• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Promosi Kesehatan

Pembangunan seperti realita pada umumnya menjadi self projected reality yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan, sehingga sering kali menjadi semacam ideology of developmentalism (Tjokrowinoto, 1996 cit.

Soetomo, 2006). Elemen penting yang ditekankan pada teori ini ialah partisipasi (participation) dan pemberdayaan (empowerment) (Dudley, 1979 cit. Mardikanto, 2010). Freira (cit. Hubley, 2002) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses dinamis yang dimulai dari ketika masyarakat langsung belajar dari tindakan.

Meskipun masyarakat umumnya didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal di lokasi yang sama dan di bawah pemerintahan yang sama, namun definisi kerja pemberdayaan berfokus pada dimensi tindakan kolektif yaitu masyarakat sebagai sebuah kelompok yang berbagi kepentingan bersama, sehingga anggotanya termotivasi untuk terlibat dalam aksi kolektif (Brinkerhoff dan Azfar, 2006). Ife (2002) bahwa pemberdayaan masyarakat setidaknya membutuhkan enam tahapan yang perlu dilalui untuk mewujudkan change from below,yaitu; 1) pemilahan antara proses dan hasil, 2) pentingnya pengintegrasian proses, 3) peningkatan kesadaran, 4) partisipasi sebagai bagian dari demokrasi, 5) membangun kerja sama, dan 6) community building.

Hubley (2002) mengatakan bahwa pemberdayaan kesehatan (health empowerment), sadar kesehatan (health literacy), dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka pendekatan yang komprehensif. Sebagai suatu proses yang komprehensif, Labonte dan Laverack (2008) mengatakan, pemberdayaan masyarakat melibatkan beberapa komponen, yaitu pemberdayaan personal, pengembangan kelompok kecil, pengorganisasian masyarakat, kemitraan, aksi sosial, dan politik. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat mempunyai spektrum yang cukup luas.

(2)

Barr (1995) menyarankan agar program pemberdayaan sebaiknya difokuskan pada sebagian kecil masyarakat dan dimulai dari kebutuhan nyata di masyarakat agar berjalan secara maksimal. Kelompok masyarakat yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri adalah fasilitas yang paling efektif untuk upaya pemberdayaan masyarakat. Tersedianya dan efektivitas kelembagaan akan sangat berpengaruh terhadap pemberdayaan (Mardikanto, 2010). Wallerstein dan Sanchez-Merki (1994) mengusulkan kolaborasi pemberdayaan, sebab ditinjau dari konsep promosi kesehatan, pemberdayaan dan pembangunan mendorong peningkatan kapasitas masyarakat.

Beberapa tonggak pencapaian perkembangan adopsi pemberdayaan ke dalam konsep promosi kesehatan antara lain: Wallerstein (1992) menyatakan bahwa pendidikan pemberdayaan masyarakat diadopsi untuk meningkatkan efektivitas pendidikan kesehatan, efektivitas program, dan menjaga kelestarian (sustainability) program. Selanjutnya, Nutbeam (1998) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah inti dari promosi kesehatan.

Pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan dengan mengikuti langkah- langkah sebagai berikut: (a) merancang keseluruhan program; (b) menetapkan tujuan yang ditetapkan pada tahap perencanaan; (c) memilih strategi pemberdayaan; (d) implementasi strategi dan manajemen, dilakukan dengan cara:

meningkatkan peran serta pemangku kepentingan (stakeholder), menumbuhkan kemampuan pengenalan masalah, mengembangkan kepemimpinan lokal, membangun keberdayaan struktur organisasi, meningkatkan mobilisasi sumber daya, meningkatkan kontrol stakeholder atas manajemen program, dan membuat

hubungan yang sepadan dengan pihak luar; (e) evaluasi program, dan (f) perencanaan tidak lanjut (Sumaryadi, 2005).

WHO dalam Depkes RI (2006) mendefinisikan promosi kesehatan sebagai proses pemberdayaan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan determinan-determinan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan mereka. Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui proses pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri

(3)

serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes RI, 2006). Menolong diri sendiri artinya masyarakat mampu menghadapi masalah-masalah potensial (yang mengancam) dengan cara mencegahnya dan mengatasi masalah-masalah kesehatan yang sudah terjadi dengan menanganinya secara efektif dan efisien (Hartono, 2010).

Berkaitan dengan pemberdayaan yang mendorong masyarakat mandiri, Clark (2002) menyebutkan bahwa suatu masyarakat dapat disebut mandiri secara kesehatan jika memiliki beberapa kemampuan, yaitu; 1) mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan, 2) mengatasi

masalah kesehatan secara mandiri dengan menggali potensi yang ada, 3) memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan

dengan melakukan tindakan pencegahan, dan 4) meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui berbagai macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya.

Visi promosi kesehatan tidak lepas dari UU Kesehatan No.23/1992, maupun WHO (1994), yakni meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik, mental, maupun sosialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial. Misi promosi kesehatan secara umum

dapat dirumuskan menjadi tiga butir, yaitu: (a) Advokat (advocate);

(b) Menjembatani (mediate); dan (c) Memampukan (enable).

Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru.

Kebijakan nasional promosi kesehatan (Keputusan Menteri Kesehatan No.1193/Menkes/SK/X/2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan No.1114/Menkes/SK.VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah) telah menetapkan strategi dasar promosi kesehatan (Hartono, 2010), yaitu: (a) Gerakan pemberdayaan, baik aspek knowledge, aspek attitude, dan aspek practice (Kapalawi, 2007); (b) Bina suasana. Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan; (c) Advokasi.

(4)

Advokasi adalah upaya atau strategi yang terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakehoders); dan (d) Kemitraan. Kemitraan perlu digalang dengan individu-individu, keluarga, pejabat-pejabat, atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka atau tokoh masyarakat, media masa, dan lain-lain.

B. Parenting Education sebagai Proses Belajar dalam Promosi Kesehatan Nutbeam (2001 cit. Macdowall dan Davies, 2006) secara ringkas jugamenggariskan pelembangaan dan perencanaan operasionalisasi program promosi kesehatan terdiri dari edukasi, mobilisasi sosial (community development, fasilitasi kelompok, target komunikasi massa) dan advokasi (lobi dan negosiasi partai politik, aktifis, birokrasi). Pendidikan merupakan salah satu elemen dari promosi kesehatan (Depkes RI, 2006).

Pendekatan educational dalam promosi kesehatan adalah untuk menyediakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan yang diperlukan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses belajar karena diharapkan menghasilkan suatu outcome atau perubahan perilaku yang tampak (Hoog dan Vaughan, 2002). Selaras dengan Suyono dan Hariyanto (2011) yang menyatakan bahwa proses belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian.

Memadukan pendidikan di kelompok bermain dengan di rumah, seharusnya menjadi perhatian bagi para penyelenggara pendidikan anak usia dini dengan meningkatkan layanan yang tidak terbatas pada anak di kelompok bermain saja, melainkan lebih jauh menjadikan para orangtua sebagai mitra kerja atau sebagai pendidik di rumah dengan cara memberikan program pendidikan keorangtuaan (parenting education) bagi para orangtua agar mampu menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara orangtua dan anak-anak mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut: memberi makan (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka tumbuh (Brooks, 1991). Lebih lanjut Bronfenbrenner (1979)

(5)

memberi tekanan pada lingkungan keluarga sebagai ekologi perkembangan anak usia dini yang utama, dengan orangtua sebagai socialization agent yang paling penting, namun banyak penelitian yang mengemukakan terjadinya pergeseran pola asuh orangtua.

Penelitian yang dilakukan oleh Syakrani (2004) mengatakan bahwa rendahnya perkembangan anak, terutama EQ dan ESQ nya, pada etnik Banjar dan Madura merupakan resultants langsung pola asuh yang tidak sehat (Syakrani, 2004). Lebih lanjut literatur dan hasil kajian tentang dampak negatif jangka panjang rendahnya EQ dan ESQ dapat dibagi menjadi dua level, yakni dampak terhadap individu dan masyarakat (bangsa dan negara). Pada level individual, hasil kajian Coles (2000), Covey (2000), Ellias et al. (2004), Jensen (cit.

Megawangi, 2003), Josephson et al., (2001), Lickona (cit. Megawangi, 2003), Shapiro (2004), Megawangi (2003), Tamara (200l), dan Mazhahiri (2000), menemukan bahwa tanpa ada kesadaran, kemampuan, dan komitmen untuk memperbaiki pola asuh yang tidak baik oleh orangtua maupun komunitas, indikator-indikator rendahnya EQ dan ESQ pada anak-anak seperti tidak empati, tidak bisa dipercaya, tidak jujur, tidak ramah, munafik, tidak bernurani, egois, tidak punya respek, tidak peduli, dan sebagainya, akan berlanjut pada masa-masa berikutnya.

Temuan penelitian, masalah gizi mulai dikaitkan dengan peran penting pola asuh orangtua dalam keluarga (Unicef cit. Engle et al., 1997). Rendahnya tumbuh kembang anak, sebagian besar disebabkan oleh rendahnya keterampilan pola asuh orangtua. Implikasinya adalah, peningkatan keterampilan pola asuh orangtua (perbaikan proses) akan berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak (Syakrani, 2004). Temuan Rohner (1986) mengungkap satu fakta penting tentang perkembangan anak, yakni faktor intervening developmental process; sebuah faktor yang memungkinkan dilakukannya pencegahan dampak negatif pola asuh orangtua yang tidak baik terhadap perkembangan anak.

(6)

Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang mendapatkan pola asuh yang baik akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak. Sementara itu, Grosman dan Grosman (cit. Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kualitas kelekatan aman dari orangtuanya lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa. Pola asuh orangtua memiliki pengaruh langsung yang signifikan dan positif terhadap prestasi akademik, self-efficacy, dan motivasi (Abesha, 2012).

Parenting education adalah salah satu faktor yang paling penting yang memengaruhi prestasi dan motivasi anak (Selvam, 2013). Parenting education adalah istilah umum berbagai macam kesempatan belajar orangtua (Einzig, 1999), untuk mengembangkan kesadaran diri, rasa percaya diri, dan meningkatkan kapasitas orangtua (Barlow et al., 2005), melalui pelatihan, dukungan, atau pendidikan, dan tujuan utamanya adalah untuk memengaruhi kesejahteraan anak- anak dari orangtua (Smith et al., 2002). Program parenting education telah menunjukkan peningkatan kualitas beberapa interaksi (Cowan et al., 2011), kompetensi pengasuhan dan stres (Gross et al., 2003;. Nixon et al., 2003.) dan ibu depresi (Sanders dan McFarland, 2000).

Bedasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat dikemukakan bahwa bila sama sekali tidak ada intervensi sosial terhadap keterampilan pola asuh orangtua yang tidak baik, misalnya melalui program parenting education untuk orangtua atau pemberdayaan keluarga, maka orangtua atau calon orangtua tidak akan mampu menjadikan keluarganya sebagai wadah utama pendidikan karakter bagi anak-anaknya. Dengan kata lain, intervensi sosial berupa parenting education dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan pola asuh orangtua. Tanpa intervensi ini, pola asuh yang tidak baik akan tetap dianggap sebagai cara yang benar.

Penelitian Barlow dan Stewart-Brown (Nolan, 2002) mengidentifikasi beberapa situasi ketika orangtua bisa mendapatkan manfaat dengan menjadi peserta dalam pelatihan parenting. Yang paling diapresiasi orangtua dengan terlibat dalam pelatihan adalah dukungan yang mereka peroleh dengan berada di antara orangtua lain dan adanya kesempatan bagi mereka untuk menjadi diri

(7)

sendiri dalam lingkungan yang bisa menerima mereka seadanya. Kenyataan bahwa kesulitan yang mereka hadapi bukan hanya milik mereka sendiri, juga sangat menguatkan dan memberdayakan. Orangtua menyadari bahwa kepedulian mereka bisa dibagi dengan orang lain, mereka akan merasa mampu untuk mencapai penyelesaian masalah mereka dengan cara yang wajar. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa yang berpartisipasi dalam sejumlah program, menjadi lebih tahu mengenai tingkah laku dan kebutuhan anak, serta merasa lebih kompeten sebagai orangtua (Bigner, 1994).

Kecenderungan orangtua untuk menyerahkan sepenuhnya pembentukan kebiasaan anak-anak yang baik kepada sekolah, bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, di antaranya kurangnya pengetahuan orangtua mengenai cara mengembangkan tingkah laku anak, salah dalam memilih metode dalam mengembangkan perilaku tersebut, atau orangtua merasa sekolah lebih mampu untuk membentuk tingkah laku anak. Orangtua yang menjadi tidak sabar atau memaksa anak untuk mencapai tugas perkembangan jauh sebelum anak tersebut siap, akan mengakibatkan rusaknya self esteem anak dan bahkan kesejahteraan anak tersebut secara fisik, begitu pula sebaliknya (Steinberg, 2005).

Program-program ini telah disampaikan dalam berbagai format termasuk kelompok besar (Sanders et al., 2009), kelompok kecil (Hoath dan Sanders, 2002), bimbingan individu/konsultasi (Sanders et al., 2000), dikelola sendiri (Morawska dan Sanders, 2006), atau sebagai program televisi (Sanders et al., 2000). Parenting education dalam format kelompok umumnya disukai oleh orangtua dan instruktur (Goddard et al., 2004) karena menjadi lebih hemat biaya, berpotensi memenuhi kebutuhan sejumlah besar orangtua (Barlow et al., 2005).

Studi menemukan bahwa program berbasis kelompok lebih berhasil dalam jangka panjang untuk memperbaiki perilaku anak usia tiga sampai sepuluh tahun (Barlow dan Stewart Brown, 2000) dibandingkan dengan program individu (Barlow et al., 2005).

(8)

Menurut Kemendiknas (2012), program parenting education dapat dilakukan dalam bentuk: (a) Kegiatan pertemuan orangtua (kelas orangtua);

(b) Keterlibatan orangtua di kelompok/kelas anak; (c) Keterlibatan orangtua dalam acara bersama; (d) Hari konsultasi orangtua; (e) Kunjungan rumah; dan (f) Bentuk-bentuk kegiatan lain yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.

Hasil positif mengenai efektivitas program pengasuhan dengan intervensi dilakukan oleh beberapa peneliti. Pengembangan (Rahman et al., 2009;. Jin et al., 2007;. Klein dan Rye, 2004), interaksi ibu-anak (Klein dan Rye, 2004; Lee, Griffiths, Glossop dan Eapen, 2010), ibu dan kesehatan fisik dan mental bayi (Aracena et al., 2009), perilaku melanggar pada anak (Aracena et al., 2009; Oveisi et al., 2010.), perilaku anak (Fayyad et al., 2010), self-efficacy dan motivasi berprestasi (Abesha 2012), self-efficacy orangtua dan stres pengasuhan (Sally et al., 2012). Masalah perilaku kekerasan terhadap anak, masalah sosial remaja, dan anak (Kaiser dan Hancock, 2003; Goddard, 2004).

Parenting education bukan sesuatu yang baru, namun juga tidak banyak yang mampu menyelenggarakannya. Parenting education telah terbukti strategis dan efektif di negara-negara berpenghasilan tinggi/negara maju, namun sampai saat ini penelitian tentang efektivitas di negara-negara berpenghasilan rendah/

negara berkembang seperti Indonesia masih terbatas (Anilena et al., 2012), sehingga penting untuk dikaji dari konsep teoritis tentang manajemen program parenting education pada pendidikan anak usia dini, mengingat kegiatan ini sangat bermanfaat dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal.

