• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Merek (Brand) 2.1.1 Definisi Merek

Menurut Kotler dalam bukunya yang berjudul Marketing Management (2003 p418), The American Marketing Association mendefinisikan merek, yaitu:

“Brand is a name, term, sign, symbol or design or a combination of them, intended to identify the goods or services of one seller or group of sellers and to differentiate them from those of competitors”.

Sedangkan Nicolino, dalam Brand Management: The Complete Ideal’s Guides (2004, p4) mengatakan bahwa merek adalah entitas yang mudah dikenali dan menjanjikan nilai-nilai tertentu. Menurutnya, sebuah nama, logo, singkatan, desain, atau apa saja, dapat dikatakan sebagai sebuah merek, jika memenuhi empat hal berikut:

• Dapat dikenali atau diidentifikasi (identifiable): dapat dengan mudah memisahkan satu barang yang serupa dengan yang lainnya melalui beberapa cara, biasanya berupa sepatah kata, warna, atau simbol (logo) yang dapat dilihat secara langsung

• Memiliki entitas: sesuatu yang mempunyai eksistensi yang khas atau berbeda

• Janji-janji tertentu (specific promises): sebuah produk atau jasa membuat klaim mengenai apa yang dapat diberikannya

• Nilai-nilai: apapun yang didapatkan konsumen pasti merupakan sesuatu yang konsumen peduli hingga batas tertentu

Namun beda halnya, menurut Hermawan Kartajaya, Marketing Icon of Indonesia, merek merupakan indikator value yang ditawarkan kepada

(2)

pelanggan, dan atau aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat loyalitasnya.

Berdasarkan pemikiran para ahli tersebut maka secara ringkas dapat disimpulkan bahwa merek adalah suatu aset yang bernilai, mampu menciptakan value dan memiliki entitas yang mudah dikenali, dimana perusahaan menawarkannya kepada pelanggan dengan tujuan untuk memperkuat loyalitas.

Menurut Kotler dalam bukunya Marketing Management (2003, pp418-419) ada enam makna yang bisa disampaikan melalui suatu merek, yaitu: 1. Atribut Produk (Attributes)

Suatu merek membawa atribut tertentu ke pikiran konsumen, seperti halnya kualitas, gengsi, mahal dan lain-lain. PAC menyatakan sesuatu yang mahal, produk yang dibuat dengan baik, kosmetiknya para artist, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya.

2. Manfaat (Benefits)

Suatu merek tidak hanya memiliki atribut tertentu, akan tetapi mempunyai manfaat tambahan, baik secara fungsional maupun emosional. Sebagai gambaran, atribut “mahal” cenderung diterjemahkan sebagai manfaat emosional, sehingga orang yang menggunakan kosmetik PAC akan merasa dirinya lebih cantik seperti para artist.

3. Nilai (Values)

Suatu merek mempunyai nilai tersendiri bagi produsen. PAC menyatakan produk cocok untuk semua jenis kulit, bergengsi, dan sebagainya. Dengan demikian produsen PAC juga mendapat nilai tinggi di mata masyarakat. 4. Budaya (Culture)

Suatu merek dapat mempersembahkan budaya tertentu dari suatu Negara. Caring Colour mencerminkan budaya Indonesia yang sangat suka

(3)

menggunakan bahan-bahan alami untuk kosmetik dan tetap memiliki kualitas tinggi.

5. Kepribadian (Personality)

Suatu merek dapat menunjukkan kepribadian tersendiri bagi konsumen. Sering kali produk tertentu menggunakan kepribadian orang yang terkenal untuk mendongkrak atau menopang merek produknya.

6. Pemakai (User)

Suatu merek dapat menunjukkan tipe konsumen yang yang biasa membeli dan menggunakannya. Pemakai kosmetik PAC pada umumnya diasosiasikan dengan kaya raya, kalangan artist, dan sebagainya.

Terdapat tiga pendekatan riset yang biasa digunakan untuk mendapatkan arti dari suatu merek, yaitu: (Kotler, 2003, p419)

1. Asosiasi kata-kata (word association), konsumen dapat di tanyakan mengenai kata apa yang terlintas di pikirannya saat mereka mendengar nama suatu merek disebutkan.

2. Personifikasi dari suatu Merek (personifying the brand), konsumen dapat diminta untuk mendeskripsikan manusia atau hewan seperti apa yang mereka pikirkan ketika suatu nama merek disebutkan.

3. Melangkah lebih tinggi untuk menemukan intisari dari suatu merek (laddering up to find the brand essence). Intisari dari suatu merek berhubungan dengan kedalaman dan tujuan yang lebih abstrak dari konsumen yang mengharapkan kepuasan dari merek tersebut.

(4)

Aaker menyatakan bahwa merek menjanjikan adanya tiga nilai, yaitu: (Simamora, 2002, pp14-16)

a. Nilai Fungsional

Nilai fungsional ini merupakan nilai yang paling mudah dilihat, yaitu nilai yang diperoleh dari atribut produk yang memberikan kegunaan (utility) fungsional kepada konsumen. Nilai ini berkaitan langsung dengan fungsi yang diberikan oleh produk atau layanan kepada konsumen.

b. Nilai Emosional

Jika konsumen mengalami perasaan positif (positive feeling) pada saat membeli atau menggunakan suatu merek, maka merek tersebut memberikan nilai emosional. Pada intinya, nilai emosional berhubungan dengan perasaan, yaitu perasaan positif apa yang akan dialami konsumen pada saat membeli produk. Nilai emosional pada umumnya berkaitan dengan nilai fungsional, jadi penuhi dulu nilai fungsional, baru bicarakan nilai emosional. Seringkali merek-merek bersaing memiliki nilai fungsional yang sama. Akan tetapi, biasanya satu merek lebih unggul dari merek lain karena memiliki nilai emosional ini.

c. Nilai Ekspresi Diri

Nilai ekspresi diri merupakan bagian dari nilai emosi. Kalau nilai emosional berkaitan dengan perasaan positif (misalnya nyaman, bahagia, bangga), maka ekspresi diri berbicara mengenai “bagaimana saya di mata orang lain maupun diri saya sendiri”. Jadi kalau nilai emosional berpusat pada diri sendiri, maka nilai ekspresi diri berpusat pada publik. Dengan kata lain, nilai ekspresi diri mencari jawaban atas “jati diri” seseorang.

(5)

2.1.2 Peranan dan Manfaat Merek

Merek memegang peranan sangat penting, salah satunya adalah menjembatani harapan konsumen pada saat perusahaan menjanjikan sesuatu kepada konsumen dengan demikian dapat di ketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tetapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama.

Adapun beberapa faktor yang menjadikan merek sangat penting, yaitu seperti: (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p2)

• Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi menjadi konsisten dan stabil

• Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya.

• Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan makin banyak asosiasi merek (brand association) yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika asosiasi merek yang terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini akan meningkatkan citra merek.

• Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek yang kuat akan sangat sanggup merubah perilaku konsumen.

• Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut. • Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan.

(6)

Keberadaan merek bermanfaat bagi pembeli, perantara, produsen maupun publik (Simamora, 2002, p3).

1. Bagi Pembeli. Merek bermanfaat untuk menceritakan mutu dan membantu memberi perhatian terhadap produk-produk baru yang mungkin bermanfaat bagi mereka.

