• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA Kegiatan PNPM Mandiri (Halaman 33-37)

2. Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam

masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.

3. Kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengidentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.

4. Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab-akibat.

Kesadaran kritis mengintegrasikan diri dengan realitas kesadaran naïf yang mengambang di atas realitas dan kesadaran fanatik yang secara patologis berkembang ke arah irasionalitas dan menyesuaikan diri dengan realitas. Pada gilirannya, setiap pemahaman realitas lambat atau cepat akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Proses pemberdayaan melalui penyadaran berarti mengantarkan masyarakat menuju gerbang kebangkitan dan menolong mereka dari kesadaran transitif naïf ke kesadaran transitif kritis.

Proses penyadaran menurut Havelock (1975) dalam Anwar (2007) dalam tahap pertama seorang individu dikenalkan pada suatu inovasi dan diupayakan untuk menyadari inovasi tersebut. Pada tahap awal kontak seorang adopter potensial, agen pembaruan harus menyakinkan bahwa mereka mendengarkan dan memahami bahwa dia mengembangkan beberapa konsep mengenai inovasi.

Dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan sebuah kesadaran kritis berasal dari refleksi diri tentang keadaan dirinya yang dipertegas dengan upaya konkret baik melalui pendidikan maupun penyebaran inovasi (rekayasa sosial). Refleksi diri diharapkan mampu menciptakan konsep diri yang positif yang pada akhirnya akan membentuk harga diri yang kuat.

Harga diri merupakan penilaian tentang keberartian diri dan nilai seseorang yang didasarkan atas proses pembuatan konsep dan pengumpulan informasi tentang diri beserta pengalamannya (Johnson & Johnson 1991). Oleh karenanya, orang dengan konsep diri positif akan lebih tepat memberikan nilai keberartian dirinya. Orang dengan harga diri rendah menyebabkan kurang percaya diri, sehingga tidak efektif dalam pergaulan sosial. Untuk mencapai suatu tahap kesadaran diri, orang membutuhkan pengalaman dan interaksi sosial. Seseorang dapat mengemukakan pikiran, perasaan, ide, atau kekesalan pada orang lain dengan harapan orang lain akan memberikan perhatian atau umpan balik pada dirinya

Dalam kaitan keadilan gender, kesadaran kritis yang dibangun bukan hanya pada sisi perempuan tapi juga juga sisi laki-laki. Konstruksi pemikiran yang harus dikembangkan laki-laki dan perempuan adalah berbeda secara kodrati, namun sama dalam pandangan sosial.

Review Hasil Penelitian tentang Gender

Membicarakan persoalan gender dalam pembangunan atau dalam sektor publik tidak bisa terlepaskan dari persolan keadilan peran. Salah satunya disampaikan oleh Wiyono (2005) yang menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Pertama, pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan kelurahan tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari Kecamatan Laweyan Kota Surakarta telah berjalan dengan melibatkan seluruh unsur yang ada di kelurahan dan telah menyusun daftar skala prioritas pembangunan di bidang umum, ekonomi, sosial budaya dan fisik prasarana. Kedua, akses atau peluang perempuan yang terlibat di empat bidang musrenbangkel tahun 2005 masih rendah kecuali bidang sosial budaya. Ketiga, partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel tahun 2005 di Kelurahan Pajang, Kerten dan Purwosari adalah rendah karena perempuan yang terlibat dalam kepanitiaan dan hadir dalam musrenbangkel tahun 2005 relatif sedikit, terutama karena waktu pelaksanaan Musrenbangkel tahun 2005 dipandang tidak tepat atau tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan. Keempat, kontrol perempuan dalam proses pengambilan keputusan penyusunan daftar skala prioritas pembangunan adalah rendah karena disebabkan masih terbatas posisi atau kedudukan perempuan dalam sidang pleno dan sidang komisi. Kelima, daftar

skala prioritas pembangunan yang disusun telah memberi manfaat dan memperhatikan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perempuan yang berkaitan dengan kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis walaupun dalam porsi yang terbatas.

Hal senada juga disampaikan Sulistiyani (2004) yang menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan profil akses dapat diketahui bahwa golongan laki-laki mendominasi akses dan kontrol terhadap sumberdaya tanah, peralatan, tenaga kerja, pendidikan dan organisasi. Bahkan pada pemanfaatan dari kegiatan pembangunan, manfaat atas pendapatan dari luar, kepemilikan kekayaan, dan kekuatan politik masih didominasi laki-laki.

Kedua, dalam pendekatan perencanaan gender ternyata berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran baru sebatas memenuhi kebutuhan praktis saja, sementara kebutuhan strategis belum tersentuh, dengan demikian upaya untuk mengangkat derajat perempuan agar setara dengan laki-laki masih belum tercermin dalam berbagai program selama ini.

