• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SELF CRITICISM DENGAN DISTRES PADA SISWA SMA NEGERI 3 SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SELF CRITICISM DENGAN DISTRES PADA SISWA SMA NEGERI 3 SURAKARTA"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

SMA NEGERI 3 SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program

Pendidikan Strata 1 Psikologi

Oleh:

Evlijn Pasha Widjast

G0105023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah periode

peralihan dimana status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran

yang harus dilakukan. Status remaja yang tidak jelas selain merugikan juga

menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya

hidup yang berbeda dan menetukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling

sesuai bagi dirinya.

Masa remaja berlangsung antara umur 12- 21 tahun, dengan pembagian

12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja

pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Haditono, 2002). Remaja

berada pada fase yang mengalami banyak masalah, baik menyangkut hubungan

dengan dirinya maupun orang lain. Remaja memiliki dorongan yang kuat untuk

mengatasi dan mencapai apa yang individu inginkan tetapi individu sering tidak

realistis (Notosoedirjo, 1999).

Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya

atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang diterapkannya sendiri (Russian

dalam Hurlock 1993). Remaja suka membuat teori tentang segala sesuatu yang

dihadapi. Pikirannya sudah dapat melampaui waktu dan tempat, tidak hanya

terlihat pada hal yang sudah dialami, tetapi juga dapat berpikir mengenai sesuatu

(3)

commit to user

Ginsburg dan Opper (dalam Suparno, 2001) mengemukakan bahwa remaja

lebih mengutamakan posibilitas daripada realitas. Realitas menjadi nomor dua,

bukan yang utama. Segala kemungkinan yang dapat terjadi dipertimbangkan,

meskipun itu tidak berpengaruh dan tidak akan dibuat dalam praktik. Remaja

melihat segala kemungkinan dan mempertimbangkan segala macam interpretasi

yang dapat diambil. Remaja dapat berpikir efektif karena dapat melihat pemikiran

mana yang cocok untuk persoalan yang dihadapi. Ia dapat memikirkan bersama

banyak kemungkinan dalam suatu analisis. Remaja kadang egosentris dalam

pikirannya karena tekanan pada apa yang dapat dipikirkan, kadang remaja

beranggapan bahwa apa yang dipikirkan itu dianggap kenyataan padahal

sebenarnya tidak. Remaja terlalu menonjolkan pemikiran sendiri sehingga kadang

lupa akan kenyataan yang sesungguhnya.

Karakteristik khas remaja yang melatarbelakangi pola-pola perilaku seperti

dijelaskan di atas adalah idealis. Remaja memiliki standar idealisme yang individu

ciptakan sehingga mengarahkan pada tuntutan-tuntutan terhadap diri sendiri dan

lingkungan akan bagaimana seharusnya standar ideal. Piaget (dalam Santrock,

J.W, 2003) mengungkapkan bahwa remaja memasuki tahapan pemikiran

operasional formal dimana beberapa cirinya adalah pemikiran abstrak, idealistis

dan logis. Piaget mengatakan bahwa pemikiran operasional formal baru akan

tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja, sekitar usia 15-20 tahun. Remaja kerap

berpikir mengenai hal-hal yang mungkin terjadi. Pemikiran remaja adalah

pemikiran yang penuh dengan idealisme dan kemungkinan-kemungkinan.

(4)

commit to user

terbatas, sedangkan remaja mulai memikirkan secara luas mengenai karakteristik

ideal, kualitas yang ingin dimilikinya sendiri atau yang diinginkan ada pada orang

lain, berkaitan dengan patokan ideal tersebut. Sepanjang masa remaja, pemikiran

seseorang seringkali melayang, berfantasi ke arah kemungkinan-kemungkinan di

masa depan. Remaja mungkin saja menjadi tidak sabar dengan patokan ideal yang

dimilikinya dan bingung dengan patokan ideal manakah yang akan dipegangnya.

Individu memikirkan karakteristik ideal dari diri individu sendiri, orang lain, dan

dunia. Idealistik remaja berhubungan dengan standar hidup remaja yang tinggi

(VanderZanden, J, et.al, 2007). Pemikiran karakteristik ideal ini, terutama dari diri

individu sendiri, dikuatirkan membentuk sikap self-criticism.

Blatt dan Zuroff (dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005) menyatakan

bahwa self-criticism adalah mengenai kegagalan pencapaian standar personal

disertai dengan kebencian pada diri dan perasaan bersalah. Orang-orang dengan

sikap self-criticism yang tinggi cenderung menjadi orang yang berorientasi pada

pencapaian, kompetitif, dan keras terhadap diri sendiri. Self-criticism adalah

reaksi diri pada apa yang dirasa sebagai penampilan yang kurang sempurna,

karakter yang kurang sempurna dan perilaku yang kurang sempurna sehingga

menekan diri (Rosengren, 2007).

Self-criticism atau kritik pada diri sendiri dilakukan orang sebagai bagian

dari proses perbincangan dengan diri sendiri. Individu berbicara kepada diri

sendiri secara terus menerus. Otak selalu aktif dan sebagian besar yang

dilakukannya adalah memberitahu individu tentang dirinya sendiri. Perbincangan

(5)

commit to user

pribadi. Kata-kata dari dalam diri sendiri, seperti kata-kata yang keluar dari mulut

orang lain, juga dapat berefek dramatis kepada diri individu. Banyak orang

menyusahkan diri sendiri dengan berkata kasar dan tidak menyenangkan.

Perbincangan diri ini, untuk sebagian besar orang, berisi pemberitahuan terhadap

diri sendiri mengenai apa-apa saja yang salah dengan diri individu (Lazarus dan

Lazarus, 2005). Self-criticism muncul dari sikap evaluasi diri seseorang. Evaluasi

diri seringkali dilakukan seseorang dalam setiap kesempatan.

Constantines dan Michelle luke (dalam Chang, E, 2007) membedakan

antara dua motif evaluasi diri, yaitu Self-enhancement dan self-assessment. Motif

Self-enhancement menggerakkan pikiran dan tingkah laku dalam tugas

memelihara, melindungi atau meningkatkan kepositifan konsep diri.

Kebalikannya, motif self-assessment menggerakkan pikiran dan tingkah laku ke

arah pemeliharaan, perlindungan dan peningkatan keakuratan konsep diri. Kedua

motif ini mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa yang seringnya berlawanan

pada proses informasi yang berkenaan dengan diri. Dua motif ini diaktivasi dan

bersaing pada proses seleksi dari informasi.

Self-enhancement adalah kecenderungan untuk fokus dan menekankan

aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang (misalnya sifat, kemampuan dan

cita-cita), kehidupan seseorang (misalnya kemungkinan terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diinginkan, kapasitas untuk mengendalikan kejadian-kejadian

macam itu) atau informasi yang berkenaan dengan diri yang baru masuk (misal

umpan balik). Salah satu produk dari self-assessment adalah self-criticism. Orang

(6)

commit to user

kepositifan informasi atau pengetahuan diri. Individu melampaui informasi yang

diberikan dan ikut serta dalam pencarian autobiografis yang dalam dan obyektif,

juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai orang macam apa

individu sebenarnya dan berakhir dengan mengkritik diri individu sendiri.

Self-assessment dapat menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri

kepribadian, tingkah laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita

seseorang.

Kitayama, S dan Yukiko. U (2003) menyatakan bahwa penelitian

mengindikasikan bahwa orang-orang dari beberapa budaya negara Asia sering

mengevaluasi diri individu secara negatif. Gilbert,P dan Miles (dalam Mills, A et

al, 2007) menemukan bahwa ketika orang ditanyai mengenai bagaimana individu

merespon jika individu menerima kritikan, individu dapat menyalahkan diri

sendiri dan atau menyalahkan orang lain. Festinger (dalam Santor, A.D dan

Aimée.A.Y, 2006) mengemukakan bahwa menurut teori perbandingan sosial

(social comparison theory), individu memiliki dorongan dalam dirinya untuk

mengevaluasi diri, terutama jika performa individu bermasalah.

Evaluasi diri dapat berfungsi besar dalam kehidupan individu, berdasarkan

pendapat bahwa kecakapan yang berkembang untuk pembentukan peranan sosial

sering didapatkan dari evaluasi diri. Pemakaian evaluasi diri merupakan bentuk

hubungan diri dengan diri sendiri. Orang dapat menjadi kritis dengan diri sendiri

untuk mencoba mengkoreksi perilaku individu, atau karena individu memiliki

sesuatu yang tidak disukai atau dibenci dari diri sendiri. Respon alternatif untuk

(7)

commit to user

kelebihan seseorang dan koping yang aktif, walaupun sikap menyerang diri

sendiri teraktivasi ketika orang merasa bahwa individu telah gagal dalam

tugas-tugas penting, atau jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan.

