• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 TANAH

Tanah selalu mempunyai peranan penting dalam suatu pekerjaan konstruksi.tanah adalah sebagai dasar pendukung suatu bangunan atau bahan konstruksi dari bangunan itu sendiri. Pada umumnya semua bangunan dibuat di atas dan di bawah permukaan tanah, maka diperlukan suatu sistem fondasi yang akan menyalurkan beban dari bangunan ke tanah. Untuk menentukan dan mengklasifikasi tanah diperlukan suatu pengamatan di lapangan. Tetapi jika mengandalkan pengamatan di lapangan, maka kesalahan – kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan pengamatan perorangan akan menjadi sangat besar. Untuk memperoleh hasil klasifikasi yang objektif, biasanya tanah itu secara sepintas dibagi dalam tanah berbutir kasar dan berbutir halus berdasarkan suatu hasil analisa mekanis. Selanjutnya tahap klasifikasi tanah berbutir halus diadakan berdasarkan percobaan konsistensi (Atterberg limits).

Karena tanah mempunyai pori yang besar, maka pembebanan biasa akan mengakibatkan deformasi tanah yang sangat besar. Hal ini tentu akan mengakibatkan penurunan fondasi yang akan merusak konstruksi. Berbeda dengan bahan – bahan konstruksi yang lain, karakteristik tanah didominasi oleh karakteristik mekanisnya seperti permeabilitas atau kekuatan geser yang berubah – ubah sesuai dengan pembebanan. Akibat dari beban yang bekerja pada tanah, susunan butir – butir tanah berubah atau kerangka struktur butir – butir tanah berubah sehingga angka perbandingan pori (void ratio) menjadi kecil yang

(2)

Bab 2 Landasan Teori

II-2 mengakibatkan deformasi pemampatan. Deformasi pemampatan tanah yang terjadi memperlihatkan gejala yang elastis, sehingga bila beban itu ditiadakan maka tanah akan kembali pada bentuk semula.

2.1.1 Sifat-sifat Indeks Tanah

Tanah merupakan campuran partikel-partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut ini :

1. Berangkal (Boulder) : Batuan besar, ukuran > 250 – 300 mm 2. Kerikil (Gravel) : ukuran 5 – 150 mm

3. Pasir (Sand) : ukuran 0,0074 – 5 mm ( Pasir kasar – halus) 4. Lanau (Silt) : 0,002 – 0,0073 mm

5. Lempung (Clay) : < 0,002 dan kohesif

6. Koloid : partikel mineral yang diam

Adapun partikel – partikel diatas mempunyai tekstur dan karakteristik yang berbeda – beda.

(3)

Bab 2 Landasan Teori

II-3 2.1.2 Klasifikasi Sifat-sifat Tanah

Ada dua golongan besar tanah :

1. Tanah berbutir kasar : Kerikil dan pasir 2. Tanah berbutir halus : Lempung dan lanau

Seperti yang telah disajikan dalam Tabel 2.1 diatas bahwa tanah berbutir kasar hal yang berpengaruh terhadap perilaku engineeringnya adalah tekstur dan distribusi ukuran butir. Sedangkan pada tanah berbutir halus yang mempengaruhi perilaku engineeringya adalah pengaruh air.

Sehingga untuk menentukan sifat tanah berbutir kasar dengan cara melihat kurva distribusi ukuran butir yang dihasilkan dari pengujian analisa saringan (Sieve Analisys) di laboratorium. Sedangkan untuk menentukan sifat tanah berbutir halus dengan melihat hasil dari pengujian Batas-batas Atterberg (Atterberg Limits) di laboratorium.

2.1.3 Sifat-sifat Teknis Tanah 2.1.3.1 Permeabilitas (permeability)

Permeabilitas suatu tanah merupakan kemampuan suatu tanah dilewati air melalui pori-porinya. Koefisien permeabilitas atau koefisien daya rembes suatu tanah dapat ditentukan dengan pengujian di laboratorium yaitu pengujian permeameter tinggi tekanan tetap untuk tanah berbutir kasar dan pengujian permeameter tinggi tekanan berubah-ubah untuk tanah berbutir halus, sedangkan pengujian di lapangan dapat dilakukan dengan cara lubang bor apabila lapisan yang diuji berada di atas muka air tanah dan cara sumuran hisap apabila lapisan yang diuji berada di bawah muka air tanah.

(4)

Bab 2 Landasan Teori

II-4 Tabel 2.2 Harga Koefisien Daya Rembes untuk Berbagai Jenis Tanah

Tipe tanah Harga Daya Rembes (mm/det) Sifat pengeringan Kerikil 1000 - 10 Baik Pasir 10 - 0.01 Baik

Lanau (dan lempung

terbelah) 0.01 - 0.00001 Buruk Lampung < 0.00001 Kedap air

2.1.3.2 Konsolidasi

Konsolidasi adalah suatu proses pengecilan volume secara berlahan-lahan pada tanah jenuh sempurna dengan permeabilitas rendah akibat pengaliaran sebagian air pori, atau dengan kata lain konsolidasi adalah proses terlepasnya air tanah akibat dari beban yang bekerja pada tanah tersebut. Pada konstruksi bangunan, penurunan yang perlu diperhatikan adalah penurunan jangka panjang dari suatu lapisan tanah. Penurunan jangka panjang terjadi pada lapisan tanah lempung dimana lapisan ini mempunyai daya rembes yang buruk. Pada teori konsolidasi lapisan lempung yang sering mengalami konsolidasi berada di bawah muka air tanah (lempung dalam keadaan jenuh)

Hal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pada suatu lapisan lempung jenuh yang diberi beban di atasnya, maka dalam tahap pertama

(5)

Bab 2 Landasan Teori

II-5 seluruh beban akan dipikul oleh air yang berada dalam lapisan lempung tersebut, dimana beban ini makin lama akan dihamburkan kebutiran tanah akibat air tanah yang berada pada lapisan lempung tersebut keluar, dan setelah jangka waktu tertentu, semua beban akan dipikul oleh butir-butir tanah.

Gambar 2.1 Proses Konsolidasi pada Tanah Lempung

Pada tanah lempung, istilah konsolidasi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu normally consolidated, over consolidated, dan under consolidated. Lempung dikatakan mengalami normally consolidated bila tekanan pra-konsolidasi (preconsolidation pressure) sama dengan tekanan overburden efektif (OCR = 1). Sedangkan lempung pada kondisi over consolidation, jika tekanan pra-konsolidasi lebih besar dari tekanan overburden efektif yang ada pada waktu sekarang (OCR >1). Tanah lempung dikatakan dalam kondisi

under consolidation, jika tanah tersebut sedang mengalami konsolidasi, tidak stabil yaitu tanah dalam proses pembentukan/baru mengendap (OCR<1). Nilai banding over consolidation (OCR) didefinisikan sebagai nilai banding tekanan pra-konsolidasi terhadap tegangan efektif yang ada.

Karakteristik suatu tanah selama terjadi konsolidasi satu dimensi atau pemuaian dengan menggunakan uji oedometer. Dengan pengujian oedometer, kita akan memperoleh beberapa parameter konsolidasi antara lain:

(6)

Bab 2 Landasan Teori

II-6 1. Tekanan Pra-Konsolidasi (preconsolidation pressure)

Menunjukan besarnya tekanan vertical maksimum yang pernah terjadi di masa lampau terhadap tanah tersebut.

2. Kompresi Asli

Menunjukan tekanan yang melebihi tekanan pra-konsolidasi. 3. Rekompresi dan Pengembangan

Rekompresi menggambarkan tingkah laku tanah jika mengalami tambahan beban kembali sebelum mengalami penurunan tegangan, dan pengembangan disini diartikan bahwa setelah terjadi penurunan tegangan, maka volume tanah tidak seluruhnya kembali seperti semula. Dari sini dapat dihitung indeks pengembangan dan indek rekompresi.

