v Universitas Kristen Maranatha
Abstrak
Penelitian ini untuk melihat attachment style anak tunarungu di SLB “X” Kota Bandung, dengan menggunakan dasar teori dari Ainsworth (1978). Peneltian ini menggunakan metode survei dan melibatkan 30 responden yaitu ibu yang mempunyai anak tunarungu.
Responden dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang dibuat oleh Vaughn & Waters (1991), mengenai Attachment Style Questionnaire (ASQ) alat ukur tersebut kemudian dimodifikasi oleh peneliti. Nilai validitas item-item pada alat ukur attachment style berada pada rentang 0.302-0.757 dan nilai reliabilitas 0,829.
Ditemukan bahwa persentase terbesar anak memiliki secure attachment yang tergolong tinggi dan berkaitan dengan faktor menjaga anak agar berada dekat ibu, dimana anak lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan ibu, kemudian faktor waspada akan keberadaan anak dan faktor berusaha menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak.
vi Universitas Kristen Maranatha
Abstract
This research aim to understand attachment style on children with hearing
disabilities in SLB “X” Bandung based on theory of attachment from Ainsworth
(1978). This research was completed using survey method involving 30 mothers of children with hearing disabilities as respondents.
Respondents were chosen using purposive sampling technique. This research used Attachment Style Questionnaire (ASQ) by Vaughn & Waters (1991) and was later modified by researcher. The validity of items ranged from 0.302 to 0.757, and the reliability was valued at 0.829.
It was discovered that the largest percentage of respondents have a high level of secure attachment. This condition is related to keeping children in close proximity with the mothers,whereas the children get to spend more time with their mothers,
also related to mothers’ awareness of children’s whereabout and mothers’ effort to
create a delightful atmosphere for the children.
ix Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii
PENYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 8
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Maksud Penelitian ... 8
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Kegunaan Penelitian ... 8
1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 8
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 8
1.5 Kerangka Pikir ... 9
x
Universitas Kristen Maranatha
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Attachment Style ... 17
2.1.1 Definisi Attachment ... 17
2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Attachement ... 18
2.1.3 Jenis Attachment ... 19
2.1.4 Tahap-tahap Perkembangan Attachment ... 25
2.1.5 Kriteria Untuk Menggambarkan Pola-pola Attachment ... 26
2.2 Tunarungu ... 27
2.2.1 Definisi Tunarungu ... 27
2.2.2 Kategori ketulian ... 28
2.2.3 Klasifikasi Tunarungu Secara Etiologis ... 30
2.2.4 Identifikasi Tunarungu ... 31
2.2.5 Etiologi Tunarungu ... 32
2.2.6 Dampak Tunarungu ... 33
xi
Universitas Kristen Maranatha
3.2.3 Definisi Operasional ... 43
3.3 Alat Ukur ... 43
3.3.1 Kuesioner Attachment Style ... 43
3.3.2 Validitas Alat Ukur ... 45
3.3.3 Reabilitas Alat Ukur ... 46
3.3.4 Data Penunjang ... 46
3.4 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 47
3.4.1 Populasi Sasaran ... 47
3.4.2 Karakteristik Sampel ... 47
3.4.3 Teknik Penarikan Sampel ... 47
3.4.4 Ukuran Sampel ... 47
3.5 Teknik Analisa Data ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian ... 49
4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Ibu ... 49
4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu ... 50
4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak ... 50
4.1.4 Gambaran Responden berdasarkan Waktu Tunarungu ... 51
4.1.5 Gambaran Responden berdasarkan Pendidikan Anak ... 51
4.2 Hasil Penelitian ... 52
4.2.1 Gambaran Derajat Attachment ... 52
4.2.2 Tabulasi Silang Derajat Attachment dengan Faktor-faktor Attachment ... 52
xii
Universitas Kristen Maranatha
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ... 61
5.2 Saran ... 62
5.2.1 Saran Teoritis ... 62
5.2.2 Saran Praktis ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 64
DAFTAR RUJUKAN ... 65
xiii Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Attachment Q-Set ... 43
Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Ibu ... 49
Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu ... 50
Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak ... 50
Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Waktu Tunarungu ... 51
Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Anak ... 51
Tabel 4.6 Gambaran Derajat Attachment ... 52
Tabel 4.7 Tabulasi Silang Attachment dengan Faktor Menjaga Anak Berada Dekat Ibu (Ada Anak Lain yang Menderita Dissabilitas) ... 52
Tabel 4.8 Tabulasi Silang Attachment dengan Faktor Menjaga Anak Berada Dekat Ibu (Pengasuhan) ... 53
Tabel 4.9 Tabulasi Silang Attachment dengan Faktor Menjaga Anak Berada Dekat Ibu (Lebih Sering Menghabiskan Waktu Bersama) ... 54
Tabel 4.10 Tabulasi Silang Attachment dengan Faktor Waspada akan Keberadaan Anak ... 54
Tabel 4.11 Tabulasi Silang Attachment dengan Faktor Berusaha untuk Menciptakan Suasana yang Menyenangkan Bagi Anak ... 55
xiv Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR GAMBAR
xv Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I ALAT UKUR
Lampiran 1.1 Informed Consent ... L-1
Lampiran 1.2 Kata Pengantar ... L-2 Lampiran 1.3 Kuesioner Data Sosiodemografis ... L-3
Lampiran 1.4 Kuesioner Data Penunjang ... L-4 Lampiran 1.5 Kuesioner Attachment ... L-6 LAMPIRAN II VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Lampiran 2.1 Tabel Validitas ... L-10 Lampiran 2.2 Tabel Reliabilitas ... L-11
LAMPIRAN III DATA HASIL KUESIONER
Lampiran 3.1 Data Sosiodemografis ... L-12 Lampiran 3.2 Data Kuesioner Penunjang ... L-13
Lampiran 3.3 Data Kuesioner Attachment ... L-14 LAMPIRAN IV HASIL PENGOLAHAN DATA
Lampiran 4.1 Pengolahan Data Sosiodemografis ... L-15 Lampiran 4.2 Gambaran Derajat Attachment ... L-16
1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Beberapa pasangan suami istri menginginkan keturunan sebagai bagian dari keluarga mereka. Pasangan suami istri pasti berharap untuk mendapatkan anak yang
sehat secara fisik dan mentalnya, akan tetapi hal itu belum tentu terpenuhi. Adakalanya orangtua mendapatkan anak yang mengalami gangguan fisik ataupun mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk
menerimanya. Pada banyak kasus, orangtua cenderung menolak atau sebaliknya yaitu sangat melindungi anaknya yang tidak berkembang secara normal, dalam hal
ini adalah anak-anak yang memiliki kekurangan fisik ataupun mental.
Salah satu gangguan fisik yang mungkin diderita adalah tunarungu. Dwidjosumarto (Somantri, 1996:74) mengemukakan bahwa seseorang yang tidak
atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Masalah utama dari anak tunarungu adalah adanya hambatan berkomunikasi secara bebas dan aktif karena
pada anak tunarungu tidak terjadi peniruan bahasa. Hambatan tersebut menyebabkan anak tunarungu kesulitan dalam pengembangan aspek sosial, emosional, maupun
intelektual. Data Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial tahun 2011 menunjukkan bahwa 602.784 jiwa penduduk Indonesia mengalami kehilangan pendengaran di kedua telinganya dari tingkatan sedang hingga berat (rehsos.kemsos.go.id),
sedangkan Penyelenggara Pendidikan Luar Biasa Tahun 2004/2005 Provinsi Jawa Barat mencatat terdapat 365 anak tunarungu yang tersebar di seluruh SLB-B Jawa
2
Universitas Kristen Maranatha
wajar namun ibunya sedikit takut dengan pendengarannya karena setiap mereka
memanggil namanya tak pernah sekalipun ia menoleh. Akhirnya orangtua tersebut membawa anaknya untuk diperiksakan, setelah selesai pemeriksaan dan mendapat hasilnya ternyata putri ibu tersebut mengalami gangguan pendengaran yang berat
(tunarungu berat). Ia merasa terpukul dan tidak mampu menghadapi kenyataan. Saat ini orangtuanya tinggal di Jakarta dan putrinya tinggal di Bandung bersama dengan
guru terapi wicaranya.
Orangtua seringkali merasa khawatir apabila pada tahun pertama kehidupan, anak mereka tidak memberikan respons apabila mendengar bunyi-bunyian. Pada
dasarnya mulai usia lima belas bulan seorang anak dapat berespons terhadap suara dengan cara mengarahkan kepalanya pada asal suara. Jadi kemampuan inilah yang
dapat digunakan untuk mendeteksi bisa atau tidaknya seseorang mendengar (Susan dan Rizzo, 1979 : dalam Mangunsong, 1998). Orang-orang yang tuli atau sulit pendengaran lebih besar kemungkinannya untuk tidak disukai dibandingkan dengan
orang yang pincang atau tunanetra. Mungkin ini disebabkan orang-orang tunarungu kelihatannya sama seperti orang lain. Oleh karena itu, tingkah laku mereka dalam
suatu situasi sosial lebih menjengkelkan karena sukar sekali baik kelompok atau orang yang cacat itu sendiri menerima situasi tersebut. Orang-orang dengan
pendengaran normal sering menganggap lebih rendah orang yang tunarungu karena mereka yang tuli dan yang susah pendengaran banyak bertanya tetapi sulit menangkap apa yang dikatakan.
Sama seperti semua anak, pengaruh orangtua merupakan faktor yang penting dalam menentukan sikap-sikap anak tunarungu terhadap cacat-cacatnya dan terhadap
3
Universitas Kristen Maranatha
bahwa orangtua menolong anak tunarungu dengan berbagai cara supaya anak
menerima cacatnya itu dan menyesuaikan diri dengannya.
Tunarungu bukanlah cacat emosi. Faktor yang penting dalam perkembangan kepribadian adalah apa yang dipikirkan oleh orang yang cacat itu sendiri mengenai
situasinya, dan apa yang dipikirkan dan dirasakan mengenai cacat tersebut sebagian besar merupakan cerminan dari apa yang dipikirkan orang-orang lain. Oleh karena
sikap orang-orang yang normal pendengarannya terhadap orang tunarungu agak negatif, tidak mengherankan jika emosi orang yang tunarungu agak tidak stabil dibandingkan dengan orang yang tunarungu.
Perkembangan sosial dan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk berkomunikasi, demikian pula pada tunarungu. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan apabila banyak tunarungu yang mengalami kesepian, karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain (Charlson dkk, 1992 ; Leob dan Sarigani, 1986 ; Hallahan dan Kauffman, 1994 dalam Mangunsong, 1998).
Masalah emosional pada awalnya dikarenakan oleh kurangnya kemampuan untuk memahami aspek-aspek emosional yang dikomunikasikan oleh orang lain, dimana
ini merupakan hal penting dalam ikatan hubungan ibu dan anak (Altshuler, 1974 ; Suran dan Rizzo, 1979 dalam Mangunsong, 1998). Apabila bahasa reseptif maupun
ekspresif anak tidak berkembang, anak akan sangat tergantung kepada orang lain. Oleh karena respons orang tua dan penerimaan orangtua pada anak berdampak positif, maka apabila anak berada dalam lingkungan terbatas misalnya pada
lingkungan dimana ia dapat berkomunikasi, ia menunjukkan konsep diri yang positif. Temper tantrum dan frustrasi yang bersifat fisik seringkali ditunjukan karena mereka
4
Universitas Kristen Maranatha
bertambah jelas apabila ia memasuki dunia yang lebih luas di luar lingkungan
keluarga.
Tidak hanya anak normal yang memerlukan kedekatan dengan orangtua mereka tetapi anak tunarungu pun memerlukan kedekatan dengan orangtua mereka.
Kedekatan yang diperlukan oleh anak tunarungu tidak hanya kedekatan secara fisik melainkan juga kedekatan secara emosional. Keterikatan emosional antara anak
dengan figur pengasuhnya (biasanya ibu) disebut dengan Attachment oleh Ainsworth (dalam Traver, 1985). Keterikatan antara ibu dan anak berfungsi untuk memberikan rasa aman yang diperlukan bagi anak untuk bereksplorasi dengan lingkungannya,
dan keterikatan itu membentuk dasar hubungan antar pribadi di kemudian hari. Menurut Bowlby dan Ainsworth (1978), usia lima tahun pertama sangat penting bagi
pembentukan kepribadian anak, sehingga peran ibu sebagai lingkungan terdekat anak juga sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak. Adapun manfaat Attachment adalah untuk membangkitkan rasa percaya diri, membina hubungan yang
hangat, mengasihi sesama dan peduli dengan orang lain, menerapkan disiplin, dan untuk pertumbuhan intelektual dan psikologis.
Perbedaan kualitas hubungan pada setiap individu dikategorikan menjadi dua jenis yaitu secure attachment dan insecure attachment (Ainsworth, 1972; Ainsworth
dkk, 1978; Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1999). Istilah secure atau insecure ini menjelaskan mengenai persepsi anak terhadap ketersediaan pengasuhnya ketika munculnya keperluan akan suatu kenyamanan dan keamanan, dan istilah-istilah
tersebut merupakan suatu kumpulan respons anak terhadap pengasuhnya yang mendasari persepsi-persepsi akan ketersediaan pengasuh. Secure attachment
5
Universitas Kristen Maranatha
pengasuh. Secure Attachment yang menunjukkan kategori yang paling umum, sekitar 60%-65% dari anak menggunakan ibunya sebagai “Secure Base”. Anak merasa
aman saat ibu bersamanya. Anak yang memiliki insecure attachment tidak mengalami ketersediaan dan kenyamanan dari pengasuh yang konsisten ketika
merasakan adanya ancaman. Keinginan akan perhatian tidak diatasi dengan perhatian yang konsisten (Ainsworth dkk 1978, Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1990).
