• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP JARIMAH TA ZI>R DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KONSEP JARIMAH TA ZI>R DALAM HUKUM PIDANA ISLAM"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP JARIMAH TA’ZI>R DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Ta’zi>r

Menurut bahasa, lafaz ta’zi>r berasal dari kata:

َز َزّ َع

yang sinonimnya1: 1. َدَّزََٗعٍََْ yang artinya mencegah dan menolak;

2. َب yang artinya mendidik; َاَدّ

3. َسَقٌََََّٗٗظَّع yang artinya mengagungkan dan menghormati;

4. َسَصََّٗ ئََ٘قَّٗ َُاَعَإ yang artinya membantu, menguatkanya, dan menolongnya.

Dari keempat pengertian tersebut, yang paling relevan adalah pengertian pertama: ُدَّسىاَٗ ُعََْْْىا (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua: ُةْيِدّاَرىا (mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abd al- Qa^dir ‘Audah2 dan Wa>hba>h Zu>haili3. Ta’zi>r diartikan mencegah dan menolak (ُدَّسىاَُٗعََْْىا) karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya.

Ta’zi>r diartikan mendidik (ُة ْيِدّاَرىا) karena Ta’zi>r dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.

1 Muhammad Ibn Isma’il al-‘A^mir al-Ya>ma>ni, Su>bu>l al-Sa>la>m, Juz IV, (Ba>yru>t: Dar al-Fi^kr, 1992), 66

2 Abd al-Qa^dir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, Juz III (Bayrut: Muassasat al-risalat, 1992), 598

3 Wahba^h Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa ‘Adillatuhu, Juz III, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 197

22

(2)

Menurut istilah Ta’zi>r didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut4:

َٗ

َرىا

ْع

ِزّ

ْي

ُس َذ

ْا

ِدّ

ْي

ُة

َع

َي

ُذ ٚ

ُّ

ْ٘

ٍب َى

ٌْ

ُذ

ْش

َس

ْع ِف

ْي

َٖ

ْىا ا

ُح

ُد

ْٗ

ُدّ

Artinya: Ta’zi>r adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.

Menurut Zu>haili5

َٗ

ُٕ

َ٘

َش

ْس

ًع

َا ا

ْى

ُع

ُق

ْ٘

َت

ُح

ْىا

ََ

ْش

ُس

ْٗ

َع

ُح

َع

َي

ٍَ ٚ

ْع

ِص

َي

ٍح َا

ْٗ

ِج

َْ

ا

َي

ٍح

َلا

َح

َد ِف

ْي

َٖ

َٗ ا

َلا

َم

َفّ

َزا

َج

Artinya: Ta’zi>r menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kafa>rat.

Ibrahim Unais6 dan kawan-kawan memberikan definisi Ta’zi>r menurut syara’ sebagai berikut:

َاْى

َر

ْع

ِزّ

ْي

ُس

َش

ْس

ًع

َذ ا

ْأ

ِدّ

ْي

ُة

َلا

َيْث

ُي

ُغ ا

ْى

َح

َد

َشىا

ْس

ِع

ِيّ

Artinya: Ta’zi>r menurut syara’ adalah hukuman pendidikan yang tidak mencapai hukuman had syar’i.

Dalam tatanan umum hukum pidana kaum Muslimin (al-Siya>sa>t al-Sha>ra>

‘iya>h) masa kini didasarkan pada prinsip-prinsip Ta’zi>r. Dengan kata lain, Ta’zi>r membentuk pertimbangan hukuman yang dikenakan oleh hakim itu sendiri.

Hukuman itu dapat berupa cambukan, kurungan penjara, peringatan dan lain- lain. Ringkasnya Ta’zi>r dapat didefinisikan sebagai berikut:7

َذْأ

ِدّ

ْي

ُة

َع

َي

َذ ٚ ّْ

ٍة

َلا

َح

َد ِف

ْي

ِٔ

َٗ

َلا

َم

َفّ

َز ا

َج

4 ‘Abu al-Hasa^n ‘Ali al-Ma^wa^rdi, al-Mu’ja^m al-Wasit, (Bayru^t: Dar al-Fikr, 1966), 236

5 Wa>hba>h Zu>haili, al-Fiqh al-Isla>mi Wa ‘Adilla>tuhu, Juz VI, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), 197 6 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 24

7 Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam (terjemahan Shari’ah of Islamic Law), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 14-15

(3)

Artinya: Hukuman yang mendidik karena pelanggaran (dosa yang dilakukan) (namun) tak ada ketetapan had ataupun kafa>rah di dalamnya.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaskan bahwa Ta’zi>r adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zi>r.

Jadi, istilah Ta’zi>r bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).

B. Penerapan Asas Legalitas Jarimah Ta’zi>r

Dasar hukum disyaria’atkannya Ta’zi>r terdapat dalam beberapa hadis dan tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim8

َع

ِْ

َت

ْٖ

ِزّ

ْتا

ِِ

َح

ِن

ْي

ٌٍ

َع

ِْ

َأ

ِتْي

ِٔ

َع

ِْ

َج

ِد

ِٓ, َأ

َُ

َْىا

ِث

َيّ

َص

َي

ُللها ٚ

َع

َيْي

ِٔ

َٗ

َس

َيٌَ

َح

َث

َس ِف

ُرىا ٚ

ْٖ

ََ

ِح ٘تا ٓاٗز(

اسْىاٗ ٗ ٙرٍ سرىاٗدّ

ٚئ )ٌماحىا ٔححصىا ٗ ٚقٖيثىا ٗ

Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw.

Menahan seseorang karena disangka melakukan kejahata. (hadist diriwayatkan oleh abu Daud, Turmuzdi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta disahihkan oleh Hakim)

2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah9

َع

ِْ

َا

ِت

ُت ٚ

ْس

َدّ

ًج لأا

ّْ

َص

ِز ا

َز ٙ

ِض

َي

َع للها ا

ْْ

ُٔ

َأ

َّ

ُٔ

َس

َِ

َع

َز

ُس

ْ٘

ُه

َص للها

َي

َع للها ٚ

َيْي

ِٔ

َٗ

َس

َيٌَ

َي

ُق

ْ٘

ُه

َلا :

ُي

ْج

َيُد

َف

ْ٘

َق

َع

ْش

َس

َج

َأ

ْس

َ٘

ٍطا ِإ

َلا ِف

َح ٚ

ِد

ٍِ

ِْ

ُح

ُد

ْٗ

ِدّ

َذ للها

َع

َى ا )ٔييع قفّرٍ( ٚ

Artinya: Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw.

Bersabda: ‚tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. (Muttafaq alaih)

8 Sayid Sabiq, fiqh al-Sunnah, Juz II, (Bairut: Dar al-Fikr, 1980), 497

9 Muhammad Ibn Isma’il al-‘Amir al-yamani, Subul al-Salam, Juz IV, 37

(4)

3. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah10

َٗ

َع

ِْ

َع

ِئ ا

َشٙ

َح

َز

ِض

َع للها ٚ

ْْ

َٖ

َأ ا

َُ

ّْىا يّث

َقّ ٌيسٗ ٔييع للها ٚيص

َها

َأ :

ِقّْي

ُي

ْ٘

َذ ا

ِٗ

ْىا ٙ

َٖ

ْيَأ

ِخ

َع

َش

َس

ِذا

ِٖ

ٌْ

ِإ

َلا

ُحىا

ُد

ْٗ

َدّ

)يّقٖيثىاٗ ٚئاسْىاٗ دّٗادّ ٘تأٗ دَحدّأ ٓاٗز(

Artinya: Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: ‚Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’I, dan Baihaqi)

Penerapan asas legalitas pada jarimah ta’zi>r berbeda dengan jarimah hudud, qis}a>s}, dan diya>t, pada jarimah ta’zi>r asas legalitas tidak diterapkan begitu teliti dan ketat, sesuai dengan kaidah:11

َط

َثَق

ْد َا

ْى

َش

ِس

ْي

َع

ُح َقّ

ا

ِع

َد

ُج

َا

ُْ

َلا

َج

ِس ْي

ََ

َح

َٗ

َلا

ُع

ُق

ْ٘

َت

َح ِت

َي

َّ ا

ٍص َذ

ْط

ِثْي

ًق

َٗ ا

ِس ا

ًع

ِف ا

َج يّ

َس

ِئا

ٌِ

ْىا

َر

ْع

ِزّ

ْي

ِس

Artinya: Syari’at menerapkan kaidah ‚ tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman tanpa ada aturan‛ dengan penerapan yg longer (fleksibel) pada jarimah-jarimah ta’zi>r.

