• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORITIS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1. Bendera Merah Putih: Identitas Nasional

Setiap makhluk hidup di dunia ini pasti memiliki identitas atau ciri khas. Selain berfungsi sebagai penjelas dari kepribadian seseorang, identitas atau jati diri juga berfungsi sebagai pembeda antara satu dan yang lain. Begitu pula negara membutuhkan identitas nasional agar dapat dibedakan dengan negara lainnya. Jadi identitas nasional adalah ungkapan nilai-nilai budaya suatu bangsa yang bersifat khas dan membedakannya dengan bangsa lain. Karena itu perlu dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warganya, sebab tidak semata-mata dibentuk, melainkan memiliki unsur-unsur seperti kesamaan sejarah, kebudayaan masyarakat yang tidak dimiliki bangsa lain, agama, dan bahasa. Karakter bangsa menyangkut perilaku yang mengandung core values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan simbol-simbol keindonesiaan seperti: Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, dan Lagu Indonesia Raya (Ubaedillah, 2013).

Bendera Merah Putih merupakan salah satu (dari sekian) identitas nasional yang berfungsi memberi “ingatan” bagi setiap orang, bahkan setiap suku bangsa yang mendiami bentangan kepulauan dari Sabang sampai Merauke bahwa mereka adalah Indonesia (Pasal 35 UUD 1945), sekalipun mereka tidak saling mengenal. Berdasarkan pasal 35 UUD 1945 ini, dirumuskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebelum UU No. 24 Tahun 2009, identitas nasional tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958. Dalam pasal 4 UU No. 24/2009 mengatakan bahwa ukuran bendera negara boleh berbeda-beda tergantung dimana bendera itu ditempatkan, konsekuensinya adalah kita dapat mengamati ukuran bendera yang berbeda-beda tergantung tempat dan kegiatan yang dilakukan. Namun “pesan” yang diberikan oleh bendera Merah Putih hanya bermuara pada “ingatan” bahwa kita adalah Indonesia.

Selain ukuran, pasal 9 Ayat 1 UU No. 24 secara khusus mengatur tentang tempat bendera negara wajib dikibarkan, diantaranya seperti istana Presiden dan Wakil Presiden, kantor atau gedung lembaga pemerintah, rumah pejabat negara, pos perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia, lingkungan TNI dan Kepolisian, dan makam pahlawan nasional. Di

(2)

6

Pasal 12 UU No. 24/2009 tertulis bendera negara dapat digunakan sebagai tanda perdamaian, tanda berkabung, dan penutup peti jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri, kepala daerah, anggota DPRD, kepala perwakilan diplomatik, anggota TNI, dan anggota Kepolisian RI.

Melihat makna dan konteks bendera Merah Putih seperti terurai di atas, pertanyaannya adalah apa relevansinya dengan penggunaan bendera Merah Putih dalam upacara penyerahan maskawin (ararem) pada suku Biak Numfor di Papua? Perlu disadari bahwa Papua memiliki sejarah yang berbeda jika dibandingkan dengan suku bangsa lain di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, Papua (Barat) belum termasuk dalam kemerdekaan Indonesia itu, “dia” masih merupakan wilayah yang dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, lewat Komisi PBB untuk urusan Indonesia akhirnya menyepakati Piagam Penyerahan Kedaulatan (Siregar, 2004: 35) yang isinya:

a. Pasal 1: Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada RIS tanpa syarat sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat penuh. Kedaulatan tersebut akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 desember 1949.

b. Pasal 2: Belanda tidak menyerahkan Keresidenan Papua (Niuew Guinea) kepada Indonesia tetapi masih di bawah kekuasaan kerajaan Belanda sampai akan dibicarakan kembali setahun kemudian pada tahun berikutnya.

Akibat ketegangan yang berlangsung sangat cepat antara pemerintah Belanda dengan Indonesia maka Gubernur Belanda di Papua merasa perlu membentuk suatu Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang, komite ini kemudian dilengkapi 70 putra Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan manifesto (Siregar, 2004: 35) :

1. Menentukan nama negara: Papua Barat

2. Menentukan lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua 3. Menentukan bendera: Bintang Kejora

4. Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora dikibarkan pada tanggal 1 November 19611.