Insecure Attachment meliputi sekitar 40%-35% anak yaitu anak bersikap
dimana baik saat ibunya ada bersamanya maupun saat meninggalkannya, anak akan bereaksi seakan-akan tidak peduli dan lebih terfokus pada yang menarik
perhatiannya, dan menunjukan distress yang ekstrim saat ditinggal oleh ibunya dan gagal untuk menunjukkan kepercayaan diri dalam mengeksplorasi lingkungan saat
ibu bersamanya.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap sembilan orang ibu dan seorang pengasuh anak tunarungu di SLB-“X” Bandung diperoleh data sebagai
berikut, sebanyak tiga orang ibu menyatakan bahwa mereka sering menghabiskan waktu berdua dengan anak mereka, misalnya untuk bermain dan belajar. Mereka
juga mengetahui dan selalu berusaha memenuhi kebutuhan emosional anak mereka yang tunarungu dengan cara memberikan kasih sayang dan perhatian, serta
mengetahui setiap perkembangan dan kemajuan berkomunikasi anak mereka. Selain itu, anak mereka sering menangis secara terus menerus apabila ditinggalkan oleh ibu, bersikap ramah terhadap orang lain dan dapat juga merasa nyaman dengan orang lain
meskipun sebelumnya membuatnya malu dan takut. Meskipun anak sedang tidak sedih, sebagian besar anak cukup responsif pada kembalinya ibu, anak akan
6
Universitas Kristen Maranatha
Sebanyak empat orang ibu jarang sekali menyatakan rasa sayang mereka
kepada anaknya, baik dalam bentuk verbal atau fisik sehingga anak menjauhi ibunya serta anak mudah merasa kesal saat ibunya meminta anaknya untuk mengganti aktivitas atau beralih dan anak cenderung bermain jauh dari ibu atau bermain sendiri
dengan mainannya. Hal tersebut dikarenakan ibu kurang mengetahui setiap perkembangan anaknya, ibu lebih menyerahkan pengasuhan anak mereka kepada
baby sitter ataupun anggota keluarga lainnya. Dalam masa perpisahan anak
cenderung tidak menjadi sedih meskipun kesedihan akan muncul ketika sedang sendiri. Anak ketika berhadapan dengan orang asing lebih responsif dibandingkan
dengan ibunya. Seorang pengasuh menyatakan bahwa anak tunarungu yang diasuhnya tidak memiliki kedekatan dengan ibunya. Ketika anak bertemu dengan
ibunya, anak menunjukkan tanda-tanda sikap acuh, tidak melihat ibunya, atau melewati ibu tanpa mendekati ibunya. Anak seperti ini mengarah pada Insecure Attachment.
Seorang ibu menyatakan bahwa terkadang ia sangat peduli dengan anaknya, tetapi di lain waktu ia menolak kehadiran anaknya. Ibu menyatakan bahwa ia
berusaha memenuhi kebutuhan dan kasih sayang anaknya, seperti berusaha mengajak anaknya berlatih berkomunikasi, ataupun sekadar bermain dengan anaknya. Namun,
anak itu menunjukkan perilaku menolak atau tantrum ketika bertemu dengan ibunya tapi di lain waktu anak tersebut dekat dengan ibunya. Ketika bertemu kembali dengan ibunya anak cenderung menginginkan kedekatan atau kontak dengan ibu
tetapi tidak dapat tenang meskipun sudah mendapatkan kontak. Anak menunjukkan kepasifan, terus menangis tetapi gagal untuk mencari kontak secara aktif. Anak
7
Universitas Kristen Maranatha
Bowlby (1969) juga mengatakan bahwa hubungan orang tua dengan anak
adalah suatu hubungan yang timbal balik, anak menjadi dekat dengan orang tua, demikian sebaliknya. Orang tua dengan sengaja memulai pergerakan ke arah anak untuk membentuk ikatan afeksional yang intim. Walaupun sebelum anak lahir, Ibu
seringkali menunjukan kesiapan mereka untuk mendekatkan diri kepada calon anaknya. Ainsworth (1985) juga mengatakan bahwa Attachment adalah suatu
hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan kepada ibu atau pengasuhnya. Hubungan atau interaksi yang
dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.
Berdasarkan paparan di atas, masih ditemukan indikasi bahwa orangtua dalam hal ini ibu yang memunyai anak tunarungu memaknakan kedekatan emosional dengan anak mereka yang apabila tidak terpenuhi akan membuat anak merasa tidak
nyaman untuk dekat dengan ibu dan sulit untuk memercayai ibunya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti Attachment Style pada anak tunarungu di SLB-B “X”
Kota Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
8
Universitas Kristen Maranatha
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Untuk memeroleh gambaran mengenai Attachment anak tunarungu di SLB-B “X” Bandung berdasarkan persepsi ibunya.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik mengenai Attachment anak tunarungu dan faktor-faktor yang memengaruhinya di SLB-B “X” Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoretis
Sebagai tambahan informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi
Perkembangan dan Psikologi Klinis mengenai Attachment pada anak tunarungu. Memberikan informasi kepada peneliti lain yang membutuhkan bahan acuan
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Attachment anak tunarungu.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Memberikan pengetahuan tentang Attachment bagi orangtua khususnya ibu yang
memiliki anak tunarungu, agar ibu dapat memiliki kedekatan secara emosional untuk perkembangan anak tunarungu.
