JURNAL Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020
46WAWASAN SOSIOKULTURAL TERHADAP PENINGKATAN MUTU SISWA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh
I Nengah Juliawan
STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email:[email protected]
I Nengah Adi Widana STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Email: [email protected]
ABSTRACT
Socioculturalism departs from the awareness of the importance of education that sees the inseparable processes of culture and education. Education and culture are closely related, where education and culture speak at the same level, namely character values. A person's way of thinking can be understood by tracing the origin of his conscious actions from social interactions based on his life history. Socio-cultural with social conditions as a place for the spread and exchange of knowledge, skills and socio-cultural values. Each individual acquires a variety of knowledge and skills through active daily interactions both in the environment, school and family. The context of the socio-cultural environment around students, in families, schools and communities has an important role to support socialization efforts and cultivation and even preservation of these socio-cultural values in order to guarantee quality in shaping the character of students.
Keywords: Sociocultural, character, quality, students.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki suatu sudut pandang pemahaman secara khusus yang memerlukan referensi cukup luas untuk memaknainya dengan melalui pengalaman serta kegiatan dimasyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan pendidikan itu sendiri, entah sejak kapan dimulainya pendidikan tersebut, belum dapat dipastikan secara eksplisit waktu yang tepat, dan dengan memahami sekaligus menyadari bahwa pendidikan telah berkembang sangat jauh, berawal dari praktik-praktik yang dilakukan di lapangan telah melahirkan metode dan teori yang memadai, dengan upaya sadar membentuk pendidikan sebagai kegiatan manusia dalam kehidupannya juga menempatkan tujuan sebagai suatu yang hendak dicapai, baik tujuan yang dirumuskan itu bersifat abstrak sampai pada rumusan-rumusan yang dibentuk secara khusus untuk memudahkan pencapaian yang lebih tinggi.
Secara umum yang dipahami sebagai pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nasional Indonesia,yang secara historis pengertian nasional,nasionalisme dengan berbagai
PINTU:Pusat Penjaminan Mutu
P ISSN 2746-7074 Volume 1 No 1, April 2020JURNAL Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020
47 implikasinya sudah dikenal abad ke -20, bersamaan dengan makin kuatnya represi pemerintah kolonila Belanda. Sebagai rekonstruksi psikologis individu sepanjang sejarah terkait pendidikan telah dilakukan dalam dan melalui berbagai cara, jika dikaitkan dalam bentuk pembagian pendidikan tersebut, pembagian paling jelas dapat ditunjukan dalam perbedaan pendidikan yang telah dilalui setiap individu, mulai dari pendidikan formal dan nonformal, pendidikan tradisional dan modern, pendidikan alamiah dan pendidikan sugesti berdasarkan cerita-cerita masa lampau yang di teruskan dari generasi ke generasi. Pendidikan karakter dengan berbagai varianya lahir bersamaan dengan pendidikan pada umumnya, namun terdapat perbedaan yang signifikan dalam masalah-maslaah kesejarahannya, dalam pengembangan bentuk dari penjaminan sebuah mutu siswa maka terdapat wawasan yang pelru di terapkan dalam pendidikan karakter dengan salah satu wawasan sosiokultural. Permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini semakin hari tampaknya semakin “berat” antara lain sebagai konsekuensi logis dari lemahnya pendidikan karakter pada masa yang lalu. Pendidikan karakter lebih menonjolkan pengetahuan tentang karakter yang baik sehingga “di atas kertas” setiap peserta didik tampak memiliki karakter yang terpuji, namun demikian dalam kehidupan nyata setiap hari justru tidak selalu demikian. Para siswa mengetahui secara normatif hal-hal yang baik dan benar tetapi mengalami kendala dalam nilai-nilai sosial budaya yang mengutamakan pembentukan karakter mulia, secara berangsur-angsur mulai dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman, peserta didik lebih menggemari budaya populer(Popular Culture) yang disuguhkan oleh berbagai media yang tersedia di masyarakat. Sedangkan jika menelisik kembali bahwa setiap daerah memiliki kekayaan budaya yang dapat dikembangkan secara cerdas untuk menjadi dasar pendidikan karakter pada peserta didik yang berada di daerah tersebut. Eksplorasi dan implementasi nilai-nilai budaya yang telah dimiliki oleh suatu masyarakat dapat lebih efektif dikembangkan dalam pendidikan karakter, hal ini selaras dengan semangat desentralisasi pendidikan yang menekankan pada tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan sekolah. Sekolah dapat membangun budaya sekolah berdasarkan nilai-nilai yang telah dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat dapat memberikan dukungan yang kuat untuk terus melaksanakannya disertai kebijakan pemerintah daerah untuk mengukuhkan dan melegitimasinya.
