya ikan (SDI). Mengacu pada
peraturan-perundangan yang terkait (Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan), konservasi SDI adalah upaya perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan SDI, termasuk ekosistem, jenis dan genetika untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
dan keanekaragaman SDI.
Agar tujuan yang dimaksud tercapai, maka konservasi SDI dilakukan berdasarkan azas (PP
No.60 tahun 2007 Pasal 2 ayat (1)):
a. Manfaat; pelaksanaan konservasi SDI dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan,
peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan peri kehidupan yang
berkesinambungan bagi warga negara, serta peningkatan kelestarian SDI.
b. Keadilan; pelaksanaan konservasi SDI memperhatikan aspek kebenaran, keseimbangan,
ketidakberpihakan, serta tidak sewenang-wenang.
c. Kemitraan; pelaksanaan konservasi SDI dilakukan berdasarkan kesepakatan kerja sama
antarpemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi SDI.
d. Pemerataan; pelaksanaan konservasi SDI dapat memberikan manfaat ekonomi yang
dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat secara merata.
e. Keterpaduan; pelaksanaan konservasi SDI dilakukan secara terpadu, bulat, dan utuh,
serta saling menunjang dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan
masyarakat setempat.
akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif.
g. Efisiensi; pelaksanaan konservasi SDI memperhatikan faktor efisiensi, baik dari segi
waktu, proses, maupun pembiayaannya.
h. Kelestarian yang berkelanjutan; pelaksanaan konservasi SDI memperhatikan daya
dukung dan kelestarian SDI dan lingkungannya.
Agar azas tersebut dapat dipegang dengan baik, maka konservasi SDI dilaksanakan
berdasarkan prinsip:
a. Pendekatan kehati-hatian;
b. Pertimbangan bukti ilmiah;
c. Pertimbangan kearifan lokal;
d. Pengelolaan berbasis masyarakat;
e. Keterpaduan pengembangan wilayah pesisir;
f. Pencegahan tangkap lebih;
g. Pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan pembudidayaan
ikan yang ramah lingkungan;
h. Pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat;
i. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan;
j. Perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis;
k. Perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan; dan
l. Pengelolaan adaptif.
2.2. Kawasan Konservasi Perairan dan Sistem Pengelolaannya
Salah satu strategi yang dipilih untuk dapat melakukan upaya konservasi sumber daya
ikan, yaitu konservasi ekosistem, adalah dengan upaya mencadangkan, menetapkan dan
selanjutnya mengelola kawasan-kawasan konservasi perairan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (8)
Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Kawasan
Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem untuk
mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Berdasarkan peraturan perundangan yang sama, kawasan konservasi perairan ditetapkan
dengan mempertimbangkan kriteria yang dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) PP No.60 tahun
2007 sebagai berikut:
a. Ekologi, meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis,
keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan langka, daerah
pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan;
b. Sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan,
potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat; dan
c. Ekonomi, meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika,
dan kemudahan mencapai kawasan.
Kawasan konservasi perairan dikelola berdasarkan sistem zonasi. Mengacu pada Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, zonasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi
sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai
satu kesatuan dalam ekosistem. Adapun dari sisi teoritis dan yuridis penataan ruang
(Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang), zonasi kawasan konservasi
perairan adalah distribusi peruntukan (pemanfaatan) ruang dalam kawasan konservasi
perairan yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.
Berdasarkan peraturan-perundangan yang berlaku (PP No.60 tahun 2007 Pasal 17 ayat
4 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 tahun 2008 Pasal 32), kawasan
konservasi perairan dapat didistribusikan peruntukan (pemanfaatan) ruangnya ke dalam 4
(empat) zona, meliputi:
a. Zona Inti, merupakan area yang memiliki fungsi lindung serta wajib dimiliki oleh setiap
kawasan konservasi; Pada area ini tidak diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan
secara langsung/membawa keluar setiap sumber daya hayati dan lingkungannya yang
ada kecuali kegiatan penelitian dan pengembangan serta pendidikan untuk kepentingan
konservasi;
b. Zona Perikanan Berkelanjutan, merupakan area yang memiliki fungsi budidaya
(pemanfaatan) untuk kegiatan perikanan; Pada area ini diperkenankan adanya kegiatan
perikanan tangkap yang mengutamakan perlindungan kondisi habitat sumber daya
ikan dan siklus pengembangbiakan jenis ikan atau berdasarkan pada adat istiadat
yang mengedepankan kearifan lokal. Pada area ini juga diperkenankan pembudidayaan
ikan yang mempertimbangkan daya dukung dan kondisi lingkungan sumber daya ikan
terhadap pemilihan jenis ikan yang dibudidayakan, manajemen pakan, teknologi dan
skala usaha.
c. Zona Pemanfaatan, merupakan area yang memiliki fungsi budidaya (pemanfaatan) diluar
kegiatan perikanan mencakup kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
pariwisata bahari yang mengutamakan perlindungan kondisi habitat sumber daya ikan
dan siklus pengembangbiakan jenis ikan.
d. Zona Lainnya, merupakan area yang memiliki fungsi budidaya (pemanfaatan) terbatas
sesuai dengan potensi yang ada dan diluar kegiatan-kegiatan yang telah dinyatakan
sebelumnya yang mengutamakan perlindungan kondisi habitat sumber daya ikan dan
siklus pengembangbiakan jenis ikan.
