• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kegiatan PNPM Mandiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kegiatan PNPM Mandiri"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kegiatan PNPM Mandiri

Secara umum PNPM dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Selain itu, PNPM Mandiri diharapkan dapat meningkatkan sinergi antara masyarakat dan pemerintah daerah dalam rangka lebih mengefektivkan upaya-upaya pengurangan kemiskinan (LP3S & World Bank 2007).

PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat.

PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan dana stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.

Tujuan umum PNPM Mandiri adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan meningkatkan kesempatan kerja. Tujuan umum dapat dijabarkan dalam tujuan khusus di antaranya (1) Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang belum dilibatkan secara optimal dalam proses pembangunan; (2) Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor budgeting); (3) Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat serta pemerintah daerah serta kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya; (4) Meningkatkan modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal; (5) Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi

(2)

tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat (Ditjen PMD 2008).

Pada pelaksanaan operasional kegiatan PNPM Mandiri menekankan prinsip-prinsip dasar otonomi, desentralisasi, partisipasi, kesetaraan dan keadilan gender, demokratis, transparansi dan berorientasi pada masyarakat miskin (Ditjen PMD 2008).

Dalam konteks aplikasi kegiatan PNPM Mandiri dapat digambarkan dalam Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1. Alur kegiatan PNPM Mandiri

Gambar 1 Di atas menunjukkan bahwa konsep PNPM Mandiri adalah program berbasis masyarakat. Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan pemetaan swadaya (PS). Pemetaan swadaya dilakukan oleh masyarakat yang telah diberikan pelatihan. Hasil dari pemetaan swadaya masyarakat meliputi berbagai tiga aspek besar yaitu: bidang kondisi fisik lingkungan warga, sosial dan ekonomi warga. Hasil pemetaan ini merupakan sumber dalam pembuatan Program Jangka Menengah (PJM) dan Rencana Tahunan (Renta). Program Jangka Menengah dan Renta dibuat oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang memiliki badan hukum. Selanjutnya PJM dan Renta yang sudah disepakati bersama masyarakat diaplikasikan dalam program aksi yang dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

Pelaksanaan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga dimulai sejak tahun 2007, dengan nama Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Program ini memiliki tiga sasaran yaitu: (1) Peningkatan sarana lingkungan fisik warga dengan melaksanakan perbaikan sarana lingkungan warga seperti

Penguatan program (pelatihan-pelatihan) Pemetaan swadaya Pembuatan PJM/Renta

Aplikasi program (aspek perencanaan, aksi dan evaluasi)

(3)

pengaspalan jalan, saluran pembuangan air limbah rumah tangga, pembuatan rabat beton dan lain-lain; (2) Peningkatan taraf kesejahteraan sosial yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan; (3) Ekonomi bergulir yaitu memberikan pinjaman lunak tanpa agunan kepada masyarakat dengan sistem berkelompok. Proporsi penggunaan anggaran dalam program ini adalah 70% digunakan untuk pembangunan peningkatan sarana fisik lingkungan, 10% untuk kegiatan sosial dan 20% untuk kegiatan ekonomi (pinjaman bergulir).

Feminimisasi Kemiskinan

Lahirnya PNPM Mandiri, merupakan jawaban atas hasil program-program pengentasan kemiskinan yang selama ini belum mendapatkan hasil yang optimal. Kemiskinan menjadi permasalahan krusial yang dihadapi oleh semua negara di dunia, lebih-lebih di negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Sampai tahun 2006, BPS memperkirakan hampir 17,4% dari total penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi miskin. Data lain yang ditunjukkan Whitehead dalam Cahyono (2005) telah mendata bahwa lebih dari setengah penduduk miskin di negara berkembang adalah kaum perempuan. Data dari perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang masuk kategori miskin, 70 persennya adalah kaum perempuan. Hal ini menguatkan terjadinya feminimisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan.

Kemiskinan pada hakikatnya merupakan persoalan klasik dan belum ditemukan suatu rumusan atau formulasi penanganan yang dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan. Terdapat banyak sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan, literatur mengenai kebijakan sosial menunjuk pada dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan yakni paradigma neoliberal dan demokrasi sosial (Suharto 2005). Dua paradigma atau pandangan ini kemudian muncul cetak biru dalam menganalisis kemiskinan maupun merumuskan kebijakan-kebijakan dan program-program anti kemiskinan.

Teori neoliberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh

(4)

komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of Nation (1776) dan Frederick Hayek, The Road of Serfdom (1944) dipandang sebagai rujukan kaum neoliberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne et al. (1992) dalam Suharto (2005) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absences of

states intervention in the economy.”

Para pendukung neoliberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanya sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu menjalankan tugasnya (Shanon 1991; Spicker 1995; Cheyne et al. 1998 dalam Suharto 2005). Penerapan program-program structural

adjustmen, seperti program jaringan pengaman sosial (JPS) di negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia, sesungguhnya merupakan contoh konkret dari pengaruh neoliberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan.

Teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori ini berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian yang muncul sebagai jawaban tehadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920an dan awal tahun 1930an.

Menurut pandangan demokrasi sosial, strategi penanganan kemiskinan haruslah bersifat melembaga. Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang merupakan contoh strategi antikemiskinan yang diwarnai oleh teori demokrasi sosial. Jaminan sosial

(5)

yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (defedency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.

Dengan menggunakan perspektif lebih luas lagi David (2004) dalam Suharto (2005) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi: (1) Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya negara-negara maju sedangkan negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi; (2) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakikat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan); (3) Kemiskinan sosial yaitu kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas; (4) Kemiskinan konsekuensional, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

Mariana dan Purnama (2005) menyebutkan bahwa kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol. Oleh karena itu menurutnya, sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak hanya secara ekonomi mereka terbelakang tetapi juga dalam hal keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan dan lain-lain, partisipasi mereka pun kurang diberi tempat. Hal ini yang pada gilirannya memunculkan Feminimisasi kemiskinan di masyarakat Indonesia.

Dari sisi gender, World Bank (2003) dalam Indraswari (2009) mengidentifikasikan empat dimensi kemiskinan yaitu women’s lack of

(6)

empowerment, opportunity, capacity and security. Masalah pemberdayaan

perempuan meliputi dua hal. Pertama pemberdayaan ekonomi terkait dengan minimnya atau lemahnya akses perempuan terhadap institusi keuangan formal. Kedua, masalah pemberdayaan juga terkait dengan minimnya suara perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional dan regional.

Berbagai kajian tentang kemiskinan menunjukkan minimnya akses kelompok miskin terhadap institusi keuangan formal terutama dalam hal akses terhadap fasilitas perbankkan. Minimnya akses tersebut terkait kesulitan yang dihadapi kelompok miskin dalam penyediaan jaminan perbankkan karena pemilikan aset yang dapat dijadikan jaminan lebih sering diatasnamakan laki-laki. Untuk itu, diperlukan terobosan yang telah dilakukan Grammen Bank yang diprakarsai Mohammad Yunus, pemenang hadiah nobel. Dalam konteks PNPM Mandiri persoalan ini dipecahkan dengan adanya program pinjaman dana bergulir yang dikelola oleh masyarakat.

Sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut Muhadjir (2005) terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi resoursis yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.

Budaya patriarki dengan sistem kekerabatan yang bertumpu pada laki-laki akan menjadikan laki-laki merasa lebih superior dan berkuasa, sementara perempuan ada pada posisi inferior. Hal ini pada akhirnya akan membatasi akses perempuan terhadap berbagai sumberdaya. Pada dasarnya ada faktor struktural yang menyebabkan individu dalam keluarga dan masyarakat tidak mempunyai akses yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Salah satu hambatan struktural tersebut adalah adanya relasi gender (gender relation) yang tidak adil

(7)

dan setara sebagai akibat dari budaya yang sangat paternalistik. Kondisi seperti ini tampak dengan jelas karena sampai saat ini keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan, ekonomi dan lain-lain masih cukup menonjol.

Dari pemaparan konsep, teori, beserta data-data tentang kemiskinan yang ada mengindikasikan perlunya sebuah penyelesaian kemiskinan secara komprehensif. Dalam kaitan ini, penanganan kemiskinan harus melihat berbagai variabel, seperti variabel sosial, kemasyarakatan dan ekonomi. Hadirnya PNPM Mandiri diharapkan mampu menjadi jembatan dalam mengentaskan persoalan pembangunan terutama persoalan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena visi dan misi PNPM Mandiri adalah mengentaskan kemiskinan yang berbasis pada masyarakat.

Pembangunan Berwawasan Gender

Dewasa ini permasalahan gender sudah menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia. Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka (Arjani 2008). Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat menuju terwujudnya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).

Latar belakang munculnya konsep pembangunan berwawasan gender adalah kesenjangan dan ketidakadilan peran antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan ini pada sebagian masyarakat di dunia merupakan warisan sejarah dan gejala budaya, yang terkait erat dengan hubungan manusia dengan alam serta persepsi manusia tentang perbedaan gender di antara laki-laki dan perempuan. Secara empiris manusia melihat adanya perbedaan biologis, disertai dengan persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan setiap gender. Atas dasar itu manusia mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam rumah dan masyarakat.

Langkah pertama yang perlu dipahami dalam membahas peran perempuan dalam pembangunan adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dengan

(8)

konsep gender. Hal ini sangat esensial dalam menganalisis persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa perempuan, yang diakibatkan oleh perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam struktur masyarakat (Sudirja 2007).

Kesalahpahaman terhadap konsep ini memunculkan sebuah stigma yang tidak adil dalam konstruksi sosial dalam masyarakat. Implikasinya adalah ketidakadilan peran dalam sektor publik antara laki-laki dan perempuan. Keadaan ini tentunya bertolak belakang dengan sistem konstitusi yang berlaku di Indonesia. Secara normatif, Undang-Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa setiap warga negara (laki-laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan pembangunan.

Dewasa ini berkembang stigma bahwa pembangunan berwawasan gender adalah pembangunan yang berperspektif perempuan. Stigma ini tentunya harus diluruskan karena makna pembangunan berwawasan gender memiliki dimensi yang sangat luas. Pembangunan berwawasan gender bukan hanya dilihat dari sisi bentuk dan pemanfaatan program yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan perempuan. Pembangunan berwawasan gender juga harus dipandang bagaimana aksesibilitas perempuan dalam pembangunan, penguasaan terhadap modal-modal pembangunan dan lebih penting lagi bagaimana kiprah perempuan dalam pembangunan.

Lebih jauh memahami gender dalam pembangunan terutama dalam perspektif perempuan tentunya harus dipahami peran perempuan secara komprehensif. Dalam pengembangan citra dan prospek perempuan abad XXI, terbentuk beberapa peran, antara lain: (1) Peran tradisi, yang menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi, di mana seratus persen hidupnya untuk mengurusi keluarga dan patron pembagian kerja jelas (perempuan di rumah atau domestik, pria di luar rumah atau publik); (2) Peran transisi, mengutamakan peran tradisi lebih dari yang lain, pembagian kerja menuruti aspirasi gender, keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap tanggungjawab kaum perempuan; (3) Dwiperan, memposisikan perempuan dalam dua dunia kehidupan (peran domestik-publik sama penting), dukungan moral dan perhatian suami menjadi pemicu ketegaran ataupun keresahan; (4) Peran egalitarian, kegiatan di publik

(9)

menyita waktu dan perhatian perempuan, dukungan moral dan tingkat kepedulian pria sangat hakiki untuk menghindari konflik; (5) Peran kontemporer, merupakan dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlah golongan ini belum banyak, namun berbagai benturan dari dominasi pria (yang belum tentu peduli pada kepentingan perempuan) akan meningkatkan populasinya (Vitayala

dalam Hastuti 2004).

Peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 dan terbentuknya lembaga Menteri Peranan Perempuan pada tahun yang sama yang berubah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999, di mana perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pada perkembangannya, pada tahun 2000 telah diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. Inpres ini berisi instruksi kepada menteri, bupati atau walikota, kepala lembaga pemerintah nondepartemen untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing

Pada intinya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, dalam pembangunan berwawasan gender (Sudirja 2007) yaitu:

1. Kemampuan perempuan sebagai sumberdaya insani pembangunan perlu ditingkatkan dan diarahkan secara bersungguh-sungguh melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, agar:

a. Perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun masyarakat.

b. Perempuan dapat lebih memanfaatkan kesempatan yang ada seoptimal mungkin.

c. Perempuan dapat berfungsi sebagai mitra sejajar pria di semua bidang dan proses pembangunan, utamanya berpartisipasi di bidang-bidang

(10)

nontradisional (misalnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan).

2. Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif sebagai mitra sejajar pria perlu ditunjang oleh sikap mental, perilaku dan pandangan masyarakat terhadap perempuan, terutama peran aktif di luar lingkungan keluarga dan rumah tangga.

3. Penyesuaian sistem dan struktur pranata sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik.

Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan penanganan masalah gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan pendekatan

Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum mampu

mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development (GAD).

Konsep GAD tidak lahir begitu saja, tetapi mengalami proses yang panjang dimulai dari pemikiran WID, WAD. Masing-masing konsep berkembang sesuai dengan pengembangan konsep pembangunan dan kritik terhadap aplikasi konsep pembangunan yang ada, serta teori feminis yang menjadi bagian dari kritik terhadap pembangunan tersebut.

WID menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga seperti pendidikan, keterampilan serta kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan WID berpijak pada dua sasaran (1) pentingnya prinsip egalitarian. Prinsip egalitarian adalah kepercayaan bahwa semua orang sederajat. Egalitarianisme adalah doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia ditakdirkan sama derajat. Diartikan pula bahwa egalitarian merupakan asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota dalam proporsi yang relatif sama. Oleh karena itu dalam WID antara laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama sebagai mitra sejajar; (2) WID menitikberatkan pada pengadaan program yang dapat mengurangi atau menghapuskan diskriminasi yang dialami

(11)

oleh para perempuan di sektor produksi. Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa sektor produktif identik dengan sektor publik dan ini banyak didominasi oleh kaum laki-laki, sedangkan perempuan kurang dilibatkan bahkan tidak diberi peran sama sekali, karena kedudukan perempuan ada pada sektor domestik bukan produktif (Handayani & Sugiarti 2008).

Program-program yang dapat diterapkan untuk pelaksanaan pendekatan WID adalah program-program yang dapat menghasilkan pendapatan bagi perempuan. Untuk lebih mendorong perempuan memasuki dunia publik, maka diperlukan beberapa persyaratan antara lain pendidikan dan keterampilan. Untuk itu implikasinya dengan pemberian kesempatan belajar dalam jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi akan lebih memberikan kemampuan dan keterampilan bagi perempuan. Diharapkan dengan pemberian pendidikan ini, perempuan dapat mewakili kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang menunjang sektor-sektor produktif dan publik masyarakat. Selain pendidikan juga bekal keterampilan, baik melalui lembaga-lembaga formal maupun informal. Diharapkan melalui pendidikan keterampilan akan memberikan nilai tambah bagi perempuan dalam mencari penghasilan atau menambah pendapatan keluarga. Program yang lain dari WID adalah pemberian fasilitas kesejahteraan sosial seperti pemenuhan kebutuhan bagi kesehatan perempuan.

Pendekatan WID menekankan terintegrasikannya perempuan dalam pembangunan, maka WAD lebih mengarah pada hubungan antara perempuan dan proses pembangunan. Dalam pendekatan WAD tidak dibahas letak kedudukan laki-laki dan perempuan. Sudah ada pemahaman bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan, kesempatan dan peran yang sejajar. Oleh karena itu, isu dalam WAD adalah bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Hal ini sangat berkorelasi dengan situasi negara. Pada beberapa negara berkembang atau beberapa yang tergolong dalam jajaran dunia ketiga, peran laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tersubordinasi secara struktur internasional, khususnya mereka yang berada dalam golongan kelas sosial bawah.

Pendekatan WAD tampaknya lebih kritis dari pada WID, tetapi WAD kurang dapat menjawab hubungan patriarki yang terjadi dalam corak produksi masyarakat. WAD akan berhasil menaikkan peran perempuan apabila ditunjang

(12)

oleh struktur politik yang lebih stabil dan merata, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Pedekatan WAD dititikberatkan pada pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan tanpa memperhatikan unsur waktu yang digunakan oleh perempuan. Kegiatan-kegiatan yang di luar tugas dan tanggung jawab unsur domestik. Kegiatan domestik berada di luar jalur kegiatan pembangunan. Oleh karena WAD menekankan pada hubungan antara laki-laki dan proses pembangunan maka implementasinya adalah ukuran produktivitas perempuan baik secara kesempatan maupun kemampuan yang dimiliki. WID dan WAD memiliki kesamaan yaitu sama-sama dalam kerangka ekonomi dan politik negara.

Pendekatan GAD lebih menekankan bagaimana hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan. Pendekatan GAD muncul pada dekade 1980 an sebagai salah satu implementasi dari WID. GAD muncul dari teori bahwa sektor produksi dan reproduksi merupakan kausalitas penindasan terhadap kaum perempuan. (Handayani & Sugiarti 2008). Pandangan bahwa perempuan cenderung diartikan pada peran domestik dan bukan pada sektor publik menyebabkannya ditempatkannya perempuan pada posisi yang subordinat.

Pendekatan GAD menitikberatkan analisisnya pada jawaban atas pertanyaan: mengapa perempuan ditempatkan pada peran-peran yang inferior di masyarakat? Untuk menjawabnya perlu pendekatan holistik atau menyeluruh tentang aspek-aspek kehidupan manusia. Untuk dapat mengetahui posisi perempuan dalam masyarakat perlu ditinjau kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi, pendekatan holistik dipakai untuk memahami posisi perempuan dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya dalam proses pembangunan.

Dalam pendekatan GAD, posisi perempuan diletakkan dalam konstruksi sosial gender serta pemberian tertentu pada perempuan maupun laki-laki. Laki-laki berperan atau terlibat dalam penempatan posisi perempuan. Artinya, nasib kaum perempuan turut dipikirkan oleh laki-laki. Laki-laki turut serta berperan dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hal inilah yang disebut dengan hubungan gender. Dalam kerangka makro peran negara sangat berpengaruh terhadap penempatan posisi perempuan.

(13)

Pendekatan GAD secara implementatif cenderung mengarah pada komitmen pada perubahan struktural. Oleh sebab itulah pelaksanaan GAD memerlukan dukungan sosiobudaya masyarakat dalam politik nasional yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. GAD tidak mungkin terlaksana apabila dalam politik suatu negara masih menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior dan subordinatif.

Dengan karakteristik yang dimiliki, PNPM Mandiri setidaknya merupakan instrumen yang paling penting yang dimiliki pemerintah untuk secara aktif menghapuskan hal-hal yang menghambat kesetaraan gender dalam pembangunan

Arti penting PNPM mandiri dapat dilihat dari potensinya secara nasional untuk: (1) menanggapi kebutuhan praktis perempuan: dengan mendanai, misalnya,

ketersediaan air bersih, fasilitas kesehatan dan pendidikan, yang dapat membantu menghilangkan hambatan praktis dari keterbatasan waktu dan kapasitas yang menghalangi keterlibatan perempuan dalam pembangunan; (2) meningkatkan potensi perempuan dalam kegiatan ekonomi: melalui investasi dalam infrastruktur lokal seperti jalan dan jembatan yang membantu menghilangkan beberapa kendala terhadap akses perempuan terhadap pasar dan sumberdaya; dan mendukung kegiatan keuangan mikro yang membantu perempuan untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif dan mengembangkan usahanya; (3) menjamin partisipasi aktif perempuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan: melalui penekanan pada tingkat partisipasi secara luas yang dapat menghapuskan beberapa hambatan terhadap partisipasi perempuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat lokal serta memastikan bahwa suara mereka terdengar dan bahwa mereka memiliki peluang untuk mempengaruhi proses serta keputusan agar lebih tanggap terhadap kebutuhan mereka.

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Persoalan ketidakadilan sosial dan ekonomi tidak terlepas dari adanya ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender berkaitan dengan kehidupan komunitas, baik dalam perilaku sehari-hari, maupun dalam menjalankan peran-peran politik dan sosial, sehingga mengakibatkan berbagai tindakan yang dilakukan semakin memperdalam jurang ketidakadilan, khususnya bagi perempuan dan masyarakat marjinal lainnya.

(14)

Untuk mengeliminasi ketidakadilan ini, maka diperlukan sebuah strategi dalam kaitan ini adalah pengarusutamaan gender (PUG). Melalui strategi PUG dapat dikembangkan kebijakan, program atau proyek dan kegiatan pembangunan yang responsif gender serta mempunyai wawasan gender, sehingga dapat mengurangi ketidakadilan gender dan mengantar pada pencapaian kesetaraan dan keadilan.

Istilah gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan perbedaan laki-laki dan perempuan yang merupakan bentukan budaya yang dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Istilah pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) tercantum dalam Beijing Platform of Action pada tahun 1995 dalam RPuK (2007) sebagai berikut: “Gender Mainstreaming is a strategy for integrating gender

concerns in the analysis formulation and monitoring policies, programs and projects.”

Lebih lanjut lagi Inpres RI No. 9 Tahun 2000 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan serta program pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengarusutamaan gender menjamin seluruh kebijakan program dan proyek pada setiap sektor pembangunan telah memperhitungkan aspek gender. Hal ini dilakukan dengan melihat laki-laki dan perempuan sebagai pelaku yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pembangunan serta dalam memanfaatkan hasil pembangunan. Dengan demikian hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat dapat ditegakkan.

Berdasarkan Inpres tersebut, tujuan pengarusutamaan gender dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender; (2) Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi, sebagai dampak dari bias gender; (3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun nonpemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.

(15)

Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan progam yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki di dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. (Kemeneg PP 2000)

Keadilan dan kesetaraan gender berusaha diwujudkan dengan program dan proyek-proyek pembangunan, yang sensitif dan responsif terhadap kebutuhan gender, baik yang sifatnya praktis maupun yang strategis. Adapun langkah-langkah yang dilaksanakan untuk mengimplementasikan strategi ini adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasikan kebutuhan praktis sebagaimana didefinisikan oleh perempuan dan laki-laki untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, menangani kebutuhan strategis perempuan; (2) Menangani kebutuhan strategis golongan ekonomi lemah melalui pembangunan untuk rakyat (RPuK 2007).

Dalam melakukan pengarusutamaan gender paling tidak harus menyentuh tiga hal yaitu: (1) Memasukkan perspektif gender dalam perumusan kebijakan di setiap level; (2) Menggunakan momentum dan menciptakan ruang dialog yang terus menerus untuk mengembangkan atau menularkan perspektif serta membangun jaringan yang dapat djadikan ”sahabat” dalam memperjuangkan keadilan; (3) Merumuskan dan membuat model-model pendidikan yang dapat membangun kesadaran, yang dimulai dari rumah tangga, sekolah dan pusat kehidupan masyarakat lainnya (RPuK 2007).

Hambatan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Dalam perjalanannya PUG masih mengalami hambatan pada tingkat aplikasi. Diyakini kondisi konstruksi sosial telah menciptakan hambatan dalam pengarusutamaan gender. Dalam pandangan Faqih (2008) terdapat beberapa konstruksi sosial yang dapat menghambat PUG yaitu:

1. Penomorduaan (subordinasi).

Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini terhadap perempuan. Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan umum. Akibatnya, perempuan tidak

(16)

dapat mengontrol apabila keputusan itu merugikan mereka dan tidak bisa ikut terlibat maksimal saat hasil keputusan itu diimplementasikan. Tradisi, adat atau bahkan aturan agama paling sering dipakai alasan untuk menomorduakan perempuan.

2. Pelabelan negatif pada perempuan (Stereotype).

Label negatif banyak kita temukan di masyarakat misalnya perempuan berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya akan sesuatu hal dengan mengemukakan alasan-alasannya, dianggap bahwa dia terlalu cerewet, emosional dan tidak berpikir rasional. Jika laki-laki berada pada kondisi yang sama mungkin dianggap tegas dan berwibawa karena mempertahankan pendapatnya. Citra buruk perempuan yang emosional, tidak rasional, lemah, pendendam, penggoda dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat.

3. Peminggiran (Marginalisasi).

Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan pada termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini perempuan.

4. Beban kerja berlebih (Multi-Burdened).

Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk muatan yang berlebihan. Hal inilah juga yang sering menjadi bahan diskusi dalam forum-forum yang membahas tentang gender. Sebagian khawatir bahwa jika perempuan semakin pintar, semakin maju, ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, meningkatkan kemampuan dan keahliannya di berbagai bidang, maka ’kebebasan berekspresi’ tersebut pada akhirnya akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Beban kerja perempuan akan bertambah banyak dengan kegiatan-kegiatan yang ingin dia ikut i di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada

(17)

saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk tugas dan pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik). Sebagian yang lain, terutama laki-laki, khawatir jika perempuan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, mereka tidak punya waktu dan tidak bersedia lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah tangga.

5. Kekerasan.

Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini dalam media. Bentuk kekerasan yang terjadi sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan psikis (misalnya kata-kata yang merendahkan dan melecehkan), kekerasan seksual (contoh perkosaan dll). Bentuk-bentuk kekerasan ini bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja, bisa di wilayah pribadi (rumah tangga) atau di wilayah publik (lingkungan).

Secara teoritis, hambatan pengarusutamaan gender dapat ditelusuri dengan menggunakan pisau analisis teori “kelompok yang dibungkam.” Teori ini merupakan teori komunikasi kritis dan termasuk dalam konteks kultural yang membahas mengenai gender dan komunikasi. Teori ini memusatkan perhatiannya pada kelompok tertentu dalam masyarakat yang mengungkap struktur-struktur penting yang menyebabkan penindasan dan memberikan arah bagi perubahan yang positif.

Teori kelompok yang dibungkam berawal dari karya Edwin dan Shirley Ardener, para antropolog sosial yang tertarik dengan hirarki sosial. Pada tahun 1975, Edwin Ardener dalam West dan Turner (2008) menyatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan.

Kramarae (1981) dalam Miller (2002) merancang tiga asumsi yang berpusat pada sajian feminisnya dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu: (1) Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang

(18)

berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat; (2) Laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan; (3) Agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mentransformasi modelnya dalam ranah sistem ekspresi yang dominan tersebut.

Partisipasi Masyarakat

Berbicara partisipasi masyarakat dalam pembangunan, akan ditemukan rumusan pengertian yang bervariasi sejalan dengan luasnya lingkup penggunaan. Konsep pembangunan pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua teknik, yaitu: partisipasi masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. Kedua teknik pembangunan ini merupakan proses pemberdayaan yang berarti pembangunan harus bersumber dari, oleh dan untuk masyarakat. Konsep pembangunan juga dapat dipahami sebagai program dan gerakan sosial. (Anwar 2007).

Dalam pandangan lain yang disampaikan oleh Deshler dan Sock, (1985)

dalam Ditjen Cipta Karya (2008a) disebutkan bahwa secara garis besar terdapat

tiga tipe partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine

participation).

Partisipasi teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, analisis data dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis pada konteks pengembangan masyarakat.

Partisipasi asli (Partisipasi politis), adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah dan ideologis secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi.

Partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekadar obyek. Dalam pengertian partisipasi di atas, bukan

(19)

berarti partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis, bisa sekaligus ada dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi).

Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya sepadan dengan dua tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain, yaitu digunakan dalam pengembangan program dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang merambah ke dalam isu demokratisasi Christ Roche (1999) dalam Ditjen Cipta Karya (2008a).

Terdapat beberapa pertimbangan rasional yang mendasari strategi pengembangan partisipasi masyarakat (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008). Secara normatif asumsi yang mendasarinya adalah bahwa masyarakat lokal harus memperoleh proyek dan program pembangunan yang mereka tentukan sendiri. Asumsi normatif ini didasari oleh asumsi dedukt if bahwa masyarakat lokal yang paling tahu apa yang menjadi masalah dan kebutuhannya dan mereka memiliki hak dan kemampuan untuk menyatakan pemikiran dan kehendaknya tadi. Dengan demikian, apabila program dan proyek pembangunan yang dilaksanakan di tingkat lokal didasari keputusan yang diambil masyarakat sendiri maka program tersebut akan lebih relevan dan lebih menyentuh permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan masyarakat.

Lebih lanjut asumsi teoritis yang dapat dikembangkan dalam strategi pengembangan partisipasi masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antarkelompok-kelompok masyarakat dapat diredam melalui pola demokrasi setempat; (2) Pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat. Asumsi ini ingin menempatkan partisipasi masyarakat sebagai sarana sekaligus tujuan dari proses pembangunan; (3) Pemberdayaan masyarakat mutlak perlu mendapatkan partisipasinya, karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk program pembangunan yang ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri mempunyai kemampuan untuk memaksa pemerintahnya; (4) Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti ada penolakan secara

(20)

internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008).

Berbagai asumsi tersebut dapat digunakan sebagai landasan berpikir untuk mengembangkan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Berdasarkan asumsi tersebut Mikkelsen (1996) dalam Soetomo (2008) membedakan adanya empat pendekatan untuk mengembangkan partisipasi masyarakat. Pertama, pendekatan partisipasi pasif. Pendekatan ini didasarkan bahwa pihak eksternal yang lebih tahu, lebih menguasai pengetahuan, teknologi,

skill dan sumberdaya. Dengan demikian, bentuk partisipasi ini akan melahirkan

tipe komunikasi satu arah, dari atas ke bawah, hubungan pihak eksternal dan masyarakat lokal bersifat vertikal.

Kedua, pendekatan partisipasi aktif. Dalam pendekatan ini sudah dicoba dikembangkan komunikasi dua arah, walaupun pada dasarnya masih berdasarkan pada anggapan yang sama dengan pendekatan yang pertama, bahwa pihak eksternal lebih tahu dibandingkan masyarakat lokal. Pendekatan ini sudah mulai membuka dialog, guna memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara intensif dengan para petugas dari institusi eksternal. Salah satu contohnya adalah pendekatan pelatihan dan kunjungan.

Ketiga, pendekatan partisipatif dengan keterikatan. Pendekatan ini mirip kontrak sosial antara pihak eksternal dengan masyarakat lokal. Dalam keterikatan tersebut dapat disepakati apa yang dapat dilakukan masyarakat lokal dan apa yang harus dilakukan dan diberikan pihak eksternal. Dalam model ini masyarakat setempat mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan kegiatan yang telah disepakati dan mendapat dukungan dari pihak eksternal baik finansial maupun teknis.

Keempat, partisipasi atas permintaan setempat. Bentuk ini mencerminkan kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat. Kegiatan dan peranan pihak eksternal lebih bersifat menjawab kebutuhan yang diputuskan dan dinyatakan oleh masyarakat lokal, bukan kebutuhan berdasarkan program yang dirancang dari luar.

(21)

Pemberdayaan dalam Perspektif Gender

Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita 1996).

Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses dan cara-cara pemberdayaan, antara lain:

1. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan kekuasaan yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995 dalam Suharto, 2005).

2. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson e al. 1994 dalam Suharto 2005).

3. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift & Levin 1987 dalam Suharto (2005).

4. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya Rapport (1984) dalam Suharto (2005).

Dalam pandangan Parson, et al. (1994) dalam Suharto (2005) bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setingan pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun

(22)

tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya.

Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting) yaitu: (1) Aras Mikro: Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, strees management, crisis intervention. Tujuan uatamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach); (2) Aras Mezzo: Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. (3); Aras Makro: Pendekatan ini disebut juga pendekatan strategi sistem besar (large system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak (Parson, et al. 1994 dalam Suharto 2005).

Schuler et al. dalam Suharto (2005) mengembangkan delapan indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka menyangkut kemampuan ekonomi, mengakses manfaat kesejahteraan dan kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan yaitu: ‘kekuasaan di dalam (power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan.’ Adapun pengembangan keberdayaan adalah sebagai berikut:

(23)

1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau tempat tinggalnya.

2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari.

3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier.

4. Terlibat dalam membuat keputusan domestik atau publik. 5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga atau masyarakat. 6. Kesadaran hukum atau politik.

7. Keterlibatan dalam kampanye atau protes-protes. 8. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.

Dalam konteks gender bahwa untuk melakukan pemberdayaan menurut Gunawan (2008) dalam Nugroho (2008) diperlukan tiga langkah yang berkesinambungan yaitu: (1) Pemihakkan, artinya perempuan sebagai pihak yang hendak diberdayakan harus dipihaki daripada laki-laki; (2) Penyiapan, artinya pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan untuk bisa mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan mengambil manfaat; (3) Perlindungan, artinya memberikan proteksi sampai dapat dilepas.

Indikator pemberdayaan dalam perspektif gender menurut Katjasungkana (2008) dalam Nugroho (2008) terdapat empat indikator pemberdayaan yaitu: (1) Akses, dalam arti kesamaan hak dalam mengakses sumberdaya-sumberdaya yang produktif di dalam lingkungan; (2) Partisipasi, yaitu keikutsertaan dalam mendayagunakan aset atau sumberdaya yang terbatas tersebut; (3) Kontrol, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kontrol atas pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya tersebut; (4) Manfaat, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan harus sama-sama menikmati hasil-hasil pemanfaatan sumberdaya secara sama dan merata.

(24)

Komunikasi Partisipatif dan Linier

PNPM Mandiri merupakan program penanggulangan kemiskinan berbasis kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Program ini berupaya untuk menciptakan atau meningkatkan kualitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok dalam memecahkan berbagai persoalan terkait pada upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan, kemandirian dan kesejahteraan.

Strategi dasar gerakan kemitraan dan pemberdayaan dilakukan melalui perubahan perilaku kolektif dengan cara membangun kesadaran kritis semua pihak, bahwa sesungguhnya setiap orang mampu dan berdaya untuk melakukan perubahan-perubahan penting dalam menanggulangi kemiskinan dengan dimulai dari diri sendiri. Selanjutnya, melalui gerakan ini juga diharapkan mampu menumbuhkembangkan serta meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga yang ada di sekitar masyarakat miskin menjadi jaringan kelompok-kelompok peduli yang berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk menciptakan kesadaran ini perlu upaya sosialisasi dan komunikasi.

Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri dapat digambarkan sebagai berikut (Ditjen Cipta Karya 2008b).

Gambar 2. Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri

Strategi pencitraan PNPM Mandiri Khalayak sasaran: Penyelengara Program, Pemangku Kepentingan Masyarakat Umum Kesadaran dan Pemahaman PNPM Mandiri sebagai lembaga koordinasi dan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat Metode: Informasi Persuasi Advokasi Edukasi Strategi Aktivasi PNPM Mandiri

Komitmen dan dukungan kebijakan dan program

Stakeholder Pemahaman pemanfaat program tentang proses program sadar/motivasi mandiri partisipasi/ambil tindakan berbasis pemberdayaan masyarakat Khalayak sasaran: Penyelengara Program, Pemangku Kepentingan Masyarakat Umum

(25)

Dalam konteks PNPM Mandiri, sosialisasi diartikan bukan hanya bagaimana PNPM Mandiri Perkotaan dapat dipahami oleh masyarakat baik substansi maupun prosedurnya. Sosialisasi bukan sekadar diseminasi atau media publikasi, melainkan bagian dari proses pemberdayaan, di mana melalui sosialisasi diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis, menumbuhkan perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sosialisasi harus terintegrasi dalam aktivitas pemberdayaan dan dilakukan secara terus-menerus untuk memampukan masyarakat menanggulangi masalah-masalah kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan (Ditjen Cipta Karya 2008b).

Komunikasi dalam konteks PNPM Mandiri tidak akan terlepas pembicaraan mengenai komunikasi pembangunan. Komunikasi pembangunan dalam arti luas adalah meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam pembangunan, terutama antara masyarakat dan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian terhadap pambangunan (Nasution 1988). Selanjutnya, dikatakan dalam arti sempit komunikasi pernbangunan merupakan segala upaya dan cara serta teknik penyampaian gagasan dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujuka n kepada masyarakat luas.

Menurut Schramm (1985) dalam Hamijoyo (2005) tugas komunikasi dalam perubahan sosial adalah:

1. Menyampaikan informasi kepada masyarakat pembangunan nasional.

2. Memberikan kesempatan kepada individu-individu dalam masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.

3. Tugas mendidik masyarakat, seperti diajarkan cara membaca, cara bertani dan sebagainya. Sebagai pemberi informasi dan sebagai pendidik dapat dilakukan oleh media massa, sedangkan dalam fungsinya sebagai penunjang dalam pengambilan keputusan diperlukan intensitas komunikasi interpersonal.

(26)

Secara umum mengenai peran komunikasi dalam pembangunan digambarkan dalam pemikiran Schramm sebagai berikut (Hamijoyo 2005).

Gambar 3. Peran komunikasi dalam pembangunan

Paradigma lama komunikasi pembangunan menekankan pada proses komunikasi manusia seperti yang terdapat dalam model komunikasi linier konvensional. Model ini merupakan gambaran proses komunikasi yang berlangsung secara linier (searah) dari sumber kepada penerima melalui media (sumber-pesan-media-penerima). Model linier konvensional tersebut dapat pula tergambarkan secara vertikal mengingat struktur stratifikasi sosial masyarakat terbagi menurut kelas atas, menengah dan bawah (Hamijoyo 2005).

Model komunikasi linier sering dikaitkan dengan Harold D. Lasswell seorang ahli ilmu politik yang tertarik terhadap riset-riset komunikasi. Di dalam artikelnya tahun 1948 dalam satu kalimat yang terkenal dalam riset-riset komunikasi, untuk menggambarkan sebuah tindakan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ”who say what in which channel to whom with

what effect.” Sejak itu kalimat ini dikenal dengan formula Lasswell. Formula ini

dapat digambarkan sebagai berikut (Suprapto 2006).

Gambar 4. Model komunikasi linier Lasswell

Who Say What In With Channel

To Whom with what effect

Komunikator Pesan Saluran Komunikasi Komunikan Efek Pembangunan: meningkatkan kehidupan Pembangunan memerlukan Keaktivan masyarakat Supaya masyarakat berpartisipa i Pembangunan diinformasikan Perlunya sarana komunikasi Perlu Komunikasi pembangunan

(27)

Model komunikasi linier dengan pertanyaan ”who say what in which

channel to whom with what effect” menjadi tidak tepat digunakan untuk

mengatasi masalah-masalah pembangunan (Sulistyowati 2006). Pendekatan yang dibutuhkan adalah pendekatan komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran komunikasi dengan banyak dimensi yang disebut dengan model partisipasi.

Model komunikasi partisipasi pada prinsipnya merupakan implementasi dari proses komunikasi sirkular. Dalam konteks komunikasi sirkular itu adalah terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan kepada komunikator . Oleh karena itu, adakalanya feedback tersebut mengalir dari komunikan ke komunikator itu adalah respons atau tanggapan komunikan terhadap pesan yang diterima komunikator (Effendy 1993).

Model komunikasi sirkular di gambarkan Schramm sebagai berikut (Effendy 1993).