Hal ini didasarkan bahwa pada jarimah ta’zi>r hakim memiliki kewenangan yang luas untuk menetapkan suatu jarimah dan hukumannya sesuai dengan dengan tuntutan kemaslahatan. Pada jarimah ta’zi>r ini, al-Quran dan al- Hadis tidak menetapkan secara terperinci, baik bentuk jarimah maupun hukumannya. Oleh karena itu hakim boleh memberikan hukuman terhadap pelaku kejahatan yang belum ada aturannya (jarimah ta’zi>r) jika tuntutan kemaslahtan menghendakinya. Dari sini muncul kaidah:12

َاْى

َر

ْع

ِزّ

ْي

ُس َي

ُد

ْٗ

ُز

ٍَ

َع

ْىا

ََ

َص

َي

َح

ُح

10Ibid., 38.

11 Jaih Mubarok dkk, kaidah fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam), (Bandung:

Pustaka Bani Quraisy, 2004), 48.

12 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: upaya menaggulangi kejahtan dalam islam, 226.

(5)

Artinya: Hukuman ta’zi>r berlaku sesuai dengan tuntutan kesmalahatan

Adanya kaidah ini merupakan wujud dinamisasi hukum pidana Islam dalam menjawab bentuk-bentuk kejahatan baru yang belum ada aturannya yang dianggap telah merusakan ketenangan dan ketertiban umum dapat dituntut dan dihukum. Suatu konsep yang kemudian diikuti oleh hukum positif karena berpegang pada asas legalitas secara kaku menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap kepentingan masyarakat. Banyak kejahatan-kejahatan baru yang tidak diatur dalam undang-undang tidak dapat dipidana padahal telah menggangu ketertiban masyarakat.13

C. Unsur-Unsur Jarimah Ta’zi>r

Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana (jarimah) apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Adapun unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Pertama, unsur umum artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.14

Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah sebagai berikut:

1. Unsur formil (adanya undang-undang atau nass). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat di

13 Jaih Mubarok dkk, kaidah fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam), 49

14 Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004), 9

(6)

pidana kecuali adanya nass atau undang-undang yang mengaturnya.

Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan asas legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkannya.15 Dalam syari’at Islam lebih dikenal dengan istilah al-ru>kn al-syar’i>. kaidah yang mendukung unsur ini adalah ‚tidak ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nass‛.

2. Unsur materil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun dengan sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam disebut dengan al-ru>kn al-ma>di.

3. Unsur moril (pelakunya adalah muka^lla^f). Artinya, pelaku jarimah adalah seorang yang dapat dimintai pertangungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukanya. Dalam syari’at Islam unsur moril disebut dengan al- ru>kn al-ada>bi. Haliman dalam desertasinya menambahkan, bahwa orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila, bukan anak-anak, dan buakan karena dipaksa atau karena pembelaan diri.16

15 KUHP pasal 1 ayat (1), Ibid, 10

16 Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, 10, dalam Haliman, Hukuman Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlu Sunah wal-Jamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), 48

(7)

D. Macam-Macam Ta’zi>r

Macam-macam jarimah ta’zi>r dilihat dari hak yang dilanggar, maka jarimah ta’zi>r dapat dibagi menjadi dua bagian:17

1. Jarimah yang berkaitan dengan hak Allah

Yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, seperti pencurian, penimbunan bahan pokok dan lain-lain. Bisa dikatakan juga dengan hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang karena meninggalkan kewajiban, seperti tidak membayar zakat.18

2. Jarimah yang berkaitan dengan hak perseorangan

Yaitu perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu atau bisa juga sebagai sesuatu siksaan yang dijatuhkan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syari’at, seperti penipuan, penghianatan, penghinaan, dan lain-lain.

Kemudian kalau dilihat dari segi sifatnya, jarimah ta’zi>r dibagi menjadi tiga bagian:

1. Ta’zi>r atas perbuatan maksiat

Yaitu semua maksiat yang telah ditetapkan dalam Al-Quran namun tidak ada ketentuan atas hukuman yang dijatuhkan. Seperti memakan harta

17 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 255.

18 Imam ‘Abu Zahrah, al-Jarimah, (Bayrut: Dar al-Fikri, TT), 127.

(8)

anak yatim, riba, menghina orang lain dan lain-lain, hukumanya pun lebih ringan dari had.19

2. Ta’zi>r atas perbuatan yang membahayakan kepentingan umum

Semua tindak pidana yang dianggap melanggar kepentingan umum.

Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur yang merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman.

3. Ta’zi>r atas perbuatan-perbuatan pelanggaran (Mukhalafah)

Pelanggaran (Mukhalafah) adalah melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan mandup. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai penjatuhan hukuman ta’zi>r atas orang yang mengerjakan yang makruh atau meninggalkan mandup. Sebagian ada yang membolehkannya dan sebagian lagi tidak memperbolehkannya.20

Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zi>r secara terperinci kepada beberapa bagian, yaitu:21

1. Jarimah ta’zi>r yang berkaitan dengan pembunuhan

Pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati. Apabila qis}a>s}

dimaafkan maka hukumannya adalah diya>t. Apabila diya>tnya dimaafkan

19 Abd al-Rahim Shidqy, al-jarimat wa al-‘Uqubat fi al-Syar’iyat al-Islamiyat, (Mesir:

Maktabah Nahdhah, 1987), 204.

20 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafindo, 2004), 44.

21 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 256.

(9)

maka Ulul Amri berhak menjatuhkan ta’zi>r bila hal ini di pandang lebih maslahat.

2. Jarimah ta’zi>r yang berhubungan dengan pelukaan

Menurut Imam Malik, hukuman ta’zi>r dapat digabungkan dengan qis}a>s}

dalam jarimah pelukaan, karena qis}a>s} merupakan hak adami, sedangkan ta’zi>r sebagai imbalan hak atas masyarakat. Di samping itu, ta’zi>r juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan apabila qis}a>s}nya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’. Hal ini didasari pada penjelasan surat al-Maidah ayat 45

































































Artinya: ‚Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim‛(QS Al-maidah: 45)22

Ayat ini diindikasikan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup dan tidak seorangpun yang boleh menggangu hak hidup orang lain, sehingga jika terjadi perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, meskipun

22 Al Hakim, al-Quran Dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang: Asy-Syifa’, 1998) 92

(10)

dilakukan dengan ketidaksengajaan, maka pelakunya tidak dibiarkan begitu saja melainkan disuruh membayar ganti rugi.

3. Jarimah ta’zi>r yang berkaitan dengan kejahatan tehadap kehormatan dan kerusakan akhlaq

Jarimah macam ini berkaitan dengan jarimah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Di antara kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zi>r adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat yang dikenakan hukum had, atau terhadap syubhat dalam pelakunya, perbuatanya, atau tempatnya. Demikian pula kasus percobaan zina dan perbuatan-perbuatan prazina, seperti meraba- raba, berpelukan dengan wanita yang bukan istrinya, tidur bersama tanpa hubungan seksual dan sebagainya.

Penuduhan zina yang dikategorikan kepada ta’zi>r adalah apabila orang yang di tuduh itu bukan muhshan. Tuduhan-tuduhan selain tuduhan zina digolongkan kepada penghinaan dan statusnya termasuk kepada ta’zi>r, seperti tuduhan mencuri, mencaci maki dan sebagainya. Panggilan-panggilan seperti wahai kafir, wahai munafik, wahai fasik, dan semacamnya termasuk penghinaan yang dikenakan hukuman ta’zi>r23. Karena panggilan tersebut termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Hujuraat ayat 11:

23 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 257.

(11)

















































































Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim‛. (QS Al-Hujaraat:

11)24

4. Jarimah ta’zi>r yang berkaitan dengan harta

Jarimah yang berkaitan dengan harta adalah jarimah pencurian dan perampokan.25 Apabila kedua Jarimah tersebut syarat-syaratnya telah terpenuhi maka pelaku dikenakan hukuman had. Akan tetapi, apabila syarat untuk dikenakan hukuman had tidak terpenuhi maka pelaku tidak dikenakan hukuman had melaikan hukuman ta’zi>r.26 Jarimah yang termasuk jenis ini antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan, perjudian dan lain-lain.

5. Jarimah ta’zi>r yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

Termasuk dalam kelompok ini, antara lain seperti saksi palsu, berbohong, didepan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak privacy orang lain misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin.