2.3. Kewenangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan
Kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) PP No.60 tahun 2007, selanjutnya dikelola
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Pengelolaan kawasan
konservasi perairan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh satuan unit organisasi pengelola
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi:
a. perairan laut diluar 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan;
b. perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas provinsi; atau
c. perairan yang memiliki karakteristik tertentu.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi
meliputi:
a. perairan laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan
b. kawasan konservasi perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan
lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/
kota, meliputi:
a. perairan laut 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan pengelolaan provinsi dan;
b. perairan payau dan/atau perairan tawar yang berada dalam wilayah kewenangannya
2.4. Kegiatan Budidaya Ikan dalam Kawasan Konservasi Perairan
Secara umum, usaha budidaya perikanan (laut) merupakan usaha alternatif ketika areal
penangkapan di berbagai wilayah perairan menghadapi kondisi tangkap lebih (
over fishing
).
Secara nasional, potensi dan peluang budidaya perikanan laut cukup besar karena jenis
ikan yang dihasilkan adalah ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi dan pasar masih terbuka
luas. Untuk memacu produktivitas perikanan budidaya diperlukan penguatan jaringan
produksi, pemasaran, kelembagaan, dan pembenahan usaha-usaha budidaya yang sudah
berjalan agar lebih meningkat skalanya.
Kegiatan budidaya perikanan di KKP tentu saja tidak dapat dilakukan seleluasa usaha
budidaya di kawasan perairan yang tidak dikonservasi. Pengaturan usaha budidaya di
dalam KKP diperlukan agar tidak mengganggu keberlanjutan KKP. Oleh karena itu, ada
sejumlah pembatasan-pembatasan yang terkait dengan skala usaha, jenis ikan, jenis pakan,
sarana yang digunakan, dan penggunaan bahan-bahan kimia lainnya, agar tidak menggangu
kondisi sumber daya hayati dan ekosistem di dalam KKP.
BaB iii
PrinsiP BUDiDaYa iKan DaLaM KaWasan
KOnserVasi Perairan
Pelaksanaan kegiatan budidaya perikanan di kawasan konservasi perairan melewati
beberapa tahapan-tahapan, melalui :
3.1. Prinsip
Prinsip/tata cara budidaya ikan yang baik (ramah lingkungan) adalah cara
memelihara dan/atau membesarkan ikan serta memanen hasilnya dalam
lingkungan yang terkontrol sehingga memberikan jaminan keamanan pangan dari
pembudidayaan dengan memperhatikan sanitasi, pakan, obat ikan, dan bahan kimia,
serta bahan biologis.
3.2. Daya Dukung (Kesesuaian Fungsi Kawasan, Potensi Kawasan)
Sebelum dilakukan budidaya, di zona berkelanjutan hendaknya dilakukan analisis
kesesuaian lahan untuk tujuan budidaya tertentu. Adanya analisis kesesuaian lahan
ini akan memungkinkan terjadinya budidaya secara optimal dan berkelanjutan
yang menjamin konservasi tanpa menimbulkan terjadinya degradasi sumberdaya
perairan dan lingkungan.
Pada analisis kesesuaian lahan hal yang dilakukan adalah:
1. Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), dan selanjutnya membuat
pembobotan dan
scoring
.
2. Penghitungan nilai peruntukkan lahan budidaya. Nilai suatu lahan budidaya
ditentukan berdasarkan total hasil perkalian
4. Pemetaan kelas kesesuaian lahan. Yang dilakukan dengan operasi tumpang susun
(
overlaying
) dari setiap tema yang dipakai sebagai kriteria
3.3. Jenis Ikan yang Dibudidayakan
1. Jenis ikan yang dibudidaya di kawasan konservasi perairan adalah jenis ikan lokal yang
bertujuan untuk konservasi spesies dan low input.
2. Jenis ikan yang dibudidaya di kawasan konservasi perairan diutamakan pada jenis ikan
yang dalam praktek budidayanya tidak perlu diberikan pakan tambahan atau kalaupun
diberi pakan tambahan, pemberiannya hanya sekali-kali serta tidak perlu diberi
obat-obatan dan dalam kegiatan budidaya tersebut diperlukan kualitas air yang baik
3.4. Teknologi dan Pakan
1. Budidaya perikanan yang menggunakan teknologi budidaya tradisional, yakni teknologi
budidaya dengan padat penebaran yang rendah, pemberian pakan yang rendah dan
tidak menggunakan obat-obatan;
2. Budidaya perikanan yang menggunakan teknologi budidaya intensif yang diperbolehkan
adalah budidaya jenis ikan yang dalam praktek budidayanya tidak perlu memberikan
pakan tambahan ataupun obat-obatan serta dalam kegiatan budidaya tersebut
diperlukan kualitas air yang baik seperti budidaya tiram mutiara;
3. Penggunaan jenis pakan ikan harus mengandung nutrisi yang terdiri dari sumber kalori
dan protein sesuai kebutuhan dari masing-masing jenis dan umur ikan; tidak mengandung
zat beracun, bahan pencemaran yang berbahaya bagi ikan dan/atau manusia, atau
yang mengakibatkan penurunan produksi atau menyebabkan pencemaran/kerusakan
lingkungan.
4. Penggunaan jenis pakan ikan harus mengandung nutrisi yang terdiri dari sumber kalori
dan protein sesuai kebutuhan dari masing-masing jenis dan umur ikan; tidak mengandung
zat beracun, bahan pencemaran yang berbahaya bagi ikan dan/atau manusia, atau
yang mengakibatkan penurunan produksi atau menyebabkan pencemaran/kerusakan
lingkungan.
3.5 Jumlah Unit Usaha
1. Jumlah unit usaha budidaya ikan di kawasan konservasi perairan dibatasi dengan
pertimbangan daya dukung lingkungannya.