Respon lain terhadap diri adalah orang dapat menjadi hangat dan menentramkan

diri sendiri. Orang yang mengkritik dan menyerang diri sendiri ketika sesuatu

tidak berjalan seperti apa yang diinginkannya, mungkin memiliki kemampuan

yang kurang baik untuk menenangkan diri individu sendiri atau berfokus pada

kelebihan-kelebihannya (Gilbert,P et al, 2004).

Kritik terhadap diri sendiri atau Self-criticism menyebabkan ketertekanan

dalam diri individu, khususnya remaja dengan karakteristik idealis yang

dimilikinya. Remaja menetapkan standar ideal untuk dirinya sendiri. Standar ideal

ini dimiliki oleh remaja dalam keberadaannya dalam lingkungan. Remaja

memiliki patokan kualitas ideal untuk dimilikinya sendiri. Patokan kualitas ideal

ini memungkinkan remaja untuk memiliki pemikiran yang penuh dengan

alternatif-alternatif perilaku yang memungkinkan individu meraih kualitas ideal

yang individu inginkan. Kualitas ideal yang dimiliki oleh remaja seringkali tidak

melihat batasan kemampuannya sendiri sehingga tentunya kualitas ini tidak selalu

dapat tercapai. Keadaan ini membuat remaja selalu berusaha untuk memperbaiki

performanya dengan melakukan evaluasi diri yang dapat mengarahkannya pada

sikap self-criticism. Menurut Gilbert,P & Procter, S (2006), beberapa orang yang

memiliki self-criticism sering melaporkan merasa enggan untuk melepaskan sikap

self-criticism individu karena ketakutan akan meleset dari standar individu dan

(8)

commit to user

perubahan identitas diri. Keadaan ini memungkinkan remaja bereaksi negatif

terhadap stres atau mengalami distres.

Kiecolt-Glaser (1994) mengungkapkan bahwa reaksi terhadap stres atau

distres berbeda-beda ditinjau pada suatu kontinum. Reaksi subyektif seseorang

terhadap stres mungkin lebih berpengaruh terhadap akibat-akibat psikologis (Yip,

T et al, 2008). Penelitian akan distres menemukan bahwa individu-individu yang

lebih tua akan kelihatan kurang reaktif terhadap stres karena individu telah

membangun strategi-strategi koping yang lebih baik seiring berjalannya waktu

(Almeida dan Horn dalam Yip, T et al, 2008). Orang-orang melakukan usaha

yang terbaik yang dapat individu lakukan untuk mengatur situasi-situasi,

memori-memori, dan emosi-emosi yang menyakitkan (Gilbert,P & Procter, S, 2006).

Santor (dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005) menyebutkan bahwa

orang dengan self-criticism memiliki kebutuhan akan kebanggaan dan status,

apabila strategi-strategi perilaku yang bertujuan untuk pengaturan status gagal

maka orang yang memiliki self-criticism menjadi tertekan. Gilbert,P dan Irons

(dalam Irons et al, 2006) mengemukakan bahwa hubungan seseorang dengan diri

sendiri beroperasi melalui sistem-sistem psikologis yang sama dengan yang

individu gunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Seseorang dapat menjadi

kritis dan bermusuhan dengan diri sendiri kemudian merasa tertekan dan

terkalahkan. Individu akan tertekan dan mengalami distres ketika menyerang diri

sendiri dengan kritikan.

Gilbert,P dan Procter.S (2006) mengemukakan bahwa orang yang

(9)

commit to user

menghadapi suatu kejadian yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Orang

yang memiliki suara internal yang melekat dengan baik, menerima serangan

kata-kata yang terus menerus berupa kritikan dan tidak ada yang luput dari penilaian

kritik internal. Kritik tersebut seringkali menyamar sebagai “kecaman yang

membangun”. Orang seringkali terlalu menfokuskan diri pada perbaikan akan

sesuatu sehingga pada akhirnya individu takut untuk mengambil langkah yang

dibutuhkan untuk perbaikan tersebut. Orang seringkali meyakinkan diri bahwa

memperhatikan tindakan dengan terus-menerus memeriksa

kekurangan-kekurangan diri, akan membuat diri bertambuh dan maju, tetapi ketika melihat

lebih dalam lagi, individu sering menemukan kebiasaan berbahaya yang hanya

bermanfaat untuk membatasi potensi individu daripada mengembangkannya. Hal

yang membuat fokus pada sesuatu yang membuat individu kecewa adalah

self-criticism yang bersifat destruktif yang seringkali menyamar sebagai kesadaran

diri. Kesadaran diri adalah tentang memeriksa kenyataan-kenyataan yang ada dan

mencari cara-cara untuk bertumbuh secara positif. Self-criticism dapat membuat

diri tertekan dengan putaran pikiran-pikiran negatif yang tidak ada akhirnya

(Rosengren, 2007).

Uraian di atas mengungkapkan adanya keterkaitan antara self-criticism

dengan distres. Individu yang memiliki self-criticism dapat menjadi sangat kritis

dan bermusuhan dengan dirinya sendiri sehingga mengalami distres. SMA Negeri

3 Surakarta merupakan salah satu sekolah favorit di kota Surakarta, dimana para

siswa di sana memiliki kompetensi tinggi untuk menjadi yang terbaik.

(10)

commit to user

sehingga mencapai prestasi yang terbaik yang diharapkannya. Evaluasi diri ini

dapat mengarahkan pada self-criticism sehingga dimungkinkan terjadinya distres

pada siswa. Bapak Drs. Sutarto, guru pembimbing mata pelajaran Bimbingan

Karir kelas XI-IPA 5, XI-IPA 6 dan XI-IPA 7 yang sebelumnya menjabat sebagai

koordinator Bimbingan Karir SMA Negeri 3 Surakarta, mengungkapkan bahwa

siswa-siswi SMA Negeri 3 Surakarta memang unggul dalam mengejar prestasi

dan berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap aktivitas belajar yang

individu lakukan. Siswa-siswi SMA terus-menerus berkompetisi untuk menjadi

yang terbaik diantara sesamanya dan menjadi unggul dibidangnya. Usaha

kompetisi untuk menjadi lebih unggul mengandung usaha evaluasi diri sehingga

dimungkinkan untuk mengarahkan pada sikap self-criticism yang dapat

mengakibatkan distres. Berdasarkan keterangan yang sama dari Bapak Suyono

kemudian juga didapatkan keterangan bahwa penelitian tentang distres belum ada

di SMA Negeri 3 Surakarta. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk meneliti

mengenai hubungan antara self-criticism dengan distres pada siswa SMA negeri 3

Surakarta.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian ini

adalah “apakah ada hubungan antara self-criticism dengan distres pada siswa

(11)

commit to user

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

self-criticism dengan distres pada siswa SMA negeri 3 Surakarta.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi berkaitan

dengan hubungan antara self-criticism dengan distres khususnya bidang pikologi

sosial serta psikologi klinis.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi subyek penelitian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai self-criticism dan distres sehingga mendorong timbulnya pola

pikir yang sehat yang dapat membuka pintu menuju perkembangan, perbaikan dan

pemahaman diri yang lebih baik.

2) Bagi para pendidik yang menangani permasalahan remaja, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi mengenai self-criticism dan distres

sehingga memberikan proses pembelajaran yang mengarahkan pada self-criticism

secara positif.

3) Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang self-criticism dan dampaknya bagi kesehatan mental anak sehingga dapat

(12)

commit to user

4) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi yang

berkaitan dengan hubungan antara self-criticism dan distres yang dapat

(13)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Distres

1. Pengertian Distres.

Istilah distres muncul dari pembahasan tentang stres, dimana stres yang

timbul dalam kehidupan individu dapat menimbulkan respon yang berbeda untuk

setiap individu. Distres merupakan respon stres negatif. Stres diartikan sebagai

segala sesuatu yang mengganggu seseorang untuk beradaptasi atau mengatasi

suatu masalah (LazarusdanLazarus, 2005). Stres adalah suatu kekuatan yang

memaksa seseorang untuk berubah, bertumbuh, berjuang, beradaptasi atau

mendapatkan keuntungan (Swarth, 2004). Stres adalah keadaan atau kondisi yang

tercipta bila transaksi orang yang mengalami stres dan hal yang dianggap

mendatangkan stres membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan,

entah nyata atau tidak nyata, antara keadaan atau kondisi dan sistem sumber daya

biologis, psikologis dan sosial yang ada padanya (Hardjana,1994).

Sarafino, E (1990) menyatakan dalam bentuk yang paling sederhana, ada

stres yang baik dan ada stres yang jahat. Stres yang jahat secara umum melibatkan

komponen emosi negatif yang kuat. Rice (1999) menyebut distres sebagai stres

yang jahat, sementara stres yang baik adalah eustres. Menurut Selye (dalam

Sarafino, E, 1990) stres yang berbahaya dan bersifat merusak disebut distres,

sedangkan stres yang menguntungkan atau berguna disebut eustres. Tidak semua

(14)

tuntutan beban atasnya dengan baik tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental

serta merasa senang, maka ia dikatakan mengalami eustres. Stres yang optimal,

berperan dan berdampak positif serta konstruktif bagi seseorang. Stres yang baik

disebut eustres. Sebaliknya stres yang merugikan dan merusak atau stres destruktif

disebut distres. Distres adalah dampak negatif stres yang tidak hanya mengenai

gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh tetapi juga berdampak pada

bidang kejiwaan, yang merupakan respon tubuh yang sifatnya non spesifik

terhadap setiap tuntutan beban atasnya (Hawari, D, 2001).

McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1999) menyebut distres sebagai

kekacauan atau ketidakmampuan dalam pemecahan-pemecahan masalah untuk

mengelola stres. Distres (dalam Kiecot-Glaser, J.K, 1994) disebut sebagai reaksi

terhadap stres yang diduga berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang

kuat dari stresor. Reaksi-reaksi terhadap stresor dapat bervariasi dalam sikap yang

kompleks diantara individu. Kejadian-kejadian kuat yang mengakibatkan stres

akan mempercepat reaksi distres jangka panjang.

Collins dan Frankenhaeuser (dalam Sarafino, E, 1990) mengatakan bahwa

pola dari dampak fisiologis dalam keadaan stres tergantung pada 2 faktor yaitu

effort dan distres. Effort melibatkan minat, usaha keras dan kebulatan tekad dari seseorang. Distres melibatkan kecemasan, ketidakpastian, kebosanan, dan

ketidakpuasan. Distres tanpa atau dengan effort lebih mungkin bersifat merusak

daripada effort tanpa distres.

Distres adalah manifestasi langsung dari usaha yang harus dikerahkan

(15)

ketika berhadapan dengan stres hidup yang membebani (Kates dalam Terluin B et

al, 2006). Distres didefinisikan sebagai pengalaman multifaktorial yang tidak

menyenangkan dari sifat emosi, psikologis, sosial atau spiritual yang mengganggu

kemampuan koping (Holand dalam Graves, K et al, 2007).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa distres

adalah reaksi negatif dan merusak dari stres akibat ketidakmampuan dalam

pemecahan masalah untuk mengelola stres, yang tidak hanya mengenai gangguan

fungsional hingga kelainan organ tubuh tetapi juga berdampak pada kejiwaan,

yang berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang kuat dari stresor.

2. Aspek dan Ciri-Ciri Distres.

a) Aspek Distres

Smith, Ellen dan Jeanne S (www.helguide.org) menulis bahwa

aspek-aspek dari distres terdiri dari aspek-aspek kognitif, aspek-aspek emosi, aspek-aspek fisik dan aspek-aspek

behavioural. Aspek kognitif adalah masalah-masalah ingatan, keragu-raguan,

ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, sulit berpikiran jernih, penilaian yang

buruk, melihat hanya hal-hal yang negatif, khawatir, kecemasan yang

berkelanjutan, kehilangan objektivitas, mengantipasi rasa takut . Aspek emosi

adalah kemurungan, agitasi, gelisah, lekas marah, ketidaksabaran,

ketidakmampuan untuk rileks, merasa tegang dan merasa di ujung tanduk, merasa

kewalahan, merasa kesepian dan isolasi, depresi atau ketidakbahagiaan. Aspek

fisik adalah sakit kepala atau sakit punggung, ketegangan atau kekakuan otot,

(16)

yang cepat, kehilangan berat badan atau berat badan naik, kulit berjerawat, sering

flu . Aspek behavioural adalah makan berlebihan atau kurang makan, tidur terlalu

banyak atau terlalu sedikit, mengisolasi diri dari orang lain, penundaan atau

mengabaikan tanggung jawab, menggunakan alkohol, rokok, atau obat-obatan

untuk bersantai, kebiasaan gugup (misalnya, menggigit kuku, mondar-mandir),

Teeth grinding atau mengepalkan rahang, aktivitas berlebihan (misalnya, berolahraga, belanja), reaksi berlebihan pada masalah tak terduga dan berkelahi

dengan orang lain.

Mayo Clinic (www.nlm.nih.gov/medlineplus/stress) mencatat bahwa

distres dapat dilihat pada tubuh, perasaan dan perilaku. Distres dapat dilihat pada

tubuh yaitu sakit kepala, sakit punggung, nyeri dada, penyakit jantung, jantung

berdebar-debar, tekanan darah tinggi, penurunan kekebalan, sakit perut dan

masalah tidur. Distres dapat dilihat pada perasaan yaitu anxietas, gelisah,

khawatir, mudah tersinggung, depresi, kesedihan, kemarahan, merasa tidak aman,

kurang fokus, kelelahan dan pelupa. Distres dapat dilihat pada perilaku yaitu

makan berlebihan atau kurang makan, ledakan kemarahan, penyalahgunaan obat

atau alcohol, peningkatan konsumsi rokok, penarikan diri dari dunia sosial,

menangis dan konflik dalam hubungan.

Hardjana (1994) mengungkapkan bahwa distres terdiri dari 4 aspek yaitu

fisik, emosi, intelektual dan interpersonal. Aspek fisik adalah mengenai sakit

kepala, tidur tidak teratur, sakit punggung, gatal-gatal pada kulit, urat tegang ter

utama bagian leher dan bahu, gangguan pencernaan, kelewat berkeringat, selera

(17)

gelisah, sedih, depresi, mood, berubah-ubah, gugup, mudah tersinggung dan

emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental. Aspek intelektual berupa

susah ber konsentrasi, sulit, membuat keputusan, mudah terlupa, pikiran kacau,

pikiran di penuhi oleh satu, pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, mutu

kerja rendah, dalam kerja dan membuat kekeliruan lebih banyak. Aspek

interpersonal berupa kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mengacuhkan

orang lain dan mengambil sikap terlalu membentengi diri.

b) Ciri-ciri Distres

Karakteristik dari distres menurut Kates (dalam Terluin B et al, 2006)

adalah kekhawatiran (worry), sifat lekas marah (irritability), ketegangan (tension),

lesu (listleness), konsentrasi yang kurang baik (poor concentration),

masalah-masalah tidur (sleeping problems) dan demoralisasi (demoralization).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa aspek-aspek

distres meliputi aspek fisik , aspek emosi, aspek intelektual dan aspek

interpersonal. Ciri-ciri distres meliputi kekhawatiran, sifat emosional, gangguan

pada konsentrasi dan masalah moral.

Penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek distres yang diungkapkan

oleh Hardjana (1994) yaitu aspek fisik, aspek emosi, aspek intelektual dan aspek

interpersonal.

3. Sumber Distres

Sumber-sumber distres menurut Smith, Ellen dan Jeanne S

(18)

sumber internal. Sumber-sumber distres eksternal yaitu perubahan hidup,

pekerjaan, hubungan kesulitan, masalah keuangan, kesibukan, anak-anak dan

keluarga. Sumber-sumber distres internal yaitu ketidakmampuan untuk menerima

ketidakpastian, pesimisme, pembicaraan intrapersonal yang negatif, harapan yang

tidak realistis, perfeksionisme, kurangnya ketegasan. Menurut Tatik.Wardhani

dalam intisari-online (www.intisari-online.com), daya tahan seseorang terhadap

stres merupakan salah satu sumber yang menentukan seseorang mengalami

distres. Johana dalam All About Stress (All-About-Stress.com) menyebutkan

bahwa pola piker dan emosi seseorang terhadap ancaman fisik atau psikologis

yang dihadapinya menjadi sumber terbentuknya distres.

Berdasarkan pendapat diatas, distres bersumber dari dua sumber yaitu sumber

eksternal yang berasal dari luar diri individu dan sumber internal yang berasal dari

diri individu sendiri.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distres

Graves, K et al (2007) menyatakan bahwa distres adalah multifaktorial.

