DETEKSI BEGOMOVIRUS PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) BERPENYAKIT DI DAERAH TANAH
KARO SUMATERA UTARA DENGAN TEKNIK PCR
SKRIPSI
RAHMI MAULIDIYAH ACEH 130805050
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
ii
DETEKSI BEGOMOVIRUS PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) BERPENYAKIT DI DAERAH TANAH
KARO SUMATERA UTARA DENGAN TEKNIK PCR
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sajana Sains
RAHMI MAULIDIYAH ACEH 130805050
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
iv
DETEKSI BEGOMOVIRUS PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) BERPENYAKIT DI DAERAH TANAH KARO
SUMATERA UTARA DENGAN TEKNIK PCR
ABSTRAK
Begomovirus (dari kelompok Geminivirus) merupakan salah satu virus penyebab penyakit yang banyak mengakibatkan kerugian pada tanaman cabai yang terdapat di Tanah Karo. Adanya infeksi Begomovirus menyebabkan tanaman cabai tidak dapat melakukan produksi dengan baik sehingga mengakibatkan penurunan baik dari segi kualitas maupun kuantitas tanaman cabai di Tanah Karo. Deteksi Begomovirus hanya dengan melihat gejala morfologinya saja tidak dapat memberikan hasil yang akurat karena Begomovirus memiliki gejala yang hampir sama dengan penyakit akibat virus lainnya. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi Begomovirus secara molekuler dengan menggunakan teknik PCR. Sebanyak 20 sampel daun tanaman cabai bergejala virus dikoleksi dari 20 Desa yang ada di Tanah Karo. Hasil penelitian berupa adanya gejala morfologi seperti vein clearing, tulang daun menebal dan melengkung keatas (cupping), daun-daun muda mengecil dan helai daun bewarna kuning cerah. PCR dengan menggunakan primer spesifik Begomovirus menunjukkan adanya fragmen DNA berukuran 1500 Bp pada seluruh sampel DNA tanaman cabai. Hasil anatomi berupa kerapatan stomata menunjukkan tanaman cabai sehat memiliki kerapatan stomata yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman terinfeksi Begomovirus
Kata Kunci: Begomovirus, PCR (Polymerase Chain Reaction), Deteksi molekuler,
Capsicum annum, Stomata.
vi
BEGOMOVIRUS DETECTION ON DISEASED CHILI PLANT (Capsicum annum L.) IN TANAH KARO NORTH SUMATERA WITH
PCR TECHNIQUES
ABSTRACT
Begomovirus (from the Geminivirus) is one of the most common virus that causes losses of chili plants in Tanah Karo. The existence of Begomovirus infection effect the chili plant reduce the production, and make a decrease in both the quality and quantity of that. Begomovirus detection only by looking at morphological symptoms could not provide accurate results. It is because Begomovirus has symptoms that are almost identical to other viral diseases. Therefore this research was done to detect Begomovirus molecularly by using PCR technique. A total of 20 leaf samples from chili plant with symptomatic virus were taken from 20 villages in Tanah Karo.
Results of the research were morphological symptoms such as vein clearing, thickened and curved leaf bones (cupping), young leaves shrink and bright yellow colored leaves. PCR by using specific primers Begomoviruses indicated the presence of a 1500 Bp DNA fragment in all samples of chili DNA. Anatomical results in the form of stomatal density showed healthy chili plants have greater stomata density compared to Begomovirus infected plants.
Keywords: Begomovirus, PCR (Polymerase Chain Reaction), Molecular detection,
Capsicum annum, Stomata.
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan Anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian yang berjudul “Deteksi Begomovirus Pada Tanaman Cabai Berpenyakit Di Daerah Tanah Karo Sumatera Utara Dengan Teknik PCR”. Kemudian tidak lupa Sholawat dan Salam penulis sampaikan kepada suri tauladan sekaligus Nabi dan Rasul terakhir yaitu Rasulullah Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.
Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Sarjana Sains di bidang Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pertama kali penulis mengucapkan terimakasih terbesar kepada ayahanda dan ibunda tercinta yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat, dukungan dan motivasi yang besar kepada penulis. Kepada kak Ega, kak Rahma, Adam dan Nasyrah yang selalu menghibur dan juga memberikan motivasi kepada penulis selama ini dalam menyelesaikan penelitian.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Elimasni, M.Si selaku dosen pembimbing II, Ibu Dr. Isnaini Nurwahyuni selaku dosen penguji I dan Bapak Prof.
Dr. Dwi Suryanto selaku dosen penguji II yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, arahan, motivasi, semangat dan waktu kepada penulis dalam penyempurnaan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada Departemen Biologi S1 dan seluruh staf dosen pengajar yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman BIOSFER dan seluruh asisten di Laboratorium Genetika. Terima kasih banyak kepada Fattia Mastura, Yuni Suhaya Munthe, Sahreza Pahlevi dan Ummu Kulsum yang juga telah banyak membantu dan meluangkan waktu dalam penyelesaian penelitian ini. Kemudian terkhusus untuk Lili, kak Anggi, Putri, Yuni, ukhty Khanza dan Mustaqim sebagai sahabat sekaligus saudara satu visi misi yang telah banyak memberikan motivasi, dukungan dan nasehat-nasehat yang sangat berharaga bagi penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini tanpa mengabaikan kewajiban sebagai hamba dari Rabbul ‘aalamiin. Terimakasih juga kepada Mei, adik- adik dan teman semuanya yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu yang telah membantu dan memeberikan kesan mendalam bagi penulis selama menyelesaikan penelitian ini.
Akhirnya, dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini.