2. Jumlah unit usaha yang diperbolehkan di kawasan konservasi, hendaknya disesuaikan
dengan daya dukung lingkungan kawasan perairan tersebut. Oleh karenanya maka
sebelum menentukan jumlah unit usaha hendaknya dilakukan penghitungan terhadap
daya dukung lingkungan kawasan perairan tersebut.
PengeLOLaan KaWasan KOnserVasi Perairan Di inDOnesia:
ParaDigMa Dan PerKeMBangannYa
U
paya konservasi perairan di Indonesia tumbuh selaras dengan pembangunan nasional di bidang konservasi sumberdaya ikan, tuntutan masyarakat pesisir serta perkembangan konservasi dunia yang berwawasan global. Kesadaran konservasi di Indonesia bahkan telah muncul jauh sebelum masa penjajahan belanda, hal ini ditunjukan, misalnya pada abad ke-13 (zaman majapahit) telah muncul undang-undang yang mengatur pengelolaan air dan terbitnya ordonansi tentang pengaturan satwa liar pada zaman penjajahan Belanda. Perjalanan konservasi di Indonesia terus bergulir pada masa sebelum kemerdekaan, dan orde-orde pemerintahan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga kini, jejak kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut masih berjalan di beberapa desa pesisir. Di Sulawesi Utara, misalnya, masyarakat Sangihe-Talaud memiliki tradisi eha laut sebagai masa jeda panen ikan selama tiga hingga enam bulan. Usaieha, dilakukan upacara mane’e, sebuah pola pemanenan ikan tradisional yang telah disepakati bersama oleh para tetua adat. Maluku dan Irian juga memiliki aturan adat yang dinamakan sasi
yang mengatur tata cara pemanenan ikan dengan sistem buka tutup (open and close system), serta banyak contoh kearifan tradisional lainnya di berbagai daerah. Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya kawasan konservasi perairan dalam mendukung pelestarian sumberdaya kelautan dan pesisir, hal ini tercermin dalam deklarasi kawasan konservasi laut pertama tahun 1973 di Pulau Pombo, Maluku.
Perjalanan regulasi di bidang konservasi dan pengelolaannya juga tidak kalah dinamis. Hal ini sudah dimulai pada zaman kerajaan dengan “kitab-kitab-nya” hingga terbit beberapa Undang-undang, turunan undang-undang serta perubahannya. Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat maju dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, khususnya yang terkait pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan. Begitu pula halnya dengan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat pesisir memiliki kewenangan pengelolaan dan tanggung jawab yang jelas untuk menjaga, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya pesisir di sekitarnya secara berkelanjutan.
Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan
Pengertian konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telah dipahami sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan (PP 60/2007). Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya perlindungan semata, namun juga secara seimbang melestarikan dan memanfaatkan berkelanjutan sumberdaya ikan yang pada akhirnya tentu saja untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan ini mencakup konservasi ekosistem, jenis dan genetik ikan.
Penetapan Kawasan konservasi perairan (KKP) merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua tipe ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Secara detil mengenai tata cara pencadangan kawasan
konservasi, telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/ Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.
Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU 45/2009) dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi.
Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP No.02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.12/2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.
Keberadaan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut memberikan peluang menjalankan yang seluas-luasnya bagi Pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat 3). Walau masih ada pembatasan urusan yang menjadi urusan pusat, telah jelas di dalam UU ini bahwa kewenangan daerah, khususnya Kabupaten/ kota begitu luas, sehingga seolah – olah berhak mengatur diri sendiri. Lebih khusus mengenai wilayah laut, pasal 18 ayat 4 UU 32/2004 secara gamblang menyatakan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/ atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Sungguh luar biasa peran yang dapat diambil daerah kabupaten/ kota untuk mengelola wilayahnya, tentunya yang terpenting adalah pelibatan masyarakat secara luas sehingga prospek pengelolaan kolaboratif antar institusi di pusat maupun daerah menjadi lebih terbuka.
Melalui pengaturan zonasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan.
Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi perairan laut daerah yang lebih dikenal dengan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya KKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai kawasan konservasi laut (KKL). Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
Komitmen Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan yang Berkelanjutan
Melalui forum internasional pada pertemuan para pihak Convention on Biological Diversity
(COP CBD), bulan Maret 2006 di Brasil, pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berkomitmen untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan seluas 10 juta hektar pada tahun 2010. Komitmen ini ditindaklanjuti dan berlanjut hingga tercapainya 20 juta hektar pada tahun 2020. Tujuan akhirnya jelas, upaya konservasi perairan tidak cukup berhenti pada target luasan kawasan konservasi, namun secara konsisten berupaya mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif bagi kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas SDM, kelembagaan dan pendanaan yang berkelanjutan.
Komitmen membangun kawasan konservasi perairan oleh Pemerintah Indonesia, secara konsisten dibuktikan dengan peran aktif Indonesia dalam inisiasi, kolaborasi dan kerjasama konservasi di tingkat regional dan internasional. misalnya dalam kerjasama SSME (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion), BSSE (Bismarck Solomon Seas Ecoregion) dan CTI (Coral Triangle Initiative).
Kerjasama internasional dalam konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya jenis dan ekosistem dari kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flauna and Flora), Ramsar dan CBD. Pengembangan kerjasama dan langkah strategis skala regional maupun internasional tersebut terus ditindaklanjuti dengan peran aktif dan langkah nyata untuk mendukung pelaksanaan konservasi perairan di Indonesia serta berkontribusi positif terhadap penyelesaian masalah lingkungan dunia. Ditingkat lokal, pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi dan pengembangan jejaring pengelolaan antar kawasan konservasi merupakan keniscayaan yang perlu terus ditingkatkan.
Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai Tahun 2010 tercatat seluas 13,9 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah luasan tersebut Kementerian Kelautan dan Perikanan menginisiasi dan memfasilitasi + 9,3 juta hektar, sedangkan inisiasi Kementerian Kehutanan + 4,7 juta hektar. Luasan 9,3 juta hektar yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut terdiri dari sebuah taman nasional perairan laut sawu seluas 3,5 juta hektar, 3 Suaka Alam Perairan dengan total luas 445,6 ha, 5 Taman Wisata Perairan dengan total luas 278,4 ha dan 41 lokasi kawasan konservasi perairan laut daerah (KKP Daerah; lebih dikenal dengan istilah KKLD) yang luasnya mencapai 5 juta hektar. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama, Target yang diharapkan adalah melakukan pengelolaan kawasan
konservasi tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.
Program-program konservasi yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan perikanan melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, antara lain dilaksanakan melalui: (1) Konservasi Ekosistem/Konservasi Kawasan; (2) Konservasi Jenis Ikan dan Genetik; (3) Data, Informasi dan Jejaring Pengelolaan Konsevasi, (4) Pembinaan dan Penguatan SDM; (5) Penguatan Kebijakan, Peraturan dan Pedoman; (6) Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan; serta (7) Kerjasama Lokal, Regional, Internasional. Program-program tersebut, dilakukan untuk tujuan, yaitu: kawasan konservasi dan jenis biota perairan dilindungi yang dikelola secara berkelanjutan, upaya ini dilakukan dengan cara Mengembangkan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada tingkat ekosistem, jenis dan genetik. Serta Mendorong penguatan fungsi otoritas pengelola Konservasi Sumberdaya Ikan.
Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar k awasan konservasi meningkat 40 persen.
Kawasan konservasi yang telah ada sangat diharapkan mampu mendukung perikanan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, namun selain itu pengembangan dan perluasan kawasan konservasi sebagai upaya pencapaian luasan kawasan efektif tetap terus dikembangkan. Idealnya persentase ekosistem habitat sumberdaya ikan beserta perairan disekitarnya yang perlu dikonservasi mencapai 10-30 persen luas perairan Indonesia. Sampai 2014, diharapkan telah dicadangkan sebanyak 5 persen wilayah perairan, atau sekitar 15,5 juta hektar. Menilik luasan
kawasan yang telah ada, maka target sampai 2014 (RPJM II) adalah sekitar 2 juta hektar kawasan konservasi perairan yang baru. Untuk itu, kegiatan fasilitasi pemantapan KKP dilakukan pada calon KKP maupun KKP3K dan KKM. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas calon kawasan konservasi yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi potensinya, mensosialisasikan calon kawasan konservasi kepada masyarakat serta menggalang masukan terhadap rencana pencadangan kawasan konservasi perairan. Keluaran yang diharapkan adalah draft SK Bupati/walikota tentang pencadangan kawasan konservasi perairan, yang selanjutnya dapat direkomendasikan untuk ditetapkan pencadangannya. Selain itu, kegiatan pemantapan calon kawasan konservasi juga dilakukan untuk penyiapan pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Anambas, dimaksudkan untuk menindaklanjuti hasil studi yang telah dilakukan tahun 2006 serta mengidentifikasi perkembangan informasi calon KKPN tersebut yang kemudian ditindaklanjuti bekerjasama dengan LKPPN Pekan baru untuk mewujudkan pencadangan KKPN Anambas yang diharapkan dapat ditetapkan pencadangannya pada akhir tahun 2010.
Kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan selanjutnya dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Jadi, pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Ditingkat pusat, KKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan di Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau bahkan dalam pengelolaan keuangannya dapat ditingkatkan dengan menggunakan pola pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional dan memenuhi syarat-syarat pengelolaan BLUD.
Harmonisasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan
Sampai saat ini, kewenangan urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan dilaksanakan oleh lebih dari satu instansi, dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berbeda. Dengan sistem pengelolaan seperti itu, akan timbul tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan. Tumpang tindih wewenang ini lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sedangkan benturan kepentingan dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi pengaturan. Sebabnya jelas: perumusan dan pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh lebih dari satu otoritas.
Kawasan konservasi perairan memerlukan pendekatan manajemen yang lebih spesifik, antara lain karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di sisi lain, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan wewenang urusan-urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan berkaitan sangat erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat. Selain itu, menurut undang-undang hukum laut internasional, laut merupakan sumber daya milik umum (public property) sehingga pengelolaannya memerlukan fleksibilitas dalam penetapan hukum di tingkat nasional. Dalam pelaksanaannya di lapangan, hal ini sering menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam proses penentuan arah kebijakan konservasi sumber daya perairan. Jalan tengah yang perlu dilakukan adalah perumusan pembagian urusan secara lebih jelas agar tercipta keselarasan kerja, baik pada tahap pembuatan
kerangka kebijakan dan pengaturan (policy and regulatory framework) maupun pada tahap implementasinya.
Harmonisasi dan Penyelarasan urusan bidang konservasi pesisir dan jenis antara kementerian kehutanan dan kementerian kelautan dan perikanan, sebagian telah membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-IV/2009 - BA.108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009. Terdapat 8 (delapan) KSA/KPA yang diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya, dalam rangka menindaklanjuti berita acara serah terima tersebut dilakukan evaluasi terhadap 8 kawasan konservasi untuk ditetapkan sesuai nomenklatur Kementerian Kelautan dan Perikanan. Evaluasi ke-8 kawasan dilakukan sekaligus juga mensosialiasikan berita acara serta tindaklanjut penetapan kawasan. Hasil evaluasi 8 kawasan konservasi tersebut tertuang dalam laporan hasil evaluasi yang dijadikan pertimbangan disesuaikan dengan kriteria penetapan kawasan konservasi perairan, antara lain terhadap kriteria ekologis, sosial budaya dan ekonomis. Nomenklatur terkait penetapan Kawasan Konservasi tersebut sesuai dengan PP 60/2007 antara lain: Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan. Kegiatan Selanjutnya setelah evaluasi adalah melakukan pelengkapan data, pembahasan dengan kementerian kehutanan dan pihak-pihak terkait serta dengan biro hukum terkait dengan draft surat keputusan menteri tentang penetapan 8 Kawasan Konservasi Perairan tersebut.