24 Al Hakim, al-Quran Dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang: Asy-Syifa’, 1998), 412

25 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahtan Dalam Islam, 179

26 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 257

(12)

6. Jarimah ta’zi>r yang berkaitan dengan kemaslahatan umum Jarimah yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

a. Jarimah yang mengganggu keamanan Negara/pemerintah, seperti percobaan kudeta

b. Suap,

c. Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau tali dalam menjalankan kewajiban. Seperti penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara

d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan f. Melepaskan narapidana dan menyembunyikan buronan

g. Pemalsuan tanda tangan dan stempel

h. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti penimbunan bahan pokok, mengurangi timbangan dan takaran, dan menaikan harga dengan semena-mena. 27

E. Macam-Macam Hukuman Ta’zi>r

Hukuman ta’zi>r adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada Ulil Amri untuk menetapkannya. Jenis dan jumlahnya beragam, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri

27 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 258

(13)

pembuatnya. Namun secara garis besar dapat dikelompokan kepada empat kelompok, yaitu sebagai berikut:28

1. Hukuman ta’zi>r yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera).

2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan.

3. Hukuman ta’zi>r yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.

4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh Ulil Amri demi kemaslahatan umum.

1. Hukuman Ta’zi>r Yang Mengenai Badan a. Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zi>r adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zi>r tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa Fuqaha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat

28Ibid., 258.

(14)

fitnah, residivis, yang membahayakan. Namun menurut sebagian Fuqaha’ yang lain, di dalam jarimah ta’zi>r tidak ada hukuman mati.

Sebagian Fuqaha’ Syafi’iyah29 membolehkan hukuman mati sebagai ta’zi>r dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan As-Sunnah. Demikian pula hukuman mati diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antara muhsan dengan ghair muhsan. Alasan yang dikemukakan oleh Syafi’iyah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabdah30

حىا ٓاٗز ( ٔت ه ٘عفَّىاٗ وعافّىا ا٘يرقّ اف ط٘ى ً٘قّ وَع وَعي َٓ٘ذ دجٗ ٍِ

)ٚئاسْىا لاإ حسَ

Artinya: barang siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual) maka bunulah pelaku dab objeknya. (Hadist diriwayatkan oleh lima ahli hadis kecuali Nasa’i)

Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zi>r tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat lainnya, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah di gunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.31 Menurut pendapat penulis bahwa pedang sebagai alat aksekusi hukuman mati sangatlah tradisional dianggap tidak manusiawi.

29 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 259

30 Muhammad Ibn Ali Asy-Syauka>ni, Nail Al-Authar, Juz VII, (Saudi Arabia: Idarah Al- Buhust Al’Ilmiyah, TT), 286

31 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 260

(15)

b. Hukuman jilid

Dikalangan Fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zi>r. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zi>r didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zi>r adalah 39 kali, dan menurut Abu Yu^su^f adalah 75 kali.

Sedangkan di kalangan madzab Syafi’I ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yu^su^f. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta’zi>r boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta’zi>r yang dilakukan hampir sejenis jarimah hudud.

Dalam madzab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzab Syafi’I di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan tehadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenis. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman ta’zi>r tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasanya ialah Hadis Nabi dari Abu Darda sebagai berikut: ‚seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud‛.

(16)

Kemudian pelaksanaan pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yu^su^f menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum. Larangan pencambukan pada bagian kepala didasarkan kepada atsar sahabat Umar yang mengatakan kepada eksekutor jilid.

سىا ب سضذ ُا ك ايا جسفّىاٗ سأ

Artinya: ‚Hindarilah untuk memukul kepala dan farji‛.32 2. Hukuman Ta’zi>r Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan

a. Hukuman Penjara

Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara. Pertama: al- Habsu; kedu: al- Sijmu. Pengertian al-Habsu menurut bahasa adalah: عَْىا yang artinya mencegah atau menahan. Kata al-Habsu diartikan juga al-Sijnu. Dengan demikian kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama. Di samping itu, kata al-Habsu diartikan juga dengan ٔيف سثحي ُ انَىا, yang artinya tempat menahan orang.33

Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud dengan al- Habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku ditempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar ia tidak melakukan

32 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 261

33Ibid., 261.

(17)

perbuatan hukum, baik penahanan tersebut didalam rumah, atau masjid, maupun di tempat lainnya.34

Selain tindakan Khalifah Umar dasar hukum untuk dibolehkannya hukuman penjara ini adalah Surah an-Nisa>’ ayat 15 dan kemudian juga ada tindakan Nabi saw. yang pernah memenjarakan beberapa orang di Madinah dalam tuntutan pembunuhan. Demikian pula Khalifah Ali pernah memenjarakan Abdullah Ibn Az-Zubair di Mekah, ketika ia menolak membaiat Ali. Hukuman penjara dalam syar’at islam dibagi dalam dua bagian, yaitu:

1) Hukuman penjara yang dibatasi waktunya:

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjualan khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur, mengairi lading dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang pengadilan, dan saksi palsu.35

2) Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya

Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia

34 Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, al-Thuruq Al-Hukuniyah fi al-syar’iyah, (kairo: Mathba’ah al-Sunnah Al-Muhammadiyah, 1953), 102-103.

35 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 262.

(18)

bertobat. Dalam istilah lain biasa disebut penjara seumur hidup. Hukuman penjara seumur hidup dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti orang yang mengikat orang lain, kemudian melemparkanya ke depan seekor harimau. Menurut Imam Abu Yu^su^f36 , apabila orang tersebut mati dimakan harimau maka pelaku dikenakan hukuman penjara seumur hidup (sampai ia mati dipenjara)

b. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan Surat Al-Maidah ayat 33:

















































...

Artinya: ‚Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh dan disalib, atau dipotong tanggan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)……….(QS. Al-Maidah: 33)37

Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun dalam pratiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman ta’zi>r.

Diantara jarimah ta’zi>r yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah

36 A . Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, 203

37 Al Hakim, al-Quran Dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang: Asy-Syifa’, 1998) 90.

(19)

orang yang berprilaku mukhannas (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi saw. dengan mengasingkannya ke luar Madinah.38

Mengenai tempat pembuangan itu menurut sebagian ulama sesuai dengan pengertian pembuangan menurut mereka adalah Negara muslim ke Negara nonmuslim, pendapat lain menyamakanya dengan penjara. Pendapat pertama, dipegang oleh Imam Malik dan oleh Imam Abu Hanifah. Adapun mengenai pendapat kedua, dipegang oleh Imam Al-Syafi’I berkata bahwa jarak kota asal dengan kota pembuangannya adalah jarak perjalanan qashar, sebab bila didaerah sendiri dan maksud pembuangan itu adalah untuk menjauhkannya dari keluarga dan tempat tinggalnya.39

3. Hukuman Ta’zi>r Yang Berkaitan Dengan Harta

Para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zi>r dengan cara pengambilan harta. Menurut Imam Abu Hanifah, hukuman ta’zi>r dengan cara pengambilan harta tidak dibolehkan. Tetapi Imam Abu Yu^su^f salah satu murid beliau membolehkannya apabila dipandang membawa maslahat.

Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.40

Para ulama membolehkan hukuman ta’zi>r dengan cara pengambilan harta terutama Hanafiyah mengartikan dengan redaksi:

38 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 264

39 A . Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, 205-206

40 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 265

(20)

Hakim menahan sebagian harta si terhukum selama waktu tertentu, sebagai pelajaran dan upaya pencegahan atas perbuatan yang dilakukannya,, kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia telah jelas tobatnya.41

Ibnu Taimiyah membagi sanksi ta’zi>r yang berupa harta menjadi tiga bagian, yaitu menghancurkannya, mengubahnya, dan memilikinya.42 Contoh sanksi berupa penghancuran patung-patung milik orang islam yang membawa kemadharatan baginya atau alat-alat permainan dan tempat khamar yang digunakan untuk minum khamar oleh orang islam. Contoh lain adalah Umar menumpahkan harta dagangan yakni susu yang dicampur dengan air untuk menipu pembeli.

4. Hukuman-Hukuman Ta’zi>r Yang Lain

Disamping hukuman-hukuman yang telah disebutkan, terdapat hukuman-hukuman ta’zi>r yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai berikut:

a. Peringatan Keras

Hukuman ta’zi>r berupa peringatan keras dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan mengutus seorang kepercayaan hakim yang menyampaikan kepada pelaku. Peringatan keras semacam ini dianggap sebagai hukuman yang lebih ringan dibandingkan jika pelaku dipanggil ke hadapan sidang pengadilan.

