SMA NEGERI 3 SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program
Pendidikan Strata 1 Psikologi
Oleh:
Evlijn Pasha Widjast
G0105023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah periode
peralihan dimana status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran
yang harus dilakukan. Status remaja yang tidak jelas selain merugikan juga
menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya
hidup yang berbeda dan menetukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling
sesuai bagi dirinya.
Masa remaja berlangsung antara umur 12- 21 tahun, dengan pembagian
12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja
pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Haditono, 2002). Remaja
berada pada fase yang mengalami banyak masalah, baik menyangkut hubungan
dengan dirinya maupun orang lain. Remaja memiliki dorongan yang kuat untuk
mengatasi dan mencapai apa yang individu inginkan tetapi individu sering tidak
realistis (Notosoedirjo, 1999).
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang diterapkannya sendiri (Russian
dalam Hurlock 1993). Remaja suka membuat teori tentang segala sesuatu yang
dihadapi. Pikirannya sudah dapat melampaui waktu dan tempat, tidak hanya
terlihat pada hal yang sudah dialami, tetapi juga dapat berpikir mengenai sesuatu
commit to user
Ginsburg dan Opper (dalam Suparno, 2001) mengemukakan bahwa remaja
lebih mengutamakan posibilitas daripada realitas. Realitas menjadi nomor dua,
bukan yang utama. Segala kemungkinan yang dapat terjadi dipertimbangkan,
meskipun itu tidak berpengaruh dan tidak akan dibuat dalam praktik. Remaja
melihat segala kemungkinan dan mempertimbangkan segala macam interpretasi
yang dapat diambil. Remaja dapat berpikir efektif karena dapat melihat pemikiran
mana yang cocok untuk persoalan yang dihadapi. Ia dapat memikirkan bersama
banyak kemungkinan dalam suatu analisis. Remaja kadang egosentris dalam
pikirannya karena tekanan pada apa yang dapat dipikirkan, kadang remaja
beranggapan bahwa apa yang dipikirkan itu dianggap kenyataan padahal
sebenarnya tidak. Remaja terlalu menonjolkan pemikiran sendiri sehingga kadang
lupa akan kenyataan yang sesungguhnya.
Karakteristik khas remaja yang melatarbelakangi pola-pola perilaku seperti
dijelaskan di atas adalah idealis. Remaja memiliki standar idealisme yang individu
ciptakan sehingga mengarahkan pada tuntutan-tuntutan terhadap diri sendiri dan
lingkungan akan bagaimana seharusnya standar ideal. Piaget (dalam Santrock,
J.W, 2003) mengungkapkan bahwa remaja memasuki tahapan pemikiran
operasional formal dimana beberapa cirinya adalah pemikiran abstrak, idealistis
dan logis. Piaget mengatakan bahwa pemikiran operasional formal baru akan
tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja, sekitar usia 15-20 tahun. Remaja kerap
berpikir mengenai hal-hal yang mungkin terjadi. Pemikiran remaja adalah
pemikiran yang penuh dengan idealisme dan kemungkinan-kemungkinan.
commit to user
terbatas, sedangkan remaja mulai memikirkan secara luas mengenai karakteristik
ideal, kualitas yang ingin dimilikinya sendiri atau yang diinginkan ada pada orang
lain, berkaitan dengan patokan ideal tersebut. Sepanjang masa remaja, pemikiran
seseorang seringkali melayang, berfantasi ke arah kemungkinan-kemungkinan di
masa depan. Remaja mungkin saja menjadi tidak sabar dengan patokan ideal yang
dimilikinya dan bingung dengan patokan ideal manakah yang akan dipegangnya.
Individu memikirkan karakteristik ideal dari diri individu sendiri, orang lain, dan
dunia. Idealistik remaja berhubungan dengan standar hidup remaja yang tinggi
(VanderZanden, J, et.al, 2007). Pemikiran karakteristik ideal ini, terutama dari diri
individu sendiri, dikuatirkan membentuk sikap self-criticism.
Blatt dan Zuroff (dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005) menyatakan
bahwa self-criticism adalah mengenai kegagalan pencapaian standar personal
disertai dengan kebencian pada diri dan perasaan bersalah. Orang-orang dengan
sikap self-criticism yang tinggi cenderung menjadi orang yang berorientasi pada
pencapaian, kompetitif, dan keras terhadap diri sendiri. Self-criticism adalah
reaksi diri pada apa yang dirasa sebagai penampilan yang kurang sempurna,
karakter yang kurang sempurna dan perilaku yang kurang sempurna sehingga
menekan diri (Rosengren, 2007).
Self-criticism atau kritik pada diri sendiri dilakukan orang sebagai bagian
dari proses perbincangan dengan diri sendiri. Individu berbicara kepada diri
sendiri secara terus menerus. Otak selalu aktif dan sebagian besar yang
dilakukannya adalah memberitahu individu tentang dirinya sendiri. Perbincangan
commit to user
pribadi. Kata-kata dari dalam diri sendiri, seperti kata-kata yang keluar dari mulut
orang lain, juga dapat berefek dramatis kepada diri individu. Banyak orang
menyusahkan diri sendiri dengan berkata kasar dan tidak menyenangkan.
Perbincangan diri ini, untuk sebagian besar orang, berisi pemberitahuan terhadap
diri sendiri mengenai apa-apa saja yang salah dengan diri individu (Lazarus dan
Lazarus, 2005). Self-criticism muncul dari sikap evaluasi diri seseorang. Evaluasi
diri seringkali dilakukan seseorang dalam setiap kesempatan.
Constantines dan Michelle luke (dalam Chang, E, 2007) membedakan
antara dua motif evaluasi diri, yaitu Self-enhancement dan self-assessment. Motif
Self-enhancement menggerakkan pikiran dan tingkah laku dalam tugas
memelihara, melindungi atau meningkatkan kepositifan konsep diri.
Kebalikannya, motif self-assessment menggerakkan pikiran dan tingkah laku ke
arah pemeliharaan, perlindungan dan peningkatan keakuratan konsep diri. Kedua
motif ini mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa yang seringnya berlawanan
pada proses informasi yang berkenaan dengan diri. Dua motif ini diaktivasi dan
bersaing pada proses seleksi dari informasi.
Self-enhancement adalah kecenderungan untuk fokus dan menekankan
aspek-aspek positif dari konsep diri seseorang (misalnya sifat, kemampuan dan
cita-cita), kehidupan seseorang (misalnya kemungkinan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diinginkan, kapasitas untuk mengendalikan kejadian-kejadian
macam itu) atau informasi yang berkenaan dengan diri yang baru masuk (misal
umpan balik). Salah satu produk dari self-assessment adalah self-criticism. Orang
commit to user
kepositifan informasi atau pengetahuan diri. Individu melampaui informasi yang
diberikan dan ikut serta dalam pencarian autobiografis yang dalam dan obyektif,
juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai orang macam apa
individu sebenarnya dan berakhir dengan mengkritik diri individu sendiri.
Self-assessment dapat menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri
kepribadian, tingkah laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita
seseorang.
Kitayama, S dan Yukiko. U (2003) menyatakan bahwa penelitian
mengindikasikan bahwa orang-orang dari beberapa budaya negara Asia sering
mengevaluasi diri individu secara negatif. Gilbert,P dan Miles (dalam Mills, A et
al, 2007) menemukan bahwa ketika orang ditanyai mengenai bagaimana individu
merespon jika individu menerima kritikan, individu dapat menyalahkan diri
sendiri dan atau menyalahkan orang lain. Festinger (dalam Santor, A.D dan
Aimée.A.Y, 2006) mengemukakan bahwa menurut teori perbandingan sosial
(social comparison theory), individu memiliki dorongan dalam dirinya untuk
mengevaluasi diri, terutama jika performa individu bermasalah.
Evaluasi diri dapat berfungsi besar dalam kehidupan individu, berdasarkan
pendapat bahwa kecakapan yang berkembang untuk pembentukan peranan sosial
sering didapatkan dari evaluasi diri. Pemakaian evaluasi diri merupakan bentuk
hubungan diri dengan diri sendiri. Orang dapat menjadi kritis dengan diri sendiri
untuk mencoba mengkoreksi perilaku individu, atau karena individu memiliki
sesuatu yang tidak disukai atau dibenci dari diri sendiri. Respon alternatif untuk
commit to user
kelebihan seseorang dan koping yang aktif, walaupun sikap menyerang diri
sendiri teraktivasi ketika orang merasa bahwa individu telah gagal dalam
tugas-tugas penting, atau jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
Respon lain terhadap diri adalah orang dapat menjadi hangat dan menentramkan
diri sendiri. Orang yang mengkritik dan menyerang diri sendiri ketika sesuatu
tidak berjalan seperti apa yang diinginkannya, mungkin memiliki kemampuan
yang kurang baik untuk menenangkan diri individu sendiri atau berfokus pada
kelebihan-kelebihannya (Gilbert,P et al, 2004).