Delapan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) resmi ditetapkan oleh menteri kelautan dan perikanan pada tanggal 3 September 2009. Delapan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan tersebut, merupakan kawasan suaka alam dan/atau kawasan pelestarian alam (KSA/KPA) yang telah diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kawasan-kawasan konservasi perairan tersebut adalah:
1. Suaka Alam Perairan Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 114.000 (seratus empat belas ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 63/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Maluku 2. Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya seluas
lebih kurang 60.000 (enam puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat
3. Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Sebelah Barat Kepulauan Waigeo dalam hal ini Kepulauan Panjang dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 271.630 (dua ratus tujuh puluh satu ribu enam ratus tiga puluh) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 65/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat
4. Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 50.000 (lima puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sulawesi Selatan
5. Taman Wisata Perairan Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan dan Sekitarnya seluas lebih kurang 2.954 (dua ribu sembilan ratus lima puluh empat) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
6. Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido Beserta Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 183.000 (seratus delapan puluh tiga ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua 7. Taman Wisata Perairan Laut Banda seluas lebih kurang 2.500 (dua ribu lima ratus) hektar,
yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 69/ MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Banda di Provinsi Maluku
8. Taman Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 39.900 (tiga puluh Sembilan ribu Sembilan ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 70/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat
Tindak lanjut yang dilakukan pasca penetapan 8 (delapan) kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) tersebut adalah: (1) mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi perairan nasional tersebut kepada masyarakat, serta (2) menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan yang terdiri dari unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. Menteri Kelautan dan Perikanan menunjuk Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk mengelola Kawasan Konservasi Perairan tersebut. Dalam teknis pengelolaan di kawasan, saat ini Direktorat Jenderal KP3K telah mempunyai 2 (dua) Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dipersiapkan untuk mengelola kawasan konservasi perairan nasional, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) yang berkedudukan di Pekan Baru. Kegiatan sosialisasi telah dilakukan dibeberapa lokasi, sekaligus dilakukan untuk membentuk kelembagaan transisi berupa gugus tugas (jointtask force) untuk mengelola kawasan konservasi perairan nasional yang telah ditetapkan. Ke depan masing-masing kawasan akan memiliki unit organisasi pengelolaan sendiri. Inisiasi pembentukan Satuan Kerja (Satker) di masing-masing kawasan telah dimulai dan diharapkan pada tahun 2011 unit organisasi satker pada masing-masing KKPN tersebut telah terbentuk.
Jejaring pengelolaan kawasan konservasi perairan
Sebagai upaya tindaklanjut pengembangan kawasan konservasi perairan (laut) dilakukan penguatan manajemen maupun keterkaitan ekologis antar kawasan konservasi dalam bentuk jejaring kawasan konservasi. Jejaring adalah merupakan keterkaitan antara kawasan konservasi perairan (KKP) laut yang mempresentasikan daya lenting spesies dan habitatnya untuk mencapai keseimbangan ekosistem melalui pengelolaan bersama. Jejaring (network) antar KKP mempunyai peranan yang penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Beberapa alasan dalam membuat jejaring antar KKP diantaranya adalah untuk: (1) menggambarkan, menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati; (2) memberikan model pemanfaatan KKP yang mendukung ekosistem setempat; (3) menjaga atau melindungi tempat biota laut yang dilindungi dari berbagai ancaman; (4) menjaga keberadaan potensi sumberdaya perikanan laut, serta (5) upaya memperluas dan meningkatkan ketahanan KKP.
Keterkaitan (connectivity) merupakan kata kunci pengembangan jejaring kawasan konservasi perairan. Adanya keterkaitan bioekologis merupakan pertimbangan dasar untuk mengelola beberapa KKP dalam satu sistem pengelolaan bersama untuk mewujudkan KKP yang tahan (resilient) terhadap ancaman dan dapat berfungsi efektif untuk mendukung perikanan berkelanjutan.
Jejaring KKP sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Pasal 19 dinyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi perairan, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Jejaring KKP tersebut dibentuk berdasarkan keterkaitan biofisik antar KKP disertai dengan bukti ilmiah yang meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi perikanan, dan daya tahan lingkungan. Jejaring KKP pada tingkat lokal maupun nasional dilaksanakan melalui kerja sama antar unit organisasi pengelola, sedangkan di tingkat regional maupun global dilaksanakan melalui kerja sama antar negara. Yang dimaksud dengan jejaring KKP pada tingkat regional adalah kawasan konservasi perairan yang terdapat dalam suatu hamparan ekoregion yang mencakup dua atau lebih negara bertetangga serta memiliki keterkaitan ekosistem. Sedangkan jejaring KKP pada tingkat global adalah kawasan konservasi perairan yang terdapat dalam suatu hamparan beberapa ekoregion yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan ekosistem secara global dan mencakup beberapa negara.
