• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI

ELEKTRONIK

Oleh

Bella Citra Ramadhona

Anak Agung Gede Agung Dharmakusuma

Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Wanprestasi Dalam Transaksi Elektronik”. Maka dari itu permasalahan yang diuraikan dalam jurnal ini adalah perlindungan hukum yang diperoleh konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan tanggung jawab pelaku usaha dalam hal terjadinya wanprestasi dalam transaksi elektronik. Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yaitu hukum dikonsepkan sebagai gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan masyarakat yang nyata. Perlindungan hukum terhadap konsumen telah tertuang dalam Pasal 4 dan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Tanggung jawab pelaku usaha yang diberikan telah tertuang dalam Pasal 1243 dan 1244 KUH Perdata, Pasal 7 dan Pasal 19 UUPK, dan Pasal 21 ayat (2) UU ITE. Ketentuan-ketentuan yang melindungi hak-hak konsumen dalam peraturan perundang- undangan tersebut belum dimanfaatkan dengan baik oleh konsumen yang mengalami wanprestasi. Terdapat data yang diperoleh penulis melalui wawancara kepada 20 responden yaitu 73,6% mengalami wanprestasi dari pelaku usaha pada tahun 2016, sedangkan 26,4% terjadi pada tahun 2017.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Wanprestasi, Transaksi Elektronik

ABSTRACT

This researched entitled "The Consumer Protection Law Against Default Due In Electronic Transactions". Thus the problems outlined in this journal is the legal protection acquired consumers in terms of Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection (UUPK) and Law No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (UU ITE) and

(2)

responsibility businesses in the event of default in electronic transactions. The legal research applied in this writing was empiric legal research, in which law is conceived as empirical symptom that can be observed in the real life of society. Legal protection of the consumer has been stipulated in Article 4 and Article 7 of Consumer Protection (UUPK) and Law, Article 21 paragraph (2) letter a of Information and Electronic Transactions (UU ITE). Responsibility of business operators provided have been set out in Articles 1243 and 1244 of the Civil Code, Article 7 and Article 19 of UUPK, and Article 21 paragraph (2) UU ITE. The provisions that protect consumers rights in legislation has not been put to good use by consumers who are in default. There is data obtained by the author through interviews to 20 respondents, 73.6% were in default of businesses in 2016, while 26.4% occurred in 2017.

Keywords: Consumer Protection, Default, Electronic Transaction

(3)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transaksi jual-beli melalui media elektronik sering disebut dengan istilah Electronic Commerce atau E-Commerce yang artinya sebagai perdagangan dengan menggunakan fasilitas elektronik dimana bentuk transaksi perdagangan baik membeli maupun menjual dilakukan melalui media elektronik pada jaringan internet.1

Banyaknya perusahaan maupun masyarakat yang menggunakan media elektronik dalam melakukan transaksi elektronik mengakibatkan timbulnya akibat-akibat hukum. Dalam melakukan suatu perjanjian yang sah menurut hukum tentunya para pihak yang mengikatkan diri wajib memperhatikan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Jika kesepakatan yang telah dibuat tidak dijalani dengan perjanjian yang telah disepakati oleh salah satu pihak, perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Wanprestasi dapat terjadi karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja melakukan wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.2

1 Triton PB, 2006, Mengenal E-Commerce dan Bisnis di dunia Cyber, Argo Publisher, Yogyakarta, h.16

2 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ahmadi Miru II) h.74

(4)

Terdapat juga tanggung jawab pelaku jika ditemukan adanya wanprestasi dalam transaksi perdagangan usaha yang diatur dalam Pasal 19 UUPK.3 Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Banyak kasus yang telah terjadi khususnya dalam hal wanprestasi dalam transaksi elektronik. Data yang penulis peroleh melalui wawancara kepada 20 responden yaitu 73,6% mengalami wanprestasi dari pelaku usaha pada tahun 2016, sedangkan 26,4% terjadi pada tahun 2017. Salah satu contoh tindakan wanprestasi dari pelaku usaha telah dialami oleh Bella Citra Ramadhona selaku korban. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bella Citra Ramadhona sebagai mahasiswa di Denpasar pada tanggal 10 Juli 2017, disebutkan bahwa pada akhir bulan Juni 2017 korban membeli sebuah alat pengering kutek Gel (UV Gel Polish) di Lazada Indonesia namun barang yang diterima oleh korban terdapat kerusakan yaitu pada salah satu lampu pengeringnya tidak dapat menyala dan juga terdapat cacat tersembunyi yaitu adanya lecet pada bagian atas alat pengering kutek Gel tersebut.

Menurut permasalahan tersebut, pelaku usaha telah dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur wanprestasi yang diantaranya telah melaksanakan yang dijanjikan, namun tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Dilihat dari kasus wanprestasi dalam dunia bisnis transaksi elektronik dapat diuraikan yaitu perlindungan hukum apa saja yang dapat melindungi konsumen dalam hal wanprestasi transaksi elektronik dan bagaimana tanggung jawab

3 Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Cet. Ke-3, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.7

(5)

pelaku usaha atas wanprestasi pelaku usaha dalam perdagangan melalui transaksi elektronik jika ditinjau dari Undang-Undang No.

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi elektronik?

2. Bagaimana tangggung jawab pelaku usaha atas wanprestasi pelaku usaha dalam perdagangan melalui transaksi elektronik?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap konsumen akibat wanprestasi dalam transaksi elektronik (e-commerce) dan tanggung jawab pelaku usaha atas wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi elektronik.

(6)

II. ISI MAKALAH 2.1 Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris atau yuridis empiris, yang dimana penelitian hukum empiris ini membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat (ius operatum).4 Penelitian hukum empiris meneliti tentang hukum dalam proses hukum dalam interaksinya, hukum dalam penerapannya dan pengaruh hukum dalam kehidupan bermasyarakat.

2.2 Hasil dan Pembahasan

2.2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Elektronik

Macam-macam wanprestasi dalam transaksi elektronik yang dialami oleh konsumen diantaranya seperti :

1. barang tidak dikirim setelah konsumen melakukan transfer dana yang disepakati

2. terdapat cacat tersembunyi dalam barang yang diterima konsumen

3. barang tidak dikirim sesuai waktu yang telah diperjanjikan 4. barang yang diterima tidak sesuai dengan yang dipesan 5. kualitas barang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan

Dilihat dari kasus wanprestasi dalam dunia bisnis transaksi elektronik yang merugikan konsumen dapat diuraikan perlindungan hukumnya dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Pada dasarnya perlindungan hukum terhadap konsumen dalam suatu transaksi perdagangan diwujudkan dalam 2 (dua)

4 Bambang Sunggono, 2015, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta, h.42

(7)

bentuk pengaturan, yaitu perlindungan hukum dalam bentuk perundang-undangan tertentu (undang-undang, peraturan pemerintah) yang bersifat umum dan perlindungan hukum berdasarkan perjanjian yang khusus dibuat oleh para pihak, wujudnya dalam bentuk substansi atau isi perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha, seperti ketentuan tentang ganti rugi, jangka waktu pengajuan klaim, penyelesaian sengketa, dan sebagainya.5

Dalam UUPK sendiri perlindungan mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 4 yang menyebutkan hak-hak konsumen, disisi lain kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7, terkait dengan tindakan wanprestasi dalam kasus-kasus diatas dalam Pasal 7 huruf g UUPK menyatakan kewajiban pelaku usaha memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Beberapa kasus wanprestasi yang terjadi lebih didominasi oleh tidak sesuainya barang yang dipesan dengan barang yang diterima, hal tersebut dengan tegas dilarang oleh UUPK dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f yang menyatakan pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

Konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak menepati perjanjian yang telah disepakati berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

5 Sukarmi, 2007, Cyber Law Kontrak Elektronik Dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Pustaka Sutra, Jakarta, h.170

(8)

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum (litigasi).6 Namun konsumen juga diberi pilihan dalam menyelesaikan sengketanya melalui jalur non-litigasi atau diluar pengadilan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UUPK.

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak. 7 Pada penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi), UUPK memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), hal tersebut berlaku untuk gugatan secara perseorangan (konsumen atau ahli warisnya) sedangkan gugatan secara kelompok (class action) hanya dapat dilakukan melalui peradilan umum.8

Dilihat dari definisi transaksi elektronik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tersebut bahwa perdagangan atau bisnis yang dilakukan dengan media elektronik juga termasuk sebagai bagian dari transaksi elektronik.

Dalam melakukan transaksi perdagangan melalui media elektronik, perjanjian para pihak tetap berlaku. Kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik terjadi ketika penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima, hal tersebut diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UU ITE.

6Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h.126

7 Susanti Adi Nugraha, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, hal.98

8 Janus Sidabalok, Op.Cit. h.132

(9)

Syarat sahnya suatu perjanjian dalam kontrak elektronik diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 82/2012) menyebutkan perjanjian elektronik dianggap sah apabila :

a. adanya kesepakatan para pihak

b. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

c. terdapat hal tertentu

d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum Ketentuan perlindungan hukum yang diperoleh konsumen telah tertuang dalam Pasal 49 ayat (3) PP 82 Tahun 2012 yang menyatakan pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.9

Apabila tindakan-tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha namun pelaku usaha tidak memiliki itikad baik, konsumen dapat melakukan gugatan terhadap pelaku usaha yang melakukan sistem elektronik tersebut, hal ini tertuang dalam Pasal 38 ayat (1) UU ITE dan dalam Pasal 39 ayat (2) UU ITE yang menyatakan konsumen juga dapat menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9 A.A.Bintang Evitayuni Purnama Putri, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Elektronik Di Indonesia”, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, h.4

(10)

Perlindungan terhadap konsumen transaksi elektronik juga terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang berbunyi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Pasal 18 ayat (1) UU ITE berbunyi transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak, dan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur tentang perbuatan yang dilarang dan/atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada konsumen dalam transaksi elektronik. Apabila ditemukan perbuatan seperti yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Miliar, ini diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE.

2.2.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Hal Wanprestasi Pada Transaksi Elektronik

Secara umum prinsip–prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan (liability based on fault)

Prinsip liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana maupun perdata. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukanya.10

2. Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability) Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia

10 Op.Cit. Celina Tri Siwi Kristiyanti, h.92

(11)

tidak bersalah. Maka dari itu beban pembuktian terdapat pada si tergugat.11

3. Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of nonliability)

Lingkup transaksi konsumen dalam prinsip ini sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.12

4. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, terdapat pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari prinsip ini, misalnya keadaan memaksa (force majeure).

Keadaan memaksa ini adalah keadaan yang terjadi diluar kuasa dari para pihak yang bersangkutan, seperti terjadi bencana alam. Secara umum prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen digunakan untuk

“menjerat” pelaku usaha (produsen), yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.13

5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)

Prinsip ini sangat disenangi oleh produsen untuk dicantumkan sebagai klausul pengecualian kewajiban dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.14

11 Ibid, h.94

12 Ibid, h.95

13 Ibid, h.96

14 Ibid, h.97

(12)

Dalam UUPK sendiri mengatur mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha pada umumnya dalam Pasal 19 yaitu :

a. Memberi ganti rugi atas kerusakan b. Memberi ganti rugi atas pencemaran

c. Memberi ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan

Jangka waktu penggantian kerugian ini dilakukan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.15 Dalam wanprestasi transaksi elektronik, prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sangat berperan penting dan berlaku karena dalam prinsip ini pelaku usaha harus bertanggungjawab atas kerugian konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya. Pasal 21 ayat (2) huruf a UU ITE telah mengatur bahwa jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.

Ketentuan mengenai ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 1243 dan 1246 KUH Perdata, sedangkan dalam Pasal 24 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggungjawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain tidak melakukan perubahan terhadap barang dari pelaku usaha tersebut, dan pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan pelaku usaha dapat terbebas dari tanggung jawab apabila pelaku usaha lain melakukan perubahan atas barang dari pelaku usaha.

15 Op.Cit, Janus Sidabalok, h.82

(13)

III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan

1. Perlindungan hukum terhadap konsumen akibat wanprestasi dalam transaksi elektronik adalah dengan cara memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2. Berdasarkan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha, perbuatan pelaku usaha harus mengacu pada prinsip- prinsip tanggung jawab dalam hukum.

3.2 Saran

1. Bagi konsumen disarankan agar lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi elektronik, dimana dalam transaksi elektronik kesepakatan para pihak hanya berdasarkan dengan kepercayaan (trust) dan konsumen diharapkan lebih mengerti hak-haknya sebagai konsumen sehingga jika terjadi wanprestasi, konsumen dapat memanfaatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Bagi pelaku usaha diharapkan agar dapat meminimalisir tindakan wanprestasi. Dasar dalam menjalankan bisnis melalui media elektronik adalah kepercayaan dari konsumen. Jika hubungan yang baik antara pelaku usaha dengan konsumen sudah terjalin maka secara alami hal tersebut akan membantu memajukan bisnis yang dilakukan pelaku usaha.

(14)

DAFTAR PUSTAKA I. Buku-buku

Triton PB, 2006, Mengenal E-Commerce dan Bisnis di Dunia Cyber, Argo Publisher, Yogyakarta

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen, ed.1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Cet. Ke-3, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Bambang Sunggono, 2015, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta

Sukarmi, 2007, Cyber Law Kontrak Elektronik Dalam Bayang- Bayang Pelaku Usaha, Pustaka Sutra, Jakarta

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta

Susanti Adi Nugraha, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

II. Jurnal

A.A.Bintang Evitayuni Purnama Putri, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Elektronik Di Indonesia”, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.4

III. Peraturan Perundang-Undangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821

Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik,

(15)

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 189

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu segala sesuatu yang dilakukan pada kelompok kecil, dimana siswa bekerja

Hamka (Kampus II) Ngaliyan Telp.. pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali

Bidang Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan dan data serta petunjuk teknis dalam rangka penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengkoordinasian,

Untuk mencegah terjadinya penyakit yang berhubungan dengan asam urat pada remaja, perlu dilakukan pembatasan pada makanan dan minuman yang mengandung terlalu

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui besarnya hubungan antara keterampilan berpikir rasional siswa SMA dengan hasil belajar ranah kognitif dalam

Puji syukur yang teramat dalam saya haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala kasih, hidayat, karunia dan taufiqnya sehingga Skripsi dengan judul

Berbagai hasil wawancana di atas dapat penulis simpulkan bahwa, Fungsi Liga Mahasiswa NasDem di dalam Partai NasDem melalui berbagai upaya dan kegiatan yang dijalankan

F-3 Data Nilai Perhitungan Statistik Setiap Aspek Kepercayaan Diri pada Wanita yang memiliki kulit wajah berjerawat. F-4 Korelasi