Dengan demikian, Papua Barat telah memiliki identitas nasionalnya sejak tahun 1961 itu, namun upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk membawa kembali Papua Barat

1 Namun tanggal 1 November tersebut Bendera Bintang Kejora tidak dikibarkan karena masih menunggu

persetujuan pemerintah Bendanda di Belanda. Setelah persetujuan diberikan maka bendera Bintang Kejora dikibarkan Tanggal 1 Desember 1961 di Jayapura sekaligus Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat.

(3)

7

ke pangkuan Ibu Pertiwi ternyata tidak berhenti di Konferensi Meja Bundar itu. Upaya politik terus dilakukan dan akhirnya melahirkan beberapa perjanjian, seperti: New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962, dan juga Roma Agreement 30 September 1962, prosesnya terus berlanjut sampai pada Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 di Papua Barat. Baik dalam catatan Latifah Anum Siregar (2004) maupun Socrates Sofyan Yoman (2015) menggambarkan bahwa selama proses penyelesaian sengketa atas Papua Barat tersebut rakyat Papua berada dalam posisi yang pasif dan tidak dilibatkan.2 Hal itu senada dengan komentar wakil ketua Presidium Dewan Papua Tom Beanal: “Kami ini ibarat binatang yang

dipindahkan dari satu kandang ke kandang yang lain…”.

Proses masuknya Papua Barat (yang kemudian berganti nama menjadi Irian Jaya) ke Indonesia lewat PEPERA 1969 sampai dengan saat ini masih merupakan perdebatan karena dilakukan dengan tidak mengindahkan perjanjian New York, yakni bahwa semua laki-laki dan perempuan dewasa memiliki hak suara (one man one vote) berubah menjadi sekitar 1.026 suara saja (one delegation one vote) yang merupakan anggota DMP (Dewan Musyawarah Pepera). Karena itu, proses ini diduga sebagai rekayasa politik oleh militer Indonesia.

Atas dasar gambaran tersebut, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah penggunaan Bendera Merah Putih dalam upacara penyerahan maskawin di Biak (Ambroben) itu merupakan sebuah bentuk kesadaran nasionalisme Indonesia oleh orang Irian Jaya (Papua)? atau merupakan bentuk kritik atas ketidakadilan yang terjadi dalam sejarah masa lalu dan realitas ketidak-adilan (ekonomi-pembangunan) kekinian?, atau bahkan merupakan ekspresi ketakutan dan pertanahan akibat trauma masa lalu terhadap kebringasan militer Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam bagian analisis pada bab selanjutnya.

2.2. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak pandangan,

2 Perjanjian New York diterima dan didukung Amerika dengan alasan perhitungan ekonomi-politik, karena jika

terjadi perang terbuka di kawasan sengketa maka pihak Belanda dan Blok Barat akan kalah dan yang akan memetik keuntungan adalah Blok Timur (Komunis). Alasan itu jelas tidak memperhitungkan kepentingan orang Papua yang merdeka dan berdaulat.

(4)

8

bahwa individu adalah pasif dan ditentukan oleh kekuatan atau struktur dari luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan prilaku manusia bukan struktur masyarakat. Sturuktur sosial berubah karena proses interaksi sosial (Mulyana, 2004: 61).

Interaksionisme simbolik merupakan sebuah teori yang lahir dari persemaian sistem filsafat Pragmatisme Amerika, yang nampaknya sejalan dengan fenomenologi Eropa. Sekalipun demikian, perdebatan tentang “akar pikir” aliran ini sengaja tidak diketengahkan. Kepentingan peneliti adalah hanya mencoba mendudukan teori interaksionis sombolik sebagai “kaca mata” guna menemukan makna di balik simbol yang dimaksudkan dalam penelitian ini, yakni penggunaan bendera Merah Putih dalam upacara penyerahan mas kawin (ararem) di Biak, Papua.