C. Pola Asuh Holistik

Beberapa istilah pendidikan orangtua memiliki arti hampir sama seperti caring, rearing, mothering, fathering, dan keayahbundaan (Syakrani, 2004).

Penelitian ini berfokus pada pola asuh yang dilakukan oleh orangtua secara menyeluruh dalam institusi keluarga yang menyangkut kesadaran, perilaku, dan keterampilan orangtua dalam melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.

(9)

Banyak para ahli mendefinisikan pola asuh. Pengasuhan berasal dari kata asuh yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil. Pola asuh merupakan pola interaksi antara orangtua dan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang, serta menunjukkan sikap dan perilaku baik, kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial (Suparyanto, 2010; Jus’at, 2000; Amin, 2008).

Pola asuh orangtua meliputi perawatan, perlindungan, penyiapan makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan dan pola pencarian pelayanan kesehatan (Soetjiningsih, 2002), menumbuhkan kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin, memahami anak secara menyeluruh (Sears), mendidik (Kemdiknas, 2011), perhatian/dukungan ibu terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan makanan, praktik kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan (Engle et al., 1997), pemberian stimulasi, dukungan emosional (Ashar et al., 2008) maupun mental (Amin, 2008) yang semuanya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan balita.

Perkembangan otak dipengaruhi faktor genetik dan stimulasi lingkungan baik kualitas maupun kuantitas, yang hal ini menyebabkan keanekaragaman individual yang tidak identik. Periode perkembangan cepat dari otak ini merupakan peluang emas yang tidak boleh dilewatkan. Yang harus ditekankan adalah otak bayi menunggu pengalaman seperti rangkaian penglihatan, bau, suara, sentuhan, bahasa dan kontak mata untuk menentukan bagaimana hubungan antar neuron terbentuk (Santrock, 2007).

(10)

Untuk memaksimalkan potensi otak yang dimiliki setiap anak, ada

beberapa cara yang bisa dilakukan para pendidik dan orangtua, seperti:

1) Memberi asupan gizi yang cukup; 2) Memberikan perlakuan positif, seperti rasa kasih sayang, penghargaan dan motivasi; 3) Memberi stimulus permainan dan pengalaman baru pada anak; 4) Memberikan keamanan dan menjaganya dari hal-hal yang dapat merusak otak (Hamalik, 2009).

Menurut Spiker (1966) cit. Khairimas (2010) ada dua macam pengertian yang harus dihubungkan dengan perkembangan anak usia dini yaitu otogenetik dan filogenetik. Kunci perkembangan anak usia dini yaitu pada pendekatan sesuai dengan perkembangan filogenetik. Filogenetik adalah perkembangan dari asal usul manusia sampai sekarang ini. Perkembangan perubahan fungsi sepanjang masa hidup menyebabkan perubahan tingkah laku dan perubahan ini juga terjadi sejak permulaan adanya manusia. Perubahan-perubahan meliputi beberapa aspek, baik fisik maupun psikis. Perubahan tersebut dibagi menjadi 4 (empat) kategori utama, yaitu :

1. Perubahan dalam ukuran. Perubahan dapat berbentuk pertambahan ukuran panjang atau tinggi maupun berat badan.

2. Perubahan dalam perbandingan. Dilihat dari sudut fisik terjadi perubahan proposional antara kepala, anggota badan, dan anggota gerak.

3. Berubah untuk mengganti hal-hal yang lama. Dari sudut emosi terjadi perubahan-perubahan ke arah kemampuan menunda emosi secara lebih tepat.

4. Berubah untuk memperoleh hal-hal yang baru. Banyak hal yang akan diperoleh selama perkembangan sesuai dengan keadaan dan tingkatan/tahap perkembangannya.

Menurut Hurlock (1999), perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Arti kematangan atau kematangan intrinsik yang secara potensial ada pada individu yang berasal dari warisan genetik individu. Ciri perkembangan fisik dan mental sebagian berasal dari proses kematangan instrinsik, dari ciri tersebut dan sebagian berasal dari latihan dan usaha individu.

Fungsi filogenetik yaitu fungsi yang sesuai pada umumnya, misalnya: merangkak, duduk, dan berjalan (perkembangan berasal dari proses kematangan).

(11)

Sesungguhnya latihan hanya memberikan sedikit keuntungan. Sebaliknya mengendalikan lingkungan dengan cara mengurangi kesempatan berlatih akan menghalangi perkembangan. Berbeda dengan fungsi ontogenetik merupakan fungsi khas individu, misalnya: berenang, melempar bola, naik sepeda, menulis diperlukan latihan. Tanpa latihan perkembangan tidak akan terjadi.

Dengan demikian, penting untuk melakukan pendekatan holistik untuk memperhitungkan fakta bahwa aspek psikologis dan fisik yang saling terkait dan saling memengaruhi (Cohn et al., 2009). Teori-teori tersebut di atas mendukung penggunaan indikator-indikator yang telah ditetapkan dengan menambahkan materi dari kegiatan BKB, posyandu, PAUD berbasis keluarga, serta ditambahkan materi Dasa Citra Anak Indonesia (Kemdiknas, 2011), teori tentang pola asuh (Unicef, 1990; Syakrani, 2004; Suparyanto, 2010., Jus’at, 2000., Amin, 2008;

Soetjiningsih, 2002; Ashar et al., 2008; Cohn et al., 2009; Barlow et al., 2005;

Engle et al., 1997) serta dokumen-dokumen nasional terkait penelitian (Kemendiknas, 2012; Kemenkes, 2011). Hal tersebut merupakan kebaruan dari penelitian ini, sehingga prioritas yang akan dicapai dalam program dari gagasan disertasi ini yaitu: kemampuan pemeliharaan kesehatan, mengasuh, pemenuhan gizi, perawatan, mendidik, dan perlindungan pada anak.

Holistik artinya menyeluruh. Dengan demikian, pola asuh secara holistik adalah penanganan anak usia dini secara utuh atau menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, pendidikan, perawatan, pengasuhan, serta perlindungan, untuk mengoptimalkan semua aspek pertumbuhan dan perkembangan anak, yang dalam hal ini membutuhkan para tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya.

Pendekatan holistik sangat penting untuk memperhitungkan fakta bahwa aspek psikologis dan fisik yang saling terkait dan saling memengaruhi (Cohn et al., 2009).

Selama bertahun-tahun para ahli pertumbuhan anak mempelajari aspek- aspek pola asuh yang mendukung pertumbuhan total dalam diri anak. Salah satu di antaranya adalah Diana Baumrind yang beranggapan bahwa para orangtua semestinya tidak terlalu ketat, suka menghukum (punitive), ataupun terlalu longgar (loose), namun pada saat yang sama, penuh kasih sayang (affectionate).

(12)

Baumrind menekankan empat gaya pola asuh yaitu: autoritatif, otoriter, memanjakan (indulgent), dan melalaikan (neglectful). Keempat-empatnya mengikutsertakan dimensi-dimensi: penerimaan (acceptance) dan sikap responsif (mau mendengarkan, responsiveness) di satu pihak, serta tuntutan dan kontrol di pihak lain (Schikendanz, 1995).

Megawangi (2000) mengemukakan bahwa orangtua yang mampu menerapkan perilaku ini akan dapat mengarahkan anaknya dengan efektif, yakni mampu dengan persuasif mendorong anaknya berbuat baik, bisa menetapkan dan menegakkan aturan yang jelas, yang disampaikan secara komunikatif, sehingga anak menjadi lebih peka, mudah mengontrol tindakannya, dan menghargai peraturan. Sedangkan orangtua yang menerapkan perilaku yang otoriter lebih menekankan kekuasaan, sehingga anak menjadi takut. Ini kemudian akan menghambat kreativitasnya.

Hal ini sejalan dengan pandangan Shapiro (2004) tentang keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan. Pola asuh yang baik menurut Shapiro adalah pola asuh yang bisa mengombinasikan dengan kreatif dua hal tersebut.

Ketergantungan positif menghasilkan kedekatan anak dengan orangtua dan orang lain, lahirnya sikap empatik dan respek, sedangkan kemandirian positif membuahkan pemahaman batas-batas individual antara orangtua dengan anak.

Dalam indikator model attachment parenting yang dikemukakan Sears, terdapat delapan prinsip untuk mengembangkan attachment yang sehat (aman) antara anak dengan orangtua (pengasuh). Inti dari parenting model ini adalah berusaha untuk menumbuhkan kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin melalui interaksi orangtua-anak, memenuhi kebutuhan emosional anak, disertai dengan usaha untuk memahami anak secara menyeluruh. Pola asuh sebagai fungsi utama sebuah keluarga sangat ditentukan oleh cara orangtua melihat dan menilai dirinya sendiri, anak-anaknya, dan situasi di sekeliling mereka (Wonohadidjojo, 1998).

(13)

Gambar 2.1. Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh

Kerangka konseptual yang dikemukan oleh Unicef (1990) menekankan bahwa tiga komponen, makanan-kesehatan-asuhan, merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.

Dikembangkan oleh Engle dan Lhotska (1997) menjadi The Ekstended Model of Care. Model tersebut menjelaskan bahwa determinan pola asuh, yaitu:

perhatian/dukungan ibu terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan makanan, praktik kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan, dan perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencari pelayanan kesehatan.

Indikator pola asuh menurut Kemendiknas (2012) adalah: gizi, kesehatan, perawatan, pengasuhan, pendidikan, perlindungan. Dalam rangka menghadapi era global, selain hal tersebut ditambahkan pendidikan karakter anak untuk mewujudkan Anak Indonesia Harapan (AIH) yang merupakan hadiah 100 tahun Indonesia merdeka (2045) yaitu anak yang memiliki sepuluh ciri utama (dasa citra anak Indonesia), yaitu (1) beriman; (2) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

(3) berakhlak mulia; (4) sehat; (5) cerdas; (6) jujur; (7) bertanggung jawab;

(8) kreatif; (9) percaya diri; dan (10) cinta tanah air (Kemdiknas, 2011).

Status gizi

Penyebab langsung

Penyebab tidak langsung

Pokok masalah di masyarakat

Akar dasar Asupan zat gizi

Infeksi Infeksi

Pengetahuan, sikap, dan keterampilan

Pemanfaatan pelayanan kesehatan dan

sanitasi lingkungan Pola Asuh

Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan

sumberdaya masyarakat

Krisis ekonomi, Politik, dan Sosial Ketahanan

pangan

(14)

Berdasarkan indikator-indikator pola asuh tersebut, para orangtua harus menyadari bahwa praktik-praktik pola asuh yang baik mencakup dua hal, yaitu:

membangun relasi yang hangat antara orangtua dan anak melalui penerimaan (acceptance) dan sikap responsif (responsiveness) terhadap kebutuhan anak, serta tersedianya batasan-batasan yang diwujudkan melalui tuntutan dan kontrol.

Orangtua boleh saja menerapkan tuntutan-tuntutan yang tinggi, tetapi mereka juga harus memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka untuk mencapai tuntutan-tuntutan tersebut. Keseimbangan di antara dua dimensi ini sangat penting untuk pertumbuhan total anak.

Perkembangan terakhir menunjukkan juga adanya minat yang semakin kuat terhadap upaya perbaikan pola asuh ke arah yang lebih baik. Kebutuhan ekonomi dan perkembangan teknologi informasi, pengetahuan orangtua dan stakeholder yang rendah tentang parenting dianggap sebagai kekuatan besar yang memberi tekanan sangat kuat terhadap perkembangan anak. Sekarang adalah saat-saat yang sangat sulit menjadi orangtua dan anak, karena pengaruh eksternal yang harus dihadapi oleh orangtua dan anak semakin besar. Konsep pola asuh holistik harus diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas nyata oleh orangtua di rumah sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.

D. Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) Holistik-Integratif

Pengembangan anak usia dini (PAUD) holistik-integratif adalah pengembangan anak usia dini yang dilakukan berdasarkan pemahaman untuk memenuhi kebutuhan esensial anak yang beragam dan saling berkait secara simultan dan sistematis, yang meliputi berbagai aspek, yaitu: pemeliharaan kesehatan, pemenuhan gizi, pendidikan, stimulasi mental, dan psikososial (Bappenas, 2011).

Pembinaan PAUD (2011) mendefinisikan PAUD holistik-integratif dengan dua pengertian. Holistik berarti penanganan anak usia dini secara utuh atau menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan untuk mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak. Integratif berarti penanganan anak usia dini dilakukan secara terpadu oleh berbagai

(15)

pemangku kepentingan di tingkat masyarakat, pemerintah daerah, dan pusat.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan penyelenggaraan PAUD holistik integratif adalah pengintegrasian layanan posyandu, BKB, dan PAUD. Kegiatan ini di bawah pembinaan Dinas Kesehatan, BKKBN, Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, dan tim penggerak PKK Kota/ Kabupaten.

1. Bina Keluarga Balita (BKB)

Program BKB adalah suatu upaya untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada para ibu dan anggota keluarga lain tentang cara mengasuh dan mendidik anak balitanya (BKKBN,1997; Patmonodewo, 2003).

Melalui kegiatan program BKB, diharapkan ibu-ibu balita dan anggota keluarga lainnya dapat mengetahui tahap tumbuh kembang anak serta cara merangsangnya, sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang secara optimal.

Program BKB ditujukan pada keluarga atau orangtua yang memiliki anak balita usia 0-5 tahun. Perkembangan anak dimulai sejak dalam kandungan dan dilanjutkan pada usia dini. Oleh karena itu, penting bagi para ibu yang memiliki anak usia dini mendapatkan intervensi (parent intervention), seperti pemberian wawasan tentang kehamilan, gizi, dan cara merawat dan mendidik anak (Suyanto, 2005).

2. Posyandu a. Pengertian

Posyandu merupakan suatu forum komunikasi, alih teknologi, dan pelayanan kesehatan masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan di suatu wilayah kerja puskesmas.

Program ini dapat dilaksanakan di balai dusun, balai kelurahan, maupun tempat-tempat lain yang mudah didatangi masyarakat (Ismawati, 2010).

b. Sasaran posyandu balita

Pelayanan kesehatan masyarakat melalui posyandu balita mempunyai sasaran dalam kegiatannya yaitu : bayi berusia kurang dari satu tahun, anak balita usia 1-5 tahun, ibu hamil tanpa risiko tinggi, ibu menyusui, ibu

(16)

melahirkan (ibu nifas), wanita usia subur atau wanita usia produktif (WUS), pasangan usia subur atau pasangan dengan usia produktif (PUS) (Depkes RI, 2006).

c. Kegiatan posyandu balita

Kegiatan posyandu balita terdiri atas kegiatan utama dan kegiatan pengembangan atau pilihan (Depkes RI, 2006). Secara garis besar, kegiatan posyandu balita adalah sebagai berikut: penimbangan berat badan, penentuan status pertumbuhan, penyuluhan, pelayanan imunisasi, pelayanan gizi, penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

3. Pendidikan anak usia dini (PAUD) a. Pengertian PAUD

PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas).

Pos PAUD adalah bentuk layanan PAUD yang penyelenggaraannya dapat diintegrasikan dengan layanan bina keluarga balita (BKB) dan posyandu (Kemdiknas, 2012). Pos PAUD dikelola dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pos PAUD dibentuk atas kesepakatan masyarakat dan dikelola berdasarkan azas gotong royong, kesukarelaan, dan kebersamaan.

b. Anak usia dini

Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun (Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar pendidikan anak (Mansur, 2009). Masa ini merupakan masa emas atau golden age, karena anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang. Menurut berbagai penelitian di bidang neurologi, terbukti bahwa 50% kecerdasan anak terbentuk dalam kurun waktu empat tahun pertama. Setelah anak berusia

(17)

delapan tahun perkembangan otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun mencapai 100% (Suyanto, 2005).

Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 pasal 1 ayat 14, upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun tersebut dilakukan melalui PAUD. PAUD jalur formal berbentuk taman kanak-kanak (TK) dan raudatul athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat. PAUD jalur nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita (BKB) dan posyandu yang terintegrasi PAUD atau yang dikenal dengan satuan PAUD sejenis (SPS) (Mulyasa, 2012).

c. Prinsip penyelenggaraan PAUD 1) Berbasis masyarakat

PAUD dikelola dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat.

PAUD dibentuk atas kesepakatan masyarakat dan dikelola berdasarkan azas gotong-royong, kerelaan, dan kebersamaan.

2) Mudah, terjangkau, dan bermutu

Mudah adalah dengan prinsip kesederhanaan menjadikan PAUD mudah dilaksanakan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Murah adalah dengan prinsip pengelolaan: dari, oleh, dan untuk masyarakat membuat PAUD terjangkau biayanya. Bermutu, yaitu mutu pos PAUD dicapai melalui: (1) keterpaduan dalam layanan pembinaan pengurusnya melalui BKB dan layanan kesehatan dan gizi melalui posyandu serta (2)keterpaduan pemberian rangsangan pendidikan antara yang dilakukan di PAUD (center base) dan yang dilakukan di rumah masing-masing (home base). Dengan demikian, anak menerima layanan secara utuh dan terpadu yang mencakup aspek kesehatan, gizi, pengasuhan, dan pendidikan.

(18)

3) Keterlibatan orangtua

Semua orangtua wajib berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan dan pengelolaan PAUD, termasuk menyampaikan berbagai usulan.

Hal-hal yang mendasari perlunya PAUD holistik-integratif (Handayani et al., 2011) adalah: (1) Memenuhi kebutuhan esensial anak secara utuh dan menyeluruh; (2) Memenuhi pelayanan kepada anak yang sistematik dan terencana; (3) Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya yang disebut ekologi tumbuh kembang anak usia dini. Lingkungan yang dimaksud meliputi sistem mikro, meso, eso, dan makro (dibahas pada keterangan di bagian bawah); (4) Adanya masa emas (golden period) pada tumbuh kembang anak, yaitu sejak janin sampai usia enam tahun; dan (5) Manfaat dan pendekatan PAUD holistik integratif sudah teruji secara ilmiah, manfaat secara sosial, dan manfaat secara ekonomi.

Gambar 2.2 Model ekologi tumbuh kembang anak usia dini

Anak

Penitipan Anak Orang Tua

Layanan Kesehatan Masyarakat Kebudayaan

Norma Sekola

h

Lingkungan Tetangga Pekerj

aan Orang

Tua Huku

m SISTEM MIKRO

(19)

Sistem mikro adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak dalam kegiatan dan interaksinya sehari-hari, yaitu interaksi dengan orangtua, kakak, adik, dan teman sebaya. Interaksi dengan lingkungan terdekat akan berakibat langsung terhadap anak, pada saat yang sama juga terdapat hubungan timbal balik (dua arah), yaitu anak memengaruhi lingkungan dan lingkungan memengaruhi anak. Lingkungan ini memunyai dampak terbesar dan mendalam pada perkembangan anak karena berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan intensif pada anak usia dini.

Sistem meso adalah interaksi antar komponen dalam sistem mikro, misalnya hubungan antara keluarga dengan sekolah. Bila terjadi hubungan yang kuat dan saling mengisi antar komponen ini maka semakin besar pengaruh baiknya bagi perkembangan anak. Sistem ekso merupakan sistem sosial yang lebih besar yang anak tidak langsung berperan di dalamnya.

Contoh: lingkungan kerja orangtua. Kebijakan dan keputusan pada tataran ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sistem makro merupakan lingkungan terluar anak seperti nilai-nilai budaya, hukum, adat, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain yang juga berpengaruh tidak langsung terhadap perkembangan anak.

E. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Promosi Kesehatan melalui Parenting Education sebagai Proses Belajar Pola Asuh Holistik Model merupakan perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual, karena model tidak bisa menceritakan perincian atau detail kenyataan tersebut, melainkan hanya porsi atau bagian-bagian tertentu yang penting saja, atau yang merupakan sosok kunci atau key features (Amirin, 2011; Eriyatno, 2003). Oleh karena itu, ukuran keberhasilan pembuatan model bukanlah ditinjau dari besar dan rumitnya model, tetapi berdasarkan kecukupan jawaban terhadap permasalahan yang dianalisis (Boland, 2004).

(20)

Studi ini akan mengadopsi model Precede dan Proceed dari Green dan Kauter (1991). Model ini telah mengalami beberapa penyempurnaan, namun untuk studi ini akan merujuk pada model dasarnya. Alasan dipilihnya model ini adalah panduan yang sistematis dan lugas terhadap faktor yang harus diamati dan dievaluasi untuk membuat suatu rekomendasi. Precede dan Proceed harus dilakukan secara bersama-sama dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Precede digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah, dan tujuan program, sedangkan Proceed digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan serta implementasi dan evaluasi. Langkah- langkah Precede dan Proceed: diagnosis sosial (sosial need assessment), diagnosis epidemiologi, diagnosis perilaku dan lingkungan, diagnosis pendidikan dan organisasional, diagnosis administratif dan kebijakan, implementasi, evaluasi proses, evaluasi hasil, evaluasi dampak.

Gambar 2.3. Skema Model Preceede dan Proceed dari Green dan Kauter (1991)

(21)

Berdasarkan model tersebut, dapat ditelaah bahwa informasi yang perlu diungkap dalam studi antara lain:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Dua faktor khususnya, sosio-demografi, persepsi dan motivasi, telah menerima perhatian dalam kegiatan pemberdayaan (Haggerty et al., 2002). Sejumlah penelitian menunjukkan pentingnya faktor-faktor sosio-demografis dalam pengambilan keputusan dalam pendidikan orangtua (Perrino et al., 2001;

Spoth dan Redmond 2000). Sosio-demografis dalam studi ini adalah persepsi, motivasi, dan akses terhadap sumber informasi.

b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Hal yang sangat mendukung dalam keberhasilan parenting education yaitu partisipasi orangtua dan proses parenting education itu sendiri yang dapat dilihat dari:

kompetensi pemateri, metode, materi, media, serta sarana dan prasarana yang baik dan lengkap.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, antara lain sikap dan perilaku tokoh masyarakat, petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Penelitian ini akan menganalisis beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses promosi kesehatan melalui parenting education serta pola asuh anak antara lain:

peran bidan desa, peran PLKB, peran kader, dan peran pendidik PAUD.

Uraian masing-masing faktor dapat dilihat sebagai berikut:

1. Persepsi tentang parenting education dan pola asuh holistik

Pelayanan kesehatan harus memasukkan konsep-konsep promosi kesehatan seperti pengembangan masyarakat, pemberdayaan. Berdasarkan hal tersebut, Labonte dan Laverack (2008) menyebutkan ada empat elemen penting dalam upaya promosi kesehatan,yaitu; 1) persepsi dan makna bahwa kesehatan

bisa diukur, 2) relasi sosial, yaitu kesehatan tidak bisa berdiri sendiri, 3) kapasitas dan kapabilitas yang berasal dari dalam maupun dari luar

(22)

komunitas, dan 4) fungsi fisik manusia, yaitu kesehatan juga mempengaruhi fisik manusia.