Gambar 2.2 Kurva Rekompresi dan Pengembangan. 2.1.3.3 Koefisien konsolidasi

Menunjukan kecepatan pengaliran air pori selama konsolidasi. Koefisien konsolidasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

ti H x Ti Cv 2 = , atau t50 H x 0.197 Cv 2 = (2.11)

dengan Ti : faktor waktu (Tabel 2.3)

(7)

Bab 2 Landasan Teori

II-7 ti : waktu untuk terjadi konsolidasi (t50)

Tabel 2.3 Faktor waktu

Kasus I Kasus II 0 - - 10 0.008 0.048 20 0.031 0.090 30 0.071 0.115 40 0.126 0.207 50 0.197 0.281 60 0.287 0.371 70 0.403 0.488 80 0.567 0.652 90 0.848 0.933 100 ∞ ∞ Uv Tv 2.1.3.4 Indeks Kompresi

Banyaknya penurunan konsolidasi primer dihitung dengan memakai indeks kompresi (Cc) yang diperoleh sebagai rajah rasio lawan tekanan log atau dari suatu rasio kompresi (Cc’) yang didapat sebagai rajah regangan lawan tekanan log. (lihat Gambar 2.2a dan 2.2b).

2.1.3.5 Kekuatan geser

Kekuatan tanah ialah tahanan yang terbentuk dari suatu kombinasi partikel yang bergulir, pelesetan, dan meremuk oleh setiap tekanan pori berlebih yang terjadi selama pergerakan partikel. Ketahanan terhadap deformasi ini adalah kekuatan geser tanah sebagai tahanan maksimum dari tanah terhadap tegangan geser di bawah suatu kondisi yang diberikan. Kekuatan geser ini diukur dalam dua istilah parameter tanah, yaitu kohesi (c) atau tarik menarik antara partikel tanah, dan sudut gesekan (Φ) atau tahanan

(8)

Bab 2 Landasan Teori

II-8 terhadap pelesetan antara partikel. Kekuatan geser dalam arti tegangan total dapat dijabarkan dalam persamaan di bawah ini.

s = c + σ tan Φ (2.12)

sedangkan dengan menggunakan tegangan efektif,

s = c’ + σ’ tan Φ’ (2.13)

Untuk mengukur kuat geser tanah, dapat dilakukan dengan di laboratorium, yaitu direct shear test, unconfined compression test, dan triaxial compression test. Sedangkan pengujian di lapangan yaitu vane shear test,

standard penetration test, dan cone penetration test. Dalam pelaksanaannya tidak selalu data yang dibutuhkan untuk perencanaan akan lengkap tersedia, akan diperlukan suatu metode empiris dari para ahli mekanika tanah untuk dapat menaksir kekutan geser.

2.1.4 Penyelidikan Tanah

Penyelidikan tanah dibutuhkan untuk data perancangan fondasi bangunan. Sifat-sifat teknis yang didapatkan akan digunakan untuk analisa dukung tiang dan penurunannya. Penyelidikan tanah dibagi dalam 3 tahap, yaitu : Pengeboran atau penggalian lubang uji, pengambilan contoh tanah dan pengujian contoh tanah baik itu langsung dilapangan maupun dilaboratorium.

2.1.4.1 Dengan Uji di Lapangan

A. Uji penetrasi standar/SPT (standart penetration test)

Uji penetrasi standar dilakukan kerana sulitnya mendapatkan contoh tanah tak terganggu pada tanah granular. Pada pengujian ini,

(9)

Bab 2 Landasan Teori

II-9 sifat-sifat tanah ditentukan dari pengukuran kerapatan relative secara langsung di lapangan.

Uji SPT dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Sewaktu melakukan pengeboran inti, jika kedalaman pengeboran telah mencapai lapisan tanah yang akan diuji, mata bor dilepas dan diganti dengan alat yang disebut tabung belah standar (standar split barrel sampler) (lihat Gambar 2.3a). Setelah tabung ini dipasang, bersama-sama dengan pipa bor, alat diturunkan sampai ujungnya menumpu lapisan tanah dasar, dan kemudian dipukul dari atas. Pukulan diberikan oleh alat pemukul yang beratnya 63.5 kg (140 pon) yang ditarik naik turun dengan tinggi jatuh 76.2 cm (30”) (lihat Gambar 2.3b). Tabung dipukul sedalam 15 cm (6”), kemudian dilanjutkan pemukulan tahap kedua sedalam 30.48 cm (12”). Jumlah pukulan tahap kedua ini didefinisikan sebagai nilai-N yaitu jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk penetrasi tabung belah sedalam 30.48 cm. pemukulan dilanjutkan sampai ke kedalaman tanah keras dimana pukulan dihitung pada tiap-tiap penembusan sedalam 7.62 cm (3”) atau setiap 15 cm (6”).

(10)

Bab 2 Landasan Teori

II-10 Gambar 2.3 Metode Uji N-SPT

Pada perancangan pondasi, nilai N dapat dipakai sebagai indikasi kemungkinan model keruntuhan pondasi yang akan terjadi (Terzaghi dan peck, 1948). Kondisi keruntuhan geser lokal (local shear failure) dapat dianggap terjadi bila N<5, dan keruntuhan geser umum (general shear failure) terjadi pada nilai N>30.

Tabel 2.4. Hubungan nilai N dengan kerapatan relative (Dr). (Terzaghi dan Peck, 1948)

Nilai N Kerapatan relative (Dr) <4 Sangat tidak padat 4 - 10 Tidak padat 10 - 30 Kepadatan sedang

30 - 50 Padat

(11)

Bab 2 Landasan Teori

II-11 Untuk tanah lempung jenuh, Terzaghi dan Peck (1948) memberikan hubungan N secara kasar dengan kuat tekan bebas (lihat Tabel 2.5), akan tetapi penggunaan nilai tersebut tidak direkomendasikan, dan untuk menentukan kuat geser tanah lempung jenuh, lebih baik jika nilainya diperoleh dari uji kipas (vane shear test).

Tabel 2.5 Hubungan nilai N, konsistensi dan kuat tekan bebas (qu) untuk tanah lempung jenuh.

Nilai N Konsistensi Kuat tekan bebas (qu) (KN/m2)

<2 Sangat lunak <25 2 - 4 Lunak 25 - 50 4 - 8 Sedang 50 - 100 8 - 15 Kaku 100 - 200 15 - 30 Sangat kaku 200 - 400 >30 Keras >400

B. Uji penetrasi kerucut statis (CPT)

Uji penetrasi kerucut statis/sondir sangat berguna untuk memperoleh nilai variasi kepadatan tanah pasir yang tidak padat. Pengujian ini tidak dapat diterapkan pada tanah berkrikil dan pasir padat. Alat uji CPT ini terdiri dari kerucut baja yang mempunyai sudut kemiringan 600

Pengujian ini dilakukan dengan mendorong pipa dan mata sondir secara terpisah malalui alat penekanan mekanis atau dengan tangan yang memberikan gerakan ke bawah. dan berdiameter 35.7 mm (lihat Gambar 2.4a).

(12)

Bab 2 Landasan Teori

II-12 Kecapatan penekanan ± 10 mm/detik. Pembacaan tahanan kerucut statis atau tahanan konus dilakukan dengan melihat arloji pengukur pada tiap-tiap penetrasi sedalam 20 cm. Tahanan ujung serta gesek selimut alat sondir dicatat (lihat Gambar 2.4b). Nilai-nilai tahanan konus (qc) dapat dikorelasikan secara langsung dengan kapasitas dukung tanah dan penurunan pada pondasi dangkal dan pondasi tiang.

Gambar 2.4 Metode Uji Sondir ( CPT ) 2.1.4.2 Dengan Uji Laboratorium

Parameter yang diperlukan dari hasil pengujian laboratorium berupa kekuatan geser tanah yang didefinisikan sebagai kohesi (c) dan sudut tahanan geser (ϕ). Dalam laboratorium kuat geser dapat diperoleh dari tes : Direct shear test (tes geser langsung), Unconfined compression test ( tes kuat-tekan bebas) dan Triaxial test. Untuk dapat menentukan tipe tes yang digunakan dapat dipertimbangkan hal-hal berikut :

(13)

Bab 2 Landasan Teori

II-13 1. Pasir bersih dan kerikil

Contoh tanah tak-terganggu tak mungkin diperoleh, untuk mendapatkan besar sudut geser dalam (ϕ) dapat diambil dari korelasi dengan tahanan penetrasi, kepadatan relatif dan dari klasifikasi tanahnya. Hasil lebih akurat dapat diperoleh dari Tes Geser Langsung.