Sampai saat ini keberadaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan (laut) belum terintegrasi antara KKP satu dengan KKP lainnya. Pada dasarnya diantara beberapa KKP tersebut terdapat suatu keterkaitan jejaring yang sangat kuat baik dalam aspek ekologis maupun pengelolaan. Keterkaitan jejaring KKP didekati berdasarkan 2 (dua) kriteria dasar yaitu; (1) Kriteria Ekologis; Kriteria ini menunjukkan bahwa antara KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal ekologis (Ekoregion), keterkaitan (network) ini berupa keterkaitan secara fisik dan biologis. (2) Kriteria Pengelolaan; Kriteria ini menunjukkan bahwa antara KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal pengelolaan. Bentuk jejaring pengelolaan berupa sistem pengelolaan bersama terhadap KKP tersebut.
Dalam pengelolaan KKP secara bersama beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu: Keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan bersama KKP sangat penting dalam mendukung terlaksananya pengelolaan yang baik. Masing-masing stakeholders mempunyai peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. Selain itu, dalam upaya pengelolaan KKP diperlukan suatu lembaga/ badan/dinas pengelola yang akan menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan, penyelesaian permasalahan dan penyampaian informasi. Selain itu tugasnya adalah melibatkan berbagai stakeholders lain dalam pengelolaan KKP. Guna pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan, pendanaan kawasan konservasi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan, oleh karena itu berbagai mekanisme pendanaan yang ada dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang dilakukan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Perairan guna mewujudkan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut yang mampu Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Hayati Laut agar Fungsinya Lestari dan Manfaatnya Berkelanjutan. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Kawasan Konservasi perairan laut tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga bersifat memayungi berbagai kegiatan pengelolaan pada ekosistem-ekosistem penting oleh berbagai pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Selain itu penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut tersebut juga mengakomodasi isu-isu penting yang memiliki dampak secara internasional. Semua ini dimaksudkan agar para pemangku kepentingan pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan, terutama di daerah, memiliki ruang gerak yang luas untuk melakukan pengelolaan sesuai kekhasan ekosistem-ekosistem di daerahnya dengan tetap mengacu pada kepentingan nasional maupun internasional. Strategi nasional dan rencana aksi terdiri dari Sepuluh kelompok strategi, antara lain: (1) Pembangunan dan Pengembangan Pangkalan Data serta Pemutakhiran data; (2) Peningkatan Peran Stakeholders; (3) Pengembangan Kebijakan, Hukum, dan Peningkatan Pentaatannya; (4) Penguatan Kelembagaan; (5) Pendidikan dan Peningkatan Kepedulian Mengenai KKP; (6) Peningkatan Kerjasama dan Jaringan Internasional; (7) Pembiayaan Pengelolaan KKP; (8) Pemanfaatan Secara Arif dan Bijaksana; (9) Restorasi dan Rehabilitasi Eksosistem; dan (10) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Sepuluh strategi ini telah dijabarkan dalam program aksi dan kegiatan, termasuk tolok ukur untuk menilai keberhasilan penerapannya.
Mengelola secara efektif kawasan konservasi perairan dalam preaktek bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Upaya kerjasama dan jejaring pengelolaan KKP terus menerus dilakukan untuk menumbuhkan pengelolaan efektif di kawasan kawasan konservasi baik yang dilakukan secara lokal, nasional, regional maupun internasional, misalnya: pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang yang diinisiasi Coremap II (mengintegrasikan pengelolaan daerah perlindungan laut (DPL) tingkat desa dalam sebuah pengelolaan KKLD di kabupaten). Contoh lainnya adalah: pengelolaan di 6 lokasi KKP Raja Ampat, inisiasi pengelolaan di ekoregion sunda kecil, inisiasi pengelolaan seascape
Kepala Burung, kerjasama pengelolaan di ekoregion laut Bismark Solomon (BSSE), kerjasama pengelolaan KKP di wilayah Sulu Sulawesi Marine Eco-region (SSME), dan juga inisiasi kerjasama lintas negara dalam pengelolaan di segitiga karang yang dilakukan oleh 6 negara, yaitu CTI-CFF,
Coral Triangle Initiative for coral reef, fisheries and food security.
Menggagas Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan
Prospek pengelolaan kolaboratif di Indonesia cenderung hanya terlihat dengan banyaknya peran pemerintah yang lebih menonjol di dalam berbagai usaha – usaha yang bersifat pengelolaan sumberdaya alam seperti tentang pengelolaan migas, hutan, lingkungan dan termasuk saat ini adalah sumberdaya hayati laut, karena walau bagaimanapun usaha pengelolaan sumberdaya alam tersebut merupakan pemasukan bagi pemerintah pusat.
Keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang menjalankan yang seluas-luasnya bagi Pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat 3). Walau masih ada pembatasan urusan yang menjadi urusan pusat, telah jelas di dalam UU ini bahwa kewenangan daerah, khususnya Kabupaten/ kota begitu luas, sehingga seolah – olah berhak mengatur diri sendiri. Lebih khusus mengenai wilayah laut, pasal 18 ayat 4 UU 32/2004 secara gamblang menyatakan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/ atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Sungguh luar biasa peran yang dapat diambil daerah kabupaten/ kota untuk mengelola wilayahnya, tentunya pelibatan masyarakat dan prospek pengelolaan kolaboratif lebih terbuka dimana kebijakan lebih aspiratif dan dimulai dari bottom up, jadi disini menurut Nikijuluw (2002) terdapat tiga hal yang menentukan variasi bentuk pengelolaan kolaboratif (co-management) serta hirarkinya yaitu: (1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistrubusikan di antara kedua belah
pihak. (3) Tahapan proses manajemen ketika secara actual kerjasama pengelolaan betul – betul terwujud. (Sebagai contoh, pada tahapan perencanaan, implementasi, atau evaluasi).
Co-management menurut Pomeroy dan Berkes (1997) digambarkan sebagai perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat, dimana didalamnya terdapat sedikitnya sepuluh jenis hierarkhi bentuk management yang menjadi bagian prinsip-prinsip co-management yaitu: infrorming, consultation, cooperation, communication, information exchange, advisory role, joint action, partnership, community control, interarea coordination.
Selanjutnya berdasarkan teori Sen Sen and Nielsen (1996) tentang hirarki manajemen yang terdiri diri dari lima bentuk yaitu; instruksi, konsultasi, koperasi, pengarahan dan informasi. Arah kebijakan yang diinginkan dalam makna otonomi daerah ini adalah porsi ko-manajemen kooperatif mungkin lebih besar dimana menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Setiap kegiatan mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama – sama oleh kedua belah pihak.
Prospek pengelolaan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan sangat terbuka lebar dan diatur jelas dalam PP 60/2007 pasal 18, yang menyatakan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Pola kemitraan (partnership) dalam pengelolaan kawasan konservasi ini juga dinyatakan dalam salah satu asas dari 8 (delapan) asas konservasi sumberdaya ikan (pasal 2 huruf c, PP 60/2007) Asas kemitraan, dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerja sama antarpemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya ikan.
Teramat banyak praktek-praktek kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi yang ada dan cukup berhasil. Pola ko-manajemen ini sepertinya merupakan salah satu yang paling berhasil
laut yang meliputi Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Sungguh luar biasa peran yang dapat diambil daerah kabupaten/kota untuk mengelola wilayahnya, tentunya pelibatan masyarakat dan prospek pengelolaan kolaboratif lebih terbuka dimana kebijakan lebih aspiratif dan dimulai dari bottom up, jadi disini menurut Nikijuluw (2002) terdapat tiga hal yang menentukan variasi bentuk pengelolaan kolaboratif (co-management) serta hirarkinya yaitu: (1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistrubusikan di antara kedua belah pihak. (3) Tahapan proses manajemen ketika secara actual kerjasama pengelolaan betul – betul terwujud. (Sebagai contoh, pada tahapan perencanaan, implementasi, atau evaluasi).
Co-management menurut Pomeroy dan Berkes (1997) digambarkan sebagai perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat, dimana didalamnya terdapat sedikitnya sepuluh jenis hierarkhi bentuk management yang menjadi bagian prinsip-prinsip co-management yaitu: infrorming, consultation, cooperation, communication, information exchange, advisory role, joint action, partnership, community control, interarea coordination.
Sumber: Pomeroy & Berkes, 1997
Selanjutnya berdasarkan teori Sen Sen and Nielsen (1996) tentang hirarki manajemen yang terdiri diri dari lima bentuk yaitu; instruksi, konsultasi, koperasi, pengarahan dan informasi. Arah kebijakan yang diinginkan dalam makna otonomi daerah ini adalah porsi ko-manajemen kooperatif mungkin lebih besar dimana menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Setiap kegiatan mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama – sama oleh kedua belah pihak.
Prospek pengelolaan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan sangat terbuka lebar dan diatur jelas dalam PP 60/2007 pasal 18, yang menyatakan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Pola kemitraan (partnership) dalam pengelolaan kawasan konservasi ini juga dinyatakan dalam salah satu asas dari 8 (delapan) asas konservasi sumberdaya ikan (pasal 2 huruf c, PP 60/2007) Asas kemitraan, dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerja sama antarpemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya ikan.
Teramat banyak praktek-praktek kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi yang ada dan cukup berhasil. Pola ko-manajemen ini sepertinya merupakan salah satu yang paling berhasil dalam praktek mengelola sumberdaya alam, ini menunjukkan bahwa kemitraan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi di berbagai daerah mempunyai andil besar dalam keberlanjutan pengelolaan KKP.
Sebagai Contoh, kolaborasi pengelolaan KKP di Raja Ampat menerapkan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKLD untuk kegiatan menyelam dan lain sebagainya. Sebuah kegiatan membangun tujuan wisata yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan memberikan sumbangsih nyata terhadap konservasi dan masyarakat lokal. Sebanyak 6 (enam) lokasi di Raja Ampat dicadangkan dengan Ketetapan SK Bupati, setelah masyarakat adat Raja Ampat
dalam praktek mengelola sumberdaya alam, ini menunjukkan bahwa kemitraan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi di berbagai daerah mempunyai andil besar dalam keberlanjutan pengelolaan KKP.
Sebagai Contoh, kolaborasi pengelolaan KKP di Raja Ampat menerapkan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKLD untuk kegiatan menyelam dan lain sebagainya. Sebuah kegiatan membangun tujuan wisata yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan memberikan sumbangsih nyata terhadap konservasi dan masyarakat lokal. Sebanyak 6 (enam) lokasi di Raja Ampat dicadangkan dengan Ketetapan SK Bupati, setelah masyarakat adat Raja Ampat memberikan mandatnya kepada pemerintah daerah untuk mengelola kawasan-kawasan tersebut bagi kesejahteraan masyarakat. Demikian pula di Berau, praktek pengelolaan konservasi telah nyata menyumbangkan PAD bagi daerahnya. Seluruh perairan Berau ditetapkan sebagai cadangan KKLD. Uraian singkat berikut ini adalah contoh inisiasi kecil kolaborasi dari belasan kisah sukses pengelolaan sumberdaya yang ada di Indonesia.
• Kolaborasi Pencadangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu
Perairan Laut Sawu melewati proses panjang dalam upaya pencadangannya sebagai Taman Nasional Perairan (TNP). Berbagai pihak secara bersama terlibat dalam proses pencadangan taman nasional yang multimanfaat bagi masyarakat selain juga diharapkan sebagai area perlindungan biota peruaya khas kawasan tersebut, yaitu jenis cetacean.