Sebagai masukan bagi para guru yang terlibat dalam pembinaan pendidikan pada
anak tunarungu, serta dapat memberikan tambahan informasi yang berkaitan dengan masalah di sekolah yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
9
Universitas Kristen Maranatha Memberi informasi bagi SLB-B yang berkepentingan dalam membantu orangtua,
terutama ibu dari anak tunarungu dalam mendukung usaha mereka untuk merawat anaknya.
1.5 Kerangka Pikir
Setiap anak yang lahir merupakan sebuah karunia besar dan tidak ternilai bagi
orangtuanya. Anak merupakan sumber kebahagiaan dan penerus dari suatu keluarga. Keberadaan anak yang diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh orang tua akan disambut dengan gembira, bahagia, dan sukacita. Orangtua pasti ingin
memiliki anak yang sehat baik secara fisik maupun mentalnya. Akan tetapi terkadang pada kenyataanya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan orangtua. Salah satu
gangguan yang sering ditakutkan oleh sebagian besar orangtua adalah gangguan pendengaran (tunarungu).
Menurut WHO (2005), tunarungu adalah mereka yang kehilangan
keseluruhan kemampuan untuk mendengar baik dari salah satu atau kedua telinganya. Menurut Suran dan Rizzo, 1979 (dalam Mangunsong, 1998), pada
dasarnya mulai usia lima bulan seorang bayi dapat berespons terhadap suara dengan cara mengarahkan kepalanya pada asal suara. Kemampuan inilah yang dapat
digunakan untuk mendeteksi bisa atau tidaknya seseorang mendengar. Sesuai dengan penelitian perkembangan yang dilakukan oleh Gessel, anak akan mulai menggunakan kata-kata pertamanya pada usia 12-18 bulan. Pada usia ini anak
tunarungu menampakkan ketidakmampuannya untuk membunyikan kata-kata pertama yang terarah.
10
Universitas Kristen Maranatha
sifatnya kronis, kegagalan berespon apabila diajak bicara, terlambat berbicara atau
melakukan artikulasi, mengalami keterbelakangan di sekolah. Masalah dari anak tunarungu adalah adanya hambatan berkomunikasi secara bebas dan aktif karena pada anak tunarungu tidak terjadi peniruan bahasa. Hambatan tersebut menyebabkan
anak tunarungu kesulitan dalam pengembangan segi sosial, emosional, maupun intelektualnya. Tidaklah mengherankan apabila banyak tunarungu yang mengalami
kesepian, karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu seorang anak tunarungu memerlukan kedekatan dengan orang tua mereka. Kedekatan ini tidak hanya secara fisik melainkan juga secara emosional. Apabila
respon dan penerimaan orangtua pada anak berdampak positif, maka jika anak berada dalam lingkungan terbatas, misalnya di lingkungan di mana anak dapat
berkomunikasi, anak menunjukan konsep diri yang positif. Tetapi apabila sebaliknya, temper tantrum dan frustrasi yang bersifat fisik seringkali ditunjukan anak tunarungu
karena mereka kurang mampu untuk mengemukakan ide atau gagasannya dalam
bentuk bahasa (Charlson dkk, 1992 ; Leob dan Sarigani,1986 ; Hallahan dan Kauffman, 1994 ; dalam Mangunsong, 1998).
Menurut Ainsworth (dalam Traver, 1985), gaya kedekatan emosional antara anak dengan figur pengasuhnya (biasanya ibu) disebut dengan Attachment.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hazan dan Shaver (1987) kedekatan antara orangtua dan anak yang telah terbentuk sejak kecil bersifat relatif stabil sepanjang hidupnya dan merupakan dasar yang berpengaruh terhadap kehidupan individu pada
masa dewasa bahkan sampai tua.
Seorang anak memerlukan kedekatan dengan ibu mereka. Menurut Bowbly
11
Universitas Kristen Maranatha
interpersonal yang pertama kali tercipta pada anak adalah ketika ibu menyusui
anaknya, dimana ibu memenuhi kebutuhan makanannya. Bowbly dan Ainsworth (1978) mengatakan usia lima tahun pertama sangat penting bagi pembentukan kepribadian anak, sehingga peran ibu sebagai lingkungan terdekat anak juga sangat
besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak. Kedekatan antara ibu dan anak diperlukan karena sebagian besar anak masih sangat tergantung pada ibu
mereka, yaitu dalam hal perhatian, pemenuhan kebutuhan dasar, perasaan aman dan nyaman. Hal-hal yang dilakukan oleh ibu tersebut, akan berpengaruh terhadap sikap anak pada orang lain. Berulangnya kegiatan ini juga akan menimbulkan keterikatan
antara anak dan ibu.