2. Lempung

Tes Kuat-Tekan Bebas merupakan cara praktis untuk mendapatkan kuat geser lempung. Nilai kohesi (c) dapat diambil dari ½ kuat tekan beban (qu) dan sudut geser dalam dapat dianggap nol. Cara lainnya yakni korelasi dengan tahanan penetrasinya.

3. Lanau dan tanah bercampur

Tes Triaxial dapat dilakukan bila sulit untuk menentukan faktor mana yang lebih dominan antara c dan ϕ - nya. Jika kohesi dominan sekali maka sudut geser dalam dapat diabaikan. Namun bila pada saat melakukan Tes Kuat-Tekan Bebas hasilnya kecil sekali maka tanah dapat diperlakukan sebagai tanah granular, sedangkan sudut geser dalam dapat dilakukan Test Geser Langsung.

2.1.4.3 Penaksiran Kuat Geser

A. Kuat Geser Lempung tak terdrainase

Kuat geser diperoleh dari kriteria kelongsoran mohr-coulumb, namun bagi lempung jenuh umumnya diuji pada kondisi tak terdrainase maka sudut tahanan geser = 0. Ini berarti kuat geser lempung merupakan nilai yang tetap dan sama dengan kohesi (c). Nilai

(14)

Bab 2 Landasan Teori

II-14 kuat geser tak terdrainase dapat ditaksir dengan menekan lempung diantara jari-jari lalu diamati menurut tabel dibawah ini (Tabel 2.6).

Tabel 2.6 Taksiran kuat geser lempung tak terdrainase

Nilai tipikal kuat geser lempung terkompaksi diperlihatkan dalam Tabel 2.7 dibawah ini. Nilai-nilai tentang tanah terkompaksi pada kepadatan kering maksimum berdasarkan uji kompaksi AASHTO T99 ( memakai pemukul 5,5 lb ).

Tabel 2.7 Nilai tipikal kuat geser lempung terkompaksi

B. Kuat Geser Lempung Terdrainase

Kadang-kadang diperlukan perhitungan stabilitas berdasarkan tegangan efektif, terutama perhitungan stabilitas lereng. Parameter kekuatan tanah yang dipakai dalam perhitungan ini dari uji kotak

(15)

Bab 2 Landasan Teori

II-15 terdrainase atau uji triaxial ( menghasilkan Cd dan ϕd ) atau dari uji triaxial Cu ( menghasilkan coC’ dan cuϕ’ ). Secara teoritis bagi lempung jenuh akan terdapat sedikit perbedaan diantara kedua kelompok nilai tersebut, walaupun dalam praktek perbedaan ini kecil sekali.

Tabel 2.8 Sudut Tahanan Geser Efektif ( Tipikal ) bagi lempung terkompaksi

C. Kuat Geser Tanah Berbutir Kasar

Akibat permaebilitas yang tinggi, bila tanah berbutir kasar diberi gaya geser maka tidak terjadi tekanan air pori seperti pada tanah lempung. Berarti tidak terjadi kesulitan dalam menentukan tegangan total maupun efektif serta masalah kohesi atau kuat geser undrained. Akibatnya kuat geser tanah berbutir kasar terutama ditentukan oleh tahanan geser antar butir yang diukur oleh sudut tahanan geser.

(16)

Bab 2 Landasan Teori

II-16 2.1.5 Korelasi Data Lapangan

Dalam beberapa kasus, data penyelidian tanah yang dimiliki oleh perencana struktur tidaklah lengkap untuk luasan rencana bangunan. Ketidakpastian lapisan tanah yang dimiliki oleh suatu lahan akan berbeda-beda tetapi hal ini tentu bukan suatu hambatan untuk dapat memperoleh parameter-parameter tanah yang diperlukan dari data-data penyelidikan tanah yang dimiliki. Hasil dari uji lapangan N-SPT dapat dijadikan acuan kondisi yang ada dalam lapisan tanah untuk lokasi yang tidak diambil sampel tanahnya.

Tabel 2.10 Korelasi dari Uji N-SPT

Sedangkan bila lokasi pengambilan contoh baik itu Tes Sondir dan N-SPT berada diarea yang berbeda, sedangkan dalam perencanaan harus mengetahui konsistensi tanah setiap lapisannya. Nilai antara kedua tes tersebut

(17)

Bab 2 Landasan Teori

II-17 yang berupa qc dan N tiap lapisannya dapat mempergunakan pendekatan seperti dalam tabel ini.

Tabel 2.11 Korelasi Konsistensi Tanah dari Test Sondir dan N-SPT

2.1.6 Daya Dukung Tanah

Adalah Kemampuan tanah untuk beban baik dari segi struktur pondasi maupun bangunan diatasnya tanpa terjadi keruntuhan geser. Besar beban yang bekerja disebut beban longsor dan tegangan yang bekerja disebut daya dukung batas.

Daya dukung batas yang dimaksud adalah kemampuan tanah mendukung beban dan diasumsikan pada saat tanah melai terjadi keruntuhan. Hal ini merupakan daya dukung terbesar dari tanah (q ult) . besarnya daya dukung batas tanah ditentukan oleh :

1. Parameter kekuatan geser yang terdiri dari kohesi ( c ) dan sudut geser dalam (ϕ)

2. Berat isi tanah (γ)

3. Kedalaman pondasi dari permukaan tanah ( Zf) 4. Lebar dasar pondasi (B)

(18)

Bab 2 Landasan Teori

II-18 2.2 FONDASI

2.2.1 Definisi Fondasi

Fondasi didefinisikan sebagai suatu bagian dari konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai penopang bangunan dan meneruskan beban bangunan atas (upper structure) ke lapisan tanah yang cukup keras/kuat untuk mendukung beban bangunan tanpa menimbulkan penurunan yang melebihi batas yang diijinkan baik secara setempat maupun secara merata. Oleh karena itu fondasi bangunan harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga dapat menjamin kestabilan bangunan terhadat berat bangunan sendiri, beban hidup dan gaya-gaya luar seperti tekanan angin, gempa bumi dan lain-lain.

Sebagaimana telah disebutkan di atas jika tanah itu cukup keras dan mampu memikul beban struktur di atasnya, maka fondasi dapat langsung dibangun secara langsung di atas permukaan tanah tersebut. Namun bila tanah itu tidak cukup keras maka diperlukan suatu konstruksi fondasi guna meneruskan beban yang terjadi ke lapisan tanah yang mampu memikul beban tersebut sepenuhnya.

Untuk mendesain struktur bagian bawah pada gedung berlantai banyak perlu analisa yang seakurat mungkin. Faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan untuk analisa desain fondasi adalah faktor keamanan dan juga nilai ekonomisnya. Ketepatan dalam memilih jenis fondasi sangat penting dalam menganalisa desain struktur bagian bawah.

Ada tiga hal yang harus di penuhi dalam perancangan struktur bagian bawah, yaitu:

(19)

Bab 2 Landasan Teori

II-19 1. Besarnya beban fondasi yang di terima oleh fondasi yang di teruskan ke

dalam tanah tidak melampaui kekuatan daya dukung tanah.

2. Penurunan yang terjadi pada struktur tidak menyebabkan kerusakan sehingga mengganggu fungsi suatu bangunan.

3. Faktor keamanan dari desain struktur bagian bawah yang terdiri atas faktor guling, faktor geser dan daya dukung tidak boleh melebihi angka keamanan ijin.

2.2.2 Pemilihan Type Fondasi

Untuk memilih fondasi yang memadai, perlu diperhatikan apakah fondasi itu cocok untuk berbagai keadaan di lapangan dan apakah fondasi itu memungkinkan untuk diselesaikan secara ekonomis sesuai dengan jadwal kerjanya. Bila keadaan tersebut ikut dipertimbangkan dalam menentukan macam fondasi, hal-hal berikut ini perlu diperhatikan :

1. Keadaan tanah fondasi

2. Batasan-batasan akibat konstruksi di atasnya 3. Batasan-batasan bangunan dari sekelilingnya 4. Waktu dan biaya pekerjaan

Berikut adalah jenis-jenis fondasi yang sesuai dengan keadaan tanah yang bersangkutan.

1. Bila tanah pendukung fondasi terletak pada permukaan tanah atau 2-3 meter di bawah permukaan tanah : Dalam hal ini fondasinya adalah fondasi telapak.