Banyak segi dalam kehidupan seseorang berperan untuk membuat individu

mengalami distres, termasuk diantaranya:

a) Simptom-simptom psikis, keparahan penyakit yang mungkin dialami,

perawatan yang berkaitan dengannya

b) Tingkatan aktivitas fisik atau status penampilan

c) Dukungan sosial dan faktor-faktor psikologis seperti optimisme

(19)

e) Depresi yang dialami

Stres yang datang dapat menjadi eustres atau distres, dipengaruhi oleh

penilaian dan daya tahan seseorang terhadap hal, peristiwa, orang, dan keadaan

yang potensial atau netral kandungan daya stresnya (Hardjana, 1994). Sarafino, E

(1994) mengungkapkan bahwa penilaian seseorang tentang hal, peristiwa, orang

atau keadaan dipengaruhi oleh dua faktor pokok:

a) Pribadi

Faktor pribadi meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian.

Unsur intelektual berkaitan dengan sistem berpikir. Unsur motivasi berkaitan

dengan ancaman terhadap cita-cita hidup yang ditimbulkan oleh hal, peristiwa,

orang atau keadaan tersebut.

b) Situasi

Faktor situasi dapat tampil dalam beberapa bentuk. Bentuk pertama,

bila terdapat kandungan tuntutan berat dan mendesak. Bentuk kedua, bila hal itu

berhubungan dengan perubahan hidup. Bentuk ketiga, bila ada ketidakjelasan

(ambiguity) dalam situasi. Bentuk keempat, berhubungan dengan tingkat

diinginkannya (desirability) suatu hal. Bentuk kelima, berhubungan dengan

kemampuan orang untuk mengendalikan (controllability) hal tersebut.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi distres dipengaruhi oleh penilaian dan daya

tahan seseorang terhadap hal, peristiwa, orang, dan keadaan yang potensial atau

(20)

B. Self-Criticism

1. Pengertian Self-Criticism

Rosengren, C (2007) mengungkapkan self-criticism sebagai suatu cara

melihat diri sendiri, menemukan kekurangan dalam diri dan menguatkan pesan

bahwa diri sendiri tidak cukup baik. Self-Criticism menekan diri pada kesalahan

apa yang telah diperbuat, apa yang seharusnya dilakukan dengan lebih baik, apa

yang perlu dilakukan dengan cara yang berbeda lain kali, merasa frustasi terhadap

diri sendiri dan perasaan bahwa diri tidak cukup baik. Self-criticism adalah suatu

kritik internal dalam keadaan tidak realistik dan individu akan memiliki pemikiran

berbeda ketika kritikan tersebut tentang orang lain. Dick olney (dalam Rosengren,

C, 2007) mengatakan bahwa self-criticism adalah kebencian pada diri sendiri, dan

akan selalu menyerang diri sendiri tanpa pengecualian. Self-criticism adalah

kecenderungan untuk memusatkan perhatian dan menekankan pada aspek-aspek

negatif dari konsep diri seseorang, kehidupan seseorang atau umpan balik yang

negatif (Chang, E, 2007).

Self-criticism adalah bentuk maladaptif dari self-definition yang

dikarakterisasikan dengan self-regulation yang disertai oleh rasa bersalah dan

ketakutan akan celaan. Self-criticism membuat cara adaptasi individu menjadi

buruk. Orang yang memiliki self-criticism akan lebih mungkin memulai dan

mengatur pengejaran tujuan berdasarkan kemungkinan rasa bersalah dan harga

diri daripada minat dan makna personal. Orang yang memiliki self-criticism

(21)

persetujuan daripada pengejaran tujuan yang efektif (Shahar, dalam Powers, T.,

Richard.K dan David Z 2007).

Individu yang mengkritik diri sendiri dicirikan dengan perasaan tidak

berguna, inferior dan sikap mencermati diri sendiri dengan keras. Seseorang

dipercaya memiliki ketakutan kronis terhadap ketidaksetujuan dan kritikan dari

orang lain bersama dengan ketakutan akan kehilangan persetujuan atau

penerimaan dari orang lain yang berarti baginya (Blatt dan Schichman, dalam

Santor, A.D dan Aimée.A.Y, 2006). Self-Criticism dapat mempengaruhi sikap

individu dalam merespon kejadian-kejadian yang mengancam harga diri. Individu

yang mengkritik diri sendiri mungkin akan berusaha untuk melindungi diri

sendiri ketika harga diri seseorang terancam dengan membalas dendam kepada

teman-teman atau pasangan (Santor dan Zuroff, dalam Santor, A.D dan

Aimée.A.Y, 2006).

Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006)

mengemukakan bahwa self-criticism dapat dilihat sebagai bentuk gangguan diri

internal (internal self-harrasment), yang dapat secara tetap menstimulasi

penjagaan terhadap kepatuhan (submissive), cemas dan depresi, terutama jika

orang tidak dapat membela dirinya terhadapnya. Self-criticism adalah

menunjukkan sesuatu yang kritis atau penting dalam kepercayaan, pemikiran,

gerakan, perilaku atau hasil-hasil seseorang. Self-Criticism dapat membentuk

bagian dari privasi, pemikiran personal atau diskusi kelompok. Self-criticism

(22)

Self-criticism menunjuk pada salah satu isi dari “hati nurani” atau superego yaitu penilikan diri atau kritikan diri (Mappiare, 2006). Sedangkan

menurut VandenBos G.R (2007), self-criticism adalah pemeriksaan dan evaluasi

dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan kelemahan-kelemahan,

kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan.

Dari berbagai uraian di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa

self-criticism adalah bentuk gangguan diri internal yang berupa pemeriksaan dan evaluasi dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan kelemahan, kesalahan,

kekurangan diri sendiri yang disertai rasa bersalah dan ketakutan akan celaan.

2. Sumber-Sumber Self-Criticism

Menurut Andrew (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006) sumber-sumber

self-criticism yaitu

a) Modelling. Modelling adalah memperlakukan diri sendiri seperti yang diperlakukan orang lain pada dirinya.

b) Strategi atau perilaku aman dengan orang lain yang bersikap

bermusuhan.

c) Rasa malu.

d) Ketidakmampuan untuk menenteramkan diri.

e) Ketidakmampuan untuk menghibur diri ketika berada dalam ancaman.

(23)

g) Kekurangan skema internal orang lain sebagai orang yang aman dan

suportif dan atau sebagai respon ketakutan-kemarahan atau frustrasi yang

bertindak sebagai peringatan dalam menghadapi ancaman.

Menurut Gilbert (Gilbert, P et al, 2004), self-criticism dapat timbul dari

usaha-usaha untuk memperbaiki diri sendiri dan mencegah kesalahan, keluar dari

frustasi, atau dari kebencian pada diri.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

self-criticism berasal dari beberapa hal yaitu modelling, perilaku aman, rasa malu, usaha memperbaiki diri, ketidakmampuan untuk menentramkan diri dan

ktidakmampuan untuk memproses kemarahan.

3. Aspek-Aspek Self-Criticism

Menurut Gilbert, P et al (2004) terdapat 2 aspek untuk mengukur

self-criticism yaitu

a) Inadequate Self

Inadequate Self mencakup perasaan dalam diri individu yang tertekan

secara internal dan menimbulkan perasaan inadequate (merasa tidak mampu)oleh

kegagalan dan kemunduran yang dialami individu. Inadequate Self berfokus pada

perasaan ketidakcakapan individu dan perasaan individu bahwa ia telah

terkalahkan. Inadequate Self juga melingkupi perasaan bahwa individu merasa

pantas untuk dikritik dan pemikiran bahwa individu mengingat dan larut dalam

(24)

b) Hated Self

Hated Self merangkum respon yang lebih destruktif dan berdasarkan kemuakan diri pada kemunduran yang dialami dikarakteristikkan oleh

ketidaksukaan pada diri (self-dislike) dan hasrat agresif atau sadistis atau

penyiksaan (persecution) kepada diri sendiri. Hated Self Berfokus pada rasa

kemarahan pada diri atau self-hatred.

Cox et al (2004) mengungkapkan bahwa aspek dari self-criticism yaitu

self-blame yaitu merupakan salah satu penilaian negatif kognitif, feelings of worthlesness and guilt, Perceived personal weakness dan Perasaan bahwa telah gagal untuk berbuat sesuai dengan harapan semula.

Thompson dan Zuroff (dalam Gilbert, P et al, 2004) mengukur

self-criticism dalam dua aspek, yaitu

a) Comparative Self-Criticism (Com S.C)

Adalah pandangan negatif dari diri dalam perbandingannya dengan orang

lain. Comparative Self-criticism merefleksikan kepedulian akan keadaan sosial.