Gambar 5. Model komunikasi sirkular Schramm

Beberapa aspek penting dalam memahami komunikasi adalah penggunaan media. Tentunya penggunaan media memiliki kaitan erat dengan kondisi masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi. Dalam kaitan PNPM Mandiri

Message Message Decoder Interpreter Encoder Encoder Interpreter Decoder

(28)

terdapat beberapa media yang dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian komunikasi di antaranya yaitu (Ditjen Cipta Karya 2008c):

1. Foto Novella

Foto Novella, adalah sebuah media warga dalam bentuk komik foto yang temanya diangkat dari kondisi riil masyarakat dengan maksud untuk mencari solusi pemecahan maupun daya dukung bagi lancarnya pelaksanaan penanggulangan kemiskinan.

2. Teater Warga

Teater warga merupakan sebuah media komunitas yang didasarkan dari kajian-kajian kondisi riil masyarakat dalam bentuk pementasan yang bisa menumbuhkan suasana dialogis antarwarga masyarakat. Para pemain dalam teater rakyat ini adalah masyarakat di tingkat kelurahan atau desa.

3. Koran Warga

Koran warga merupakan media yang berbentuk koran beberapa halaman yang dibuat dan dikelola secara partisipatif oleh masyarakat. Topik dan tema berita atau informasi diangkat dari permasalahan riil yang dihadapai oleh masyarakat serta solusinya.

4. Poster Warga

Poster warga merupakan media berbentuk poster yang dibuat oleh masyarakat dan didasarkan dari permasalahan riil yang dihadapi masyarakat. Poster ini dapat menjadi bahan atau media dialog dan diskusi warga untuk mencari alternatif solusi bersama.

5. VCD Warga

VCD warga adalah video yang direkam dalam cakram padat (Video Compact Disc) yang pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat. Media ini digunakan untuk menggali permasalahan, kebutuhan, potensi maupun daya dukung lainnya. Media ini diharapkan bisa menjadi alternatif untuk menumbuhkan kesadaran kritis terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini.

(29)

6. Radio Komunitas

Sebagai media pembelajaran, radio komunitas atau yang dikenal sebagai siaran radio pemberdayaan yang dikelola oleh masyarakat, baik manajemen maupun paket-paket siarannya diorientasikan untuk membangun keswadayaan dalam penanggulangan kemiskinan.

7. Buletin/Tabloid Warga

Buletin/Tabloid warga merupakan media yang berbentuk buletin/tabloid beberapa halaman yang dibuat dan dikelola secara bersama oleh masyarakat. Topik dan tema isi berita atau informasi diangkat dari permasalahan kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat serta solusinya.

8. Papan Informasi

Papan informasi umumnya berupa papan yang menjadi tempat ditempelkannya berbagai informasi mengenai program. Papan informasi biasanya semacam papan tulis yang diberi kaki sehingga dapat dipasang berdiri, atau papan yang ditempelkan di dinding.

9. Pertemuan Warga

Sebuah Media warga, yang biasanya ada dan dilakukan rutin oleh masyarakat sesuai dengan adat dan tradisi budaya setempat. Pertemuan warga ini biasanya rutin dilakukan dengan jadwal dan tema yang ditentukan oleh warga dan peserta atau anggotanya sudah jelas seperti; arisan, pengajian, yasinan, PKK atau Dasawisma.

Indikator pencapaian komunikasi partisipatif dalam konteks PNPM Mandiri dapat bersifat kuantitatif ataupun kualitatif. Penetapan indikator pencapaian akan merujuk pada sasaran sosialisasi PNPM Mandiri yang terdiri dari (1) Fokus Pencitraan: terdapat pemahaman, pengakuan dan dukungan yang sama terhadap PNPM Mandiri sebagai kebijakan nasional yang menjadi ‘payung’ bagi semua program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. (2) Aktivasi: mencakup aspek kognitif (tingkat pengetahuan), aspek afeksi (ketertarikan dan kepedulian) dan konatif (tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, komitmen tindakan melaksanakan PNPM Mandiri) (Ditjen Cipta Karya 2008c).

(30)

Komunikasi kelompok

PNPM Mandiri merupakan kegiatan bercirikan kolektivitas. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat (KSM) baik untuk kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan, sosial dan pinjaman bergulir. Kondisi ini menjadikan komunikasi kelompok merupakan bagian penting dalam kegiatan PNPM Mandiri.

Tidak semua himpunan orang disebut kelompok. Kelompok memiliki dua tanda psikologis. Pertama anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok artinya terdapat sense of belonging yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain (Baron dan Byrne 1979 dalam Rakhmat 1998).

Menurut Mulyana (2005) kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Para ahli psikologi dan sosiologi mengklasifikasi kelompok dalam empat dikotomi yaitu kelompok primer-sekunder, kelompok

ingroup-outgroup, rujukan-keanggotaan, deskriptif-preskriptif (Rakhmat 1998).

Charles Horton Cooley (1909) dalam Rakhmat (1998) mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh kita. Rakhmat (1998) membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai berikut:

1. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.

(31)

2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal.

3. Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.

4. Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.

5. Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.

Ingroup adalah kelompok kita, dan outgroup adalah kelompok mereka.

Untuk membedakan ingroup dan outgroup dapat dibuat batasan, yang menentukan siapa masuk orang dalam dan siapa masuk orang luar. Batas-batas ini dapat berupa lokasi geografis, suku bangsa pandangan atau ideologi, pekerjaan atau profesi, bahasa, status sosial dan kekerabatan (Rakhmat 1998).

Newcomb (1930) dalam Rakhmat (1998) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.

John F. Cragan dan David W. Wright (1980) dalam Rakhmat (1998) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan preskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok deskriptif dibedakan menjadi tiga: (a). kelompok tugas; (b) kelompok pertemuan; dan (c) kelompok penyadar.

Kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Cragan dan Wright mengkategorikan enam format kelompok preskriptif, yaitu: diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer (Rakhmat 1998).

Komunikasi kelompok menurut Arifin (1984) adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok seperti dalam rapat,

(32)

pertemuan, konperensi dan sebagainya. Michael Burgoon dalam Wiryanto (2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang setiap anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat.

Titik perhatian komunikasi kelompok adalah pada gejala komunikasi dalam kelompok kecil tentang bagaimana caranya untuk dapat lebih mengerti proses komunikasi kelompok, memperkirakan hasilnya serta lebih meningkatkan proses komunikasi kelompok (Golberg 2006).

Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender

Perhatian terhadap permasalahan gender mulai muncul sekitar tahun 1940an yang digagas oleh kaum feminis di barat. Munculnya perhatian terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan diawali oleh adanya kesadaran bahwa ternyata nasib kaum perempuan di masyarakat tidak sebaik nasib lawan jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan mulai muncul yang dipelopori oleh tokoh feminis Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill Amal (1992) dalam Arjani (2008).