Kritik terhadap diri sendiri atau Self-criticism menyebabkan ketertekanan
dalam diri individu, khususnya remaja dengan karakteristik idealis yang
dimilikinya. Remaja menetapkan standar ideal untuk dirinya sendiri. Standar ideal
ini dimiliki oleh remaja dalam keberadaannya dalam lingkungan. Remaja
memiliki patokan kualitas ideal untuk dimilikinya sendiri. Patokan kualitas ideal
ini memungkinkan remaja untuk memiliki pemikiran yang penuh dengan
alternatif-alternatif perilaku yang memungkinkan individu meraih kualitas ideal
yang individu inginkan. Kualitas ideal yang dimiliki oleh remaja seringkali tidak
melihat batasan kemampuannya sendiri sehingga tentunya kualitas ini tidak selalu
dapat tercapai. Keadaan ini membuat remaja selalu berusaha untuk memperbaiki
performanya dengan melakukan evaluasi diri yang dapat mengarahkannya pada
sikap self-criticism. Menurut Gilbert,P & Procter, S (2006), beberapa orang yang
memiliki self-criticism sering melaporkan merasa enggan untuk melepaskan sikap
self-criticism individu karena ketakutan akan meleset dari standar individu dan
commit to user
perubahan identitas diri. Keadaan ini memungkinkan remaja bereaksi negatif
terhadap stres atau mengalami distres.
Kiecolt-Glaser (1994) mengungkapkan bahwa reaksi terhadap stres atau
distres berbeda-beda ditinjau pada suatu kontinum. Reaksi subyektif seseorang
terhadap stres mungkin lebih berpengaruh terhadap akibat-akibat psikologis (Yip,
T et al, 2008). Penelitian akan distres menemukan bahwa individu-individu yang
lebih tua akan kelihatan kurang reaktif terhadap stres karena individu telah
membangun strategi-strategi koping yang lebih baik seiring berjalannya waktu
(Almeida dan Horn dalam Yip, T et al, 2008). Orang-orang melakukan usaha
yang terbaik yang dapat individu lakukan untuk mengatur situasi-situasi,
memori-memori, dan emosi-emosi yang menyakitkan (Gilbert,P & Procter, S, 2006).
Santor (dalam Sturman, E dan Miriam. M, 2005) menyebutkan bahwa
orang dengan self-criticism memiliki kebutuhan akan kebanggaan dan status,
apabila strategi-strategi perilaku yang bertujuan untuk pengaturan status gagal
maka orang yang memiliki self-criticism menjadi tertekan. Gilbert,P dan Irons
(dalam Irons et al, 2006) mengemukakan bahwa hubungan seseorang dengan diri
sendiri beroperasi melalui sistem-sistem psikologis yang sama dengan yang
individu gunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Seseorang dapat menjadi
kritis dan bermusuhan dengan diri sendiri kemudian merasa tertekan dan
terkalahkan. Individu akan tertekan dan mengalami distres ketika menyerang diri
sendiri dengan kritikan.
Gilbert,P dan Procter.S (2006) mengemukakan bahwa orang yang
commit to user
menghadapi suatu kejadian yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Orang
yang memiliki suara internal yang melekat dengan baik, menerima serangan
kata-kata yang terus menerus berupa kritikan dan tidak ada yang luput dari penilaian
kritik internal. Kritik tersebut seringkali menyamar sebagai “kecaman yang
membangun”. Orang seringkali terlalu menfokuskan diri pada perbaikan akan
sesuatu sehingga pada akhirnya individu takut untuk mengambil langkah yang
dibutuhkan untuk perbaikan tersebut. Orang seringkali meyakinkan diri bahwa
memperhatikan tindakan dengan terus-menerus memeriksa
kekurangan-kekurangan diri, akan membuat diri bertambuh dan maju, tetapi ketika melihat
lebih dalam lagi, individu sering menemukan kebiasaan berbahaya yang hanya
bermanfaat untuk membatasi potensi individu daripada mengembangkannya. Hal
yang membuat fokus pada sesuatu yang membuat individu kecewa adalah
self-criticism yang bersifat destruktif yang seringkali menyamar sebagai kesadaran
diri. Kesadaran diri adalah tentang memeriksa kenyataan-kenyataan yang ada dan
mencari cara-cara untuk bertumbuh secara positif. Self-criticism dapat membuat
diri tertekan dengan putaran pikiran-pikiran negatif yang tidak ada akhirnya
(Rosengren, 2007).
Uraian di atas mengungkapkan adanya keterkaitan antara self-criticism
dengan distres. Individu yang memiliki self-criticism dapat menjadi sangat kritis
dan bermusuhan dengan dirinya sendiri sehingga mengalami distres. SMA Negeri
3 Surakarta merupakan salah satu sekolah favorit di kota Surakarta, dimana para
siswa di sana memiliki kompetensi tinggi untuk menjadi yang terbaik.
commit to user
sehingga mencapai prestasi yang terbaik yang diharapkannya. Evaluasi diri ini
dapat mengarahkan pada self-criticism sehingga dimungkinkan terjadinya distres
pada siswa. Bapak Drs. Sutarto, guru pembimbing mata pelajaran Bimbingan
Karir kelas XI-IPA 5, XI-IPA 6 dan XI-IPA 7 yang sebelumnya menjabat sebagai
koordinator Bimbingan Karir SMA Negeri 3 Surakarta, mengungkapkan bahwa
siswa-siswi SMA Negeri 3 Surakarta memang unggul dalam mengejar prestasi
dan berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap aktivitas belajar yang
individu lakukan. Siswa-siswi SMA terus-menerus berkompetisi untuk menjadi
yang terbaik diantara sesamanya dan menjadi unggul dibidangnya. Usaha
kompetisi untuk menjadi lebih unggul mengandung usaha evaluasi diri sehingga
dimungkinkan untuk mengarahkan pada sikap self-criticism yang dapat
mengakibatkan distres. Berdasarkan keterangan yang sama dari Bapak Suyono
kemudian juga didapatkan keterangan bahwa penelitian tentang distres belum ada
di SMA Negeri 3 Surakarta. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk meneliti
mengenai hubungan antara self-criticism dengan distres pada siswa SMA negeri 3
Surakarta.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian ini
adalah “apakah ada hubungan antara self-criticism dengan distres pada siswa
commit to user
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
self-criticism dengan distres pada siswa SMA negeri 3 Surakarta.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi berkaitan
dengan hubungan antara self-criticism dengan distres khususnya bidang pikologi
sosial serta psikologi klinis.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi subyek penelitian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai self-criticism dan distres sehingga mendorong timbulnya pola
pikir yang sehat yang dapat membuka pintu menuju perkembangan, perbaikan dan
pemahaman diri yang lebih baik.
2) Bagi para pendidik yang menangani permasalahan remaja, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai self-criticism dan distres
sehingga memberikan proses pembelajaran yang mengarahkan pada self-criticism
secara positif.
3) Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang self-criticism dan dampaknya bagi kesehatan mental anak sehingga dapat
commit to user
4) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi yang
berkaitan dengan hubungan antara self-criticism dan distres yang dapat
commit to user
BAB IILANDASAN TEORI
A. Distres
1. Pengertian Distres.
Istilah distres muncul dari pembahasan tentang stres, dimana stres yang
timbul dalam kehidupan individu dapat menimbulkan respon yang berbeda untuk
setiap individu. Distres merupakan respon stres negatif. Stres diartikan sebagai
segala sesuatu yang mengganggu seseorang untuk beradaptasi atau mengatasi
suatu masalah (LazarusdanLazarus, 2005). Stres adalah suatu kekuatan yang
memaksa seseorang untuk berubah, bertumbuh, berjuang, beradaptasi atau
mendapatkan keuntungan (Swarth, 2004). Stres adalah keadaan atau kondisi yang
tercipta bila transaksi orang yang mengalami stres dan hal yang dianggap
mendatangkan stres membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan,
entah nyata atau tidak nyata, antara keadaan atau kondisi dan sistem sumber daya
biologis, psikologis dan sosial yang ada padanya (Hardjana,1994).
