• Tidak ada hasil yang ditemukan

Occupational Lung Disease:What You Need to Know 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Occupational Lung Disease:What You Need to Know 2018"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Pneumonitis Hipersensitif

I Gede Ketut Sajinadiyasa

Program Stud Spesialis Ilmu Penyakit Paru,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Pneumonitis hipersensitif (PH) merupakan inflamasi pada parenkim paru yang diinduksi oleh reaksi imunologis, terjadi pada individu yang rentan sebagai respon terhadap berbagai antigen.

Prevalensi PH bervariasi di seluruh dunia dan sulit dievaluasi karena terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi seperti ketidaktepatan dalam mendeteksi penyakit dan misdiagnosis. Belum ada studi yang melaporkan mengenai prevalensi PH di Indonesia.

Agen penyebab dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok besar, termasuk bakteri, jamur, protein hewan, protein tumbuhan, bahan kimia dengan berat molekul rendah, dan metal. Tidak ada baku emas untuk diagnosis PH. Paparan terhadap antigen yang bersangkutan merupakan komponen kunci untuk penegakan diagnosis. Pendekatan multidisiplin termasuk klinisi, radiologis, patologis, dan kedokteran okupasi sangat direkomendasikan untuk penegakan diagnosis.

Pencegahan primer adalah menghindari atau mengurangi pajanan terhadap agen penyebab dan edukasi terhadap populasi yang berisiko.

Kata kunci : Pneumonitis hipersensitif

(6)

Pendahuluan

Pada National Heart Lung and Blood Institute/Organization for Rare Diseases, pneumonitis hipersensitif (PH) merupakan inflamasi pada parenkim paru (khususnya, melibatkan alveoli, bronkiolus terminalis, dan interstitial) yang diinduksi oleh reaksi imunologis, terjadi pada individu yang rentan sebagai respon terhadap berbagai antigen.1

Prevalensi PH bervariasi di seluruh dunia dan sulit dievaluasi karena terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi seperti ketidaktepatan dalam mendeteksi penyakit, misdiagnosis, kondisi geografis, jenis agrikultural dan industri, serta faktor host.2 Di Brazil, PH merupakan penyakit paru interstisial yang sering terjadi, dimana dari 3.168 kasus penyakit paru interstitial, PH menduduki urutan kedua tersering (15%), setelah penyakit jaringan ikat (17%), diikuti oleh Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF) dan sarkoidosis (masing-masing sebanyak 14%). Dalam sebuah studi di Denmark, dari 431 kasus penyakit paru interstitial, PH merupakan penyakit ketiga tersering (7%), setelah IPF (28%) dan penyakit jaringan ikat (14%).3

Umumnya PH diklasifikasikan dalam bentuk akut, subakut, dan kronis. Namun, temuan pencitraan tidak selalu berkorelasi dengan durasi gejala. Secara umum, baik PH subakut dan kronis berkembang setelah paparan antigen yang rendah tetapi dalam jangka waktu lama, karena jamur atau burung di rumah. Terdapat gejala sesak nafas yang membahayakan, penurunan berat badan, dan batuk yang memberat dalam beberapa minggu, bulan, atau bahkan bertahun-tahun.

(7)

Diagnosis PH membutuhkan kumpulan dari klinis, radiografi, fisiologis, patologis dan kriteria imunologis. Dalam banyak kasus PH dapat dicegah dengan segera mengidentifikasi dan menghapus agen penyebab yang dapat ditemukan di banyak tempat, termasuk rumah, tempat kerja, dan lingkungan rekreasi.1

Definisi

Pneumonitis hipersensitif (PH) atau alveolitis alergi ekstrinsik adalah inflamasi pada parenkim paru (khususnya melibatkan alveoli, bronkiolus terminalis, dan interstitial) yang diinduksi oleh reaksi imunologis, akibat inhalasi berulang dari berbagai antigen organik atau bahan kimia, yang terjadi pada individu yang rentan.1,4

Pneumonitis hipersensitif terjadi akibat tersensitisasi oleh antigen organik, yaitu bakteri, jamur, protein hewan atau partikel bahan kimia berat molekul rendah. Sensitisasi antigen tersebut menimbulkan respon imun selular dan humoral hingga terjadi inflamasi luas di alveoli, bronkiolus terminalis dan interstitial. Inflamasi tersebut menyebabkan terjadinya alveolitis limfositik dan granulomatosa di parenkim paru, biasanya akan membaik atau hilang tanpa bekas sesudah pajanan dihindari tetapi bila terus terpajan akan menyebabkan fibrosis jaringan interstitial yang progresif dan ireversibel.1

Epidemiologi

Prevalensi PH bervariasi di seluruh dunia dan sulit dievaluasi karena terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi seperti ketidaktepatan dalam mendeteksi penyakit, misdiagnosis, kondisi

(8)

geografis, jenis agrikultural dan industri, serta faktor host.2 Contohnya, prevalensi gejala farmer’s lung, PH yang disebabkan karena menghirup antigen yang terdapat pada jerami berjamur, menurun pada petani yang menggunakan metode pengeringan gandum terlebih dahulu sebelum diolah disbanding langsung mengolah tanpa dikeringkan terlebih dahulu.1

Di Brazil, PH merupakan penyakit paru interstisial yang sering terjadi, dimana dari 3.168 kasus penyakit paru interstitial, PH menduduki urutan kedua tersering (15%), setelah penyakit jaringan ikat (17%), diikuti oleh Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF) dan sarkoidosis (masing-masing sebanyak 14%). Dalam sebuah studi di Denmark, dari 431 kasus insiden, PH adalah penyakit paru interstitial paling umum ketiga (7%), setelah IPF (28%) dan penyakit jaringan ikat (14%).3 Di Amerika Serikat tercatat <2% dari pasien dengan penyakit paru interstitial, dimana insiden pertahunnya sebesar 30 per 100.000 penduduk.1 Belum ada studi yang melaporkan mengenai prevalensi PH di Indonesia.

Faktor Penyebab

Lebih dari 200 antigen telah diidentifikasi sebagai agen penyebab PH. Pada waktu sebelumnya, PH diklasifikasikan sebagai penyakit akibat kerja karena mayoritas laporan berdasarkan tempat kerja dan antigen spesifik untuk lingkungan tersebut (farmer’s lung, suberosis, sauna taker’s lung, dan fish meal worker’s lung). Secara perlahan-lahan, lingkungan tempat tinggal muncul sebagai lingkungan penyebab utama dari paparan terhadap antigen.1

(9)

Agen penyebab dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok besar, termasuk bakteri, jamur, protein hewan, protein tumbuhan, bahan kimia dengan berat molekul rendah, dan metal.

Bird fancier’s lung (BFL) adalah bentuk umum dari PH.

Prevalensi BFL di antara peternak merpati adalah antara 0,5% dan 22%.5 Pajanan antigen dari berbagai jenis burung dapat menyebabkan BFL.

BFL paling sering dilaporkan setelah terpapar burung beo, merpati, kakatua merah, dan burung betet. Ekskresi dari mukus intestinal dan imunoglobulin A dan G yang berasal dari kotoran burung dan bloom

(10)

(bubuk keratin lilin yang melapisi bulu merpati dan berfungsi sebagai penahan air) bersifat sangat antigenik dan merupakan sumber utama antigen inhalasi. Intensitas pajanan bioaerosol unggas juga penting, sebagai contoh, pembersihan kandang burung dan berjalan dalam kandang burung yang tertutup terkait dengan paparan yang lebih intens dan menyebabkan peningkatan risiko untuk BFL pada individu yang rentan.6

Selimut dan bantal bulu dapat menginduksi BFL akut dan kronis.

Dalam kasus ini, antibodi spesifik terhadap antigen unggas positif pada pasien BFL akut, tetapi bisa negatif pada kasus BFL kronis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya proliferasi limfosit yang diinduksi oleh antigen dalam darah perifer atau brochoalveolar lavage (BAL) dan uji provokasi lingkungan atau inhalasi. Dalam menentukan antigen penyebab di lingkungan tempat tinggal, diperlukan perhatian pada produk yang memungkinkan adanya mikroba seperti adanya jamur pada dinding, lantai, furnitur, air conditioner, bau apek, alat penguap, hot tubs, kolam renang, dan dari sumber air yang terkontaminasi seperti banjir, kebocoran, dan pipa yang rusak di rumah atau tempat kerja.7

Hot-tub lung merupakan PH yang diakibatkan karena inhalasi Mycobacterium avium complex. Bakteri ini terdapat pada air panas dan dingin di kamar mandi serta dari pancuran air.8

Farmer’s lung adalah bentuk klasik PH yang disebabkan oleh pajanan berulang terhadap antigen yang dihirup dari jerami atau jerami yang berjamur. Spesies yang sering terlibat adalah thermophilic actinomycetes, termasuk Saccharopolyspora rectivirgula (sebelumnya Micropolyspora faeni), Thermoactinomyces vulgaris,

(11)

Thermoactinomyces viridis, dan Thermoactinomyces sacchari.

Organisme ini berkembang di daerah dengan kelembaban tinggi dan suhu 40 °C - 60 °C. Insidensi 8 - 540 kasus per 100.000 orang per tahun telah dilaporkan pada petani.

Senyawa sintetik dengan berat molekul rendah seperti isosianat, insektisida, dan resin epoksi, dapat membentuk ikatan dengan molekul protein manusia dan memicu respons imunologis yang mengarah ke PH. Pajanan yang umum termasuk toluen diisosianat dan difenilmetana diisosianat, khususnya toluen biasa ditemukan dalam cat, busa, dan segel.9

Faktor Lingkungan

Pneumonitis hipersensitif (PH) merupakan penyakit alergi sehingga peran faktor pajanan merupakan hal yang paling penting.

Faktor resiko lingkungan, termasuk konsentrasi agen, lamanya pajanan, ukuran partikel, frekuensi atau kekerapan pajanan, kelarutan partikel, pemakaian alat proteksi pernapasan akan mempengaruhi prevalensi, beratnya, kelatenan, dan perjalanan penyakit. Secara umum dipercaya bahwa PH akut biasanya akibat dari pajanan yang sangat intens dan terus menerus. PH kronis mungkin akibat perjalanan dari PH akut atau subakut, tetapi juga bisa timbul dari pajanan jangka lama dengan kadar antigen yang rendah. 10

Faktor-faktor pajanan tersebut sangat jelas digambarkan pada farmer’s lung. Terjadinya farmer’s lung sangat erat dengan konsentrasi

(12)

mikroorganisme di udara, umumnya terjadi pada akhir musim dingin karena pemberian makan ternak menggunakan jerami yang telah disimpan sebelumnya, atau pada daerah dengan curah hujan tinggi biasanya memberikan makanan yang lembab pada ternak sehingga memungkinkan proliferasi mikroorganisme.11

Patogenesis

Pneumonitis hipersensitif terjadi akibat reaksi hipersensitif terhadap antigen organik atau bahan kimia dengan berat molekul rendah pada kelompok orang yang rentan terhadap antigen tersebut.

Meskipun menggunakan istilah hipersensitif atau alergik, PH bukanlah penyakit atopi dan tidak berhubungan dengan peningkatan IgE dan eosinophil. Mekanisme yang mendasari penyakit ini amat kompleks dan tidak diketahui dengan jelas. Sampai sekarang mekanisme yang telah diketahui bahwa penyakit ini timbul akibat respon imunologis tipe III dan IV.1 Bahan pajanan sesudah masuk ke dalam tubuh terlebih dahulu harus terikat pada protein plasma kemudian baru dapat bersifat sebagai antigen. PH dapat timbul dalam bentuk akut, subakut, atau kronis tergantung pada datangnya pajanan (mendadak atau tidak) dan bentuk ulangan pajanan.12

Beratnya gejala yang timbul, prevalensi dan perjalanan penyakit tergantung pada intensitas, lamanya pajanan, konsentrasi antigen, ukuran partikel, kelarutan partikel, pemakaian alat perlindungan pernapasan, dan terutama tergantung pada sensitivitas individu terhadap bahan pajanan tersebut. Hanya 5-15% dari individu yang

(13)

terpapar antigen menderita PH.1 Banyak subjek yang terpajan agen menimbulkan sensitisasi dalam bentuk respon imun humoral ataupun seluler, tetapi tidak mengalami progresi menjadi penyakit. Faktor genetik mempengaruhi berbagai komponen respon imun pada penyakit yang berbeda. Dasar penyakit ini adalah interaksi antara antigen eksternal dan sistem imun pejamu termasuk faktor genetik ikut berperan namun imunopatogenesis penyakit ini belum diketahui sepenuhnya.

Gambar 1. Mekanisme dasar pneumonitis hipersensitif

Pada individu yang rentan terhadap antigen tersebut, interaksi tersebut menimbulkan reaksi hipersensitif tipe III (immune complex hypersensitivity) dan IV (delayed atau cellular hypersensitivity). Faktor yang menentukan seseorang rentan menjadi PH setelah tersensitisasi antigen hingga saat ini belum jelas diketahui. Beberapa penelitian menemukan bahwa faktor genetik berhubungan dengan rentannya

(14)

seseorang terhadap penyakit ini. Didapatkan peningkatan human leucocyte antigen (HLA) B8 (ras kaukasian), HLA DQ w3 (ras Jepang), HLA DR7 (ras Mexico), HLA DRB1 dan HLA DRQ1 pada penderita PH. Gen yang mengkode HLA ini berhubungan erat dengan gen respon imun dari major histocompability complex class II (MHC kelas II). Interaksi antigen, limfosit T dan antigen presenting cell (APC) memerlukan MHC kelas II.

Afinitas MHC yang berbeda terhadap antigen mempengaruhi rentan atau tidak terhadap PH. Namun penelitian lain tidak mendapatkan hubungan pengingkatan HLA dengan pneumonitis hipersensitif.1

Sebagai contoh, atopi dihubungkan dengan lokus pada kromosom 11 yang mengkode gen untuk afinitas tinggi pada reseptor IgE. Pada PH beberapa gen polimorfisme memiliki peran penting, responder tinggi terhadap TNF- beresiko tinggi menderita farmer’s lung dan pigeon fancier’s lung.2 Polimorfisme dari fragmen crystalizible (Fc)-receptor juga berperan penting dalam menentukan respon antibodi spesifik terhadap sebuah antigen. Apabila bahan biologis atau kimia yang berlaku sebagai agen terinhalasi sampai di alveolus, terjadi kompleks antigen-antibodi terhadap bahan tersebut kemudian mengendap di alveoli dan interstitial sehingga menyebabkan alveolitis akut. Karena proses inflamasi tersebut merupakan respon imunologis tipe III, maka kompleks imun (kompleks antigen-antibodi) akan mengaktifkan komponen komplemen. Komponen komplemen yang telah aktif berefek meningkatkan permeabilitas vaskular dan menambah keterlibatan sel-sel inflamasi lainnya. Misalnya makrofag menjadi lebih aktif dan mensekresi sitokin proinflamasi (TNF-, IL-1, IL- 2). Mekanisme lain terjadinya PH adalah respon imunologis tipe IV yang

(15)

melibatkan limfosit T, prosesnya memakan waktu hingga 24-48 jam.

Perubahan patologis paru berupa infiltrasi makrofag dan limfosit serta kemungkinan timbulnya granuloma dan nekrosis.

Gambar 2. Patogenesis pneumonitis hipersensitif11

Manifestasi Klinis

PH sering tidak terdiagnosis atau misdiagnosis. Paparan terhadap antigen yang bersangkutan merupakan komponen kunci untuk penegakan diagnosis. Dalam beberapa kasus, paparan tidak dapat diidentifikasi. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi antigen terkait dengan angka harapan hidup yang lebih pendek. Kondisi paparan

(16)

bervariasi di setiap negara. Penyebab PH yang paling umum di Brazil adalah paparan bulu dan kotoran burung (termasuk bantal bulu), jamur di rumah, dan paparan isosianat. Di negara lain, farmer’s lung dan pigeon breeder’s lebih sering terjadi.13

Anamnesis mengenai riwayat pajanan antigen merupakan langkah utama diagnosis PH. Secara klasik manifestasi klinis terdiri atas bentuk akut, subakut, dan kronis. Bentuk akut terjadi 2-9 jam sesudah pajanan antigen berulang atau intemiten dan sering menghilang tanpa pengobatan dalam 12-72 jam. Gejala bentuk akut berupa demam, batuk, sesak napas, dada terasa berat, nyeri otot, nyeri sendi yang bersifat sementara. Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam, takipnea, takikardi, dan ronkhi basah kasar. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis, neutrofilia, limfopenia, dan hasil BAL berupa neutrofilia.

Pada pneumonitis hipersensitif bentuk subakut dan kronik biasanya terjadi akibat pajanan antigen yang rendah tetapi terus menerus. Gejala subakut biasanya ditandai oleh peningkatan progresif gejala sesak napas, batuk kering atau batuk dengan sputum mukoid, dan penurunan berat badan. Dapat ditemukan ronkhi basah kasar, demam yang tidak terlalu tinggi dan jari tabuh. Bentuk subakut yang tidak diketahui atau diobati menjadi bentuk PH kronik. Bentuk ini ditandai adanya kerusakan parenkim paru yang ireversibel akibat terjadinya fibrosis interstitial yang luas yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Gejala bentuk kronik adalah sesak napas, batuk kronik yang sering disertai batuk produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi basah kasar, jari tabuh, dan korpulmonal pada tahap lanjutan.11

(17)

Merokok sigaret memiliki efek protektif terhadap perkembangan PH, tetapi hal ini tidak terjadi untuk mantan perokok.

Nikotin dianggap dapat menghambat aktivasi makrofag dan proliferasi limfosit. Di sisi lain, ketika PH berkembang pada perokok, penyakit fibrotik memiliki prognosis yang lebih buruk.14

PH lebih sering terjadi pada wanita karena paparan yang lebih besar terjadi di rumah. Dari segi usia, terjadi pada pasien yang lebih muda jika dibandingkan dengan pasien IPF. Sesak nafas dan batuk adalah gejala yang paling umum, dan gejala tersebut dapat membaik selama periode berjauhan dari antigen penyebab. Mengi merupakan gejala yang jarang terjadi pada ILD, kecuali sarkoidosis. Pada PH dan sarkoidosis, hiperresponsif dari bronkus berhubungan dengan kerusakan epitel yang luas di saluran nafas. Beberapa agen yang menyebabkan asma kerja, seperti diisosianat dan spora dari jamur juga dapat menyebabkan PH.15 Meskipun jarang, PH dapat dikaitkan dengan mengi, hiperresponsif jalan napas, dan radiografi toraks yang normal.

Pasien dengan PH kronis dapat mengalami episode gejala berulang yang sering salah didiagnosis sebagai pneumonia berulang.16

Pemeriksaan Penunjang

Hingga saat ini belum ada baku emas untuk diagnosis PH.32 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis PH adalah foto toraks, HRCT, pemeriksaan faal paru, BAL, pengukuran antibodi IgG, IgM atau IgA serum.

Foto toraks memberikan gambaran abnormal pada 80% kasus, sisanya memberikan gambaran normal. Bentuk akut dan subkronik

(18)

memberikan gambaran normal, oleh karena itu sensitivitas foto toraks relatif rendah sehingga diperlukan pemeriksaan lain untuk meningkatkan diagnostik seperti HRCT. Bentuk akut memberikan gambaran berupa bercak infiltrat difus atau konsolidasi. Bentuk subakut berupa bayangan nodular atau retinodular. Bentuk kronis berupa bayangan retikular yang progresif berupa honey comb appearance dengan daerah kistik dan penebalan jaringan interstitial. Distribusi bayangan abnormal pada foto toraks meliputi 2/3 paru, dominan di lobus bawah atau petengahan hingga bawah. Faktor yang mempengaruhi distribusi bayangan abnormal adalah deposit antigen saat inhalasi dan kemampuan clearance alveolar. Pada bentuk akut dan subakut, bayangan abnormal biasanya di daerah tengah paru atau lobus medius. Bentuk kronik biasanya ditemukan di daerah atas paru atau lobus atas dengan fibrosis yang progresif.1

High Resolution Computed Tomography (HRCT) pada PH mungkin normal. PH dapat muncul sebagai bronkiolitis terisolasi dengan HRCT yang menunjukkan air trapping, yang timbul hanya pada saat ekspirasi.Fitur CT memiliki peran penting dalam diagnosis PH. Opasitas ground-glass dianggap menunjukkan peradangan interstisial aktif atau fibrosis halus, yang dapat bersifat reversibel atau ireversibel. Opasitas linear yang tidak beraturan, distorsi arsitektur bronkiektasis dan bronkiolektasis, honeycombing biasanya mengindikasikan adanya fibrosis. Dominasi fibrosis pada lobus atas paru, memperkuat penegakkan diagnosis PH. Adanya fibrosis pada HRCT mengindikasikan prognosis yang buruk.17

(19)

Pada tabel di bawah ini terdapat kriteria untuk PH kronis nonfibrosing dan PH kronis fibrosing. Dalam HRCT, opasitas ground- glass dapat mengekspresikan peradangan interstitial atau fibrosis halus.17

Paparan terhadap antigen yang relevan dengan dua atau lebih temuan dianggap memadai untuk diagnosis.

Temuan pada HRCT dan biopsi paru pada PH kronis nonfibrosing dan PH kronis fibrosing ditunjukkan pada gambar berikut.