Item-item dalam Comparative Self-criticism termasuk ketidaknyamanan dalam

situasi sosial dimana individu tidak sepenuhnya mengetahui apa yang akan terjadi

dan ketakutan akan kehilangan penghargaan dari orang lain apabila seseorang

terlalu mengetahui diri individu yang bersangkutan.

b) Internalized Self-criticism (Int.S.C)

Adalah pandangan negatif dari diri dalam perbandingannya dengan standar

(25)

kesedihan mendalam ketika mengalami kegagalan dan perasaan keraguan akan

nilai diri ketika mengalami kegagalan.

Aspek self-criticism yang akan peneliti gunakan adalah aspek-aspek yang

dikemukakan oleh Gilbert, P et al (2004) yaitu Inadequate Self dan Hated Self.

4. Konsep Self-Criticism

Beck (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa kognisi, emosi dan

elemen-elemen pondasi psikologis dapat dihubungkan dalam modes (cara-cara).

Aktivasinya seiring dengan berjalannya waktu , mempengaruhi kemunculan

tipe-tipe tertentu dari skema diri yang lain sebagai kompetensi kognitif yang beragam

untuk hubungan diri dengan yang lain (misalnya kesadaran diri dan teori-teori

tentang pikiran) dan berkembang dengan kematangan.

Gilbert, P (2005) menghubungkan self-criticism ke dalam bentuk

hubungan self-to-self internal yang berakar pada system-sistem penyusun hal-hal

yang berhubungan dengan sosial yang disebut teori mentalitas sosial.

Gilbert (dalam Gilbert, P et al, 2006) mengungkapkan bahwa elemen yang

lebih jauh dari skema-skema diri yang lain , berhubungan dengan evolusi dari

sistem pembentukan peran dan ditentukan secara sosial. Sistem pembentukan

peran mengarah pada mentalitas sosial. Mentalitas sosial membimbing orang

untuk menciptakan tipe-tipe tertentu dari peran-peran dengan orang lain (contoh:

kelekatan anak, perlindungan orangtua, pertemanan, persekutuan atau hubungan

seksual), membimbingnya dalam interpretasi terhadap peran sosial orang lain

(26)

peduli, seksual, ramah atau kompetitif terhadap dirinya) dan juga membimbing

respon-respon afektif dan behavioral (contoh: jika orang lain ramah maka respon

yang timbul adalah mendekati dan berlaku ramah juga, jika orang lain bersikap

bermusuhan maka respon yang timbul adalah menyerang atau menghindari).

Orang dapat mengatasi kegagalannya dengan lebih baik jika dirinya memiliki

akses kepada skema suportif untuk dirinya sendiri dan atau orang lain. Tingkatan

dimana orang dapat mengakses kehangatan dan dukungan, atau menghukum diri

dan kritis pada diri, skema hubungan orang lain ke diri sendiri dan diri ke diri

sendiri dan ingatan-ingatan memiliki sikap pokok pada respon emosi dan sosial

terhadap kejadian-kejadian yang ada.

Sistem-sistem internal manusia berguna untuk merespon isyarat-isyarat

sosial eksternal (contohnya perasaan relaks dan suportif terhadap isyarat-isyarat

sosial yang positif, atau takut, malu dan patuh terhadap isyarat-isyarat ancaman

dari orang lain yang sangat kuat) terkait dengan mentalitas sosial sehingga dapat

juga menjadi pola, dengan prosedur implicit untuk memproses dan merespon

sinyal-sinyal internal. Baldwin (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa

skema-skema interpersonal (diri dalam hubungannya dengan orang lain)

membentuk dasar untuk evaluasi dan pengalaman-pengalaman hubungan internal

diri berikutnya.

Constantines dan Michelle luke (dalam Chang, E, 2007) membedakan

antara dua motif evaluasi diri, yaitu Self-enhancement dan self-assessment. Motif

(27)

Kebalikannya, motif self-assessment menggerakkan pikiran dan tingkah laku ke arah pemeliharaan, perlindungan dan peningkatan keakuratan konsep diri. Kedua

motif ini mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa yang seringnya berlawanan

pada proses informasi yang berkenaan dengan diri. Dua motif ini diaktivasi dan

bersaing pada proses seleksi dari informasi. Self-enhancement adalah

kecenderungan untuk fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri

seseorang (misalnya sifat, kemampuan dan cita-cita), kehidupan seseorang

(misalnya kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diinginkan, kapasitas

untuk mengendalikan kejadian-kejadian macam itu) atau informasi yang

berkenaan dengan diri yang baru masuk (misal umpan balik). Salah satu produk

dari self-assessment adalah self-criticism. Orang akan mempertanyakan maksud

dirinya ketika memilih keakuratan daripada kepositifan informasi atau

pengetahuan diri. Individu melampaui informasi yang diberikan dan ikut serta

dalam pencarian autobiografis yang dalam dan obyektif, juga mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai orang macam apa individu sebenarnya

dan berakhir dengan mengkritik diri individu sendiri. Self-assessment dapat

menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah

laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita seseorang.

Ketika individu menyerang dan mengkritik diri sendiri, kemungkinan

mengaktivasi beberapa cara otak yang sama dengan ketika individu melakukannya

pada orang lain. Greenberg, Elliot dan Foerster (dalam Gilbert, P et al, 2006)

berpendapat bahwa depresi lebih mungkin pada individu yang tidak dapat

(28)

individu merasa kalah dan ditaklukkan oleh sikap tersebut dan secara patuh

menerima self-criticism. Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P et al, 2006)

menemukan bahwa orang dengan self-criticism yang tinggi sering tunduk pada

self-criticism individu sendiri, dan tidak dapat meniadakan sikap individu yang menyerang diri individu sendiri.

Blatt dan Homann (dalam Irons et al, 2006) mencatat bahwa self-criticism

berkembang dari kecemasan-kecemasan akan kehilangan persetujuan orangtua

yang bersikap kasar, memiliki sifat menghukum, yang juga kekurangan

kehangatan emosi. Koestner, Zuroff dan Powers (dalam Irons et al, 2006)

menemukan bahwa anak yang memiliki orangtua yang bersikap membatasi dan

menolak secara berlebihan lebih mungkin untuk menjadi pribadi yang mengkritik

diri sendiri.

Baldwin (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa

pengalaman-pengalaman dalam hubungan-hubungan, memberikan skema interpersonal yang

menjadi sumber hubungan dengan diri sendiri (self-relating) yang adalah bahwa

individu mungkin berpikir tentang diri sendiri dan memperlakukan diri sendiri

dengan cara yang dilakukan orang lain padanya.

Hermans, H dan Dimaggio, G (2004) mengatakan bahwa self-criticism

tidak hanya berisi kumpulan dari kepercayaan dan pemikiran yang dipegang

mengenai diri atau diarahkan pada diri dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan

peringatan-peringatan. Hal yang terinternalisasi dalam self-criticism lebih dari

(29)

cemoohan dan penolakan yang adalah kecenderungan aksi dari emosi-emosi

seperti kebencian dan kemuakan.

Greenberg (dalam Gilbert.P, 2004) yang pertama menyatakan dengan

jelas bahwa ketidakmampuan untuk membela diri dan merasa terkalahkan oleh

self-criticismnya,yang terkandung di dalam self-criticism adalah suatu hal yang penting dalam respon afeksi. Beberapa kasus menunjukkan seperti ada pertikaian

yang berlangsung dalam diri dan kebencian pada diri.

Berdasarkan hal-hal di atas konsep self-criticism dapat disimpulkan

berasal dari sistem-sistem internal manusia yang berguna untuk merespon

isyarat-isyarat sosial eksternal. Hal ini terkait dengan mentalitas sosial sehingga dapat

juga menjadi pola prosedur implisit untuk memproses dan merespon sinyal-sinyal

internal skema-skema interpersonal (diri dalam hubungannya dengan orang lain)

membentuk dasar untuk evaluasi dan pengalaman-pengalaman hubungan internal

diri berikutnya. Dua motif evaluasi diri adalah self-enhancement dan

self-assessment. Self-assessment dapat menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau

cita-cita seseorang.

C. Hubungan Antara Self-criticism dengan Distres

Distres merupakan bentuk respon negatif terhadap stres yang dialami oleh

individu. Carlson, R (2002) mengungkapkan bahwa distres bukanlah sesuatu yang

terjadi terhadap seseorang melainkan sesuatu yang dibuat dari dalam pikirannya

(30)

serta akibat-akibat lain yang tidak menguntungkan. Perbincangan diri positif akan

mengarah ke pencapaian hasil yang diinginkan dan membangkitkan perasaan yang

menyenangkan (Lazarus dan Lazarus, 2005). Tindakan ini memperburuk stres dan

pada akhirnya mengurangi efektifitas seseorang.