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dipersepsikan (Sunaryo, 2004). Hasil dari persepsi individu akan berbeda, tergantung dari pengalaman, pengetahuan individu tentang objek, kebutuhan, motif, minat, dan latar belakang masing-masing. Berkaitan dengan perilaku, bila seseorang memiliki pengertian tentang manfaat yang ditimbulkan dari suatu objek, maka dengan kesadarannya ikut mengambil bagian (Asngari, 2003)

Persepsi dan sikap orangtua tentang pentingnya pola asuh yang lebih baik merupakan sumber daya pola asuh yang penting. Faktor ini menjadi basis psiko-perseptual harapan dan kebutuhan akan pola asuh yang lebih baik dikaitkan dengan harapan orangtua terhadap masa depan anak. Faktor ini menjadi the cognitive structure of parenthood yang menentukan tumbuhnya konsepsi dan kesadaran akan pola asuh yakni sistem pengetahuan terorganisasi yang dengannya orangtua menjadi peka terhadap kebutuhan dan hak anak.

Persepsi tentang nilai anak juga berpengaruh terhadap harapan dan kebutuhan ini. Tetapi faktor nilai anak-nilai ekonomis dan non-ekonomis menempati ranah (domain) basis psiko-perseptual yang berbeda dari persepsi orangtua tentang pentingnya mengasuh anak dengan lebih baik. Yang pertama berfokus pada anak, sedangkan yang kedua berkaitan dengan manfaat yang bisa diperoleh oleh orangtua dari anak. Secara bersama-sama atau sendiri- sendiri, dua faktor ini bisa berpengaruh terhadap perilaku dan motivasi pola asuh. Pola asuh juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah dan pelayanan kesehatan atau pendidikan masyarakat (Syakrani, 2004).

2. Motivasi orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik

Motivasi dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah (Marihot, 2002).

(23)

Hal ini sejalan dengan teori motivasi menurut Abraham H. Maslow yang mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Dorongan diaktifkan oleh adanya kebutuhan (need), dalam arti kebutuhan membangkitkan dorongan, dan dorongan ini pada akhirnya mengaktifkan atau memunculkan mekanisme perilaku.

Faktor internal yang memengaruhi pola asuh, menurut Bigner (1979), mencakup motivasi dan kesadaran tentang dampak pola asuh yang tidak baik terhadap tumbuh kembang anak. Motivasi dan kesadaran ini mendorong orangtua untuk berperilaku permisif, autoritarian, atau autoritatif. Zeitlin et al.

(1990) menambahkan dimensi kemampuan pada faktor internal. Mereka mengemukakan bahwa kemampuan merupakan faktor krusial untuk ditingkatkan agar aktivitas riil pola asuh sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang anak. Tetapi faktor ini pun dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti beban kerja, kesehatan dan pengalaman mengasuh, tingkat pendidikan, persepsi tentang nilai anak, kepuasan hidup, dan persepsi mengenai arti penting mengasuh anak dengan kompeten (Syakrani, 2004).

Motivasi yang dikaji dalam penelitian ini adalah motivasi teori ERG yang dikembangkan oleh Clayton Alderfer yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (existence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth) (Handoko, 1996). Teori ini sedikit berbeda dengan Maslow. Alderfer mengemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi, maka manusia akan kembali pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi. Robbins dan Judge (2008) mengutip pendapat Clayton Alderfer mengatakan bahwa teori ERG lebih bersifat fleksibel, karena pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan secara bersamaan atau mengusahakan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi, walaupun kebutuhan yang lebih rendah belum sepenuhnya terpenuhi (Sandjojo, 2011).

(24)

Dalam penelitian ini, motivasi ditinjau dari: (a) Tingkat keingintahuan orangtua terhadap cara-cara pengasuhan anak; (b) Keinginan orangtua dalam menerapkan pola pengasuhan anak sehat untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak; (c) Upaya meningkatkan keterampilan pengasuhan anak;

(d) Tingkat keinginan orangtua terhadap program atau informasi untuk meningkatkan pengasuhan anak; (e) Tingkat kepuasan orangtua terhadap pengasuhannya; dan (f) Tingkat keinginan orangtua agar anak berprestasi.

Menurut Hasiah (2006), tinggi rendahnya motivasi peserta terhadap suatu kegiatan akan menentukan tingkat peran sertanya terhadap kegiatan tersebut.

Dengan demikian, apabila seseorang memiliki motivasi yang kuat atau tinggi terhadap suatu kegiatan, maka akan tampak peran sertanya dalam kegiatan tersebut dan sebaliknya. Jika seseorang tidak termotivasi terhadap suatu kegiatan, maka dia pun kurang atau tidak mau berperan serta. Menurut Gaibi (1937), orang yang memunyai motivasi tinggi berusaha mencapai hasil yang memuaskan dalam suatu kegiatan.

Kesimpulannya, motivasi orangtua terhadap suatu kegiatan, mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat peran serta dalam mengikuti kegiatan.

Soedomo (1986) menyatakan bahwa apabila anggota telah bangkit kesadarannya, maka akan berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan tersebut secara berkesinambungan.

3. Akses terhadap sumber informasi

Informasi merupakan hasil proses intelektual, yaitu proses mengolah/memroses stimulus yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak/pusat syaraf untuk diolah/diproses dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki seseorang.

Setelah mengalami pemrosesan, stimulus tersebut dapat dimengerti sebagai informasi (Wiryanto, 2004). Informasi juga diartikan sebagai suatu hal yang memberikan pengetahuan. Slamet (2001) menambahkan, informasi adalah bahan mentah untuk menjadi pengetahuan, dan pengetahuan tersebut sangat diperlukan untuk bisa mempertahankan hidup, serta untuk meningkatkan kualitas hidup.

(25)

Aksesibilitas informasi merupakan aktivitas masyarakat dalam mendapatkan informasi melalui berbagai cara seperti penyuluhan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, media massa, serta media elektronik (Sulaeman, 2012). Karr (cit. Notoadmodjo, 2012) menyatakan bahwa terjangkaunya informasi adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. Sebuah keluarga dapat mengasuh anaknya dengan baik apabila keluarga tersebut mendapatkan penjelasan yang lengkap tentang tumbuh kembang anaknya.

Aktivitas-aktivitas pola asuh biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga, namun pola asuh tidak terbatas hanya pada mereka yang melahirkan anak.

Tanggung jawab pola asuh juga dilakukan oleh pihak-pihak lain dalam masyarakat, seperti nenek (grandmothering), kakek (grandfathering), saudara (sistering atau brothering), orangtua dari murid yang lain, para guru/pendidik di sekolah, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan bahkan teman-teman si anak, serta media masa (TV, surat kabar, dan majalah) yang menjadikan faktor-faktor ini juga krusial. Faktor-faktor ini juga membentuk informal learning processes bagi anak selain yang dilakukan oleh orangtua.

Interaksi sosial oleh setiap individu dalam suatu masyarakat sangat diperlukan. Menurut Weiss (1974 cit. Sear et al., 1992), analisis kebutuhan afiliatif didasarkan pada enam ketentuan hubungan sosial, hal-hal penting yang diberikan berbagai hubungan bagi individu antara lain: (a) Kasih sayang merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erat; (b) Integrasi sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberikan oleh hubungan dengan teman, rekan sekerja, atau teman seregu. Hubungan semacam ini memungkinkan adanya persahabatan dan memberikan rasa mempunyai kepada kelompok; (c) Harga diri diperoleh jika orang mendukung perasaan kita bahwa kita adalah orang yang berharga dan berkemampuan; (d) Rasa persatuan yang dapat dipercaya melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu orang lain pada saat membutuhkan;

(e) Bimbingan diberikan oleh konselor, guru, dokter, teman, dan lain-lain, yang nasihat dan informasinya diharapkan; (f) Kesempatan untuk mengasuh terjadi

(26)

jika seseorang bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan orang lain.

Mengasuh orang lain memberikan perasaan bahwa seseorang dibutuhkan dan penting.

Wiryanto (2004) menyatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan, tepat waktu, dan relevansi. Akses informasi dalam penelitian ini adalah usaha orangtua untuk mencari informasi yang berkaitan dengan pola asuhnya. Dari tesis tersebut peneliti menetapkan indikator aksesibilitas terhadap informasi pada penelitian ini meliputi: paparan media massa, interaksi dengan orangtua murid yang lain, interaksi dengan anggota keluarga yang lain.