41 Abd al-‘Aziz ‘Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (bayrut: Dar al-Fikr al-Arabi,, 1969), 398

42 A . Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, 207-208

(21)

Hal ini dilakukan karena hakim memandang bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku tidak terlalu berbahaya.43

b. Dihadirkan Dihadapan Sidang

Pemanggilan pelaku ke depan sidang pengadilan karena pelaku membandel atau perbuatannya cukup membahayakan kemudian di tambah dengan peringatan keras yang disampaikan secara langsung oleh hakim, bagi orang tertentu sudah cukup merupakan hukuman yang efektif, karena sebagian orang ada yang merasa takut dan gemetar dalam menghadapi meja hijau.

Tentunya hukuman ta’zi>r semacam ini tidak berlaku bagi pelaku yang telah berulang-ulang melakukan kejahatan, tetapi untuk pelaku tindak pidana ringan yang pertama kali dilakukan.

c. Nasihat

Para ulama menggambil dasar hukum yang berupa nasihat dengan firman Allah An-Nisa>’ ayat 34

……….









………….

………wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka………(QS.An-Nisa>’:34)44

Ibn Abidin yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah mengingatkan pelaku apabila ia lupa, dan

43 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 268

44 Al Hakim, al-Quran Dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang: Asy-Syifa’, 1998) 66

(22)

mengajarinya apabila ia tidak mengerti. Hukum nasihat ini, seperti halnya hukuman peringatan dan dihadirkan didepan sidang pengadilan, merupakan hukuman yang diterapkan untuk pelaku-pelaku pemula yang melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena kelalaian.

d. Celaan (taubikh)

Sanksi ta’zi>r berupa celaan ini para ulama mendasarkannya kepada Sunnah Nabi saw. yang diriwayatkan bahwa Abu Dzar pernah menghina seseorang dengan menghina ibunya. Rasulullah saw. kemudian bersabda:

حييٕ اج ليفؤسٍا لّإ ؟ ٍٔ أت ٔذ سيعأ ،زذ اتأ اي

Artinya: Hai Abu Dzar, apakah engkau menghinanya dengan menghina ibunya?

sesungguhnya perbuatan itu adalah perbuatan jahiliyah. (HR. muslim dari Abu Dzar).45

Umar Ibn Khattab juga pernah menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang yang memakai pakaian sutera asli, untuk itu Umar berkata: ‚Lepaskan pakaian ahli neraka itu!‛. Menurut al-Mawardi At-Tanbih (celaan) dilakukan dengan cara memalingkan muka menunjukkan ketidaksenangan atau menurut ulama lain juga bisa dengan memandang dengan muka masam dan senyum sinis, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar.46

e. Pengucilan

Pengucilan yang dimaksud disini adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat untuk

45 A . Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, 212

46Ibid, 213

(23)

berhubungan dengan pelaku.47 Dasar hukum pengucilan ini adalah firman Allah dalam Surah An-Nisa>’ ayat 34

………













…….

………wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah merekadan dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka………(QS.An- Nisa>’:34)48

Selain dalam Al-Quran, hukuman pengucilan juga terdapat dalam Sunnah Nabi saw. dan para sahabatnya pernah melakukan pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk, yaitu Ka’ab Ibn Malik, Mirarah Ibn Rabi’ah al-‘Amiri, dan Hilal Ibn Umayyah al-Waqify selama lima puluh hari.

f. Pemecatan (al-‘Azl)

Pemecatan (al-‘Azl) adalah melarang seseorang dari pekerjaannya dan memberhentikannya dari tugas atau jabatan yang dipegangnya sebagai akibat pemberhentian dari pekerjaannya itu. Hukuman ta’zi>r berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah, baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya maupun dengan hal-hal lainnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan antara lain seperti:

1) Pegawai yang menerima suap

47 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 270.

48 Al Hakim, al-Quran Dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang: Asy-Syifa’, 1998) 66.

(24)

2) Melakukan korupsi

3) Mengangkat pegawai yang tidak memenuhi persyaratan karena ikatan keluarga (nepotisme)

4) Melakukan kezaliman terhadap pegawai atau rakyat 5) Prajurit yang melarikan diri dari pertempuran atau desersi

6) Mengambil harta dari terdakwa dengan maksud membebaskannya

7) Hakim yang memutuskan perkara tidak berdasarkan hukum yang ditetapkan.49

g. Pengumuman Kesalahan Secara Terbuka

Dasar hukum untuk berupa pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zi>r adalah tindakan Umar terhadap seseorang saksi palsu yang sesudah dijatuhkan hukuman jilid lalu keliling kota. Jumhur ulama berpendapat bahwa mengumumkan kejahatan seseorang itu diperkenankan. Juga kasus tersebut pernah dilakukan oleh Qhadi Syuraih yang pernah menjadi hakim dan memberikan keputusan hukum kepada seseorang saksi palsu. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar kaumnya tidak lagi menunjuknya sebagai saksi.50

F. Hukuman Ta’zi>r Dalam Rangka Mewujudkan Kepentingan Umum

Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam Syari’at Islam, hukuman ta’zi>r hanya dikenakan terhadap perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena dzat perbuatannya itu sendiri. Akan tetapi, sebagai

49 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 271-272.

50 A . Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, 216-217.

(25)

penyimpangan dari aturan pokok tersebut, syari’at Islam membolehkan menjatuhkan hukuman ta’zi>r atas perbuatan yang bukan maksiat, apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan atau kepentingan umum.51 Kemudian dari sini muncul sebuah kaidah:52

َا

ْىَر

ْع

ِزّ

ْي

ُس َي

ُد

ْٗ

ُز

ٍَ

َع

ْىا

ََ

َص

َي

َح

ُح

Artinya: Hukum ta’zi>r berlaku sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.

Dari kaidah tersebut diatas, bahwa sifat yang menjadi alasan (illat) untuk menetapkan hukuman tersebut adalah adanya unsur merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Untuk terpenuhinya sifat tersebut maka harus memenuhi dua hal sebagai berikut:

1. Ia telah melakukan perbuatan yang mengganggu kepentingan dan ketertiban umum

2. Ia berada dalam kondisi yang mengganggu kepentingan dan ketertiban umum.53

Penjatuhan ta’zi>r untuk keselamatan dan kepentingan umum ini didasarkan kepada tindakan Rasulullah saw. yang menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta. Setelah ternyata ia terbukti tidak mencurinya maka Rasulullah kemudian melepaskanya. Analisis terhadap tindakan Rasulullah saw.

tersebut adalah bahwa penahanan merupakan hukuman ta’zi>r, tindakan ini

51 Ahmad WArdi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (FIkih Jinayah), 43

52 A . Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, 226.

53 Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jindi al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, Juz III (Bayrut: Muassasat al-Risalat, 1992), 150.

(26)

diambil oleh Rasulullah saw. Karena dapat dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab membiarkan tertuduhan hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan tentang kebenaran tuduhan itu bisa mengakibatkan ia lari dan bisa juga menyebabkan dikeluarkannya vonis yang tidak benar terhadap dirinya (dihakimi massa/masyarakat).54

54 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), 44.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan: konsumsi gula pasir masyarakat kota Medan meningkat setiap tahun dari tahun 2001 sampai dengan 2011 dengan persentase sebesar 1,006%;

Didapatkan melalui S tudi ini bahwa alternatif terbaik berdasarkan biaya untuk Perencanaan Perbaikan Tanah untuk Jalan di Bukit adalah Penggunaan Geomembran

Kanak-kanak merupakan mangsa eksploitasi yang dilihat menjadi mangsa kepada kekejaman seksual dimana kebanyakkan kanak-kanak yang terlibat sebagai ejen aktif bagi industri seks selain

Dari penjelasan-penjelasan tentang budaya di atas maka , dapat disimpulkan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah

Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa perlakuan bio proses atau fermentasi atau tanpa fermentasi yang diterapkan pada irisan ubi jalar putih dan diolah menjadi dalam

Dengan Bayesian Network kita bisa memprediksi kemampuan secara individu tiap peserta didik dan juga memberikan saran yang sesuai dengan kemampuan mereka..

Gambar 4.1 Potensial listrik dalam koordinat kartesian Persamaan potensial listrik yang akan dibahas adalah peninjauan untuk sisi atas dengan nilai V menggunakan fungsi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh seduhan mahkota dewa (Phaleria Macrocarpa) dan terapi musik gamelan terhadap perubahan Tekanan Darah