Ketiga, dalam menggunakan alat analisis siklus proyek program PPK tahap II tahun 2003 yang diwujudkan dalam pembangunan jalan gendengan ternyata masih ada kesenjangan gender. Hal tersebut dapat dilihat dari kecilnya partispasi perempuan dalam setiap proses kegiatan proyek. Bahkan out put yang dihasilkan juga belum mampu memenuhi kebutuhan praktis dan strategis golongan perempuan

Keempat, berdasarkan profil perencanaan gender berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan di komunitas Desa Sudagaran telah sesuai dengan peran produktif dan reproduktif yang diharapkan perempuan. Tetapi kenyataan di lapangan terpenuhi baru kebutuhan praktis saja, kebutuhan strategis perempuan masih belum terpenuhi.

Kelima, ada korelasi antara semakin baik indeks pembangunan gender maka akan baik juga indeks pemberdayaan gender. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi kualitas SDM perempuan yang baik akan semakin tinggi peran perempuan dalam pembangunan. Atau sebaliknya dapat diartikan, bahwa jika peran perempuan dalam pembangunan relatif tinggi akan berdampak pada peningkatan kualitas SDM perempuan. Keberhasilan upaya pemberdayaan perempuan akan

dapat dicapai jika ada upaya peningkatan kualitas sumberdaya perempuan. Peningkatan kualitas sumberdaya perempuan akan mendorong peran perempuan dalam pembangunan

Hadiprakoso (2005) menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: Berdasarkan pada pembagian kerja dapat disimpulkan bahwa pekerjaan produktif yang mendapatkan upah didominasi oleh golongan laki-laki, golongan perempuan mendominasi pekerjaan reproduktif, tidak mendapatkan upah dan pekerjaan yang dilakukan di dalam komunitas domestik.

Munaf (2004) menunjukkan hasil penelitiannya tentang peran gender dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di Kota Ternate Maluku Utara menyatakan bahwa rata-rata alokasi curahan waktu laki-laki untuk kegiatan reproduktif lebih besar 3,5 jam dibandingkan dengan perempuan.

Dari review ini menunjukkan bahwa terdapat diskriminasi peran antara laki-laki dan perempuan. Diduga diskriminasi ini merupakan hasil sebuah produk budaya masyarakat yang bercorak pada kultur patriarki. Selain itu keadaan ini menunjukkan rendahnya kesadaran kritis perempuan untuk melakukan refleksi terhadap kontruksi budaya yang tidak adil, yang memiliki dampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat.

Kerangka Pemikiran

PNPM Mandiri salah satu program yang memperhatiakan aspek gender. PNPM Mandiri bukan program yang dikhususkan dalam pemberdayaan perempuan namun spirit yang dikandung dalam program ini salah satunya mengakomodir peranserta perempuan dalam pembangunan.

Pembangunan merupakan transaksi antara pemberi manfaat dan penerima manfaat. Proses transaksi ini tentunya tidak bisa terlepaskan dari proses komunikasi. Dalam proses komunikasi terdapat subyek atau pelaku yang terdiri dari komunikator dan komunikan yang memberi dan menerima pesan. Dalam proses komunikasi perlu dipahami juga tentang model komunikasi yang digunakan, media yang dipakai termasuk juga sistem komunikasi yang berlaku pada sistem sosial yang ada. Tujuan komunikasi secara umum untuk menciptakan kesamaan antara komunikator dan komunikan.

Dalam konteks penelitian ini, komunikasi ditujukan sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran kritis pengarusutamaan gender kegiatan pinjaman bergulir PNPM Mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan sebuah upaya untuk menciptakan keadilan gender yang dilihat dari aspek-aspek isu gender. Isu gender sendiri meliputi akses, partisipasi, pemanfaatan dan kontrol dalam kegiatan pinjaman bergulir.

Keberhasilan komunikasi dalam mencipatakan pengarusutamaan gender tidak hanya dipandang berdasarkan elemen dasar proses komunikasi (komunikator, pesan dan komunikan). Komunikasi harus dilihat juga pada aspek terpaan, konsep diri dan internalisasi dan keragaman karakteristik komunikan.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas kerangka pemikiran dapat digambarkan secara skematis pada Gambar 6 berikut ini.

Gambar 6. Kerangka pemikiran

Gambar 6. Kerangka pemikiran

61 • Terpaan pesan. • Konsep diri komunikan. Komunikator • Model Komunikasi • Pesan • Sistem komunikasi • Media komunikasi Internalisasi:

• Pencitraan dan aktivasi program. • Keragaman karakteristik.

PENGARUSUTAMAAN GENDER KEGIATAN PINJAMAN BERGULIR • Akses perempuan terhadap pinjaman bergulir.

• Partisipasi perempuan pada kelembagaan unit pengelola keuangan. • Pemanfaatan pinjaman bergulir oleh perempuan.

• Kontrol perempuan pada kegiatan pinjaman bergulir

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA Kegiatan PNPM Mandiri (Halaman 33-37)

Dokumen terkait