iii Universitas Kristen Maranatha Abstrak
iv Universitas Kristen Maranatha Abstract
The research was conducted to determine the relationship between the degree of stress and coping stress in SLB B X Bandung. Subjects in this research were all SLB B X Bandung numbering 22 people. The design of this research is correlational research design. The degree of stress’ questionnaire that used is a modification of cognitive transactional theory of Lazarus (1984) which consists of
28 items. Coping stress’ questionnaire that is used is also a modification of the
vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
ABSTRAK ……….. iii
ABSTRACT ……… iv
KATA PENGANTAR ………..v
DAFTAR ISI ……….. vii
DAFTAR TABEL ………xii
DAFTAR SKEMA ………..xiii
Bab I. PENDAHULUAN ………...1
1.1 Latar Belakang Masalah……..………...…………..1
1.2 Identifikasi Masalah………...………10
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian.……...………...…....10
1.4 Kegunaan Penelitian………...…………....10
1.5 Kerangka Pemikiran………...……....11
1.6 Asumsi………...………...21
1.7 Hipotesis………...………….….…....21
Bab II. Tinjauan Pustaka ………...22
2.1 Stress………..………..………..22
2.1.1 Pengertian Stress ...………..………...……….……22
2.1.1.1 Teori Sindroma Adaptasi Umum…...………..………..23
2.1.1.2 Teori Stress dari Lazarus….………...……….…………...25
viii Universitas Kristen Maranatha
2.1.3 Reaksi Terhadap Stress ………...………...…...27
2.1.4 Derajat Stress ………..………...……...29
2.2 Penilaian Kognitif ………..………...30
2.2.1 Penilaian Primer……….……….…..………....31
2.2.2 Penilaian Sekunder ………...………..…..31
2.2.3 Penilaian Kembali ....……….………...……….32
2.3 Strategi Penanggulangan Stress …………...……….…33
2.3.1 Pengertian Coping Stress ………...………...33
2.3.2 Fungsi Coping Stress …………...……….…....35
2.3.2.1 Coping Stress yang Berpusat Pada Masalah ………...36
2.3.2.2 Coping Stress yang Berpusat Pada Emosi ………....36 2.3.3 Hubungan Coping Stress yang Berpusat Pada Masalah dan yang Berpusat Pada Emosi ………...…....39
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Coping Stress ...….40 2.3.5 Hambatan dalam Menggunakan Coping Stress ………...….42 2.4 Hubungan antara Stress, Penilaian Kognitif, dan Coping Stress ……..43 2.5 Tunarungu……….……….44
2.5.1 Pengertian Tunarungu ………….………..………44 2.5.2 Klasifikasi Tunarungu Secara Etiologis …….…….………....….46 2.5.3 Karakteristik Tunarungu………....47
2.5.4 Identifikasi Tunarungu……….……….………....48
2.5.5 Dampak Tunarungu…………...………....49
ix Universitas Kristen Maranatha
2.6 SLB ………...52
2.6.1 Pengertian SLB ……….……….…...52 2.7 Guru SLB ……….……….………....53 2.7.1 Pengertian Guru SLB ……….….……….…...53
2.7.2 Peran Guru SLB ……….……...54
2.7.3 Kompetensi Guru SLB ………...…..55
Bab III. Metodologi Penelitian ……….58
3.1 Rancangan Penelitian………...58
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………..58
3.2.1 Variabel Penelitian………...………58
3.2.2 Definisi Konseptual……….59
3.2.3 Definisi Operasional ………..……….59
3.3 Alat Ukur ………...………..60
3.3.1 Alat Ukur Derajat Stress …………..………... 60 3.3.2 Alat Ukur Coping Stress ……….62
3.3.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ………...64
3.3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………....64
3.3.4.1 Validitas Alat Ukur ……….65
3.3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ……….65
3.4 Populasi dan Penarikan Sampel………...66
3.4.1 Populasi Sasaran………..……66
x Universitas Kristen Maranatha
3.4.3 Teknik Pengolahan Data………...………..66
3.4.4 Hipotesis Statistik ……….………...………...67
BAB IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan ………..68
4.1 Hasil Penelitian ………...68
4.2 Pembahasan ………73
BAB V. Kesimpulan dan Saran ………79
5.1 Kesimpulan ……….79
5.2 Saran ………...……80 5.2.1 Saran Teoretis ………80 5.2.2 Guna Laksana ………...80 DAFTAR PUSTAKA ………...81
DAFTAR RUJUKAN ………...82
LAMPIRAN
Profil SLB B X Bandung
Lampiran Kuesioner
Lampiran 3.1 Reliabilitas Kuesioner derajat stress
Lampiran 3.2 Reliabilitas Kuesioner coping stress
Lampiran tabel 4.1 Kaitan antara lamanya bekerja dan derajat stress yang dialami
Lampiran tabel 4.2 Kaitan antara lamanya bekerja dan coping stress yang
xi Universitas Kristen Maranatha Lampiran tabel 4.3 Kaitan antara lamanya bekerja dan problem focus coping yang
digunakan
Lampiran tabel 4.4 Kaitan antara lamanya bekerja dan emotional focus coping
yang digunakan
Lampiran Tabel 4.5 Gambaran mengenai derajat stress dan bentuk problem focus
coping yang digunakan
Lampiran Tabel 4.6 Gambaran mengenai reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh
stress
xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Derajat Stress ………61
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Alat Ukur Coping Stress ………63
Tabel 4.1Gambaran responden berdasarkan usia ………..68
Tabel 4.2 Gambaran responden berdasarkan lama bekerja ………69
Tabel 4.3 Gambaran responden mengenai derajat stress yang dialami …..…...69
Tabel 4.4 Gambaran responden mengenai coping stress ………..…………70
Tabel 4.5 Hubungan korelasi antara derajat stress dan problem focus coping…..70
Tabel 4.6 Hubungan korelasi antara derajat stress dan
emotional focus coping………..……71
Tabel 4.7 Gambaran mengenai faktor kesehatan dan coping stress
yang digunakan ………..…………..……71
Tabel 4.8 Gambaran mengenai keyakinan positif dan coping stress
yang digunakan ………..…………..……72
Tabel 4.8 Gambaran mengenai sumber material dan coping stress
xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA
Skema1.1 Skema Kerangka Pemikiran ………..20
1 Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pendidikan bertanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian anak
sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,
setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,
termasuk anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik. Hal ini juga dituangkan
dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 2 yakni, “ Warga
Negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus”. Sebagai tindak lanjut dari UU ini, didirikanlah
sekolah yang dapat menampung anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, emosional, intelektual, dan sosial, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB).
Dengan adanya SLB, diharapkan anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan sosial mendapat pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan mereka, yakni memiliki keterampilan untuk hidup dalam
masyarakat.
Ada lima jenis SLB yang ada saat ini di Indonesia, yaitu SLB A untuk
anak-anak yang mengalami keterbatasan dalam indera penglihatan (tunanetra),
SLB B untuk anak-anak yang mengalami keterbatasan dalam indera pendengaran
(tunarungu), SLB C untuk anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental
2
Universitas Kristen Maranatha daksa), dan SLB E untuk anak-anak yang mengalami kesulitan penyesuaian
dengan lingkungan sosial (tuna laras). Dari data statistik, diperoleh jumlah
Sekolah Luar Biasa yang terdapat di Provinsi Jawa Barat sebagai berikut SLB A 7
sekolah, SLB B 7 sekolah, SLB C 15 sekolah, dan SLB untuk tuna ganda 2
sekolah (http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0).
Keterbatasan jumlah guru SLB dibandingkan dengan jumlah anak-anak
berkebutuhan khusus yang memerlukan pendidikan luar biasa saat ini membuat
beban kerja guru SLB bertambah banyak. Muhammad Nuh selaku Mendiknas
Indonesia mengemukakan bahwa jumlah guru SLB di Indonesia saat ini masih
sangat kurang. Provinsi Jawa Barat sendiri masih kekurangan guru untuk
menangani 14.000 anak berkebutuhan khusus. Saat ini jumlah guru SLB yang
berstatus pegawai negeri sipil baru sekitar 1.918 orang. Jumlah tersebut dirasa
masih kurang karena perbandingan antara guru dan siswa SLB di Propinsi Jawa
Barat adalah 1 berbanding 5 untuk anak–anak berkebutuhan khusus setingkat
Sekolah Dasar dan 1 berbanding 8 untuk anak–anak berkebutuhan khusus
setingkat Sekolah Menengah Pertama (http://www.klikgalamedia.com). Hal ini
juga dialami oleh guru SLB B Bandung. Setiap guru harus mengajar 5 siswa,
sehingga perbandingan antara guru dan siswa menjadi 1:5. Idealnya seorang guru
SLB B mengajar dua sampai tiga siswa sehingga didapat perbandingan antara
guru dan siswa SLB adalah 1 : 2 atau maksimal 1 : 3
(http://www.gunadarma.ac.id). Guru SLB B harus mampu mendidik dan
3
Universitas Kristen Maranatha siswa dapat membuka usaha sendiri ketika keluar dari SLB B. Keterampilan siswa
seperti inilah yang menjadi tujuan SLB B setelah siswa keluar dari SLB B.
Para pengajar (guru), termasuk guru yang mengajar di SLB B X
memegang peranan penting dalam proses pengajaran. Guru adalah seseorang yang
mengajar ilmu pengetahuan dalam pendidikan anak-anak
(http://id.wikipedia.org/wiki/Guru). Seorang guru harus memiliki wawasan yang
luas, cekatan, mampu bersosialisasi dan memahami anak didiknya, serta memiliki
sifat yang sabar. Tugas dan peran yang dilaksanakan oleh guru SLB B hampir
sama dengan guru sekolah reguler, yakni untuk mendidik, mengajar,
membimbing, dan menilai siswanya agar siswa dapat meningkatkan kualitas
hidup mereka. Namun dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai guru SLB
B, mereka sering menghadapi banyak tantangan, seperti siswa yang tiba-tiba
“tantrum”, pengajaran melalui media bahasa isyarat, dan kesulitan dalam mengerti
pemikiran dan perasaan siswa-siswa SLB B. Kurikulum pengajaran SLB B juga
berbeda dengan sekolah reguler. Sekolah normal memberikan materi pelajaran
dapat melalui media audio maupun visual sekaligus, sedangkan materi yang
disampaikan di SLB B melalui alat-alat bantu seperti menggunakan bahasa
isyarat. Contohnya SLB B sebagai Sekolah Luar Biasa yang khusus bagi
anak-anak yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran. Keterbatasan siswa SLB B
dalam pendengaran menyebabkan kemiskinan bahasa/ kosa kata, kurang mampu
mengolah emosi, dan kurangnya kemampuan siswa dalam menangkap materi
pelajaran membuat guru yang mengajar di SLB B harus lebih sabar dalam
4
Universitas Kristen Maranatha Kurikulum pada SLB B lebih ditekankan pada penguasaan keterampilan
atau life skills, dengan perbandingan 60 % life skills dan 40 % akademik. Life
skills yang dimaksudkan adalah keterampilan yang khusus diberikan kepada
siswa-siswa SLB B agar mereka dapat hidup dalam bermasyarakat, seperti
keterampilan menjahit, mengetik, pramuka, dan tata boga. Dengan adanya
kurikulum ini, diharapkan siswa SLB B dapat memiliki keterampilan yang dapat
mereka gunakan untuk bekerja sehingga mereka tidak lagi menjadi beban orang
tua mereka (http://www.pos-kupang.com). Hal ini menjadi tantangan tersendiri
bagi guru SLB B karena mengajarkan suatu keterampilan kepada anak yang
memiliki keterbatasan tidaklah semudah seperti pada anak yang “normal” pada
umumnya, mengajarkan keterampilan pada anak yang memiliki keterbatasan
khusus membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang tinggi, baik dari siswa
maupun dari gurunya sendiri.
SLB B X Bandung merupakan SLB B yang sudah berdiri sejak tahun
1960-an dan baru diresmikan sebagai SLB B Negeri bagi anak-anak penyandang
tuna rungu di Bandung sejak tahun 2009. Oleh karena itu, status para guru yang
mengajar di SLB B ini juga berubah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),
sehingga para guru SLB B harus mematuhi peraturan DP3 yakni Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan. Pada masa sebelumnya, jika guru melanggar peraturan
hanya akan ditegur oleh kepala sekolah. Namun setelah adanya DP3, jika para
guru melanggar peraturan yang telah ditetapkan dalam DP3, akan ada
pengurangan dalam penilaian yang berujung pada pengurangan gaji. Hal ini
5
Universitas Kristen Maranatha peraturan, misalnya guru menjadi khawatir jika datang terlambat ke sekolah
karena jalan macet. SLB B juga mengalami perubahan ritme bekerja. Jam kerja
guru menjadi bertambah, dari 5,5 jam menjadi 6,5 jam yakni dari pukul 7.30
hingga pukul 14.00 sehingga para guru SLB B terkadang mengalami kelelahan
dalam bekerja. Pada SLB B ini telah ditetapkan juga aturan yang mewajibkan para
guru SLB B ini untuk mengikuti rapat harian mengenai kegiatan yang akan
dilakukan dan evaluasi para guru. Pemerintah Kota Bandung juga akan
mengadakan inspeksi mendadak ke SLB B ini. Kondisi ini membuat para guru
SLB B menjadi tegang jika sewaktu-waktu diperiksa oleh Pemerintah Kota,
karena para guru belum terbiasa dengan adanya inspeksi mendadak.
Semua guru yang mengajar di SLB B ini merupakan lulusan program
Pendidikan Luar Biasa sehingga guru telah memiliki kompetensi dalam mengajar
anak-anak berkebutuhan khusus. Pada SLB B Bandung terdapat tingkatan kelas
dari TK, SD, SMP, dan SMA. Pada setiap tingkatan terdapat tantangan yang
berbeda-beda. Menurut Wakil Kepala Sekolah SLB B Bandung, tantangan yang
sering dialami guru SLB B yang mengajar siswa tingkat TK adalah
siswa-siswa sulit untuk diatur, mereka sering berjalan-jalan di dalam kelas dan tidak
memerhatikan guru mengajar, serta sulit untuk diajarkan bahasa isyarat.
Tantangan yang sering dialami guru SLB B yang mengajar siswa tingkat SD
adalah siswa sulit dalam mengolah dan memahami materi melalui bahasa isyarat
karena siswa baru memahami bahasa isyarat. Tantangan yang dialami oleh guru
SLB B yang mengajar siswa tingkat SMP dan SMA adalah siswa sulit diatur
6
Universitas Kristen Maranatha keterampilan seperti pramuka dan tata boga dalam hal membuat siswa mengerti
jenis bumbu masakan. Guru harus mendidik siswa yang mulai beranjak remaja.
Emosi siswa terkadang tidak stabil, adanya gangguan pada sistem pendengaran
membuat perkembangan emosi siswa terhambat. Gangguan pendengaran yang
dialami oleh siswa SLB juga membuat siswa SLB B mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasa, sehingga sulit memahami materi yang diajarkan oleh guru
SLB B. Kondisi-kondisi ini dapat menimbulkan stress dalam bekerja.
Stress terjadi jika pada individu terdapat tuntutan yang melampaui sumber
daya yang dimilikinya untuk melakukan penyesuaian diri. Menurut Lazarus dan
Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik antara individu dan lingkungan
yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau melebihi sumber dayanya dan
membahayakan keberadaannya. Dalam menghadapi situasi yang menimbulkan
stress, reaksi setiap individu berbeda-beda. Lazarus (1984) membagi reaksi
terhadap stress ini kedalam empat kategori, yaitu (1) reaksi kognitif seperti sulit
berkonsentrasi dan gangguan berpikir; (2) reaksi fisiologis seperti meningkatnya
tekanan darah dan denyut jantung, serta penurunan metabolisme tubuh; (3) reaksi
emosi seperti mudah marah takut, cemas, dan tidak sabar; dan (4) reaksi tingkah
laku seperti menurunnya produktivitas kerja dan ketidakpuasan dalam bekerja
(Lazarus, 1984). Dari reaksi yang dimunculkan oleh individu, dapat diketahui
bagaimana cara individu menghayati derajat stress yang mereka alami, apakah
derajat stressnya rendah atau tinggi. Individu yang menghayati stress yang ia
alami tinggi ditandai dengan munculnya banyak reaksi atau respon terhadap
7
Universitas Kristen Maranatha laku, emosi, fisiologis, maupun kognitif. Sedangkan individu yang menghayati
stress yang ia alami rendah ditandai dengan sedikitnya reaksi yang ditimbulkan
terhadap stress, serta jarangnya intensitas kemunculan reaksi stress baik reaksi
tingkah laku, emosi, fisiologis, maupun kognitif (Lazarus, 1984).
Reaksi-reaksi stress ini juga dirasakan oleh guru SLB B Bandung. Guru
SLB B juga mengalami stress dalam menjalankan peran mereka sebagai guru SLB
B. Namun masing-masing guru SLB B memiliki penghayatan yang berbeda-beda
terhadap tuntutan pekerjaan yang mereka alami. Oleh karena itu peneliti
melakukan wawancara kepada 7 orang guru SLB B Bandung.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada 7 orang guru
SLB B Bandung, diperoleh bahwa 14% guru SLB mengaku tekanan darahnya
menurun karena kelelahan dalam bekerja sehingga harus absen (4 hari) dari
bekerja, serta konsentrasi mengajar menurun, 14% guru mengaku merasa khawatir
tidak mampu mendidik siswa dengan baik dan mengalami konflik karena susah
mengatur jadwalnya antara bekerja sebagai guru SLB dan mengurus keluarganya,
43% guru mengaku sering tidak sabar dan sulit berkonsentrasi dalam mengajari
suatu materi pelajaran kepada anak. Dari data di atas, dapat dikategorikan bahwa
71% guru SLB B menghayati derajat stress yang tinggi. Sedangkan 29% guru
SLB B mengaku terkadang mengalami kesulitan dalam mendidik siswa namun
masih dapat mengatasi kesulitannya sehingga dapat dikategorikan bahwa guru
SLB B tersebut mengalami derajat stress yang rendah.
Pada derajat stress tertentu, stress dapat memicu seseorang untuk
8
Universitas Kristen Maranatha berlebihan akan menghambat seseorang mencapai tujuannya. Untuk itu,
dibutuhkan suatu strategi yang disebut coping stress (Lazarus,1984). Coping
stress ini diharapkan dapat mengurangi stress yang dialami oleh guru SLB B
sehingga tidak akan menghambat atau mengganggu pekerjaan guru SLB B.
Coping stress adalah perubahan kognitif dan tingkah laku yang berlangsung terus
menerus sebagai usaha individu untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal
yang dianggap sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimilikinya atau
membahayakan keberadaannya atau kesejahteraannya. Pada dasarnya, coping
stress digunakan untuk mengurangi dan menghilangkan stress yang ditimbulkan
dari masalah yang ada. Menurut Lazarus (1984) ada dua macam coping stress,
yaitu coping yang berfokus pada masalah (problem focus coping) atau strategi
kognitif dalam penanganan stress yang digunakan oleh individu untuk mencari
penyelesaian masalahnya. Misalnya saat diberlakukannya rapat harian antara guru
dan kepala sekolah setiap pagi, para guru mulai berusaha untuk datang lebih pagi
ke sekolah agar tidak terlambat. Coping stress yang kedua adalah coping stress
yang berfokus pada emosi (emotional focus coping) atau strategi penanggulangan
stress ketika individu memberikan respon terhadap situasi stress dengan cara
mengatur emosinya agar dapat menyesuaikan diri terhadap dampak yang
berkaitan dengan situasi yang menimbulkan stress, terutama dengan mekanisme
pertahanan tanpa mengubah ataupun menyelesaikan sumber penyebab
masalahnya. Dengan kata lain, emotional focus coping ini berpusat pada emosi
9
Universitas Kristen Maranatha Misalnya guru SLB B menceritakan keluhannya dalam mengajar kepada rekan
kerja yang lain.
Coping stress ini diharapkan dapat membantu guru SLB B dalam
mengatasi stress kerja yang mereka alami. Guru A mengaku kewalahan dalam
menghadapi tingkah laku siswanya, misalnya tidak bisa diatur di kelas, tidak
memperhatikan guru saat diterangkan di dalam kelas, atau susah menangkap
materi pelajaran yang disampaikan. Biasanya guru A akan menceritakan
kesusahannya kepada rekan sekerjanya atau mengeluarkan apa yang ada di
hatinya, kemudian mereka bersama-sama mencari solusi pemecahannya. Guru B
sempat dirawat selama empat hari karena tekanan darahnya menurun akibat
kelelahan bekerja. Guru C mengaku kesulitan saat mengajar siswa-siswa SLB B
X, namun ia masih dapat mengatasinya dengan cara menceritakan kesulitannya
kepada rekan sekerjanya dan ketika ia merasa lega, ia akan mengajar kembali
dengan baik. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada 7 guru SLB
B Bandung tadi, dari 5 guru SLB B yang mengalami derajat stress tinggi
sebanyak 40% menggunakan coping stress yang berpusat pada emosi yakni
menceritakan kesulitannya di dalam mengajar kepada rekan kerja yang lain.
Sebanyak 60% guru SLB B menggunakan coping stress yang berpusat pada
pemecahan masalah yakni mencari solusi pemecahan masalah dalam menghadapi
siswa SLB B. Sedangkan guru SLB B yang mengalami derajat stress yang dialami
rendah menggunakan coping stress yang berpusat pada emosi yakni menceritakan
10
Universitas Kristen Maranatha Dari uraian di atas, terlihat bahwa guru SLB B menghayati derajat stress
yang berbeda-beda, dan penggunaan coping stress untuk mengatasi stress yang
dialami juga berbeda-beda. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan antara derajat stress dan coping stress yang
dilakukan oleh para guru SLB.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui apakah terdapat hubungan antara derajat
stress dan coping stress yang digunakan oleh guru SLB B X Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud: memperoleh gambaran empirik mengenai derajat stress yang dialami dan
coping stress yang digunakan oleh guru SLB B X Bandung.
Tujuan: memperoleh gambaran mengenai ada tidaknya hubungan antara derajat
stress yang dialami dan coping stress yang digunakan oleh guru SLB B X
Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoretis
1. Memberikan informasi mengenai hubungan antara derajat stress dan
coping stress bagi disiplin ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis dan
11
Universitas Kristen Maranatha
2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan
penelitian lanjutan mengenai hubungan antara derajat stress dan coping
stress.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada guru yang mengajar di SLB B X Bandung
mengenai hubungan antara derajat stress dan coping stress pada guru SLB
B Bandung, dalam rangka membantu guru SLB B memilih coping stress
yang dirasakan dapat mengurangi stress yang dialami.
2. Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah SLB B X Bandung
mengenai derajat stress yang dialami guru SLB B dan coping stress yang
digunakan guru SLB B dalam rangka membantu Kepala Sekolah SLB B X
Bandung dalam melakukan perencanaan pengembangan yang tepat kepada
guru SLB B X Bandung seperti konseling atau umpan balik.
1.5Kerangka Pemikiran
Dalam UU tentang guru dan dosen, bab 1 pasal 1 ayat 1, terungkap bahwa
guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mengajar, mendidik,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Guru memiliki peranan penting dan merupakan kunci bagi
keberhasilan dalam mencapai tujuan sekolah, karena guru menjadi pengelola
12
Universitas Kristen Maranatha Mengajar ini akan menjadi lebih efektif bila tersedia guru yang sesuai dengan
kebutuhan, kualifikasi, dan bidang keahliannya. Untuk itu, dibutuhkan guru yang
profesional dalam menjalankan tugas dan perannya.
W. F. Connell membedakan peran-peran sebagai seorang guru yaitu (1)
pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar
(learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, serta (6) setiawan
terhadap lembaga. Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran
yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter),
tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang
berkaitan dengan mendisiplinkan siswa agar siswa menjadi patuh terhadap
aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat.
Peran guru sebagai model bagi siswa diharapkan dapat memberikan
teladan kepada siswanya. Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing
diharapkan dapat mengajarkan siswanya dengan memberikan pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman yang berguna untuk masa depan anak. Peran guru
sebagai pelajar (learner) adalah guru berusaha untuk menambah pengetahuan dan
keterampilan agar pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak
ketinggalan jaman. Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat
adalah guru yang selalu dapat berperan aktif dalam mendidik anak didik sebagai
bagian dari masyarakat. Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan
adalah guru yang dapat membantu individu yang memerlukan bantuan dalam
13
Universitas Kristen Maranatha Tugas dan peran tersebut juga dilaksanakan oleh guru yang mengajar di
Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah Luar Biasa adalah lembaga pendidikan yang
dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan kepada
anak-anak penyandang kelainan (anak luar biasa) yang meliputi kelainan fisik,
mental,emosi, atau sosial (http://www.gunadarma .ac.id/library/articles/graduate/
psychology/2010/Artikel_10505143.pdf). SLB bertujuan membantu peserta didik
yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan
sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat
dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan
alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau
mengikuti pendidikan lanjutan. Oleh karena itu, guru yang mengajar SLB juga
dituntut untuk aktif dan profesional dalam mendidik anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus. Upaya meningkatkan profesionalitas guru SLB dari aspek
pendidikan telah dilakukan pemerintah dengan dikeluarkannya PP RI No: 72
Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa pasal 20 ayat 2 bahwa: “Tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan luar biasa merupakan tenaga kependidikan
yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pada satuan pendidikan luar biasa”.
Guru SLB B dituntut untuk mendidik dan membantu siswa SLB B dalam
memahami materi pelajaran yang diberikan. Gangguan pendengaran yang dialami
oleh siswa SLB juga membuat siswa SLB B mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasa, sehingga sulit memahami materi yang diajarkan oleh guru
SLB B, serta ketidaktetapan emosi yang diekspresikan oleh siswa SLB B
14
Universitas Kristen Maranatha siswanya. Hambatan dalam perkembangan emosi yang dialami siswa SLB B
dikarenakan kurangnya kemampuan dalam memahami aspek-aspek emosional
yang dikomunikasikan oleh orang lain secara verbal. Hal ini menyebabkan siswa
SLB B sulit untuk memahami ekspresi emosi (Frieda Mangunsong, 1998). Guru
SLB B juga memiliki tugas untuk mengembangkan life skills siswanya seperti
keterampilan menjahit, mengetik, pramuka, dan tata boga. Kondisi seperti ini
dapat menjadi pemicu stress kerja para guru SLB B Bandung.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik
antara individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau
melebihi sumber dayanya dan membahayakan keberadaannya. Penghayatan akan
stress yang dialami setiap guru berbeda-beda. Ini semua tergantung bagaimana
guru menilai stresor-stresor tersebut sebagai suatu tantangan atau sebagai sesuatu
yang mengancam. Penilaian ini disebut dengan penilaian kognitif (cognitive
appraisal) (Lazarus, 1984). Penilaian kognitif ini menentukan apakah tuntutan
dari pekerjaan atau lingkungan melampaui kemampuan yang dimiliki oleh guru
SLB B sehingga dapat menentukan apakah guru tersebut akan merasa stress atau
tidak. Guru SLB B yang menghayati stress yang ia alami tinggi ditandai dengan
munculnya banyak dan seringnya reaksi atau respon terhadap stress baik dari
reaksi tingkah laku, emosi, fisiologis, maupun kognitif. Sedangkan guru SLB B
yang menghayati stress yang ia alami rendah ditandai dengan sedikit dan
jarangnya reaksi yang ditimbulkan terhadap stress, baik dari reaksi tingkah laku,
emosi, fisiologis, maupun kognitif. Reaksi kognitif ditandai dengan sulit
15
Universitas Kristen Maranatha meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, munculnya gangguan/ penyakit
pada tubuh seperti sakit kepala, sakit perut, menyempitnya pembuluh darah
seperti cepat lelah, serta otot-otot semakin tegang. Reaksi emosi ditandai dengan
mudah marah takut, cemas, depresi dan tidak sabar. Reaksi tingkah laku ditandai
dengan menurunnya produktivitas kerja, tidak termotivasi untuk bekerja, dan
ketidakpuasan dalam bekerja.
Faktor lain yang memengaruhi penilaian individu terhadap situasi yang
dihadapinya adalah penilaian kognitif. Penilaian ini memiliki beberapa tahap,
yaitu penilaian primer (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary
appraisal). Pada penilaian primer, guru SLB B akan mengevaluasi apakah
masalah dalam pekerjaannya akan mengancam dirinya atau tidak. Selanjutnya,
guru SLB B akan melakukan penilaian sekunder. Pada penilaian sekunder ini,
guru SLB B akan mengevaluasi seberapa besar sumber daya dirinya. Pada tahap
ini, guru SLB B akan mencoba memahami potensi-potensi yang ada dalam dirinya
baik secara fisik, psikis, sosial, maupun segi material. Setelah itu, guru SLB B
akan memilih coping stress yang dirasakan efektif untuk meredakan stress yang
dialaminya.
Menurut Lazarus (1984) coping stress adalah perubahan kognitif dan
tingkah laku yang berlangsung terus menerus sebagai usaha individu untuk
mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dianggap sebagai beban atau
melampaui sumber daya yang dimilikinya atau membahayakan keberadaannya
16
Universitas Kristen Maranatha dan menghilangkan stress yang ditimbulkan dari masalah yang ada sehingga tidak
mengganggu atau menghambat kehidupan sehari-hari.
Menurut Lazarus (1984) ada dua macam coping stress, yaitu coping yang
berfokus pada masalah (problem focus coping) atau strategi kognitif dalam
penanganan stress yang digunakan oleh individu untuk mencari penyelesaian dari
masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress. Yang kedua
adalah coping stress yang berfokus pada emosi (emotional focus coping) atau
strategi penanggulangan stress ketika individu memberikan respon terhadap
situasi stress dengan cara mengatur emosinya agar dapat menyesuaikan diri
terhadap dampak yang berkaitan dengan situasi yang menimbulkan stress,
terutama dengan penilaian defensif atau mekanisme pertahanan tanpa mengubah
ataupun menyelesaikan sumber penyebab masalahnya.
Terdapat dua jenis problem focus coping, yaitu planful problem solving
dan confrontative coping. Planful problem solving adalah strategi dimana individu
berusaha untuk mengubah keadaan secara berhati-hati dengan menganalisis
masalah, membuat perencanaan pemecahan masalah, kemudian memilih alternatif
pemecahan masalah. Misalnya ketika ada siswa SLB B yang tiba-tiba tantrum,
guru SLB B mencari tahu penyebabnya dan mencari solusi pemecahannya.
Sedangkan confrontative coping merupakan strategi dimana individu secara aktif
dalam mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Misalnya, guru SLB B terus
menerus mengumpulkan informasi tentang siswa yang bermasalah.
Coping stress yang berpusat terhadap emosi terdiri dari enam macam,
self-17
Universitas Kristen Maranatha
control, dan accepting responsibility. Seeking social support ialah strategi dimana
individu berusaha mencari dukungan emosional dari pihak luar. Misalnya ketika
ada siswa SLB-B yang sering membuat ulah, guru SLB-B menceritakan kepada
rekan kerjanya. Distancing ialah individu berusaha mengambil jarak dengan
masalah yang dihadapinya. Misalnya guru SLB B akan beristirahat sejenak
sebelum mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Avoidance ialah individu yang
berusaha menghindari atau melarikan diri dari permasalahan dengan berkhayal.
Misalnya guru SLB B berusaha melupakan segala hal yang berkaitan dengan
masalah yang sedang dihadapinya. Positive appraisal ialah individu berusaha
menciptakan makna positif yang lebih ditujukan untuk pengembangan pribadi,
juga melibatkan hal-hal yang religius. Misalnya guru SLB B berusaha mengambil
hal yang positif ketika ia menerima kritikan dari kepala sekolah. Self-control ialah
individu berusaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan yang diambil.
Misalnya ketika siswa susah menangkap pelajaran yang disampaikan guru, guru
SLB berusaha untuk tetap sabar dan kembali mengulang pelajaran. Accepting
responsibility ialah individu sadar akan perannya dalam permasalahan yang
dihadapinya dan mencoba memperjelas masalahnya secara objektif. Misalnya
guru menyadari kesalahan yang ia perbuat dan bersedia bertanggung jawab.
Dalam menghadapi kondisi stress, guru SLB B dapat menggunakan salah
satu jenis coping stress tersebut ataupun menggunakan kedua jenis secara
bersamaan. Pemilihan coping stress akan sangat bergantung dari situasi dan
bagaimana guru SLB B menilai situasi yang dihadapinya. Apabila guru SLB B
18
Universitas Kristen Maranatha
coping stress yang berpusat pada masalah. Sementara apabila guru SLB B
berpikir bahwa derajat stress yang dialami tinggi, mereka cenderung memilih
coping stress yang berpusat pada emosi. Lazarus dan Folkman (1984)
mengemukakan bahwa individu yang mengalami stress dengan derajat rendah
biasanya akan menggunakan kedua jenis coping stress dengan kadar yang sama
dan individu yang mengalami stress dengan derajat tinggi akan menggunakan
coping stress jenis emotional focus coping.
Pemilihan dalam menggunakan coping stress juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kesehatan dan energi, keterampilan dalam memecahkan
masalah, keyakinan yang positif, keterampilan sosial yang adekuat dan efektif,
dukungan sosial, dan sumber material. (1)Kesehatan dan energi merupakan
sumber utama dalam menghadapi suatu masalah. Lazarus dan Folkman (1984)
mengatakan bahwa kesehatan dan energi dapat memfasilitasi beberapa upaya
coping stress. Sumber ini dapat berguna untuk mencari informasi tambahan
ataupun sumber lainnya seperti materi dan dukungan sosial. Dengan memiliki
kesehatan dan energi yang cukup, individu mampu memilih coping stress yang
dirasakan efektif bagi dirinya. (2)Keyakinan yang positif mencakup pemikiran
positif bahwa individu dapat mengontrol sesuatu, keyakinan memengaruhi
pemahaman terhadap suatu makna. Keyakinan ini sangat berpengaruh terhadap
penilaian kognitif. Keyakinan berkembang dari hasil evaluasi individu terhadap
tuntutan situasi yang terjadi, coping yang dimilikinya, serta coping yang
diharapkan dalam menghadapi situasi tertentu. Individu yang memiliki internal
19
Universitas Kristen Maranatha karena individu merasa situasi atau permasalahan yang ada berasal dari dalam
dirinya sehingga individu merasa memiliki kontrol dalam mengatasinya dan
mampu menggunakan problem focus coping. Individu dengan external locus of
control biasanya menggunakan emotional focus coping. Hal ini disebabkan karena
individu merasa situasi atau permasalahan yang ada berasal dari luar dirinya
sehingga individu tidak memiliki kontrol untuk mengatasinya. (3)Keterampilan
dalam memecahkan masalah merupakan kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisis situasi dengan tujuan untuk mengidentifikasikan masalah dalam
rangka mengembangkan alternatif tindakan. (4)Keterampilan sosial yang adekuat
dan efektif merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan
orang lain, yang sesuai secara sosial, dan efektif. (5)Dukungan sosial mengacu
pada bantuan yang diterima individu dari individu lain. Keterampilan sosial dan
dukungan sosial ini nantinya akan mengarah pada coping stress yang berpusat
pada emosi, sedangkan keterampilan memecahkan masalah akan mengarah pada
coping stress yang berpusat pada masalah. (6)Sumber material merujuk pada
ketersediaan uang dalam rangka memperoleh barang ataupun jenis pelayanan
tertentu yang dapat diperoleh. Ini dianggap penting karena dengan materi, guru
SLB B mampu mengatasi stress yang mereka alami dengan berlibur sebagai
upaya untuk meregulasi emosinya. Sumber material ini nantinya akan mengarah
79 Universitas Kristen Maranatha
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka
diperoleh kesimpulan bahwa :
1. Derajat stress tidak memiliki korelasi dengan penggunaan problem focus
coping. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya derajat stress tidak
berhubungan dengan penggunaan problem focus coping.
2. Pemilihan problem focus coping dipengaruhi oleh faktor keyakinan dalam
menyelesaikan masalah, sumber material, dan kesehatan.
3. Reaksi yang paling banyak ditimbulkan oleh stress adalah reaksi
emosional. Reaksi emosional ini ditandai dengan adanya perasaan marah,
cemas, dan khawatir.
4. Guru SLB B yang mengajar pada tingkat SMP dan SMA lebih menghayati
stress yang dialami tinggi dibandingkan dengan guru yang mengajar pada
80
Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoretis
1. Saran bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan
a. Peneliti dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor
yang memengaruhi pemilihan coping stress pada guru SLB B X. Karena
dalam penelitian ini, peneliti kurang menggali faktor tersebut.
b. Peneliti dapat membuat kuesioner derajat stress yang menggali
reaksi-reaksi yang dimunculkan, seperti reaksi-reaksi emosional, reaksi-reaksi kognitif,
reaksi fisiologis, dan reaksi tingkah laku. Dalam penelitian ini, tidak
diteliti reaksi tingkah laku, sehingga tidak dapat menjelaskan derajat
stress yang dialami.
5.2.2 Guna Laksana
1. Bagi Kepala Sekolah SLB B “X” Bandung
a. Dari hasil penelitian ini dapat membantu kepala sekolah SLB B Bandung
dalam mengadakan mengadakan konseling dan umpan balik terhadap
pekerjaan.
2. Bagi guru SLB B
a. Dari hasil penelitian ini dapat membantu guru SLB B dalam memahami
pekerjaannya sehingga dapat segera mengatasi stress yang dialami dalam
pekerjaan dengan cara mampu meregulasi emosi dan bersikap tenang
ketika menghadapi permasalahan, kemudian mengatasi permasalahan
81 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Cox, Tom. 1978. Stress. London : The Macmillan Press Ltd.
Davis, Keith, and Newstrom, W., John. 1989. Human Behavior at Work : Organizational Behavior. New York : McGraw-Hill International
Hurlock, Elizabeth.B. 1994. Edisi kelima. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga
Kumar, Ranjit. 1996. Research Methodology. London : SAGE Publications Ltd.
Lazarus,R.S. 1976. Pattern of Adjustment third edition. Tokyo : Mc.Graw Hill Kogakusha,Ltd.
Lazarus,R.S dan Susan Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : Springer Publishing Company,Inc.
Mangunsong, Frieda. 1998. Pendidikan Anak Luar Biasa. Bandung : PT. Refika Aditama.
Nazir, Moh. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Selye, Hans. 1980. Selye’s Guide To Stress Research. New York : Van Nostrand
Reinhold Company.
Siegel, Sidney. 19997. Statistik Non Parametric untuk ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
82 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Heryawan, Ahmad. 2007. Sekolah Luar Biasa Provinsi Jawa Barat. (online).
(http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0, diakses 24 Agustus 2010)
Muhammad. 2009. Faktor Penentu Keberhasilan Anak-Anak Berkebutuhan Khusus.
(online). (http://www.klikgalamedia.com , diakses 24 Agustus 2010)
Muhardyan, Candra. 2010. Studi Deskriptif mengenai Derajat Stress dan Strategi
Penanggulangan Stress yang Dilakukan Guru SLB B dan SLB C Al Mu’min
Majalaya. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran.
Ruslan, Irmansyah. 2005. Tepatkah Kurikulum yang Berlaku di Sekolah Luar Biasa
di Indonesia. (online). ( http://www.pos-kupang.com, diakses 12 September
2010)
Sri, Astana. 2009. Peranan Guru Dalam Dunia Pendidikan Anak-Anak Berkebutuhan
Khusus. (online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Guru, diakses 9 September
2010)
Universitas Guna Darma. 2010. Suatu Penelitian Mengenai Peran Guru Dalam
Pendidikan Sekolah Luar Biasa. (online).
(http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2010/Artik