2. Bagi Masyarakat. Merek bermanfaat dalam dua hal. Pertama, pemberian merek memungkinkan mutu produk lebih terjamin dan lebih konsisten. Kedua, meningkatkan efisiensi pembeli karena merek dapat menyediakan infomasi tentang produk dan tempat.

3. Bagi Penjual. Merek bermanfaat dalam empat hal. Pertama, memudahkan penjual mengolah pesanan dan menelusuri masalah-masalah yang timbul. Kedua, memberikan perlindungan hukum atas keistimewaan atau ciri khas produk. Ketiga, memungkinkan untuk menarik sekelompok pembeli yang setia dan menguntungkan. Keempat, membantu penjual melakukan segmentasi pasar.

2.2 Ekuitas Merek (Brand Equity) 2.2.1 Definisi Ekuitas Merek

Hana dan Wozniak (Simamora, 2002, pp46-47) mengatakan bahwa ekuitas merek adalah nilai tambah yang diberikan merek pada produk. Sepanjang memberikan nilai tambah, maka merek tersebut memiliki ekuitas. Kalau tidak memberikan nilai tambah, apalagi justru mengurangi nilai produk, berarti tidak ada ekuitas merek. Jadi, mereka melihat ekuitas merek sebagai nilai yang positif.

Berbeda halnya dengan Srinivasan dan Park (Simamora, 2002, p47) membuat konsepsi yang memungkinkan ekuitas merek bernilai negatif, nol,

(7)

ataupun positif. Menurut mereka, pada produk-produk bermerek terdapat dua jenis nilai. Pertama, nilai objektif, yaitu nilai berdasarkan realitas. Ini merupakan nilai yang tidak terkontaminasi oleh segala hal yang terkait dengan merek. Kedua, nilai total produk dengan merek. Ekuitas merek adalah selisih antara nilai total produk (dengan merek) dikurangi nilai objektifnya. Dengan hubungan demikian, dimungkinkan nilai ekuitas merek yang positif, nol dan negatif. Menurut mereka juga, ekuitas merek dapat dilihat pada ruang lingkup individu, segmen maupun pasar secara total. Pada ruang lingkup individu, di mungkin kan perbedaan ekuitas merek pada individu yang berbeda.

Kemungkinan nilai positif maupun negatif merek, juga dilihat oleh Aaker (1996, p7) dalam bukunya Building Strong Brand, yang mengatakan bahwa:

“Brand Equity is a set of assets (and liabilities) linked to a brand’s name and symbol that adds to (or subtracts from) the value provided by a product or service to a firm and/or that firm’s customers”.

Menurutnya merek adalah seperangkat aset dan kewajiban (liabilitas) merek yang terkait dengan suatu nama merek dan simbol merek yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Kalau positif, maka ekuitas merek menjadi aset. Kalau negatif, maka ekuitas merek menjadi kewajiban (liability). Sebagai kewajiban, merek justru menyumbangkan nilai negatif pada produk. Agar aset dan liabilitas mendasari ekuitas merek, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama atau simbol merek, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar ekuitas merek akan berubah pula.

(8)

2.2.2 Komponen Ekuitas Merek

Menurut David A. Aaker (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p4) ekuitas merek (brand equity) dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori, yaitu:

1. Kesadaran Merek (brand awareness), menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu.

2. Asosiasi Merek (brand association), mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis, dan lain-lain.

3. Persepsi Kualitas (perceived quality), mencerminkan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan.

4. Loyalitas Merek (brand loyalty), mencerminkan tingkat keterikatan konsumen dengan suatu merek produk.

5. Aset-Aset Merek Lainnya (other proprietary brand assets) seperti hak paten, rahasia teknologi, rahasia bisnis, akses khusus terhadap pemasok ataupun pasar, dan lain-lain.

Namun pada tahun 1996, Aaker (p319) mengembangkan keempat sumber di atas, yang berhubungan dengan konsumen menjadi sepuluh variabel dan diusulkan sebagai indikator ekuitas merek. Kesepuluh variabel tersebut dinamakan The Brand Equity Ten dan digambarkan dalam tabel 2.1 berikut ini.

(9)

Tabel 2.1 The Brand Equity Ten

Sumber: David A. Aaker, 1996, p319

2.2.3 Manfaat Ekuitas Merek

Davis (Simamora, 2002, pp49-50) mencatat bahwa merek yang kuat akan memperoleh manfaat-manfaat berikut:

• Loyalitas yang memungkinkan terjadinya transaksi berulang (repeat order). • Merek yang kuat memungkinkan perusahaan menetapkan harga yang lebih

tinggi (premium), yang berarti margin yang lebih tinggi bagi perusahaan. • Merek yang kuat memberikan kredibilitas pada produk lain yang

menggunakan merek tersebut, memungkinkan return yang lebih tinggi, memungkinkan diferensiasi relative dengan pesaing yang jelas, bernilai dan berkesinambungan.

The Brand Equity Ten

Loyalty Measures

1. Price Premium 2. Satisfaction/Loyalty

Perceived quality/Leadership Measures 3. Perceived quality 4. Leadership/Popularity Association Measures 5. Perceived Value 6. Brand Personality 7. Organizational Associations Awareness Measures 8. Brand awareness Market Behaviour Measures

9. Market Share

(10)

• Merek yang kuat memungkinkan fokus internal yang jelas. Artinya, dengan merek yang kuat, para karyawan mengerti untuk apa merek ada dan apa yang perlu mereka lakukan untuk mengusung merek itu.

• Semakin kuat merek, dimana loyalitas semakin tinggi, maka konsumen akan lebih toleran terhadap kesalahan produk atau perusahaan.

• Merek yang kuat menjadi faktor yang menarik karyawan-karyawan berkualitas, sekaligus mempertahankan karyawan-karyawan (yang puas) • Merek yang kuat menarik konsumen untuk hanya menggunakan faktor

merek dalam pengambilan keputusan pembelian.

Disamping memberi nilai bagi konsumen, ekuitas merek juga memberikan nilai bagi perusahaan dalam bentuk:

• Ekuitas merek dapat memperkuat program memikat para konsumen baru, bahkan merangkul kembali konsumen lama.

• Empat dimensi ekuitas merek yang terakhir dapat menguatkan loyalitas merek. Persepsi kualitas, asosiasi merek, dan nama yang terkenal dapat memberikan alasan untuk membeli dan dapat mempengaruhi kepuasan penggunaan.

• Ekuitas merek memungkinkan margin yang lebih tinggi dengan menjual produk pada harga optimum (premium pricing) dan mengurangi ketergantungan pada promosi.

• Ekuitas merek dapat memberikan landasan pertumbuhan dengan

melakukan perluasan merek.

(11)

Gambar 2.1 How Brand Equity Generate Value

Sumber: David A. Aaker, 1996, p9

BRAND EQUITY Brand Awareness Perceived Quality Other Proprietary Brand Assets Brand Association Brand Loyalty Reduced Marketing Costs Trade Leverage Attracting New Customers • Create Awareness • Reassurance Time to Respond to Competitive Threats

Anchor to Which Other Associations Can Be Attached Familiarity-Liking Signal of Substance/ Commitment Brand to Be Considered Reason-to-Buy Differentiate/Position Price Channel Member Interst Extensions Help Process/Retrieve Information Reason-to-Buy Create Positive Attitude/Feelings Extensions Competitive Advantage Provides Value to Customer by Enhancing Customer’s: Interpretation/ Processing of Information • Confidence in the Purchase Decision Use Satisfacton Provides Value to Firm by Enhancing • Efficiency and Effectiveness of Marketing Programs • Brand loyalty • Prices/Margins • Brand Extensions Trade Leverage • Competitive Advantage

(12)

2.3 Kesadaran Merek (Brand Awareness) 2.3.1 Definisi Kesadaran Merek

Kesadaran Merek (brand awareness) adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat, kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p54). Kesadaran ini menggambarkan keberadaan merek di dalam pikiran konsumen, yang dapat menjadi penentu dan merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen ekuitas merek lainnya. Jadi jika kesadaran itu sangat rendah maka hampir di pastikan bahwa ekuitas mereknya juga rendah.

Piramida atau tingkatan kesadaran merek dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi adalah sebagai berikut: (Durianto, Sugiarto, Budiman, 2004, p7) 1. Unware of Brand (tidak menyadari merek), adalah tingkat paling rendah

dalam piramida kesadaran merek, dimana konsumen tidak menyadari adanya suatu merek.

2. Brand Recognition (pengenalan merek), adalah tingkat minimal kesadaran merek, dimana pengenalan suatu merek muncul lagi setelah dilakukan pengingatan kembali lewat bantuan (aided recall).

3. Brand Recall (pengingatan kembali terhadap merek), adalah pengingatan kembali terhadap merek tanpa bantuan (unaided recall).

4. Top of Mind (puncak pikiran), adalah merek yang disebutkan pertama kali oleh konsumen atau yang pertama kali muncul dalam benak konsumen. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada dalam benak konsumen.

(13)

Gambar 2.2 Piramida Brand Awareness

Sumber: Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2004, p55

2.3.2 Nilai Kesadaran Merek

Peran kesadaran merek dalam membantu merek, dapat dipahami dengan mengkaji bagaimana kesadaran merek menciptakan suatu nilai, yaitu: (Durianto, Sugiarto, Budiman, 2004, p8)

1. Jangkar yang menjadi cantolan bagi asosiasi lain (anchor to which other association can be attached)

Tidak Menyadari Merek (Brand Unware) Pengenalan Merek (Brand Recognition) Pengingatan Kembali Merek (Brand Recall) Puncak Pikiran (Top of Mind)

(14)

Artinya suatu merek dapat digambarkan seperti suatu jangkar dengan beberapa rantai, dimana rantai ini menggambarkan asosiasi dari merek tersebut. Suatu merek yang kesadarannya tinggi akan membantu asosiasi-asosiasi melekat pada merek tersebut karena daya jelajah merek tersebut menjadi sangat tinggi di benak konsumen. Dengan demikian dapat disimpilkan bahwa jika kesadaran suatu merek rendah, suatu asosiasi yang diciptakan oleh pemasar akan sulit melekat pada merek tersebut.

2. Familier/rasa suka (familiarity-liking)

Jika keberadaan merek perusahaan sangat tinggi, konsumen akan sangat akrab dan terbiasa dengan merek perusahaan, dan lama-kelamaan dari kebiasaan tersebut akan timbul rasa suka yang tinggi terhadap merek yang perusahaan pasarkan tersebut, yang kadang-kadang dapat menjadi suatu pendorong dalam membuat keputusan.

3. Substansi/komitmen (signal of substance/commitment)

Kesadaran merek dapat menandakan keberadaan, komitmen dan inti yang sangat penting bagi suatu perusahaan. Jadi jika kesadaran akan merek tinggi, kehadiran merek itu akan selalu dapat perusahaan rasakan. Sebuah merek dengan kesadaran konsumen tinggi biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

• Diiklankan secara luas

• Eksistensi yang sudah teruji oleh waktu • Jangkauan distribusi yang luas

• Merek tersebut dikelola dengan baik

Karena itu, jika kualitas dua merek adalah sama, kesadaran merek akan menjadi faktor yang menentukan dalam keputusan pembelian

(15)

4. Mempertimbangkan merek (brand to be considered)

Langkah pertama dalam suatu proses pembelian adalah menyeleksi merek-merek yang dikenal dalam suatu kelompok untuk dipertimbangkan dan diputuskan merek mana yang akan dibeli. Merek dengan top of mind yang tinggi mempunyai pertimbangan yang tinggi. Jika suatu merek tidak tersimpan dalam ingatan, merek tersebut tidak akan dipertimbangkan dalam benak konsumen. Biasanya merek-merek yang disimpan dalam ingatan konsumen adalah yang disukai atau dibenci.

2.4 Asosiasi Merek (Brand Association) 2.4.1 Definisi Asosiasi Merek

Asosiasi merek (brand association) adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p69).

Kesan-kesan yang terkait dengan merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya kemunculan merek tersebut dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain. Suatu merek yang telah kuat akan memiliki posisi menonjol dalam persaingan bila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut brand image. Semakin banyak asosiasi yang saling berhubungan, semakin kuat brand image yang dimiliki oleh merek tersebut.

(16)

2.4.2 Sumber-Sumber Asosiasi Merek

Menurut Aaker (Simamora, 2002, pp.31-36) terdapat sebelas sumber asosiasi yang terkait dengan suatu merek, yaitu:

1. Atribut produk (product attributes)

Mengasosiasikan atribut atau karakteristik suatu produk merupakan strategi positioning yang paling sering digunakan. Mengembangkan asosiasi semacam ini efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat secara langsung diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek.

Menurut Kotler (Simamora), atribut produk terdiri atas kualitas, desain dan fitur (feature). Kualitas lebih lanjut dijelaskan sebagai kinerja (performance), unjuk kerja (comformance), keandalan (reliability), kemudahan diperbaiki (repairability), gaya (style), daya tahan (durability) dan desain (design). Biasanya tidak semua komponen atribut di jadikan andalan (selling point) oleh produsen, cukup satu atau beberapa atribut yang menonjol (salient atribut) dari suatu produk.

2. Atribut tak berwujud (intangibles attributes)

Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif. Namun terdapat beberapa resiko apabila perusahaan menggunakan atribut ini sebagai sumber asosiasi, yaitu seperti: y Rentan terhadap inovasi perusahaan lain.

y Seringkali klaim atas spesifikasi tertentu malah menurunkan kredibilitas produk yang bersangkutan.

y Seringkali konsumen tidak memperdulikan klaim produk atas spesifikasi tertentu karena menganggap tidak ada perbedaan berarti antara satu produk dengan produk lain. Risiko-risiko di atas dapat dihindari dengan membuat asosiasi yang tidak terukur, dan tidak bisa dibandingkan.

(17)

3. Manfaat produk bagi pelanggan (customer’s benefits)

Karena sebagian besar atribut produk memberikan manfaat bagi pelanggan, maka biasanya terdapat hubungan antara keduanya. Artinya, kalau mau membuat asosiasi manfaat, mau tidak mau perusahaan juga harus membuat asosiasi atribut sebagai alasannya. Yang ditonjolkan produsen sebenarnya adalah asosiasi manfaat, sebab atribut yang dijadikan sebagai alasan, seringkali tidak dipahami masyarakat umum.