2. Bila tanah pendukung fondasi terletak pada kedalaman sekitar 10 meter di bawah permukaan tanah : Dalam hal ini, fondasi yang

(20)

Bab 2 Landasan Teori

II-20 digunakan adalah fondasi tiang.

3. Bila tanah pendukung fondasi terletak pada kedalaman sekitar 20 meter di bawah permukaan tanah. Dalam hal ini, tergantung dari penurunan (settlement) yang diijinkan.

4. Bila tanah pendukung fondasi terletak pada kedalaman sekitar 30 m di bawah permukaan tanah: Biasanya dipergunakan kaison terbuka, tiang baja atau tiang yang dicor di tempat.

2.2.3 Fondasi Dangkal 2.2.3.1 Umum

Fondasi bangunan secara umum dibedakan berdasarkan dari letak tanah kerasnya dan perbandingan kedalaman fondasi dengan lebar fondasi. Apabila lapisan tanah kerasnya berada dekat dengan permukaan tanah, maka fondasi dapat diletakkan /dibangun langsung pada lapisan tanah tersebut. Fondasi yang seperti itu disebut sebagai Fondasi Dangkal (shallow foundation), di mana kedalamannya kurang atau sama dengan lebar fondasi.

2.2.3.2 Penggolongan Fondasi Dangkal

Fondasi dangkal dapat dibedakan menjadi :

1. Fondasi Telapak 2. Fondasi Cakar Ayam 3. Fondasi Sarang Laba-laba 4. Fondasi Gasing

(21)

Bab 2 Landasan Teori

II-21 6. Fondasi Hypaar

Fondasi telapak (spread footing) merupakan fondasi yang berdiri sendiri dalam mendukung kolom.

Fondasi memanjang (continuous footing) adalah fondasi yang digunakan untuk mendukung dinding memanjang atau digunakan untuk mendukung sederetan kolom-kolom yang berjarak sangat dekat; sehingga bila dipakai fondasi telapak sisi-sisinya akan berhimpit satu sama lain.

Fondasi rakit (raft foundation atau mat foundation) adalah fondasi yang digunakan untuk mendukung bangunan yang terletak pada tanah lunak, atau bila susunan kolom-kolom jaraknya sedemikian dekat di semua arahnya, sehingga bila dipakai fondasi telapak sisi-sisinya akan berhimpit satu sama lain.

2.2.4 Fondasi Tiang

Sedangkan apabila lapisan tanah kerasnya berada jauh dari permukaan tanah, maka diperlukan suatu Fondasi Dalam (deep foundation). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembagian jenis Fondasi Dangkal atau Dalam didasarkan atas letak keberadaan tanah kerasnya. Fondasi dalam dapat dibedakan menjadi :

1. Fondasi Sumuran 2. Fondasi Tiang 3. Fondasi Kaisson

Fondasi sumuran atau kaison ( pier foundation/caisson) yang merupakan bentuk peralihan antara fondasi dangkal dan fondasi tiang,

(22)

Bab 2 Landasan Teori

II-22 digunakan apabila tanah dasar yang kuat terletak pada kedalaman yang relatif dalam.

Fondasi tiang (pile foundation), digunakan bila tanah fondasi pada kedalaman yang normal tidak mampu mendukung bebannya, sedangkan tanah kerasnya terletak pada kedalaman yang sangat dalam.. Demikian pula, bila fondasi bangunan terletak pada tanah timbunan yang cukup tinggi, sehingga bila bangunan diletakkan pada timbunan akan dipengaruhi oleh penurunan yang besar. Beda antara fondasi sumuran dan tiang adalah fondasi tiang umumnya berdiameter lebih kecil dan lebih panjang, walaupun pada waktu sekarang terdapat tiang bor yang diameternya cukup besar pula. Pada prinsipnya, fondasi dalam adalah fondasi yang di dalam mendukung beban bangunan mengandalkan tahanan ujung dan tahanan gesek dindingnya. Sedangkan fondasi dangkal hanya mengandalkan tahanan ujungnya saja, karena tahanan gesek dindingnya kecil.

Fondasi tiang adalah suatu konstruksi fondasi yang mampu menahan gaya orthogonal ke sumbu tiang dengan cara menyerap lenturan. Fondasi tiang dibuat menjadi satu kesatuan yang monolit dengan menyatukan pangkal tiang yang terdapat di bawah konstruksi dengan tumpuan fondasi. Fondasi tiang digunakan untuk suatu bangunan yang tanah dasar di bawah bangunan tersebut tidaklah memiliki daya dukung yang cukup memadai untuk memikul berat bangunan dan beban yang diterimanya atau apabila tanah pendukung yang memiliki daya dukung yang cukup letaknya sangat dalam.

(23)

Bab 2 Landasan Teori

II-23 diterimanya dari konstruksi di atasnya ke lapisan tanah yang lebih dalam dan memiliki daya dukung yang memadai.

2.2.4.1 Penggolongan Fondasi Tiang

Fondasi tiang dapat digolongkan berdasarkan material yang digunakan, teknik pemasangan dan cara penyaluran beban yang diterimanya ke dalam tanah.

A. Berdasarkan material yang digunakan, fondasi tiang dapat dibagi menjadi :

- Tiang Kayu

- Tiang Baja : 1. Tiang pipa baja (Pipe Pile)

2. Tiang dengan penampang H (H-Pile)

- Tiang Beton :

1. Tiang Beton Pracetak : - Tanpa prategang (Precast) - Dengan prategang (Prestressed)

2. Tiang Beton yang dicor di tempat (cast in place) : - Frankie Pile - Raymond Pile - Simplex Pile - Tiang Bor - Tiang Strauss - Bump Pile

(24)

-Bab 2 Landasan Teori

II-24 - Tiang Komposit : 1. Kayu dengan Beton

2. Baja dengan Beton

B. Berdasarkan teknik pemasangannya fondasi tiang dibagi menjadi :

- Tiang pancang pracetak :1. Dengan cara penumbukan 2. Dengan cara penggetaran

3. Dengan cara penanaman

- Tiang yang dicor di tempat :

1. Dengan cara penetraasi : Bump Pile, Frankie Pile, Closed End Pile, Simplex Pile, Raymond Concert Pile 2. Dengan cara penggalian : Open End Pile, Benoto Pile

3. Dengan cara pengeboran : Bored Pile 2.2.4.2 Dasar-dasar perencanaan Fondasi Tiang

Pada waktu melaksanakan perencanaan, umunya diperkirakan pengaturan letak tiang terlebih dahulu. Jarak minimum untuk tiang biasanya ditentukan sebesar 2.5 kali dari diameter tiang agar tidak terjadi kesulitan bagi pada saat pemancangan maupun sesudahnya.

Fondasi tiang haruslah diletakkan pada lapisan tanah pendukung yang mampu memikul beban yang diterimanya. Lapisan tanah ini bisa berupa lapisan lempung yang keras sampai pada batu-batuan tetap yang sangat keras. Apabila daya dukung tiang ditentukan oleh tahanan ujung tiang maka tiang disebut sebagai “Tiang dukung ujung/End bearing pile“.

(25)

Bab 2 Landasan Teori

II-25 Namun bila lapisan tanah kerasnya terletak sangat dalam sehingga pembuatan dan pemancangan tiang sampai lapisan tanah keras tersebut sukar dilaksanakan, maka dalam hal ini digunakan fondasi tiang yang daya dukungnya dihitung berdasarkan lekatan antara tiang dengan tanah, atau dengan kata lain daya dukungnya ditentukan oleh perlawanan gesek antara dinding tiang dan tanah disekitarnya maka tiang ini dinamakan “Tiang

Gesek/Friction pile”. Hal ini sering terjadi pada lapisan lempung lunak,

dimana tahanan ujung tiang jauh lebih kecil dari tahanan geseran selimut tiang.

2.2.4.3 Prosedur Perencanaan

Dalam merencanakan fondasi suatu bangunan, perlu dilakukan prosedur sebagai berikut :

1. Menentukan kriteria perencanaan, seperti beban-beban yg bekerja pada tumpuan (poer), parameter tanah, situasi dan kondisi bangunan di sekitar lokasi, besar pergeseran yang diijinkan, tegangan ijin dari bahan-bahan fondasi dsb.

2. Memperkirakan diameter, jenis, panjang, jumlah dan susunan tiang. Perkiraan tersebut sebaiknya disesuaikan dengan yang ada dipasaran. 3. Menghitung daya dukung vertikal tiang tunggal (single pile), baik

untuk kondisi pembebanan normal maupun pada waktu gempa.

4. Menghitung faktor effisiensi dalam kelompok tiang dan daya dukung vertikal yang diijinkan untuk sebuah tiang dalam kelompok tiang. 5. Menghitung beban vertikal yang bekerja pada setiap tiang dalam

(26)

Bab 2 Landasan Teori

II-26 6. Memeriksa beban yang bekerja pada setiap tiang masih termasuk

dalam batas daya dukung yang diijinkan masih termasuk dalam batas daya dukung yang diijinkan yang dihitung pada langkah no.4 di atas. Bila hasilnya melampaui daya dukung yang diijinkan untuk setiap tiang maka perkiraan diamter, jumlah dan susunan tiang harus diganti. Selanjutnya perhitungan diulang kembali mulai dari langkah no.2. 7. Menghitung beban horisontal yang bekerja pada setiap tiang dalam

kelompok.

8. Menghitung penurunan. 9. Merencanakan struktur tiang. 2.2.4.4 Kapasitas Daya Dukung Tiang

Dalam menentukan kapasitas dukung tiang diperlukan klasifikasi tiang dalam mendukung beban yang bekerja. Menurut Terzaghi, klasifikasi tiang didasarkan pada fondasi tiang yaitu :

1. Tiang gesek (friction pile), bila tiang pancang pada tanah berbutir. Akibat pemancangan tiang, tanah disekitar tiang menjadi padat. Porositas dan kompresibilitas tanah akibat getaran pada waktu tiang dipancang menjadi berkurang dan angka gesekan antara butir – butir tanah dan permukaan tiang pada arah lateral menjadi bertambah.

2. Tiang lekat (cohesion pile), bila tiang dipancang pada tanah lunak (permeabilitas rendah) atau tanah mempunyai kohesi yang tinggi.

3. Tiang mendukung dibagian ujung tiang (point / end bearing pile), bila tiang dipancang dengan ujung tiang mencapai tanah keras sehingga

(27)

Bab 2 Landasan Teori

II-27 seluruh beban yang dipikul oleh tiang diteruskan ke tanah keras melalui ujung tiang.

4. Tiang tekan, bila tiang telah menumpu pada tanah keras dan mendapatkan tekanan vertikal dari beban mati maupun beban hidup.

5. Tiang tarik, bila tiang pancang pada tanah berbutir mendapat gaya yang bekerja dari lendutan momen yang mengakibatkan tiang mengalami gaya tarik.

Pada kenyataannya di lapangan, tanah sangat heterogen dan pada umumnya merupakan kombinasi dari kelima hal tersebut di atas. Berbagai metode dalam usaha menentukan kapasitas dukung tiang ini, tapi umumnya dibedakan dalam dua kategori yaitu untuk tiang tunggal dan kelompok tiang. 2.2.4.5 Perbandingan Tiang Bor dengan Tiang Pancang

(28)

Bab 2 Landasan Teori

II-28 2.3 DAYA DUKUNG FONDASI TIANG

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa kestabilan bangunan bergantung dari fondasi yang digunakan. Kapasitas fondasi tiang akan dapat ditentukan bila daya dukung tiang baik terhadap tiang tunggal maupun kelompok tiang telah diketahui dengan jelas melalui proses perhitungan. Perhitungan didasarkan dari beberapa formula pendekatan para ahli geoteknik dan fondasi didunia.

2.3.1 Daya Dukung Tiang Tunggal 2.3.1.1 Daya Dukung Batas

Daya dukung batas tiang ( ultimate ) dapat diberikan dalam sebuah rumus sederhana sebagai jumlah daya titik ditambah tahanan gesek total (gesekan kulit) yang diturunkan antara muka-antara tanah-tiang dengan persamaan

Qu = Qp + Qs (2.14)

Dengan : Qu = daya dukung batas

Qp = daya dukung titik ( ujung )

(29)

Bab 2 Landasan Teori

II-29 Gambar 2.5 Daya Dukung Ujung dan Selimut Tiang

2.3.1.2 Daya Dukung Ijin Tiang

Nilai kapasitas dukung ijin tiang (Qa) dihitung dengan memakai rumus berikut ini :

Qa = Qu /SF (2.15)

Dengan :

Qu = Kapasitas dukung ultimate tiang SF = Faktor aman

2.3.1.3 Daya Dukung Ujung Tiang Berdasarkan Data Sondir

fb = qc (ton/m²)

Tahanan ujung batas tiang (Qb) dinyatakan dalam persamaan : Pada Tanah Pasir

a. Metode Vesic (1967)

Menyarankan tahanan ujung tiang persatuan luas (fb) kurang lebih sama dengan tahanan kerucut (qc), atau :

(30)

Bab 2 Landasan Teori

II-30

Qb = Ab . qc (2.16)

Dimana,

Qb = Daya Dukung batas ujung tiang (ton) Ab = Luas penampang ujung tiang (m²)

qc = Tahanan konus pada ujung tiang (ton/ m²) b. Metode Meyerhoff (1976)

Menentukan kapasitas dukung ujung tiang tergantung jenis tanahnya. Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas dukung ujung tiang menurut jenis tanahnya :

Qp= Ap . qp

qp = c . Nc’ + q . Nq’ Pada tanah pasir nilai c = 0

Qp= Ap . qp = Ap . 0,5 . tg φ . Nq’.pa (2.17) Dengan :

Qp = Kapasitas dukung ujung tiang ( ton ) Ap = Luas penampang ujung tiang (m2)

Qp = Kapasitas dukung batas / unit tahanan ujung

ϕ = Sudut gesek dalam tanah Nq’ = Faktor kapasitas dukung

Pa = tekanan atmosfir ( 100 kN/m2 ) Nilai Nq’ dan Nc’ didapat dari Gambar berikut :

(31)

Bab 2 Landasan Teori

II-31 Gambar 2.6 Faktor Nilai Nq’ dan Nc’

Pada Tanah Lempung

a. Metode LCPC ( Bustamante and Gianeselli 1982)

Qp = Ap . qp (2.18)

qp = qc (eq) kb (2.19)

Dengan :

qc (eq) = Tahanan ujung rata-rata

( tinjauan rata-rata antara 1.5 D diatas ujung tiang sampai 1.5 D dibawah tiang, setelah itu potong grafik sondir antara nilai lebih dari1.3 qc (av) dengan kurang 0.7 qc (av) ) kb = factor kapasitas dukungan empiris,

( untuk lempung & lanau = 0,6 ) ( untuk pasir & batuan = 0,375 )

(32)

Bab 2 Landasan Teori

II-32

Gambar 2.7 Potongan Lapisan Tanah Tes Sondir

b. Metode Dutch

( DeRuiter and Beringen,1979 ). Tinjauan rata antara 8D diatas sampai 4D dibawah ujung tiang

Qp = Ap . qp (2.20)

qp = R1.R2.0.5.( qc1 + qc2 ). k’b ≤ 150 pa (2.21) Dengan :

R1 = factor reduksi, dimana berfungsi atas kekuatan geser undrained.

R2 = 1 kerucut elektrik penetrometer (kalau dilapisan lempung), = 0,6 kerucut mekanik penetrometer ( kalau terpotong dilapisan lempung ).

qc1 = Tahanan rata-rata 4D dibawah ujung tiang qc2 = Tahanan rata-rata 8D diatas ujung tiang

(33)

Bab 2 Landasan Teori

II-33 SPT menghasilkan suatu nilai N (banyaknya pukulan) pada kedalaman tertentu. Pengujian ini sangat baik dilakukan pada tanah non kohesif.

Gambar 2.8 Simulasi Metode Dutch

2.3.1.4 Daya Dukung Ujung Tiang Berdasarkan Data N-SPT Pada Tanah Pasir

a. Metode Briuad et al. (1985)

Qp = Ap. qp (2.22)

qp = 19,7 . Pa.(N60)0,36 (2.23)

(34)

Bab 2 Landasan Teori

II-34 Qp = Kapasitas dukung ujung tiang ( ton )

Ap = Luas penampang ujung tiang (m2)

qp = Kapasitas dukung batas / unit tahanan ujung

N60 = nilai rata-rata N-SPT yang terletak 4D di bawah dan 10D di atas ujung tiang.

Pa = tekanan atmosfer (100 KN/m2 = 2000 lb/ft2)

b. Metode Shioi and Fukui (1982)

Qp = Ap. qp (2.24)

qp = 0,15. Pa.(N60) (2.25)

dengan,

Qp = Kapasitas dukung ujung tiang ( ton ) Ap = Luas penampang ujung tiang (m2)

qp = Kapasitas dukung batas / unit tahanan ujung

N60 = nilai rata-rata N-SPT yang terletak 4D di bawah dan 10D di atas ujung tiang.

Pa= tekanan atmosfer (100 KN/m2 = 2000 lb/ft2)

Pada Tanah Lempung a. Metode Meyerhoff (1956)

Untuk jenis tanah dan jenis tiang yang berbeda. Meyerhoff (1956) menganjurkan formula daya dukung tiang sebagai berikut :

(35)

Bab 2 Landasan Teori

II-35 dengan,

Qu = Tahanan ujung ultimit (ton)

Nb = Harga N- SPT pada elevasi ujung tiang (ton/m²) Ap = Luas penampang ujung tiang (m²)

N = Nilai N-SPT rata-rata sepanjang tiang

b. Metode Shioi and Fukui (1982)

Qp = Ap. qp (2.27)

qp =0,3. Pa.(N60) (2.28)

dengan,

Qp = Kapasitas dukung ujung tiang ( ton ) Ap = Luas penampang ujung tiang (m2)

qp = Kapasitas dukung batas / unit tahanan ujung

N60 = nilai rata-rata N-SPT yang terletak 4D di bawah dan 10D di atas ujung tiang.

Pa= tekanan atmosfer (100 KN/m2 = 2000 lb/ft2)

c. Metode Schmertmann

Schmertmann menggunakan korelasi N-SPT dengan tahanan ujung tiang untuk menentukan daya dukung ujung tiang.

Qp = Ap. qp (2.29)

(36)

Bab 2 Landasan Teori

II-36 dengan,

n = Koefisien tahanan ujung pada lapisan tanah ( Tabel 2.13 )

Tabel 2.13 Nilai gesekan selimut dan tahanan ujung Schmertmann

2.3.1.5 Daya Dukung Selimut Tiang Berdasarkan Data Sondir a. Metode Nottingham and Schmertmann (1975)

f= α’.fsc (2.31)

dengan,

α’ = Faktor adhesi Nottingham (gambar 2.9)

(37)

Bab 2 Landasan Teori

II-37 Gambar 2.9 Grafik Faktor Adhesi Nottingham

2.3.1.6 Daya Dukung Selimut Tiang Berdasarkan Data N-SPT a. Metode Schmertmann (1967)

Schmertmann menggunakan korelasi N-SPT dengan tahanan selimut tiang untuk menentukan daya dukung selimut tiang.

Qs = As. f (2.32)

f = n.N (2.33)

dengan,

n = Koefisien tahanan selimut pada lapisan tanah ( Tabel 2.13 )

b. Metode Briaud et al. (1985)

(38)

Bab 2 Landasan Teori

II-38 dengan,

As = Keliling tiang (m)

N60 = nilai rata-rata N-SPT yang terletak 4D di bawah dan 10D di atas ujung tiang.

Pa = tekanan atmosfer (100 KN/m2 = 2000 lb/ft2)

c. Metode Meyerhoff (1976)

Qs = As . (Pa / 50). (N60) (2.35)

dengan,

As = Keliling tiang (m)

N60 = nilai rata-rata N-SPT yang terletak 4D di bawah dan 10D di atas ujung tiang.

Pa = tekanan atmosfer (100 KN/m2 = 2000 lb/ft2) 2.3.2 Kapasitas Daya Dukung Kelompok Tiang

Fondasi tiang pancang yang umumnya dipasang secara berkelompok. Yang dimaksud berkelompok adalah sekumpulan tiang yang dipasang secara relative berdekatan dan biasanya diikat menjadi satu dibagian atasnya dengan menggunakan pile cap. Untuk menghitung nilai kapasitas dukung kelompok tiang, ada bebarapa hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu, yaitu jumlah tiang dalam satu kelompok, jarak tiang, susunan tiang dan efisiensi kelompok tiang. Kelompok tiang dapat dilihat pada gambar berikut ini .

(39)

Bab 2 Landasan Teori

II-39 Gambar 2.10 Salah satu model kelompok tiang

2.3.2.1 Jumlah Tiang

Untuk menentukan jumlah tiang yang akan dipasang didasarkan beban yang bekerja pada fondasi dan kapasitas dukung ijin tiang, maka rumus yang dipakai adalah sebagai berikut ini.

n = P / Q a (2.36)

Dengan :

P = Beban yang bekerja

Qa = Kapasitas dukung ijin tiang tunggal 2.3.2.2 Jarak Tiang

Jarak antar tiang pancang didalam kelompok tiang sangat mempengruhi perhitungan kapasitas dukung dari kelompok tiang tersebut. Untuk bekerja sebagai kelompok tiang, jarak antar tiang yang dipakai adalah menurut peraturan – peraturan bangunan pada daerah masing – masing. Menurut K. Basah Suryolelono et.al (1994), pada prinsipnya jarak tiang (S) makin rapat, ukuran pile cap makin kecil dan secara tidak langsung biaya lebih murah. Tetapi bila fondasi memikul beban momen maka jarak tiang perlu diperbesar yang berarti menambah atau memperbesar tahanan momen.

(40)

Bab 2 Landasan Teori

II-40 Jarak tiang biasanya dipakai bila :

1. ujung tiang tidak mencapai tanah keras maka jarak tiang minimum ≥ 2 kali diameter tiang atau 2 kali diagonal tampang tiang.

2. ujung tiang mencapai tanah keras, maka jarak tiang minimum ≥ diameter tiang ditambah 30 cm atau panjang diagonal tiang ditambah 30 cm.

Direktorat Dirjen Bina Marga dalam makalah yang diberi judul “Perencanaan Fondasi Tiang” yang disajikan dalam seminar “Pile Foundation” pada bulan Desember 1992 mengisyaratkan bahwa kapasitas aksial kelompok harus diambil sebesar jumlah kapasitas tiang tersendiri (individual) bila jarak antara pusat-pusat tiang tidak kurang dari 5D .

S ≥ 5 D (2. 37)

dengan,

S = Jarak antara pusat ke pusat tiang. D = Diameter Tiang.

Namun pada referensi lain menyebutkan bahwa,

S = (2,5 – 3,0).D (2. 38)

Ketentuan-ketentuan di atas berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : - Bila S < 2.5 . B

1. Tanah disekitar kelompok tiang kemungkinan akan naik terlalu berlebihan karena terdesak oleh tiang perancah terlalu berdekatan. 2. Tiang yang telah dipancang terlebih dahulu disekitarnya

(41)

Bab 2 Landasan Teori II-41 D S S Tanah naik Tiang terangkat

Gambar 2.11Tanah terangkat akibat jarak tiang yang terlalu dekat

- Bila S > 3.0 .

B tidak ekonomis karena akan memperbesar ukuran atau dimensi dari poer (footing).

2.3.2.3 Susunan Tiang

Susunan tiang sangat berpengaruh terhadap luas denah pile cap, yang secara tidak langsung tergantung dari jarak tiang. Bila jarak tiang kurang teratur atau terlalu lebar, maka luas denah pile cap akan bertambah besar dan berakibat volume beton menjadi bertambah besar sehingga biaya konstruksi membengkak, dibawah ini adalah contoh susunan tiang :

(42)

Bab 2 Landasan Teori

II-42 Gambar 2.12 Model Susunan Tiang Pada Pile Cap

2.3.2.4 Efisiensi Kelompok Tiang

Menurut Coduto et.al (1983), efisiensi tiang bergantung pada beberapa faktor, yaitu :

1. Jumlah, panjang, diameter, susunan dan jarak tiang.

2. Model transfer beban (tahanan gesek terhadap tahanan dukung ujung).

3. Prosedur pelaksanaan pemasangan tiang. 4. Urutan pemasangan tiang

5. Macam tanah.

6. Waktu setelah pemasangan.

(43)

Bab 2 Landasan Teori

II-43 8. Arah dari beban yang bekerja.