Proses identifikasi dan inventarisasi TNP laut sawu sejatinya telah dimulai sejak tahun 2005 oleh Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Hasil kajian awal ini kemudian ditindklanjuti oleh pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan membentuk Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sawu (Tim PPKKL Laut Sawu). Selanjutnya pemerintah pusat, daerah maupun LSM bersama-sama berupaya untuk meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi tersebut melalui sosialisasi, pameran, workshop, pelatihan dan pendidikan konservasi.
Kronologi pencadangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu, singkatnya sebagai berikut: Tahun 2005 : Kajian awal KKP Laut Sawu
Tahun 2006 : Pembentukan Tim PPKKL Laut Sawu, sosialisasi di masyarakat, workshop, studi banding, pameran, pendidikan konservasi, pelatihan
Tahun 2007 : Sosialisasi di masyarakat, workshop, komitmen bersama, pelatihan, survei Tahun 2008 : Workshop, sosialisasi di masyarakat, pendidikan konservasi, pelatihan Tahun 2009 : Workshop, muatan Lokal, pendidikan konservasi, kajian Tim PPKKL, sosialisasi
di masyarakat, pelatihan, usulan Gubernur NTT, penyiapan SK menteri, pembahsan draft SK, deklarasi Pencadangan pada side event WOC dan CTI Summit, 13 Mei 2009.
Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu seluas 3,5 juta hektar dideklarasikan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 38 tahun 2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Taman Nasional Perairan Laut Sawu mencakup (1) wilayah perairan Selat Sumba dan Sekitarnya dan (2) Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya. Pencadangan kawasan seluas 3,5 juta hektar tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan ilmiah diantaranya, kawasan ini merupakan tempat migrasi 14 (empat belas) spesies dari 27 spesies Cetacean di dunia, termasuk
paus jenis rare blue whale dan sperm whales, habitat hidup 4 spesies penyu, 336 spesies ikan, dan 500 spesies karang.
Pencadangan TNP laut sawu tersebut ditindaklanjuti dengan sosialisasi pencadangan kawasan, mengkaji ulang luasan dan batas kawasan, penyusunan rencana pengelolaan dan menyiapkan organisasi pengelola/kelembagaan pengelola kawasan TNP laut sawu. Penyusunan Rencana pengelolaan dan pengelolaan TNP laut sawu berkolaborasi dengan beberapa LSM internasional, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat. Dalam persiapan dan pengelolaan awal telah dibentuk Tim PPPKKL (disempurnakan menjadi Tim P4KKL) serta ada dukungan pendanaan dari Pemerintah Jerman. Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu terus dibahas dengan stakeholder terkait untuk finalisasi. Semoga Pencadangan TNP laut sawu yang telah dilakukan secara kolaboratif dapat berlanjut dengan pola pengelolaan yang juga kolaboratif untuk mensejahterakan masyarakat.
• Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konseravsi berbasis Terumbu Karang – Mata Pencaharian Alternatif di KKP telah menunjukkan hasil
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Trumbu Karang (COREMAP) tahap II, merupakan salah satu program nasional yang bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat dan institusi lokal dalam mengelola terumbu karang secara berkelanjutan untuk kesejahteraan, melalui berbagai komponen kegiatan seperti penguatan kelembagaan, pengelolaan berbasis masyarakat, pengawasan dan pemantauan serta upaya penyadaran masyarakat yang dilaksanakan.
Pola rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan COREMAP sifatnya tidak langsung menyentuh karangnya. Selain pengembangan kebijakan, upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kelompok-kelompok masyarakat pengelola terumbu karang, kemudian membantu masyarakat membuat kawasan konservasi perairan serta menciptakan mata pencaharian alternatif sehingga tekanan beban terumbu karang dari gangguan maupun pemanfaatan oleh masyarakat menurun, terumbu karang menjadi tumbuh sehat, menghasilkan ikan berlimpah dan ujungnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan mata pencaharian alternatif (MPA) pada COREMAP II merupakan suatu kegiatan usaha baru atau usaha lama yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Umumnya usaha yang dilakukan adalah kegiatan sampingan dan mampu meningkatkan pendapatan seperti usaha budidaya, usaha pengolahan atau usaha ekonomi lainnya yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kegiatan MPA perikanan di KKP dilakukan di zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan. Mata pencaharian alternatif diharapkan menjangkau 10.000 kepala keluarga masyarakat pesisir, mampu secara nyata meningkat pendapatannya sekurangnya 2 persen pertahun.
Penentuan jenis MPA tidak hanya dilihat dari keinginan masyarakat saja, tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor lainnya. Bahkan untuk memastikan bahwa jenis-jenis usaha yang akan diusulkan sebagai MPA, maka sebelumnya dilakukan kajian secara komprehensif tentang jenis-jenis usaha yang telah ada dan peluang pengembangan usaha lainnya. Faktor-faktor usaha ekonomi yang dikaji kelayakannya adalah; (a) kesesuaian lokasi (kebutuhan benih, lingkungan perairan, kebiasaan masyarakat setempat), (b) penguasaan teknologi, (c) melibatkan banyak orang, (d) ketersediaan sarana dan prasarana, (e) tenaga terampil, dan (f) keterjangkauan terhadap pasar. Pemilihan jenis MPA tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, dapat menyebabkan peluang keberhasilannya sangat kecil apalagi jika dikaitkan dengan terget proyek. Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan MPA, maka Pokmas diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang manajemen dan teknis usaha, sistem keuangan, dan pembukuan (bookeeping). Topik