Medan, Oktober 2018
Rahmi Maulidiyah Aceh
viii DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) 4
2.2 Penyakit Pada Tanaman Cabai 5
2.2.1 Penyakit Virus Kuning (Geminivirus) 5
2.3. Begomovirus 6
2.3.1 Hubungan Antara Begomovirus dengan Vektor 6 2.4. Gejala Penyakit Akibat Infeksi Begomovirus 7 2.5. Teknik Molekuler Dalam Deteksi Agen Penyakit 9 BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat 10
3.2. Metode Penelitian 10
3.3. Prosedur Kerja 10
3.3.1. Pengambilan Sampel 10
3.3.2. Ekstraksi DNA 10
3.3.3. Analisis PCR 11
3.3.4. Analisis Data 12
3.3.5. Pembuatan Preparat Uji Kerapatan Stomata 12 BAB 4. HASIL PENELITIAN
4.1 Gejala Morfologi Daun Tanaman Cabai Terinfeksi Virus 13
4.2 Isolasi DNA 17
4.3 Hasil Deteksi PCR Tanaman Cabai Berpenyakit Di Daerah Tanah Karo
18 4.4 Anatomi Daun Tanaman Cabai Terserang Begomovirus 20 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 22
5.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Halaman
2.1 Vektor Begomovirus (Bemisia tabaci). 7
2.2 Tanaman cabai berpenyakit; a) vein clearing, b) Pucuk daun tanaman cabai berpenyakit.
8 4.1 Perbandingan gejala daun tanaman cabai yang terserang
virus: vein clearing (A), daun keriting dan kaku (B), tulang daun menebal (C), terdapat mosaik (D), tepi daun menggulung keatas (E), ukuran daun mengecil (F), warna daun hijau kekuningan (G) sampai kuning cerah (H) dan malformasi pada daun (I) dengan kontrol daun sehat (J).
14
4.2 Pita DNA dari 20 sampel daun tanaman cabai yang dielektroforesis dengan pengaturan arus listrik 100 A selama 30 menit (S1-S20= pita DNA tanaman cabai yg terinfeksi virus).
17
4.3 Elektroforesis hasil PCR DNA tanaman cabai bergejala virus dari Tanah Karo dengan menggunakan primer spesifik Begomovirus pada agarosa 1%. (M= Marker;
KN1= Kontrol Negatif 1; KN2= Kontrol Negatif 2; KP=
Kontrol Positif). a.) S1-S10= sampel DNA tanaman cabai yang terinfeksi virus; b.) S11-S20= sampel DNA tanaman cabai yang terinfeksi virus.
19
4.4 Perbedaan jumlah stomata tanaman terserang Begomovirus dan tanaman sehat dengan perbesaran 10x40. 1) sayatan membujur daun tanaman cabai terinfeksi Begomovirus, 2) sayatan membujur daun tanaman cabai sehat; (a) Sel tetangga, (b) Sel penutup, (c) Stoma.
20
x DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Halaman
3.1 Runutan primer untuk deteksi virus pada cabai. 11 3.2 Komposisi reaktan Polymerase Chain Reaction (PCR)
untuk satu kali reaksi amplifikasi DNA genom virus.
11 3.3 Kondisi PCR untuk mendeteksi virus pada tanaman cabai. 12 4.1 Gejala penyakit cabai yang ada di Tanah Karo 15 4.2 Kerapatan stomata daun tanaman cabai di beberapa desa
sentra produksi cabai di Tanah Karo
21
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu sayuran yang memiliki banyak manfaat dan disukai oleh masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Cabai biasanya dipakai sebagai bumbu dapur dan pelengkap masakan, selain itu juga dimanfaatkan dalam bidang kesehatan sebagai campuran obat-obatan herbal bahkan sebagai anti kanker.
Kandungan kimia utama cabai yang bermanfaat sebagai obat adalah antioksidan, lasparaginase, dan capsaicin (Kilham, 2006).
Di Indonesia produktivitas cabai tergolong rendah yaitu 4,17 ton/ha (Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2001). Pada akhir 2010 cabai mengalami kenaikan harga mencapai Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per kg dimana kisaran harga cabai normal adalah Rp. 28.500-30.000 per kg (BPS, 2011). Rendahnya produktivitas ini disebabkan karena penggunaan varietas berdaya hasil rendah dan rentan terhadap hama dan penyakit.
Tanah Karo merupakan salah satu sentra produksi cabai yang ada di Sumatera Utara. Berdasarkan pengakuan dari para petani cabai bahwa produksi cabai di Tanah Karo mengalami penurunan akibat kegagalan panen sehingga tidak dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat. Selama periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah cabai yang diminta meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan di Provinsi Sumatera Utara. Kegagalan panen yang terjadi disebabkan karena adanya serangan penyakit yang mengakibatkan tanaman tidak berproduksi dengan baik. Gejala penyakit yang sering terlihat yaitu daun berwarna kuning cerah, adanya penebalan pada tulang daun, tepi daun menggulung keatas dan ukuran tanaman kerdil.
Berbagai usaha telah banyak dilakukan demi meningkatkan kembali produksi
dan kualitas cabai, namun hal tersebut sering kali tidak berjalan mulus akibat adanya
kendala Organisme Pengganggu tanaman (OPT). Kendala OPT tersebut yaitu adanya
infeksi oleh bakteri, cendawan dan virus. Infeksi virus pada cabai dapat
menyebabkan kegagalan panen dan paling sulit dikendalikan (Suzuki et al., 2003).
2
Tanaman cabai di Indonesia banyak yang terinfeksi oleh virus gemini yang mengakibatkan penyakit kuning atau penyakit bulai (Sudiono et al., 2006). Penyakit akibat inveksi virus berupa daun keriting kuning pada tanaman cabai pertama kali dilaporkan tahun 1999 di Jawa Barat, penyebabnya adalah geminivirus dari genus Begomovirus (Hidayat et al.,1999) dan telah menyebar dengan cepat ke berbagai sentral tanaman cabai di Indonesia (Mudmainah et al., 2010). Gejala penyakit ini sangat khas meliputi tulang daun menebal, tepi daun menggulung ke atas, terdapat mosaik, dan helai daun berwarna kuning cerah sampai tanaman menjadi kerdil yang selanjutnya mengganggu fase generative-nya sehingga tanaman cabai tidak dapat berproduksi dengan baik (Sulandari et al., 2006).