Sarafino, E (1990) menyatakan dalam bentuk yang paling sederhana, ada
stres yang baik dan ada stres yang jahat. Stres yang jahat secara umum melibatkan
komponen emosi negatif yang kuat. Rice (1999) menyebut distres sebagai stres
yang jahat, sementara stres yang baik adalah eustres. Menurut Selye (dalam
Sarafino, E, 1990) stres yang berbahaya dan bersifat merusak disebut distres,
sedangkan stres yang menguntungkan atau berguna disebut eustres. Tidak semua
tuntutan beban atasnya dengan baik tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental
serta merasa senang, maka ia dikatakan mengalami eustres. Stres yang optimal,
berperan dan berdampak positif serta konstruktif bagi seseorang. Stres yang baik
disebut eustres. Sebaliknya stres yang merugikan dan merusak atau stres destruktif
disebut distres. Distres adalah dampak negatif stres yang tidak hanya mengenai
gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh tetapi juga berdampak pada
bidang kejiwaan, yang merupakan respon tubuh yang sifatnya non spesifik
terhadap setiap tuntutan beban atasnya (Hawari, D, 2001).
McCubbin dan Patterson (dalam Rice, 1999) menyebut distres sebagai
kekacauan atau ketidakmampuan dalam pemecahan-pemecahan masalah untuk
mengelola stres. Distres (dalam Kiecot-Glaser, J.K, 1994) disebut sebagai reaksi
terhadap stres yang diduga berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang
kuat dari stresor. Reaksi-reaksi terhadap stresor dapat bervariasi dalam sikap yang
kompleks diantara individu. Kejadian-kejadian kuat yang mengakibatkan stres
akan mempercepat reaksi distres jangka panjang.
Collins dan Frankenhaeuser (dalam Sarafino, E, 1990) mengatakan bahwa
pola dari dampak fisiologis dalam keadaan stres tergantung pada 2 faktor yaitu
effort dan distres. Effort melibatkan minat, usaha keras dan kebulatan tekad dari seseorang. Distres melibatkan kecemasan, ketidakpastian, kebosanan, dan
ketidakpuasan. Distres tanpa atau dengan effort lebih mungkin bersifat merusak
daripada effort tanpa distres.
Distres adalah manifestasi langsung dari usaha yang harus dikerahkan
ketika berhadapan dengan stres hidup yang membebani (Kates dalam Terluin B et
al, 2006). Distres didefinisikan sebagai pengalaman multifaktorial yang tidak
menyenangkan dari sifat emosi, psikologis, sosial atau spiritual yang mengganggu
kemampuan koping (Holand dalam Graves, K et al, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa distres
adalah reaksi negatif dan merusak dari stres akibat ketidakmampuan dalam
pemecahan masalah untuk mengelola stres, yang tidak hanya mengenai gangguan
fungsional hingga kelainan organ tubuh tetapi juga berdampak pada kejiwaan,
yang berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang kuat dari stresor.
2. Aspek dan Ciri-Ciri Distres.
a) Aspek Distres
Smith, Ellen dan Jeanne S (www.helguide.org) menulis bahwa
aspek-aspek dari distres terdiri dari aspek-aspek kognitif, aspek-aspek emosi, aspek-aspek fisik dan aspek-aspek
behavioural. Aspek kognitif adalah masalah-masalah ingatan, keragu-raguan,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, sulit berpikiran jernih, penilaian yang
buruk, melihat hanya hal-hal yang negatif, khawatir, kecemasan yang
berkelanjutan, kehilangan objektivitas, mengantipasi rasa takut . Aspek emosi
adalah kemurungan, agitasi, gelisah, lekas marah, ketidaksabaran,
ketidakmampuan untuk rileks, merasa tegang dan merasa di ujung tanduk, merasa
kewalahan, merasa kesepian dan isolasi, depresi atau ketidakbahagiaan. Aspek
fisik adalah sakit kepala atau sakit punggung, ketegangan atau kekakuan otot,
yang cepat, kehilangan berat badan atau berat badan naik, kulit berjerawat, sering
flu . Aspek behavioural adalah makan berlebihan atau kurang makan, tidur terlalu
banyak atau terlalu sedikit, mengisolasi diri dari orang lain, penundaan atau
mengabaikan tanggung jawab, menggunakan alkohol, rokok, atau obat-obatan
untuk bersantai, kebiasaan gugup (misalnya, menggigit kuku, mondar-mandir),
Teeth grinding atau mengepalkan rahang, aktivitas berlebihan (misalnya, berolahraga, belanja), reaksi berlebihan pada masalah tak terduga dan berkelahi
dengan orang lain.
Mayo Clinic (www.nlm.nih.gov/medlineplus/stress) mencatat bahwa
distres dapat dilihat pada tubuh, perasaan dan perilaku. Distres dapat dilihat pada
tubuh yaitu sakit kepala, sakit punggung, nyeri dada, penyakit jantung, jantung
berdebar-debar, tekanan darah tinggi, penurunan kekebalan, sakit perut dan
masalah tidur. Distres dapat dilihat pada perasaan yaitu anxietas, gelisah,
khawatir, mudah tersinggung, depresi, kesedihan, kemarahan, merasa tidak aman,
kurang fokus, kelelahan dan pelupa. Distres dapat dilihat pada perilaku yaitu
makan berlebihan atau kurang makan, ledakan kemarahan, penyalahgunaan obat
atau alcohol, peningkatan konsumsi rokok, penarikan diri dari dunia sosial,
menangis dan konflik dalam hubungan.
Hardjana (1994) mengungkapkan bahwa distres terdiri dari 4 aspek yaitu
fisik, emosi, intelektual dan interpersonal. Aspek fisik adalah mengenai sakit
kepala, tidur tidak teratur, sakit punggung, gatal-gatal pada kulit, urat tegang ter
utama bagian leher dan bahu, gangguan pencernaan, kelewat berkeringat, selera
gelisah, sedih, depresi, mood, berubah-ubah, gugup, mudah tersinggung dan
emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental. Aspek intelektual berupa
susah ber konsentrasi, sulit, membuat keputusan, mudah terlupa, pikiran kacau,
pikiran di penuhi oleh satu, pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, mutu
kerja rendah, dalam kerja dan membuat kekeliruan lebih banyak. Aspek
interpersonal berupa kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mengacuhkan
orang lain dan mengambil sikap terlalu membentengi diri.
b) Ciri-ciri Distres
Karakteristik dari distres menurut Kates (dalam Terluin B et al, 2006)
adalah kekhawatiran (worry), sifat lekas marah (irritability), ketegangan (tension),
lesu (listleness), konsentrasi yang kurang baik (poor concentration),
masalah-masalah tidur (sleeping problems) dan demoralisasi (demoralization).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa aspek-aspek
distres meliputi aspek fisik , aspek emosi, aspek intelektual dan aspek
interpersonal. Ciri-ciri distres meliputi kekhawatiran, sifat emosional, gangguan
pada konsentrasi dan masalah moral.
Penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek distres yang diungkapkan
oleh Hardjana (1994) yaitu aspek fisik, aspek emosi, aspek intelektual dan aspek
interpersonal.
3. Sumber Distres
Sumber-sumber distres menurut Smith, Ellen dan Jeanne S
sumber internal. Sumber-sumber distres eksternal yaitu perubahan hidup,
pekerjaan, hubungan kesulitan, masalah keuangan, kesibukan, anak-anak dan
keluarga. Sumber-sumber distres internal yaitu ketidakmampuan untuk menerima
ketidakpastian, pesimisme, pembicaraan intrapersonal yang negatif, harapan yang
tidak realistis, perfeksionisme, kurangnya ketegasan. Menurut Tatik.Wardhani
dalam intisari-online (www.intisari-online.com), daya tahan seseorang terhadap
stres merupakan salah satu sumber yang menentukan seseorang mengalami
distres. Johana dalam All About Stress (All-About-Stress.com) menyebutkan
bahwa pola piker dan emosi seseorang terhadap ancaman fisik atau psikologis
yang dihadapinya menjadi sumber terbentuknya distres.
Berdasarkan pendapat diatas, distres bersumber dari dua sumber yaitu sumber
eksternal yang berasal dari luar diri individu dan sumber internal yang berasal dari
diri individu sendiri.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distres
Graves, K et al (2007) menyatakan bahwa distres adalah multifaktorial.