Persamaan untuk menghitung efisiensi kelompok tiang adalah sebagai berikut:

Metode Conversi – Labarre

Eg = 1 – n m. . 90 θ . [(n – 1)m + (m -1)n] (2. 39) Dengan :

Eg = Efisiensi kelompok tiang θ = arc tg d/s, dalam derajat m = Jumlah baris tiang

n = Jumlah tiang dalam satu baris d = Diameter tiang

s = Jarak pusat ke pusat tiang

2.3.2.5 Kapasitas Dukung Kelompok Tiang Pada Tanah Pasir

Pada fondasi tiang pancang, tahanan gesek maupun tahanan ujung dengan s ≥ 3d, maka kapasitas dukung kelompok tiang diambil sama besarnya dengan jumlah kapasitas dukung tiang tunggal (Eg = 1). Dengan memakai rumus berikut :

Qg = n . Qa (2.40)

Sedangkan pada fondasi tiang pancang, tahanan gesek dengan s < 3d maka factor efisiensi ikut menentukan.

Qg = n . Qa . Eg (2.41)

Dengan :

(44)

Bab 2 Landasan Teori

II-44 n = Jumlah tiang dalam kelompok

Qa = Kapasitas dukung ijin tiang Eg = Efisiensi kelompok tiang

2.3.2.6 Kapasitas Dukung Kelompok Tiang Pada Tanah Lempung

Kapasitas dukung kelompok tiang pada tanah lempung dihitung dengan menggunakan rumus berikut,

1. Jumlah total kapasitas kelompok tiang

ΣQu = m . n . (Qp + Qs)= m . n . (9 . Ap . Cu + Σp . ΔL . α . Cu) (2. 42)

2. Kapasitas berdasarkan blok (Lg, Bg, LD)

ΣQu = Lg . Bg . Nc’ . Cu + Σ2 . (Lg + Bg) . Cu . ΔL (2. 43)

dengan :

Lg = Panjang blok Bg = Lebar blok LD = Tinggi blok

ΔL = Panjang segment tiang

Nc’ = Faktor daya dukung ( gambar 2.13)

(45)

Bab 2 Landasan Teori

II-45 Dari kedua rumus tersebut, nilai terkecil yang dipakai. Kelompok tiang dalam tanah lempung yang bekerja sebagai blok dapat dilihat pada gambar berikut

L B D L B

Gambar 2.14 Kelompok tiang dalam tanah lempung bekerja sebagai blok

2.3.2.7 Daya Dukung Kelompok Tiang pada Batuan

Untuk dukungan titik tiang yang terletak di batuan, banyak peraturan bangunan member ketentuan bahwa Qg( )u =∑Qudengan minimum jarak

antar tiang adalah sama dengan D + 300 mm. Untuk tiang H dan tiang dengan penampang bujur sangkar, nilai D adalah sama dengan panjang diagonal panampang tiang.

2.4 PENURUNAN FONDASI TIANG

Dalam masalah penurunan tiang, terdapat dua komponen yang menjadi pertimbangan. Pertama yaitu penurunan elastik tiang, kedua penurunan konsolidasi. Penurunan elastik tiang meliputi sifat elastik tanah dan tiangnya. Penurunan elastik kelompok tiang bergantung dari penurunan elastik tiang

(46)

Bab 2 Landasan Teori

II-46 tunggal. Jadi penurunan fondasi ialah penjumlahan penurunan kelompok tiang baik itu secara elastik maupun konsolidasinya.

2.4.1 Penurunan Elastik Tiang Tunggal

S = Ss + Sp + Sps (2.44)

dengan :

S = Penurunan total

Ss= Penurunan akibat deformasi aksial tiang Sp= Penurunan dari ujung tiang

Sps = Penurunan tiang akibat beban yang dialihkan sepanjang tiang.

Penurunan akibat deformasi aksial

(2.45) dengan :

Qp= Kapasitas dukung ujung tiang (ton) Qs= Kapasitas dukung selimut tiang (ton) L = Panjang tiang (m)

Ap= Luas penampang tiang (m2

Besarnya α bergantung pada sifat distribusi tahanan kulit sepanjang batang tiang. Jika distribusi f adalah seragam atau parabola, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.33a dan 2.33b, nilai α adalah 0.5. Namun untuk distribusi f dalam

) Ep= Modulus elastisitas tiang

α = Koefisien yang tergantung pada distribusi gesekan selimut sepanjang tiang.

(47)

Bab 2 Landasan Teori

II-47 bentuk segitiga (Gambar 2.33c), nilai α sekitar 0.67 (Vesic 1977). f ζ= 0.5 f ζ= 0.5 f ζ= 0.67 a b c

Gambar 2.15 Jenis Distribusi Tahanan Kulit Sepanjang Tiang Penurunan dari ujung tiang

(2.46) dengan :

Qp= Kapasitas dukung ujung tiang qp= Daya dukung batas diujung tiang d = Diameter

(48)

Bab 2 Landasan Teori

II-48 Tabel 2.14 Nilai Tipikal Cp

Jenis Tanah Tiang Pancang Tiang Bor

Pasir (padat hingga lepas) 0.02 - 0.04 0.09 - 0.18

Lempung (teguh hingga lunak) 0.02 - 0.03 0.03 - 0.06

Lanau (padat hingga lepas) 0.03 - 0.05 0.09 - 0.12

Penurunan akibat pengalihan beban sepanjang tiang

(2.47) dengan :

= Gesekan rata – rata yang bekerja sepanjang tiang

p = Keliling tiang (m)

L = Panjang tiang yang tertanam (m) d = Diamter tiang

Es= Modulus elastisitas tanah (Tabel 2.15)

μ

s= Poisson ratio tanah (Tabel 2.16)

(49)

Bab 2 Landasan Teori

II-49 Tabel 2.15 Perkiraan Modulus Elastis (Es), Bowles 1977

Tabel 2.16 Angka poisson μ(Bowles, 1968)

2.4.2 Penurunan Elastik Kelompok Tiang

Metode Vesic ( 1977)

(2.50)

dengan :

S = Penurunan fondasi tiang tunggal Sg = Penurunan fondasi kelompok tiang Bg = Lebar kelompok tiang

(50)

Bab 2 Landasan Teori

II-50 2.4.3 Penurunan Konsolidasi Kelompok Tiang

Penurunan konsolidasi tiang kelompok di tanah lempung dapat dihitung dengan menggunakan metode distribusi tegangan 2:1 . Prosedur perhitungan menggunakan langkah berikut :

a) Misalkan panjang tiang yang tertanam adalah L. tiang kelompok menderita beban total Qg. Jika kepala tiang berada di bawah permukaan tanah asli, Qg adalah sama dengan beban total dari banguan atas (superstructure) yang diterima tiang dikurangi dengan berat efektif tanah di atas tiang kelompok yang dibuang oleh penggalian.

b) Asumsikanlah bahwa beban Qg akan disalurkan ke tanah mulai dari kedalaman 2L/3 dari puncak tiang, seperti ditunjukkan dalam gambar. Puncak tiang adalah pada kedalaman z = 0. Beban Qg tersebar sepanjang garis 2 vertikal : 1 horizontal dari kedalaman ini. Garis aa' dan bb' adalah garis 2:1.

(51)

Bab 2 Landasan Teori

II-51 Gambar 2.16 Penurunan konsolidasi tiang kelompok

c) Hitunglah peningkatan tegangan yang timbul di tengah-tengah setiap lapisan tanah dengan beban Qg.

Δ pi = ) )( (Bg Zi Lg Zi Qg + + (2.51) Dengan :

∆pi = Peningkatan tegangan di tengah lapisan i

Bg, Lg = Panjang dan lebar tiang kelompok

(52)

Bab 2 Landasan Teori

II-52 Sebagai contoh dalam dalam gambar di atas untuk lapisan no. 2 , zi = L1/2. sama juga halnya dengan lapisan no.3, zi = L1 + L2/2, dan untuk lapisan no.4 zi L1 + L2 + L3/2. Namun tidak akan ada peningkatan tegangan pada lapisan no.1, karena berada di atas bidang horizontal (z = 0) dimana distribusi tegangan pada tanah dimulai.

d) Menghitung penurunan untuk masing-masing lapisan akibat adanya peningkatan tegangan pada lapisan itu. Besarnya penurunan dapat dihitung menggunakan persamaan konsolidasi satu dimensi untuk lempung terkonsolidasi normal dan terkonsolidasi lebih.

