• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Epilepsi merupakan kekambuhan periodik yang ditandai adanya bangkitan, baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan berlebihan dari neuron kortikal dan ditandai oleh perubahan aktivitas listrik yang diukur oleh electro-encephalographi (EEG) (Wells dkk., 2008). Gangguan ini sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya, di samping itu juga dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik (WHO, 2001). Insiden epilepsi tertinggi terjadi pada kategori anak-anak dan merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut. Ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara statistik, jenis epilepsi pada masa anak-anak bervariasi, tetapi jenis epilepsi yang secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi umum (generalized epilepsy) (Pinzon, 2006).

Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dengan manifestasi adanya penurunan atau pengendalian kejang, serta perbaikan dalam aspek psikis, kognitif, dan sosial (Heaney dkk., 2002). Terapi utama epilepsi yaitu pemberian obat anti epilepsi untuk mengontrol kejang pasien (Gidal dan Garnett, 2005). Terapi pasien pediatrik sebaiknya diawali dengan monoterapi.

(2)

Sekitar 50% pasien epilepsi dapat terkontrol frekuensi dan aktifitas kejang dengan obat anti epilepsi, tetapi 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam mengontrol kejadian kejang setelah penggunaan obat anti epilepsi dan berkembang menjadi epilepsi refractory (Gidal dan Garnett, 2005; Lawthom dan Smith, 2001). Kesukaran ini antara lain dikarenakan oleh banyaknya jenis serangan epilepsi yang memerlukan terapi obat anti epilepsi (OAE) tertentu, pengobatan yang bersifat individual, prognosis pada sebagian kasus mengecewakan, lamanya pengobatan, seringnya terapi lebih dari 1 obat, adanya interaksi obat-obat, timbul efek samping, toksisitas yang menahun, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pengobatan, dan lain-lain (Moe dkk., 2006). Politerapi sering dipertimbangkan pada kelompok pasien ini (Lawthom dan Smith, 2001; Gidal dan Garnett, 2005).

Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi. Efek terapi dapat diketahui dengan melihat pengurangan jumlah kejang, pengurangan keparahan kejang, adverse reaction yang minimal dan perbaikan kualitas hidup pasien (Gidal dan Garnett, 2005).

Kuesioner Hague Seizure Severity Scale (HASS) merupakan kuesioner yang digunakan untuk mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi pediatrik berdasarkan keparahan kejang. Kuesioner tersebut merupakan pengembangan dari kuesioner LSSS (Liverpool Seizure Severity Scale) yang digunakan untuk mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi dewasa. Alasan digunakan kuesioner HASS pada penelitian ini karena HASS digunakan untuk mengevaluasi efek terapi pada pasien epilepsi pediatrik (Carpay, 1996).

(3)

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito. Hal ini dikarenakan RSUP Dr. Sarjito merupakan pusat rujukan rumah sakit di DIY dan Jawa Tengah bagian selatan. Menurut sistem rujukan di DIY dan Jawa Tengah bagian selatan, rumah sakit ini berada di posisi tertinggi. Selain itu, RSUP Dr. Sarjito termasuk dalam rumah sakit tipe A (Anonim, 2009). Sekitar 70% pasien dari jumlah keseluruhan pasien pediatrik rawat jalan yang berobat di Instalasi Kesehatan Anak merupakan pasien epilepsi.

Berdasarkan fenomena dan kaidah ilmiah yang dipaparkan, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengevaluasi obat anti epilepsi politerapi terkait dengan efek terapinya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada klinisi terkait pengobatan epilepsi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan atau acuan dalam penyusunan standar terapi pengobatan epilepsi pediatrik khususnya di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang itu, disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola pengobatan obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta?

2. Bagaimanakah efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta?

(4)

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu untuk:

1. Mengetahui pola pengobatan obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.

2. Mengevaluasi efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian Bagi peneliti

Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi terkait efek terapi obat anti epilepsi politerapi obat anti epilepsi pada pasien pediatrik.

Bagi rumah sakit

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan masukan dalam hal

outcome atau luaran berupa efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada pasien epilepsi pediatrik.

2. Hasil peneltian ini diharapkan dapat memberikan umpan balik kepada klinisi di rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lain terkait dengan standar terapi pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik.

(5)

E. Tinjauan Pustaka 1. Epilepsi

Secara etimologi epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilambanein”

yang kurang lebih berarti “sesuatu yang menimpa seseorang dari luar hingga ia jatuh” (Mutiawati, 2008). Penyakit epilepsi pertama kali ditemukan Hippocrates, seorang dokter dari Yunani pada tahun 400 SM. Masyarakat Yunani percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hippocrates menolak paradigma tersebut dan menyatakan bahwa epilepsi merupakan akibat dari terjadinya kerusakan pada otak, yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul “On the Sacred Disease”. Ia menyarankan untuk memberi terapi

fisik, bukan terapi spiritual. Ia menyatakan bahwa jika epilepsi menjadi kronis, maka epilepsi tidak dapat disembuhkan (Hantoro, 2013). Tahun 1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan epilepsi sebagai penyakit karena ketidakstabilan dan kerusakan pada jaringan saraf di otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita (Indrayati, 2004).

a. Definisi

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah

(6)

epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).

Menurut World Health Organization (WHO), epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan berulang akibat ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat (Wibowo dan Gofir, 2006).

b. Epidemiologi

Epilepsi dapat menyerang bayi, anak-anak, orang dewasa, maupun lanjut usia. Di seluruh dunia, kasus baru diperkirakan terjadi sekitar 3,5 juta tiap tahun dengan proporsi 40% golongan anak, 40% golongan dewasa dan 20% golongan lanjut usia (Harsono, 2001). Prevalensi di negara berkembang 2-25 kali lebih tinggi daripada di negara maju yang hanya 5-6/1000 penduduk (Radhakrishnan, 2000).

Diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi di Indonesia. Prevalensi epilepsi di indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan insidensi sebanyak 50 kasus per 100.000 orang per tahun (Harsono, 2007). Terdapat pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).

(7)

terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan. Selama dilakukan penelitian tersebut, dijumpai sebanyak 190 kasus baru epilepsi. Pada 190 kasus baru epilepsi tersebut, 65 pasien diantaranya (34, 2%) dimulai saat pada saat pasien berumur di bawah 14 tahun (onset epilepsi di bawah 14 tahun).

c. Etiologi

Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron otak dan transmisi pada sinaps. Setiap sel hidup, termasuk neuron otak memiliki kegiatan listrik yang disebabkan adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron yaitu perbedaan konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007).

Menurut Kusumastuti dan Basuki (2014) etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu:

1). Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.

2). Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, Lennox-Gastaut, dan epilepsi Juvenile mioklonik.

3). Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi struktural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

(8)

Beberapa penyebab yang secara spesifik dapat menimbulkan serangan epilepsi menurut Harsono (2005) adalah:

1). Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cidera (trauma) atau mendapat penyinaran (iradiasi).

2). Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan (forsep), atau trauma lain pada otak bayi.

3). Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang epilepsi.

4). Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada anak-anak.

5). Penyumbatan atau kelainan pembuluh darah otak.

6). Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat menyebabkan epilepsi.

7). Penyakit keturunan seperti fenilketonuria. Sklerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang berulang.

8). Kecenderungan timbul epilepsi yang disebabkan ambang rangsang serangan lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.

(9)

d. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA) atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamat dan aspratat melalui jalur eksitasi yang berulang (Westbrook, 2000). Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron (Harsono, 2011).

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak (Harsono, 2007).

e. Klasifikasi

Menurut Gidal dan Garnett (2005), berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, epilepsi diklasifikasikan menjadi:

(10)

Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisphere otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:

a). Absense (petit mal)

Jenis ini jarang dijumpai, umumnya hanya terjadi pada anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai.

b). Tonik-klonik (grand mal)

Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, dan keluar air liur. Bisa terjadi juga sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa menit, lalu diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.

c). Mioklonik

Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba. d). Atonik

Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat segera pulih kembali.

(11)

2). Kejang parsial

Kejang parsial merupakan perubahan klinis dan elektro-ensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di salah satu bagian otak. Kejang parsial dibagi menjadi:

a). Simple partial seizure

Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.

b). Complex partial seizure

Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada penderita dengan penurunan kesadaran maka dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme.