II. PEMBAHASAN
2.1 Wawasan Sosiokultural
Teori sosiokultural atau kognitif sosial menekankan bagaimana individu atau pembelajar menyertakan kebudayaan ke dalam penalaran, interaksi sosial, dan pemahaman diri mereka. Santrock (2009:323) mengemukakan bahwa dalam teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang berperan penting dalam pembelajaran ialah faktor sosial, kognitif, serta perilaku anak. Teori sosio cultural ini dilahirkan dari dua tokoh yaitu Piaget dan Vygotsky.
Piaget berpendapat bahwa belajar atau mendapatkan pengetahuan ditentukan karena adanya karsa individu artinya pengetahuan tersebut berasal dari individu yang berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibandingkan orang-orang
JURNAL Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020
48 yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial menjadi faktor sekunder. Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat. Pendidikan telah membawa manusia pada peradaban yang paling tinggi, begitupula pendidikan juga membawa manusia kearah kehancuran secara diri sendiri maupun menghancurkan dunia itu sendiri. Kepandaian yang dimiliki perlu di imbangi dengan pola-pola sosiokultural yang dimulai dari diri sendiri untuk pembenahan diri, di Bali mengenal sebuah perumpamaan yakni“Nyeliksik Bulu” yang dapat dimaknai dengan mengintropeksi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik guna menciptakan kondisi yang harmoni secara budaya, agama bahkan pendidikan itu sendiri. dialog menghasilkan kebudayaan baru yang relevan sesuai dengan nilai-nilai Memandang pendidikan tradisi dan praktik keagamaan, yakni penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat yang melahirkan pendidikan dan kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya, keduanya saling terbuka membangun agama itu sendiri yang dapat dikatakan sebagai pendidikan informal sebagai bentuk implementasi sosiokultural.
Vygotsky mengungkapkan dalam teorinya terkait sosiokultural dengan kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Setiap individu memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan, sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder, sehingga teori Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula. Interaksi yang terjadi disetiap lini, menekankan kelebihan dalam proses pendidikan dapat terserap dengan baik, karena aspek-aspek budaya, agama dan tradisi mampu di implementasikan dan menjadi representasi moderasi beragama setiap individu.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang individu dapat terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan individu terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain, dari perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya. Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya.
Vygotsky menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di
JURNAL Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020
49 lingkungan sosialnya. Selain itu Vygotsky juga menekankan bagaimana setiap individu dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Sesungguhnya moderasi beragama menjadi signifikan tidak hanya bagi penciptaan relasirelasi konstruktif di antara agamaagama secara eksternal, tetapi juga penting secara internal untuk menciptakan harmoni di antara berbagai aliran di dalam satu agama dengan tetap melibatkan secara garis besar di ranah lingkungan, sekolah dan keluarga, guna tercipta kesepakatan agama, budaya serta tradisi yang sejalan, mengembangkannya melalui langkahlangkah strategis dengan melibatkan dan memaksimalkan peran semua pihak.Ada tiga konsep penting teori sosiokultural, yaitu :
1. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut. Internalisasi yaitu mampu memunculkan perubahan dan perkembangan yang tak sekedar berupa transfer atau pengalihan.
2. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Menurut Vygotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan dalam dua tingkat yaitu perkembangan actual dan perkembangan potensial. Perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah secara mandiri. Ini disebut kemampuan intramental, sedangkan kemampuan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah bimbingan orang tua atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Ini disebut kemampuan intermental. Jarak diantara perkembangan potensial dan perkembangan actual disebut zona perkembanagn proksimal. Ibarat sebuah embrio, kuncup bunga yang belum menjadi buah. Tunas tersebut dapat matang dengan adanya interaksi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat context dependent atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan social.
3. Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychologis tools atau alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika. Ada dua jenis mediasi, yaitu:
a. Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self-regulation yang meliputi: self planning, self monitoring, self
JURNAL Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020
50checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
b. Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya)
2.2 Wawasan Sosiokultural Terhadap Peningkatan Mutu Siswa dalam Pendidikan Karakter
Menurut Suryabrata (1988;1) dengan istilah yang berbeda-beda pendidikan karakter bukan merupakan masalah baru. Psikologi kepribadian, ilmu watak, ilmu perangai, ilmu jiwa dan berbagai istilah ang berkaitan dengan ciri-ciri kejiwaan suadah sering dibicarakan, dalam bahasa asing dikenal dengan istlah characterologie, characterkunde, typologie, the psychology of character dan sebagainya, yang secara psikologis karakter diangap di terima sejak lahir, sifat-sifat bawaan dan sebagai bakat lalu dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana sosial budaya sebagai pokok pengaruh dalam kehidupan manusia tersebut. sedangkan dalam pengaruh kalangan akademis karakter juga di pengaruhi oleh keseimbangan dinamis antara materi dan lingkungan sekolah yang memberikan hasil berbeda-beda bagi setiap peserta didik, melaui output beragam yang bersifat postif maupun negatif, hal ini di pengaruhi oleh cara tangkap dan tanggap peserta didik dalam menerima pengetahuan yang di singkronisasikan dengan lingkungan tempatnya belajar.
Dewasa ini terdapat beberapa penyimpangan moral yang disebabkan oleh tidak adanya sebuah kepastian antra mana yang benar dan yang salah, karena sebuah relativitas individu melihat sesuatu yang salah, belum sepenuhnya keliru jika di pandang dari sudut individu lain. Pandangan dari segi psikologis sosial dan empiris juga menunjukan bahwa sangat sulit untuk memprediksi prilaku seseorang sebab prilaku tersebut di tentukan oleh faktor kondisi dan situasi, hal-hal ini meimbulkan tanda tanya besar bagi jaminan mutu peserta didik kelak yang akan mengamalka ilmunya di ranah lingkungan bermasyarakat. Pentingnya wawasan sosiokultral untuk menunjang ketidakstabilan prilaku terhadap perserta didik ataupun siswa dirasa sangat diperlukan, karena seperti yang diketahui bahwa sosiokultural memiliki andil yang besar bagi perkembangan karakter siswa.