Banyak segi dalam kehidupan seseorang berperan untuk membuat individu
mengalami distres, termasuk diantaranya:
a) Simptom-simptom psikis, keparahan penyakit yang mungkin dialami,
perawatan yang berkaitan dengannya
b) Tingkatan aktivitas fisik atau status penampilan
c) Dukungan sosial dan faktor-faktor psikologis seperti optimisme
e) Depresi yang dialami
Stres yang datang dapat menjadi eustres atau distres, dipengaruhi oleh
penilaian dan daya tahan seseorang terhadap hal, peristiwa, orang, dan keadaan
yang potensial atau netral kandungan daya stresnya (Hardjana, 1994). Sarafino, E
(1994) mengungkapkan bahwa penilaian seseorang tentang hal, peristiwa, orang
atau keadaan dipengaruhi oleh dua faktor pokok:
a) Pribadi
Faktor pribadi meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian.
Unsur intelektual berkaitan dengan sistem berpikir. Unsur motivasi berkaitan
dengan ancaman terhadap cita-cita hidup yang ditimbulkan oleh hal, peristiwa,
orang atau keadaan tersebut.
b) Situasi
Faktor situasi dapat tampil dalam beberapa bentuk. Bentuk pertama,
bila terdapat kandungan tuntutan berat dan mendesak. Bentuk kedua, bila hal itu
berhubungan dengan perubahan hidup. Bentuk ketiga, bila ada ketidakjelasan
(ambiguity) dalam situasi. Bentuk keempat, berhubungan dengan tingkat
diinginkannya (desirability) suatu hal. Bentuk kelima, berhubungan dengan
kemampuan orang untuk mengendalikan (controllability) hal tersebut.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi distres dipengaruhi oleh penilaian dan daya
tahan seseorang terhadap hal, peristiwa, orang, dan keadaan yang potensial atau
B. Self-Criticism
1. Pengertian Self-Criticism
Rosengren, C (2007) mengungkapkan self-criticism sebagai suatu cara
melihat diri sendiri, menemukan kekurangan dalam diri dan menguatkan pesan
bahwa diri sendiri tidak cukup baik. Self-Criticism menekan diri pada kesalahan
apa yang telah diperbuat, apa yang seharusnya dilakukan dengan lebih baik, apa
yang perlu dilakukan dengan cara yang berbeda lain kali, merasa frustasi terhadap
diri sendiri dan perasaan bahwa diri tidak cukup baik. Self-criticism adalah suatu
kritik internal dalam keadaan tidak realistik dan individu akan memiliki pemikiran
berbeda ketika kritikan tersebut tentang orang lain. Dick olney (dalam Rosengren,
C, 2007) mengatakan bahwa self-criticism adalah kebencian pada diri sendiri, dan
akan selalu menyerang diri sendiri tanpa pengecualian. Self-criticism adalah
kecenderungan untuk memusatkan perhatian dan menekankan pada aspek-aspek
negatif dari konsep diri seseorang, kehidupan seseorang atau umpan balik yang
negatif (Chang, E, 2007).
Self-criticism adalah bentuk maladaptif dari self-definition yang
dikarakterisasikan dengan self-regulation yang disertai oleh rasa bersalah dan
ketakutan akan celaan. Self-criticism membuat cara adaptasi individu menjadi
buruk. Orang yang memiliki self-criticism akan lebih mungkin memulai dan
mengatur pengejaran tujuan berdasarkan kemungkinan rasa bersalah dan harga
diri daripada minat dan makna personal. Orang yang memiliki self-criticism
persetujuan daripada pengejaran tujuan yang efektif (Shahar, dalam Powers, T.,
Richard.K dan David Z 2007).
Individu yang mengkritik diri sendiri dicirikan dengan perasaan tidak
berguna, inferior dan sikap mencermati diri sendiri dengan keras. Seseorang
dipercaya memiliki ketakutan kronis terhadap ketidaksetujuan dan kritikan dari
orang lain bersama dengan ketakutan akan kehilangan persetujuan atau
penerimaan dari orang lain yang berarti baginya (Blatt dan Schichman, dalam
Santor, A.D dan Aimée.A.Y, 2006). Self-Criticism dapat mempengaruhi sikap
individu dalam merespon kejadian-kejadian yang mengancam harga diri. Individu
yang mengkritik diri sendiri mungkin akan berusaha untuk melindungi diri
sendiri ketika harga diri seseorang terancam dengan membalas dendam kepada
teman-teman atau pasangan (Santor dan Zuroff, dalam Santor, A.D dan
Aimée.A.Y, 2006).
Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006)
mengemukakan bahwa self-criticism dapat dilihat sebagai bentuk gangguan diri
internal (internal self-harrasment), yang dapat secara tetap menstimulasi
penjagaan terhadap kepatuhan (submissive), cemas dan depresi, terutama jika
orang tidak dapat membela dirinya terhadapnya. Self-criticism adalah
menunjukkan sesuatu yang kritis atau penting dalam kepercayaan, pemikiran,
gerakan, perilaku atau hasil-hasil seseorang. Self-Criticism dapat membentuk
bagian dari privasi, pemikiran personal atau diskusi kelompok. Self-criticism
Self-criticism menunjuk pada salah satu isi dari “hati nurani” atau superego yaitu penilikan diri atau kritikan diri (Mappiare, 2006). Sedangkan
menurut VandenBos G.R (2007), self-criticism adalah pemeriksaan dan evaluasi
dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan kelemahan-kelemahan,
kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan.
Dari berbagai uraian di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa
self-criticism adalah bentuk gangguan diri internal yang berupa pemeriksaan dan evaluasi dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan kelemahan, kesalahan,
kekurangan diri sendiri yang disertai rasa bersalah dan ketakutan akan celaan.
2. Sumber-Sumber Self-Criticism
Menurut Andrew (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006) sumber-sumber
self-criticism yaitu
a) Modelling. Modelling adalah memperlakukan diri sendiri seperti yang diperlakukan orang lain pada dirinya.
b) Strategi atau perilaku aman dengan orang lain yang bersikap
bermusuhan.
c) Rasa malu.
d) Ketidakmampuan untuk menenteramkan diri.
e) Ketidakmampuan untuk menghibur diri ketika berada dalam ancaman.
g) Kekurangan skema internal orang lain sebagai orang yang aman dan
suportif dan atau sebagai respon ketakutan-kemarahan atau frustrasi yang
bertindak sebagai peringatan dalam menghadapi ancaman.
Menurut Gilbert (Gilbert, P et al, 2004), self-criticism dapat timbul dari
usaha-usaha untuk memperbaiki diri sendiri dan mencegah kesalahan, keluar dari
frustasi, atau dari kebencian pada diri.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
self-criticism berasal dari beberapa hal yaitu modelling, perilaku aman, rasa malu, usaha memperbaiki diri, ketidakmampuan untuk menentramkan diri dan
ktidakmampuan untuk memproses kemarahan.
3. Aspek-Aspek Self-Criticism
Menurut Gilbert, P et al (2004) terdapat 2 aspek untuk mengukur
self-criticism yaitu
a) Inadequate Self
Inadequate Self mencakup perasaan dalam diri individu yang tertekan
secara internal dan menimbulkan perasaan inadequate (merasa tidak mampu)oleh
kegagalan dan kemunduran yang dialami individu. Inadequate Self berfokus pada
perasaan ketidakcakapan individu dan perasaan individu bahwa ia telah
terkalahkan. Inadequate Self juga melingkupi perasaan bahwa individu merasa
pantas untuk dikritik dan pemikiran bahwa individu mengingat dan larut dalam
b) Hated Self
Hated Self merangkum respon yang lebih destruktif dan berdasarkan kemuakan diri pada kemunduran yang dialami dikarakteristikkan oleh
ketidaksukaan pada diri (self-dislike) dan hasrat agresif atau sadistis atau
penyiksaan (persecution) kepada diri sendiri. Hated Self Berfokus pada rasa
kemarahan pada diri atau self-hatred.
Cox et al (2004) mengungkapkan bahwa aspek dari self-criticism yaitu
self-blame yaitu merupakan salah satu penilaian negatif kognitif, feelings of worthlesness and guilt, Perceived personal weakness dan Perasaan bahwa telah gagal untuk berbuat sesuai dengan harapan semula.
Thompson dan Zuroff (dalam Gilbert, P et al, 2004) mengukur
self-criticism dalam dua aspek, yaitu
a) Comparative Self-Criticism (Com S.C)
Adalah pandangan negatif dari diri dalam perbandingannya dengan orang
lain. Comparative Self-criticism merefleksikan kepedulian akan keadaan sosial.
Item-item dalam Comparative Self-criticism termasuk ketidaknyamanan dalam
situasi sosial dimana individu tidak sepenuhnya mengetahui apa yang akan terjadi
dan ketakutan akan kehilangan penghargaan dari orang lain apabila seseorang
terlalu mengetahui diri individu yang bersangkutan.
b) Internalized Self-criticism (Int.S.C)
Adalah pandangan negatif dari diri dalam perbandingannya dengan standar
kesedihan mendalam ketika mengalami kegagalan dan perasaan keraguan akan
nilai diri ketika mengalami kegagalan.
Aspek self-criticism yang akan peneliti gunakan adalah aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Gilbert, P et al (2004) yaitu Inadequate Self dan Hated Self.
4. Konsep Self-Criticism
Beck (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa kognisi, emosi dan
elemen-elemen pondasi psikologis dapat dihubungkan dalam modes (cara-cara).
Aktivasinya seiring dengan berjalannya waktu , mempengaruhi kemunculan
tipe-tipe tertentu dari skema diri yang lain sebagai kompetensi kognitif yang beragam
untuk hubungan diri dengan yang lain (misalnya kesadaran diri dan teori-teori
tentang pikiran) dan berkembang dengan kematangan.
Gilbert, P (2005) menghubungkan self-criticism ke dalam bentuk
hubungan self-to-self internal yang berakar pada system-sistem penyusun hal-hal
yang berhubungan dengan sosial yang disebut teori mentalitas sosial.
Gilbert (dalam Gilbert, P et al, 2006) mengungkapkan bahwa elemen yang
lebih jauh dari skema-skema diri yang lain , berhubungan dengan evolusi dari
sistem pembentukan peran dan ditentukan secara sosial. Sistem pembentukan
peran mengarah pada mentalitas sosial. Mentalitas sosial membimbing orang
untuk menciptakan tipe-tipe tertentu dari peran-peran dengan orang lain (contoh:
kelekatan anak, perlindungan orangtua, pertemanan, persekutuan atau hubungan
seksual), membimbingnya dalam interpretasi terhadap peran sosial orang lain
peduli, seksual, ramah atau kompetitif terhadap dirinya) dan juga membimbing
respon-respon afektif dan behavioral (contoh: jika orang lain ramah maka respon
yang timbul adalah mendekati dan berlaku ramah juga, jika orang lain bersikap
bermusuhan maka respon yang timbul adalah menyerang atau menghindari).
Orang dapat mengatasi kegagalannya dengan lebih baik jika dirinya memiliki
akses kepada skema suportif untuk dirinya sendiri dan atau orang lain. Tingkatan
dimana orang dapat mengakses kehangatan dan dukungan, atau menghukum diri
dan kritis pada diri, skema hubungan orang lain ke diri sendiri dan diri ke diri
sendiri dan ingatan-ingatan memiliki sikap pokok pada respon emosi dan sosial
terhadap kejadian-kejadian yang ada.
Sistem-sistem internal manusia berguna untuk merespon isyarat-isyarat
sosial eksternal (contohnya perasaan relaks dan suportif terhadap isyarat-isyarat
sosial yang positif, atau takut, malu dan patuh terhadap isyarat-isyarat ancaman
dari orang lain yang sangat kuat) terkait dengan mentalitas sosial sehingga dapat
juga menjadi pola, dengan prosedur implicit untuk memproses dan merespon
sinyal-sinyal internal. Baldwin (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa
skema-skema interpersonal (diri dalam hubungannya dengan orang lain)
membentuk dasar untuk evaluasi dan pengalaman-pengalaman hubungan internal
diri berikutnya.
Constantines dan Michelle luke (dalam Chang, E, 2007) membedakan
antara dua motif evaluasi diri, yaitu Self-enhancement dan self-assessment. Motif
Kebalikannya, motif self-assessment menggerakkan pikiran dan tingkah laku ke arah pemeliharaan, perlindungan dan peningkatan keakuratan konsep diri. Kedua
motif ini mempunyai pengaruh yang bersifat memaksa yang seringnya berlawanan
pada proses informasi yang berkenaan dengan diri. Dua motif ini diaktivasi dan
bersaing pada proses seleksi dari informasi. Self-enhancement adalah
kecenderungan untuk fokus dan menekankan aspek-aspek positif dari konsep diri
seseorang (misalnya sifat, kemampuan dan cita-cita), kehidupan seseorang
(misalnya kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diinginkan, kapasitas
untuk mengendalikan kejadian-kejadian macam itu) atau informasi yang
berkenaan dengan diri yang baru masuk (misal umpan balik). Salah satu produk
dari self-assessment adalah self-criticism. Orang akan mempertanyakan maksud
dirinya ketika memilih keakuratan daripada kepositifan informasi atau
pengetahuan diri. Individu melampaui informasi yang diberikan dan ikut serta
dalam pencarian autobiografis yang dalam dan obyektif, juga mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai orang macam apa individu sebenarnya
dan berakhir dengan mengkritik diri individu sendiri. Self-assessment dapat
menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah
laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau cita-cita seseorang.
Ketika individu menyerang dan mengkritik diri sendiri, kemungkinan
mengaktivasi beberapa cara otak yang sama dengan ketika individu melakukannya
pada orang lain. Greenberg, Elliot dan Foerster (dalam Gilbert, P et al, 2006)
berpendapat bahwa depresi lebih mungkin pada individu yang tidak dapat
individu merasa kalah dan ditaklukkan oleh sikap tersebut dan secara patuh
menerima self-criticism. Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P et al, 2006)
menemukan bahwa orang dengan self-criticism yang tinggi sering tunduk pada
self-criticism individu sendiri, dan tidak dapat meniadakan sikap individu yang menyerang diri individu sendiri.
Blatt dan Homann (dalam Irons et al, 2006) mencatat bahwa self-criticism
berkembang dari kecemasan-kecemasan akan kehilangan persetujuan orangtua
yang bersikap kasar, memiliki sifat menghukum, yang juga kekurangan
kehangatan emosi. Koestner, Zuroff dan Powers (dalam Irons et al, 2006)
menemukan bahwa anak yang memiliki orangtua yang bersikap membatasi dan
menolak secara berlebihan lebih mungkin untuk menjadi pribadi yang mengkritik
diri sendiri.
Baldwin (dalam Gilbert, P et al, 2006) berpendapat bahwa
pengalaman-pengalaman dalam hubungan-hubungan, memberikan skema interpersonal yang
menjadi sumber hubungan dengan diri sendiri (self-relating) yang adalah bahwa
individu mungkin berpikir tentang diri sendiri dan memperlakukan diri sendiri
dengan cara yang dilakukan orang lain padanya.
Hermans, H dan Dimaggio, G (2004) mengatakan bahwa self-criticism
tidak hanya berisi kumpulan dari kepercayaan dan pemikiran yang dipegang
mengenai diri atau diarahkan pada diri dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan
peringatan-peringatan. Hal yang terinternalisasi dalam self-criticism lebih dari
cemoohan dan penolakan yang adalah kecenderungan aksi dari emosi-emosi
seperti kebencian dan kemuakan.
Greenberg (dalam Gilbert.P, 2004) yang pertama menyatakan dengan
jelas bahwa ketidakmampuan untuk membela diri dan merasa terkalahkan oleh
self-criticismnya,yang terkandung di dalam self-criticism adalah suatu hal yang penting dalam respon afeksi. Beberapa kasus menunjukkan seperti ada pertikaian
yang berlangsung dalam diri dan kebencian pada diri.
Berdasarkan hal-hal di atas konsep self-criticism dapat disimpulkan
berasal dari sistem-sistem internal manusia yang berguna untuk merespon
isyarat-isyarat sosial eksternal. Hal ini terkait dengan mentalitas sosial sehingga dapat
juga menjadi pola prosedur implisit untuk memproses dan merespon sinyal-sinyal
internal skema-skema interpersonal (diri dalam hubungannya dengan orang lain)
membentuk dasar untuk evaluasi dan pengalaman-pengalaman hubungan internal
diri berikutnya. Dua motif evaluasi diri adalah self-enhancement dan
self-assessment. Self-assessment dapat menghasilkan kecenderungan self-criticism terhadap ciri kepribadian, tingkah laku, keahlian, kemampuan, kebiasaan atau
cita-cita seseorang.
C. Hubungan Antara Self-criticism dengan Distres
Distres merupakan bentuk respon negatif terhadap stres yang dialami oleh
individu. Carlson, R (2002) mengungkapkan bahwa distres bukanlah sesuatu yang
terjadi terhadap seseorang melainkan sesuatu yang dibuat dari dalam pikirannya
serta akibat-akibat lain yang tidak menguntungkan. Perbincangan diri positif akan
mengarah ke pencapaian hasil yang diinginkan dan membangkitkan perasaan yang
menyenangkan (Lazarus dan Lazarus, 2005). Tindakan ini memperburuk stres dan
pada akhirnya mengurangi efektifitas seseorang.
Proses evaluasi negatif dalam diri mendatangkan respon stres (Dickerson
dan Kemeny, dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006). Proses penilaian kognitif
berperan penting dalam menentukan jenis stres yang mana yang akan dialami oleh
individu (Sarafino, E, 1990). Pemikiran self-criticism merupakan salah satu
penilaian kognitif yang negatif (Cox et al, 2004). Remaja yang memiliki gaya
kognitif self-criticism dalam menghadapi kejadian-kejadian stres lebih mungkin
memiliki sikap menghukum diri sendiri (Glassman, L.H et al, 2007).
Menurut Gilbert dan Irons (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006),
self-criticism dapat mengarah pada banyak gangguan, meningkatkan sifat mudah terkena sakit, ekspresi dampak dari simptom-simptom dan meningkatkan resiko
kambuh. Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P dan Procter, S, 2006)
mengemukakan bahwa aspek-aspek patologis dari self-criticism tidak hanya
berhubungan dengan isi pikiran tetapi juga dengan dampak dari kemarahan dan
kemuakan yang mengarah pada diri sendiri dalam criticism. Gilbert, P dan
Procter, S (2006) mengemukakan bahwa kualitas patogenik dari self-criticism ada
pada dua kunci proses yaitu tingkat permusuhan yang diarahkan pada diri sendiri,
rasa jijik, dan rasa benci pada diri sendiri yang menimbulkan self-criticism dan
ketidakmampuan relatif untuk menghasilkan perasaan kehangatan hati,
Whelton dan Greenberg (dalam Gilbert, P et al, 2006) menyatakan bahwa
ada individu yang ketika mengalami distres memiliki prosedur implicit yang
sedikit dalam menstimulasi sikap penentraman hati (self-soothing). Individu
dengan self-criticism memiliki kesulitan untuk merasa lega, tenang atau aman.
Penelitian membuktikan bahwa sistem regulasi afeksi (affect regulation system)
khusus menyokong perasaan tenang, aman dan sejahtera. Sistem ini kurang baik
dicapai oleh individu yang memiliki self-criticism tinggi (Gilbert, 2009). Gilbert
dan Irons (2004) mengungkapkan bahwa orang-orang yang memiliki self-criticism
mengalami distres ketika diminta untuk membangkitkan gambaran-gambaran dan
perasaan-perasaan suportif untuk diri sendiri.
Sekides dan Luke (dalam Chang, E, 2007) menyatakan bahwa ada banyak
bukti dari akibat-akibat self-criticism yang merusak, tidak hanya psikologis tetapi
juga kesehatan fisik. Self-criticism yang berulang berhubungan dengan mood
negatif dan keputusasaan (Santor dan Patterson dalam Chang, E, 2007), Aspek
depresi (Besser dan Priel dalam Chang, E, 2007), depresi mayor (Cox,
McWilliams, Enns dan Clara dalam Chang, E,2007), rasa malu dan menimbulkan
peningkatan aktivitas proinflamatori sitokinin dan tingkat kortisol, bersama
dengan perasaan malu (Dickenson, Gruenewald dan Kemedy, dalam Chang, E
2007).
Freud (dalam Gibert et al, 2004) berpendapat bahwa self-devaluation dan
self-criticism timbul dari serangan-serangan superego pada ego dan usaha-usaha untuk melindungi orang yang memerlukannya dari kemarahan. Gilbert (dalam
perasaan-perasaan self-criticism dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk dari ” usikan atau
gangguan atau godaan yang muncul dari dalam diri (inner harrasment)” yang
menyebabkan distres. Orang yang memiliki self-criticism jika mendapatkan
bantuan untuk mengurangi self-criticism individu (mengurangi ancaman internal
dan menjadi lebih dapat menghibur diri menentramkan diri individu dan orang
lain) maka distres yang ada pun akan berkurang (Gilbert dan Irons , dalam Mills,
A et al, 2007).
Orang yang membangkitkan self-criticism maka “suara kritik dalam diri”
tersebut dapat juga menstimulasi stres dan membuat orang tersebut merasa
dikalahkan (Gilbert, P dan Procter, S, 2006). Orang yang mengakses
pikiran-pikiran negatif (self-attacking) dengan mudah menjadi lebih tertekan (Teasdale,
dalam Gilbert, P et al, 2004). Orang yang memiliki self-criticism mengalami
kesulitan untuk menghibur diri individu sendiri (Gilbert, P dan Procter, S, 2006)
padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Rockliff et al (2008), orang yang
berhasil menggunakan sikap menghibur atau menenangkan diri sendiri mengalami
penurunan kortisol, meunujukkan dampak penentraman dalam axis HPA.
Self-criticism berhubungan dengan peningkatan axis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenokortisol) dan pelepasan kortisol (Mason, dalam Rockliff et al,2008).
Ketika seseorang berada dalam distres, jumlah kortisol yang beredar dalam tubuh
tinggi (Talbott, 2004). Masalah-masalah dalam hubungan keluarga, fungsi emosi,
kekurangan informasi terhadap suatu hal dan penanganannya, fungsi fisik dan
fungsi kognitif berhubungan dengan kasus-kasus distres yang banyak (Graves, K
menyebutkan bahwa orang yang memiliki self-criticism merasakan bahwa self-criticism individu muncul secara otomatis, kuat, sukar untuk dihindari, bersifat intrusive (mengganggu) dan menimbulkan distres.
Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya hubungan antara self-criticism
dengan distres. individu dengan self-criticism mengalami kesulitan dalam upaya
menenangkan dirinya sendiri apabila mengalami stres. Individu yang memiliki
self-criticism akan bereaksi terhadap stres dengan lebih negatif dan lebih merasa tertekan.
D. Kerangka Pemikiran
Remaja memiliki karakteristik khas perkembangan. Salah satu
karakteristik tersebut adalah karakteristik idealis. Remaja menetapkan standar
ideal atau kualitas pribadi yang harus dimilikinya. Standar ini seringkali lebih dari
apa yang mampu ia lakukan sehingga seringkali standar ini tidak tercapai seperti
yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mendorong remaja untuk terus
memperbaiki performanya dengan melakukan evaluasi diri yang dapat
mengarahkannya pada self-criticism. Self-criticism yang dilakukan remaja dapat
menimbulkan ketertekanan dalam diri remaja sehingga ketika ada kejadian stres,
respon yang timbul adalah distres.
E. Hipotesis
Hipotesis yang melandasi penelitian ini adalah Ada hubungan positif
antara self-criticism dengan distres pada remaja dimana ketika self-criticism tinggi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel 1. Variable tergantung dari penelitian ini adalah distres
2. Variable bebas dari penelitian ini adalah self-criticism
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Distres
Distres adalah reaksi negatif dan merusak dari stres akibat
ketidakmampuan dalam pemecahan masalah untuk mengelola stres, yang tidak
hanya mengenai gangguan fungsional organ-organ tubuh tetapi juga berdampak
pada kejiwaan, yang berkorelasi secara psikologis dengan pengaruh yang kuat dari
stresor. Distres diukur dengan skala yang dibuat oleh peneliti berdasarkan
aspek-aspek distres yang dikemukakan oleh Hardjana (1994) yaitu fisikal, emosional,
intelektual dan interpersonal. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin
tinggi pula distres yang dialami.
2. Self-Criticism
Self-criticism adalah bentuk gangguan diri internal yang berupa
pemeriksaan dan evaluasi dari perilaku seseorang dengan pengenalan akan
kelemahan, kesalahan, kekurangan diri sendiri yang disertai rasa bersalah dan
peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yaitu
Inadequate Self dan Hated Self. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin
tinggi pula self-criticism yang dialami.
C. Populasi, Sampel, Dan Sampling
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 3 Surakarta.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini mengambil 3 kelas dari 10 kelas
pada kelas XI SMA Negeri 3 Surakarta, yang berjumlah 96 orang. Teknik sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling (Suryabrata.
S , 2003). Cara yang digunakan dalam pemilihan adalah dengan undian. Undian
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membuat suatu daftar yang berisi semua kelas yang ada dalam
populasi.
b. Memberikan kode-kode yang berupa angka-angka untuk tiap-tiap kelas
yang dimaksudkan.
c. Menuliskan masing-masing kode ke dalam lembar kertas kecil-kecil.
d. Menggulung kertas yang sudah berisikan kode.
e. Memasukkan gulungan-gulungan kertas ke dalam kaleng atau
semacamnya
f. Mengocok kaleng yang berisi gulungan-gulungan kertas.
Jumlah kelas digunakan untuk penelitian sebanyak 3 kelas dari
keseluruhan 11 kelas yang ada, sedangkan 2 kelas yang lain akan digunakan untuk
try out.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala
pengukuran psikologis. Adapun skala yang digunakan ada 2 skala yaitu skala
distres dan skala self-criticism.
1. Skala distres. Skala ini digunakan untuk mengukur distres yang
dialami subyek penelitian. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan
aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hardjana (1994) yaitu fisikal, emosional,
intelektual dan interpersonal.
Skoring item skala ini menggunakan sistem penilaian skala Likert yang
terdiri dari 5 alternatif jawaban yang telah dimodifikasi menjadi 4 alternatif
jawaban yaitu dengan cara menghilangkan alternatif jawaban ragu-ragu. Untuk
item-item favorabel skor untuk jawaban: 4 (sangat sesuai), 3 (sesuai), 2 (tidak
sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Untuk item-item unfavorabel menggunakan skor
jawaban 4 (sangat tidak sesuai), 3 (tidak sesuai), 2 (sesuai), 1 (sangat sesuai).
Perhitungannya adalah semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi
Tabel 1
Blueprint Skala Distres
Nomor Aitem No Ciri-ciri Indikator
Favourable Unfavorable
Jumlah
1 fisikal a. sakit kepala b. tidur tidak teratur c. sakit punggung d. gatal-gatal pada kulit
e. urat tegang terutama bagian leher dan bahu
f. gangguan pencernaan g. serangan jantung h. kelewat berkeringat i. selera makan berubah
j. lelah atau kehilangan daya energi
2 emosional a. gelisah b. sedih c. depresi
d. mood berubah-ubah e. gugup
f. mudah tersinggung
g. emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental
27, 29, 21,
3 intelektual a. susah berkonsentrasi b. sulit membuat keputusan c. mudah terlupa
d. pikiran kacau
e. pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja
f. kehilangan rasa humor yang sehat
g. mutu kerja rendah
h. dalam kerja membuat ke keliruan lebih banyak.
4 Inter personal a. kehilangan kepercayaan kepada orang lain
b. mengacuhkan orang lain
c. mengambil sikap terlalu
membentengi dan
2. Skala Self-Criticism. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yaitu Inadequate
Self dan Hated Self.
Skoring item skala ini menggunakan sistem penilaian skala Likert yang
item-item favorabel skor untuk jawaban: 4 (sangat sesuai), 3 (sesuai), 2 (tidak
sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Untuk item-item unfavorabel menggunakan skor
jawaban 4 (sangat tidak sesuai), 3 (tidak sesuai), 2 (sesuai), 1 (sangat sesuai).
Perhitungannya adalah semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi
pula sikap yang diukur.
Tabel 2
Blueprint Skala Self-Criticism Nomor Aitem dan perasaan individu bahwa ia telah terkalahkan
ketidaksukaan pada diri ( self-dislike) dan hasrat agresif atau sadistis atau penyiksaan (persecution) kepada diri sendiri
35, 31,39, 38,
E. Validitas Dan Reliabilitas 1. Validitas
Validitas dikonsepkan sebagai sejauhmana tes mampu mengukur atribut yang
seharusnya diukur. Validitas skala distres dan skala self-criticism dalam penelitian
ini menggunakan review professional judgement. Langkah selanjutnya adalah
prosedur seleksi aitem berdasarkan data empiris dengan melakukan analisis
kuantitatif terhadap parameter-parameter aitem. Pada tahap ini dilakukan seleksi
aitem berdasarkan daya diskriminasinya. Daya diskriminasi aitem adalah
sejauhmana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu
diskriminasi aitem dalam penelitian ini menggunakan korelasi product moment
pearson.
2. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama instrumen
pengukuran yang baik. Reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu
pengukuran (Azwar,2007). Reliabilitas dinyatakan dengan koefisiensi reliabilitas
(rxx’) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi
koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas.
Sebaliknya koefisien reliabilitas yang semakin rendah mendekati 0 berarti
semakin rendah reliabilitas.
Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan formula Alpha Cronbach
yaitu dengan membelah aitem-aitem sebanyak dua atau tiga bagian, sehingga
setiap belahan berisi aitem dengan jumlah yang sama banyak. Alpha Cronbach
mempergunakan data yang yang diperoleh dari skala yang dikenakan hanya sekali
saja pada sekelompok responden (Azwar, 2003). Pengukuran reliabilitas dalam
penelitian selanjutnya perhitungannya akan menggunakan jasa Statistical Product
and Service Solution (SPSS) version 15.0 for windows.
F. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi product
moment . Korelasi product moment digunakan untuk menguji hipotesis hubungan
digunakan berbentuk interval atau rasio (Sugiyono, 2007). Penghitungan data
selanjutnya akan menggunakan jasa Statistical Product and Service Solution
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
SMA Negeri 3 Surakarta memiliki dua gedung sekolah yang berada di jalan
Prof. W Z.Johanes 58 Surakarta dan jalan R.E.Martadinata Surakarta. Penelitian
hubungan self-criticism dengan distres dilakukan di SMA Negeri 3 Surakarta yang
beralamatkan di Prof. W Z.Johanes 58 Surakarta. SMA Negeri 3 Surakarta .
a. Visi dan Misi SMA Negeri 3 Surakarta
SMA Negeri 3 Surakarta memiliki motto : ”Widya Karma Jaya” yang
berarti ungul dalam ilmu dan perbuatan/budi pekerti. Visi dan misi serta tujuan
pendidikannya adalah sebagai berikut :
1) Visi : terwujudnya akhlak mulia dan semangat berprestasi dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, komunikasi internasional dan seni budaya menuju
sekolah unggul yang berwawasan internasional. Indikator Visi:
a) Tertingkatnya akhlak bagi siswa
b) Tertingkatnya prestasi siswa pada bidang sains, teknik, komunikasi
internasional dan seni.
2) Misi :
a) Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang berorientasi
pada mutu dan relevansi menuju standar internasional.
b) Menyelenggarakan pembelajaran dengan menerapkan
prinsip-prinsip “Active Learning” berbasis pada IT dan penerapan
“Bilingual” untuk mata pelajaran tertentu.
c) Menyelenggarakan pembinaan kesiswaan melalui berbagai
kegiatan yang mendukung berkembangnya kecerdasan, kreativitas,
akhlak mulia dan kompetitif dalam skala internasional dengan tetap
berwawasan budaya nasional.
d) Mewujudkan kerjasama dan partisipasi masyarakat baik nasional
maupun internasional yang lebih bermakna, untuk percepatan
berkembangnya sekolah.
e) Menyelenggarakan pengelolaan sekolah secara profesional,
partisipasif, transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip-prinsip
manajemen berbasis sekolah.
Untuk mewujudkan misi tersebut, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Meningkatkan kedisplinan Guru, Staf Tata Usaha dan Siswa.
b) Meningkatkan kualitas bidang akademik (pembelajaran), dengan
berbasis IT dan Bilingual.
c) Meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait baik skala nasional
d) Wawasan Keilmuan yang berupa penulisan karya-karya ilmiah,
riset-riset sederhana baik dalam bidang MIPA maupun bidang
Sosial, serta meningkatkan kualitas bidang non-akademik, yakni
kegiatan ekstrakulikuler yang berupaya meningkatkan
bakat-prestasi seperti olahraga kesenian, keorganisasian, dan lain-lain.
3) Tujuan Pendidikan :
Tujuan pendidikan yang dikembangkan di SMA Negeri 3 Surakarta adalah
a. Memberi layanan kepada siswa yang berpotensi untuk mencapai
prestasi bertaraf nasional dan internasional.
b. Menyiapkan lulusan SMA Negeri 3 Surakarta yang mampu
berperan aktif dalam masyarakat global.
c. Menyiapkan lulusan SMA Negeri 3 Surakarta yang memiliki
kompetensi seperti yang tercantum dalam Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) yang diperkaya dengan SKL berciri internasional.
d. Lulusan SMA Negeri 3 Surakarta menjadi:
i. Individu yang nasionalis dan berwawasan global
ii. Individu yang cinta damai dan toleran.
iii. Pemikir yang kritis, kreatif dan produktif.
iv. Pemecah masalah yang efektif dan inovatif.
v. Komunikator yang efektif.
vi. Individu yang mampu bekerjasama.