(20)

Seperti penyakit paru interstitial lainnya, kelainan fungsi paru yang terjadi adalah gangguan ventilasi restriktif dan gangguan pertukaran gas (penurunan kapasitas difusi atau peningkatan hipoksemia selama latihan). Selain kelainan restriksi dapat juga ditemukan kelainan obstruksi atau campuran. Pertukaran gas yang terganggu ditandai dengan hipoksemia terutama saat latihan, penurunan sedikit atau normal tekanan arteri CO2 (PaCO2). Pada awal

(21)

penyakit terjadi hipoksemia saat latihan dan normoksemia saat istirahat, biasanya sesuai dengan luas dan beratnya lesi. Gangguan fungsional yang awal ditemukan adalah penurunan kapasitas difusi (DLCO) yang dapat digunakan sebagai prediktor untuk desaturasi oksigen arteri saat latihan.17

Hasil pemeriksaan BAL pada PH ditandai dengan limfositosis, dimana terjadi peningkatan sebesar 30-70% tanpa disertai eosinophilia, disertai dengan limfosit T CD8 yang dominan dengan perbandingan CD4/CD8 kurang dari 1. Selain itu terdapat peningkatan kadar antibodi IgG, IgM, IgA, leukotriene C4 dan mikroglobulin 2 dari hasil BAL.17

Diagnosis

Pedoman diagnosis yang digunakan saat ini untuk kemungkinan terjadinya PH adalah terdapatnya 4 kriteria mayor ditambah sekurang- kurangnya 2 kriteria minor dan tidak ada penyakit lain dengan gambaran yang hampir serupa. 17

Kriteria mayor :

1. Riwayat gejala klinis yang timbul atau memburuk dalam beberapa jam sesudah pajanan dengan antigen

2. Konfirmasi pajanan antigen berdasarkan anamnesis, penilaian lingkungan, uji presipitin serum dan atau antibodi dari BAL 3. Ditemukan kelainan foto toraks atau HRCT

4. Limfositosis dari BAL

5. Gambaran histologik hasil biopsi sesuai dengan PH

(22)

6. Uji provokasi alami dengan antigen yang dicurigai positif (menimbulkan gejala klinis dan kelainan laboratorium setelah pajanan di lingkungan yang dicurigai)

Kriteria minor:

1. Ronkhi basah kasar di basal paru 2. Penurunan kapasitas difusi

3. Hipoksemia saat istirahat atau latihan

Kriteria diagnostik tersebut kurang tepat digunakan pada kasus ringan karena biasanya gambaran foto toraks normal atau gejala klinis tidak jelas.

Diagnosis Banding

Menyingkirkan diagnosis banding merupakan langkah penting untuk menegakan diagnosis. PH bentuk akut nonprogresif memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan pneumonia akibat infeksi virus atau bakteri atipikal. Diagnosis banding lainnya adalah organic dust toxic syndrome (ODTS) yang terjadi akibat pajanan endotoksin bakteri atau toksin jamur yang sangat hebat dalam satu hari. Gejala ODTS berupa demam, nyeri otot dan sendi, iritasi hidung, serta nafas teras berat.

Bentuk akut progresif (subakut) dan kronik ditandai dengan pembentukan granuloma seperti yang ditemukan pada infeksi

(23)

tuberkuloma dan sarkoidosis. Granuloma pada tuberkulosis biasanya disertai dengan perkijuan atau nekrosis, sedangkan granuloma sarkoidosis ukuran lebih besar dengan batas tegas, banyak terdapat giant cell. Pada pemeriksaan BAL penderita sarcoidosis, perbandingan CD4 dan CD8 lebih dari satu. Bentuk kronik yang ditandai oleh inflamasi dan fibrosis parenkim paru dan bronkiolus terminalis memiliki gambaran radiologi dan patologi yang hampir sama dengan penyakit ILD lainnya.1

Terapi

Mendeteksi pajanan dan menghilangkan antigen yang menjadi penyebab memiliki nilai prognostik dan terapeutik.18

Intervensi terpenting dalam mengelola PH adalah menghindari antigen penyebab, tetapi penghilangan pajanan tidak selalu dapat dilakukan karena seringnya antigen penyebab tidak dapat diidentifikasi atau penghilangan total pajanan berarti menyebabkan perubahan besar dalam pekerjaan, hobi, dan di lingkungan. Pajanan terus menerus menyebabkan resiko kerusakan paru yang progresif.19

Kortikosteroid sering diberikan untuk pasien PH, tetapi uji coba secara acak dari prednison pada pasien PH dengan fibrotik belum dilakukan. Pasien mengalami perkembangan fibrosis yang progresif meskipun antigen penyebab telah disingkirikan. Dosis konvensional untuk kortikosteroid oral adalah 0,5-1 mg / kg / hari untuk prednison selama satu bulan, diikuti dengan pengurangan bertahap hingga dosis pemeliharaan 10-15 mg / hari tercapai.6,9 Pada PH progresif kronis, imunosupresan dapat diberikan bersama dengan kortikosteroid, tetapi

(24)

tidak ada uji coba terkontrol yang tersedia untuk mendukung terapi ini.20

Rituximab dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif dalam kasus PH progresif dan refrakter terhadap terapi konvensional.