Selama ini deteksi Begomovirus banyak dilakukan dengan metode konvensional dengan melihat gejala khas pada tanaman cabai yang terserang penyakit. Namun cara ini belum dapat memastikan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh Begomovirus atau virus yang lainnya (Aidawati, 2006). Epidemi penyakit oleh Begomovirus yang berpotensi menghambat produksi tanaman cabai mengharuskan adanya suatu prosedur untuk mendeteksi Begomovirus di dalam tanaman, diantaranya dengan metode PCR (Polymerase chain reaction). Teknik PCR dewasa ini berkembang sangat pesat untuk deteksi berbagai virus tumbuhan. Deteksi dengan PCR telah banyak dilakukan dan memberikan hasil yang akurat. Seperti yang telah dilakukan oleh Nurulita (2015) yang berhasil mendeteksi Begomovirus spesies MYMIV dengan menggunakan pasangan primer universal PAL1v1978/ PAR1c715, dan Kintasari (2013) berhasil mengidentifikasi Tomato Yellow Leaf Curl Kanchanaburi Virus pada tanaman terung dengan menggunakan primer SPG1/SPG2.
Deteksi virus secara PCR memberikan hasil yang akurat, cepat dan sangat peka.
Teknik PCR hanya memerlukan jumlah sampel yang sedikit berupa bahan segar, sudah dikeringkan atau beku (Sulandari, 2004).
1.2. Perumusan Masalah
Cabai merupakan tanaman yang sangat diminati banyak orang terutama
masyarakat Sumatera Utara. Rendahnya produksi cabai salah satunya diakibatkan
oleh penyakit pada tanaman cabai yang diantaranya disebabkan oleh virus. Untuk itu
perlu adanya suatu penelitian untuk mendeteksi virus penyebab penyakit pada
3
tanaman cabai. Teknik PCR merupakan teknik yang tepat karena memberikan hasil yang akurat dengan menggunakan jumlah sampel yang sedikit dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya begomivirus penyebab penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai berpenyakit dengan menggunakan teknik PCR dan melihat perbandingan kerapatan stomata tanaman cabai berpenyakit dengan tanaman cabai sehat yang ada di Daerah Tanah Karo Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi mengenai
penyakit cabai di daerah Tanah Karo Sumatera Utara, sehingga data yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai dasar dalam pengendalian penyakit tanaman dan pembuatan
bibit unggul.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Tanaman Cabai (Capsicum annum L.)
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili Solanaceae dengan nama ilmiah Capsicum annum. Cabai mengandung capsaicin, dihidrokapsaisin, vitamin (A, C), damar, zat warna capsantin, karoten, capsarubin, zeasantin, kriptosantin, dan lutein.
Selain itu, juga mengandung mineral, seperti zat besi, kalium, kalsium, fosfor, dan niasin. Zat aktif capsaicin berkhasiat sebagai stimulan yang akan mengakibatkan rasa terbakar di mulut dan keluarnya air mata jika dikonsumsi berlebihan. Capsaicin pada cabai juga menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas sehingga sangat cocok digunakan sebagai rempah-rempah maupun obat-obatan herbal ( Harpenas, 2010).
Di Indonesia, cabai merupakan salah satu komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data Biro Pusat Statistik tahun 2012, yang menunjukkan bahwa cabai telah dibudidayakan di seluruh Indonesia dengan luas lahan, produksi dan produktivitas yang cukup bervariasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Bina Produksi Hortikultura, produktivitas cabai merah Indonesia tergolong rendah yaitu 4,17 ton/ha. Luas panen cabai merah Indonesia mencapai 110.170 hektar dengan produksi 714.705 ton per tahun pada tahun 2004 dan menurun menjadi 103.531 hektar dengan produksi 661.730 ton per tahun pada tahun 2005 (Deptan, 2007). Rendahnya produktivitas ini karena penggunaan varietas berdaya hasil rendah, rentan terhadap hama dan penyakit (Kusandriani, 1996).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman cabai antara lain: iklim, tanah, air, dan faktor biotik seperti gangguan hama
dan penyakit, serta tumbuhan pengganggu (Tjahjadi, 1991). Infeksi oleh virus
merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai merah dan dapat
mengakibatkan kegagalan panen (Greenleaf, 1986). Sulyo et al., (1993)
menyebutkan bahwa sekitar 40 virus mampu menginfeksi tanaman cabai, sedangkan
Duriat et al., (1995) menyatakan bahwa sekitar 45 virus yang berbeda mampu
5
menginfeksi tanaman cabai. Salah satu penyakit yang menyerang tanaman cabai yaitu penyakit daun keriting kuning yang diakibatkan oleh Begomovirus.
2.2 Penyakit Pada Tanaman Cabai
Salah satu kendala utama rendahnya produktivitas cabai nasional tersebut disebabkan oleh infeksi virus tanaman. Penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus merupakan salah satu faktor pembatas penting dalam budidaya cabai. Ada beberapa macam virus telah dilaporkan dapat menyerang berbagai kultivar cabai di Indonesia (Duriat et al., 1994; Suryaningsih dkk., 1996). Salah satu nya yang paling sering menyerang tanaman cabai dan menyebabkan kerugian yang cukup besar yaitu inveksi oleh virus Begomovirus. Beberapa virus juga menyerang tanaman cabai di antaranya yaitu cucumber mosaic virus (CMV), chilli veinal mottle virus (CVMV), potato virus Y (PVY) dan Tobaco Mosaic Virus (TMV) dapat menyebabkan timbulnya gejala mosaik Gejala penyakit pada tanaman cabai berupa bercak kuning di sekitar tulang daun, tulang daun menebal dan helai daun menggulung ke atas (cupping). Gejala lanjut menunjukan daun-daun muda menjadi kecil-kecil, helai daun berwarna kuning cerah atau hijau muda berseling dengan warna kuning dan cerah, akhirnya tanaman kerdil (Sulandari et al., 2004). Berikut adalah beberapa penyakit yang sering menginveksi tanaman cabai
2.2.1. Penyakit Virus kuning (Gemini Virus)
Helai daun mengalami vein clearing dimulai dari daun pucuk berkembang menjadi warna kuning jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke atas.
Infeksi lanjut dari gemini virus menyebabkan daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah. Keberadaan penyakit ini sangat merugikan karena mampu mempengaruhi produksi buah.
Selain cabai virus ini juga mampu menyerang tanaman tomat, buncis, gula
bit, babadotan, atau tanaman pertanian yang lain. Penyakit ini disebabkan oleh virus
gemini dengan diameter partikel isometri berukuran 18–22 nm. Virus gemini
mempunyai genome sirkular DNA tunggal. Virus dapat ditularkan melalui
penyambungan dan melalui vektor Bemisia tabaci (BPS, 2011).
6
2.3 Begomovirus
Begomovirus (dari Bean Golden Mosaic Virus) merupakan salah satu Genus virus partikel kembar (virus Gemini atau Geminiviridae) berupa virus tumbuhan dengan DNA utas tunggal yang berbentuk sirkuler. DNA Begomovirus berukuran relatif kecil yang dibungkus dalam sebuah partikel geminate. Genom dari Begomovirus dapat berupa monopartit atau bipartit (Fauquet & Stanley, 2005).
Penyakit daun menguning ini baru muncul pada tahun 2008 dan dapat menimbulkan kerugian sampai 100% (Santoso, 2013).
Begomovirus dapat terbawa oleh serangga vektor (Bemisia tabaci) dari ordo Hemiptera famili Aleyrodidae yang memiliki kisaran inang luas dan menginfeksi tanaman dikotil sehingga penyebarannya cukup luas dan ditularkan dengan cara penularan persisten sirkulatif (Idris et al., 2001; Brown & Czosnek, 2002).
Begomovirus tidak hanya menyerang tanaman cabai, namun juga seperti yang terjadi pada tanaman Labu (Cucurbitaceae) di Thailand (Ito et al., 2008). Penyakit ini berasosiasi dengan Squash Leaf Curl China Virus dan menyerang tanaman labu (Cucurbita pepo L.). Selain itu tanaman mentimun ditemukan menunjukkan gejala penyakit daun menguning yang parah sejak tahun 1996 Samretwanich et al., berhasil mendeteksi Begomosvirus dengan mendapatkan urutan nukleotida Begomovirus dari tanaman mentimun, melon (Cucumis melo L.), cantaloupe (Cucumis melo var.
reliculatus) dan wax gourd (Benincase hispida Cogn.) (Septariani, 2014). Infeksi Begomovirus paling parah terjadi pada tanaman cabai di daerah Jawa Barat pada tahun 1999 yang disebabkan oleh Pepper Yellow Leaf Curl Virus (PYLCV).
Spesies PYLCV (Pepper Yellow Leaf Curl Virus) dimasukkan ke dalam genus Begomovirus dan famili Geminiviridae (kelompok Geminivirus). Di dalam klasifikasinya, famili Geminiviridae dibagi menjadi empat genus yang berbeda berdasarkan organisasi genetik, tanaman inang dan vektor yang menginfeksi yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Topocuvirus dan Begomovirus(van Regenmortel et al., 1999).
2.3.1. Hubungan Antara Begomovirus dengan Vektor
Begomovirus termasuk famili Geminiviridae yang merupakan kelompok
terbesar penyebab penyakit pada tanaman. Perkembangan penyakit yang disebabkan
7
oleh Begomovirus sangat cepat karena penyebaran juga sangat cepat. Penyebaran Begomovirus yang sangat cepat dan tersebar luas tidak luput dari peran serangga vektornya yaitu kutu kebul Bemisia tabaci (Gambar 2.2.1) yang memiliki daerah penyebaran yang luas terutama di daerah tropik dan sub tropik, termasuk Indonesia (Hidayat 2006). Bemisia tabaci mempunyai inang kurang lebih 600 spesies tanaman dari golongan dikotil, monokotil, dan bahkan beberapa gulma. Hubungan Begomovirus dengan kutu kebul pada umumnya bersifat persisten, tidak mengalami replikasi dalam tubuh vektornya dan tidak ditularkan ke generasi berikutnya (Aidawati et al. 2002).
Gambar 2.1 Vektor Begomovirus (Bemisia tabaci) (Trisno et al., 2014)
Keberadaan serangga vektor Bemisia tabaci dengan kisaran inang yang luas ini memungkinkan perkembangan penyakit sangat cepat. Hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa Begomovirus hanya ditularkan oleh serangga vektor Bemisia tabaci, tidak dapat ditularkan melalui benih dan secara mekanik (Sulandari et al. 2001).
2.4 Gejala Penyakit Akibat Infeksi Begomovirus
Begomovirus menginfeksi tanaman muda dari daun muda atau pucuk
sehingga tanaman tidak dapat berproduksi sama sekali dan menyebabkan tanaman
menjadi kerdil (Gambar 2.3). Tanaman yang terinfeksi Begomovirus menunjukkan
gejala berupa klorosis pada daun, tepi daun menggulung, daun keriting dan
menguning sampai tanaman menjadi kerdil. Daun menjadi kaku dan apabila diremas
akan pecah seperti kerupuk sehingga disebut penyakit kerupuk (Trisno et al., 2014).
8
Gambar 2.2.Tanaman cabai berpenyakit. a) vein clearing; b) Pucuk daun tanaman cabai berpenyakit. (Trisno et al., 2014)
Gejala awal yang ditimbulkan pada daun cabai rawit maupun cabai besar berupa penjernihan tulang daun (vein clearing) yang kemudian berkembang menjadi warna kuning, penebalan tulang daun, dan penggulungan daun (cupping). Infeksi lanjut geminivirus menyebabkan daun-daun mengecil, berwarna kuning cerah, dan tanaman menjadi kerdil (Sulandari et al., 2006).
Tingginya aktivitas virus kemungkinan akan mempengaruhi proses metabolisme sehingga dapat menurunkan proses pertumbuhan tanaman, dan merupakan salah satu penyebab tanaman menjadi kerdil. Metabolisme utama yang diserang yaitu proses fotosintesis yang berhubungan dengan pigmen klorofil (Gonçalves et al., 2005). Tanaman yang mendapat infeksi CMV kemungkinan akan mereduksi pertumbuhannya baik fase vegetatif maupun generatif. Beberapa penelitian telah membuktikan infeksi virus mampu menurunkan pertumbuhan tanaman, menurunkan hasil dan komponen hasil tanaman. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah. Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme, sehingga menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Sopandie et al., 2003). Penurunan fotosintesis pada tanaman terinfeksi virus merupakan akibat dari menurunnya efisiensi kloroplas.
Mekanisme fisiologi yang terjadi mengakibatkan penurunan pertumbuhan, antara lain perubahan aktivitas hormon pertumbuhan dan berkurangnya kemampuan tanaman dalam pengambilan nutrisi (Hamidah, 2014).
a b
9
2.5 Teknik Molekuler Dalam Deteksi Agen Penyakit
Kemajuan di bidang biologi molekuler telah menghadirkan beberapa teknik yang dapat digunakan untuk deteksi dan identifikasi virus, salah satunya adalah Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik ini sangat sensitif dan spesifik untuk deteksi dan identifikasi patogen-patogen tanaman dan juga dapat digunakan untuk mengetahui komposisi populasi patogen serta diversitas genetik virus (Rojas et al., 1993).
Sejak PCR ditemukan pada akhir tahun 1980an, teknik ini dipakai secara cepat, intensif dan meluas pada hampir semua cabang ilmu hayati, termasuk mikrobiologi medis dan veteriner (Viljoen et al., 2005). Sebagai alat diagnosis penyakit menular, PCR secara langsung menempati posisi yang sangat dominan karena kemampuannya mendeteksi secara cepat dan akurat keberadaan agen penyakit walaupun keberadaannya dalam spesimen sangat sedikit. Segmen spesifik nukleotida agen penyakit digandakan jutaan kali oleh PCR sehingga hasil gandaan yang disebut amplikon dapat divisualisasi. Elektroforesis agarose dengan pewarnaan ethidium bromida merupakan cara yang paling banyak dipakai untuk memvisualisasi amplikon tersebut (Oroskar et al., 1996).
Deteksi dan identifikasi penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus
umumnya menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pada tanaman
tomat, identifikasi Begomovirus menggunakan primer Degenerate dan spesifik Gen
AV1 menunjukkan bahwa semua contoh tanaman menghasilkan amplikon yang
berukuran 780 bp (Santoso et al., 2013). Pasangan primer universal seperti
PAL1v1978/ PAR1c715 berhasil mendeteksi Begomovirus spesies MYMIV
(Nurulita et al., 2015), dan pada tanaman terung primer SPG1/SPG2 berhasil
mengidentifikasi Tomato Yellow Leaf Curl Kanchanaburi Virus (Kintasari et al.,
2013). ToLCNDV telah diketahui menginfeksi tanaman mentimun di Kabupaten
Bogor dan Subang (Jawa Barat), Kabupaten Tegal dan Sukoharjo (Jawa Tengah),
serta Kabupaten Sleman (DIY Yogyakarta), sedangkan SLCCNV diketahui
menginfeksi tanaman mentimun di Kabupaten Tabanan (Bali). Deteksi Begomovirus
pada tanaman tersebut dilakukan melalui teknik PCR dan dilanjutkan dengan proses
perunutan DNA untuk mengetahui identitas spesies Begomovirus (Santoso et al.,
2013).
10
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2017 sampai dengan Mei 2018 di Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera, Medan.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi Wylie et al., (1993) dan reaksi amplifikasi DNA menggunakan metode Rojas et al., (1993) yang mengacu pada Sulandari (2006) dengan pasangan primer spesifik Begomovirus yaitu pAL1v1978/
pAR1c715.
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1 Pengambilan Sampel
Sampel tanaman yang dianalisis berupa daun tanaman cabai berpenyakit dengan gejala tulang daun menebal, tepi daun menggulung ke atas, helai daun berwarna kuning cerah dan adanya vein clearing yang diambil dari beberapa perkebunan cabai masyarakat yang ada di Tanah Karo. Sampel diambil secara acak (random sampling) sebanyak 20 daun tanaman cabai berpenyakit dari 4 kecamatan yang memproduksi cabai di Tanah Karo yaitu Kecamatan Dolat Rayat sebanyak 5 sampel, Kecamatan Barus Jahe sebanyak 5 sampel, Kecamatan Berastagi sebanyak 5 sampel dan Kecamatan Nama Teran sebanyak 5 sampel. Sampel selanjutnya dibawa ke Laboratorium untuk dianalisis.
3.3.2 Ekstraksi DNA
Ekstraksi dilakukan menggunakan metode (Wylie et al., 1993). Sebanyak 1
gram sampel daun tanaman cabai yang bergejala virus dipotong kecil-kecil,
kemudian ditambahkan dengan nitrogen cair dan digerus dengan mortar dan pistil
sampai halus. Sampel yang sudah halus ditambahkan 3 ml buffer ekstraksi (Tris-HCl
11
0.1 M, pH 8.0; EDTA 0.05 M; NaCl 0.5 M dan 2-merkaptoetanol 0.01 M) dan 500 μl PCI (Phenol Chloroform Isoamyl Alcohol) (24:23:1) kemudian disentrifugasi pada 13000 g selama 5 menit. Supernatan diambil dan ditambah CI (Chloroform Isoamyl Alcohol) (50:1) sebanyak 1 volume kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 13000 g. Supernatan kemudian ditambahkan dengan isopropanol dingin dan diinkubasi selama 1 malam. Selanjutnya disentrifugasi selama 3 menit pada kecepatan 13000 g. Pelet diambil kemudian dilarutkan dengan 100 μl TE 10x, 4 μl NaCl 5M dan 250 μl etanol 96% dan diinkubasi selama 15 menit, kemudian disentrifugasi salama 3 menit pada 13000 g. Pelet dicuci dengan etanol dingin 70%
dan dikering-anginkan. Setelah kering, pelet disuspensi dalam 50 μL air bebas Rnase dan disimpan pada suhu -20 o C untuk menghindari kerusakan sehinggga dapat digunakan untuk keperluan berikutnya.
3.3.3 Analisis PCR
Amplifikasi DNA virus dilakukan dengan metode PCR menggunakan pasangan primer yang telah didesain untuk mengamplifikasi dan mendeteksi Begomovirus (Rojas et al., 1983 ).
Tabel 3.1 Runutan primer untuk deteksi virus pada cabai.
Komponen Runutan Produk
PCR pAL1v1978-cpF 5’-GCATCTGCAGGCCCACATYGTCTTYCCNGT-3’ 1500
pAR1c715-cpR 5’-GATTTCTGCAGTTDAATRTTYTCRTCCATCCA-3’ bp cpF = coat protein forward; cpR = coat protein reverse.
Tabel 3.2 Komposisi reaktan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk satu kali reaksi amplifikasi DNA genom virus.
Komponen Volume (μl)
RNase free water 9,5
Go Taq Green Master Mix 2× (Thermo) 12,5
Primer R 10 μM 1,0
Primer F 10 μM 1,0
DNA 1,0
Total 25
12
Tabel 3.3 Kondisi PCR untuk mendeteksi virus pada tanaman cabai.
Target Kondisi PCR(ºC/menit)
Predenaturasi Denaturasi Annealing Elongasi Ekstensi Siklus
Siklus
Begomovirus 94/4 94/1 52/1 72/2 72/1 30
3.3.4 Analisis Data
Hasil amplifikasi DNA selanjutnya dianalisis dengan elektroforesis pada agarosa dengan konsentrasi 1 % dan pengaturan arus listrik pada 100 A selama 30 menit dalam buffer TAE 1% (pH 8). Pewarnaan (staining) gel agarosa menggunakan 10 mg/ml Etidium bromide selama 15 menit kemudian destaining dengan akuades selama 3 menit. Pita hasil amplifikasi diamati dengan menggunakan UV Transiluminator dan di lihat ada atau tidaknya pita yang spesifik dengan gen Begomovirus.
3.3.5 Pembuatan Preparat Uji Kerapatan Stomata
Uji kerapatan stomata menggunakan prosedur dengan metode replika,
menurut Haryanti (2010). Permukaan atas dan bawah daun dibersihkan
menggunakan tisu untuk menghilangkan debu dan kotoran. Daun dipotong dengan
ukuran 1x1cm dan diaplikasikan dengan kutek. Permukaan daun yang telah diberi
kutek kemudian direkatkan dengan selotip bening, diratakan dan ditarik secara
perlahan. Permukaan daun ditempel pada kaca preparat dan diberi label dengan
keterangan jenis tanaman. Pengamatan jumlah stomata perbidang pandang
menggunakan mikroskop pada pembesaran 10x10 dan 10x40.
13
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan mengambil beberapa daun tanaman cabai bergejala infeksi virus dari 20 desa yang terdapat di Tanah Karo, Sumatera Utara.
Daun bergejala infeksi virus diisolasi dan dideteksi virus penyebabnya dengan menggunakan teknik PCR, kemudian dilihat anatominya dengan menentukan perbandingan kerapatan stomata daun tanaman cabai sakit dengan daun tanaman cabai sehat (kontrol).
4.1 Gejala Morfologi Daun Tanaman Cabai Terinfeksi Virus
Survei yang dilakukan pada tanaman cabai terinfeksi virus dari 20 desa di Tanah Karo Sumatera Utara menunjukkan bahwa tanaman cabai di setiap desa memiliki gejala akibat serangan virus, yaitu adanya vein clearing pada helaian daun yang berkembang menjadi warna kuning sangat jelas, tulang daun menebal, tepi daun melengkung ke atas (cupping), pada gejala lanjut daun muda menjadi kecil- kecil, helai daun bewarna kuning cerah atau hijau muda yang berseling dengan warna kuning cerah, terdapat mosaik dan terjadi malformasi pada daun.
Perbandingan gejala tanaman cabai sehat dengan yang terinfeksi virus dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 4.1. Adapun gejala tersebut yaitu vein clearing, daun keriting dan kaku, tulang daun menebal, daun mengkerut, tepi daun menggulung keatas, ukuran daun mengecil, dan warna daun hijau kekuningan sampai kuning cerah.
Gejala tersebut merupakan gejala umum yang terdapat pada kebanyakan daun
tanaman yang telah terinfeksi oleh virus, seperti PYLCV, TMV dan CMV. Beberapa
virus yang banyak menyerang tanaman cabai di Indonesia antara lain CVMV (Chili
Veinal Mottle Potyvirus), CMV (Cucumber Mosaic Cucumovirus), PMMV (Peppers
Mild Mottle Potyvirus), dan PYLCV (Peppers Yellow Leaf Curl Begomovirus)
(Cook, 1998). Hasil penelitian Nyana (2012) didapatkan bahwa jenis virus utama
yang menyerang tanaman cabai, yaitu dengan gejala mosaik (57,4%) yang
berasosiasi dengan infeksi tiga jenis virus yang berbeda, yaitu TMV dari golongan
14
Tobamovirus, CMV dari golongan Cucumovirus atau ChiVMV dari golongan Potyvirus dan gejala kuning (9,2%) yang diinduksi oleh PepYLCV, dari golongan Begomovirus.
Gambar 4.1 Perbandingan gejala daun tanaman cabai yang terserang virus: vein clearing (A), daun keriting dan kaku (B), tulang daun menebal (C), terdapat mosaik (D), tepi daun menggulung keatas (E), ukuran daun mengecil (F), warna daun hijau kekuningan (G) sampai kuning cerah (H) dan malformasi pada daun (I) dengan kontrol daun sehat (J).
Berdasarkan pemaparan oleh Aidawati (2006), deteksi secara konvensional
dengan hanya melihat gejalanya saja belum dapat memastikan bahwa tanaman cabai
tersebut terserang oleh Begomovirus karena gejala tersebut terdapat hampir pada
setiap desa yang memproduksi cabai di Tanah Karo. Gejala yang sama seperti
mosaik kuning, penebalan tulang daun dan daun keriting juga diakibatan oleh infeksi
Squash Leaf Curl Virus (SLCV) (Singh et al., 2008; Tahir et al., 2010). Adapun
penyebaran gejala virus pada tanaman cabai yang ada di Tanah Karo dapat dilihat
pada Tabel 4.1.
15
Tabel 4.1 Gejala penyakit cabai yang ada di Tanah Karo
No Kecamatan Desa Variasi gejala yang timbul Jumlah
Vein clearing
Daun keriting
dan kaku
Tulang daun menebal
Malformasi daun
Tepi daun menggulung
keatas
Ukuran daun mengecil
Warna daun hijau kekuningan
sampai kuning cerah
mosaik
1. Dolat Rayat Desa Bukit (S1) 2
2. Dolat Rayat Desa Sampun (S2) 3
3. Dolat Rayat Desa Ujung Sampun (S3) 3
4. Dolat Rayat Desa Melas (S4) 3
5. Dolat Rayat Desa Dolat Rayat (S5) 3
6. Barus Jahe Desa Barus Julu (S6) 2
7. Barus Jahe Desa Bulan Jahe (S7) 4
8. Barus Jahe Desa Bulan Julu (S8) 3
9. Barus Jahe Desa Paribun (S9) 3
10. Barus Jahe Desa Sukajulu (S10) 2
11. Berastagi Desa Raya(S11) 2
12. Berastagi Desa Guru Singa (S12) 1
13. Berastagi Desa Gundaling II (S13) 3
14. Berastagi Desa Gundaling I (S14) 3
15. Berastagi Desa Doulu (S15) 3
16. Nama Teran Desa Kuta Mbelin (S16) 5
17. Nama Teran Desa Kebayaken (S17) 3
18. Nama Teran Desa Bekerah (S18) 4
19. Nama Teran Desa Kuta Gunung (S19) 2
20. Nama Teran Desa Kuta Rayat (S20) 4
Kontrol Sehat - - - - - - - - -
Jumlah 7 7 8 6 9 5 6 9 57
16
Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa variasi gejala akibat virus paling banyak terdapat pada sampel daun tanaman cabai yang berasal dari Desa Kuta Mbelin Kecamatan Nama Teran, variasi gejala akibat virus paling sedikit terdapat pada sampel daun tanaman cabai yang berasal dari desa Barus Julu Kecamatan Barus Jahe. Gejala yang lebih dominan terdapat pada tanaman cabai sakit adalah tepi daun menggulung ke atas (cupping) dan terdapat mosaik. Mosaik merupakan perbedaan warna hijau dan kuning yang tidak teratur pada tajuk tanaman, khususnya pada daun (Agrios, 2005), sedangkan cupping adalah gejala daun kecil kaku serta tepinya melengkung keatas. Gejala berupa cupping ini tidak hanya terdapat pada tanaman cabai, tetapi pada beberapa tanaman yang terserang virus dari kelompok Geminivirus seperti TYLCV (Tomato Yellow Leaf Curl Virus) dan Bean common mosaic virus (BCMV) (Melinda, 2013; Cohen et al., 1996) . Adapun gejala tepi daun menggulung keatas terdapat pada Desa: Bukit, Melas, Bulan Jahe, Sukajulu, Guru Singa, Gundaling I, Kuta Mbelin, Bekerah dan Kuta Gunung. Sedangkan gejala mosaik terdapat pada Desa: Sampun, Ujung Sampun, Dolat Rayat, Bulan Jahe, Gundaling II, Doulu, Kebayaken, Bekerah dan Kuta Rayat. Gejala paling sedikit ditemui yaitu ukuran daun mengecil yang hanya terdapat pada Desa Sampun dan Dolat Rayat Kecamatan Dolat Rayat, Desa Suka Julu Kecamatan Barus Jahe, Desa Raya, Desa Guru Singa dan Desa Doulu Kecamatan Berastagi, serta Desa Kebayaken Kecamatan Nama Teran (Tabel 4.1.1)
Adanya perbedaan variasi gejala yang muncul pada tanaman cabai yang
terinfeksi virus biasanya diakibatkan oleh faktor lingkungan seperti tingkat
kesuburan tanah dan iklim sekitar tanaman, faktor tanaman seperti umur dan genotip
tanaman (Mattews, 1991). Serangan suatu patogen pada satu jenis tumbuhan tertentu
memperlihatkan reaksi yang berbeda- beda, yakni berkisar antara sangat rentan dan
sangat tahan. Suatu tumbuhan disebut tahan terhadap serangan patogen tertentu
sedangkan yang lainnya dikatakan rentan, maka ini berarti bahwa tumbuhan pertama
mempunyai ketahanan lebih tinggi daripada tumbuhan kedua. Bahkan ketahanan dan
kerentanan ini dapat bervariasi karena pengaruh lingkungan (Semangun, 1996).