4. Harga relatif (relative price)

Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan di awali dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkat harga. Sudah jelas bahwa harga yang dijadikan sebagai sumber asosiasi adalah harga rendah atau harga yang terjangkau. Penggunaan “harga terjangkau” sebagai sumber asosiasi akan bermanfaat bila pasar sasaran yang di bidik sensitive terhadap harga, dan selisih harga yang di tawarkan cukup berarti bagi konsumen.

5. Penggunaan (application)

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu. “Saat apa produk digunakan” dapat dipakai menjadi sumber asosiasi produk.

6. Pengguna/pelanggan (user or customer)

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek dengan sebuah tipe pengguna atau pelanggan dari produk tersebut.

7. Orang terkenal/khalayak (celebrity or person)

Mengaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut. Ruginya, kalau citra orang itu rusak, maka citra merek juga bisa turun.

(18)

8. Gaya hidup/kepribadian (life style or personality)

Asosiasi sebuah merek dengan suatu gaya hidup dapat di ilhami oleh asosiasi para pelanggan merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama.

9. Kelas produk (product class)

Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya akan lebih berhasil jika merek tersebut merupakan merek pertama pada kategori produk yang bersangkutan.

10. Para pesaing (competitors)

Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing dapat dijadikan sebagai sumber asosiasi.

11. Negara/area geografis (country or geographic area)

Sebuah Negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan. Syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan suatu Negara atau wilayah geografis sebagai sumber asosiasi adalah tempat-tempat yang dijadikan sumber asosiasi harus memiliki citra positif tentang produk yang diiklankan. Atau, mengikuti istilah Michael Porter. Negara bersangkutan harus memiliki competitive advantage of nation mengenai produk-produk itu.

2.4.3 Fungsi Asosiasi Merek

Pada umunya asosiasi merek (terutama yang membentuk brand image-nya) menjadi pijakan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitasnya pada merek tersebut. Dalam prakteknya, di dapati banyak sekali kemungkinan asosiasi dan variasi dari brand association yang dapat memberikan nilai bagi suatu merek, dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna. Berbagai fungsi tersebut adalah:

(19)

1. Membantu proses penyusunan informasi (help process/retrieve information) 2. Membedakan (differentiate)

Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari merek lain.

3. Alasan pembelian (reason to buy)

Asosiasi merek membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen (consumer benefits) yang dapat memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.

4. Menciptakan sikap atau perasaan positif (create positive attitude/feelings) Beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya merembet ke merek yang bersangkutan. Asosiasi-asosiasi tersebut dapat menciptakan perasaan positif atas dasar pengalaman mereka sebelumnya seta pengubahan pengalaman tersebut menjadi sesuatu yang lain daripada yang lain.

5. Landasan untuk perluasan (basis for extentions)

Suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian (sense of fit) antara merek dan sebuah merek produk baru, atau dengan menghadirkan alasan untuk membeli produk perluasan tersebut.

2.5 Persepsi Kualitas (Perceived Quality) 2.5.1 Definisi Persepsi Kualitas

Persepsi kualitas menurut David Aaker (Durianto, Sugiarto, Budiman, 2004, p15), merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang

(20)

diharapkan oleh pelanggan. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas merek.

Bila berbicara masalah kualitas, maka terdapat kualitas objektif dan kualitas menurut persepsi konsumen (perceived quality). Yang terpenting adalah persepsi di mata konsumen. Kotler (Simamora, 2002, p22) mengatakan bahwa, “Quality is the totality of feature and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisfy stated or implied needs”. Artinya, bahwa kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik yang membuat produk mampu memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan.

Dan yang lebih tegas menyatakan kualitas merek sebagai persepsi adalah I. Leonard A. Morgan. Sebagaimana dikutip Simamora (2002, p22), dalam Aura Merek, ia mengatakan:

“Quality must be perceived by customer. Quality work must begin with the customer’s need end with the customer’s perception. Quality improvement are only meaningful when they are perceived by the customers”

Senada dengan Morgan, Cleland dan Bruno (Simamora, 2002, p23) memberikan tiga prinsip tentang kualitas sebagai persepsi, yaitu:

1. Kualitas bersumber pada aspek produk dan non produk, atau seluruh kebutuhan non-harga (non-price needs) yang dicari konsumen untuk memuaskan kebutuhannya. Yang di pertimbangkan konsumen dari sebuah produk mencakup tiga aspek utama, yaitu harga, produk dan non-produk. Produk adalah standar yang diharapkan dari sebuah produk. Pada sebuah kosmetik misalnya, aspek produk adalah warna, desain kemasan, dan kelengkapan fungsi. Sedangkan aspek non-produk terdiri atas reputasi, daya tahan pemakaian, masa expired dan layanan pembelian di setiap counter-counter.

(21)

2. Kualitas ada bila masuk ke dalam persepsi konsumen (quality exists only as it is perceived by customers). Kalau konsumen mempersepsikan kualitas produk kosmetik merek PAC dan Caring Colours sebagai bernilai rendah, maka kualitas produk merek PAC dan Caring Colours itu rendah, apa pun realitasnya. Persepsi lebih penting daripada realitas. Konsumen membuat keputusan berdasarkan persepsi, bukan realitas. Jadi, persepsi adalah realitas.

3. Kualitas sebagai persepsi diukur secara relative terhadap pesaing. Kalau produk kosmetik merek PAC sederhana saja, akan tetapi produk kosmetik pesaing lebih sederhana lagi, maka produk kosmetik merek PAC memiliki kualitas. Sebaliknya, kalau produk kosmetik Caring Colours menawarkan produk yang baik, akan tetapi produk pesaing lebih baik lagi, maka produk kosmetik merek Caring Colours tidak memiliki kualitas.

2.5.2 Dimensi Persepsi Kualitas

Mengacu pada pendapat David A. Garvin (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, pp98-100), dimensi persepsi kualitas untuk konteks produk dapat dibagi menjadi 7 yaitu:

1. Kinerja: melibatkan berbagai karakteristik operasional utama, misalnya karakteristik kosmetik adalah daya tahan, kesensitivitasan pada kulit, dan kenyamanan.

2. Pelayanan: mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tertentu.

3. Ketahanan: mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut.

4. Keandalan: konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya.

(22)

5. Karakteristik Produk: bagian-bagian tambahan dari produk (feature). Penambahan ini biasanya diinginkan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. Bagian-bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggannya yang dinamis sesuai perkembangan.

6. Kesesuaian dengan Spesifikasi: merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditemukan atau teruji.

7. Hasil: mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan “hasil akhir” produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas lain yang penting.

Dan untuk dimensi-dimensi konteks jasa, serupa tetapi tidak sama dengan dimensi konteks produk. Dimensi-dimensi untuk konteks jasa yang biasa digunakan adalah bentuk fisik, kompetensi, keandalan, tanggung jawab, empati.

2.5.3 Fungsi Persepsi Kualitas

1. Alasan untuk membeli (reason-to-buy)

Konsumen sering kali tidak termotivasi untuk mendapatkan dan menyaring informasi yang mungkin mengarah pada objektivitasnya mengenai kualitas. Atau memang informasi itu tidak tersedia. Atau konsumen tidak mempunyai kesanggupan dan sumber daya untuk mendapatkan atau memproses informasi. Karena terkait dengan keputusan-keputusan pembelian, persepsi kualitas mampu mengefektifkan semua elemen program pemasaran. Apabila kesan kualitas tinggi, kemungkinan besar periklanan dan promosi yang dilancarkan akan efektif.