Belajar sosiokultural berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya. Nilai-nilai sosiokultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Adanya pendidikan sosio-kultural, pendidikan tidak sekedar merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan, dan berbangsa di era global seperti saat ini, tetapi juga mencoba untuk mendefinisikan kembali rasa kebangsaan itu sendiri dalam menghadapi benturan berbagai konflik sosial budaya, ekonomi, dan politik dalam era global. Dengan kata lain,
JURNAL Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020
51 diterapkannya pendidikan sosiokultural ini, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan kultural, seperti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, gender, umur, dan kelas sosial-ekonomi dapat diminimalkan. Agar tujuan pendidikan sosio-kultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran dan dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya.Pengembangan aspek wawasan sosiokultural dapat dianggap juga sebagai pendekatan yang berpandangan bahwa sosialisasi bahkan penanaman nilai sosiokultural akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial budaya di sekitarnya. Dalam konteks lingkungan sosial budaya di sekitar peserta didik, di keluarga, sekolah dan masyarakat memiliki peran penting untuk mendukung upaya sosialisasi dan penanaman bahkan pelestarian nilai-nilai sosiokultural tersebut guna sebagai penjaminanan mutu dalam pembentukan karakter terhadap peserta didik. Sekolah perlu membangun budaya organisasi sekolah yang berbasis pada kearifan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. Sekolah dapat mengembangkan budaya organisasinya dengan memadukan nilai-nilai sosiokultural dan pendekatan-pendekatan lainnya yang relevan. Dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, pengembangan pola pewarisan nilai yang dapat diadaptasi dari Larson & Smalley seperti yang telah dikutip oleh Mustadi (2012) bahwa nilai-nilai sosiokultural sebagai “sebuah blue print yang menuntun perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dan ditetaskan dalam keluarga”. Nilai-nilai sosiokultural dapat dijadikan norma yang mengatur tingkah laku seseorang dalam kelompok, membuat seseorang sensitif terhadap status, dan membantunya mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya dan apa yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka. Sosiokultural membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan sebagai individu dan apa tanggung jawab dirinya terhadap organisasi maupun keompok di dalam lingkungannya. Dengan demikian, pengembangan pendidikan karakter yang berbasis pada wawasan sosiokultural merupakan pengembangan sekaligus penguatan terhadap fungsi nilai sosiokultural yang dapat dijadikan norma yang dapat mengatur perilaku peserta didik baik di dalam lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat.
III. PENUTUP
Siswa yang kuat karakternya memiliki kemampuan yang seimbang antara pikiran dan perasaan, emosionalitas dan intelektualitas, dalam hubungan inilah perlu adanya jembatan baru yang sudah sepatutnya di terapkan dalam peningkatan mutu siswa dalam penanaman wawasan sosiokultural dalam proses belajar-mengajar. Faktor pendukung jembatan baru ini yang berupa wawasan sosiokultural selama ini sering diabaikan dan porsi penempatannya kurang tepat. Namun seiring waktu untuk pembenahan kualitas dan meyakini bahwa akan menjadi sebuah jaminan mutu kelak bagi siswa, maka wawasan sosiokultural wajib menjadi input dalam pemberian bahan ajar terhadap peserta didik, yang fungsinya untuk memecahkan berbagai bentuk penyimpangan moral dipihak diri maupun pihak luar. Tentunya saat era terkini maka pendidikan karakter yang berwawasan sosiokultural merupakan cara yang efektif dan sebagai cara yang paling ampuh atau senjata
JURNAL Pusat Penjaminan Mutu, Volume 1, No. 1, April 2020
52 pamungkas untuk menanggulangi berbagai bentuk kekacauan yan terjadi, mulai dari rendahnya moral dan budi pekerti siswa. Meskipun hal ini tidak dapat dilakukan dengan waktu yang singkat, tetapi hal ini harus segera dimulai dan wajib memulainya demi generasi yang akan datang.DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S.2000. Prosedur Penelitian,: Suatu Pendekatan Praktis, Yogyakarta : Rineka Cipta.
Atmaja, dkk.2010.Etika Hindu. Surabaya : Paramita
Ary, Donald., Jacobs, Lucy Cheser., Razavieh, Asghar. (2010). Introduction to Research in Education 8th edition. Wardswoth Cengage Learning. Canada: Nelson Education ltd.
Cresswell, Jhon W., (2012). Eduactional Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research.Ney Jersey: Person Education, Inc.
Dinas Pendidikan Nasional. 2011. 18 Nilai-Nilai Pendidikan Karakter. Gandhi, Teguh, 2011. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta :AR-RUZZ Media.
Hasbullah, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Ngurah, I Gusti Made, dkk. 2006. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya : Paramita.
Mahpudz, A. (2010). Pendidikan Karakter dalam Membangun Sumber Daya Manusia yang Berakhlak Mulia: Tantangan dan Peluang Implementasi Di Persekolahan dalam Prayoga Bestari & Syaifullah Syam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam
Membangun Karakter Bangsa (Nation and Character Building): Refleksi, Komitmen dan Prospek, Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI.