• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM

A. Perkawinan katolik

1. Hakikat Perkawinan Katolik

Hidup berkeluarga adalah rutinitas manusiawi. Melalui perkawinan seorang pria dan wanita membentuk hidup berkeluarga. Realitas manusia yang disebut perkawinan itu direalisasikan dalam bentuk yang beragam. Mengingat beragamnya wujud perkawinan itu maka, C. Groenen mengusulkan definisi yang sangat umum tentang perkawinan sebagai berikut:

Perkawinan adalah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita (entah seseorang atau beberapa orang) justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang oleh masyarakat yang bersangkutan (kurang lebih luas) sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan (Groenen, 1993: 19).

Definisi perkawinan tersebut sangat umum dan dimaksudkan untuk memberi tempat bagi berbagai macam kemungkinan bentuk hidup berkeluarga dalam berbagai budaya terutama negara Indonesia yang multikultur.

Menurut Bernard Cooke, dalam bentuk-bentuk lahiriah dan penampilan sosialnya, perkawinan orang-orang kristen tidak terlalu mencolok berbeda dengan perkawinan-perkawinan lain dalam masyarakat. Orang kristen kawin menurut poola-pola budaya di mana mereka hidup. Hanya saja yang membedakan adalah pemahaman orang risten tentang apa artinya dihubungkan satu sama lain “di dalam Tuhan” (Cooke, 1991:43).

Landasan persekutuan hidup suami istri kita jumpai pertama dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kitab Kejadian 2:24 disebutkan bahwa wanita diciptakan karena pria, namun pria harus meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Konigsmann, 1987: 20). Segi persekutuan ini ditekankan kembali dalam Perjanjian Baru, terutama dalam Matius 19:1-12 dan Markus 10:1-12. Dalam Matius 19:1-12, Yesus menegaskan bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusia manapun yang dapat mengakhiri persatuan (Bergant & Karis, 2002:62).

Dalam Markus 10:1-12, inti pesan Yesus adalah tuntutan kepada suami istri untuk hidup dalam kesetiaan serta persatuan selamanya sampai mati (Bergant & Karis, 2002:100). Maka dengan demikian dapat disimpulkan pandangan Yesus mengenai hakikat perkawinan sebagai berikut: perkawinan ialah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang dipersatukan oleh Allah sendiri, sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu (Hadiwardoyo, 1988: 22).

Persekutuan hidup pria dan wanita di dalam perkawinan itu kemudian direfleksikan lebih lanjut dalam ajaran Gereja. Pra Konsili Vatikan II, Gereja masih memandang dimensi persekutuan hidup pria dan wanita dalam perkawinan lebih sebagai kontrak. Pandangan ini dapat di temukan dalam Kitab Hukum Kanonik 1917, kanon 1012 (Rubiyatmoko, 2011:18). Dengan kontrak dimaksudkan persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu. Perkawinan

merupakan kontrak karena didirikan dengan adanya persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita (Rubiyatmoko, 2011:18).

Pandangan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang terkesan statis ini mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai refleksi teologis-sistematis tentang perkawinan antara tahun 1950-1960 (Rubiyatmoko, 2011:18). Ada pergeseran tekanan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan lebih dibandingkan dimensi institusional. Itulah sebabnya Gaudium et Spes no. 48 mengesampingkan istilah kontrak (contractus) dan mengangkat istilah perjanjian atau kesepakatan (feodus) untuk mendefinisikan perkawinan:

Persekutuan hidup suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikian karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi (Gaudium et Spes 48).

Meskipun Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah kontrak, tetapi tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam perjanjian perkawinan itu terdapat unsur-unsur kontraknya, yaitu forma (kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita), objek (kebersamaan seumur hidup), dan akibat (hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seumur hidup). Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi revisi kanon 1055 kedua istilah tersebut justru digunakan untuk menunjuk kedua pokok dari perkawinan, yaitu feodus dan sekaligus contractus (Rubiyatmoko, 2011:19).

Elemen paling esensial yang membentuk perkawinan katolik adalah cinta suami istri (Groenen, 1993: 321-325). Karena dasarnya adalah cinta suami istri, maka hakikat perkawinan katolik adalah persekutuan antara dua pribadi, pria dan wanita, untuk saling mencintai dan saling menerima seumur hidup dengan kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang khas (Gilarso, 2003:88). Dengan kata lain, perkawinan menunjuk relasi suami istri, yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik. Persekutuan hidup itu berlangsung seumur hidup, sampai maut memisahkan. 2. Tujuan Perkawinan Katolik

Suami istri tidak hanya sekedar membentuk sebuah persekutuan hidup dalam ikatan perkawinan. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1055 disebutkan ada tiga tujuan utama perkawinan yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta keterbukaan pada kelahiran (bonum prolis) dan pendidikan anak (Rubiyatmoko, 2011:19).

Secara singkat tujuan perkawinan katolik dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri (bonum coniugum)

Pasangan suami istri yang hendak menikah harus memiliki suatu kehendak bahwa mereka nantinya akan saling membahagiakan dan menyejahterakan pasangannya. Kesejahteraan dan kebahagiaan suami istri menyangkut relasi interpersonal antara suami istri, persekutuan jiwa dan hati untuk saling menolong dan membantu. Disini diandaikan ada cinta kasih suami istri. Cinta kasih suami sitri tentu tidak hanya berarti kasih

yang bersifat romantis. Kasih suami istri merupakan cinta kasih dasariah untuk mengupayakan apa yang baik bagi pasangannya (Susianto Budi, 2015:8).

b. Keterbukaan pada kelahiran (bonum prolis)

Kelahiran anak sebagai tujuan perkawinan tidak bermaksud bahwa keluarga tersebut nantinya harus memiliki anak. Tetapi, yang dimaksud adalah suami istri tersebut memiliki keinginan atau intensi memiliki anak. Jika nanti mereka tidak dikaruniai seorang anak, perkawinan mereka tetap sah (Susianto Budi, 2015: 8). Yang terpenting adalah mereka mempunyai keinginan untuk memiliki anak. Maka, jika pasangan suami istri secara jelas menolak kehadiran anak dalam perkawinannya, tentu saja ini bertentangan dengan hakikat dan tujuan dari perkawinan katolik.

c. Pendidikan anak

Pendidikan anak secara Katolik pertama-tama berarti bahwa anak tersebut harus dibaptis secara Katolik. Kapan orangtua membaptis anaknya? Hukum Gereja mengatakan pada minggu-minggu pertama setelah kelahiran. Setelah anak ini dibaptis, anak didampingi dan dididik sesuai dengan iman dan ajaran Katolik (Susianto Budi, 2015: 9).

3. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan Katolik

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1056 ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan Katolik memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.

a. Unitas (kesatuan)

Menjadi suami dan istri berarti suatu perubahan total dalam kehidupan seseorang. Dalam Kej 2:24 dikatakan: “Seorang laki-laki meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Hidup yang demikian bukan berarti hidup dua orang bersama, tetapi hidup menjadi satu orang (satu daging). Kesatuan atau unitas ini menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan. Dengan unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami dan istri secara lahir dan batin. Sedangkankan, unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Rubiyatmoko, 2011: 21).

Kesatuan dalam perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja. Kesatuan (unitas) dalam perkawinan menunjuk suatu kebaharuan dalam hidup suami istri; mereka telah menjadi satu manusia baru. Suami hidup di dalam istrinya, dan istri hidup dalam suaminya. Kesatuan mereka bukan hanya kesatuan badan, melainkan meliputi hidup seluruh hidup, jiwa dan raga. Oleh karena itu kesatuan suami istri juga menyangkut iman mereka (KWI, 1996:436).

b. Indissolubilitas (tak-dapat-diputuskan)

Cinta suami istri menuntut kesetiaan sejati dari keduanya. Ini merupakan konsekuensi dari pemberian diri yang dilakukan oleh suami istri. Cinta menuntut kepastian, dan kepastian berarti memberikan jaminan bahwa cinta itu tidak hanya berlaku sementara atau hanya bersifat

percobaan belaka (KGK 1646). Maka Kristus menegaskan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia” (Mrk 10:9). Di sinilah letak ajaran Gereja, bahwa sifat tak-dapat-diputuskan perkawinan (indissolubilitas) mempunyai dasar dan kekuatannya dalamKristus. Yesus Kristus sendiri menghendaki ikatan perkawinan yang bersifat tak-dapat-diputuskan itu (Mat 19:6; Mrk 10:9).

c. Sakramental

Sakramen adalah lambang atau simbol kelihatan yang menghadirkan karya keselamatan Allah. Perkawinan Katolik adalah sakramen (Susianto Budi, 2015:9). Artinya, perkawinan Katolik melambangkan serta menghadirkan Allah yang menyelamatkan. Paham perkawinan sebagai sakramen berasal dari ajaran Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:11-33. Dalam surat Efesus tersebut dijelaskan bahwa hubungan cinta kasih suami istri bukan hanya luhur dan mulia tetapi bersifat ilahi, karena di kehendaki oleh Allah dan menunjuk kepada kesatuan Kristus dengan Gereja-Nya (Susianto Budi, 2015:9).

Kristus adalah sumber rahmat yang istimewa. Ia tinggal bersama suami istri dan memberi mereka kekuatan untuk memanggul salibnya dan mengikuti-Nya, untuk bangun lagi setelah jatuh, untuk saling mengampuni dan menanggung beban, untuk merendahkan diri seorang kepada yang lain ‘di dalam takut akan Kristus’ (Ef 5:21) dan saling mengasihi dalam cinta yang mesra, subur dan adikodrati (KWI, 2011: 9-10; KGK 1642).

Berkat rahmat Sakramen Perkawinan, suami istri menerima rahmat istimewa yang membuat mereka lebih mampu menjadi suci dan mendidik anak-anak secara Katolik (Lumen Gentium 11). Berkat Sakramen Perkawinan, karakter kesatuan (unitas) dan tak terputuskan (Indissolubilitas) ikatan perkawinan mereka diperkuat dengan rahmat istimewa (Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1056; KGK 1641).

Dasar terdalam dari kesetiaan seumur hidup ini terletak pada kesetiaan Allah sendiri pada perjanjian-Nya, khususnya seperti nampak dalam kesetiaan Kristus yang tak pernah pudar terhadap Gereja. Kesetiaan Kristus inilah yang diungkapkan melalui kesatuan hidup suami istri yang diikat dalam sakramen perkawinan. Dengan kata lain, lewat sakramen perkawinan kesetiaan yang tak terceraikan antara suami istri mendapat makna baru dan lebih mendalam.

B. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Perkawinan Katolik 1. Yahwe Yang Setia kepada Bangsa Israel

Kasih setia Allah kepada umat pilihan-Nya selalu menjadi titik pangkal refleksi iman bangsa Israel. Berbagai peristiwa yang dialami oleh bangsa Israel, terutama peristiwa keluar dari perbudakan dan penindasan di Mesir selalu menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Walaupun berulangkali Israel jatuh dalam dosa, namun Allah tetap setia dan karena kesetiaan-Nya Israel diselamatkan. melalui para nabi dan para bijak, bangsa Israel yang berlaku tidak setia kepada Allah ditegur dan dikritik.

Para nabi dan para bijak berulangkali menggambarkan hubungan kasih setia Allah dan Israel dengan menggunakan gambaran hubungan kasih setia suami istri. Seperti Yehezkiel, tampil dengan menceritakan permulaan Israel yang dipungut oleh Allah menjadi menjadi istri-Nya (Yeh 16:1-63). Teks Yeh 16:1-63 yang merupakan bab terpanjang dari kitab ini dan dipilih karena merefleksikan secara mendalam hubungan Allah dan Israel yang intim yaitu dalam bentuk hubungan suami istri (Bergant & Karris, 2002: 599).

Dalam Yeh 16:1-63 Allah digambarkan sebagai suami dan Israel (Yerusalem) adalah istri-Nya. Yehezkiel melukiskan Israel (Yerusalem) sebagai anak yatim yang ditelantarkan oleh orangtua dan sanak saudaranya. Allah menemukan Israel (Yerusalem) yang terlantar itu dan memeliharanya. Seluruh kebutuhan dipenuhi. Kemudian Allah pergi. Ketika Israel (Yerusalem) tumbuh menjadi dewasa, Allah kembali lagi dan menikahi kota itu, membanjirinya dengan hadiah dan mengambilnya sebagai istri (Bergant & Karris, 2002: 599).

Israel (Yerusalem) termahsyur di antara bangsa-bangsa karena kecantikannya yang luar biasa. Wibawanya bagaikan seorang putri raja. Namun, kecantikan dan kemahsyurannya justru telah menyesatkan kota itu. Israel (Yerusalem) bersundal dengan orang-orang yang lewat (ayat 15). Ia merenggangkan pahanya bagi siapa saja, termasuk orang Mesir (ayat 26), Asyur (ayat 27-28), dan Babel (ayat 29). Ia merayu dan membayar para pecinta untuk dapat kepadanya (ayat 30-34). Demikianlah Israel (Yerusalem) memelacurkan dirinya dan berlaku tidak setia kepada Allah, suaminya (Bergant & Karris, 2002: 599).

Walaupun Israel (sang istri) berlaku tidak setia dengan memelacurkan dirinya, namun Allah (Suami Israel) tetap setia kepada Israel. Allah mengadakan kembali perjanjian-Nya dengan Israel (Yeh 16:62-63). Dengan kemurahan yang melimpah, Allah memaafkan Israel. Demikian Allah tetap berlaku setia kepada Israel (Yerusalem) dan tetap mencintainya dengan cinta penuh (Bergant & Karris, 2002: 600).

Gambaran seperti tersebut di atas juga secara eksplisit dapat kita temukan dalam kitab Nabi Hosea, yang mempunyai bukti asli tentang realitas tersebut dalam keluarga sendiri (Hos 1:2-9; 3:1-5). Istri Hosea, Gomer, meninggalkannya dan melakukan perzinahan. Hosea diperintahkan Yahwe untuk membujuknya dan membawa kembali Gomer. Hal yang diperintahkan Yahwe dilakukan oleh Hosea. Ia memaafkan Gomer dan membangun kembali ikatan perkawinannya yang telah hancur (Eminyan, 2001:69).

Realitas perkawinan seperti yang dialami Hosea menjadi simbol relasi kasih setia Allah kepada umatt-Nya. Kasih setia Allah ini sekali lagi menjadi titik pangkal refleksi iman tentang kesetiaan suami istri, tentang nilai kesetiaan hidup dalam perkawinan. Sedangkan kesetiaan Allah kepada Israel adalah landasan kesetiaan bagi suami istri. Mengapa? Karena Allah setia mengasihi umat-Nya, maka komitmen untuk membangun kesetiaan dalam perkawinan antara suami istri merupakan dasar perjanjian cinta mereka dan sekaligus menjadi lambang betapa eratnya hubungan persatuan Allah dengan umat-Nya. Kemurniaan dan kesetiaan itu tidak dapat dinodai oleh motivasi saling melacurkan diri di bawah perkawinan (Yeh 16:25). Oleh karena itu, suami istri harus taat pada panggilan mereka

mewujudkan kasih Allah itu dengan tetap saling mengasihi dan mempertahankan kesetiaan mereka (Hos 3).

Dengan landasan kasih setia Allah, suami istri dipanggil untuk saling membahagiakan, kemudian bersama-sama berusaha membagikan kebahagiaan untuk seluruh keluarga dan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keduanya sungguh-sungguh menjadi gambaran dari Allah yang sempurna.

2. Kristus Yang Setia kepada Gereja-Nya

Selama Perjanjian Lama Allah mencintai umat Israel sebagai kekasih-Nya, Putri Sion yang disayangi dan dipelihara-Nya. Lambang cinta kasih Allah dan umat-Nya diteruskan dalam relasi Yesus Kristus, mempelai Pria dengan Gereja-Nya sebagai mempelai perempuan (KWI, 1994:11). Bagaikan pokok anggur dengan ranting-rantingnya, demikian juga relasi Kristus dengan umat-Nya tak terpisahkan (Yoh 15:1-8). Relasi kasih setia antara Kristus dengan Gereja-Nya direfleksikan secara mendalam oleh St. Paulus dalam Efesus 5:22-33. Bagi Paulus, relasi kasih Kristus dengan Gereja-Nya merupakan dasar bagi relasi suami istri dalam hidup perkawinannya. St. Paulus menerangkan misteri perkawinan itu sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya.

Relasi setia suami istri harus mengacu pada gambaran kasih setia Kristus kepada Gereja-Nya. Karena itu, ada dua pola yang selalu digunakan oleh Paulus untuk menggambarkan pola relasi tersebut (Ef 5:22-25). Pola pertama digunakan untuk menunjuk apa yang seharusnya dibuat oleh seorang istri: “sebagaimana jemaat ...., demikian jugalah istri ....,”. pola kedua digunakan untuk menunjuk

tugas dan peranan seorang suami: “seperti Kristus ...., demikian pula suami ...” (Bergant & Karris, 2002: 349).

Seperti Kristus adalah kepala Gereja, demikian pula suami adalah kepala dari istrinya, dan seperti tubuhnya, Gereja adalah taat kepada Kristus, demikian juga seorang istri harus taat sepenuhnya kepada suami. Seperti Kristus mengasihi Gereja dan memberikan diri-Nya sepenuhnya kepadanya, demikian pula seorang suami harus mengasihi istrinya sepenuhnya seperti ia mengasihi dirinya sendiri (Ef 5:33; Mat 22:39; Mrk 12:31; Luk 10:27). Selanjutnya Paulus juga menambahkan dukungan dari Kitab Suci dengan mengutip Kej 2:24 untuk menunjukkan persatuan suami istri dalam satu tubuh Kristus yang adalah Gereja (Mat 19:25; Mrk 10:7). Maka, setiap suami didorong untuk mengasihi istrinya dan istri dinasehati untuk menghormati suaminya (Bergant & Karris, 2002: 349).

Realitas perkawinan seperti digambarkan oleh St. Paulus dalam Efesus 5:22-33 menerangkan kekayaan relasi pria dan wanita dalam perkawinan sebagai simbol relasi Kristus dengan Gereja-Nya. Kristus menyebut cinta kasih antara Gereja dan Yesus Kristus sebagai suatu misteri yang dalam dan mulia (Ef 5:32). Suatu ikatan cinta kasih yang sempurna dan kekal, yang tak pernah akan dapat diputuskan. Kasih Kristus itu adalah suatu Perjanjian Baru dan kekal, yang dimeteraikan dengan darah-Nya sendiri. Maka, seperti Kristus dan Gereja tak bisa diceraikan lagi, begitu juga janji perkawinan antara pria dan wanita (murid Kristus) tak bisa diceraikan lagi.

C. Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterium

1. Kesetiaan perkawinan menurut Konsili Vatikan II

Untuk waktu yang lama umat Katolik hidup di bawah bayang-bayang paham abad pertengahan tentang perkawinan sebagai kontrak. Konsili Vatikan II (1962-1965) dengan mengemukakan pemahaman modern tentang perkawinan telah menghantar kembali umat kepada pemahaman tentang perkawinan berdasarkan Kitab Suci, yaitu sebagai persekutuan (Hadiwardoyo, 1988: 112-113). Konsili mengartikan perkawinan sebagai “suatu persekutuan hidup dan kesatuan cinta” (Gaudium et Spes 48). Dalam artian itu, Konsili menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya. Karena itu, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi.

Cinta kasih itu adalah sesuatu yang sangat manusiawi karena berasal dari seorang pribadi krpada pribadi yang lain melalui dorongan kehendak. Kesejahteraan seluruh pribadi tercakup di dalam pengungkapan cinta kasih itu (Gaudium et Spes 49). Di sini martabat perkawinan menempati posisi yang utama dalam pemahaman Konsili.

Konsili menyadari sepenuhnya bahwa dewasa ini martabat luhur perkawinan itu dikaburkan oleh poligami, perceraian, cinta bebas, dan penyelewengan lainnya. Cinta pernikahan diperkosa oleh cinta diri, hedonisme, dan praktek kontrasepsi (Gaudium et Spes 47). Di samping itu, pengguguran (aborsi) dan pembunuhan anak melecehkan martabat manusia (Gaudium et Spes

51) dan berdampak pada menurunnya nilai perkawinan. Terhadap berbagai “cacat-cedera” yang merusak martabat perkawinan itu, Konsili meneguhkan kembali pandangan umat Katolik mengenai keluhuran dan kesucian nilai perkawinan. Umat dihimbau untuk memperbaharui semangat Kristiani dalam bidang perkawinan dan hidup berkeluarga (Gaudium et Spes 52) (lih. Hadiwardoyo, 1988: 111-114).

2. Kesetiaan perkawinan menurut dokumen Pasca Konsili Vatikan II (Paus Yohanes Paulus II): Sebuah Kebersamaan dalam Hidup (Ensiklik

Familiaris Consortio)

Paus Yohanes Paulus II terpilih menggantikan Paus Yohanes Paulus I, yang hanya memimpin Gereja selama sebulan setelah wafat Paus Paulus VI, pada tahun 1978 (Hadiwardoyo, 1988: 122). Sebelum terpilih menjadi Paus, Yohanes Paulus II sudah menerbitkan buku mengenai teologi dan filsafat perkawinan yang berjudul “Cinta dan Tanggung jawab”. Surat apostoliknya mengenai perkawinan yang berjudul Familiaris Consortio diterbitkan pada tanggal 22 November 1981. Di dalamnya ia menegaskan kembali teologi perkawinan Katolik dan juga disiplin Gereja sebelumnya (Hadiwardoyo, 1988: 123-124).

Menurut Yohanes Paulus II, suami istri dipanggil ke dalam persekutuan hidup yang penuh dan menyeluruh berkat perkawinannya dalam arti kodrati dan bahkan lebih lagi, berkat perkawinannya yang ditingkatkan menjadi sakramen. Dalam persekutuan hidup itu, suami istri saling memberi diri atas dasar cinta kasih satu sama lain. Tugas utamanya adalah menghidupi realitas kebersamaan itu

dengan penuh cinta dan dengan seluruh keberadaanya turut serta membangun komunitas pribadi-pribadi yang saling mencinta (Familiaris Consortio 17-18).

Yohanes Paulus II menegaskan bahwa manusia diciptakan karena cinta dan diutus untuk mencinta. Mereka yang menikah, dalam kebersamaan seluruh hidupnya, harus saling mencintai secara penuh, baik secara jasmani maupun rohani (Familiaris Consortio 11). Cinta suami istri merupakan ungkapan dan perwujudan cinta antara Allah dan umat-Nya, perjanjian kasih yang setia. Maka ketidaksetiaan suami istri tidak cocok dengan hakikatnya sebagai simbol kesetiaan cinta Allah (Hadiwardoyo, 1988: 125; FC 12).

Dalam ensiklik Familiaris Consortio, Yohanes Paulus II juga menerangkan dengan baik tentang Yesus Kristus, Mempelai Gereja dan Sakramen Perkawinan. Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa persatuan antara Allah dan umat-Nya dipenuhi secara lengkap dalam Yesus Kristus. Sebab Yesus Kristus adalah Mempelai pria yang mengasihi Gereja-Nya dengan cinta dan kesetiaan yang tiada taranya. Cinta kasih Kristus itu dicurahkan sampai wafat di kayu salin (FC 13). Oleh karena itu, dalam kebersamaan seluruh hidupnya, suami istri dipanggil untuk hidup dalam cinta kasih Kristus, taat dan setia kepada pasangan seumur hidup seperti Kristus yang setia kepada Gereja-Nya. Atas cara itu, suami istri menjadi kenangan hidup akan cinta Kristus kepada Gereja-Nya yang begitu besar, sampai Ia rela mati di kayu salib.

D. Beberapa Nilai Dasar Penggerak Kesetiaan dalam Perkawinan Katolik 1. Membina Keadilan dan Cinta Kasih

Dalam lingkup perkawinan, cinta kasih suami istri adalah poros kehidupan keluarga (Gilarso, 2003: 89). Hakekat cinta sejati suami istri adalah pengakuan akan eksistensi masing-masing, baik suami maupun istri. Suami istri yang saling mencintai akan menerima pasangannya dengan apa adanya baik itu kelemahan dan juga kekurangannya. Maka, suami istri yang baik dan yang saling mencintai tidak akan menuntut pasangannya hanya untuk dirinya sendiri saja, melainkan untuk membantu dan mendampingi pasangannya (Gilarso, 2003: 97).

Suami istri yang saling mencintai berlaku adil bila masing-masing tidak menuntut sesuatu yang melebihi batas kemampuan pasangannya, berlaku benar baginya, dan tidak melakukan hal-hal yang semena-mena terhadap pasangannya. Kedua nilai ini, cinta dan keadilan, menjadi penggerak dasar nilai kesetiaan dalam hidup perkawinan. Suami istri berlaku setia satu sama lain atas dasar persatuan cinta kasih mereka dan rasa keadilan satu terhadap yang lain. Karena itu, cinta sejati dan sikap adil suami istri itu perlu dipelihara dan dikembangkan menuju persatuan yang makin lama makin kuat dan erat (Gilarso, 2003: 89).

2. Bijaksana dalam Keputusan dan Tindakan

Suami istri yang membangun kebersamaan hidup dalam ikatan perkawinan dipanggil menjadi orang yang bijaksana. Kebijaksanaan hidup suami istri itu dibangun atas dasar pengalaman hidup, di mana ditemukan kebijaksanaan Allah sendiri (Darminta, 2006:16-17; Sir 1:1). Asal usul kebijaksanaan ialah pemberian

ilahi yang juga disebut ‘takut akan Allah’. Allah itu mahabijaksana. Suami istri Katolik justru dipanggil untuk mengambil bagian dalam kebijaksanaan Allah itu.

Dalam realitas hidup perkawinan, sikap bijaksana suami istri terungkap dalam setiap keputusan dan tindakan mereka. Kesulitan dan tantangan yang paling umum dihadapi oleh setiap pasangan suami istri adalah bagaimana menyeimbangkan prioritas dalam setiap keputusan yang diambil. Keputusan yang

Dokumen terkait