Untuk lempung terkonsolidasi normal :

Δ Si = ) ( 1 ) ( i eo Hi i Cc + log () ) ( i po pi i po +∆ (2.52)

Untuk lempung terkonsolidasi lebih dengan :

Po(i) + ∆Pi < Pc(i) (2.53) Δ Si = ) ( 1 ) ( i eo Hi i Cs + log () ) ( i po pi i po +∆ (2.54)

Untuk lempung terkonsolidasi lebih dengan :

Po(i) < Pc(i) < Po(i) + ∆Pi (2.55)

Δ Si = ) ( 1 ) ( i eo Hi i Cs + log ( ) ) ( i po i pc + ) ( 1 ) ( i eo Hi i Cc + log ( ) ) ( i po pi i po +∆ (2.56)

(53)

Bab 2 Landasan Teori

II-53 dengan :

∆si = Penurunan konsolidasi pada lapisan i

Po(i) = Tegangan efektif rata-rata pada lapisan I tanpa pembebanan

Pc(i) = Tekanan pra konsolidasi ℮o(i) = Angka pori awal pada lapisan i

Cc(i) = Indeks kompresi Cs(i) = Indeks pengembangan

Hi = Ketebalan lapisan I

e) Penurunan konsolidasi total tiang kelompok menjadi :

∆Sg(c) = ∑∆Si (2.57)

2.5 PILE CAP

Pile Cap berfungsi untuk menyalurkan beban bangunan yang diterima oleh kolom sehingga fondasi tiang akan menerima beban sesuai dengan kapasitas dukung ijin. Pile Cap biasanya terbuat dari beton bertulang, perancangan Pile Cap

dilakukan dengan anggapan sebagai berikut : 1. Pile Cap sangat kaku

2. Ujung atas tiang menggantung pada Pile Cap. Karena itu, tidak ada momen lentur yang diakibatkan oleh Pile Cap ke tiang.

3. Tiang merupakan kolom pendek dan elastis. Karena itu, distribusi tegangan dan deformasi membentuk bidang rata.

Hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan Pile Cap adalah pengaturan tiang dalam satu kelompok. Pada umumnya susunan tiang dibuat

(54)

Bab 2 Landasan Teori

II-54 simetris sehingga pusat berat kelompok tiang dan pusat berat Pile Cap terletak pada satu garis vertikal. Jarak antar tiang diusahakan sedekat mungkin untuk menghemat Pile Cap, tetapi jira fondasi memikul beban momen maka jarak tiang perlu diperbesar yang berarti menambah atau memperbesar tahanan momen.

2.6 FAKTOR KEAMANAN

Untuk memperoleh daya dukung ijin tiang, maka diperlukan untuk membagi daya dukung batasnya dengan faktor aman tertentu. Faktor aman ini perlu diberikan dengan maksud :

1. Untuk memberikan keamanan terhadap ketidak pastian metode perhitungan yang digunakan.

2. Untuk memberikan keamanan terhadap variasi kuat geser dan komprebilitas tanah.

3. Untuk menyakinkan bahwa bahan tiang cukup aman dalam mendukung beban yang bekerja.

4. Untuk meyakinkan bahwa penurunan total yang terjadi pada tiang tunggal atau kelompok tiang masih dalam batas-batas toleransi.

5. Untuk meyakinkan bahwa penurunan seragam di antara tiang-tiang masih dalam batas-batas toleransi.

Reese dan O’Neill et.al (1989) menyarankan pemilihan faktor aman (F) untuk perancangan fondasi tiang yang mmpertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :

(55)

Bab 2 Landasan Teori

II-55 1. Tipe dan kepentingan struktur

2. Variabilitas tanah

3. Ketelitian penyelidikan tanah

4. Tipe dan jumlah uji tanah yang dilakukan 5. Ketersediaan data di tempat (uji beban tiang) 6. Pengawasan/kontrol kualitas di lapangan

7. Kemungkinan beban desain aktual yang terjadi selama beban layanan struktur.

Tabel 2.17 Faktor aman yang disarankan (Reese & O'Neill,1989) Klasifikasi Struktur Faktor Aman (F) Kontrol baik Kontrol normal Kontrol jelek Kontrol sangat jelek Monumental 2,3 3 3,5 4,0 Permanen 2 2,5 2,8 3,4 Sementara 1,4 2,0 2,3 2,8

Besarnya beban kerja (workin load) atau daya dukung ijin (Qa) dengan memperhatikan keamanan terhadap keruntuhan adalah nilai daya dukung ultimit (Qu) dibagi dengan faktor aman (F) yang sesuai.

Variasi besarnya faktor aman yang telah banyak digunakan untuk perancangan fondasi tiang bergantung pada jenis tiang, sebagai berikut :

(56)

Bab 2 Landasan Teori

II-56 2.6.1 Pada Tiang pancang

Beberapa peneliti menyarankan faktor aman yang tidak sama untuk tahanan gesek dinding dan tahanan ujung. Daya dukung ijin dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :

Qa = 3 Qb + 5 , 1 Qs , dimana Qa = 5 , 2 Qu (2.58)

Penggunaan faktor aman sebesar 1,5 untuk tahan gesek dinding (Qs) yang lebih kecil dari faktor aman untuk tahanan ujung tiang (yaitu 3), karena nilai puncak dari tahanan gesek diding tiang dicapai bila tiang mengalami penurunan 2 samapi 7 mm, sedang tahanan ujung (Qb) membutuhkan penurunan yang lebih besar agar tahanan ujungnya bekerja secara penuh. Jadi maksud dari penggunaan faktor aman tersebut adalah untuk meyakinkan keamanan tiang terhadap keruntuhan tiang dengan mempertimbangkan penurunan tiang pada beban kerja yang diterapkan.

2.6.2 Pada Tiang Bor

Daya dukung ijin tiang bor diperoleh dari jumlah tahanan ujung dan tahanan gesek dinding yang dibagi dengan faktor aman tertentu.

a. Untuk dasar tiang yang dibesarkan dengan diameter d < 2 m :

Qa = 5 , 2 Qu (2.59)

(57)

Bab 2 Landasan Teori

II-57 b. Untuk dasar tiang tanpa pembesaran di bawahnya :

Qa = 2

Qu

Gambar

Tabel 2.1 Tekstur dan Karakteristik Pada Tanah
Gambar 2.2 Kurva Rekompresi dan Pengembangan.
Tabel 2.3 Faktor waktu
Tabel 2.4. Hubungan nilai N dengan kerapatan relative (Dr).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam penelitian ini yaitu meneliti tentang pengaruh kesadaran wajib pajak, pelayanan petugas pajak dan sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak

Terdapat 585 Rumah Tangga dengan rata-rata jiwa per Rumah Tangga 4 dan kelurahan Perum Bersatu merupakan Kelurahan yang memiliki kepadatan penduduk terbesar di

2 Kawasan yang datanya bertentangan menurut PI/Bank Dunia, 2000 diidentifikasi sebagai hutan dan sebagai hutan tanaman atau perkebunan menurut PI/Bank Dunia, 1996.

Neoplasma yang pertumbuhannya lambat, gejala klinis, antara lain nyeri kepala, akan muncul perlahan-lahan, apalagi bila topis neoplasma di daerah otak yang tidak

Adalah tidak mungkin untuk membawa semua kebutuhan dalam tas siaga, maka—belajar dari negeri Jepang—setiap rumah harus memiliki “bunker persediaan” atau tempat aman untuk menyimpan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan pada penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Bentuk-bentuk kesulitan belajar peserta didik yaitu, kesulitan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Winahyu, dkk (2016), menunjukkan bahwa perilaku seksual berisiko dipengaruhi oleh status pernikahan, ketersediaan transaksi

Analisis debit sub DAS Tapung dilakukan menggunakan program SWAT, pada kondisi awal simulasi ini digunakan nilai parameter – parameter yang ditentukan oleh