(23)

2. Diferensiasi atau posisi (differentiate/position)

Salah satu karakteristik yang penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi persepsi kualitas, yaitu apakah merek tersebut super optimum, optimum, bernilai, atau ekonomis. Juga, berkenaan dengan persepsi kualitas, apakah merek tersebut terbaik atau sekedar sama baiknya dengan merek-merek lainnya.

3. Harga optimum (price)

Salah satu keuntungan dari persepsi kualitas adalah memberikan ruang pilihan dalam menentukan harga premium (premium price). Harga premium dapat meningkatkan laba dan atau memberikan sumber daya reinvestasi pada merek tersebut. Berbagai sumber daya ini dapat digunakan untuk membangun merek, seperti menguatkan kesadaran atau asosiasi atau mutu produk. Harga optimum juga dapat menguatkan persepsi kualitas.

4. Perluasan saluran distribusi (channel member interest)

Persepsi kualitas juga mempunyai arti penting bagi para pengecer, distributor dan berbagai saluran distribusi lainnya. Para pengecer dan distributor akan termotivasi untuk menjadi penyalur produk/merek dengan persepsi kualitas yang tinggi, yang berarti dapat semakin memperluas saluran distribusi dari merek produk tersebut. Dengan citra menyalurkan produk berkualitas, distributor dapat menawarkan harga-harga yang menarik untuk selanjutnya menguasai lalu lintas distribusi tersebut. Di pihak lain konsumen sangat berminat untuk membeli produk yang memiliki persepsi kualitas kuat, sehingga secara umum saluran distribusi dimotivasi untuk menyalurkan merek-merek produk yang memiliki persepsi kualitas kuat. 5. Perluasan merek (extensions)

Sebuah merek produk yang kuat dalam hal persepsi kualitas dapat dieksploitasi untuk meluaskan diri lebih jauh, dan akan mempunyai peluang

(24)

sukses yang lebih besar dibandingkan merek dengan persepsi kualitas yang lemah. Caranya adalah dengan menggunakan merek tersebut untuk masuk ke dalam kategori produk baru.

Sedemikian pentingnya peran persepsi kualitas bagi suatu merek sehingga upaya membangun persepsi kualitas yang kuat perlu memperoleh perhatian serius dari perusahaan agar dapat merebut dan menaklukkan pasar di setiap kategori produk. Membangun persepsi kualitas harus diikuti dengan peningkatan kualitas nyata dari produknya karena akan sia-sia meyakinkan pelanggan bahwa kualitas merek produknya adalah tinggi bilamana kenyataan menunjukkan kebalikannya. Jika pengalaman penggunaan dari pada pelanggan tidak sesuai dengan kualitas yang diposisikan maka citra persepsi kualitas tidak dapat dipertahankan, bahkan akan menyebabkan perpindahan merek yang sangat besar.

2.6 Loyalitas Merek (Brand Loyalty) 2.6.1 Definisi Loyalitas Merek

Loyalitas merek (brand loyalty) merupakan suatu pengukuran secara langsung bagaimana konsumen tetap loyal kepada suatu merek. (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p19). Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk yang lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain.

(25)

Dalam kaitannya dengan loyalitas merek, didapati beberapa tingkatan loyalitas merek. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan brand loyalty tersebut adalah: (Durianto, Sugiarto, Budiman, 2004, pp19-21)

Com mitted

Buyer

Liking the Brand

Satisfied Buyer

Habitual buyer

Switcher/price buyer

Gambar 2.3 Piramida Brand Loyalty Sumber : Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p130

(26)

1. Pembeli yang berpindah-pindah (Switcher/Price Buyer)

Adalah tingkat loyalitas yang paling dasar. Semakin sering pembelian konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal. Pada tingkatan ini, merek apapun mereka anggap memadai serta memegang peranan yang kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena banyak konsumen lain membeli merek tersebut dan karena harganya murah.

2. Pembeli yang bersifat kebiasaan (Habitual Buyer)

Adalah pembeli yang puas dengan merek produk yang di konsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengonsumsi suatu merek produk. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan tersebut membutuhkan usaha, biaya, atau berbagai pengorbanan lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa mereka membeli suatu merek karena alasan kebiasaan. 3. Pembeli yang puas dengan biaya peralihan (Satisfied Buyer)

Adalah kategori pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi, namun dapat saja berpindah merek dengan menanggung biaya peralihan (switching cost) seperti waktu, biaya, risiko yang timbul akibat tindakan peralihan merek tersebut. Untuk menarik minat pembeli kategori ini, pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung pembeli dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyalty).

4. Pembeli yang menyukai merek (Likes the Brand)

Adalah kategori pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol, rangkaian

(27)

pengalaman dalam penggunaan merek itu sebelumnya, baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh persepsi kualitas yang tinggi.

5. Pembeli yang berkomitmen (Comitted Buyer)

Adalah kategori pembeli yang setia. Mereka mempunyai kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka, baik dari segi fungsi maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Ciri yang tampak pada kategori ini adalah tindakan pembeli untuk merekomendasi/mempromosikan merek yang ia gunakan kepada orang lain.

Dari piramida loyalitas (gambar 2.3) tersebut terlihat bahwa bagi merek yang belum memiliki ekuitas merek yang kuat, porsi terbesar dari konsumennya berada pada tingkat switcher, yaitu pembeli yang suka berpindah-pindah merek. Selanjutnya, porsi terbesar kedua ditempati oleh konsumen yang berada pada taraf habitual buyer dan seterusnya, hingga porsi terkecil ditempati oleh commited buyer. Meskipun demikian, bagi merek yang memiliki ekuitas merek yang kuat, tingkatan dalam loyalitas mereknya diharapkan membentuk segitiga terbalik. Artinya, semakin ke atas semakin melebar sehingga diperoleh jumlah commited buyer yang lebih besar dari pada switcher, seperti tampak pada gambar 2.4 berikut.

(28)

Gambar 2.4 Piramida Terbalik Loyalitas Merek

Sumber: Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p130

2.6.2 Fungsi Loyalitas Merek

Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, loyalitas merek dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan:

a. Mengurangi biaya pemasaran (reduced marketing costs)

Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih mudah mempertahankan pelanggan dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Jadi, biaya pemasaran akan mengecil jika loyalitas merek meningkat. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka yang membeli suatu produk karena harganya murah.

Committed Buyer

Liking the Brand

Satisfied Buyer

Habitual Buyer

(29)

b. Meningkatkan perdagangan (trade leverage)

Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

c. Menarik minat pelanggan baru (attracting new customer)

Dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang merasa puas dan suka pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan untuk mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka lakukan mengandung risiko tinggi. Disamping itu, pelanggan yang puas umumnya akan merekomendasi merek tersebut kepada orang yang dekat dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru.

d. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing (provide time to respond to competitive threats)

Brand loyalty akan memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespons gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut untuk memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisasikannya.

(30)

2.7 Kerangka Pemikiran

PT. MARTINA BERTHO

PRODUK

SARI AYU PRODUK NON SARIAYU

Merek Produk

Belia PAC Caring

Colours Dll Pengukuran merek Awareness Loyalty Perceived Quality Association

(31)

2.8 Metodologi Penelitian

2.8.1 Jenis dan Metode Penelitian

Proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dimana jenis penelitiannya berupa studi kasus. Penelitian deskriptif (descriptive research) merupakan penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi. Sedangkan studi kasus (case study) adalah penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan dengan latar belakang dan kondisi saat ini dari subyek yang diteliti, serta interaksinya dengan lingkungan. (Nur Indriantoro, 2002, p26).

2.8.2 Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2004, pp72-73). Menurut Sugiarto, dkk dalam bukunya Teknik Sampling (2003, p2), populasi dibedakan menjadi dua, yaitu populasi sasaran (target population) dan populasi sampel (sampling population). Populasi sasaran adalah keseluruhan individu dalam areal/wilayah/lokasi/kurun waktu yang sesuai dengan tujuan penelitian, sedangkan populasi sampel adalah keseluruhan individu yang akan menjadi satuan analisis dalam populasi yang layak dan sesuai untuk dijadikan atau ditarik sebagai sampel penelitian sesuai dengan kerangka sampelnya (sampling frame). Adapun yang dimaksud dengan kerangka sampel adalah seluruh daftar individu yang menjadi satuan analisis yang ada dalam populasi dan akan diambil sampelnya.

Populasi sasaran yang menjadi target dalam penelitian ini adalah wanita dewasa pengguna kosmetik Martha Tilaar. Untuk membatasi besarnya jumlah

(32)

populasi sasaran, maka dari populasi sasaran yang ada ini diperkecil ke dalam bentuk populasi sampel, yaitu semua mahasisiwi di ketiga perguruan tinggi swasta kawasan Jakarta Barat yang pernah dan atau sedang menggunakan produk Martha Tilaar. Ketiga perguruan tinggi swasta Jakarta Barat itu antara lain Bina Nusantara, Tarumanegara dan Trisakti. Adapun hal ini, dilakukan untuk mengetahui kecenderungan mahasiswi di ketiga perguruan tinggi swasta dalam menggunakan produk kosmetik Martha Tilaar, khususnya merek PAC dan merek Caring Colours. Jadi kriteria sampel dalam penelitian ini adalah wanita (mahasiswi) dengan umur antara 18–23 tahun dan dikhususkan pada yang pernah atau sedang menggunakan merek PAC dan Caring Colours.

Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sampling dengan tipe Judgement Sampling. Menurut Sugiarto (2003, p46), metode pengambilan Judgement Sampling ini diambil berdasarkan kriteria yang telah dirumuskan terlebih dahulu.

Karena jumlah responden pengguna kosmetik Martha Tilaar tidak dapat diketahui secara pasti, maka untuk menghitung besarnya ukuran sampel pada penelitian ini digunakan rumus sampel yang dikemukakan oleh Donald R. Cooper dalam Metode Penelitian Bisnis. Ukuran sampel dihitung dengan membuat dua keputusan subyektif yang sama, yaitu menentukan estimasi interval dan derajat kayakinan yang dapat diterima. Karena tidak memiliki informasi tentang nilai p (proporsi populasi yang memiliki sifat tertentu), maka dapat diasumsikan nilai p = 0,5 dan memperoleh ukuran sampel sebesar:

1

2

+

=

p

pq

n

σ

(

0

,

051

)

1

25

,

0

2

+

=

n

n = 97 responden

(33)

Keterangan:

± 0,10 = rentang interval yang diinginkan, di dalamnya terdapat populasi yang diharapkan (keputusan subyektif)

1,96 σp = tingkat keyakinan 95 persen untuk mengestimasi interval yang

digunakan untuk mengharapkan proporsi populasi (keputusan subyektif)

σp = 0,051 = kesalahan proporsi standar (0,10/1,96)

pq = ukuran penyebaran sampel (estimasi peyebaran populasi)

2.8.3 Teknik Pengumpulan Data

a) Berdasarkan metode pengumpulan data, maka terdiri dari ;

• Data primer, peneliti menggunakan metode survei, yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak perusahaan untuk membuat analisa Porter dan melakukan penyebaran kuesioner, dimana peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada responden secara tertulis. Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner berisi pertanyaan tertutup dan terbuka mengenai informasi brand equity, yaitu brand awareness, brand association, perceived quality dan brand loyalty. Kuesioner ini akan dibagikan kepada responden yang memenuhi karakteristik sampel. • Data sekunder, peneliti mendapatkannya melalui studi kepustakaan,

internet, majalah, jurnal, buletin studi ekonomi, booklet mengenai produk-produk PT MARTINA BERTO dan sebagainya.

(34)

b) Berdasarkan jenis data, dapat diklasifikasikan menjadi;

• Data internal, diperoleh langsung dari dalam perusahaan, yaitu mengenai profil dan sejarah perusahaan, visi misi perusahaan, struktur organisasi perusahaan, struktur manajemen merek, aktivitas bisnis perusahaan dan lain-lain.

• Sifat data disebut sebagai cross sectional karena data yang dikumpulkan pada kurun waktu dan tempat tertentu saja, yaitu dimulai dari bulan Oktober - November 2005 di ketiga perguruan tinggi swasta Jakarta Barat.

2.8.4 Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran

Tabel 2.2 Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran

Variabel Indikator Ukuran Skala Pengukuran

Top of Mind (Puncak Pikiran)

Merek yang pertamakali diingat atau disebut ketika responden tersebut ditanya tentang kategori produk

Brand Awareness

Brand Recall (Pengingatan Kembali)

Merek-merek lain yang disebutkan setelah menyebutkan merek pertama kali tersebut

(35)

Brand Recognition (Pengenalan merek)

Merek disebutkan dengan menggunakan alat bantu seperti ciri-ciri produk atau dengan memberikan photo dari produk tersebut tanpa menunjukkan mereknya

Unaware of Brand

Tidak mengetahui sama sekali mengenai merek yang ditanyakan

Brand Association Atribut

Tingkat informasi yang diberikan sejumlah responden mengenai asosiasi-asosiasi yang terkait dengan merek setelah dilakukan pengujian terhadap asosiasi-asosiasi tersebut

Nominal

Perceived Quality Atribut

Tingkat kesenjangan dari informasi yang diberikan sejumlah responden mengenai persepsi konsumen dengan kualitas produk dimana melibatkan kepentingan konsumen terhadap produk tersebut

Ordinal

Brand Loyalty Committed buyer (Pembeli yang komit)

Sejumlah pembeli yang setia dalam

menggunakan merek dari produk tersebut

(36)

Liking the Brand (Pembeli yang menyukai

merek)

Sejumlah pembeli yang menyukai merek dengan didasari asosiasi-asosiasi merek pada produk tersebut

Ordinal

Satified Buyer (Pembeli yang puas)

Sejumlah pembeli yang rela menggunakan merek lain dengan menanggung biaya peralihan, oleh karena merek lain tersebut menawarkan manfaat yang lebih besar

Ordinal

Habitual Buyer (Pembeli yang bersifat

kebiasaan)

Sejumlah pembeli yang kurang mengalami kepuasan dalam menggunakan merek tersebut, sehingga jikalau pembeli tersebut masih mengkonsumsinya disebabkan atas dasar kebiasaannya selama ini

Ordinal

Switcher (Pembeli yang

berpindah-pindah)

Sejumlah pembeli yang menggunakan merek tersebut oleh karena harga yang ditawarkan lebih murah dari pada merek lain

(37)

2.8.5 Validitas dan Reliabilitas

Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Dan instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliabel. Jadi instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel (Sugiyono, 2004, p109).

Untuk mengukur tingkat validitas suatu instrumen pengukuran, yaitu kuesioner, r hitung dari setiap butir pertanyaan dihitung dengan rumus Korelasi Product Moment, yang kemudian dibandingkan dengan r tabel. Untuk r hitung yang lebih besar dari r tabel sebesar 0.361 (30 responden, dengan tingkat kepercayaan 95%), maka dinyatakan valid.

Dan untuk mengukur tingkat reliabilitas dari instrumen pengukuran, r hitung reliabilitas dibandingkan dengan r Alpha Cronbach. Jika r hitung reliabilitas lebih besar dari 0,6 maka instrumen pengukuran ini dinyatakan reliable (konsisten).

Pada penelitian ini, uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada 30 responden awal tehadap butir-butir pertanyaan performance PAC dan Caring Colours, serta brand loyalty. Untuk nilai r tabel berikut ini, dapat dilihat pada lampiran L-17.

(

)

( )

∑ ∑

=

2 2 2 2

Y

Y

N

X

X

N

Y

X

XY

N

r

xy

(38)

2.8.5.1 Analisis Validitas dan Reliabilitas Persepsi Merek PAC Tabel 2.3 Uji Validitas I Persepsi Merek PAC

Butir-butir Pertanyaan r hitung r tabel Keterangan

Bahannya Alami 0.285 0.361 Tidak Valid

Memiliki Kesan Elite Kosmetik 0.134 0.361 Tidak Valid

Pilihan Warna yang kurang lengkap 0.615 0.361 Valid

Cocok untuk segala jenis kulit 0.774 0.361 Valid

Komposisinya kurang lengkap 0.783 0.361 Valid

Ada efek samping 0.688 0.361 Valid

Melindungi wajah dari sinar UV 0.729 0.361 Valid

Hasil tata rias yang sempurna 0.757 0.361 Valid

Tidak tahan lama 0.729 0.361 Valid

Desain menarik 0.540 0.361 Valid

Mudah didapat 0.276 0.361 Tidak Valid

Aroma harum 0.468 0.361 Valid

Harga yang terjangkau 0.147 0.361 Tidak Valid

Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa butir pertanyaan mengenai bahannya alami, memiliki kesan elite kosmetik, mudah didapat dan harga yang terjangkau tidak valid sehingga harus dikeluarkan untuk penyebaran kuesioner dan pengujian tahap selanjutnya. Alpha dari variabel butir pertanyaan yang dihasilkan sebesar 0.8187 dan nilai ini lebih besar dari koefisien alpha cronbach yaitu 0.6 sehingga variabel pegukur tersebut dapat dinyatakan reliable, artinya dapat diandalkan.

Dengan mengeluarkan keempat butir-butir yang tidak valid tersebut, maka nilai rhitung butir-butir yang lain meningkat. Kemudian, butir-butir

pertanyaan yang diajukan untuk mengukur kinerja merek PAC, dinyatakan valid dan dapat diandalkan adalah sebanyak 9 butir.

(39)

2.8.5.2 Analisis Validitas dan Reliabilitas Persepsi Merek Caring Colours Tabel 2.4 Uji Validitas I Persepsi Merek Caring Colours

Butir-butir Pertanyaan r hitung r tabel Keterangan

Bahannya Alami 0.409 0.361 Valid

Memiliki Kesan Elite Kosmetik 0.352 0.361 Tidak Valid

Pilihan Warna yang kurang lengkap 0.653 0.361 Valid

Cocok untuk segala jenis kulit 0.631 0.361 Valid

Komposisinya kurang lengkap 0.703 0.361 Valid

Tidak ada efek samping 0.627 0.361 Valid

Melindungi wajah dari sinar UV 0.809 0.361 Valid

Hasil tata rias yang sempurna 0.668 0.361 Valid

Tidak tahan lama 0.731 0.361 Valid

Desain menarik 0.251 0.361 Tidak Valid

Mudah didapat Konstan 0.361 Valid

Aroma harum 0.407 0.361 Valid

Harga yang terjangkau 0.149 0.361 Tidak Valid

Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa butir pertanyaan mengenai memiliki kesan elite kosmetik, desain menarik dan harga yang terjangkau tidak valid sehingga harus dikeluarkan untuk penyebaran kuesioner dan pengujian tahap selanjutnya. Alpha dari variabel butir pertanyaan yang dihasilkan sebesar 0.787 dan nilai ini lebih besar dari koefisien alpha cronbach yaitu 0.6 sehingga variabel pengukur tersebut dapat dinyatakan reliable, artinya dapat diandalkan.

Dengan mengeluarkan ketiga butir-butir yang tidak valid tersebut, maka nilai rhitung butir-butir yang lain meningkat. Dengan demikian, butir-butir

pertanyaan yang diajukan untuk mengukur kinerja merek Caring Colours, dinyatakan valid dan dapat diandalkan adalah sebanyak 10 butir.

(40)

2.8.5.3 Analisis Validitas dan Reliabilitas Loyalitas

Pengujian terhadap butir-butir loyalitas memiliki cara kerja yang sama seperti pada pengujian sebelumnya. Pengujian ini dilakukan pada 30 responden awal dengan kategori mereka yang sedang menggunakan merek PAC dan merek Caring Colours. Nilai r dari setiap butir pertanyaan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.5 Uji Validitas Loyalitas

Atribut r hitung r tabel Keterangan

A 0,562 0,361 Valid

B 0,494 0,361 Valid

C 0,572 0,361 Valid

D 0,516 0,361 Valid

E 0,456 0,361 Valid

Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS

Tabel 2.6 Keterangan Atribut Loyalitas Merek A Membeli merek kosmetik karna faktor harga B Membeli merek kosmetik karna faktor kebiasaan

C Menemukan kepusan

D Menyukai merek yang sedang anda gunakan

E Mempromosikan kosmetik yang dibeli ke orang lain Sumber: Tabel 2.5

Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel-variabel yang dipakai untuk mengukur loyalitas merek dinyatakan valid. Sedangkan, untuk reliabilitasnya dihasilkan alpha sebesar 0,6754. Nilai ini lebih besar dari pada koefisen alpha cronbachnya. Dengan demikian, variabel pengukur loyalitas dapat dinyatakan valid dan reliabel.

(41)

2.8.6 Teknik Analisis Data

A. Kesadaran Merek (Brand Awareness)

Untuk mengukur tingkat kesadaran akan merek PAC dan Caring Colours, didasarkan kepada pengertian-pengertian brand awareness yang mencakup tingkatan top of mind, brand recall, brand recognition dan brand unware. Terhadap data ini, dilakukan perhitungan persentase dengan cara menabulasikan data yang diperoleh.

B. Asosiasi Merek (Brand Association)

Pengujian terhadap brand association ini dilakukan dengan menggunakan “Analisis Uji Cochran”, yang mana hasilnya akan membentuk brand image dari setiap merek. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan hubungan antara beberapa variable.

Hipotesis pengujian:

H0 : Kemungkinan jawaban “ya” adalah sama untuk semua butir-butir

asosiasi

H1 : Kemungkinan jawaban “ya” adalah berbeda untuk semua butir-butir

asosiasi

Langkah-Langkah Uji Cochran:

1. Hitung Statistik Q dengan rumus

Keterangan:

C = banyaknya variabel Cj = jumlah kolom jawaban “ya

Rj = jumlah baris jawaban “ya” N = total besar

(

)

(

)

=

2 2 2

1

1

i j

R

CN

N

C

C

C

C

Q

(42)

2. Tolak H0 bila Q > X2(α,v) V = C - 1

Terapan uji Cochran untuk mengetahui signifikansi setiap asosiasi yang ada dalam suatu merek dimulai dengan pengujian semua asosiasi. Atas dasar hasil analisis dilakukan perbandingan antara nilai Q dengan X2

) , ( v

tabelα . Jika diperoleh nilai Q < X 2

) , ( v

tabelα , maka H0 diterima

yang berarti semua asosiasi yang diuji saling berhubungan membentuk brand image dari suatu merek. Jika diperoleh nilai Q > X2

) , ( v

tabelα , dapat

disimpulkan belum cukup bukti untuk menerima H0. Dengan demikian

tidak semua asosiasi adalah sama dan pengujian dilanjutkan ke tahap dua untuk mengetahui asosiasi mana yang tidak sama dan dapat dikeluarkan dari asosiasi-asosiasi penyusun brand image suatu merek.

Untuk masuk ke tahap dua dicari asosiasi yang memiliki jumlah kolom terkecil yang selanjutnya akan dicoba dikeluarkan dari komponen asosiasi-asosiasi pembentuk brand image. Dengan demikian nilai N sekarang akan berkurang sebesar nilai total kolom yang dikeluarkan tersebut. Nilai Q dihitung kembali dengan mempertimbangkan kondisi yang baru tersebut. Saat ini asosiasi yang diuji signifikansi hubungannya menjadi berkurang satu pula sehingga derajat bebas dari X2

) , ( v

tabelα berkurang satu juga. Tahap pembandingan Q dengan

X2 ) , ( v

tabelα dilakukan lagi dengan teknik yang sama sebagaimana telah

dipaparkan sebelumnya. Jika nilai Q < X2 ) , ( v

tabelα , maka pengujian

dihentikan yang berarti brand image suatu merek terbentuk dari asosiasi-asosiasi sisanya yang belum diuji dan asosiasi terakhir yang diuji.

(43)

C. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)

Setelah kuesioner disebar dan terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah mengolah data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner. Untuk menganalisis persepsi kualitas, informasi diperoleh dengan skala Likert berupa skala pengukuran ordinal.

Pada persepsi kualitas, digunakan pembandingan antara performance dan importance, yang kemudian dilakukan analisis deskriptif berupa pengukuran nilai rata-rata dan tingkat kesesuaian antara performance dan importance, yang kemudian hasilnya digambarkan pada diagram cartesius performance-importance.

Rumus rata-rata:

Jadi, menurut Supranto (2001, p241) berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan dan kinerja maka akan dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian. Tingkat kesesuaian adalah hasil perbandingan antara skor kinerja pelaksanaan dengan skor kepentingan. Tingkat kesesuaian inilah yang akan menentukan prioritas peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Adapun rumus yang digunakan adalah:

Keterangan:

Tki = Tingkat kesesuaian responden

Xi = Skor penilaian kinerja perusahaan

Yi = Skor penilaian kepentingan pelanggan

=

f

x

f

rata

Rata

.

%

100

*

Yi

Xi

Tki

=

(44)

Selanjutnya hasil rata-rata dari setiap atribut performance-importance dijabarkan ke dalam diagram kartesius seperti pada gambar 2.6 berikut ini:

Gambar 2.6 Diagram Cartesius

Sumber: J. Supranto, 2001

D. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

Untuk menganalisis loyalitas merek, informasi diperoleh dengan skala Likert berupa skala pengukuran ordinal. Dan, untuk mengukur tingkat loyalitas terhadap merek PAC dan Caring Colours digunakan statistilk deskriptif, yaitu rata-rata dari setiap elemen brand loyalty (committed buyer, liking the brand, satisfied buyer, habitual buyer, switcher).

Hasil dari nilai rata-rata kemudian dipetakan ke dalam rentang skala yang mempertimbangkan informasi interval berikut:

8

.

0

5

1

5

=

=

=

s

banyakkela

dah

nilaiteren

nggi

nilaiterti

Interval

Kuadran I

Prioritas Utama Pertahankan Prestasi Kuadran II

Kuadran III

Prioritas Rendah Kuadran IV Berlebihan

Performance Importance Tinggi Rendah Tinggi Rendah

(45)

Setelah besarnya interval diketahui, kemudian dibuat rentang skala sehingga dapat diketahui dimana letak rata-rata penilaian resonden terhadap setiap unsur diferensiasinya dan sejauh mana variasinya.

Rentang skala tersebut adalah: 1,00 – 1,80 = sangat jelek 1,80 – 2,60 = jelek 2,60 – 3,40 = cukup 3,40 – 4,20 = baik 4,20 – 5,00 = sangat baik

2.8.7 Kelemahan Teknik Analisis Data

Dari alat analisis data untuk pengujian asosiasi, Uji Cochran memiliki kelemahan yaitu, tidak bisa menentukan besaran dari brand image yang dihasilkan. Hal ini berarti, tidak dapat ditentukan asosiasi manakah dari brand image tersebut yang paling kuat dibandingkan asosiasi yang lain dari brand image yang terbentuk. Cochran hanya bisa menentukan brand image itu kuat apabila Qhitung < Qtabel dan

apabila asosiasi-asosiasi merek memiliki Qhitung < Qtabel maka dikatakan saling

Gambar

Tabel 2.1 The Brand Equity Ten
Gambar 2.1 How Brand Equity Generate Value
Gambar 2.2 Piramida Brand Awareness
Gambar 2.3 Piramida Brand Loyalty  Sumber : Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p130
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik arang aktif sabut siwalan sebagai adsorben, pengaruh pH dan waktu interaksi terhadap kemampuan adsorpsi Pb(II), model adsorpsi

Tombol reset dapat bekerja sesuai dengan yang diharapkan [√] diterima [ ] ditolak Klik gambar pensil Menampilkan data debitur untuk dapat diedit pada bagian yang

Latihan pukulan servis slice dengan menggunakan pegangan semicontinental adalah salah satu bentuk latihan servis dengan menggunakan pegangan raket membentuk huruf

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Lombok Gandaria Food Industry Karanganyar ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar profesi Ahli Madya (A.Md) dalam Bidang Manajemen Administrasi Fakultas

Kapasitas Industri Menurut Kelompok Industri di Kabupaten Garut Tahun 2009 Rincian Industri Argo dan Hasil Hutan Industri

-sang takipsilim nang marinig niya sa kampanaryo ng kanilang simba$an ang malungkot na agunyas# na muna ang malaking kampana saka sumunod ang maliit# Bang+ .eng+ Bang+ .eng+ Babae

Tersedut kabus atau wap boleh menyebabkan kerengsaan pada hidung dan saluran pernafasan serta kesan sistem saraf pusat seperti sakit kepala, pening dan loya.. Petunjuk bagi