2.2.1. Makna di Balik Simbol

Dalam siklus penelitian interaksionisme simbolik, etnografi, atau fenomenologi– interpretif, fakta penelitian tidak kembali ke aras grand teori tetapi kembali kepada fakta itu sendiri. Artinya, interpretasi atas realitas temporer dan kontekstual tidak mungkin menjadi alat generalisasi, sehingga hasil riset interpretif hanya dapat dipakai untuk konteks yang sama. Menurut Bogdan dan Taylor (1975) teori interaksionisme simbolik dan etnometodologi adalah cabang dari tradisi fenomenologi, yang telah menjadi kekuatan dominan dalam sosiologi. Bahkan akhir-akhir ini para ahli interaksionisme simbolik dan etnometodologi itu merupakan pendukung metodologi kualitatif yang paling gigih. Kaum fenomenologi memandang perilaku manusia–yaitu apa yang dikatakan dan dilakukan orang–sebagai produk dari cara orang tersebut menafsirkan dunianya (Bogdan & Taylor, 1975: 35).

Interaksionis simbolis, mengikuti Mead, cenderung setuju pada signifikansi kausal intrekasi sosial, jadi, makna tidak tumbuh dari proses mental soliter namun dari interaksi (Ritzer dan Goodman, 2009:394-395). Fokus ini berangkat dari pemahaman pragmatisme Mead, sebab menusatkan perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental orang yang terisolasi. Dengan demikian, bukan bagaimana orang secara mental menciptakan makna dan simbol, namun makna dan simbol hanya akan tampak selama interaksi pada umumnya dan khususnya selama sosialisasi. Jadi, simbol dan makna dipelajari sekaligus dalam interaksi sosial.

(5)

9

Berdasarkan itu, dapat dikatakan bahwa simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan (atau ‘menggantikan,’ ‘mengambil tempat’) sesuatu yang memang disepakati bisa direpresentasikan oleh simbol tersebut. Dalam kaitan dengan penelitian ini, simbol yang dimaksud adalah bendera Merah Putih yang digunakan oleh masyarakat Biak dalam upacara perkawinan mereka. Pertanyaannya adalah hal apa yang hendak direpresentasikan oleh bendera Merah Putih itu?.

Dalam Mind, Self, and Society (Mead, 1934), Mead mendeskripsikan bagaimana pikiran individu dan diri muncul keluar dalam proses sosial. Bahkan dia menjelaskan pengalaman manusia dalam artian psikologi individu, Mead melakukan analisis pengalaman dari sudut pandang komunikasi sebagai bagian esensi dari tata sosial. Psikologi individu, bagi Mead hanyalah sebatas artian dalam proses sosial. Perkembangan diri individu dan kesadaran individu yang termasuk dalam pengalaman semata bersifat sosial. Bagi Mead proses sosial muncul lebih dahulu dari pada struktur dan proses pengalaman individu. Pikiran bagi Mead, muncul dalam proses sosial dari komunikasi dan tidak bisa dipahami di luar konteks itu. Proses komunikasi sendiri terdiri dari dua fase: (1) percakapan gestur; dan (2) bahasa, atau percakapan gestur yang signifikan. Kedua fase itu mengisyaratkan konteks sosial dari interkasi dua atau lebih individu (Mead, 1934: 14-18).

Dalam level komunikasi manusia, gestur signifikan muncul dalam permainan. Gestur signifikan memiliki dasar pada simbol linguistik pembawa isi yang lebih atau kurang sama untuk setiap individu dan memiliki makna yang sama dalam diri setiap orang. Binatang tidak menempatkan diri mereka pada posisi mengikuti prediksi yang lain, atau dengan kata lain, dia akan bertindak melalui cara tertentu dan saya akan bertindak dalam cara ini. Manusia mulai berfikir ketika ada simbol, gestur vokal, yang mana muncul sebagai respon individu ketika dia memanggil yang lain, dan berdasarkan respon itu dia akan mampu menempatkan dirinya (Cronk, 2005).

Gestur signifikan termasuk didalamnya mengunakan simbol yang selalu

mengisyaratkan kemampuan setiap partisipan dalam proses komunikasi untuk mengambarkan kemampuan diri dari sudut pandang orang lain. Dalam interaksi nonsimbolis manusia, sama dengan binatang, yakni memberi respon langsung kepada yang lain. Dalam interaksi simbolik,

(6)

10

dimana mereka menggunakan gestur signifikan, mereka menterjemahkan sikap yang lain dan bertindak berdasarkan pemaknaan yang diperoleh dari interpretasi tersebut (Mead, 1934: 47).

Dengan demikian, sejalan dengan pragmatisme, Mead menekankan bahwa proses berpikir selalu dimulai oleh munculnya suatu masalah, atau lebih khusus lagi, suatu hambatan yang menghalangi tindakan individu. Hal ini merangsang untuk mencari jalan keluar yang bersifat tentatif terhadap masalah itu dalam hatinya. Orang tidak selalu rasional dalam berpikir dengan pemecahan alternatif atau dalam memilih alternatif yang paling efisien atau paling efektif. Beberapa faktor yang mengurangi rasionalitas; salah satunya dapat berupa tekanan untuk membuat atau memecahkan masalah dengan segera, sehingga mengurangi proses reflektif–atau kesempatan untuk mengidentifikasi dan menilai alternatif yang lebih baik, dan cenderung untuk memilih cara yang tradisional (Johnson, 1990: 15).

Berkaitan dengan penggunaan simbol negara (bendera Merah Putih) dalam upacara perkawinan masyarakat Biak, diduga bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah tindakan alternatif yang diambil dalam konteks yang lebih luas, yakni munculnya wacana tentang keinginan Papua merdeka. Dalam konteks seperti ini, tafsiran atas simbol negara tersebut bisa saja menjadi komplek (multi tafsir), karena itu, penelitian ini menjadi relevan ketika diperhadapkan pada konteks nasionalisme Indonesia dan keinginan sebagai masyarakat Papau untuk merdeka.

2.2.2. Makna Tindakan (Action)

Konsep Mead tentang prilaku sosial sangat relevan, tidak saja karena teorinya tentang pikiran, tetapi semua fase dari filsafat sosialnya–pikiran muncul atau keluar dalam perilaku sosial komunikasi. Mead mengemukakan dua model prilaku dalam filsafat, yakni : (1) model

the act-as-such, contonya aktivitas organik secara umum, dan (2) model the social act,

sebagai aktivitas sosial, dimana persoalan khusus dari aktivitas organik dan hal ini adalah bagian relevan dalam interpretasi terhadap prilaku manusia. Hubungan antara proses sosial dari prilaku dan lingkungan sosial adalah analogis dan relasi antara organisme individu dan lingkungan fisik-biologis” (Mead, 1934: 130).

Analisisnya terhadap the act-as-such (aktivitas organik), ia berbicara tentang prilaku sebagai terpengaruhi dari relasi antara individu dan lingkungan. Menurut Mead, realitas, adalah bagian dari situasi. Situasi ini secara fundamental terkarakter oleh relasi antara

(7)

11

individu organik dengan lingkungan atau dunianya, menjadi satu (Mead, 1938: 215). Hal ini berarti prilaku menjadikan hubungan antara individu dan dunianya terdefinsi dan terbangun. Berdasarkan pemikiran seperti itu, Mead menjelaskan bahwa prilaku berkembang dalam empat tahap (Mead, 1938: 3-25):

(1) Tahap impulse, di mana individu organik merespon kepada situasi problematik dalam pengalamannya (semisal, gangguan dari musuh terhadap eksistensi pribadinya);

(2) Tahapan perseption, dimana individu mendefiniskan dan menganalisis masalah (semisal, tujuan musuh untuk menyerang telah diketahui, dan mengendalikan tindakan lawan dipilih sebagai jalan keluar);

(3) Tahapan manipulation, dimana tindakan diambil dengan referensi persepsi - penilaian individu terhadap situasi persoalan (semisal, seseorang melarikan diri dari kejaran musuh); dan

(4) Tahapan consummation, dimana menemukan pemecahan dari kesulitan dan melanjutkan eksistensi organisme terbangun kembali (semisal, seseorang keluar dari musuhnya dan kembali kepada kondisi semula).

Sekalipun demikian, jika hanya mendasarkan diri pada tindakan analog perilaku alami sebagai model “perilaku biologis individu”, tidak akan tepat untuk menganalisis perilaku sosial (social act). Hal ini dikarenakan, organisme sosial bukanlah individu organis, tetapi “sebuah kumpulan sosial dari organisme individu” (Mead, 1934: 130). Individu manusia, adalah anggota dari organisme sosial, dan tindakannya harus dilihat dalam konteks prilaku sosial yang mencakup individu-individu yang lain. Masyarakat bukanlah sekumpulan

preexisting atomic individuals–dari diri independen yang belum pernah ada, tetapi sebagai

sebuah kesatuan proses dimana individu mendefinisikan dirinya melalui partisipasi dalam prilaku sosial.

Dengan memahami yang demikian, maka prilaku social, diartikan Mead, sebagai obyek sosial. Prilaku sosial adalah prilaku kolektif yang tercakup dalam partisipasi dua atau lebih individu; dan obyek sosial adalah obyek kolektif yang memiliki makna umum bagi setiap partisipan prilaku–komunikasi. Ada banyak bentuk prilaku sosial, dari yang paling sederhana, hingga yang kompleks. Derajatnya mulai dari interaksi yang relatif sederhana dari

(8)

12

dua individu (semisal, dalam menari, bercinta, permainan bola tangan), hingga prilaku yang kompleks dan melibatkan lebih dari dua individu (semisal, pertandingan, ritual agama, ekspedisi berburu), sehingga prilaku sosial yang sangat kompleks yang berbentuk organisasi atau institusi (semisal, penegakan hukum, pendidikan, pertukaran ekonomi). Kehidupan sosial masyarakat merupakan agregat dari prilaku sosial semacam itu (Cronk, 2005).

Hanya dengan prilaku sosial orang dalam masyarakat membentuk realitas. Obyek dalam dunia sosial (obyek umum seperti pakaian, furnitur) adalah apa adanya mereka sebagai hasil yang telah didefinisikan dan dihasilkan dalam matrik prilaku sosial. Komunikasi melalui simbol signifikan telah membalut organisasi kecerdasan dari prilaku sosial dimungkinkan. Komunikasi signifikan, meliputi makna konferhensif, seperti mengambil arah bagi orang lain melalui gesture diri. Komunikasi signifikan di antara individu membentuk dunia makna (simbolik) dimana prilaku sosial terealisir. Prilaku sosial orang, dengan kata lain, berakar dalam prilaku komunikasi signifikan, dalam kenyataanya, diatur oleh percakapan simbol signifikan, seperti yang dikatakan Mead:

“The significant symbol functions here to indicate "some object or other within the field of social behavior, an object of common interest to all the individuals involved in the given social act thus directed toward or upon that object" (Mind, Self and Society. Mead, 1934: 46).

Simbol signifikan dalam hal ini, yang dimaksud adalah penggunaan bendera Merah Putih dalam upacara perkawinan itu. Pertanyaannya adalah apa yang hendak dikomunikasikan lewat simbol dan makna bendera itu bagi masyarakat Papua secara khusus dan secara umum masyarakat Indonesia? Itu lah yang hendak dikaji dalam penelitian ini.

2.3. Makna Perkawinan

2.3.1. Mendefinisikan Perkawinan

Istilah perkawinan yang dikenal dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Ikatan lahir merupakan ikatan yang nampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan formal ini adalah nyata baik yang mengikat dirinya, yakni suami dan istri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak

(9)

13

secara langsung, dan merupakan ikatan psikologis, seperti: saling mencintai satu dengan yang lain, saling mengasihi, saling menyayangi, sehingga perkawinan dilakukan tidak atas dasar paksaan tetapi atas dasar cinta. Kedua ikatan tersebut, baik ikatan lahir dan batin seharusnya ada dalam perkawinan. Bila salah satunya tidak ada maka akan menimbulkan persoalan dalam kehidupan pasangan tersebut (Walgito, 2002:11-12).