Tiga faktor yang akan memengaruhi Attachment Style, yang pertama adalah
menjaga anak agar berada di dekat ibu, dimana seorang ibu lebih sering dan senang berada di dekat anak seperti menemani maupun mengasuh anaknya dibandingkan dengan bekerja selain itu ibu juga akan memperhatikan anaknya meskipun ibu
sedang melakukan kegiatan lain, memberikan respons yang tepat sesuai dengan respon yang diberikan oleh anak serta memperhatikan keselamatan anaknya. Kedua
adalah waspada akan keberadaan anak. Dimana Ibu mengetahui ketika anak sedang menangis, mengalami distres, gelisah ataupun marah, selain itu ibu juga akan selalu
berada di sisi anaknya dan mengetahui apa yang harus dilakukan ketika anaknya sedang gelisah, serta peka terhadap gerak-gerik ataupun respons yang diberikan anak terhadap ibu atau lingkungan baik dalam hal yang disukai ataupun tidak disukai oleh
anak, mendukung dan mendidik anak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain dan lingkungan. Ketiga yaitu berusaha untuk menciptakan suasana yang
12
Universitas Kristen Maranatha
istirahat, dan juga mainan untuk anaknya, ibu juga akan menyediakan waktu untuk
berinteraksi misalnya bercakap-cakap atau bermain dengan anak. Selain itu memenuhi kebutuhan anak dengan ekspresi kasih sayang dari ibu seperti menggendong, mengelus, mencium dan memeluk anak, serta mampu berempati
dengan anak tidak merasa malu dengan kondisi anak dan selalu menghargai kemajuan yang dicapai anak. Dari tiga faktor tersebut akan menghasilkan dua
Attachment pada anak tunarungu berdasarkan pada respon atau persepsi yang
diberikan oleh ibu akan anaknya yang tunarungu yaitu Secure Attachment dan Inecure Attachment.
Perbedaan kualitas hubungan pada setiap individu yang dikategorikan menjadi dua jenis yaitu secure attachment dan insecure attachment (Ainsworth,
1972; Ainsworth dkk, 1978; Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1999). Istilah secure atau insecure ini menjelaskan mengenai persepsi anak terhadap ketersediaan pengasuhnya
ketika munculnya keperluan akan suatu kenyamanan dan keamanan, dan
istilah-istilah tersebut merupakan suatu kumpulan respon anak terhadap pengasuhnya yang mendasari persepsi-persepsi akan ketersediaan pengasuh. Secure attachment
didefinisikan oleh Ainswroth, Blehar, Waters dan Wall (1978 dalam Cassidy, 1999) sebagai suatu keadaan dimana tidak adanya masalah dalam perhatian dan
ketersediaan pengasuh. Anak yang memiliki insecure attachment tidak mengalami ketersediaan dan kenyamanan dari pengasuh yang konsisten ketika merasakan adanya ancaman. Keinginan akan perhatian tidak diatas dengan perhatian yang
konsisten (Ainsworth dkk 1978, Bowlby, 1973 dalam Cassidy, 1990).
Ainsworth (1972) mangungkapkan Attachment yang dimiliki para ibu pada
13
Universitas Kristen Maranatha
anak, dan penerimaan terhadap kehadiran anak. Hal-hal tersebut dapat
mempengaruhi keseluruhan hubungan ibu dan anak. Ainsworth dkk (1978) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa terdapat dua bentuk Attachment, yaitu Secure Attachment dan Insecure Attachment.
Secure Attachment, dalam hal ini anak menggunakan ibunya sebagai “Secure
Base”. Anak merasa aman saat ibu bersamanya. Saat berpisah anak menunjukan
kehilangan ibunya, terutama pada saat berpisah untuk kedua kalinya. Ketika kembali untuk menyambut ibunya dengan senyuman, ungakapan atau sikap yang positif dan kembali merasa nyaman bersama ibunya. Anak dengan Secure Attachment memiliki
ibu yang paling sensitif terhadap anaknya, cenderung memeluk dengan erat anak mereka, penuh cinta kasih dan sayang, serta tanggap terhadap setiap kebutuhan
anaknya, baik ketika anak sedang sedih, senang, maupun lelah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mereka berkembang menjadi seorang anak yang memiliki sikap sosial yang tinggi, antusias, kooperatif, memiliki rasa ingin tahu dan kompeten
(Ainsworth, 1978).