Ekstrakulikuler yang ada di SMA Negeri 3 Surakarta antara lain Wikarya,
PMR, Palasmaga, Rohanian Islam, Rohanian Katholik dan Kristen, Teater dan
PKS. Jumlah seluruh siswa SMA Negeri 3 Surakarta sebanyak 1211 orang
meliputi 38 rombongan belajar. SMA Negeri 3 Surakarta telah ditunjuk oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional) untuk semua rombongan belajar kelas X. SMA Negeri 3 Surakarta
selalu berusaha meningkatkan pelayanan yang sesuai dengan harapan masyarakat
dan dapat melahirkan lulusan yang berkualitas dan ikut aktif berkiprah dalam
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan
terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah berkaitan dengan perijinan dan
penyusunan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian ini
memerlukan dua alat ukur yaitu skala self-criticism dan skala distres. Diperlukan
persiapan yang matang agar kedua alat ukur tersebut layak dan siap digunakan.
Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini telah melalui prosedur
validitas alat ukur melalui pengujian validitas isi. Validitas isi dilakukan dengan
melihat kesesuaian antara butir-butir item dalam alat ukur dengan blue-print yang
telah ditentukan sebelumnya. Selain itu validitas isi juga melihat kesesuaian
aitem-aitem dengan indikator perilaku yang hendak diungkap. Validitas isi ini
3. Pelaksanaan Uji-coba Penelitian
Uji-coba penelitian dilakukan pada hari Senin tanggal 8 November 2010
dan Selasa 9 November 2010. Sebelum siswa-siswi melakukan pengisian skala
penelitian, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud
kedatangan serta tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Setelah subjek penelitian
menyatakan kesediaan untuk membantu, kemudian baru peneliti menjelaskan
tentang tata cara pengerjaan skala dan memberikan contoh cara mengerjakan.
Pengisian skala dilakukan pada awal jam pelajaran Bimbingan karir. Selama
subjek mengerjakan skala penelitian, peneliti selalu berada di lokasi penelitian
hingga subjek selesai mengerjakan dan mengumpulkan skala kembali. Setelah
skala terkumpul dilakukan skoring, kemudian dilakukan analisis daya beda dan
reabilitasnya.
4. Analisis Daya Beda dan Reliabilitas Skala
Setelah uji-coba skala dilakukan, selanjutnya data yang diperoleh
ditabulasikan dan dianalisis untuk mengetahui daya beda dan reliabilitas alat ukur.
Daya beda aitem skala self-criticism dan skala distres dilakukan dengan
menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson, sedangkan
perhitungan reliabilitas dihitung dengan Cronbrach’s Alpha. Perhitungan daya
beda dan reliabilitas skala pada pendekatan ini menggunakan program analisis
daya beda dan reliabilitas butir program statistik SPSS 16.0 for Windows untuk
menentukan aitem yang gugur dan valid. Hasil uji daya beda aitem dan reabilitas
a. SkalaDistres
Skala distres yang berjumlah 63 aitem diuji-cobakan pada 45 subjek.
Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, skala distres yang diuji-cobakan
mempunyai nilai korelasi Pearson sebesar –0,152 sampai dengan 0,655. Peneliti
menetapkan taraf signifikansi sebesar 5% sebagai pedoman untuk memilih aitem.
Aitem dengan probabilitas di bawah 0,05 dianggap gugur dan selanjutnya tidak
digunakan dalam penelitian, sehingga dari 63 aitem ditemukan 44 aitem yang
dapat memenuhi syarat untuk dianalisis. Aitem dengan nomor 4, 5, 11, 14, 15, 32,
33, 34, 40, 41, 43, 44, 48, 50, 55, 56, 57, 58 dan 59 dinyatakan gugur.
Analisis reliabilitas skala menunjukkan bahwa skala distres mempunyai
nilai reliabilitas sebesar 0,89. Dengan demikian, skala distres dianggap andal
sebagai alat ukur penelitian. Ringkasan selengkapnya dapat dilihat pada tabel
Tabel 3
Distribusi Aitem Valid dan Aitem Gugur Skala Distres Setelah Uji Coba
Aitem Valid Aitem Gugur
No Aspek Indikator Bentuk
Pernyataan No. Aitem Jumlah Aitem 2. Emosional a. gelisah
b. sedih
3. Intelektual a. susah ber konsentrasi
Unfavourable 38 1 40,41,43, 48
4 5
Favourable 53, 54, 60, 61, 62, 63
6 55,56,59 3 9
b. Skala Self-criticism
Skala self-criticism yang berjumlah 52 aitem diuji-cobakan pada 45
subjek. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, skala self-criticism yang
diuji-cobakan mempunyai nilai korelasi Pearson sebesar –0,05 sampai dengan
0,788. Peneliti menetapkan taraf signifikansi sebesar 5% sebagai pedoman untuk
memilih aitem. Aitem dengan probabilitas di bawah 0,05 dianggap gugur dan
selanjutnya tidak digunakan dalam penelitian, sehingga dari 52 aitem ditemukan
42 aitem yang dapat memenuhi syarat untuk dianalisis. Aitem dengan nomor 2, 3,
7, 21, 25, 26, 29, 30, 34, dan 43 dinyatakan gugur.
Analisis reliabilitas skala menunjukkan bahwa skala self-criticism
mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,923. Dengan demikian, skala self-criticism
dianggap andal sebagai alat ukur penelitian.
Tabel 4
Distribusi Aitem Valid dan Aitem Gugur Skala Self-criticism Setelah Uji Coba
Aitem Valid
Aitem Gugur Total
No Aspek Indikator Bentuk
Pernyataan
Favourable 35, 31,39,
38, 40,
2. Hated Self ketidaksukaan pada
diri (self-dislike) dan
hasrat agresif atau sadistis atau penyiksaan
(persecution) kepada diri sendiri
UnFavourable
36, 44,
48, 50, 51 5 43 1 6
Total 42 10 52
5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian dengan Nomor Urut Baru
Setelah dilakukan perhitungan validitas dan reliabilitas pada skala
self-criticism dan skala distres, maka langkah selanjutnya adalah menyusun kembali
skala self-criticism dan skala distres sebagai alat ukur. Aitem yang gugur tidak
diikutsertakan dan aitem yang valid disusun dengan urutan yang baru untuk
digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini. Susunan aitem setelah uji-coba
Tabel 5
Distribusi Penyusunan Aitem Valid Skaladistres dengan Nomor Urut Baru untuk Penelitian
No Aspek Bentuk Pernyataan Aitem Jumlah
Favourable 3(6), 9(26), 16(12), 1(2),
Keterangan : Nomor aitem yang dicetak tebal dan berada di dalam kurung (...) merupakan aitem yang Valid dan diberi nomer urut baru.
Tabel. 6
Distribusi Penyusunan Item Valid Skala Self-criticism dengan Nomor Urut Baru untuk Penelitian
Aitem Valid
No Aspek Indikator
Aitem Jumlah
1. Inadequate Self
UnFavourable 5(38), 11, 15(30) 3
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 3 Surakarta
kelas XI jumlah total populasi sebanyak 390 orang dengan sampel sebanyak 96
orang pada 3 kelas XI yaitu kelas XI-IPA 5, 6, dan 7. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Subjek
penelitian terdiri dari 34 subjek pada kelas XI – IPA 5, 30 subjek pada kelas
XI-IPA 6, dan 32 subyek pada kelas XI-XI-IPA 7. Rincian subjek yang digunakan dalam
penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel. 7
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 25 November 2010 dan 27
November 2010 dengan menggunakan skala self-criticism yang terdiri dari 42
aitem, dan skala distres yang terdiri dari 44 aitem. Pembagian dan pengisian skala
dilakukan pada awal jam pelajaran bimbingan karir selama 15-20 menit. Sebelum
subyek melakukan pengisian skala penelitian, peneliti terlebih dahulu
memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan serta tujuan kegiatan
yang akan dilakukan. Setelah subjek penelitian menyatakan kesediaan untuk
membantu, kemudian baru peneliti menjelaskan tentang tata cara pengerjaan skala