Dengan demikian, perkawinan berarti pula “menyatukan” dua pribadi menjadi satu kesatuan yang diikat oleh komitmen pernikahan untuk hidup bersama sepanjang masa. Makna pernikahan adalah terciptanya kesatuan fisik, jiwa dan sosial yang diikat dalam komitmen seumur hidup melibatkan totalitas dan bersifat eksklusif. Terdapat tiga makna pernikahan terkait dengan kata “menyatukan” yakni: pertama, kesatuan fisik. Pernikahan merupakan landasan yang sah bagi terselenggaranya kesatuan fisik antara suami dan istri; kedua, kesatuan jiwa. Pernikahan menyatukan seluruh keberadaan seseorang mencakup tubuh, jiwa, dan roh yang diekspresikan dalam bentuk pikiran, perasaan, emosi, keinginan, kemauan, semangat, gagasan dan juga kehendak; dan ketiga, kesatuan sosial. Kesatuan sosial bermakna bahwa penyatuan dua individu ke dalam satu kesatuan yang diikat dalam pernikahan akan menciptakan masyarakat baru (Surbakti, 2008:59-61).

Selain itu, dalam pandangan David H. Olson dan John Defrain tentang perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan adalah “marriage as the emotional and legal comitment of two

people to share emotionall and physical intimacy, various tasks, and economic resources”.

Dengan demikian, pernikahan merupakan sebuah komitmen yang sah antara dua (orang) dalam berbagi keintiman secara fisik dan emosional, pelbagai tugas serta berbagi dalam sumber penghasilan ekonomi (Olson dan Defrain 2006:3). Dalam konteks seperti ini, maka pernikahan atau perkawinan tidak saja dimaknai sebagai ikatan lahir batin atas dasar cinta dan kasih sayang, namun juga mencakup pemenuhan kebutuhan ekonomi baik suami, istri maupun anak-anak, juga membangun relasi sosial antar mereka.

Perkawinan merupakan ikatan yang sah antar pasangan dan juga sah dimata negara. Argumentasi ini dalam konteks Indonesia dimaknai bahwa perkawinan perlu dicatatkan dalam Catatan Sipil yang mengkonfirmasikan bahwa perkawinan kedua insan sah secara negara. Dalam kaitan dengan penelitian ini, bendera Merah Putih yang digunakan sebagai simbol dalam perkawinan itu, tidak secara langsung mengkonfirmasikan bahwa perkawinan yang

(10)

14

dilakukan di masyarakat Biak, khusunya masyarakat desa Ambroben telah sah secara negara. Sebab proses pencatatan sipil akan tetap dilakukan, sehingga pertanyaan tentang apa makna bendera Merah Putih dalam upacara itu, menjadi relevan untuk diteliti.

2.3.2. Tujuan Perkawinan

Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, disebutkan dengan jelas bahwa tujuan dari perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya tujuan perkawinan selain untuk membina keluarga dengan harapan hadirnya “makhluk baru” yakni anak-anak yang akan memeriahkan kehidupan keluarga itu, juga secara tersirat perkawinan bertujuan sebagai pernyataan kemulian Tuhan di bumi. Dengan demikian, maka esensi perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, dan bersifat kekal. Hal ini berarti perkawinan berlangsung seumur hidup dan untuk selama-lamanya. Satu hal yang mendapat penekanan bahwa tujuan itu adalah milik bersama, dan akan dicapai secara bersama-sama oleh suami istri.

Berdasarkan tujuan seperti itu, maka secara rinci dapat diformulasikan bahwa tujuan perkawinan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan: fisiologis, psikologis, sosial, ekonomi, dan religi (Walgito, 2002:15-22). Khusus untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi ditambahkan oleh peneliti, mengingat Walgito tidak membicarakan pemenuhan kebutuhan ini sebagai tujuan perkawinan. Penambahan ini didasarkan peneliti pada argumentasi David H. Olson dan John Defrain (2006) tentang karakteristik perkawinan dan defenisi perkawinan yang mereka kemukakan.