Proses evaluasi negatif dalam diri mendatangkan respon stres (Dickerson

dan Kemeny, dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006). Proses penilaian kognitif

berperan penting dalam menentukan jenis stres yang mana yang akan dialami oleh

individu (Sarafino, E, 1990). Pemikiran self-criticism merupakan salah satu

penilaian kognitif yang negatif (Cox et al, 2004). Remaja yang memiliki gaya

kognitif self-criticism dalam menghadapi kejadian-kejadian stres lebih mungkin

memiliki sikap menghukum diri sendiri (Glassman, L.H et al, 2007).

Menurut Gilbert dan Irons (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006),

self-criticism dapat mengarah pada banyak gangguan, meningkatkan sifat mudah terkena sakit, ekspresi dampak dari simptom-simptom dan meningkatkan resiko

kambuh. Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006)

mengemukakan bahwa aspek-aspek patologis dari self-criticism tidak hanya

berhubungan dengan isi pikiran tetapi juga dengan dampak dari kemarahan dan

kemuakan yang mengarah pada diri sendiri dalam criticism. Gilbert, P dan

Procter, S (2006) mengemukakan bahwa kualitas patogenik dari self-criticism ada

pada dua kunci proses yaitu tingkat permusuhan yang diarahkan pada diri sendiri,

rasa jijik, dan rasa benci pada diri sendiri yang menimbulkan self-criticism dan

ketidakmampuan relatif untuk menghasilkan perasaan kehangatan hati,

(31)

Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P et al, 2006) menyatakan bahwa

ada individu yang ketika mengalami distres memiliki prosedur implicit yang

sedikit dalam menstimulasi sikap penentraman hati (self-soothing). Individu

dengan self-criticism memiliki kesulitan untuk merasa lega, tenang atau aman.

Penelitian membuktikan bahwa sistem regulasi afeksi (affect regulation system)

khusus menyokong perasaan tenang, aman dan sejahtera. Sistem ini kurang baik

dicapai oleh individu yang memiliki self-criticism tinggi (Gilbert, 2009). Gilbert

dan Irons (2004) mengungkapkan bahwa orang-orang yang memiliki self-criticism

mengalami distres ketika diminta untuk membangkitkan gambaran-gambaran dan

perasaan-perasaan suportif untuk diri sendiri.

Sekides dan Luke (dalam Chang, E, 2007) menyatakan bahwa ada banyak

bukti dari akibat-akibat self-criticism yang merusak, tidak hanya psikologis tetapi

juga kesehatan fisik. Self-criticism yang berulang berhubungan dengan mood

negatif dan keputusasaan (Santor dan Patterson dalam Chang, E, 2007), Aspek

depresi (Besser dan Priel dalam Chang, E, 2007), depresi mayor (Cox,

McWilliams, Enns dan Clara dalam Chang, E,2007), rasa malu dan menimbulkan

peningkatan aktivitas proinflamatori sitokinin dan tingkat kortisol, bersama

dengan perasaan malu (Dickenson, Gruenewald dan Kemedy, dalam Chang, E

2007).

Freud (dalam Gibert et al, 2004) berpendapat bahwa self-devaluation dan

self-criticism timbul dari serangan-serangan superego pada ego dan usaha-usaha untuk melindungi orang yang memerlukannya dari kemarahan. Gilbert (dalam

(32)

perasaan-perasaan self-criticism dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk dari ” usikan atau

gangguan atau godaan yang muncul dari dalam diri (inner harrasment)” yang

menyebabkan distres. Orang yang memiliki self-criticism jika mendapatkan

bantuan untuk mengurangi self-criticism individu (mengurangi ancaman internal

dan menjadi lebih dapat menghibur diri menentramkan diri individu dan orang

lain) maka distres yang ada pun akan berkurang (Gilbert dan Irons , dalam Mills,

A et al, 2007).

Orang yang membangkitkan self-criticism maka “suara kritik dalam diri”

tersebut dapat juga menstimulasi stres dan membuat orang tersebut merasa

dikalahkan (Gilbert, P dan Procter, S, 2006). Orang yang mengakses

pikiran-pikiran negatif (self-attacking) dengan mudah menjadi lebih tertekan (Teasdale,

dalam Gilbert, P et al, 2004). Orang yang memiliki self-criticism mengalami

kesulitan untuk menghibur diri individu sendiri (Gilbert, P dan Procter, S, 2006)

padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Rockliff et al (2008), orang yang

berhasil menggunakan sikap menghibur atau menenangkan diri sendiri mengalami

penurunan kortisol, meunujukkan dampak penentraman dalam axis HPA.

Self-criticism berhubungan dengan peningkatan axis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenokortisol) dan pelepasan kortisol (Mason, dalam Rockliff et al,2008).

Ketika seseorang berada dalam distres, jumlah kortisol yang beredar dalam tubuh

tinggi (Talbott, 2004). Masalah-masalah dalam hubungan keluarga, fungsi emosi,

kekurangan informasi terhadap suatu hal dan penanganannya, fungsi fisik dan

fungsi kognitif berhubungan dengan kasus-kasus distres yang banyak (Graves, K

(33)

menyebutkan bahwa orang yang memiliki self-criticism merasakan bahwa self-criticism individu muncul secara otomatis, kuat, sukar untuk dihindari, bersifat intrusive (mengganggu) dan menimbulkan distres.

Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya hubungan antara self-criticism

dengan distres. individu dengan self-criticism mengalami kesulitan dalam upaya

menenangkan dirinya sendiri apabila mengalami stres. Individu yang memiliki

self-criticism akan bereaksi terhadap stres dengan lebih negatif dan lebih merasa tertekan.

D. Kerangka Pemikiran

Remaja memiliki karakteristik khas perkembangan. Salah satu

karakteristik tersebut adalah karakteristik idealis. Remaja menetapkan standar

ideal atau kualitas pribadi yang harus dimilikinya. Standar ini seringkali lebih dari

apa yang mampu ia lakukan sehingga seringkali standar ini tidak tercapai seperti

yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mendorong remaja untuk terus

memperbaiki performanya dengan melakukan evaluasi diri yang dapat

mengarahkannya pada self-criticism. Self-criticism yang dilakukan remaja dapat

menimbulkan ketertekanan dalam diri remaja sehingga ketika ada kejadian stres,

respon yang timbul adalah distres.

(34)

E. Hipotesis

Hipotesis yang melandasi penelitian ini adalah Ada hubungan positif

antara self-criticism dengan distres pada remaja dimana ketika self-criticism tinggi

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel 1. Variable tergantung dari penelitian ini adalah distres

2. Variable bebas dari penelitian ini adalah self-criticism

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Distres

Distres adalah reaksi negatif dan merusak dari stres akibat

ketidakmampuan dalam pemecahan masalah untuk mengelola stres, yang tidak

hanya mengenai gangguan fungsional organ-organ tubuh tetapi juga berdampak

pada kejiwaan, yang berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang kuat dari

stresor. Distres diukur dengan skala yang dibuat oleh peneliti berdasarkan

aspek-aspek distres yang dikemukakan oleh Hardjana (1994) yaitu fisikal, emosional,

intelektual dan interpersonal. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin

tinggi pula distres yang dialami.

2. Self-Criticism

Self-criticism adalah bentuk gangguan diri internal yang berupa

pemeriksaan dan evaluasi dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan

kelemahan, kesalahan, kekurangan diri sendiri yang disertai rasa bersalah dan

(36)

peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yaitu

Inadequate Self dan Hated Self. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin

tinggi pula self-criticism yang dialami.

C. Populasi, Sampel, Dan Sampling

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 3 Surakarta.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini mengambil 3 kelas dari 10 kelas

pada kelas XI SMA Negeri 3 Surakarta, yang berjumlah 96 orang. Teknik sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling (Suryabrata.

S , 2003). Cara yang digunakan dalam pemilihan adalah dengan undian. Undian

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat suatu daftar yang berisi semua kelas yang ada dalam

populasi.

b. Memberikan kode-kode yang berupa angka-angka untuk tiap-tiap kelas

yang dimaksudkan.

c. Menuliskan masing-masing kode ke dalam lembar kertas kecil-kecil.

d. Menggulung kertas yang sudah berisikan kode.

e. Memasukkan gulungan-gulungan kertas ke dalam kaleng atau

semacamnya

f. Mengocok kaleng yang berisi gulungan-gulungan kertas.

(37)

Jumlah kelas digunakan untuk penelitian sebanyak 3 kelas dari

keseluruhan 11 kelas yang ada, sedangkan 2 kelas yang lain akan digunakan untuk

try out.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala

pengukuran psikologis. Adapun skala yang digunakan ada 2 skala yaitu skala

distres dan skala self-criticism.