Insecure Attachment, dimana baik saat ibunya ada bersamanya atau saat
meninggalkannya, anak akan bereaksi seakan-akan tidak peduli dan lebih terfokus pada hal lain yang menarik perhatiannya. Saat terpisah dengan ibunya, respon anak
menunjukan respon yang minimal, sedikit nampak distress saat ditinggal sendiri. Saat bertemu kembali dengan ibunya, anak dengan aktif menolak ibunya, dan anak juga terlihat menjaga jarak dengan ibunya. Ibu dari anak ini merupakan individu
yang mudah marah, sulit untuk mengekspresikan perasaan mereka dan menolak kontak fisik dengan anaknya (Ainswort, 1978).
Insecure Attachment dengan ciri lain juga menunjukan distress yang ekstrim
14
Universitas Kristen Maranatha
mengeksplorasi lingkungan saat ibu bersamanya. Saat anak kembali bertemu dengan
ibunya, anak susah untuk dapat tenang, berpegang erat pada ibunya, melawan, dan menunjukan perilaku marah, menolak dan tantrum. Mereka menunjukan ambivalensi dengan mengkombinasikan kebutuhan akan kasih sayang dengan ekspresi
kemarahan. Anak dengan Insecure Attachment ini memiliki ibu yang juga bersikap inkonsisten terkadang penuh cinta namun terkadang sebaliknya, bersikap dingin dan
menolak kehadiran anak tersebut (Ainsworth, 1978).
Sikap acuh tak acuh hampir serupa dengan Insecure Attachment dengan ciri yang lain, yaitu orangtua tidak berusaha memahami kebutuhan dan kejiwaan
anaknya. Sikap semacam itu juga merupakan perwujudan sikap menolak kehadiran anak itu ditengah-tengah keluarganya. Orangtua merasa bahwa kehadiran anak
tersebut menjadi aib keluarga dan menambah beban hidup secara material serta moral. Sikap yang hampir serupa adalah harapan terlalu tinggi. Harapan yang terlalu tinggi adalah sikap yang timbul sebagai pernyataan bahwa anaknya yang tunarungu
harus berprestasi yang sama dengan anak lainnya tanpa mempertimbangkan keterbatasan kemampuan anak. Sikap ini merupakan usaha menutupi kelemahan dan
kekurangan yang ada pada anaknya. Orang tua lebih banyak memaksa anak agar menuruti kemauan orangtua, bahwa anaknya harus dapat melakukan dan memenuhi
15
Universitas Kristen Maranatha
Berdasarkan uraian diatas, maka untuk memperjelas dibuat skema kerangka
pikir sebagai berikut:
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir
Anak Tuna
Rungu di SLB-B
“X” Kota
Bandung
Attachment Style
Secure Attachment
Insecure Attachment Faktor:
Menjaga anak agar berada di dekat ibu Waspada akan
keberadaan anak Berusaha untuk
16
Universitas Kristen Maranatha
1.6 Asumsi Penelitian
Semua anak membutuhkan Attachment termasuk anak tunarungu.
Ibu memiliki ikatan emosional dengan anaknya yang tunarungu dari ikatan
emosional tersebut akan membentuk Attachment Style yang dibagi menjadi dua
yaitu, Secure Attachment dan Insecure Attachment.
Attachment yang dimiliki anak dipengaruhi oleh beberapa variabel, seperti harga
diri yang dimiliki ibu, kualitas perhatian yang diterima ibu selama menjadi anak, dan penerimaan terhadap kehadiran anak.
Anak yang cenderung Secure Attachment, akan menampilkan Attachment dengan
penuh cinta kasih dan sayang. Anak yang cenderung Insecure Attachment akan menampilkan Attachment seperti menolak kontak fisik dengan ibunya dan akan
61 Universitas Kristen Maranatha
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh suatu gambaran mengenai attachment pada anak tunarungu di SLB “X” Bandung dengan simpulan
sebagai berikut:
1. Ibu yang memiliki anak tunarungu di SLB “X” Bandung, diperoleh hasil bahwa
sebagian besar anak memiliki secure attachment dibandingkan dengan insecure
attachment.
2. Berdasarkan data, secure attachment juga berkaitan dengan faktor menjaga anak
agar berada dekat ibu asalkan anak diasuh langsung oleh ibunya dan lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan ibu.
3. Anak dengan insecure attachment, berkaitan dengan faktor menjaga anak agar
berada di dekat ibu namun diasuh oleh pengasuh lain dan anak lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan orang lain.
4. Faktor lain yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan secure attachment
adalah faktor menjaga anak agar berada dekat ibu, anak lebih sering
62
Universitas Kristen Maranatha
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
1. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan penelitian mengenai attachment pada
anak tunarungu di SLB lainnya di Bandung, hal ini bertujuan untuk memperkaya
penelitian mengenai attachment pada anak tunarungu khususnya dalam bidang psikologi perkembangan.