Dalam konteks penelitian ini, terutama berkaitan dengan penggunaan bendera Merah Putih dalam upacara perkawinan khusunya upacara penyerahan maskawin, maka dapat diduga bahwa salah satu tujuan perkawinan masyarakat Biak adalah meningkatkan rasa nasionalisme (Indonesia) dengan memperkuat integrasi pada NKRI. Dugaan ini masih bersifat sementara karena itu perlu dibuktikan, apakah benar penggunaan bendesa Merah Putih itu sebagai bentuk pengakuan atas kedaulatan NKRI atau merupakan bentuk kritik masyarakat Papau khusunya masyarakat Biak?.

(11)

15 2.4. Kerangka Pikir Penelitian

Upacara perkawinan merupakan acara mempersatukan seorang perempuan dengan sorang laki laki yang saling mencintai guna membina rumah tangga, dan ritual ini merupakan sebuah rirual adat yang jika ditelisik lebih jauh tidak memiliki keterkaitan dengan simbol-simbol negara atau dengan kata lain, upacara perkawinan bukan merupakan bagian dari upacara kenegaraan yang menuntut “hadirnya” simbol negara. Perkawinan merupakan proses menyatunya dua individu yang diikat oleh komitmen untuk hidup bersama sepanjang masa. Perkawinan bukan sebuah sumpah untuk menduduki jabatan tertentu dalam negara Indonesia, sehingga mengharuskan adanya simbol negara seperti bendera Merah Putih. Namun hal itu terjadi di Biak, Papua dan secara khusus menjadi fokus penelitian ini adalah desa Ambroben, Biak Kota.

Dengan demikian, maka kerangka pikir penelirian ini adalah:

Bagan 1.

Kerangka Pikir Penelitian

Bahwa proses integrasi Papua Barat ke Indonesia adalah sebuah realitas yang sampai saat ini masih diperdebatkan kejujuran dan keadilannya. Walaupun demikian, Bendera Merah Putih telah berkibar dengan gagahnya di bumi Cendrawasih menggantikan Bendera Bintang Kejora adalah juga realitas yang belum mampu terbantahkan. Praktek budaya, dalam hal ini perkawinan, merupakan perjanjian dua orang individu untuk hidup bersama membina keluarga, praktek ini tidak ada kaitannya dengan janji menduduki jabatan tertentu dalam

Identitas Orang Papua Bendera Merah Pitih sebagai Simbol Upacara Perkawinan (Ararem-Maskawin) Integrasi ke Indonesia Interaksi Simbolik

(12)

16

negara yang menuntut hadirnya identitas nasional (bendera Merah Putih). Namun di Papua, upacara perkawinan penyerahan maskawin (ararem), menuntut adanya Bendera Merah Putih sebagai salah satu simbol pengikat perkawinan. Maka pertanyaanya adalah apakah ekspresi identitas nasional itu merepresentasi kesadaran berIndonesia atau bentuk kritik terhadap ketidakadilan dan ketidak-jujuran dalam PEPERA 1969? Atau bahkan merupakan ekspresi ketakutan dan pertahanan diri dari mereka yang trauma pada tindakan militer? Akan dijawab dalam bab selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Metode MPS adalah metode dengan format berupa tabel yang menunjukkan berbagai informasi dalam proses produksi seperti peramalan, tingkat permintaan konsumen,

Ketika ditelusuri mengapa para pengukir ini memiliki pemahaman yang kurang tentang makna simbolik motif-hias ukir Toraja, diperoleh jawaban dari beberapa orang diantaranya

penelitian Kumalaningsih dan Wijaya (1988) menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan bunga kenanga untuk disuling maka rendemen dan mutu minyak menurun dimana

Adanya keinginan kuat dari para akuntan untuk menjadikan Akuntansi sebagai ilmu sosial dan teknologi yang kian berperan strategis dan vital dalam kehidupan sosial,

Mengingat saat jadwal survey masih dalam keadaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) karena saat itu dalam keadaan pandemi Corona, sehingga membuat pemerintah

Analisis kesintasan kesembuhan setelah perawatan kelompok suplementasi lebih cepat dibanding pada kelompok kontrol, mungkin karena madu memiliki aktivitas antimikroba

Akuntansi lingkungan bertujuan mengukur biaya dan manfaat sosial sebagai akibat dari aktivitas perusahaan dan pelaporan prestasi perusahaan Akuntansi lingkungan