1. Skala distres. Skala ini digunakan untuk mengukur distres yang

dialami subyek penelitian. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan

aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hardjana (1994) yaitu fisikal, emosional,

intelektual dan interpersonal.

Skoring item skala ini menggunakan sistem penilaian skala Likert yang

terdiri dari 5 alternatif jawaban yang telah dimodifikasi menjadi 4 alternatif

jawaban yaitu dengan cara menghilangkan alternatif jawaban ragu-ragu. Untuk

item-item favorabel skor untuk jawaban: 4 (sangat sesuai), 3 (sesuai), 2 (tidak

sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Untuk item-item unfavorabel menggunakan skor

jawaban 4 (sangat tidak sesuai), 3 (tidak sesuai), 2 (sesuai), 1 (sangat sesuai).

Perhitungannya adalah semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi

(38)

Tabel 1

Blueprint Skala Distres

Nomor Aitem No Ciri-ciri Indikator

Favourable Unfavorable

Jumlah

1 fisikal a. sakit kepala b. tidur tidak teratur c. sakit punggung d. gatal-gatal pada kulit

e. urat tegang terutama bagian leher dan bahu

f. gangguan pencernaan g. serangan jantung h. kelewat berkeringat i. selera makan berubah

j. lelah atau kehilangan daya energi

2 emosional a. gelisah b. sedih c. depresi

d. mood berubah-ubah e. gugup

f. mudah tersinggung

g. emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental

27, 29, 21,

3 intelektual a. susah berkonsentrasi b. sulit membuat keputusan c. mudah terlupa

d. pikiran kacau

e. pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja

f. kehilangan rasa humor yang sehat

g. mutu kerja rendah

h. dalam kerja membuat ke keliruan lebih banyak.

4 Inter personal a. kehilangan kepercayaan kepada orang lain

b. mengacuhkan orang lain

c. mengambil sikap terlalu

membentengi dan

2. Skala Self-Criticism. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti

berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yaitu Inadequate

Self dan Hated Self.

Skoring item skala ini menggunakan sistem penilaian skala Likert yang

(39)

item-item favorabel skor untuk jawaban: 4 (sangat sesuai), 3 (sesuai), 2 (tidak

sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Untuk item-item unfavorabel menggunakan skor

jawaban 4 (sangat tidak sesuai), 3 (tidak sesuai), 2 (sesuai), 1 (sangat sesuai).

Perhitungannya adalah semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi

pula sikap yang diukur.

Tabel 2

Blueprint Skala Self-Criticism Nomor Aitem dan perasaan individu bahwa ia telah terkalahkan

ketidaksukaan pada diri ( self-dislike) dan hasrat agresif atau sadistis atau penyiksaan (persecution) kepada diri sendiri

35, 31,39, 38,

E. Validitas Dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas dikonsepkan sebagai sejauhmana tes mampu mengukur atribut yang

seharusnya diukur. Validitas skala distres dan skala self-criticism dalam penelitian

ini menggunakan review professional judgement. Langkah selanjutnya adalah

prosedur seleksi aitem berdasarkan data empiris dengan melakukan analisis

kuantitatif terhadap parameter-parameter aitem. Pada tahap ini dilakukan seleksi

aitem berdasarkan daya diskriminasinya. Daya diskriminasi aitem adalah

sejauhmana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu

(40)

diskriminasi aitem dalam penelitian ini menggunakan korelasi product moment

pearson.

2. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama instrumen

pengukuran yang baik. Reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu

pengukuran (Azwar,2007). Reliabilitas dinyatakan dengan koefisiensi reliabilitas

(rxx’) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi

koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas.

Sebaliknya koefisien reliabilitas yang semakin rendah mendekati 0 berarti

semakin rendah reliabilitas.

Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan formula Alpha Cronbach

yaitu dengan membelah aitem-aitem sebanyak dua atau tiga bagian, sehingga

setiap belahan berisi aitem dengan jumlah yang sama banyak. Alpha Cronbach

mempergunakan data yang yang diperoleh dari skala yang dikenakan hanya sekali

saja pada sekelompok responden (Azwar, 2003). Pengukuran reliabilitas dalam

penelitian selanjutnya perhitungannya akan menggunakan jasa Statistical Product

and Service Solution (SPSS) version 15.0 for windows.

F. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi product

moment . Korelasi product moment digunakan untuk menguji hipotesis hubungan

(41)

digunakan berbentuk interval atau rasio (Sugiyono, 2007). Penghitungan data

selanjutnya akan menggunakan jasa Statistical Product and Service Solution

(42)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian

SMA Negeri 3 Surakarta memiliki dua gedung sekolah yang berada di jalan

Prof. W Z.Johanes 58 Surakarta dan jalan R.E.Martadinata Surakarta. Penelitian

hubungan self-criticism dengan distres dilakukan di SMA Negeri 3 Surakarta yang

beralamatkan di Prof. W Z.Johanes 58 Surakarta. SMA Negeri 3 Surakarta .

a. Visi dan Misi SMA Negeri 3 Surakarta

SMA Negeri 3 Surakarta memiliki motto : ”Widya Karma Jaya” yang

berarti ungul dalam ilmu dan perbuatan/budi pekerti. Visi dan misi serta tujuan

pendidikannya adalah sebagai berikut :

1) Visi : terwujudnya akhlak mulia dan semangat berprestasi dalam bidang ilmu

pengetahuan, teknologi, komunikasi internasional dan seni budaya menuju

sekolah unggul yang berwawasan internasional. Indikator Visi:

a) Tertingkatnya akhlak bagi siswa

b) Tertingkatnya prestasi siswa pada bidang sains, teknik, komunikasi

internasional dan seni.

(43)

2) Misi :

a) Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang berorientasi

pada mutu dan relevansi menuju standar internasional.

b) Menyelenggarakan pembelajaran dengan menerapkan

prinsip-prinsip “Active Learning” berbasis pada IT dan penerapan

“Bilingual” untuk mata pelajaran tertentu.

c) Menyelenggarakan pembinaan kesiswaan melalui berbagai

kegiatan yang mendukung berkembangnya kecerdasan, kreativitas,

akhlak mulia dan kompetitif dalam skala internasional dengan tetap

berwawasan budaya nasional.

d) Mewujudkan kerjasama dan partisipasi masyarakat baik nasional

maupun internasional yang lebih bermakna, untuk percepatan

berkembangnya sekolah.

e) Menyelenggarakan pengelolaan sekolah secara profesional,

partisipasif, transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip-prinsip

manajemen berbasis sekolah.

Untuk mewujudkan misi tersebut, dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Meningkatkan kedisplinan Guru, Staf Tata Usaha dan Siswa.

b) Meningkatkan kualitas bidang akademik (pembelajaran), dengan

berbasis IT dan Bilingual.

c) Meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait baik skala nasional

(44)

d) Wawasan Keilmuan yang berupa penulisan karya-karya ilmiah,

riset-riset sederhana baik dalam bidang MIPA maupun bidang

Sosial, serta meningkatkan kualitas bidang non-akademik, yakni

kegiatan ekstrakulikuler yang berupaya meningkatkan

bakat-prestasi seperti olahraga kesenian, keorganisasian, dan lain-lain.

3) Tujuan Pendidikan :

Tujuan pendidikan yang dikembangkan di SMA Negeri 3 Surakarta adalah

a. Memberi layanan kepada siswa yang berpotensi untuk mencapai

prestasi bertaraf nasional dan internasional.

b. Menyiapkan lulusan SMA Negeri 3 Surakarta yang mampu

berperan aktif dalam masyarakat global.

c. Menyiapkan lulusan SMA Negeri 3 Surakarta yang memiliki

kompetensi seperti yang tercantum dalam Standar Kompetensi

Lulusan (SKL) yang diperkaya dengan SKL berciri internasional.

d. Lulusan SMA Negeri 3 Surakarta menjadi:

i. Individu yang nasionalis dan berwawasan global

ii. Individu yang cinta damai dan toleran.

iii. Pemikir yang kritis, kreatif dan produktif.

iv. Pemecah masalah yang efektif dan inovatif.

v. Komunikator yang efektif.

vi. Individu yang mampu bekerjasama.

(45)

Ekstrakulikuler yang ada di SMA Negeri 3 Surakarta antara lain Wikarya,

PMR, Palasmaga, Rohanian Islam, Rohanian Katholik dan Kristen, Teater dan

PKS. Jumlah seluruh siswa SMA Negeri 3 Surakarta sebanyak 1211 orang

meliputi 38 rombongan belajar. SMA Negeri 3 Surakarta telah ditunjuk oleh

pemerintah untuk menyelenggarakan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf

Internasional) untuk semua rombongan belajar kelas X. SMA Negeri 3 Surakarta

selalu berusaha meningkatkan pelayanan yang sesuai dengan harapan masyarakat

dan dapat melahirkan lulusan yang berkualitas dan ikut aktif berkiprah dalam

peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

2. Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan

terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah berkaitan dengan perijinan dan

penyusunan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian ini

memerlukan dua alat ukur yaitu skala self-criticism dan skala distres. Diperlukan

persiapan yang matang agar kedua alat ukur tersebut layak dan siap digunakan.

Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini telah melalui prosedur

validitas alat ukur melalui pengujian validitas isi. Validitas isi dilakukan dengan

melihat kesesuaian antara butir-butir item dalam alat ukur dengan blue-print yang

telah ditentukan sebelumnya. Selain itu validitas isi juga melihat kesesuaian

aitem-aitem dengan indikator perilaku yang hendak diungkap. Validitas isi ini

(46)

3. Pelaksanaan Uji-coba Penelitian

Uji-coba penelitian dilakukan pada hari Senin tanggal 8 November 2010

dan Selasa 9 November 2010. Sebelum siswa-siswi melakukan pengisian skala

penelitian, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud

kedatangan serta tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Setelah subjek penelitian

menyatakan kesediaan untuk membantu, kemudian baru peneliti menjelaskan

tentang tata cara pengerjaan skala dan memberikan contoh cara mengerjakan.

Pengisian skala dilakukan pada awal jam pelajaran Bimbingan karir. Selama

subjek mengerjakan skala penelitian, peneliti selalu berada di lokasi penelitian

hingga subjek selesai mengerjakan dan mengumpulkan skala kembali. Setelah

skala terkumpul dilakukan skoring, kemudian dilakukan analisis daya beda dan

reabilitasnya.

4. Analisis Daya Beda dan Reliabilitas Skala

Setelah uji-coba skala dilakukan, selanjutnya data yang diperoleh

ditabulasikan dan dianalisis untuk mengetahui daya beda dan reliabilitas alat ukur.

Daya beda aitem skala self-criticism dan skala distres dilakukan dengan

menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson, sedangkan

perhitungan reliabilitas dihitung dengan Cronbrach’s Alpha. Perhitungan daya

beda dan reliabilitas skala pada pendekatan ini menggunakan program analisis

daya beda dan reliabilitas butir program statistik SPSS 16.0 for Windows untuk

menentukan aitem yang gugur dan valid. Hasil uji daya beda aitem dan reabilitas

(47)

a. SkalaDistres

Skala distres yang berjumlah 63 aitem diuji-cobakan pada 45 subjek.

Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, skala distres yang diuji-cobakan

mempunyai nilai korelasi Pearson sebesar –0,152 sampai dengan 0,655. Peneliti

menetapkan taraf signifikansi sebesar 5% sebagai pedoman untuk memilih aitem.

Aitem dengan probabilitas di bawah 0,05 dianggap gugur dan selanjutnya tidak

digunakan dalam penelitian, sehingga dari 63 aitem ditemukan 44 aitem yang

dapat memenuhi syarat untuk dianalisis. Aitem dengan nomor 4, 5, 11, 14, 15, 32,

33, 34, 40, 41, 43, 44, 48, 50, 55, 56, 57, 58 dan 59 dinyatakan gugur.

Analisis reliabilitas skala menunjukkan bahwa skala distres mempunyai

nilai reliabilitas sebesar 0,89. Dengan demikian, skala distres dianggap andal

sebagai alat ukur penelitian. Ringkasan selengkapnya dapat dilihat pada tabel

(48)

Tabel 3

Distribusi Aitem Valid dan Aitem Gugur Skala Distres Setelah Uji Coba

Aitem Valid Aitem Gugur

No Aspek Indikator Bentuk

Pernyataan No. Aitem Jumlah Aitem 2. Emosional a. gelisah

b. sedih

3. Intelektual a. susah ber konsentrasi

Unfavourable 38 1 40,41,43, 48

4 5

Favourable 53, 54, 60, 61, 62, 63

6 55,56,59 3 9

(49)

b. Skala Self-criticism

Skala self-criticism yang berjumlah 52 aitem diuji-cobakan pada 45

subjek. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, skala self-criticism yang

diuji-cobakan mempunyai nilai korelasi Pearson sebesar –0,05 sampai dengan

0,788. Peneliti menetapkan taraf signifikansi sebesar 5% sebagai pedoman untuk

memilih aitem. Aitem dengan probabilitas di bawah 0,05 dianggap gugur dan

selanjutnya tidak digunakan dalam penelitian, sehingga dari 52 aitem ditemukan

42 aitem yang dapat memenuhi syarat untuk dianalisis. Aitem dengan nomor 2, 3,

7, 21, 25, 26, 29, 30, 34, dan 43 dinyatakan gugur.

Analisis reliabilitas skala menunjukkan bahwa skala self-criticism

mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,923. Dengan demikian, skala self-criticism

dianggap andal sebagai alat ukur penelitian.

(50)

Tabel 4

Distribusi Aitem Valid dan Aitem Gugur Skala Self-criticism Setelah Uji Coba

Aitem Valid

Aitem Gugur Total

No Aspek Indikator Bentuk

Pernyataan

Favourable 35, 31,39,

38, 40,

2. Hated Self ketidaksukaan pada

diri (self-dislike) dan

hasrat agresif atau sadistis atau penyiksaan

(persecution) kepada diri sendiri

UnFavourable

36, 44,

48, 50, 51 5 43 1 6

Total 42 10 52

5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian dengan Nomor Urut Baru

Setelah dilakukan perhitungan validitas dan reliabilitas pada skala

self-criticism dan skala distres, maka langkah selanjutnya adalah menyusun kembali

skala self-criticism dan skala distres sebagai alat ukur. Aitem yang gugur tidak

diikutsertakan dan aitem yang valid disusun dengan urutan yang baru untuk

digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini. Susunan aitem setelah uji-coba

(51)

Tabel 5

Distribusi Penyusunan Aitem Valid Skaladistres dengan Nomor Urut Baru untuk Penelitian

No Aspek Bentuk Pernyataan Aitem Jumlah

Favourable 3(6), 9(26), 16(12), 1(2),

Keterangan : Nomor aitem yang dicetak tebal dan berada di dalam kurung (...) merupakan aitem yang Valid dan diberi nomer urut baru.

Tabel. 6

Distribusi Penyusunan Item Valid Skala Self-criticism dengan Nomor Urut Baru untuk Penelitian

Aitem Valid

No Aspek Indikator

Aitem Jumlah

1. Inadequate Self

UnFavourable 5(38), 11, 15(30) 3

(52)

B. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 3 Surakarta

kelas XI jumlah total populasi sebanyak 390 orang dengan sampel sebanyak 96

orang pada 3 kelas XI yaitu kelas XI-IPA 5, 6, dan 7. Pengambilan sampel

dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Subjek

penelitian terdiri dari 34 subjek pada kelas XI – IPA 5, 30 subjek pada kelas

XI-IPA 6, dan 32 subyek pada kelas XI-XI-IPA 7. Rincian subjek yang digunakan dalam

penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel. 7

Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 25 November 2010 dan 27

November 2010 dengan menggunakan skala self-criticism yang terdiri dari 42

aitem, dan skala distres yang terdiri dari 44 aitem. Pembagian dan pengisian skala

dilakukan pada awal jam pelajaran bimbingan karir selama 15-20 menit. Sebelum

subyek melakukan pengisian skala penelitian, peneliti terlebih dahulu

memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan serta tujuan kegiatan

yang akan dilakukan. Setelah subjek penelitian menyatakan kesediaan untuk

membantu, kemudian baru peneliti menjelaskan tentang tata cara pengerjaan skala

Gambar

  Tabel 1 Blueprint Skala Distres
 Tabel 2 Blueprint Skala Self-Criticism
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Siswa yang kurang berhasil dalam menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya seringkali membentuk pola perilaku yang keliru atau disebut dengan

Siswa yang kurang berhasil dalam menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya seringkali membentuk pola perilaku yang keliru atau disebut dengan

seorang, dimana seseorang tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, sehingga mampu menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang

Kemampuan mengelola emosi diri sendiri, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengenali emosi orang lain, kemampuan mengelola emosi orang lain serta

action), yaitu dimana suatu perilaku atau kebiasaan tidak aman dari seseorang yang menimbulkan bahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain..

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik

Remaja dengan asertivitas tinggi diharapkan mampu membela dirinya sendiri maupun orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan terhadap masalah yang

Ciri ciri self esteem tinggi adalah Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan menghargai