Dibandingkan dengan prerituximab, kapasitas difusi (DLCO) dan kapasitas vital paksa (FVC) meningkat secara signifikan.21

Belum ada bukti yang mendukung pemberian anti fibrotik seperti nintedanib dan pirfenidone dalam pengobatan PH kronis. Pada kasus PH progresif kronis yang tidak berespons terhadap terapi kortikosteroid dan / atau imunosupresan, transplantasi paru dapat dipertimbangkan.

Perjalanan Alamiah dan Prognosis

Prognosis PH sangat bervariasi dan tergantung pada jenis dan durasi paparan antigen, dosis antigen yang terinhalasi, dan manifestasi klinis penyakit. Beberapa penderita mungkin mengalami progresivitas dari penyakit walaupun pajanan sudah dihindari dan sedang melakukan pengobatan.7 Adanya fibrosis dan fibrosis yang meluas pada biopsi paru dan HRCT adalah penentu utama angka harapan hidup pada PH.17

Dalam sebuah penelitian yang terdiri dari 103 pasien, beberapa temuan merupakan prediktor mortalitas : usia tua, crackles, rasio FEV1 / FVC yang tinggi, saturasi oksigen yang lebih rendah selama latihan, tidak adanya pola mosaik / air trapping, dan adanya fibrosis pada HRCT.17

(25)

Ringkasan

Pneumonitis hipersensitif adalah inflamasi pada parenkim paru (khususnya, melibatkan alveoli, bronkiolus terminalis, dan interstitial) yang diinduksi oleh reaksi imunologis, akibat inhalasi berulang dari berbagai agen organik, yang terjadi pada individu yang rentan.

Presentasi klinik PH diklasifikasikan ke dalam 3 bentuk yaitu PH akut, subakut, dan kronis.

Sesak nafas dan batuk adalah gejala yang paling umum, dan gejala tersebut dapat membaik selama periode berjauhan dari antigen penyebab. Tidak ada baku emas untuk diagnosis PH, paparan terhadap antigen yang dicurigai sebagai penyebab, antibodi positif, episode gejala yang berulang, ronkhi, timbul gejala 4-8 jam setelah terpapar, dan penurunan berat badan memperkuat diagnosis PH.

Tatalaksana terpenting dalam mengelola PH adalah menghindari pajanan terhadap agen penyebab. Pemberian kortikosteroid menunjukkan perbaikan fungsi paru yang lebih cepat jika dibandingkan dengan hanya menghindari pajanan saja, tetapi tidak ada perbedaan signifikan jangka panjang antara dua kelompok. Edukasi sebaiknya diberikan pada populasi yang beresiko sehingga dapat membantu pengenalan dini terhadap gejala yang ditimbulkan dan melakukan usaha preventif.

(26)

Daftar Pustaka

1. Sforza R, Marinou A. Hypersensitivity pneumonitis : a complex lung disease. Clin Mol Allergy 2017;15:6.

2. Selman M, Pardo A, King TE Jr. Hypersensitivity pneumonitis : insights in diagnosis and pathobiology. Am J Respir Crit Care Med. 2013;186(4): 314–324.

3. Hyldgaard C, Hilberg O, Muller A, Bendstrup E. A cohort study of interstitial lung diseases in central Denmark. Respir Med.

2014;108(5): 793–799.

4. Spagnolo P, Rossi G, Cavazza A, et al. Hypersensitivity pneumonitis: a comprehensive review. J Investig Allergol Clin Immunol. 2015;25(4): 237–250.

5. Cooper CJ, Teleb M, Elhanafi S, Ajmal S, Hernandez GT. Bird fanciers’ 
lung induced by exposure to duck and goose feathers.

Am J Case Rep. 
2014;15:155–158. 


6. Chan AL, Juarez MM, Leslie KO, Ismail HA, Albertson TE. Bird 
 fancier’s lung: a state-of-the-art review. Clin Rev Allergy Immunol. 
2012;43(1–2):69–83. 


7. Glazer CS. Chronic hypersensitivity pneumonitis: important considerations in the work-up of this fibrotic lung disease. Curr Opin Pulm Med. 2015;21(2):171–177. 


8. Hankwitz PE, Cervia JS, Thomas CF, Fink JN, Marras T, Tomic R. 


Nontuberculous mycobacterial hypersensitivity pneumonitis related to a home shower: treatment and secondary

(27)

prevention. BMJ Case Rep. 2013;2013;

doi:10.1136/bcr.06.2011.4360. 


9. Dhar S, Daroowalla F. Hypersensitivity pneumonitis. Clin Pulm Med. 2013;18(4):169–174.

10. Miller R, Allen TC, Barrios RJ, Beasley MB, Burke L, Cagle PT, et all. Hypersensitivity pneumonitis. Arch Pathol Lab Med 2018;

142:120-126.

11. Douglass JA. Hypersensitivity pneumonitis. Middleton’s Allergy 2013;8:1000-13.

12. Elicker BM, Jones KD, Henry TS, Collard HR. Multidisciplinary approach to hypersensitivity pneumonitis. J Thorac imaging 2016;31:92-103

13. Fernández Pérez ER, Swigris JJ, Forssén AV, et al. Identifying an inciting antigen is associated with improved survival in patients with chronic hypersensitivity pneumonitis. Chest. 2013;144(5):

1644–1651.

14. Blanchet MR, Israël-Assayag E, Cormier Y. Inhibitory effect of nicotine on experimental hypersensitivity pneumonitis in vivo and in vitro. Am J Respir Crit Care Med. 2004;169(8):903–909.

15. Cartier A, Sastre J. Clinical assessment of occupational asthma and its differential diagnosis. Immunol Allergy Clin North Am.

2013;31(4):717–728.

16. Costabel U, Bonella F, Guzman J. Chronic hypersensitivity pneumonitis. Clin Chest Med. 2012;33(1):151–163.

17. Carlos AC, Andrea G, Lilian K. Chronic hypersensitivity pneumonitis. Clin Asthma and Allergy. 2016;9:171-181.

(28)

18. Wuyts W, Sterclovab M, Vasakova M. Pitfalls in diagnosis and management of hypersensitivity pneumonitis. Curr Opin Pulm Med. 2015;21(5):490–498. 


19. Fernández Pérez ER, Swigris JJ, Forssén AV, et al. Identifying an inciting antigen is associated with improved survival in patients with chronic hypersensitivity pneumonitis. Chest. 2013;144(5):

1644–1651.

20. Agache LO, Rogozea L. Management of hypersensivity pneumonitis. Clin Transl Allergy. 2013;3(1):5.

21. Lota HK, Keir GJ, Hansell DM, et al. Novel use of rituximab in hypersensitivity pneumonitis refractory to conventional treatment. Thorax. 2013;68(8):780–781.

(29)

Gambar

Gambar 1. Mekanisme dasar pneumonitis hipersensitif
Gambar 2. Patogenesis pneumonitis hipersensitif 11

Referensi

Dokumen terkait

Bila tv masih tidak menyala berarti kerusakan ada pada bagian horizontal, coba ukur transistor yang berada pada pendingin dekat flyback, mengukurnya sama seperti mengukur

[r]

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam dua siklus dengan penggunaan dongeng dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas

Sehubungan dengan Pelelangan Sederhana Pekerjaan Pengadaan Genset pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun Anggaran 2014, untuk Paket Pekerjaan tersebut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 78 orang siswa untuk 5 soal uraian yang diberikan dan hasil wawancara diperoleh rata-rata kesalahan konsep adalah 30,6 %,

*) Apabila kegiatan pengadaan pada Anggaran ini masuk dalam kriteria APBN-P TA 2015, maka masih dalam proses pembukaan tanda blokir (*) di Kementerian Keuangan

Kompetensi Khususs : Setelah mengikuti tutorial ini diharapkan Mahasiswa dapat menjelaskan tata letak atau lay- out.. Pokok Bahasan : Prinsip dan

Dari hasil penggunaan model TGT hasil yang diperoleh pada siklus 1 dan 2 menunjukan peningkatan hasil belajar dan peningkatan keaktifan siswa kelas 3 SD Negeri