• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggali simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sebagai ungkapan dalam perkawinan Gereja Katolik di Kec. Linggang Bigung, Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Menggali simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sebagai ungkapan dalam perkawinan Gereja Katolik di Kec. Linggang Bigung, Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur."

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah MENGGALI SIMBOL-SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG SEBAGAI UNGKAPAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK DI KEC. LINGGANG BIGUNG, KAB. KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR. Judul ini dipilih berdasarkan pada kenyataan bahwa pengetahuan masyarakat Dayak Tunjung akan makna perkawinan sangat minim dan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada begitu banyak hal yang menyebabkan minimnya pemahaman masyarakat Dayak Tunjung dan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan dalam perkawinan. Pemahaman tentang luhurnya nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga keliru. Menurunnya hal tersebut nampak dalam praktek kawin cerai yang terjadi dalam lingkup masyarakat.

Penulis mencoba menggali makna dari simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung untuk mencari nilai-nilai kesetiaan yang terkandung dalam setiap simbol yang dipakai. Dari hasil penelitian, simbol-simbol yang dipakai dalam upacara melambangkan nilai kesetiaan. Walaupun tidak secara eksplisit dikatakan bahwa setiap simbol-simbol mengandung makna kesetiaan akan tetapi dari setiap proses upacara adat, tata cara dan simbol yang digunakan dalam perkawinan adat mengandung nilai kesetiaan seperti halnya dalam perkawinan Katolik yang juga mengutamakan unsur kesetiaan. Dalam seluruh proses upacara tersirat makna mengenai kesetiaan yaitu mengajarkan pasangan untuk bersikap saling setia, hidup bersama saling memberi dan menerima, serta kesediaan untuk sehidup semati hingga maut memisahkan. Untuk itu, makna simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sangat relevan dengan nilai kesetiaan perkawinan Katolik.

(2)

ix ABSTRACT

The title of this undergraduate thesis is DELVING THE TRADITIONAL

MARRIAGE SYMBOLS OF DAYAK TUNJUNG TRIBE AS

EXPRESSIONS OF FIDELITY VALUE IN CATHOLIC CHURCH MARRIAGE AT LINGGANG BIGUNG SUBDISTRICT, WEST KUTAI REGENCY, EAST KALIMANTAN. This title was chosen based on facts that knowledge of Dayak Tunjung people toward the meaning of marriage is deficient and appreciation toward fidelity value in marriage is decreasing. Understanding about marriage as a noble value are obscure, confused, and it can be wrong. Decreasing of people understanding is shown in practice of marriage – divorce which is happened in society.

The author delved meaning of traditional marriage symbols of Dayak Tunjung tribe in order to find the fidelity values in every symbol which is being used in the traditional marriage. However, it was not explicitly mentioned that every symbol contains fidelity purpose but in each process of traditional marriage, procedure and symbols that used in traditional marriage contain fidelity value as well as Catholic marriage which is also prioritize the fidelity. In every process of a ceremony contains a meaning about fidelity which teaches the couple to be faithful, live in togetherness to give and to accept, also willingness to live together until death separates. The meaning of symbols in Dayak Tunjung tribe traditional marriage is relevant with fidelity value of Catholic marriage.

(3)

MENGGALI SIMBOL-SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG

SEBAGAI UNGKAPAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK DI KEC. LINGGANG BIGUNG, KAB. KUTAI BARAT,

KALIMANTAN TIMUR

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Natalia Yustika NIM: 121124030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus yang selalu menjaga, membimbing dan menerangi hati dan pikiran, kedua orangtua dan kekasih yang selalu mendukung dalam berbagai keadaan yang

(7)

v MOTTO

“Kesetiaan itu datang dari hati dan niat bukan dari kata-kata.

(8)
(9)
(10)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah MENGGALI SIMBOL-SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG SEBAGAI UNGKAPAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK DI KEC. LINGGANG BIGUNG, KAB. KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR. Judul ini dipilih berdasarkan pada kenyataan bahwa pengetahuan masyarakat Dayak Tunjung akan makna perkawinan sangat minim dan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada begitu banyak hal yang menyebabkan minimnya pemahaman masyarakat Dayak Tunjung dan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan dalam perkawinan. Pemahaman tentang luhurnya nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga keliru. Menurunnya hal tersebut nampak dalam praktek kawin cerai yang terjadi dalam lingkup masyarakat.

Penulis mencoba menggali makna dari simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung untuk mencari nilai-nilai kesetiaan yang terkandung dalam setiap simbol yang dipakai. Dari hasil penelitian, simbol-simbol yang dipakai dalam upacara melambangkan nilai kesetiaan. Walaupun tidak secara eksplisit dikatakan bahwa setiap simbol-simbol mengandung makna kesetiaan akan tetapi dari setiap proses upacara adat, tata cara dan simbol yang digunakan dalam perkawinan adat mengandung nilai kesetiaan seperti halnya dalam perkawinan Katolik yang juga mengutamakan unsur kesetiaan. Dalam seluruh proses upacara tersirat makna mengenai kesetiaan yaitu mengajarkan pasangan untuk bersikap saling setia, hidup bersama saling memberi dan menerima, serta kesediaan untuk sehidup semati hingga maut memisahkan. Untuk itu, makna simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sangat relevan dengan nilai kesetiaan perkawinan Katolik.

(11)

ix ABSTRACT

The title of this undergraduate thesis is DELVING THE TRADITIONAL MARRIAGE SYMBOLS OF DAYAK TUNJUNG TRIBE AS EXPRESSIONS OF FIDELITY VALUE IN CATHOLIC CHURCH MARRIAGE AT LINGGANG BIGUNG SUBDISTRICT, WEST KUTAI REGENCY, EAST KALIMANTAN. This title was chosen based on facts that knowledge of Dayak Tunjung people toward the meaning of marriage is deficient and appreciation toward fidelity value in marriage is decreasing. Understanding about marriage as a noble value are obscure, confused, and it can be wrong. Decreasing of people understanding is shown in practice of marriage – divorce which is happened in society.

The author delved meaning of traditional marriage symbols of Dayak Tunjung tribe in order to find the fidelity values in every symbol which is being used in the traditional marriage. However, it was not explicitly mentioned that every symbol contains fidelity purpose but in each process of traditional marriage, procedure and symbols that used in traditional marriage contain fidelity value as well as Catholic marriage which is also prioritize the fidelity. In every process of a ceremony contains a meaning about fidelity which teaches the couple to be faithful, live in togetherness to give and to accept, also willingness to live together until death separates. The meaning of symbols in Dayak Tunjung tribe traditional marriage is relevant with fidelity value of Catholic marriage.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Allah adalah setia dan Ia tak pernah menyangkal kesetiaan-Nya. Dalam kelemahan dan kekurangan, penulis semakin menyadari kehadiran Allah yang setia itu. Ia tidak pernah meninggalkan, ia selalu setia menuntun, dan karena kesetiaan-Nya itu penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: MENGGALI SIMBOL-SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG SEBAGAI UNGKAPAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK DI KEC. LINGGANG BIGUNG, KAB. KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR.

Penulisan skripsi ini berangkat dari ketertarikan penulis dengan kebudayaan dan juga keprihatinan akan minimnya pemahaman masyarakat Dayak Tunjung tentang makna perkawinan baik perkawinan adat maupun Gereja. Penulis mempunyai maksud untuk membantu para pasangan untuk menghayati nilai kesetiaan perkawinan tidaknya hanya dari perkawinan Gereja akan tetapi dari perkawinan adat dengan menilik simbol-simbol yang dipakai dalam proses perkawinan.

Dalam rangka penulisan skripsi ini, banyak pihak dengan setia telah membantu penulis, baik tenaga maupun pikiran. Mereka semua telah memberikan kondisi-kondisi yang positif kepada penulis. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

(13)

xi

waktu serta memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd selaku Wakaprodi PAK, dosen pembimbing akademik dan dosen penguji kedua yang telah memberikan dukungan dan masukan kepada penulis sehingga semakin termotivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa, H.S. S.Ag., M.Si., Selaku dosen penguji ketiga yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap staf dosen Prodi PAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Segenap staf karyawan Prodi PAK-USD yang telah membantu dalam mengarahkan pengurusan administrasi dan memberikan semangat hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Segenap staf BAPPEDA dan Lembaga Adat Kab. Kutai Barat yang telah membantu dalam mengumpulkan referensi dan kelengkapan penulisan skripsi ini.

(14)
(15)

xiii DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG ... 10

A. Masyarakat Dayak secara Umum ... 11

1. Asal-usul Suku Dayak ... 11

2. Klasifikasi Suku Dayak ... 12

a. Suku Dayak Benuaq . ... 13

b. Suku Dayak Kenyah ... 13

c. Suku Dayak Aoheng ... 14

(16)

xiv

4. Kategori Hukum Adat dalam Masyarakat Suku Dayak Tunjung... 19

a. Hukum Adat Pertanahan dan Tanam Tumbuh. ... 20

b. Hukum Adat Kelahiran... 21

c. Hukum Adat Perkawinan. ... 22

C. Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 23

1. Latar Belakang Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 24

2. Tujuan Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 24

3. Sifat Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 25

4. Syarat-syarat Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 25

5. Prosedur Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 27

a. Perkawinan atas Kemauan Sendiri (agak). ... 27

b. Perkawinan atas Permintaan Orangtua. ... 28

D. Proses Upacara Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 28

1. Persiapan Upacara Adat Perkawinan ... 28

2. Kegiatan Pada Pagi Hari Berikutnya ... 29

a. Pembacaan Mantra dan Pemberkatan. ... 30

b. Mempelai Masuk ke dalam Rumah. ... 33

3. Nasehat Perkawinan ... 35

E. Simbol-simbol dalam Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung. ... 36

F. Rangkuman ... 39

BAB III. AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN KATOLIK ... 41

A. Perkawinan katolik ... 42

(17)

xv

2. Tujuan Perkawinan Katolik ... 45

3. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan Katolik ... 46

a. Unitas (kesatuan). ... 46

b. Indissolubilitas (tak-dapat-diputuskan). ... 47

c. Sakramental. ... 48

B. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Perkawinan ... 49

1. Yahwe Yang Setia kepada Bangsa Israel ... 49

2. Kristus Yang Setia kepada Gereja-Nya ... 52

C. Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterum ... 54

1. Kesetiaan Perkawinan menurut Konsili Vatikan II ... 54

2. Kesetiaan Perkawinan menurut Ensiklik Familiaris Consortio 55 D. Beberapa Nilai Dasar Penggerak Kesetiaan dalam Perkawinan Katolik ... 57

BAB IV. PENELITIAN, HASIL PENELITIAN DAN USULAN ... 63

(18)

xvi

9. Instrumen Penelitian. ... 68

B. Hasil Penelitian ... 69

C. Rangkuman Hasil Penelitian dan Permasalahan yang Ditemukan .. 83

D. Usulan Program ... 86

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran. ... 93

1. Bagi Keuskupan dan Paroki. ... 93

2. Bagi Lembaga adat. ... 93

3. Bagi Kampus. ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN. ... 97

Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Pedoman Wawancara ... (2)

Lampiran 3: Transkrip Hasil Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Doa dan Mantra Perkawinan Adat ... (10)

Lampiran 5: Satuan Pendampingan Rekoleksi ... (17)

(19)

xvii

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab Deuterokanonika (2005), Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga

Biblika Indonesia.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

FC : Familiaris Consortio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, diterbitkan pada 22 November 1981.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, diterbitkan pada 07 Desember 1965. KGK : Katekismus Gereja Katolik, Paus Yohanes Paulus II, diterbitkan

lewat Konstitusi Apostolik Fidei Depositum, pada 11 Oktober 1992.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 25 Januari 1983.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja pada 21 November 1964.

C. Singkatan Lain

(20)

xviii

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Bdk : Bandingkan

Kan : Kanon

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pengertian perkawinan menurut ajaran agama Katolik adalah “persekutuan

hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi, yang tidak dapat ditarik kembali dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami isteri dan kepada pembangunan keluarga, sehingga oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian. Sedangkan dalam Kitab Hukum Kanonik

1983, Kanon 1055 ditegaskan bahwa “perjanjian perkawinan, dengannya seorang

laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

(22)

Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik, sehingga yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam kasih nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Kesetiaan dalam perkawinan Katolik merupakan unsur penting dalam upaya mempertahankan keutuhan perkawinan. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga acapkali terdapat beberapa masalah yang dapat mengganggu keharmonisan dalam keluarga. Meski demikian, kebahagiaan dalam perkawinan merupakan sesuatu yang seharusnya diusahakan terus menerus dalam perjalanan hidup bersama pasangan suami istri. Setiap pasangan suami istri memiliki cita-cita untuk membangun keluarga yang bahagia, secara lahir maupun batin. Namun faktanya, banyak pasutri berpendapat bahwa membentuk keluarga ideal yang mampu saling membahagiakan bukanlah perkara mudah. Berkenaan dengan hal itu, Gereja Katolik sangat prihatin dengan meningkatnya angka perceraian dan pernikahan kedua, juga perkawinan melalui catatan sipil, perkawinan adat, perkawinan sakramental tanpa iman dan penolakan moral seksual Kristiani.

(23)

Berkenaan dengan kasus perceraian tersebut, ironisnya ruang privasi suami istri yang sesungguhnya menjadi milik pribadi, justru dipertontonkan di hadapan publik. Bahkan hal itu dianggap sebagai suatu yang biasa dan sebagai gaya hidup modern. Maraknya tayangan di televisi dan publikasi di media cetak tentang kecenderungan perceraian dan juga perselingkuhan di kalangan selebritis, semakin menunjukkan bahwa lembaga perkawinan mengalami kemerosotan nilai.

Makna perkawinan dalam kehidupam saat ini semakin mengalami degradasi nilai seiring dengan munculnya anggapan, bahwa perkawinan dengan satu pasangan untuk selama hidup terlalu sukar dilaksanakan, sehingga perceraian menjadi semacam alternatif apabila masa sukar dalam hidup bersama itu muncul. Menurut L.C. Wrenn, seorang hakim di Rota Romana (Pengadilan Tingkat Kepausan di Roma), berpendapat mayoritas orang yang menikah di negara-negara modern hampir semuanya mengakui kemungkinan perceraian sipil, mereka akan menikah namun akan melakukan perceraian apabila perkawinannya tidak bahagia (Wrenn, 1972:87).

(24)

Keluarga kristiani sesungguhnya juga sedang menghadapi fenomena universal ini, yaitu merosotnya nilai-nilai kesetiaan dalam perkawinan. Padahal sejatinya kesetiaan merupakan hal yang paling hakiki dalam relasi suami dan istri. Kesetiaan sesungguhnya mempunyai arti yang luas dan tidak terbatas hanya pada masalah seks dan cinta semata. Kesetiaan adalah suatu keputusan untuk tetap memegang komitmen dan tangggung jawab dalam membangun keutuhan perkawinan. Maka dalam keluarga kristiani, kesetiaan merupakan tolok ukur bagi keutuhan sebuah perkawinan.

Fenomena kemerosotan nilai-nilai luhur perkawinan menunjukkan bahwa makna kesetiaan belum dihayati secara utuh dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani yang terancam keutuhannya. Maka kesadaran terhadap penghayatan mengenai nilai-nilai kesetiaan adalah mutlak perlu sebagai syarat bagi keutuhan ikatan perkawinan.

(25)

disampaikan oleh para tetua sebagai bekal kehidupan bagi kedua mempelai yang selanjutnya diakhiri dengan perjamuan makan sebagai lambang ucapan syukur.

Namun simbol-simbol yang terdapat dalam perkawinan adat suku Dayak Tunjung, acapkali hanya dipahami secara artifisial dan bersifat seremonial semata sehingga tidak dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Padahal sesungguhnya simbol-simbol yang terdapat dalam perkawinan adat Dayak Tunjung memiliki korelasi dengan makna simbol dalam perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik, terutama berkaitan dengan nilai-nilai kesetiaan dalam kehidupan berkeluarga.

Menurut ajaran Gereja Katolik dan perkawinan adat Dayak Tunjung, nilai-nilai kesetiaan amat penting dalam kehidupan berkeluarga, untuk itu Penulis memilih tema kesetiaan dalam pembahasan skripsi ini ditinjau dari simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung. Maka dalam skripsi ini, Penulis akan memfokuskan pembahasan tema kesetiaan dengan menggali simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung di Kec. Linggang Bigung, Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur dalam upaya untuk menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinan Katolik.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

(26)

bahwa pemahaman umat tentang nilai-nilai perkawinan kristiani masih kurang atau dangkal.

Dalam usaha untuk mencari solusi atas problem-problem di atas, penulis berhadapan dengan beberapa persoalan dasar, yaitu:

1. Apa saja simbol-simbol yang ada di dalam kehidupan suku Dayak Tunjung? 2. Bagaimana praksis perkawinan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat

suku Dayak Tunjung?

3. Bagaimana kondisi keluarga Katolik suku Dayak Tunjung?

4. Apa makna simbol-simbol dalam perkawinan adat suku Dayak Tunjung terhadap kesetiaan dalam hidup berkeluarga?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan ini untuk memberikan masukan kepada para pendamping keluarga-keluarga Katolik agar dapat membantu keluarga-keluarga itu untuk:

1. Mengetahui aneka simbol dalam perkawinan adat suku Dayak Tunjung. 2. Mengetahui sejauh mana pemahaman umat tentang simbol-simbol

perkawinan adat suku Dayak Tunjung.

(27)

4. Mengetahui relevansi makna simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung dengan nilai kesetiaan dalam perkawinan Katolik.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Bagi katekis, menjadi pengetahuan dan masukan baru untuk menggali nilai-nilai perkawinan dalam simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sehingga ketika kursus persiapan perkawinan hal-hal ini lebih dihayati oleh calon pasutri.

2. Menjadi masukan untuk gereja-gereja paroki dan katekis paroki di Kabupaten Kutai Barat.

3. Menjadi masukan untuk keluarga Katolik supaya lebih menghayati kesetiaan dalam perkawinan.

E. METODE PENULISAN

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis. Melalui metode ini penulis menggambarkan permasalahan dan menganalisis data yang diperoleh melalui wawancara di lapangan dan studi pustaka dari buku-buku yang menunjang dalam penulisan.

(28)

holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2014: 6).

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang mendasari penulis menulis skripsi ini, serta metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi ini dan sistematika yang tersusun.

Bab II : Simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung

Bab ini berisi gambaran umum masyarakat dayak, mengenal perkawinan adat, proses upacara perkawinan adat dan simbol-simbol dalam perkawinan adat Dayak Tunjung

Bab III : Ajaran Gereja tentang Kesetiaan dalam perkawinan

Bab ini berisi penjelasan mengenai perkawinan katolik, kesetiaan sebagai konsekuensi logis dari hakikat perkawinan katolik dan landasan biblis tentang kesetiaan suami istri. Dalam bab ini juga penulis masuk kedalam penelitian lapangan.

(29)

Dalam bab ini penulis masuk kedalam pemaparan mengenai simbol-simbol yang masih relevan dan sesuai dengan ajaran Gereja.

Bab V : Penutup

(30)

BAB II

SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG

Tradisi perkawinan adat suku Dayak Tunjung merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun. Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup yang dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Maka kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia.

Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman hidup. Maka kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

(31)

A. Masyarakat Dayak secara Umum

Suku Dayak di Kalimantan (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam), ditengarai sekitar 7 juta jiwa. Situasi geografis dan demografis mengakibatkan

mereka terisolasi dan “tercerai-berai”. Meski semula mereka merupakan satu rumpun, namun setelah proses kehidupan berlangsung ribuan tahun mereka seolah tak mempunyai relasi satu sama lain. Itulah sebabnya, suku Dayak menjadi

semacam “mozaik kultural” meski masih terdapat raut dasar yang menunjukkan

identitas kesemulaan.

1. Asal-usul Suku Dayak

Pribumi Kalimantan adalah imigran dari Yunan, Cina Selatan. Dalam pelbagai literatur, terdapat keragaman penyebutan, yakni Daya`, Dyak, Daya, dan Dayak. Padahal semula mereka menyebutnya dalam konteks lokalitas seperti Benuaq, Kenyah, Punan, Bahau, Aoheng, Lun Daye, Kenayatn, Ngaju, Lewangan,

Ma’anyan dan lainnya, suatu penyebutan etnisitas berdasarkan stammenras atau tempat tinggal dari masing-masing komunitas.

Istilah Dayak sesungguhnya merupakan identitas kolektif untuk berbagai pribumi Kalimantan yang tidak memeluk agama Islam. Namun dari berbagai penelitian, terutama Ave dan King serta Sellato terungkap, mayoritas orang Melayu di Kalimantan adalah keturunan Dayak yang kemudian memeluk agama Islam (Roedy Haryo Widjono, 2016: 6).

(32)

Sebelum Masehi. Para imigran yang terdiri dari kelompok kecil mengembara ke Tumasik dan Semenanjung Melayu sebagai batu loncatan ke pulau-pulau di Nusantara. Sedangkan kelompok lain memilih "pintu masuk" melalui Hainan, Taiwan, dan Filipina. Maka suku Murut dan Lun Daye di wilayah Kalimantan Utara diduga pernah bermukim di Filipina dan sebagai buktinya, mereka menguasai sistem pertanian sedenter yang tidak dikenal oleh suku-suku lainnya (Roedy Haryo Widjono, 2016:7) .

Para migran "gelombang pertama" yang memasuki Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Weddid dan lazim disebut Proto Melayu. Sedangkan migran "gelombang kedua" dalam jumlah lebih besar disebut Deutro Melayu, yang kemudian menghuni wilayah pesisir Kalimantan dan dikenal sebagai suku Melayu. Kelompok Proto Melayu dan Deutro Melayu sejatinya bermula dari negeri yang sama. Perbedaan yang ada merupakan akibat dari akulturasi kedua belah pihak dan etnik lain di Nusantara selain dipengaruhi oleh agama. Maka kemudian muncul istilah Dayak dan Haloq yakni sebutan untuk suku lain yang beragama Islam dan merupakan penegasan istilah bermakna sosio-religius.

2. Klasifikasi Suku Dayak

(33)

masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar.

Dalam pembahasan ini penulis hanya akan menyebutkan beberapa sub suku dan tidak menjelaskan semua karena bukan fokus penulis menyebutkan semua sub suku yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Klasifikasi sub suku tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Suku Dayak Benuaq

Dayak Benuaq adalah Suku Dayak dari Kutai Barat (Kalimantan Timur). Berdasarkan pendapat beberapa ahli, Suku Dayak Benuaq dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub Suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah (Madrah, 2001:2). Benuaq sendiri berasal dari kata Benua yang dalam arti luasnya adalah suatu wilayah atau daerah teritori

tertentu.

Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan dialek bahasa Benuaq, diyakini bahwa orang Benuaq justru tidak berasal dari

Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu (dewa-dewi yang turun ke bumi). Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang dan tidak bermigrasi seperti yang dikatakan para ahli.

b. Suku Dayak Kenyah

(34)

beberapa sub suku yaitu Kenyah Bakung, Kenyah Lepok Bam, Kenyah Lepok Jalan, Kenyah Lepok Tau, Kenyah Lepok Tepu, Kenyah Lepok Ke, Kenyah Umag Tukung dan lainnya.

Dalam Suku Dayak Kenyah terdapat beberapa aktifitas adat yang berkaitan dengan lingkaran kehidupan dan menjadi suatu hal yang mutlak dan wajib untuk dikerjakan setiap Suku Dayak Kenyah, walaupun dewasa ini sudah mulai banyak pergeseran-pergeseran yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor terutama sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti terjadi proses akulturasi budaya atau pergeseran karena pengaruh nilai-nilai keyakinan yang dianut (Lahajir, 2013:397).

c. Suku Dayak Aoheng

Suku Dayak Aoheng/Penihing merupakan 2% dari penduduk Kabupaten Kutai Barat. Data ini penulis dapat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2011-2016. Suku Dayak Aoheng sebagian besar mendiami wilayah Mahakam Ulu.

(35)

Koheng. Kemudian bagaimana nama Koheng bisa menjadi Aoheng atau Oheng? Tidak ada data mengenai hal itu.

Setelah pindah daerah dan menetap di daerah paling Ulu/muara dari sungai Mahakam suku Dayak Aoheng mengalami banyak perubahan. Perjalanan mereka menuju ke ulu sungai Mahakam berbeda dengan sub-suku lain. Ditambah lagi karena wilayah tempat mereka tinggal sangat terisolir, maka sub suku ini semakin muncul sebagai suku tersendiri. Tujuan utama dari perpindahan atau pengembaraan mereka adalah mencari tanah ladang yang lebih baik dan lebih luas.

d. Suku Dayak Bahau

Suku Dayak Bahau merupakan salah satu komunitas sub-suku Dayak yang besar di Kalimantan Timur. Populasi suku Dayak Bahau kurang lebih 9% berdasarkan data yang penulis dapat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Kutai Barat pada Tahun 2011-2016.

(36)

e. Suku Dayak Tunjung / Tonyooi

Tidak ada data tertulis mengenai sejarah dan asal usul suku Dayak Tunjung. Kita dapat mengetahui asal usul mereka hanya dari cerita-cerita rakyat dari orang tua. Dalam RPJMD suku Dayak Tunjung adalah suku yang menduduki posisi pertama dalam persentase penduduk berdasarkan suku yaitu mencapai 25%.

B. Suku Dayak Tunjung

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan secara terperinci mengenai suku Dayak Tunjung mulai dari asal-usul, keadaan geografis sampai pada jenis-jenis hukum adat dalam masyarakat suku Dayak Tunjung.

1. Asal-usul Suku Dayak Tunjung

Seperti dalam penjelasan penulis di atas bahwa tidak ada data tertulis mengenai asal-usul suku Dayak Tunjung. Kita dapat mengetahui asal-usul mereka hanya dari cerita-cerita orang tua (Depdikbud, 1977:18). Menurut Dr. J. Mallinckrodt, menyimpulkan dari penelitiannya bahwa suku Dayak yang ada di Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak Tunjung dan Benuaq termasuk dalam suku Lawangan yang berasal dari Kalimantan Tengah (Madrah, 2001:2).

(37)

Nama asli suku Dayak Tunjung adalah Tonyooi. Sedangkan kata Tunjung

sendiri dalam bahasa Dayak Tunjung adalah “mudik” atau menuju arah hulu

sungai. Berdasarkan cerita yang secara turun temurun diceritakan bahwa pada suatu hari seorang Tonyooi mudik dan bertemu dengan orang Haloq (sebutan Suku Dayak kepada seseorang yang bukan Dayak dan beragama Islam). Haloq tersebut bertanya kepada orang Tonyooi : Ingin pergi kemana? Kemudian

Tonyooi menjawab “Tuncukng”, yang artinya mudik. Orang Haloq lalu terbiasa

melihat orang yang seperti ditanyainya tadi disebut “Tunjung” dan hingga sekarang nama tersebut masih dipergunakan.

2. Keadaan Geografis

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2011-2016 Kabupaten Kutai Barat dengan Ibukota Sendawar merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Kutai yang telah ditetapkan berdasarkan UU. Nomor 47 Tahun 1999. Secara simbolis kabupaten ini telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri R.I. pada tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta dan secara operasional diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Timur pada tanggal 05 Nopember 1999 di Sendawar. Luas Wilayah Kutai Barat sekitar 31.628,70 km2 atau 15% dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan berpenduduk 165.934 jiwa.

(38)

Timur) di sebelah Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara di sebelah Selatan dan untuk sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah serta Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat.

Kabupaten Kutai Barat terbagi menjadi 21 Kecamatan dan 238 Desa. Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kutai Barat meliputi Kecamatan Bongan, Kecamatan Jempang, Kecamatan Siluq Ngurai, Kecamatan Bentian Besar, Kecamatan Penyinggahan, Kecamatan Muara Pahu, Kecamatan Muara Lawa, Kecamatan Damai, Kecamatan Barong Tongkok, Kecamatan Nyuatan, Kecamatan Mook Manor Bulatn, Kecamatan Sekolaq Darat, Kecamatan Melak, Kecamatan Linggang Bigung, Kecamatan Long Iram dan Kecamatan Tering. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2013, Kabupaten Kutai Barat dimekarkan dengan dibentuknya Kabupaten Mahakam Ulu.

Letak desa-desa di wilayah Kabupaten Kutai Barat pada umumnya berada di daerah tepian sungai (119 desa), di daerah dataran (86 desa) dan di lereng bukit (18 desa). Mayoritas Penduduk Kabupaten Kutai Barat adalah masyarakat adat yang terdiri dari bermacam suku Dayak, bahasa, adat-istiadat serta budaya.

3. Peranan Adat Dalam Kehidupan Suku Dayak Tunjung

(39)

keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan musyawarah.

Dalam masyarakat suku Dayak Tunjung, hukum adat dipahami sebagai suatu norma, kaidah, ketentuan, dan kebiasaan dalam masyarakat secara turun temurun (Madrah, 2001:14). Dalam masyarakat Dayak Tunjung lebih dikenal dengan kata sukat yang berarti hukum. Kata sukat menggambarkan bahwa dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan adat, seorang tetua adat (mantiiq) memiliki pertimbangan, ukuran, ketentuan serta kebijakan tertentu sehingga masyarakat benar-benar mendapat kepastian dan perlindungan hukum.

Hukum adat suku Dayak Tunjung sebagai bagian dari kearifan lokal, realitanya saat ini kurang diminati oleh generasi muda karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Maka dalam perkembangan situasi saat ini, telah terjadi proses penyesuaikan nilai-nilai hukum adat dengan perkembangan zaman.

4. Kategori Hukum Adat Dalam Masyarakat Suku Dayak Tunjung

(40)

Dalam kehidupan masyarakat suku Dayak Tunjung terdapat berbagai kategori hukum adat yang bersumber dari tradisi warisan leluhur.

a. Hukum Adat Pertanahan dan Tanam Tumbuh

Hukum adat pertanahan dan tanam tumbuh memiliki peranan yang penting bagi masyarakat suku Dayak Tunjung, terutama berkaitan dengan tradisi perladangan (Madrah, 2001:43). Pada masa lalu, batas antara desa hanya ditentukan atas dasar kesepakatan antara tetua adat yang bertetangga, tanpa peta desa dan dokumen tertulis sebagai bukti legalitas kepemilikan. Sedangkan batas desa, lazimnya menggunakan tanda alam, misalnya sungai, danau, dan pohon tanyut, yakni pohon yang biasanya dihinggapi lebah madu.

Pada dasarnya, wilayah suatu desa dinamakan tanah adat, yang diklasifikasi berdasarkan kepemilikian desa, pribadi, dan kepemilikan keluarga. Tanah adat milik desa merupakan bagian dari kawasan suatu desa dan status kepemilikannya adalah milik bersama semua warga desa yang pengelolaannya diatur oleh tetua adat setempat (Madrah, 2001:44). Sedangkan tanah adat milik pribadi didapat dengan cara meminta kepada tetua adat atau pemilik pertama (Madrah, 2001:53).

(41)

seorang tetua adat dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul berkaitan dengan kepemilikan tanah.

Seorang tetua adat tidak akan mempersulit proses pemberian tanah untuk warganya, baik tanah untuk perladangan maupun hutan bebas. Luas tanah yang diberikan sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati antara warga yang meminta dengan tetua adat. Pengelolaan tanah untuk perladangan maupun untuk keperluan lainnya, harus senantiasa merujuk pada aturan hukum adat yang berlaku.

Sedangkan tanah adat milik keluarga dalam istilah Dayak Tunjung disebut tana talutn. Tanah milik keluarga biasanya berawal dari tanah milik pribadi yang

diwariskan oleh pemiliknya kepada anak cucunya atau generasi penerusnya sehingga tanah itu menjadi milik keluarga besar, sedangkan pengaturan pengelolaannya diatur oleh tetua dalam keluarga berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku (Madrah, 2001:53).

b. Hukum Adat Kelahiran

(42)

Tradisi ngerasiq-ngeradak secara simbolis dilakukan melalui ritual adat yang bertujuan agar sang ibu tetap sehat sehingga bayi lahir dalam kondisi yang sehat pula. Jika dikaitkan dalam perspektif medis, ritual ini seperti pemberian imunisasi pada saat ibu hamil. Selain pemeliharaan kesehatan, suami dan istri wajib berpantang (merikng) selama masa kehamilan. Salah satu pantangan yang dilakukan oleh istri adalah tidak boleh melilitkan kain (handuk, sarung, baju, dll) pada bahu atau leher agar tali pusar bayi tidak membentuk lingkaran sehingga mempersulit proses persalinan (Madrah, 2001:58).

Sedangkan pantangan bagi suami lebih berat dibandingkan pantang sang istri. Salah satu pantangannya adalah tidak boleh memasang paku supaya dalam proses persalinan sang istri dapat melahirkan dengan selamat dan tidak ada hambatan. Selain pantangan, juga dipergunakan benda bertuah dan pembacaan mantra yang dilakukan secara rutin untuk menjauhkan pengaruh roh-roh jahat.

c. Hukum Adat Perkawinan

(43)

perempuan harus dapat menumbuk padi, memelihara ternak dan tidak memiliki sifat jaukng jongok, yaitu berlama-lama bila mandi atau mencuci di tepian sungai.

Apabila seseorang hendak melangsungkan perkawinannya, maka ia bersama keluarga (ayah/ibu) menyiapkan segala sesuatu agar perkawinan tersebut sesuai dengan ketentuan aturan adat. Secara umum perkawinan adat yang diperbolehkan dalam lingkup internal suku Dayak Tunjung adalah perkawinan antara orang-orang seangkatan. Adapun yang dimaksud saudara seangkatan adalah antara saudara sepupu sederajat pertama, saudara sepupu sederajat ketiga dan seterusnya (Depdikbud, 1977:123). Dalam pembahasan selanjut penulis akan menjelaskan secara terperinci mengenai perkawinan adat suku Dayak Tunjung.

C. Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan

perdata tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Maka terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orangtua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, kekerabatan dan menyangkut upacara-upacara adat (Imam Sudiyati: 1991:17).

(44)

lazimnya dipergunakan sebagai rujukan pertimbangan untuk menetapkan calon menantu sesuai nilai-nilai luhur perkawinan adat.

1. Latar Belakang Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Pada zaman dulu sebelum adanya pendatang di Kabupaten Kutai barat, lazimnya perkawinan yang berlangsung diantara masyarakat Dayak Tunjung hanya sebatas purus atau yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun dalam perkembangannya, perkawinan adat suku Dayak Tunjung pun mengalami transformasi (perubahan). Perkawinan adat dapat terjadi secara endogam dan eksogam (Lahajir, 2013:27). Perkawinan endogam adalah perkawinan antara satu suku yang bertujuan mempererat hubungan keluarga. Sedangkan perkawinan eksogam adalah perkawinan dengan etnis atau suku yang berbeda (Madrah, 2001:62).

2. Tujuan Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Tujuan perkawinan adat suku Dayak Tunjung, secara umum mengandung unsur untuk mendapatkan keturunan dan mendapatkan tenaga kerja tambahan dalam keluarga. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk memelihara hubungan baik dengan keluarga yang sudah jauh serta memelihara harta warisan agar tetap berada dalam lingkungan keluarga (Pamung, 2001:2). Namun hal tersebut berlaku bila kedua belah pihak masih seketurunan (satu suku), dalam konteks ini diistilahkan dengan perkawinan endogam.

(45)

memperluas kekeluargaan sehingga terjalin hubungan kekerabatan dengan suku atau desa lain (Pamung, 2001: 2).

3. Sifat Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Pada dasarnya sifat perkawinan suku Dayak Tunjung adalah monogami. Prinsip perkawinan monogami dipegang teguh oleh para Kepala Adat dan diberlakukan sebagai salah satu unsur hukum adat perkawinan suku Dayak Tunjung. Prinsip monogami sebagai aturan hukum adat diperkuat dengan unsur hakiki perkawinan yang tak terceraikan. Hal itu dinyatakan dalam ragam simbol yang dipergunakan pada upacara adat perkawinan (Pamung, 2010:46)

Kelanggengan perkawinan merupakan nilai luhur dalam kehidupan berkeluarga, namun dalam adat hal itu tidak dipandang sebagai suatu prinsip. Dalam praktiknya sering terjadi kasus perceraian, terutama jika memang ditemui hal-hal berat yang mengancam keutuhan hidup berkeluarga, seperti perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Namun, perceraian tersebut harus melalui proses penyelesaian secara adat yang selalu diawali dengan proses musyawarah untuk mengupayakan tidak terjadinya perceraian.

4. Syarat-syarat Perkawinan Suku Dayak Tunjung

(46)

Persyaratan bagi pria adalah dapat membuat tangkai dan sarung parang, berangka, dapat membuat ladang, dan cekatan membantu pekerjaan orangtua. Selain itu harus harus berani berburu sendiri dan mencari madu. Namun pada zaman sekarang, persyaratan minimal harus sudah mempunyai pekerjaan dan tidak tergantung pada orangtua. Sedangkan persyaratan bagi wanita dari zaman dahulu hingga sekarang masih sama, yaitu minimal dapat melakukan tugas rumah tangga, seperti pekerjaan di dapur, dapat menumbuk padi dan dapat membuat barang anyaman.

Persyaratan lain yang menjadi pertimbangan adalah mengenai garis keturunan, yakni kedua calon mempelai tidak boleh memiliki pertalian darah secara vertikal (kakek, nenek, bapak, ibu, paman, bibi, keponakan), karena hal itu dianggap sebagai perkawinan dengan garis keturunan sumbang. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Tunjung perkawinan semacam itu akan membuahkan keturunan yang cacat mental-fisik dan dapat menyebabkan terjadinya malapetaka (kiliit) dalam keluarga.

(47)

Hubungan sumbang secara medis berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah' dari kedua orangtua pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipe-nya berada dalam kondisi homozigot.

5. Prosedur Perkawinan Suku Dayak Tunjung

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana terjadinya perkawinan adat menurut suku Dayak Tunjung, pada bagian ini diuraikan mengenai prosedur perkawinan pada suku Dayak Tunjung.

a. Perkawinan atas Kemauan Sendiri (agak)

Perkawinan seperti ini berdasarkan kemauan dari pria dan wanita dengan tanpa paksaan dari pihak keluarga. Pada zaman dahulu masih terdapat perkawinan atas dasar perjodohan yang dipaksakan oleh pihak orangtua dengan alasan tertentu (Pamung, 2010:47).

Ketika sudah menemukan pasangan yang cocok, pihak pria membuat acara lamaran kepada pihak orangtua wanita. Lamaran dilaksanakan dengan cara mengirim utusan atau langusng mendatangi pihak keluarga wanita dengan membawa barang adat sebagai tanda bukti lamaran, berupa mandau, mangkuk putih, pirih putih dan seperangkat pakaian pria dan wanita.

(48)

tatacara lamaran selesai dilaksanakan, selanjutnya diadakan musyawarah (berinuk) keluarga untuk menentukan waktu dan persiapan pelaksanaan perkawinan adat (pelulukng).

b. Perkawinan atas Permintaan Orangtua (atooh)

Perkawinan ini terjadi karena kemauan dari orangtua, bisa dari orangtua pria maupun wanita. Dalam tradisi masyarakat Dayak Tunjung pria dan wanita mempunyai hak yang sama untuk melamar dan dilamar. Sedangkan tatacaranya dan barang adat yang dipergunakan, sama dengan prosedur perkawinan berdasarkan kemauan sendiri.

Ketika terjadi penolakan, maka pihak yang menolak harus memberi tanda penolakan yang disebut awitn, yang nilainya dua kali lipat barang adat yang dipergunakan sebagai persyaratan melamar (Pamung, 2010:50). Misalnya ketika pelamar membawa tanda dan persyaratan seperti parang satu buah, pakaian, dan piring putih maka pihak yang menolak harus memberi penolakan dalam bentuk yang serupa yang nilainya dua kali lipat dari nilai barang adat tersebut. Namun lazimnya tidak harus diberikan dalam bentuk barang yang sama, melainkan dapat diberikan dalam bentuk uang.

D. Proses Upacara Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung 1. Persiapan Upacara Adat Perkawinan

(49)

Pertemuan tersebut dihadiri oleh para ahli waris keluarga, pengurus kampung, kepala adat, dan tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan sebagai persyaratan bermusyawarah harus disediakan hidangan adat (ruratn) yang akan disantap dalam perjamuan bersama. Hidangan adat (ruratn) terdiri dari berbagai jenis makanan yang diletakkan dalam nampan kuningan yang terbuat dari logam kuningan (par) berjumlah genap, 4 hingga 8 buah. Namun bila perkawinan dilakukan dengan orang dari luar kampung atau hubungan keluarga sudah jauh, bahkan sudah tidak ada hubungan keluarga lazimnya menggunakan 8 par.

Dalam acara musyawarah tersebut, pihak keluarga wanita menjelaskan maksud pertemuan serta menegaskan menganai rencana perkawinan (negas nentuq). Kemudian pihak keluarga wanita menyerahkan rencana pekerjaan dan

kegiatan dalam rangka pengesahan perkawinan kepada pihak keluarga mempelai pria, pengurus kampung, kepala adat, dan tokoh-tokoh masyarakat untuk berkenan membantu menangani seluruh proses upacara perkawinan.

Acara ini diakhiri dengan penyerahan satu buah piring putih dengan uang senilai 1 buah antakng (tempayan) yang jika diuangkan senilai Rp, 500.000,- yang diserahkan kepada Kepala Adat dan Petinggi (Kepala Desa). Setelah semua pihak menerima penyerahan antakng tersebut, yang dalam bahasa Dayak Tunjung disebut gawai, kemudian pihak tuan rumah menutup acara tersebut.

2. Kegiatan pada Pagi Hari Berikutnya

(50)

pengo, peaai, touq tawai) dan jie (sejenis guci nilainya setengah dari antakng atau

sering disebut antakng kecil). Disiapkan juga 1 buah mangkuk tempat tepung tawar, sentiriq (nasi diberi warna hitam, merah dan kuning biasanya ditaruh diatas daun pisang), 1 buah patung dari batang pisang, 2 buah patung dari kayu deraya, dan baskom tempat air (Pamung, 2010:51).

a. Pembacaan Mantra dan Pemberkatan

Dalam ritual ini, kedua mempelai bersama Kepala Adat menuju serambi rumah panjang (lou), yang di tempat itu telah disediakan berbagai perlengkapan ritual. Kemudian Kepala Adat membacakan mantra yang bertujuan untuk memberkati kedua mempelai. Mantra tersebut berupa syair dengan bahasa sastra yang dinyanyikan (mantra terlampir).

Selanjutnya Kepala adat mendupai beras segenggam, lalu menghambur beras itu ke atas sebagai sarana untuk mengundang para dewa kuasa di Negeri Langit. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Tunjung beras yang dihambur tersebut dapat berubah wujudnya menjadi perantara (lalakng) menyerupai manusia, sehingga dapat diminta untuk menyampaikan berita dan undangan kepada para dewa di Negeri Langit (Pamung, 2010:52).

(51)

memberi nasehat perkawinan, sehingga mereka mampu memberikan petuah perkawinan kepada kedua mempelai.

Selanjutnya Kepala Adat memegang seikat daun (dawetn apeer) dengan tangan kiri sambil berdoa agar para dewa kuasa, dewa sahabat mengusir pengaruh jahat, pikiran yang jahat dari dalam diri kedua mempelai, membuang nasib sial, menjauhkan malapetaka, membuang segala naas dan semua yang jahat dibuang ke sungai bersama patung silih dan sesaji. Kemudian kedua mempelai meludahi patung dan sesaji (sentiriq) yang akan dihanyutkan ke sungai. Lalu Kepala Adat memerciki patung dan sesaji tadi sebagai pertanda bahwa semua telah pulang bersama para dewa pembawa kejahatan, pengacau rumah tangga yakni dewa Lolakng Ringkekng, Lolakng Kewekng, dan Sookng Lalukng Lumai (Pamung, 2010: 53).

Setelah itu Kepala Adat kembali memegang daun apeer, namun dipegang

dengan tngan kanan seraya mengucapkan mantra “saya pegang seikat daun

menggunakan tangan kanan, tangan yang bersih, pembawa kemenangan, tangan pembawa rejeki, tangan penyalur kuasa para dewa, dengan tangan ini orang dapat

minum dan makan sampai puas....” Mantra selengkapnya terdapat pada lampiran.

Ritual selanjutnya, Kepala Adat kembali membacakan mantra doa khusus

(52)

aral melintang, tidak ada pertikaian dan selisih paham, seperti akar dapat menahan pohon dan tidak mudah roboh, demikian pula kehidupan kalian berdua tak tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh buruk di mana kalian berada. Agar rejeki mudah didapat, uang berlimpah, sejak sekarang seia sekata, tidak jatuh ke dalam

perceraian.” Sedangkan sebagai kata penutup dari pembacaan mantra, Kepala

Adat menghitung 1 hingga 10 dengan maksud agar doa itu dapat dikabulkan (Pamung, 2010:54).

Ritual selanjutnya, Kepala Adat mengambil seikat daun apeer kemudian memerciki kedua mempelai dan memohon kepada para dewa dari lautan untuk menyucikan kedua mempelai, agar jiwa raganya suci, bersih dari segala yang jahat. Selanjutnya Kepala Adat mengoleskan tepung tawar pada hewan kurban seraya membacakan mantra, “Kini saya mengoleskan tepung tawar ini pada hewan kurban, babi, ayam, sebagai tanda terima kasih bersama kedua mempelai

ini dan kepada para dewa pemberi berkat pada acara perkawinan ini.”

Setelah tepung tawar dioleskan pada hewan kurban, Kepala Adat memegang kaki kiri mempelai pria dan meletakkannya di atas hewan kurban

sambil berucap, “Sekarang saya meletakkan kaki kiri mempelai pria ini, kaki yang

jelek, tidak sopan dan pembawa nasib buruk, dan pembawa perceraian.”

Kemudian Kepala Adat memegang kaki kanan dan meletakkannya di atas hewan

kurban lalu berucap, “Kini saya letakkan kaki kanan mempelai pria ini, kaki yang

(53)

kurban kedua mempelai ini, atas kebaikan hati kalian memberkati perkawinan

mereka hari ini.”

Tatacara yang sama juga berlaku bagi mempelai wanita, dengan meletakkan kakinya secara bergantian di atas hewan kurban dengan cara dan doa yang sama. Setelah itu hewan kurban disembelih dan dimasak, sedangkan

sebagian lagi diberikan sebagai “upah” untuk Kepala Adat yang telah memimpin

prosesi upacara pemberkatan perkawinan. b. Mempelai Masuk Ke dalam Rumah

Dalam ritual ini, kedua mempelai duduk di atas sebuah gong menghadap hidangan makanan (ruratn) yang diletakkan di atas tempat khusus yang disebut par. Setiap par diisi dengan piring, bungkusan nasi, nasi ketan dimasak dalam bambu (lemang), kue tradisional yang terbuat dari tepung ketan (tumpiq), lauk-pauk (daging ayam dan babi) dan sejumlah makanan lainnya. Sedangkan di depan kaki kedua mempelai disediakan sepotong batang pisang, sebuah batu, mangkuk berisi tepung tawar. Selain itu disediakan pula seikat daun apeer, baskom tempat air, dupa, serta sejumlah peralatan (ruyaaq) adat seperti mandau, pisau, pakaian kedua mempelai (Pamung, 2010:55).

Setelah semuanya perlengkapan ritual adat tersedia, Kepala Adat memegang seikat daun apeer dengan tangan kiri seraya menghitung 1 sampai 7 kemudian memercikan dengan tangan kiri seraya berkata, “Saya percikan air dengan tangan kiri, tangan jahat, tidak sopan, tetapi pantas untuk membuang

(54)

bertujuan membuang segala yang jahat, pikiran buruk, mengusir roh jahat yang hendak mengganggu kehidupan kedua mempelai. Kemudian Kepala Adat memegang seikat daun apeer dengan menggunakan tangan kanan seraya berkata.

“Saya ganti memegang dengan tangan kanan, tangan yang baik, pembawa

kebaikan dan rejeki, tangan penyalur kuasa dan berkat para dewa-dewi atas

langit...” Pembacaan mantra ini ditutup dengan menghitung 1 sampai 10 sebagai

ungkapan permohonan agar dikabulkan (Pamung, 2010:56).

Selanjutnya dilaksanakan pemasangan tepung tawar untuk kedua mempelai, yakni pada telapak kaki agar segala yang jahat selalu lewat bawah kaki, tidak sampai mengenai dan menyakitkan mempelai ini. Pada jari kelingking, untuk menghalau segala penyakit dan menghalau kejahatan dari diri mempelai. Pada belakang telapak kaki, supaya mempelai selalu membelakangi yang jahat, terhindar dari malapetaka. Pada dada, agar mereka selalu berhadapan dengan kebaikan, mendapat kerukunan, kebahagiaan selama hidupnya. Pada dahi, supaya mereka selalu mengedepankan kebersamaan, kebaikan, kejujuran, keadilan dalam keluarga dan masyarakat. Pada pelipis, semoga mereka bagai bunga, berbau harum, matahari dan bulan memancarkan cahaya, demikian pula hidup mereka menjadi harum dan berguna bagi sesama, dan sanak saudaranya (Pamung, 2010:57).

Ritual terakhir dari upacara ini ditandai dengan kedua mempelai menginjakkan kakinya pada batu dan sepotong batang pisang, lalu Kepala Adat

membacakan doa, “Kini kedua mempelai ini meletakkan kakinya pada batu dan

(55)

mengundang air, demikian pula kedua mempelai ini, sejak hari ini mendapat berkat dari para dewa-dewi kuasa, perkawinan mereka sungguh-sungguh kuat dan

saling membahagiakan.” Maka dengan berkahirnya ritual ini perkawinan kedua mempelai dinyatakan telah sah.

3. Nasehat Perkawinan

Nasehat perkawinan disampaikan oleh Kepala Adat, perwakilan dari pihak kedua mempelai dan tokoh masyarakat yang dipandang layak untuk menyampaikan nasehat bagi bekal kehidupan kedua mempelai. Dalam penyampaian nasehat, lazimnya mengutip syair (sentaro) yang menggunakan bahasa sastra yang mengandung makna mengenai nilai-nilai luhur perkawinan. Biasanya makna inti dari sentaro yang lazim dituturkan mengenai beberapa hal sebagai berikut:

a. Penegasaan mengenai keabsahan perkawinan menurut adat dan status pasangan suami-istri (Tu tumatutu belalang nipeq borot, pelulukng peruku berlemo remang remot);

b. Sikap saling setia pada saat untung dan malang (Encak jeloq erai anoq, selakengkakng erai gawakng. Tuat beau sengkangkoroq, jakat beau

sengkalengkakng);

c. Sikap kebersamaan untuk saling memberi dan menerima (Tak ungkeq engket puncum kibanuo, alan elui beau wewet, wat akat bekakelo);

d. Kesediaan untuk sehidup semati hingga maut memisahkan (Rempumpuq rempempai, rendukan erai nyok, erai unut erai apai erai kesong turas

(56)

Setelah nasehat perkawinan kemudian dilaksanakan penyerahan empat piring putih sebagai lambang pemakluman keluarga baru. Akhir dari ritual ini adalah memandikan mempelai di tepi sungai. Kedua mempelai mengangkat kaki kiri dengan wajah menghadap ke barat, kemudian Kepala Adat membacakan mantra dan menghitung sampai tujuh dan pada hitungan ketujuh kaki kedua mempelai dicelupkan ke air. Kemudian dilanjutkan mengangkat kaki kanan dengan wajah menghadap ke timur, dan tepat hitungan kesepuluh kedua mempelai mencelupkan kakinya ke dalam air.

E. Simbol-simbol dalam Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Istilah “simbol” secara etimologis diserap dari kata symbol dalam bahasa

Inggris yang berakar pada kata symbolicum dalam bahasa Latin. Sedangkan dalam bahasa Yunani kata symbolon dan symballo, yang juga menjadi akar kata

symbol, memiliki beberapa makna, yakni “memberi kesan”, “berarti”, dan

“menarik”. Dalam pemikiran dan praktik keagamaan, simbol lazim dianggap sebagai pancaran realitas transenden. Sedangkan dalam sistem pemikiran logika dan ilmiah, lazimnya istilah simbol dipakai dalam arti tanda abstrak (http://www.pengertianahli.com/2014/04/pengertian-simbol-apa-itu-simbol.html).

(57)

nilai-nilai yang diwakilinya. Namun bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan.

Dalam proses perkawinan adat suku Dayak Tunjung terdapat simbol yang memiliki tujuan dan maksud tertentu. Simbol-simbol yang dipergunakan dalam perkawinan adat Dayak Tunjung diantaranya sebagai berikut:

1. Mandau (Manau)

Mandau yang ter buat dari besi merupakan simbol keteguhan hati mempelai pria, bahwa ia sungguh mencintai pasangannya dengan sepenuh hati.

2. Pisau (Ladikng)

Pisau yang terbuat dari logam besi, melambangkan keteguhan hati mempelai wanita yang dengan tulus menerima cinta mempelai pria.

3. Piring (Pingatn Putiiq)

(58)

4. Tempayan Besar (Antakng Hajaq)

Tempayan atau guci kecil melambangkan tanda hati dari kedua orangtua (tanaq tuhaq). Selain itu juga melambangkan kesungguhan hati kedua

orangtua untuk mendukung dan membimbing kedua mempelai dalam menempuh kehidupan berkeluarga.

5. Tempayan Kecil (Antakng Itiit)

Tempayan kecil sebagai tanda hati dari kedua mempelai (tanaq tiaq) melambangkan sikap hormat kepada orangtua dan mertua. Selain itu juga melambangkan kesediaan mereka untuk ditegur dan diberi nasihat dalam hidup berumah tangga.

6. Tempayan atau Piring (Antakng - Pingatn)

Tempayan atau piring dengan jumlah tertentu yang dipergunakan sebagai tanda pengikat (siret berkes), melambangkan bahwa perkawinan harus dipelihara dan diikat dengan kuat seperti mengikat sapu lidi hingga menjadi satu dan tidak bercerai-berai.

7. Tempayan (Antakng)

(59)

F. Rangkuman

Tradisi perkawinan adat suku Dayak Tunjung merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang masih dipraktikan hingga saat ini. Dalam tradisi perkawinan adat Dayak Tunjung mengandung unsur kebijakan (local wisdom), pengetahuan (local knowledge) dan kecerdasan (local genious), yang diwariskan secara turun temurun dan mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan zaman.

Dalam nasihat perkawinan yang disampaikan oleh Kepala Adat, perwakilan dari pihak kedua mempelai dan tokoh masyarakat niscaya mengandung unsur simbolis berkaitan dengan nilai-nilai luhur perkawinan. Inti dari nasihat tersebut lazim mengenai keabsahan perkawinan menurut adat dan status pasangan suami-istri; sikap saling setia pada saat untung dan malang; sikap kebersamaan untuk saling memberi dan menerima; serta kesediaan untuk sehidup semati hingga maut memisahkan.

(60)

Sedangkan piring putih yang dipergunakan sebagai tanda bersama (tanaq rama) melambangkan bahwa perkawinan telah mendapat restu dari pihak keluarga

dan dinyatakan sah secara adat. Adapun tempayan melambangkan tanda hati dari kedua orangtua (tanaq tuhaq) dan juga melambangkan kesungguhan hati kedua orangtua untuk bersedia membimbing kedua mempelai dalam menempuh kehidupan berkeluarga.

Sedangkan tempayan kecil sebagai tanda hati dari kedua mempelai (tanaq tiaq) melambangkan sikap hormat kepada orangtua dan mertua, serta kesediaan

untuk ditegur dan diberi nasihat dalam hidup berumah tangga. Tempayan atau piring putih selain berfunsgi sebagai tanda pengikat (siret berkes), juga melambangkan bahwa perkawinan harus dipelihara dan diikat dengan kuat seperti mengikat sapu lidi hingga menjadi satu dan tidak bercerai-berai. Selain itu, tempayan juga bermakna sebagai lambang memberi pagar dalam kehidupan berkeluarga (alau kanakng) sehingga perkawinan harus dijaga bersama agar tidak mudah rusak oleh pengaruh buruk yang dapat merusak keutuhan rumah tangga.

(61)

BAB III

AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN KATOLIK

Pengertian umum ajaran Gereja adalah praxis iman Kristiani dalam kehidupan sehari-hari yang menegaskan bahwa hubungan vertikal dengan Tuhan tidak hanya bersifat individual, tetapi juga bersifat sosial sehingga semestinya memengaruhi hubungan horizontal dengan sesama. Sedangkan dalam pengertian yang khusus, Ajaran Gereja merujuk pada sejumlah dokumen yang disampaikan oleh para gembala Gereja Katolik mengenai sikap iman dan prinsip etis Kristiani dalam menanggapi situasi dan tantangan kehidupan modern dalam segala aspek. Ajaran gereja tersebut termuat dalam ensiklik, dokumen Konsili, maupun surat-surat yang dikeluarkan oleh Konperensi Para Uskup.

(62)

Pada bab sebelumnya, telah diuraikan mengenai perkawinan adat suku Dayak Tunjung di kabupaten Kutai Barat. Sedangkan pada bab ini, akan dibahas tentang ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan Katolik.

A. Perkawinan Katolik

1. Hakikat Perkawinan Katolik

Hidup berkeluarga adalah rutinitas manusiawi. Melalui perkawinan seorang pria dan wanita membentuk hidup berkeluarga. Realitas manusia yang disebut perkawinan itu direalisasikan dalam bentuk yang beragam. Mengingat beragamnya wujud perkawinan itu maka, C. Groenen mengusulkan definisi yang sangat umum tentang perkawinan sebagai berikut:

Perkawinan adalah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita (entah seseorang atau beberapa orang) justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang oleh masyarakat yang bersangkutan (kurang lebih luas) sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan (Groenen, 1993: 19).

Definisi perkawinan tersebut sangat umum dan dimaksudkan untuk memberi tempat bagi berbagai macam kemungkinan bentuk hidup berkeluarga dalam berbagai budaya terutama negara Indonesia yang multikultur.

Menurut Bernard Cooke, dalam bentuk-bentuk lahiriah dan penampilan sosialnya, perkawinan orang-orang kristen tidak terlalu mencolok berbeda dengan perkawinan-perkawinan lain dalam masyarakat. Orang kristen kawin menurut poola-pola budaya di mana mereka hidup. Hanya saja yang membedakan adalah pemahaman orang risten tentang apa artinya dihubungkan satu sama lain “di

(63)

Landasan persekutuan hidup suami istri kita jumpai pertama dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kitab Kejadian 2:24 disebutkan bahwa wanita diciptakan karena pria, namun pria harus meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Konigsmann, 1987: 20). Segi persekutuan ini ditekankan kembali dalam Perjanjian Baru, terutama dalam Matius 19:1-12 dan Markus 10:1-12. Dalam Matius 19:1-12, Yesus menegaskan bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusia manapun yang dapat mengakhiri persatuan (Bergant & Karis, 2002:62).

Dalam Markus 10:1-12, inti pesan Yesus adalah tuntutan kepada suami istri untuk hidup dalam kesetiaan serta persatuan selamanya sampai mati (Bergant & Karis, 2002:100). Maka dengan demikian dapat disimpulkan pandangan Yesus mengenai hakikat perkawinan sebagai berikut: perkawinan ialah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang dipersatukan oleh Allah sendiri, sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu (Hadiwardoyo, 1988: 22).

(64)

merupakan kontrak karena didirikan dengan adanya persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita (Rubiyatmoko, 2011:18).

Pandangan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang terkesan statis ini mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai refleksi teologis-sistematis tentang perkawinan antara tahun 1950-1960 (Rubiyatmoko, 2011:18). Ada pergeseran tekanan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan lebih dibandingkan dimensi institusional. Itulah sebabnya Gaudium et Spes no. 48 mengesampingkan istilah kontrak (contractus) dan mengangkat istilah perjanjian atau kesepakatan (feodus) untuk mendefinisikan perkawinan:

Persekutuan hidup suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikian karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi (Gaudium et Spes 48).

(65)

Elemen paling esensial yang membentuk perkawinan katolik adalah cinta suami istri (Groenen, 1993: 321-325). Karena dasarnya adalah cinta suami istri, maka hakikat perkawinan katolik adalah persekutuan antara dua pribadi, pria dan wanita, untuk saling mencintai dan saling menerima seumur hidup dengan kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang khas (Gilarso, 2003:88). Dengan kata lain, perkawinan menunjuk relasi suami istri, yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik. Persekutuan hidup itu berlangsung seumur hidup, sampai maut memisahkan.

2. Tujuan Perkawinan Katolik

Suami istri tidak hanya sekedar membentuk sebuah persekutuan hidup dalam ikatan perkawinan. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1055 disebutkan ada tiga tujuan utama perkawinan yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta keterbukaan pada kelahiran (bonum prolis) dan pendidikan anak (Rubiyatmoko, 2011:19).

Secara singkat tujuan perkawinan katolik dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri (bonum coniugum)

(66)

yang bersifat romantis. Kasih suami istri merupakan cinta kasih dasariah untuk mengupayakan apa yang baik bagi pasangannya (Susianto Budi, 2015:8).

b. Keterbukaan pada kelahiran (bonum prolis)

Kelahiran anak sebagai tujuan perkawinan tidak bermaksud bahwa keluarga tersebut nantinya harus memiliki anak. Tetapi, yang dimaksud adalah suami istri tersebut memiliki keinginan atau intensi memiliki anak. Jika nanti mereka tidak dikaruniai seorang anak, perkawinan mereka tetap sah (Susianto Budi, 2015: 8). Yang terpenting adalah mereka mempunyai keinginan untuk memiliki anak. Maka, jika pasangan suami istri secara jelas menolak kehadiran anak dalam perkawinannya, tentu saja ini bertentangan dengan hakikat dan tujuan dari perkawinan katolik.

c. Pendidikan anak

Pendidikan anak secara Katolik pertama-tama berarti bahwa anak tersebut harus dibaptis secara Katolik. Kapan orangtua membaptis anaknya? Hukum Gereja mengatakan pada minggu-minggu pertama setelah kelahiran. Setelah anak ini dibaptis, anak didampingi dan dididik sesuai dengan iman dan ajaran Katolik (Susianto Budi, 2015: 9).

3. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan Katolik

Referensi

Dokumen terkait