3). Kejang tak terklasifikasikan

Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis, gerakan mengunyah serta berenang.

2. Diagnosa

Penegakan diagnosa untuk epilepsi terutama berdasar riwayat adanya serangan berulang sedikitnya 2 kali dalam setahun. Bersifat stereotipik dari suatu pengalaman atau perilaku bawah sadar (involunter) yang dilaporkan oleh saksi. Pendekatan diagnosa lain yang banyak dimanfaatkan adalah elektro ensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG penting kaitannya dengan

(12)

diagnosa kejang, penentuan penyebab kejang, dan klasifikasi kejang yang sesuai (Harrison, 2000). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penegakkan diagnosis epilepsi dalam praktik klinis adalah sebagai berikut:

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis c. Pemeriksaan penunjang, seperti berikut:

1) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG) 2) Pemeriksaan pencitraan otak

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS).

3) Pemeriksaan laboratorium a) Pemeriksaan hematologis b) Pemeriksaan kadar OAE

(Kusumastuti dan Basuki, 2014)

3. Penatalaksanaan Terapi a. Prinsip Terapi

Tujuan pengobatan epilepsi adalah membebaskan pasien dari bangkitan tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan pasien epilepsi tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara normal (Gidal dan Garnett, 2005). Menurut Shorvon (2001), pertimbangan memulai pemberian obat anti epilepsi memperhatikan faktor atau kondisi yang mempengaruhi, yakni:

(13)

1). Diagnosa

2). Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama. 3). Elektro-ensefalografi (EEG)

4). Etiologi; epilepsi simtomatik, idiopatik atau kriptogenik.

5). Umur; risiko ulang lebih besar pada usia di bawah 16 tahun atau di atas 60 tahun.

6). Tipe kejang

7). Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan

8). Jenis epilepsi; beberapa sindroma epilepsi benigna mempunyai prognosis yang baik tanpa terapi, dan tidak memerlukan terapi jangka panjang.

9). Kepatuhan berobat; keputusan dalam memberikan pengobatan perlu dipertimbangkan pada semua keadaan jika kepatuhan berobat diragukan.

10). Bangkitan reflektoris dan bangkitan simtomatik akut; kadang-kadang bangkitan timbul hanya pada keadaan spesifik atau oleh adanya pemicu terrtentu (misal fotosensitif, kelelahan, alkohol). 11). Harapan penderita; perlu diterangkan keuntungan dan kerugian

relatif apabila menggunakan atau tanpa pengobatan

Menurut Shih (2007) dan Budikayanti (2014), ada beberapa prinsip terapi epilepsi yang diterapkan, yaitu terapi dimulai dengan monoterapi dosis terendah yang disesuaikan dengan jenis epilepsi dan sindrom

(14)

epilepsi. Dosis dinaikkan bertahap sampai pada dosis yang dapat mengontrol kejang. Jika dosis OAE pertama sudah maksimal namun masih belum mengontrol kejang, OAE kedua yang berbeda mekanisme aksinya diberikan dengan penaikan dosis secara bertahap, sementara OAE pertama diturunkan dosisnya. Jika muncul kejang lagi pada penurunan dosis OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Penambahan OAE ketiga dilakukan jika kedua OAE masih belum dapat mengontrol kejang walaupun dosis sudah maksimal. Pada interval waktu tertentu, perlu dimonitor kemungkinan timbulnya ketoksikan. Terapi OAE dilanjutkan pada pasien bebas kejang hingga minimal 2 tahun dan jangan memutus OAE tanpa mengecek EEG pasien terlebih dahulu.

b. Pediatrik

Pediatrik bukan miniatur orang dewasa. Pediatrik masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam profil farmakologinya yang berbeda dengan populasi dewasa (US Department of Health and Human Service, 2014). Menurut European Medicine Agency (2001), usia pediatrik diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu: neonatus (0-27 hari), bayi (28 hari-23 bulan), anak-anak (2 - 11 tahun) dan remaja (12-16/18 tahun).

c. Terapi Epilepsi Pada Pasien Pediatrik

Sebagian besar kasus epilepsi dimulai sejak bayi dan anak. Penderita epilepsi anak, merupakan segmen pasien tertentu, yang dalam beberapa hal

(15)

berbeda dengan pasien dewasa. Diperlukan pengetahuan tentang kondisi, perkembangan, status penyakit anak, dan pengetahuan farmakologi OAE; sehingga terapi epilepsi anak memerlukan perhatian khusus. Berbagai hal perlu dicermati, misalnya pertumbuhan organ pasien, metabolisme hepar, eliminasi ginjal, profil farmakokinetik OAE, toleransi terhadap OAE, serta ketaatan mengkonsumsi obat. Hal-hal tersebut, berpengaruh terhadap penyesuaian dosis OAE yang akan diberikan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Tabel I. Pilihan Terapi untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak

Tipe kejang First-line

drugs

Second-line drugs

Alternatif/ tambahan

Obat yang dihindari (dapat memperburuk

kejang)

Tonik-klonik

karbamazepin klobazam asetazolamid tiagabin

lamotrigin levetirasetam klonazepam vigabatrin

valproat okskarbazepin fenobarbital

topiramat fenitoin

primidon

Absence

etosuksimid klobazam karbamazepin

lamotrigin klonazepam gabapentin

valproat topiramat okskarbazepin

tiagabin

vigabatrin

Mioklonik

valproat klobazam karbamazepin

topiramat klonazepam gabapentin

lamotrigin okskarbazepin

levetirasetam tiagabin

pirasetam vigabatrin

Tonik

lamotrigin klobazam asetazolamid karbamazepin

valproat klonazepam fenobarbital okskarbazepin

levetirasetam fenitoin

topiramat primidon

Atonik

lamotrigin klobazam asetazolamid karbamazepin

valproat klonazepam fenobarbital okskarbazepin

levetirasetam primidon fenitoin

topiramat Parsial dengan atau tanpa secondary generalized

karbamazepin klobazam asetazolamid

lamotrigin gabapentin klonazepam

okskarbazepin levetirasetam fenobarbital

valproat fenitoin primidon

(16)

Keterangan:

a. Enzim hati menginduksi OAE

b. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE Technology Appraisal of Newer AEDs for Children

c. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai

(NICE Guideline, 2012)

Tabel II. Dosis Obat Antiepilepsi untuk Terapi pada Pediatrik

Obat Dosis awal

(mg/kg/hari) Dosis maintenance (mg/kg/hari) Frekuensi pemberian (kali/hari) Fenitoin 5 5-15 1-2 Karbamazepin 5 10-25 2-4 Okskarbazepin 5 10-50 2-3 Lamotrigin 0,5 2-8 1-2 Zonisamid 2-4 4-8 2 Etosuksimid 10 15-30 1-2 Felbamat 15 30-45 3-4 Topiramat 0,5-1 5-9 2 Clobazam 0,25 0,5-1 1-2 Clonazepam 0,025 0,025-0,1 2-3 Fenobarbital 4 4-8 1-2 Pirimidon 10 20-30 1-2 Vigabatrin 40 50-150 1-2 Gabapentin 20 20-40 3 Valproat 10 15-40 2-3 Levetiracetam 10 20-60 2

Tiagabin Tidak disarankan untuk anak di bawah usia 12 tahun (Brodie dkk., 2005)

Menurut Shih (2007), ada beberapa edukasi yang dapat diberikan pada pasien epilepsi pediatrik, yaitu pemberian informasi mengengai masalah dan terapi epilepsi pada pasien dan keluarga, penandaan botol berisi obat epilepsi, tetap berusaha hidup senormal mungkin, tidur yang cukup dan menghindari kekurangan tidur. Anak-anak juga diberitahu untuk melakukan kegiatan fisik sesuai umur mereka.

(17)

d. Politerapi

Setelah pasien gagal diterapi dengan 1 regimen obat, maka diperlukan tambahan OAE kedua. Terapi tambahan dipilih OAE diantara karbamazepin, asam valproat, atau fenitoin (Carpay dkk., 1998). Menurut NICE (2012), politerapi adalah terapi dengan menggunakan 2 obat atau lebih, dalam hal ini adalah obat anti epilepsi. Pasien yang masih resisten dengan 2 obat anti epilepsi (OAE) akan dipertimbangkan penambahan jenis OAE lain. Pertimbangan inilah yang memulai politerapi obat pada pasien epilepsi (Carpay, dkk., 1998; Lawthom dan Smith, 2001).

Politerapi telah digunakan sejak lama. Lawthom dan Smith (2001) menyebutkan bahwa politerapi dimulai 150 tahun lalu dengan nervine, suatu kombinasi bromide, arsenic dan pikrotoksin. Nervine mempengaruhi sistem syaraf secara komplementer, sehingga merupakan contoh dini penggunaan politerapi rasional. Pertengahan abad 20, kombinasi fenitoin dan fenobarbital menjadi terapi umum bagi epilepsi. Tahun 1980an, monoterapi menggantikan politerapi, namun politerapi tetap digunakan pada pasien epilepsi yang belum terkontrol. Politerapi dikatakan rasional jika:

1). Memiliki aksi penurunan kejang yang berbeda sehingga tidak terjadi interaksi farmakodinamik.

2). Tidak berinteraksi secara farmakokinetik yang kompleks. 3). Potensi reaksi yang tidak diinginkan terendah.

4). Diresepkan pada dosis yang paling rendah.

(18)

Meningkatnya jumlah obat anti epilepsi, maka kemungkinan efek samping meningkat. Semakin tinggi interaksi obat, dapat meningkatkan biaya terapi, dan mengurangi compliance pasien. Tabel III merupakan saran kombinasi OAE oleh Lawthom dan Smith (2001).

Tabel III. Terapi Kombinasi

No Kombinasi Alasan

1

Karbamazepin, lamotrigin, atau fenitoin dengan

Gabapentin, levetirasetam, tiagabin atau topiramat

Merupakan politerapi rasional

karena memiliki mekanisme aksi

yang berbeda. Karbamazepin,

lamotrigin, dan fenitoin berperan

dalam inaktivasi kanal Na,

sedangkan OAE gabapentin,

levetirasetam, tiagabin dan

topiramat meningkatan transmisi inhibitori GABA.

2 Karbamazepin, lamotrigin atau fenitoin

Tidak disarankan kombinasi antara OAE tersebut karena mekanisme aksinya mirip, yaitu inaktivasi kanal Na.

3 Tiagabin dan vigabatrin

Tidak disarankan kombinasi antara OAE tersebut karena mekanisme aksinya mirip, yaitu meningkatkan transmisi inhibitori GABA.

4. Obat Anti Epilepsi

Wibowo dan Gofir (2006) membagi mekanisme kerja obat antiepilepsi (OAE) menjadi 2 bagian besar, yakni: efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan neurotransmitter. Berikut ini adalah penggolongan OAE berdasarkan pada mekanisme tersebut:

a). Efek langsung pada membran yang eksitabel.

Perubahan permeabilitas membran merubah fase recovery serta mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron pada keadaan lepas muatan listrik epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme

(19)

pengaturan aliran ion Na+ dan ion Ca2+ (Wibowo dan Gofir, 2006). Contoh OAE yang bekerja dengan mekanisme ini antara lain:

(1). Fenitoin: difenilhidantoin, Diphantoin®, Dilantin®

Senyawa imidazolin ini tidak bersifat hipnotik seperti senyawa barbital dan suksinimida. Fenitoin terutama efektif pada grand mal dan serangan psikomotor, tetapi tidak boleh diberikan pada petit mal, karena dapat memprovokasi absense

(Tan dan Rahardja, 2002).

Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan ion melalui channel Na dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, memblokade dan mencegah potensial post

tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi penyebaran serangan. Fenitoin berefek stabilitas pada membran yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel. Fenitoin juga dapat menghambat efek channel Ca dan menunda aktifasi ion K keluar sehingga menyebabkan kenaikan periode refractory dan menurunnya cetusan ulangan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik fenitoin untuk sebagian besar pasien adalah antara 10-20 µg/mL. Dosis awal dapat diberikan secara oral atau intravena. Merupakan pilihan untuk status epileptikus konvulsif. Bila terapi oral dimulai, pada umumnya pemberian

(20)

dosis kepada orang dewasa mulai dari 300 mg/hari, tanpa memandang berapa berat badannya (Katzung, 2002).

(2). Karbamazepin: Tegretol®

Derivat anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial dan tonik klonik, dapat diberikan tunggal atau politerapi. Mekanisme kerja dengan memblokade channel Na selama pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006).

Obat ini efektif untuk anak-anak. Dosis tepat adalah 15-25 mg/kg/hari (Katzung, 2002). Pemberian kronik karbamazepin dapat menyebabkan stupor, koma dan depresi pernafasan, bersamaan dengan rasa pusing vertigo, ataksia dan pandangan kabur. Obat ini dapat merangsang lambung, mual dan muntah. Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopenia terjadi pada beberapa penderita. Obat ini mempunyai potensi untuk menyebabkan toksisitas hati yang berat. Setiap penderita yang mendapat pengobatan dengan karbamazpin harus mendapatkan pemeriksaan fungsi hati yang berulang-ulang (Mycek, 2001). (3). Etosuksimid

Mekanisme kerja obat ini menghambat channel Ca tipe T. Etosuksimid mempunyai efek penting pada arus Ca2+, menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T). Arus kalsium tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu

(21)

pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang korteks yang ritmis dari serangan absence. Penghambat arus tersebut karenanya merupakan keja terapeutik dari etosuksimid (Katzung, 2002). Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan absence pada anak-anak yang tidak disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik sebesar 60-100µg/mL dapat dicapai pada orang dewasa dengan dosis 750-1500 mg/hari, meski kadang dibutuhkan dosis yang lebih tinggi atau lebih rendah (Katzung, 2002). Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia jarang terjadi, namun gambaran darah, juga fungsi hati dan urin, perlu dikontrol secara teratur (Tan dan Rahardja, 2002).

(4). Asam valproat: asam dipropilasetat, Depakene®, Depakote®, Ikalep®

Memiliki mekanisme aksi yang multipel. Obat ini menghambat channel Ca tipe T, meningkatkan fungsi GABA (hanya terlihat pada konsentrasi tinggi), meningkatkan sintesa GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi (GAD), serta menghasilkan modulasi selektif pada arus Na selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006).

Asam valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk epilepsi general idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat

(22)

digunakan untuk serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi fotosensitif dan sindrom lennox. Sebagai second-line pada terapi spasme infantil. Sebagai first-line pada epilepsi fokal (Wibowo dan Gofir, 2006).

Dosis sebesar 25-30 mg/kg/hari sesuai untuk sebagian pasien, tetapi ada yang membutuhkan 60 mg/kg atau bahkan lebih. Kadar terapeutik berkisar 50µg/mL sampai 100µg/mL. Dalam uji efikasi, pemberian obat sebaiknya tidak dihentikan hingga kadar puncak waktu pagi hari paling sedikit 80µg/mL sudah dicapai; beberapa pasien dapat memerlukan dan menoleransi kadar puncak yang lebih besar dari 100µg/m (Katzung, 2002).

Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna yang bersifat sementara, ada kalanya juga sedasi, ataksia, udema pergelangan kaki, dan rambut rontok (reversibel). Efek lainnya kenaikan berat badan terutama remaja putri (Tan dan Rahardja, 2002).

(5). Okskarbazepin : Trileptal®

Okskarbazepin adalah 10-keto analog dari OAE karbamazepin, dikembangkan dalam upaya untuk menghindari oto-induksi dan potensi interaksi sebagaimana terdapat pada karbamazepin. OAE ini telah memperoleh lisensi di seluruh dunia, lebih dari 50 negara termasuk Inggris. Di beberapa

(23)

negara okskarbamazepin telah digunakan sebagai obat pilihan pertama (Harsono, 2007).

Okskarbazepin digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan pada serangan parsial, baik dewasa dan anak-anak, termasuk pasien yang baru terdiagnosa (Browne dan Holmes, 2000). Mekanisme aksi dengan memblokade kanal Na, berdampak pada konduktansi kalium dan memodulasi tegangan tinggi sehingga mengaktivasi kanal kalsium (Shorvon, 2000). (6). Lamotrigin : Lamictal®

Lamotrigin diindikasikan sebagai terapi tambahan pada pasien dewasa dengan serangan parsial yang tidak terkontrol dengan obat-obat pilihan pertama seperti fenitoin dan karbamazepin. Lamotrigin memiliki toksisitas tergantung dosis yang minimal dan tidak memerlukan monitoring hasil laboratorium. Penggunaan obat ini menimbulkan efek samping yaitu rash yang dihubungkan dengan sindrom Steven-Johnson, terutama jika digunakan pada anak-anak. Lamotrigin tidak bisa diberikan sebagai loading dose. Pemberian secara parenteral tidak dimungkinkan. Ditemukan beberapa interaksi pada penggunaan obat ini (Browne dan Holmes, 2000).

b). Efek melalui perubahan neurotransmitter (1). Blokade aksi glutamat

(24)

Mekanisme kerja dengan memperkuat aktivitas GABA yakni memblokade reseptor NMDA. Memblokade

channel Na voltage-dependent, tetapi tidak berefek pada reseptor GABA (Wibowo dan Gofir, 2006). Felbamat terbukti efektif pada monoterapi maupun politerapi pada serangan parsial pada pasien dengan usia di atas atau saat 14 tahun. Obat ini bermanfaat untuk sindrom Lennox-Gastaut yang tidak berespon pada terapi lain (Wibowo dan Gofir, 2006).

Dosis lazim berkisar antara 2000-4000mg/hari pada orang dewasa, dan rentang kadar plasma efektif adalah 30µg/mL sampai 100µg/mL (Katzung, 2002). Efek samping berupa mual, muntah, gangguan penglihatan, pusing, dan reaksi alergi di kulit serta anemia aplastik (Tan dan Rahardja, 2002).

(b). Topiramat: Topamax®

Obat ini memiliki mekanisme aksi yang beragam, menghambat reseptor glutamat subtipe Alpha-amino-3-hidroxy-5methylisoxazole-4propionicacid (AMPA), menghambat karbonik anhidrase dengan lemah, menghambat channel Na high-voltaged-activated, memperpendek durasi ledakan spontan dan frekuensi potensial aksi, dan menghambat GABA dengan

(25)

mekanisme yang tidak diketahui dengan pasti. Topiramat sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial dan general tonik-klonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik primer dan sindrom Lennox-Gastaut.

Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200mg/hari sampai 600 mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi dosis lebih besar dari 1000 mg/hari (Katzung, 2002). Efek tidak diinginkan yang berhubungan dengan dosis paling sering terjadi dalam 4 minggu pertama meliputi rasa kantuk, kelelahan, pusing, lambat berpikir, parestesi, kegelisahan, dan bingung (Katzung, 2002).

(2). Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyric Acid (GABA) pada membran pasca-sinaptik dan neuron

(a). Klonazepam: Rivotril®

Sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap resepto GABA-A. Efektif untuk serangan mioklonik dan subkortikal mioklonus. Obat ini juga efektif pada serangan umum dan sedikit berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter. Klonazepam juga digunakan sebagai terapi emergensi pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan Gofir, 2006).

(26)

Efek sedasi cukup men onjol terutama pada alwal terapi, dosis awal seharusnya rendah. Dosis maksimal yang dapat ditolerir berkisar antara 0,1-0,2 mg/kg, tetapi untuk pasien tertentu diperlukan beberapa minggu untuk mencapai dosis tersebut. Kadar terapeutik obat dalam darah biasanya kurang dari 0,1 µg/mL (Katzung, 2002). (b). Fenobarbital: fenobarbiton, Luminal®

Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan channel Cl, mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat. Merupakan OAE spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder. Obat ini digunakan sebagai second drug karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya kognitif. Namun pada status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai first drug (Wibowo dan Gofir, 2006).

Kadar terapeutik fenobarbital berkisar antara 10-40µg/mL. Efektif untuk kejang demam. Kadar dibawah 15µg/mL tidak efektif untuk mencegah kambuhnya kejang demam. Batas atas dari rentang terapeutik sulit ditetapkan karena banyak pasien menoleransi kadar

(27)

kronis di atas 40 µg/mL (Katzung, 2002). (c). Klobazam : Frisium®

Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin yang dipasarkan sebagai transquilizer, tetapi memiliki khasiat antikonvulsi yang sama kuatnya dengan diazepam. Klobazam digunakan sebagai obat tambahan pada absence yang resisten terhadap klonazepam. Klobazam tidak dapat dikombinasikan dengan valproat (Tjay dan Rahardja, 2010).

Klobazam merupakan terapi tambahan pada serangan parsial dan umum, terapi intermittent, terapi

one-off profilaktik, dan non-konvulsif status epileptikus, namun tidak tersedia di Amerika Serikat (Shorvon, 2000).

5. Efek Terapi

Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi. Salah satu cara untuk mengetahui efek terapi adalah pengurangan keparahan kejang. Pengurangan keparahan kejang akan berdampak langsung pada fungsi psikososial pasien (Sabaz dkk, 2001). Pengukuran outcome terapi epilepsi yang lain dapat dinilai dari adverse reaction yang minimal dan perbaikan kualitas hidup pasien (Gidal dan Garnett, 2005).

Penurunan jumlah kejang merupakan penilaian outcome yang paling mudah dilakukan. Setiap kali pasien datang kontrol ke poliklinik, akan mudah

(28)

menanyakan jumlah kejang yang terjadi setelah kontrol sebelumnya, ataupun jumlah kejang sesuai periode yang diinginkan, misalnya sebulan, seminggu, ataupun sehari. Pasien dikatakan berespon terhadap pengobatan jika pengurangan frekuensi kejang lebih dari 50% (Bachtera, 2007). Selain penurunan jumlah kejang, pengukuran keparahan kejang juga merupakan parameter efek terapi obat anti epilepsi (OAE).

Hague Seizure Severity Scale (HASS) merupakan bentuk kuesioner yang dikembangkan oleh Carpay, dkk. (1996) untuk mengukur keparahan kejadian kejang yang terjadi selama 3 bulan terakhir berdasarkan persepsi orang tua. Nilai HASS berkisar antara 13 (kejang kurang parah) hingga 54 (kejang paling parah). Kuesioner HASS ditujukan untuk pasien epilepsi pediatrik yang berumur 4-16 tahun (Carpay dkk., 1996).

F. Keterangan Empirik

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran efek terapi pasien epilepsi pediatrik. Efek terapi pada penelitian ini dinilai dari 2 aspek, yaitu: jumlah kejang dan keparahan kejang. Kedua aspek yang dialami pasien dinilai dalam suatu kuesioner yang diberikan kepada subyek penelitian yang bersedia.

Gambar

Tabel I. Pilihan Terapi untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak
Tabel II. Dosis Obat Antiepilepsi untuk Terapi pada Pediatrik
Tabel III. Terapi Kombinasi

Referensi

Dokumen terkait

dikirimkan melalui internet [2]. Untuk menjamin kerahasiaan, keaslian, dan integritas data dapat diterapkan algoritma enkripsi pada embedded system. Salah satu

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keaktifan pembelajaran ips materi lingkungan alam dan buatan melalui metode Problem Based Instruction (PBI) pada siswa kelas III

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji manajemen penangkaran, ukuran keberhasilan penangkaran, aktivitas harian dan perilaku makan burung kakatua sumba (Cacatua

Salah satu teknologi yang terkenal dari BMW R 1200 GS Adventure adalah teknologi mode Riding Rain & Road yang di pasangkan pada motor ini dengan tujuan untuk setiap pengguna

Kung ibig nating malaman kung magkaibang ponema ang [b] at [v] sa Pilipino, hindi nating maaaring kuning pares minimalang tulad ng ‘bisa’ [bi:sa?] ‘effect’ at visa

Jumlah semua pasien rawat jalan tuberkulosis yang ditangani dengan strategi DOTS Jumlah seluruh pasien rawat jalan tuberculosis yang ditangani di rumah sakit dalam bulan

Isu strategis penyelenggaraan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat,

Kemalangan jalan raya telah mengakibatkan kerugian besar kepada negara. Ianya melibatkan kecederaan, penderitaan dan kematian yang paling tinggi di Malaysia. Sejarah kemalangan jalan