4. Peran stakeholders

Menurut Labonte dan Laverack (2008), promosi kesehatan membutuhkan penanganan bersama oleh komunitas, hal tersebut disepakati juga oleh PRHPRC (2004). Beberapa hal yang berkaitan dengan program pemberdayaan menurutnya terdiri dari partisipasi, kepemimpinan, struktur organisasi, penilaian masalah, mobilisasi sumber daya, daya kritis komunitas, jejaring dan kemitraan, kewenangan dan manajemen program.

Lebih jauh PRHPRC 2004 menyatakan bahwa untuk penilaian kapasitas kelembagaan dapat diukur dari beberapa hal, yaitu; 1) komitmen (organisasi, visi dan misi, strategi prioritas, partisipasi masyarakat, kemitraan), 2) kultur (kemampuan manajemen organisasi, inovasi, prinsip, hubungan antar anggota, komunikasi yang terbangun), 3) struktur (tanggung jawab bersama, mekanisme akuntabilitas pada struktur yang membuka ruang kerja sama dengan para pihak, kebijakan yang efektif untuk pengembangan, perencanaan program berbasis komunitas), dan 4) sumber daya (ketenagaan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, keseimbangan beban kerja, pembiayaan dari sumber dana utama, bergabung dengan komunitas, melibatkan praktisi sesuai sarana dan prasarana yang ada).

(27)

Kegiatan perubahan senantiasa mensyaratkan partisipasi masyarakat, namun masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, seringkali berada dalam kedudukan yang lemah. Masyarakat umumnya mempunyai posisi tawar lemah dalam pengambilan keputusan, lemah dalam pengetahuan, sikap, keterampilan, serta persepsinya terhadap setiap upaya pembangunan atau perubahan yang ditawarkan (Mardikanto, 2007). Oleh karena itu, dirasakan pentingnya peran agen-agen perubahan sebagai sumber daya komunitas.

Dimasukkannya faktor sumber daya komunitas (stakeholders) sejalan dengan preskripsi tesis children of the universe dan perhatian banyak kalangan terhadap pola asuh orangtua (Syakrani, 2004). Karena itu kajian tentang parenting education dalam kaitannya dengan pola asuh orangtua secara holistik bukan saja mempertimbangkan faktor yang terdapat pada level individu dan keluarga, tetapi juga faktor komunitas. Dukungan komunitas sangat dibutuhkan, terutama untuk menguatkan keterampilan pola asuh orangtua.

Dukungan komunitas dalam penelitian ini adalah sebagai fasilitator atau agen perubahan (change agent). Faktor ini mencakup peran bidan desa, petugas PLKB, pendidik PAUD, dan kader. Semua faktor yang secara teoritik diduga berpengaruh positif terhadap parenting education dan pola asuh orangtua secara holistik, digubah dan diseleksi untuk menjadi kerangka pemikiran penelitian.

Fasilitator pemberdayaan masyarakat memiliki peran penting dalam memunculkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Peran (role) merupakan pola perilaku dan sikap yang diharapkan dari seseorang karena status ataupun kedudukannya (Robbins, 2002). Fasilitator perlu mengarahkan masyarakat untuk menyadari situasi kehidupan mereka serta memahami penyebab dan alternatif pemecahan situasi tersebut. Selain itu, fasilitator memiliki peran pula sebagai motivator dan community organizers (Midgley, 1986). Fasilitator program parenting education adalah stakeholder seperti bidan desa, kader kesehatan, pendidik PAUD, dan tokoh masyarakat lain yang berkepentingan.

(28)

Freeman (2007) secara fungsional mendefinisikan stakeholder organisasi sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Bourne (2006) mendefinisikan stakeholder sebagai individu atau kelompok yang memiliki kepentingan, memiliki beberapa aspek hak dan kepemilikan dalam organisasi, serta semua pihak yang dapat memberikan kontribusi pada organisasi. Dalam perencanaan suatu program mencakup pelibatan stakeholder, cakupan perencanaan, tim penyusun, perencanaan sumber daya, tim pelaksana.

Fasilitator pada hakekatnya memiliki peran ganda, yaitu sebagai guru, penganalisis, penasihat, dan organisator (Mardikanto, 2010). Lebih lanjut, fasilitator pemberdayaan masyarakat secara singkat dapat disebut sebagai peran edfikasi, yaitu akronim dari peran edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi, konsultasi, advokasi, supervisi, pemantau (monitoring), dan evaluasi. Peran- peran stakeholder yang ada tersebut menurut Butterfield et al. (2004) dibagi dalam enam kelompok, yaitu pemotivasi, pembentuk, moderator pembentuk, operasional, hasil atau outcomes, moderator hasil atau moderator outcomes.

Peran kader posyandu dalam masyarakat dapat berupa :

a. Motivator, yaitu peran kader dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan serta petunjuk-petunjuk baik kepada perorangan, keluarga, maupun masyarakat, yang sedang menghadapi permasalahan, sehingga menimbulkan sebuah idea atau gagasan dan kemampuan untuk dapat mengadakan suatu gagasan perbaikan pada dirinya, pada keluarga, maupun pada lingkungan.

b. Dinamisator, yaitu peran kader dalam menggerakkan baik perorangan, keluarga, maupun masyarakat yang mengalami permasalahan untuk segera diatasi secara swadaya, serta mengajak tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan memberikan petunjuk untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak di lingkungannya.

c. Fasilitator, yaitu kader diharapkankan menghadapi permasalahan yang ada di masyarakat. Kader dapat membantu dalam mengadakan sarana-sarana atau program-program yang diperlukan oleh masyarakat, baik secara perorangan atau swadaya masyarakat, serta kader diharapkan mampu

(29)

memenuhi permintaan masyarakat dan wilayah kerjanya. Peran kader sebagai fasilitator diaplikasikan dengan cara memfasilitasi masyarakat untuk mengakses program yang dibutuhkan.

d. Inovator, yaitu kader diharapkan mempunyai gagasan-gagasan baru untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kader diharapkan tanggap dan cepat memahami permasalahan yang ada di masyarakat.

Kader BKB memiliki tugas-tugas yang harus dijalani, tugas-tugas tersebut antara lain: (1) Mengadakan dan menyelenggarakan penyuluhan BKB;

(2) Mengadakan kunjungan rumah; (3) Melakukan pengamatan atau melihat

langsung kegiatan ibu sasaran di tempat penyuluhan dan di rumah;

(4) Memotivasi peserta agar kegiatan BKB dilaksanakan; (5) Membuat dan melakukan pencatatan dan pelaporan.

Peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah: (1) Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan maupun program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian;

(2) Memberikan motivasi kepada masyarakat agar berpartisipasi; dan (3) Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat

dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional (Notoatmodjo, 2003).

Sasaran pemberdayaan masyarakat dapat berupa perorangan, masyarakat, dan swasta menjadi inisiator, motivator, dan fasilitator dengan dukungan para pemimpin baik formal maupun nonformal (Kemenkes RI, 2009). Peran stakeholder, baik bidan desa, petugas PLKB, pendidik PAUD, maupun kader kesehatan, yang dikaji dalam penelitian ini adalah peran sebagai fasilitator, dinamisator, inovator, motivator, pembina, pengumpul dan penyebar informasi.

5. Partisipasi orangtua dalam parenting education

Pengertian yang secara umum tentang istilah partisipasi oleh Mikkelsen (2005 cit. Adi, 2008) adalah keterlibatan masyarakat secara suka rela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat sebagai upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri, sedangkan

(30)

Mardikanto (2010) menyatakan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan.

Pendekatan partisipatif merupakan salah satu strategi dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan partisipatif diyakini sangat efektif dalam memberdayakan masyarakat menuju kemandirian dan pembangunan berkelanjutan (Ohama, 2001). Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Eko, 2002). Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan May, 1995 cit. Hikmat, 2004).

Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan semua anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri.

Dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program kesehatan masyarakatnya.

Institusi kesehatan hanya sekadar memotivasi dan membimbingnya (Notoatmodjo, 2012). Hal ini sejalan dengan Isbandi (2007), yang menyatakan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses evaluasi perubahan yang terjadi.

Partisipasi merupakan konsep yang berasal dari bawah yang akan mendorong keaktifan dan keterlibatan penerima manfaat sehingga menjadikannya sebagai program yang inklusif (Tesoriero, 2010). Pernyataan tersebut sekaligus mengandung pengertian bahwa masyarakat tersebut harus diberikan upaya yang dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui pemberian sarana dan prasarana yang memungkinkan masyarakat mengembangkan dirinya sendiri yang menyebabkan partisipasi tidak dapat dipisahkan dari konsep pemberdayaan (empowerment).

(31)

Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian, sejak dari awal, proses, dan perumusan hasil. Dalam mengevaluasi partisipasi, perlu dilihat secara menyeluruh mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan, dukungan pembiayaan dan kelembagaan serta jaringan, pengelolaan manajemen kegiatan dan monitoring kegiatan (Tesoriero, 2010).

Mikkelsen (2003) mengatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap, dan perilaku tersebut.

Sependapat dengan Ife dan Tesoriero (2008) yang mengemukakan bahwa partisipasi menyebabkan mobilisasi psikis dan fisik (perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku) karena program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan, prioritas, dan kondisi sumber daya yang dimiliki.

Menurut Adisasmita dan Raharjo (2006), partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam program, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/kegiatan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Cohen dan Uphoff (1980) menyatakan bahwa partisipasi yang diharapkan dari masyarakat dalam kegiatan termasuk penyuluhan adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan pada perencanaan kegiatan, implementasi, memperoleh keuntungan penyuluhan, dan evaluasi kegiatan.

Keterlibatan masyarakat akan menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar (Abe, 2005). Kumar (2002) mencatat sejumlah keuntungan utama partisipasi masyarakat dalam suatu program, yaitu: efisiensi (efficiency), efektivitas (effectiveness), kemandirian (self-reliance), jaminan (coverage), keberlanjutan (sustainability).

(32)

Beberapa pendekatan untuk memajukan partisipasi masyarakat adalah:

(a) Pendekatan pasif, pelatihan, dan informasi; yakni partisipasi tersebut memberikan komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan masyarakat bersifat vertikal; (b) Pendekatan partisipasi aktif, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal, contohnya pelatihan dan kunjungan; (c) Pendekatan partisipasi dengan keterikatan masyarakat atau individu diberikan kesempatan untuk melakukan program, dan diberikan pilihan untuk terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut; dan (d) Pendekatan dengan partisipasi setempat, yaitu pendekatan dengan mencerminkan kegiatan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat (Mikkelsen, 2003).

Marschall (2006) dalam studinya di Afrika menyatakan bahwa selain representasi, keberhasilan pelaksanaan partisipasi masyarakat bergantung pada keefektifan komunikasi, peran fasilitator hingga kesesuaian proyek/program dengan kebutuhan masyarakat. Uphoff et al. (cit. Bryant dan White, 1982) mengemukakan bahwa kontribusi gerakan pengembangan masyarakat dan pelajaran yang dapat diambil guna mengembangkan peran serta, terkait dengan suatu studi adalah sebagai berikut: (a) Peran serta janganlah dijadikan program yang terpisah; ia merupakan suatu proses dan oleh sebab itu hendaknya dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain; (b) Peran serta harus didasarkan pada organisasi-organisasi lokal; (c) Distribusi yang lebih adil akan mendorong lebih banyak partisipasi; dan (d) Perlu diciptakan mata rantai antara berbagai tingkat, dan hendaknya pembangunan tidak didasarkan pada upaya-upaya yang terpisah-pisah.

Salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah melalui organisasi-organisasi lokal (Uphoff et al. cit. Bryant dan White, 1982).

Lebih lanjut, pada kelompok aktor institusi, menurut Teegen dan Doh (2003 cit. Louise, 2011), yang paling penting dijadikan mitra adalah organisasi masyarakat, karena menurut Fabig dan Boele (1999 cit. Louise, 2011) untuk meningkatkan perubahan sosial dibutuhkan organisasi masyarakat. Sejalan

(33)

dengan Mardikanto (2010) yang mengemukakan bahwa untuk menumbuhkan partisipasi dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam penelitian ini adalah parenting education.

Howard, Baker, dan Forest (1994) membedakan keterlibatan dalam tiga tipe, yaitu: keterlibatan fisik (physical involvement), jika sekelompok kecil orang berkumpul di suatu ruangan; keterlibatan sosial (social involvement), jika mereka berdiskusi, bertukar pikiran mengungkapkan perasaan, kebutuhan dan harapan; keterlibatan psikologis (psychological involvement), jika mereka terlibat diskusi aktif, mendalami pilihan-pilihan program, hingga menjadi disepakati sebagai rumusan dan pemecahan masalah. Partisipasi yang dikaji dalam penelitian ini adalah partisipasi orangtua dalam proses parenting education dan partisipasi orangtua dalam lembaga sosial (posyandu, BKB).

6. Proses promosi kesehatan melalui parenting education

Keberhasilan suatu proses pembelajaran tentu mempertimbangkan berbagai komponen, antara lain: kompetensi pemateri, metode, media yang digunakan, materi dan sarana prasarana yang mendukung. Dalam penelitian ini, kegiatan parenting education diukur berdasarkan proses promosi kesehatan melalui parenting education yang meliputi: kompetensi pemateri, metode, media yang digunakan, materi, dan sarana prasarana.

a. Kompetensi pemateri/penyuluh

Pemateri/penyuluh dituntut memiliki kemampuan mumpuni agar dapat menyampaikan informasi kepada sasaran secara optimal. Kemampuan (ability) yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, baik kemampuan intelektual maupun kemampuan fisik (Robbins, 2003).

Penyuluh harus melakukan proses pembelajaran secara persuasif, yaitu: (1) memanfaatkan perhatian yang ada; (2) membangun hasrat yang terpilih (motif, kebiasaan, minat); (3) hubungan antara keinginan dan meyakinkan tujuan, dan (4) menimbulkan tanggapan dari sasaran (Robbins, 2003). Mardikanto (1993), menambahkan salah satu kemampuan yang harus dimiliki penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi yang meliputi:

Gambar

Gambar 2.1. Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh
Gambar 2.2 Model ekologi tumbuh kembang anak usia dini
Gambar 2.3. Skema Model Preceede dan Proceed dari Green dan Kauter (1991)
Gambar 2.4.  Kerangka konsep
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan t-hitung hasilnya adalah 5,234 dan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000, karena nilai signifikansi < 0,05 dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan

menjadi sesuatu masalah yang penting adalah, karena wajah merupakan perhatian utama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang memiliki fungsi untuk mengenali

Karena dengan tak pernah absenya Mischief Denim dalam event tahunan tersebut di tambah dengan merupakan salah satu produk jeans lokal yang memiliki followers Instagram terbanyak

Berdasarkan hasil pemilihan pengklasifikasi yang dilakukan, jenis pohon keputusan yang akan digunakan adalah pohon keputusan C4.5. Pohon keputusan C4.5 tersebut akan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa : persepsi guru geografi terhadap penerapan pendidikan

Puput Dewi Purwanti (2015) di SMP Negeri 10 Kota Manado dan berdasarkan analisis bivariat dengan menggunakan uji korelasi spearman, hubungan antara asupan

Dalam pembelajaran bahasa, penguasaan Grammar diperlukan bagi siswa untuk memungkinkan mereka menyampaikan pesan yang mereka maksud dengan benar. Hal ini karena kesalahan dalam

Iterations, Shipment with costs, Shipping list ). Perusahaan akan mencapai biaya angkut total minimum apabila Pabrik A mengirim barang ke gudang 2 sebanyak 10 ton dan ke