2. Bagi peneliti selanjutnya, yang juga ingin meneliti mengenai attachment, dapat
melakukan penelitian lebih mendalam mengenai faktor yang diduga berkaitan dengan attachment, yaitu waspada akan keberadaan anak dan berusaha
menciptakan suasana yang menyenangkan bagi anak.
5.2.2 Saran Praktis
1. Memberikan pengetahuan tentang attachment bagi orangtua khususnya ibu yang
memiliki anak tunarungu, agar ibu dapat memiliki kedekatan secara emosional
untuk perkembangan anak tunarungu.
2. Sebagai masukan bagi para guru yang terlibat dalam pembinaan pendidikan pada
anak tunarungu, serta memberikan tambahan informasi yang berkaitan dengan masalah di sekolah yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membimbing
dan mendidik anak tunarungu. Caranya dengan memberikan psikoedukasi, modeling pada anak, serta perlakuan yang hangat, konsisten dan responsif dari pengasuh.
3. Memberi informasi bagi lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan sosial khususnya SLB “X” yang berkepentingan dalam membantu orangtua, terutama ibu dari anak
63
Universitas Kristen Maranatha
4. Memberikan informasi kepada praktisi perkembangan mengenai attachment style
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI ATTACHMENT STYLE
ANAK TUNARUNGU DI SLB-
B “X” BANDUNG
(Pengukuran Attachment Style Anak Tunarungu Melalui Persepsi
Ibu)
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha Bandung
Oleh:
MEGI SUKMAGINI
NRP: 1130238
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian yang diajukan unutk menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Selama penyusunan tugas ini, peneliti cukup banyak mengalami kesulitan. Namun akhirnya peneliti dapat menyelesaikan laporan ini karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam menyelesaikan pengerjaan penelitian ini, yaitu: membimbing, memberi masukan, mengoreksi, serta memberikan perhatian dan pengertian selama pengerjaan penelitian ini.
4. Heliany Kiswantomo, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, memberikan masukan, mengoreksi, serta memberikan perhatian dan pengertian selama pengerjaan penelitian ini.
5. SLB “X” di kota Bandung, pengurus, serta para Ibu dan pengasuh yang bersedia
untuk meluangkan waktunya untuk terlibat didalam survey awal dan pengisian kuesioner.
6. Drs. Dadang Setiawan, M.Pd. dan Nunung Chodidjah selaku orang tua saya yang telah memberikan dukungan berupa doa, semangat, kasih sayang serta materil sehingga saya masih terus bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dan pengerjaan penelitian ini.
7. Terimakasih kepada Ruchi Karnawan yang telah memberikan dukungan berupa doa, semangat, serta kasih sayang sehingga saya masih terus bersemangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
viii
perkuliahan hingga detik ini, terimakasih atas semangat dari kalian sehingga saya bisa menyelesaikan penelitian ini.
9. Teman-teman saya yang telah membantu dan berkontribusi dalam pengerjaan peneltian ini, tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
10. Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan seluruhnya satu per satu.
Dalam menyusun penelitian ini, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, peneliti bersedia menerima masukan-masukan yang konstruktif dari pembaca mengenai hasil peneltian ini.
Akhir kata, peneliti mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh pembaca dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta pihak-pihak yang memerlukannya.
Bandung, November 2016
64 Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR PUSTAKA
Ainsworth, M.; Blehar, M.; Water, E.; and Wall, S. (1978). Paterns of Attachment. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Atkinson, Rita L., dkk. (1953). PengantarPsikologi. Edisi ke-11, jilid 1 & 2.Jakarta: Erlangga.
Bowlby, John. (1970). Attachment and Loss. London: Hongarth Press.
Calvert, Sarah Jenay. (2010). Attachment to god as a source of struggle and strength: exploring the association between christians’ relationship with god and their emotional wellbeing. Dissertation. New Zealand: Massey University.
Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological Testing, Design, Analysis and Use, Allyn and Bacon.
Hurlock, B.E. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nazir, Moh. (2005). MetodePenelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Papilia, D.E., Olds S.W. & Feldman, R.D. (2009). Human Development (10th ed). B.
Marswendy (Trans). Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock, John W. (2002). Life Span Development Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga. Somantri, Sutjihati. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika
65 Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR RUJUKAN
Fitri, Dina. (2011). Keterlibatan Penyandang Cacat dalam Segala Sektor.
www.rehsos.kemsos.go.id diakses pada tanggal 17 Desember 2014.
Chika, Annisa. (2015). Hubungan Antara Kelekatan Orangtua-Anak Terhadap Kecerdasan Moral Anak. Faculty of Humanity. Binus University. psychology.binus.ac.id diakses pada tanggal 2 November 2015.