17
4.2 Isolasi DNA
Adanya kemiripan gejala yang terdapat pada setiap tanaman cabai yang terinfeksi virus menyebabkan sulitnya untuk membedakan apakah tanaman tersebut terinfeksi oleh Begomovirus atau virus yang lain, sehingga perlu dilakukan suatu deteksi molekuler untuk memastikan bahwa tanaman cabai tersebut terinfeksi oleh Begomovirus atau tidak. Untuk mengetahui bahwa penyakit tersebut diakibatkan oleh Begomovirus dapat dilakukan dengan isolasi DNA pada tanaman cabai yang memiliki gejala virus.
Daun tanaman cabai yang bergejala virus diisolasi dengan menggunakan metode Wylie et al., 1993. Hasil isolasi kemudian dielektroforesis pada agarosa 1%
dengan pengaturan arus listrik 100 A selama 30 menit (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 pita DNA dari 20 sampel daun tanaman cabai yang dielektroforesis dengan pengaturan arus listrik 100 A selama 30 menit (S1-S20= pita DNA tanaman cabai yg terinfeksi virus).
Hasil isolasi DNA total tanaman cabai yang didapatkan menunjukkan pita DNA yang cukup jelas dan dapat digunakan untuk proses selanjutnya. Hasil pita yang jelas mengandung DNA yang utuh dan diharapkan pula terdapat DNA Begomovirus didalamnya, karena daun yang diisolasi adalah daun yang bergejala penyakit virus.
Menurut Santoso (2013) Begomovirus merupakan virus tumbuhan dengan materi genetik berupa DNA utas tunggal yang berbentuk sirkuler, sehingga untuk
Pita DNA hasil isolasi
Pita DNA hasil isolasi
S1 S 2 S3 S 4 S5 S 6 S7 S8 S9 S10
S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 S19 S20
18
mendapatkan DNA Begomovirus perlu dilakukan isolasi DNA pada daun tanaman cabai yang bergejala penyakit akibat Begomovirus. Daun yang terserang penyakit jika dilakukan isolasi DNA akan mengandung DNA organisme penyebab penyakit, sedangkan daun sehat yang diisolasi akan menghasilkan DNA murni tanpa terkontaminasi oleh oleh virus penyakit (Ferniyah dan Pujiyanto, 2013).
Perbedaan ketebalan pita yang diperoleh pada masing-masing sampel biasanya ditentukan oleh perlakuan fisik yang diberikan dan kemampuan buffer dalam mengekstraksi, dimana proses perusakan fisik sel dapat mempermudah buffer ekstraksi dalam memecah sel serta buffer yg digunakan dapat menentukan kualitas DNA yang dihasilkan (Anam, 2010). Selain itu, tahap pemurnian pada proses isolasi juga memberikan pengaruh terhadap kualitas DNA, dimana proses pemurnian membantu dalam membersihkan DNA dari pengotornya. Namun secara keseluruhan hasil isolasi menghasilkan DNA yang berkualitas baik ditandai dengan adanya pita DNA yang terlihat jelas sehingga dapat digunakan dalam proses selanjutnya.
4.3 Hasil Deteksi PCR Tanaman Cabai Berpenyakit Di Daerah Tanah Karo DNA total yang telah diisolasi dari 20 daun tanaman cabai bergejala virus dari Tanah Karo dijadikan sebagai template untuk mendeteksi penyakit pada tanaman cabai tersebut, apakah disebabkan oleh Begomovirus. Deteksi dilakukan dengan mengamplifikasi (PCR) DNA total menggunakan sepasang primer spesifik Begomovirus yaitu pAL1v1978/pAR1c715 (Gambar 4.3).
Adanya fragmen DNA berukuran 1500 bp menunjukkan bahwa semua daun
cabai (20 sampel) yang bergejala virus dari Tanah Karo positif mengandung
Begomovirus. Hal ini dikuatkan dengan adanya pita yang sama pada kontrol positif
berupa klon DNA Begomovirus (Macrogen) serta tidak adanya pita pada kontrol
negatif yaitu berupa daun tanaman cabai yang sehat.
19
Gambar 4.3 Elektroforesis hasil PCR DNA tanaman cabai bergejala virus dari Tanah Karo dengan menggunakan primer spesifik Begomovirus pada agarosa 1%. (M= Marker; KN1= Kontrol Negatif 1; KN2= Kontrol Negatif 2; KP= Kontrol Positif). a.) S1-S10= sampel DNA tanaman cabai yang terinfeksi virus; b.) S11-S20= sampel DNA tanaman cabai yang terinfeksi virus.
Mudmainnah (2010) dan Sulandari (2006) juga menggunakan primer yang sama (pAL1v1978/pAR1c715) untuk mendeteksi virus Begomovirus pada tanaman cabai dan menghasilkan fragmen yang berukuran 1500 bp. Begomovirus mempunyai asam nukleat berupa DNA untai tunggal, sehingga DNAnya dapat secara langsung digunakan sebagai template (cetakan) dalam PCR (Rojas et al., 1993). Positifnya Begomovirus pada seluruh sampel daun cabai yang bergejala virus membuktikan bahwa tanaman cabai telah terserang oleh Begomovirus dan juga telah mengalami penyebaran di desa yang ada di Tanah Karo. Penyebaran virus kemungkinan disebabkan karena para petani cabai menggunakan bibit cabai yang berasal dari tempat yang sama dan sudah terinfeksi oleh virus, dan juga karena letak lahan cabai yang berdekatan sehingga memungkinkan vektor yang membawa virus mudah berpindah dari satu lahan ke lahan lain.
1500bp
1500bp
M KN1 KN2
KP S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10
800bp
800bp
M KN1 KN2