• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Keluarga"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Keluarga

Konsep Keluarga

Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang terikat oleh perkawinan, darah, dan adopsi. Rumah tangga merupakan istilah yang lebih luas dari keluarga dan keluarga merupakan bagin dari rumah tangga. Keluarga memiliki arti hubungan antaranggotanya, sedangkan rumah tangga menggambarkan pengelolaan suatu tempat tinggal oleh sekelompok orang yang terikat oleh keluarga atau sebuah kelompok keluarga yang tidak memiliki ikatan keluarga (Sumarwan, 2004).

Seringkali keluarga dan rumah tangga dianggap sama, pada keduanya memiliki konsep yang berbeda. Rice dan Tucker (1986) dalam Guhardja, dkk. (1992) mengemukakan bahwa rumah tangga lebih luas dari pengertian keluarga. Dalam kata rumah tangga tersirat suatu deskripsi tentang rumah, isi , dan juga pengaturan yang ada di dalamnya, tetapi kurang menyiratkan hubungan atau keeratan hubungan anatar anggota yang mengisi rumah itu. Sementara itu, Burgers dan Lucke (1961) mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan (suami dan istri) serta hubungan darah atau adopsi. Hubungannya dengan anak, keluarga pun dicirikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan anak yang paling dapat memberi kasih sayang yang tulus, manusiawi, efektif, dan ekonomis.

Biro Pusat Statistik Indonesia mendefinisikan rumah tangga sebagai sekelompok orang yang tinggal di bawah satu atap dan makan dari dapur yang sama sehingga rumah tangga dapat terdiri dari anggota keluarga dan bukan anggota keluarga. Setiap rumah tangga memiliki kepala rumah tangga yaitu salah seorang dari kelompok yang namanya digunakan untuk berbagai kepentingan misalnya pemilihan tempat tinggal, penyewaan perabotan, pemeliharaan rumah, dll.

(2)

Besar keluarga

BPS (1997) dalam Shinta (2008) mengemukakan bahwa berdasarkan jumlah atau besar anggota keluarga, keluarga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : keluarga kecil (kurang dari 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (lebih dari 7 orang). Besarnya keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga, biasanya jumlah anak. Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sanjur (1982) dalam Agustina (2006) yang menyatakan bahwa besarnya atau banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi besarnya belanja keluarga.

Sumarwan (2003) menyatakan bahwa pendapatan per kapita dan belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga. Jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa ditentukan oleh jumlah anggota keluarga atau rumah tangga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota yang lebih besar akan mengkonsumsi pangan dengan jumlah lebih banyak dibandingkan keluarga dengan jumlah anggota yang lebih sedikit.

Pendidikan

Dalam menjalankan fungsinya, keluarga dihadapkan pada fungsinya sebagai konsumen dan produsen. Sebagai konsumen, keluarga menjalani rutinitas untuk mengkonsumsi produk dan jasa yang dibutuhkan sehari-hari, sedangkan sebagi produsen, keluarga secara disadari atau tidak disadari menghasilkan produk ataupun jasa baik yang bernilai ekonomis maupun yang tidak bernilai. Latar belakang pendidikan yang dimiliki seseorang umumnya akan sangat menentukan keseharian seseorang dalam bertindak. Pada tingkat keluarga, Sumarwan (2002) mengemukakan bahwa pendidikan tersebut akan mempengaruhi proses keputusan dan pola konsumsi keluarga. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berfikir, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah.

Konsumen yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan sangat responsif terhadap informasi, pendidikan juga akan sangat menentukan dalam

(3)

memilih produk atau jasa yang akan dipakai konsumen. Pendidikan yang berbeda akan menyebabkan selera konsumen juga akan berbeda.

Pendapatan Keluarga

Sumarwan (2002) mendefinisikan pendapatan sebagai imbalan yang diterima keluarga sebagai konsumen dari pekerjaan yang dilakukannya untuk mencari nafakah. Pendapatan pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Jumlah pendapatan akan menggambarkan besarnya daya beli dari seseorang. Pendapatan yang diukur biasanya bukan hanya pendapatan yang diterima oleh seorang individu, tetapi diukur semua pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga.

Daya beli sebuah keluarga bukan hanya ditentukan oleh pendapatan dari satu orang saja (misalnya ayah saja), tetapi dari seluruh anggota keluarga yang bekerja. Sebuah keluarga akan menyatukan semua pendapatannya dalam satu pengeluaran terpadu, dengan tujuan utamanya adalah kesejahteraan semua anggota keluarga. Jumlah pendapatan yang diterima biasanya setelah dikurangi berbagai potongan (hutang, iuran dan sebagainya) dan disebut sebagai pendapatan bersih.

Pengeluaran Keluarga

Mengetahui pola pengeluaran keluarga merupakan salah satu cara untuk dapat mengetahui tingkat kehidupan masyarakat. Engel (1983) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka semakin rendah presentase pengeluaran untuk pangan. Selain itu, menurut Teken (1977) dalam Madanijah, Hardinsyah, dan Guhardja dalam Samon (2005) pendapatan seseorang akan mempengaruhi pemilihan komoditi yang akan dibelinya. Umumnya seseorang yang berpenghasilan rendah akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan, atau persentase pengeluarannya untuk pangan relatif tinggi.

BPS (2002) menyebutkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang presentase pengeluaran terbesar pada keluarga adalah pengeluaran untuk pangan. Hal ini berbeda dengan negara maju yang memiliki persentase

(4)

pengeluaran keluarga terbesar untuk pengeluaran barang dan jasa seperti perawatan kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lainnya.

BPS (2002) membagi pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non-pangan. Pengeluaran untuk pangan yaitu pengeluaran untuk konsumsi kelompok padi-padian, ikan, daging, telur, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, minuman, makanan serta minuman jadi. Sementara pengeluaran untuk non-pangan adalah pengeluaran untuk konsumsi perumahan, bahan bakar, penerangan, air, barang dan jasa, pakaian dan barang-barang tahan lama lainnya.

BPS (2006) menilai bahwa pengeluaran keluarga adalah salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan atau ditabung. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.

Kesejahteraan Keluarga Definisi Kesejahteraan Keluarga

Keluarga sejahtera mengacu pada UU No.10 Tahun 1992 yaitu keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota, antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Kesejahteraan keluarga pada hakekatnya memilki dua dimensi, antara lain : (1) dimensi material, berkaitan dengan materi (sandang, pangan, dan papan), dimensi ini lebih mudah diukur. Ukuran pendapatan dan garis kemiskinan digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan dan dimensi

(5)

material. (2) dimensi spiritual, berkaitan dengan kuliatas kehidupan non fisik (ketaqwaan, keselarasan, keserasian, dll), dimensi ini lebih sulit diukur karena lebih bersifat subjektif. Determinan dari kesejahteraan ekonomi adalah kemampuan daya beli penduduk. Penurunan kemampuan daya beli akan mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat yang untuk selanjutnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan (BPS, 2006).

Sunarti (2008) mendefinisikan kesejahteraan keluarga sebagai terpenuhinya kebutuhan individu sebagai sistem dan kebutuhan setiap anggotanya sebagai individu. menekankan hendaknya kebutuhan individu dan keluarga dipertimbangkan dalam konteks masyarakat dan ekosistem, dan menjadi landasan motivasi perilaku individu dan keluarga.

Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan dapat dibedakan melalui dua pendekatan pengukuran yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Suandi (2007) mendefinisikan kesejahteraan objektif adalah pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga yang diukur dengan rata-rata patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya, sementara kesejahteraan subjektif diukur dengan tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri dan bukan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Penelitian yang dilakukan Iskandar (2007) mengemukakan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi nyata oleh pendidikan kepala keluarga, pendapatan keluarga dan pembagiain tugas dalam keluarga.

Beberapa ukuran kesejahteraan yang kerap digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, antara lain :

1. Ukuran Kemiskinan Sayogyo

Sayogyo menggunakan kriteria batas garis kemiskinan dalam bentuk “ekuivalen nilai tukar beras” (kg/orang/bulan) yang disesuaikan dengan harga beras keluarga tersebut berada. Menurut garis kemiskinan Sayogyo, keluarga dibagi menjadi :

(6)

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kemiskinan Sayogyo

klasifikasi keluarga Perkotaan Pedesaaan

Miskin 380 - 479 kg 240 - 319 kg

miskin sekali 270 - 379 kg 180 - 239 kg

Paling miskin 0 - 269 kg 0 - 179 kg

(Sumber : Sajogyo, 1996) 2. Ukuran kemiskinan BPS

BPS mengukur tingkat kesejahteraan keluarga berdasarkan jumlah penduduk miskin. Semakin banyak jumlah penduduk miskin semakin rendah tingkat kesejahteraaan keluarga. BPS menetapkan garis kemiskinan untuk menentukan sejahtera/tidak sejahteranya keluarga. Garis kemiskinan didasarkan pada besarnya jumlah pengeluaran pangan dan non pangan pada keluarga yang disesuaikan dengan wilayah dimana keluarga tersebut berada. 3. Ukuran kesejahteraan BKKBN

BKKBN mengidetifikasi keluarga miskin berdasarkan indikator ekonomi dan bukan ekonomi yang mencakup :

1. 2. 3. Kebutuhan dasar Sosial psikologis Kebutuhan pengembangan : : :

Pangan, sandang, papan, dan kesehatan. Pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial, internal dan eksternal.

Tabungan, pendidikan khusus/kejuruan dan akses terhadap informasi.

Selanjutnya indikator dasar tersebut diklasifikasikan kedalam lima kategori keluarga di Indonesia, antara lain :

1. 2. Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) Keluarga Sejahtera Tahap 1 (KS-1) : :

keluarga yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal (sandang, pangan, papan, kesehatan, dan KB)

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara maksimal, tetapi belum memenuhi keseluruhan kebutuhan psikologisnya (pendidikan, interaksi di dalam

(7)

3. 4. 5. Keluarga Sejahtera Tahap II (KS-II) Keluarga Sejahtera Tahap III (KS III)

Keluarga Sejahtera Tahap III plus (KS III Plus)

:

:

:

keluarga, interkasi dengan lingkungan, dan transpotasi)

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebuhan dasar dan psikologis. , akan tetapi belum memenuhi keseluaran kebutuhan pengembangannya (menabung dan memperoleh informasi)

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar psikologis, kebutuhan pengembangannya namun belum dapat memberikan sumbangan dalam bentuk materiil dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan.

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar paikologis, kebutuhan pengembangannya serta dapat pula memberika sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Kebijakan Publik

Dye (1995) dalam Dwidjowijoto (2003) mendefinisikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Sementara itu, Laswell mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu dan praktek-praktek tertentu. Dwidjowijoto (2003) mengemukakan bahwa pada prinsipnya ada empat hal yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan : 1. Ketepatan kebijakan

Hal ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan, perumusan

(8)

masalah sesuai dengan karakteristik masalah serta ketepatan bahwa kebijakan tersebut dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan.

2. Ketepatan pelaksanaan

Dalam sebuah kebijakan setidaknya ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, antara lain pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama masyarakat. Kebijakan ynag bertujuan mengarahkan kegiatan masyarakat, sebaiknya diserahkan kepada masyarakat.

3. Ketepatan target

Ketepatan target berkenaan dengan tiga hal, yaitu:

a. Kesesuaian target yang diintervensi dengan yang direncanakan mencakup tidak adanya tumpang tindih dengan intervensi lain dan tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain

b. Kesiapan target untuk diintervensi. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target dalam kondisi mendukung atau menolak.

c. Status intervensi imlementasi kebijakan berupa kebijakan baru atau memperbaharui kebijakan sebelumnya.

4. Ketepatan lingkungan

Ada dua lingkungan yang paling menentukan, pertama yaitu lingkungan kebijakan, yaitu interaksi di antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri dari public opinion yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan.

5. Dukungan

Kebijakan tersebut masih harus didukung oleh tiga dukungan, yaitu dukungan politik, dukungan strategik, dan dukungan teknis.

(9)

Program Konversi Minyak Tanah ke LPG

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan energi nasional, khususnya kebijakan diversifikasi energi dan mengurangi subsidi BBM yang selama ini jumlahnya cukup besar, pemerintah mengeluarkan program pengalihan minyak tanah ke LPG yang berlangsung mulai tahun 2007 sampai dengan 2012. Adapun tujuan dari program ini antara lain (ESDM, 2009) :

1. Melakukan diversifikasi pasokan energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak khususnya minyak tanah untuk dialihkan ke LPG.

2. Mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi karena LPG lebih aman dari penyalahgunaan.

3. Melakukan efisiensi anggaran pemerintah karena penggunaan LPG lebih efisien dan subsidinya relative lebih kecil daripada subsidi minyak tanah. 4. Menyediakan bahan bakar yang praktis, bersih, dan efisien untuk keluarga

dan usaha mikro.

Visi Program Konversi Minyak Tanah ke LPG adalah “masyarakat dapat menikmati bahan bakar yang praktis, bersih, dan efisien sedangkan subsidi BBM dapat ditekan sehingga meringankan beban keuangan negara dalam penyediaan dan pengadaan bahan bakar minyak”. Sementara itu misinya antara lain :

1. Melakukan pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG.

2. Melakukan sosialisasi perubahan “budaya minyak tanah” ke “budaya LPG”. 3. Membantu pengadaan tabung LPG dan kompor LPG untuk pengguna minyak

tanah.

4. Menjamin ketersediaan dan pasokan LPG.

Sikap

Thurstone (1946) dalam Ahmadi (1999) mendefinisikan sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi yang dimaksud meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap yang negatif

(10)

terhadap objek psikologi bila ia tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologi. Peter dan Olson (1996) mengartikan sikap sebagai evaluasi umum konsumen terhadap suatu objek. Ahmadi (1999) mengartikan sikap sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten. Jika ditinjau dari sisi keluarga sebagai konsumen, sikap diartikan sebagai ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut.

Dari sisi konsumen, sikap merupakan salah satu komponen penting dalam perilaku pembelian. Dalam proses pengambilan keputusan, sikap merupakan salah satu dari dua variabel pemikiran dalam sisi psikologi seorang konsumen. Variabel pemikiran lainnya adalah kebutuhan. Dalam terminologi pemasaran, kebutuhan merupakan tujuan yang menggerakkan konsumen melakukan pembelian. Sedangkan sikap adalah evaluasi konsumen atas kemampuan atribut suatu produk dalam memenuhi kebutuhan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebutuhan mempengaruhi sikap dan sikap mempengaruhi pembelian (Rangkuti, 2006).

Studi tentang sikap merupakan kunci untuk memahami mengapa seseorang berperilaku sedemikian rupa. Disamping itu, sikap merupakan hasil evaluasi yang mencerminkan rasa suka atau tidak suka terhadap suatu objek, sehingga dengan mengetahui hasil evaluasi tersebut, kita dapat menduga seberapa besar potensi pembeliannya. Sikap berasal dari hasil belajar dan ini berarti bahwa manusia tidak dilahirkan dengan membawa suatu sikap tertentu. Jadi sikap merupakan suatu kecenderungan untuk berperilaku dan dapat dipengaruhi oleh situasi. Sikap konsumen terhadap produk atau jasa tertentu bisa positif atau negatif (Rangkuti, 2006).

Sikap memiliki tiga komponen :

1. Aspek kognitif : berhubungan dengan gejala mengenal fikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu

(11)

2. 3. Aspek afektif Aspek konatif : :

berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

berwujud proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.

Sikap negatif seseorang terhadap suatu objek atau kejadian tidak akan selalu diikuti dengan perilaku negatif pula. Namun sikap yang kuat mampu memprediksi tingkah laku ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu. Pada kasus Program Konversi Minyak Tanah ke LPG, perasaan negatif terhadap program belum tentu akan diikuti dengan perilaku tidak mengikuti program tersebut.

Ada beberapa strategi yang dilakukan untuk mengubah sikap seorang konsumen. Pengubahan ini menggunakan dasar komponen sikap untuk mendapatkan hasil yang optimal dan disesuaikan dengan kebutuhan. Beberapa strategi tersebut antara lain :

a. Mengubah komponen afektif

Hal yang biasa bagi perusahaan untuk meningkatkan rasa suka konsumen secara tidak langsung, jika kondisi ini berhasil maka rasa suka yang meningkat tersebut cenderung meningkatkan kepercayaan postif yang dapat mengarah ke perilaku pembelian. Sementara itu, cara umum untuk mempengaruhi komponen afketif secara langsung adalah melalui classical conditioning.

b. Mengubah komponen perilaku

Perilaku pembelian atau penerimaan mungkin mendahului perkembangan kognisi dan afektif. Seseorang konsumen yang tidak menyukai produk tertentu Karen aykin produk tersebut tidak memberikan manfaat yang diharapkan, tetapi karena terbujuk, akhirnya ia ingin mncoba dan percobaan itu mengubah persepsinya. Hal ini kemudian menuntunnya pada peningkatan pengetahuan yang dapat mengubah komponen kogntif.

(12)

c. Mengubah kompnen kognitif

Pendekatan yang paling umum untuk mengubah sikap adalah berfokus pada komponen kognitif. Dengan berubahnya kepercayaan, perasaan dan perilaku, sikap juga akan berubah.

Perilaku

Informasi tentang sifat-sifat, motif, dan intensi seseorang, dalam psikologi sosial dapat diperoleh melalui proses atribusi, yaitu suatu usaha untuk memahami alasan atas tingkah laku orang lain. Teori lain tentang atribusi kausal yang dikemukakan oleh Kelly dalam Baron (2003) memfokuskan diri pada sumber asal perilaku seseorang terjadi. Kelly mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi faktor ini, faktor tersebut antara lain faktor internal (sifat, motif, intensi) dan faktor eksternal (aspek-aspek fisik dan sosial) serta dimungkinkan terjadi karena kombinasi kedua faktor tersebut.

Dilihat dari keluarga sebagai konsumen, Schiffman dan Kanuk (2004) mendefinisikan perilaku sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam proses mencari, membeli, mengkonsumsi, mengevaluasi dan menilai suatu produk dan jasa yang mereka harapkan dapat memuaskan kebutuhannya. Sedangkan Sumarwan (2003) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai semua kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa, setelah melakukan hal-hal diatas atau kegiatan mengevaluasi.

Hubungannya dengan sikap, beberapa perilaku tertentu tidak dapat diprediksi dengan akurat berdasarkan kepercayaan, sikap dan keinginan. Dengan demikian, sebelum mendasarkan prediksi masa mendatang atas pengukuran sikap dan keinginan, pemasar perlu menentukan apakah konsumen dapat diharapkan memiliki kepercayaan, sikap, dan keinginan yang terbentuk dengan baik terhadap perilaku tersebut (Peter dan Olson, 1996).

Kepuasan

Dilihat dari sisi keluarga sebagai konsumen, untuk mengukur tingkat kepuasannya, terdapat beberapa definisi mengenai kepuasan konsumen yang

(13)

ditemukan para ahli. Kotler (2005) mengartikan kepuasan sebagai perasaaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara kinerja (hasil) yang dipikirkan terhadap kinerja (hasil) yang diharapkan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapan. Salah satu dimensi kepuasan adalah persepsi atas performance produk atau jasa dalam memenuhi harapan pelanggan. Pelanggan merasa puas apabila harapannya terpenuhi.

Menurut Anorogo dan Widiyanti (1990) dalam Hanifa (2005) kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Semakin banyak aspek-aspek yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan dan sebaliknya, semakin banyak aspek-aspek yang tidak sesuai dengan keinginan individu, maka semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakan. Sedangkan nilai oleh Kotler (2005) diartikan sebagai selisih antara evaluasi calon konsumen atas semua manfaat serta semua biaya tawaran tertentu dan alternatif-alternatif lain yang difikirkan.

Oliver (1980) dalam Supranto (2006) mengartikan kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan, konsumen akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas.

Buttle (2007) mengemukakan cara yang paling lazim ditempuh dalam mengoperasionalkan kepuasan adalah membandingkan persepsi konsumen mengenai suatu pengalaman (atau sebagian kecil dari pengalaman itu) dengan harapan mereka. Metode pengukuran kepuasan konsumen ini disebut “model diskonfirmasi harapan”. Pada dasarnya, model tersebut menunjukkan bahwa jika konsumen (menurut persepsi mereka) merasa harapannya telah terpenuhi, maka mereka merasa puas. Jika harapan mereka tidak sepenuhnya tercapai maka kondisi ini disebut diskonfirmasi negatif dan mereka menjadi tidak puas. Diskonfirmasi positif terjadi jika persepsi konsumen melebihi harapan mereka

(14)

atau dengan kata lain, apapun yang mereka peroleh melampui apa yang mereka harapkan. Para peneliti di bidang diskonfirmasi harapan telah menemukan fenomena yang disebut ‘paradoks kepuasan konsumen’. Kadang-kadang harapan konsumen sudah terpenuhi namun mereka belum puas juga. Ini akan terjadi manakala konsumen tersebut memiliki harapan yang rendah atau negatif.

Program Konversi Minyak Tanah ke LPG yang dilakukan sejak tahun 2007 ke keluarga sasaran diikuti pula oleh keputusan keluarga untuk menerima atau menolak program. Setelah menggunakan program tersebut, maka sasaran dapat merasakan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu yang akan mempengaruhi perilaku berikutnya. Jika puas, maka sasaran akan tetap menggunakan program. Namun jika tidak puas maka sasaran akan beralih kembali ke minyak tanah atau bahan bakar lainnya atau mungkin tidak akan beralih dikarenakan tidak ada pilihan lain ditengah kenyataan harga minyak tanah yang melambung tinggi.

Mengukur Kepuasan Konsumen

Rangkuti (2006) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan dapat diukur dengan cara berikut :

1. Traditional Approach

Berdasarkan pendekatan ini, konsumen diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati (pada umumnya dengan menggunakan skala Likert), yaitu dengan cara memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas sekali). Selanjutnya, konsumen juga diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan.

Nilai yang diperoleh dari skala Likert ini dapat diperbandingkan dengan dua cara, yaitu dibandingkan dengan nilai rata-rata atau dibandingkan dengan nilai secara keseluruhan. Penilaian secara keseluruhan merupakan nilai standar yang akan dibandingkan dengan nilai masing-masing indikator. Hasilnya apabila nilai masing-masing indikator tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai standar, konsumen dianggap sudah

(15)

merasa puas. Sebaliknya, apabila nilai masing-masing indikator tersebut lebih rendah dibandingkan nilai standar, konsumen dianggap tidak puas. 2. Analisis Deskriptif

Analisis deksriptif harus dilakukan secara hati-hati karena apabila nilai rata-rata menunjukkan hasil yang relatif cukup tinggi. Nilai ini harus dibandingkan dengan nilai standar deviasi. Begitu juga sebaliknya, apabila nilai rata-rata yang relatif rendah diikuti oleh nilai standar deviasi yang relatif kecil, hasilnya akan mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Salah satu pendekatan dalam analisis deskriptif adalah pendekatan secara terstruktur (Structured Approach). Pendekatan ini paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Salah satu teknik yang paling popular adalah semantic differential dengan menggunakan prosedur scaling. Hasilnya akan berupa diagram yang biasa disebut snake diagram. Diagram ini diperoleh berdasarkan nilai rata-rata masing-masing atribut.

Referensi

Dokumen terkait

Dibandingkan dengan metode asumsi beam 9.43 Hz dan Metode Elemen Hingga Tiga Dimensi 9.69 Hz, maka hasil pemodelan dalam penelitian ini terverifikasi secara

Anda bisa memberikan hadiah bunga mawar yang berbentuk rangkaian buket cantik untuk ibunda tercinta.. Ibu Anda akan sangat senang ketika mendapatkan hadiah

[r]

((Visualisasi adalah sarana paling utama dalam uslub Al-Qur'an, dia mengungkapan dengan gambaran inderawi imajinasi sesuatu yang maknawi, keadaan kejiwaan, kejadian

Camat adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan di lingkungan Kabupaten Bandung Barat, yang dalam pelaksanaan tugasnya

Setelah dilakukan pengujian dengan dua model yaitu algoritma neural network dan algoritma genetika maka hasil yang didapat adalah algoritma neural network

Definisi ini dipenuhi oleh elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, karena elemen-elemen ini akan memberikan sinyal keluaran (tegangan atau arus) tertentu jika diberi

Penyelidik seperti Jacob dan Kai (2003), mengariskan perkara yang perlu dilakukan untuk mencapai matlamat organisasi cemerlang dengan mereka cipta satu sistem