Dalam perkembangan berikutnya perhatian masalah gender diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan misi sejenis yakni mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan memperjuangkan nasib kaum perempuan yang dianggapnya berada dalam posisi tersubordinasi, termarjinalisasi dan terdiskriminasi.

Gerakan feminis ini pada awalnya berkembang di negara barat seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain. Pada perkembangannya gerakan ini berkembang dalam tiga gelombang besar yakni feminisme gelombang pertama, kedua dan ketiga. Gerakan feminisme merupakan momentum dalam menciptakan kesadaran kritis.

Proses penyadaran digambarkan sebagai suatu proses yang selaras dengan kebutuhan manusia. Dalam pandangan Freire dalam Manggeng (2005) kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak didik. Lebih jauh Freire

(33)

1. Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas. 2. Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam

masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.

3. Kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengidentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.

4. Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab-akibat.

Kesadaran kritis mengintegrasikan diri dengan realitas kesadaran naïf yang mengambang di atas realitas dan kesadaran fanatik yang secara patologis berkembang ke arah irasionalitas dan menyesuaikan diri dengan realitas. Pada gilirannya, setiap pemahaman realitas lambat atau cepat akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Proses pemberdayaan melalui penyadaran berarti mengantarkan masyarakat menuju gerbang kebangkitan dan menolong mereka dari kesadaran transitif naïf ke kesadaran transitif kritis.

Proses penyadaran menurut Havelock (1975) dalam Anwar (2007) dalam tahap pertama seorang individu dikenalkan pada suatu inovasi dan diupayakan untuk menyadari inovasi tersebut. Pada tahap awal kontak seorang adopter potensial, agen pembaruan harus menyakinkan bahwa mereka mendengarkan dan memahami bahwa dia mengembangkan beberapa konsep mengenai inovasi.

Dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan sebuah kesadaran kritis berasal dari refleksi diri tentang keadaan dirinya yang dipertegas dengan upaya konkret baik melalui pendidikan maupun penyebaran inovasi (rekayasa sosial). Refleksi diri diharapkan mampu menciptakan konsep diri yang positif yang pada akhirnya akan membentuk harga diri yang kuat.

(34)

Harga diri merupakan penilaian tentang keberartian diri dan nilai seseorang yang didasarkan atas proses pembuatan konsep dan pengumpulan informasi tentang diri beserta pengalamannya (Johnson & Johnson 1991). Oleh karenanya, orang dengan konsep diri positif akan lebih tepat memberikan nilai keberartian dirinya. Orang dengan harga diri rendah menyebabkan kurang percaya diri, sehingga tidak efektif dalam pergaulan sosial. Untuk mencapai suatu tahap kesadaran diri, orang membutuhkan pengalaman dan interaksi sosial. Seseorang dapat mengemukakan pikiran, perasaan, ide, atau kekesalan pada orang lain dengan harapan orang lain akan memberikan perhatian atau umpan balik pada dirinya

Dalam kaitan keadilan gender, kesadaran kritis yang dibangun bukan hanya pada sisi perempuan tapi juga juga sisi laki-laki. Konstruksi pemikiran yang harus dikembangkan laki-laki dan perempuan adalah berbeda secara kodrati, namun sama dalam pandangan sosial.

Review Hasil Penelitian tentang Gender

Membicarakan persoalan gender dalam pembangunan atau dalam sektor publik tidak bisa terlepaskan dari persolan keadilan peran. Salah satunya disampaikan oleh Wiyono (2005) yang menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Pertama, pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan kelurahan tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari Kecamatan Laweyan Kota Surakarta telah berjalan dengan melibatkan seluruh unsur yang ada di kelurahan dan telah menyusun daftar skala prioritas pembangunan di bidang umum, ekonomi, sosial budaya dan fisik prasarana. Kedua, akses atau peluang perempuan yang terlibat di empat bidang musrenbangkel tahun 2005 masih rendah kecuali bidang sosial budaya. Ketiga, partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari adalah rendah karena perempuan yang terlibat dalam kepanitiaan dan hadir dalam musrenbangkel tahun 2005 relatif sedikit, terutama karena waktu pelaksanaan Musrenbangkel tahun 2005 dipandang tidak tepat atau tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan. Keempat, kontrol perempuan dalam proses pengambilan keputusan penyusunan daftar skala prioritas pembangunan adalah rendah karena disebabkan masih terbatas posisi atau kedudukan perempuan dalam sidang pleno dan sidang komisi. Kelima, daftar

(35)

skala prioritas pembangunan yang disusun telah memberi manfaat dan memperhatikan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis walaupun dalam porsi yang terbatas.

Hal senada juga disampaikan Sulistiyani (2004) yang menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan profil akses dapat diketahui bahwa golongan laki-laki mendominasi akses dan kontrol terhadap sumberdaya tanah, peralatan, tenaga kerja, pendidikan dan organisasi. Bahkan pada pemanfaatan dari kegiatan pembangunan, manfaat atas pendapatan dari luar, kepemilikan kekayaan, dan kekuatan politik masih didominasi laki-laki.

Kedua, dalam pendekatan perencanaan gender ternyata berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran baru sebatas memenuhi kebutuhan praktis saja, sementara kebutuhan strategis belum tersentuh, dengan demikian upaya untuk mengangkat derajat perempuan agar setara dengan laki-laki masih belum tercermin dalam berbagai program selama ini.

Ketiga, dalam menggunakan alat analisis siklus proyek program PPK tahap II tahun 2003 yang diwujudkan dalam pembangunan jalan gendengan ternyata masih ada kesenjangan gender. Hal tersebut dapat dilihat dari kecilnya partispasi perempuan dalam setiap proses kegiatan proyek. Bahkan out put yang dihasilkan juga belum mampu memenuhi kebutuhan praktis dan strategis golongan perempuan

Keempat, berdasarkan profil perencanaan gender berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran telah sesuai dengan peran produktif dan reproduktif yang diharapkan perempuan. Tetapi kenyataan di lapangan terpenuhi baru kebutuhan praktis saja, kebutuhan strategis perempuan masih belum terpenuhi.

Kelima, ada korelasi antara semakin baik indeks pembangunan gender maka akan baik juga indeks pemberdayaan gender. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi kualitas SDM perempuan yang baik akan semakin tinggi peran perempuan dalam pembangunan. Atau sebaliknya dapat diartikan, bahwa jika peran perempuan dalam pembangunan relatif tinggi akan berdampak pada peningkatan kualitas SDM perempuan. Keberhasilan upaya pemberdayaan perempuan akan

Gambar

Gambar 2. Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri
Gambar 3. Peran komunikasi dalam pembangunan
Gambar 6. Kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait