• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Korelasional Antara Derajat Stress Dengan Coping Stress Pada Guru Yang Mengajar di SLB B "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Korelasional Antara Derajat Stress Dengan Coping Stress Pada Guru Yang Mengajar di SLB B "X" Bandung."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha Abstrak

(2)

iv Universitas Kristen Maranatha Abstract

The research was conducted to determine the relationship between the degree of stress and coping stress in SLB B X Bandung. Subjects in this research were all SLB B X Bandung numbering 22 people. The design of this research is correlational research design. The degree of stress’ questionnaire that used is a modification of cognitive transactional theory of Lazarus (1984) which consists of

28 items. Coping stress’ questionnaire that is used is also a modification of the

(3)

vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….. iii

ABSTRACT ……… iv

KATA PENGANTAR ………..v

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL ………xii

DAFTAR SKEMA ………..xiii

Bab I. PENDAHULUAN ………...1

1.1 Latar Belakang Masalah……..………...…………..1

1.2 Identifikasi Masalah………...………10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian.……...………...…....10

1.4 Kegunaan Penelitian………...…………....10

1.5 Kerangka Pemikiran………...……....11

1.6 Asumsi………...………...21

1.7 Hipotesis………...………….….…....21

Bab II. Tinjauan Pustaka ………...22

2.1 Stress………..………..………..22

2.1.1 Pengertian Stress ...………..………...……….……22

2.1.1.1 Teori Sindroma Adaptasi Umum…...………..………..23

2.1.1.2 Teori Stress dari Lazarus….………...……….…………...25

(4)

viii Universitas Kristen Maranatha

2.1.3 Reaksi Terhadap Stress ………...………...…...27

2.1.4 Derajat Stress ………..………...……...29

2.2 Penilaian Kognitif ………..………...30

2.2.1 Penilaian Primer……….……….…..………....31

2.2.2 Penilaian Sekunder ………...………..…..31

2.2.3 Penilaian Kembali ....……….………...……….32

2.3 Strategi Penanggulangan Stress …………...……….…33

2.3.1 Pengertian Coping Stress ………...………...33

2.3.2 Fungsi Coping Stress …………...……….…....35

2.3.2.1 Coping Stress yang Berpusat Pada Masalah ………...36

2.3.2.2 Coping Stress yang Berpusat Pada Emosi ………....36 2.3.3 Hubungan Coping Stress yang Berpusat Pada Masalah dan yang Berpusat Pada Emosi ………...…....39

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Coping Stress ...….40 2.3.5 Hambatan dalam Menggunakan Coping Stress ………...….42 2.4 Hubungan antara Stress, Penilaian Kognitif, dan Coping Stress ……..43 2.5 Tunarungu……….……….44

2.5.1 Pengertian Tunarungu ………….………..………44 2.5.2 Klasifikasi Tunarungu Secara Etiologis …….…….………....….46 2.5.3 Karakteristik Tunarungu………....47

2.5.4 Identifikasi Tunarungu……….……….………....48

2.5.5 Dampak Tunarungu…………...………....49

(5)

ix Universitas Kristen Maranatha

2.6 SLB ………...52

2.6.1 Pengertian SLB ……….……….…...52 2.7 Guru SLB ……….……….………....53 2.7.1 Pengertian Guru SLB ……….….……….…...53

2.7.2 Peran Guru SLB ……….……...54

2.7.3 Kompetensi Guru SLB ………...…..55

Bab III. Metodologi Penelitian ……….58

3.1 Rancangan Penelitian………...58

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………..58

3.2.1 Variabel Penelitian………...………58

3.2.2 Definisi Konseptual……….59

3.2.3 Definisi Operasional ………..……….59

3.3 Alat Ukur ………...………..60

3.3.1 Alat Ukur Derajat Stress …………..………... 60 3.3.2 Alat Ukur Coping Stress ……….62

3.3.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ………...64

3.3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………....64

3.3.4.1 Validitas Alat Ukur ……….65

3.3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ……….65

3.4 Populasi dan Penarikan Sampel………...66

3.4.1 Populasi Sasaran………..……66

(6)

x Universitas Kristen Maranatha

3.4.3 Teknik Pengolahan Data………...………..66

3.4.4 Hipotesis Statistik ……….………...………...67

BAB IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan ………..68

4.1 Hasil Penelitian ………...68

4.2 Pembahasan ………73

BAB V. Kesimpulan dan Saran ………79

5.1 Kesimpulan ……….79

5.2 Saran ………...……80 5.2.1 Saran Teoretis ………80 5.2.2 Guna Laksana ………...80 DAFTAR PUSTAKA ………...81

DAFTAR RUJUKAN ………...82

LAMPIRAN

Profil SLB B X Bandung

Lampiran Kuesioner

Lampiran 3.1 Reliabilitas Kuesioner derajat stress

Lampiran 3.2 Reliabilitas Kuesioner coping stress

Lampiran tabel 4.1 Kaitan antara lamanya bekerja dan derajat stress yang dialami

Lampiran tabel 4.2 Kaitan antara lamanya bekerja dan coping stress yang

(7)

xi Universitas Kristen Maranatha Lampiran tabel 4.3 Kaitan antara lamanya bekerja dan problem focus coping yang

digunakan

Lampiran tabel 4.4 Kaitan antara lamanya bekerja dan emotional focus coping

yang digunakan

Lampiran Tabel 4.5 Gambaran mengenai derajat stress dan bentuk problem focus

coping yang digunakan

Lampiran Tabel 4.6 Gambaran mengenai reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh

stress

(8)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Derajat Stress ………61

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Alat Ukur Coping Stress ………63

Tabel 4.1Gambaran responden berdasarkan usia ………..68

Tabel 4.2 Gambaran responden berdasarkan lama bekerja ………69

Tabel 4.3 Gambaran responden mengenai derajat stress yang dialami …..…...69

Tabel 4.4 Gambaran responden mengenai coping stress ………..…………70

Tabel 4.5 Hubungan korelasi antara derajat stress dan problem focus coping…..70

Tabel 4.6 Hubungan korelasi antara derajat stress dan

emotional focus coping………..……71

Tabel 4.7 Gambaran mengenai faktor kesehatan dan coping stress

yang digunakan ………..…………..……71

Tabel 4.8 Gambaran mengenai keyakinan positif dan coping stress

yang digunakan ………..…………..……72

Tabel 4.8 Gambaran mengenai sumber material dan coping stress

(9)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA

Skema1.1 Skema Kerangka Pemikiran ………..20

(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan bertanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian anak

sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,

setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

termasuk anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik. Hal ini juga dituangkan

dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 2 yakni, “ Warga

Negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak

memperoleh pendidikan khusus”. Sebagai tindak lanjut dari UU ini, didirikanlah

sekolah yang dapat menampung anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik,

mental, emosional, intelektual, dan sosial, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB).

Dengan adanya SLB, diharapkan anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik,

emosional, mental, intelektual, dan sosial mendapat pendidikan yang sesuai

dengan kebutuhan mereka, yakni memiliki keterampilan untuk hidup dalam

masyarakat.

Ada lima jenis SLB yang ada saat ini di Indonesia, yaitu SLB A untuk

anak-anak yang mengalami keterbatasan dalam indera penglihatan (tunanetra),

SLB B untuk anak-anak yang mengalami keterbatasan dalam indera pendengaran

(tunarungu), SLB C untuk anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental

(11)

2

Universitas Kristen Maranatha daksa), dan SLB E untuk anak-anak yang mengalami kesulitan penyesuaian

dengan lingkungan sosial (tuna laras). Dari data statistik, diperoleh jumlah

Sekolah Luar Biasa yang terdapat di Provinsi Jawa Barat sebagai berikut SLB A 7

sekolah, SLB B 7 sekolah, SLB C 15 sekolah, dan SLB untuk tuna ganda 2

sekolah (http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0).

Keterbatasan jumlah guru SLB dibandingkan dengan jumlah anak-anak

berkebutuhan khusus yang memerlukan pendidikan luar biasa saat ini membuat

beban kerja guru SLB bertambah banyak. Muhammad Nuh selaku Mendiknas

Indonesia mengemukakan bahwa jumlah guru SLB di Indonesia saat ini masih

sangat kurang. Provinsi Jawa Barat sendiri masih kekurangan guru untuk

menangani 14.000 anak berkebutuhan khusus. Saat ini jumlah guru SLB yang

berstatus pegawai negeri sipil baru sekitar 1.918 orang. Jumlah tersebut dirasa

masih kurang karena perbandingan antara guru dan siswa SLB di Propinsi Jawa

Barat adalah 1 berbanding 5 untuk anak–anak berkebutuhan khusus setingkat

Sekolah Dasar dan 1 berbanding 8 untuk anak–anak berkebutuhan khusus

setingkat Sekolah Menengah Pertama (http://www.klikgalamedia.com). Hal ini

juga dialami oleh guru SLB B Bandung. Setiap guru harus mengajar 5 siswa,

sehingga perbandingan antara guru dan siswa menjadi 1:5. Idealnya seorang guru

SLB B mengajar dua sampai tiga siswa sehingga didapat perbandingan antara

guru dan siswa SLB adalah 1 : 2 atau maksimal 1 : 3

(http://www.gunadarma.ac.id). Guru SLB B harus mampu mendidik dan

(12)

3

Universitas Kristen Maranatha siswa dapat membuka usaha sendiri ketika keluar dari SLB B. Keterampilan siswa

seperti inilah yang menjadi tujuan SLB B setelah siswa keluar dari SLB B.

Para pengajar (guru), termasuk guru yang mengajar di SLB B X

memegang peranan penting dalam proses pengajaran. Guru adalah seseorang yang

mengajar ilmu pengetahuan dalam pendidikan anak-anak

(http://id.wikipedia.org/wiki/Guru). Seorang guru harus memiliki wawasan yang

luas, cekatan, mampu bersosialisasi dan memahami anak didiknya, serta memiliki

sifat yang sabar. Tugas dan peran yang dilaksanakan oleh guru SLB B hampir

sama dengan guru sekolah reguler, yakni untuk mendidik, mengajar,

membimbing, dan menilai siswanya agar siswa dapat meningkatkan kualitas

hidup mereka. Namun dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai guru SLB

B, mereka sering menghadapi banyak tantangan, seperti siswa yang tiba-tiba

“tantrum”, pengajaran melalui media bahasa isyarat, dan kesulitan dalam mengerti

pemikiran dan perasaan siswa-siswa SLB B. Kurikulum pengajaran SLB B juga

berbeda dengan sekolah reguler. Sekolah normal memberikan materi pelajaran

dapat melalui media audio maupun visual sekaligus, sedangkan materi yang

disampaikan di SLB B melalui alat-alat bantu seperti menggunakan bahasa

isyarat. Contohnya SLB B sebagai Sekolah Luar Biasa yang khusus bagi

anak-anak yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran. Keterbatasan siswa SLB B

dalam pendengaran menyebabkan kemiskinan bahasa/ kosa kata, kurang mampu

mengolah emosi, dan kurangnya kemampuan siswa dalam menangkap materi

pelajaran membuat guru yang mengajar di SLB B harus lebih sabar dalam

(13)

4

Universitas Kristen Maranatha Kurikulum pada SLB B lebih ditekankan pada penguasaan keterampilan

atau life skills, dengan perbandingan 60 % life skills dan 40 % akademik. Life

skills yang dimaksudkan adalah keterampilan yang khusus diberikan kepada

siswa-siswa SLB B agar mereka dapat hidup dalam bermasyarakat, seperti

keterampilan menjahit, mengetik, pramuka, dan tata boga. Dengan adanya

kurikulum ini, diharapkan siswa SLB B dapat memiliki keterampilan yang dapat

mereka gunakan untuk bekerja sehingga mereka tidak lagi menjadi beban orang

tua mereka (http://www.pos-kupang.com). Hal ini menjadi tantangan tersendiri

bagi guru SLB B karena mengajarkan suatu keterampilan kepada anak yang

memiliki keterbatasan tidaklah semudah seperti pada anak yang “normal” pada

umumnya, mengajarkan keterampilan pada anak yang memiliki keterbatasan

khusus membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran yang tinggi, baik dari siswa

maupun dari gurunya sendiri.

SLB B X Bandung merupakan SLB B yang sudah berdiri sejak tahun

1960-an dan baru diresmikan sebagai SLB B Negeri bagi anak-anak penyandang

tuna rungu di Bandung sejak tahun 2009. Oleh karena itu, status para guru yang

mengajar di SLB B ini juga berubah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),

sehingga para guru SLB B harus mematuhi peraturan DP3 yakni Daftar Penilaian

Pelaksanaan Pekerjaan. Pada masa sebelumnya, jika guru melanggar peraturan

hanya akan ditegur oleh kepala sekolah. Namun setelah adanya DP3, jika para

guru melanggar peraturan yang telah ditetapkan dalam DP3, akan ada

pengurangan dalam penilaian yang berujung pada pengurangan gaji. Hal ini

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha peraturan, misalnya guru menjadi khawatir jika datang terlambat ke sekolah

karena jalan macet. SLB B juga mengalami perubahan ritme bekerja. Jam kerja

guru menjadi bertambah, dari 5,5 jam menjadi 6,5 jam yakni dari pukul 7.30

hingga pukul 14.00 sehingga para guru SLB B terkadang mengalami kelelahan

dalam bekerja. Pada SLB B ini telah ditetapkan juga aturan yang mewajibkan para

guru SLB B ini untuk mengikuti rapat harian mengenai kegiatan yang akan

dilakukan dan evaluasi para guru. Pemerintah Kota Bandung juga akan

mengadakan inspeksi mendadak ke SLB B ini. Kondisi ini membuat para guru

SLB B menjadi tegang jika sewaktu-waktu diperiksa oleh Pemerintah Kota,

karena para guru belum terbiasa dengan adanya inspeksi mendadak.

Semua guru yang mengajar di SLB B ini merupakan lulusan program

Pendidikan Luar Biasa sehingga guru telah memiliki kompetensi dalam mengajar

anak-anak berkebutuhan khusus. Pada SLB B Bandung terdapat tingkatan kelas

dari TK, SD, SMP, dan SMA. Pada setiap tingkatan terdapat tantangan yang

berbeda-beda. Menurut Wakil Kepala Sekolah SLB B Bandung, tantangan yang

sering dialami guru SLB B yang mengajar siswa tingkat TK adalah

siswa-siswa sulit untuk diatur, mereka sering berjalan-jalan di dalam kelas dan tidak

memerhatikan guru mengajar, serta sulit untuk diajarkan bahasa isyarat.

Tantangan yang sering dialami guru SLB B yang mengajar siswa tingkat SD

adalah siswa sulit dalam mengolah dan memahami materi melalui bahasa isyarat

karena siswa baru memahami bahasa isyarat. Tantangan yang dialami oleh guru

SLB B yang mengajar siswa tingkat SMP dan SMA adalah siswa sulit diatur

(15)

6

Universitas Kristen Maranatha keterampilan seperti pramuka dan tata boga dalam hal membuat siswa mengerti

jenis bumbu masakan. Guru harus mendidik siswa yang mulai beranjak remaja.

Emosi siswa terkadang tidak stabil, adanya gangguan pada sistem pendengaran

membuat perkembangan emosi siswa terhambat. Gangguan pendengaran yang

dialami oleh siswa SLB juga membuat siswa SLB B mengalami hambatan dalam

perkembangan bahasa, sehingga sulit memahami materi yang diajarkan oleh guru

SLB B. Kondisi-kondisi ini dapat menimbulkan stress dalam bekerja.

Stress terjadi jika pada individu terdapat tuntutan yang melampaui sumber

daya yang dimilikinya untuk melakukan penyesuaian diri. Menurut Lazarus dan

Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik antara individu dan lingkungan

yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau melebihi sumber dayanya dan

membahayakan keberadaannya. Dalam menghadapi situasi yang menimbulkan

stress, reaksi setiap individu berbeda-beda. Lazarus (1984) membagi reaksi

terhadap stress ini kedalam empat kategori, yaitu (1) reaksi kognitif seperti sulit

berkonsentrasi dan gangguan berpikir; (2) reaksi fisiologis seperti meningkatnya

tekanan darah dan denyut jantung, serta penurunan metabolisme tubuh; (3) reaksi

emosi seperti mudah marah takut, cemas, dan tidak sabar; dan (4) reaksi tingkah

laku seperti menurunnya produktivitas kerja dan ketidakpuasan dalam bekerja

(Lazarus, 1984). Dari reaksi yang dimunculkan oleh individu, dapat diketahui

bagaimana cara individu menghayati derajat stress yang mereka alami, apakah

derajat stressnya rendah atau tinggi. Individu yang menghayati stress yang ia

alami tinggi ditandai dengan munculnya banyak reaksi atau respon terhadap

(16)

7

Universitas Kristen Maranatha laku, emosi, fisiologis, maupun kognitif. Sedangkan individu yang menghayati

stress yang ia alami rendah ditandai dengan sedikitnya reaksi yang ditimbulkan

terhadap stress, serta jarangnya intensitas kemunculan reaksi stress baik reaksi

tingkah laku, emosi, fisiologis, maupun kognitif (Lazarus, 1984).

Reaksi-reaksi stress ini juga dirasakan oleh guru SLB B Bandung. Guru

SLB B juga mengalami stress dalam menjalankan peran mereka sebagai guru SLB

B. Namun masing-masing guru SLB B memiliki penghayatan yang berbeda-beda

terhadap tuntutan pekerjaan yang mereka alami. Oleh karena itu peneliti

melakukan wawancara kepada 7 orang guru SLB B Bandung.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada 7 orang guru

SLB B Bandung, diperoleh bahwa 14% guru SLB mengaku tekanan darahnya

menurun karena kelelahan dalam bekerja sehingga harus absen (4 hari) dari

bekerja, serta konsentrasi mengajar menurun, 14% guru mengaku merasa khawatir

tidak mampu mendidik siswa dengan baik dan mengalami konflik karena susah

mengatur jadwalnya antara bekerja sebagai guru SLB dan mengurus keluarganya,

43% guru mengaku sering tidak sabar dan sulit berkonsentrasi dalam mengajari

suatu materi pelajaran kepada anak. Dari data di atas, dapat dikategorikan bahwa

71% guru SLB B menghayati derajat stress yang tinggi. Sedangkan 29% guru

SLB B mengaku terkadang mengalami kesulitan dalam mendidik siswa namun

masih dapat mengatasi kesulitannya sehingga dapat dikategorikan bahwa guru

SLB B tersebut mengalami derajat stress yang rendah.

Pada derajat stress tertentu, stress dapat memicu seseorang untuk

(17)

8

Universitas Kristen Maranatha berlebihan akan menghambat seseorang mencapai tujuannya. Untuk itu,

dibutuhkan suatu strategi yang disebut coping stress (Lazarus,1984). Coping

stress ini diharapkan dapat mengurangi stress yang dialami oleh guru SLB B

sehingga tidak akan menghambat atau mengganggu pekerjaan guru SLB B.

Coping stress adalah perubahan kognitif dan tingkah laku yang berlangsung terus

menerus sebagai usaha individu untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal

yang dianggap sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimilikinya atau

membahayakan keberadaannya atau kesejahteraannya. Pada dasarnya, coping

stress digunakan untuk mengurangi dan menghilangkan stress yang ditimbulkan

dari masalah yang ada. Menurut Lazarus (1984) ada dua macam coping stress,

yaitu coping yang berfokus pada masalah (problem focus coping) atau strategi

kognitif dalam penanganan stress yang digunakan oleh individu untuk mencari

penyelesaian masalahnya. Misalnya saat diberlakukannya rapat harian antara guru

dan kepala sekolah setiap pagi, para guru mulai berusaha untuk datang lebih pagi

ke sekolah agar tidak terlambat. Coping stress yang kedua adalah coping stress

yang berfokus pada emosi (emotional focus coping) atau strategi penanggulangan

stress ketika individu memberikan respon terhadap situasi stress dengan cara

mengatur emosinya agar dapat menyesuaikan diri terhadap dampak yang

berkaitan dengan situasi yang menimbulkan stress, terutama dengan mekanisme

pertahanan tanpa mengubah ataupun menyelesaikan sumber penyebab

masalahnya. Dengan kata lain, emotional focus coping ini berpusat pada emosi

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha Misalnya guru SLB B menceritakan keluhannya dalam mengajar kepada rekan

kerja yang lain.

Coping stress ini diharapkan dapat membantu guru SLB B dalam

mengatasi stress kerja yang mereka alami. Guru A mengaku kewalahan dalam

menghadapi tingkah laku siswanya, misalnya tidak bisa diatur di kelas, tidak

memperhatikan guru saat diterangkan di dalam kelas, atau susah menangkap

materi pelajaran yang disampaikan. Biasanya guru A akan menceritakan

kesusahannya kepada rekan sekerjanya atau mengeluarkan apa yang ada di

hatinya, kemudian mereka bersama-sama mencari solusi pemecahannya. Guru B

sempat dirawat selama empat hari karena tekanan darahnya menurun akibat

kelelahan bekerja. Guru C mengaku kesulitan saat mengajar siswa-siswa SLB B

X, namun ia masih dapat mengatasinya dengan cara menceritakan kesulitannya

kepada rekan sekerjanya dan ketika ia merasa lega, ia akan mengajar kembali

dengan baik. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada 7 guru SLB

B Bandung tadi, dari 5 guru SLB B yang mengalami derajat stress tinggi

sebanyak 40% menggunakan coping stress yang berpusat pada emosi yakni

menceritakan kesulitannya di dalam mengajar kepada rekan kerja yang lain.

Sebanyak 60% guru SLB B menggunakan coping stress yang berpusat pada

pemecahan masalah yakni mencari solusi pemecahan masalah dalam menghadapi

siswa SLB B. Sedangkan guru SLB B yang mengalami derajat stress yang dialami

rendah menggunakan coping stress yang berpusat pada emosi yakni menceritakan

(19)

10

Universitas Kristen Maranatha Dari uraian di atas, terlihat bahwa guru SLB B menghayati derajat stress

yang berbeda-beda, dan penggunaan coping stress untuk mengatasi stress yang

dialami juga berbeda-beda. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang hubungan antara derajat stress dan coping stress yang

dilakukan oleh para guru SLB.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui apakah terdapat hubungan antara derajat

stress dan coping stress yang digunakan oleh guru SLB B X Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud: memperoleh gambaran empirik mengenai derajat stress yang dialami dan

coping stress yang digunakan oleh guru SLB B X Bandung.

Tujuan: memperoleh gambaran mengenai ada tidaknya hubungan antara derajat

stress yang dialami dan coping stress yang digunakan oleh guru SLB B X

Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

1. Memberikan informasi mengenai hubungan antara derajat stress dan

coping stress bagi disiplin ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis dan

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha

2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian lanjutan mengenai hubungan antara derajat stress dan coping

stress.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada guru yang mengajar di SLB B X Bandung

mengenai hubungan antara derajat stress dan coping stress pada guru SLB

B Bandung, dalam rangka membantu guru SLB B memilih coping stress

yang dirasakan dapat mengurangi stress yang dialami.

2. Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah SLB B X Bandung

mengenai derajat stress yang dialami guru SLB B dan coping stress yang

digunakan guru SLB B dalam rangka membantu Kepala Sekolah SLB B X

Bandung dalam melakukan perencanaan pengembangan yang tepat kepada

guru SLB B X Bandung seperti konseling atau umpan balik.

1.5Kerangka Pemikiran

Dalam UU tentang guru dan dosen, bab 1 pasal 1 ayat 1, terungkap bahwa

guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mengajar, mendidik,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik

pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan

pendidikan menengah. Guru memiliki peranan penting dan merupakan kunci bagi

keberhasilan dalam mencapai tujuan sekolah, karena guru menjadi pengelola

(21)

12

Universitas Kristen Maranatha Mengajar ini akan menjadi lebih efektif bila tersedia guru yang sesuai dengan

kebutuhan, kualifikasi, dan bidang keahliannya. Untuk itu, dibutuhkan guru yang

profesional dalam menjalankan tugas dan perannya.

W. F. Connell membedakan peran-peran sebagai seorang guru yaitu (1)

pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar

(learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, serta (6) setiawan

terhadap lembaga. Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran

yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter),

tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang

berkaitan dengan mendisiplinkan siswa agar siswa menjadi patuh terhadap

aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat.

Peran guru sebagai model bagi siswa diharapkan dapat memberikan

teladan kepada siswanya. Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing

diharapkan dapat mengajarkan siswanya dengan memberikan pengetahuan,

keterampilan dan pengalaman yang berguna untuk masa depan anak. Peran guru

sebagai pelajar (learner) adalah guru berusaha untuk menambah pengetahuan dan

keterampilan agar pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak

ketinggalan jaman. Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat

adalah guru yang selalu dapat berperan aktif dalam mendidik anak didik sebagai

bagian dari masyarakat. Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan

adalah guru yang dapat membantu individu yang memerlukan bantuan dalam

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha Tugas dan peran tersebut juga dilaksanakan oleh guru yang mengajar di

Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah Luar Biasa adalah lembaga pendidikan yang

dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan kepada

anak-anak penyandang kelainan (anak luar biasa) yang meliputi kelainan fisik,

mental,emosi, atau sosial (http://www.gunadarma .ac.id/library/articles/graduate/

psychology/2010/Artikel_10505143.pdf). SLB bertujuan membantu peserta didik

yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan

sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat

dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan

alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau

mengikuti pendidikan lanjutan. Oleh karena itu, guru yang mengajar SLB juga

dituntut untuk aktif dan profesional dalam mendidik anak-anak yang memiliki

kebutuhan khusus. Upaya meningkatkan profesionalitas guru SLB dari aspek

pendidikan telah dilakukan pemerintah dengan dikeluarkannya PP RI No: 72

Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa pasal 20 ayat 2 bahwa: “Tenaga

kependidikan pada satuan pendidikan luar biasa merupakan tenaga kependidikan

yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pada satuan pendidikan luar biasa”.

Guru SLB B dituntut untuk mendidik dan membantu siswa SLB B dalam

memahami materi pelajaran yang diberikan. Gangguan pendengaran yang dialami

oleh siswa SLB juga membuat siswa SLB B mengalami hambatan dalam

perkembangan bahasa, sehingga sulit memahami materi yang diajarkan oleh guru

SLB B, serta ketidaktetapan emosi yang diekspresikan oleh siswa SLB B

(23)

14

Universitas Kristen Maranatha siswanya. Hambatan dalam perkembangan emosi yang dialami siswa SLB B

dikarenakan kurangnya kemampuan dalam memahami aspek-aspek emosional

yang dikomunikasikan oleh orang lain secara verbal. Hal ini menyebabkan siswa

SLB B sulit untuk memahami ekspresi emosi (Frieda Mangunsong, 1998). Guru

SLB B juga memiliki tugas untuk mengembangkan life skills siswanya seperti

keterampilan menjahit, mengetik, pramuka, dan tata boga. Kondisi seperti ini

dapat menjadi pemicu stress kerja para guru SLB B Bandung.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik

antara individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau

melebihi sumber dayanya dan membahayakan keberadaannya. Penghayatan akan

stress yang dialami setiap guru berbeda-beda. Ini semua tergantung bagaimana

guru menilai stresor-stresor tersebut sebagai suatu tantangan atau sebagai sesuatu

yang mengancam. Penilaian ini disebut dengan penilaian kognitif (cognitive

appraisal) (Lazarus, 1984). Penilaian kognitif ini menentukan apakah tuntutan

dari pekerjaan atau lingkungan melampaui kemampuan yang dimiliki oleh guru

SLB B sehingga dapat menentukan apakah guru tersebut akan merasa stress atau

tidak. Guru SLB B yang menghayati stress yang ia alami tinggi ditandai dengan

munculnya banyak dan seringnya reaksi atau respon terhadap stress baik dari

reaksi tingkah laku, emosi, fisiologis, maupun kognitif. Sedangkan guru SLB B

yang menghayati stress yang ia alami rendah ditandai dengan sedikit dan

jarangnya reaksi yang ditimbulkan terhadap stress, baik dari reaksi tingkah laku,

emosi, fisiologis, maupun kognitif. Reaksi kognitif ditandai dengan sulit

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, munculnya gangguan/ penyakit

pada tubuh seperti sakit kepala, sakit perut, menyempitnya pembuluh darah

seperti cepat lelah, serta otot-otot semakin tegang. Reaksi emosi ditandai dengan

mudah marah takut, cemas, depresi dan tidak sabar. Reaksi tingkah laku ditandai

dengan menurunnya produktivitas kerja, tidak termotivasi untuk bekerja, dan

ketidakpuasan dalam bekerja.

Faktor lain yang memengaruhi penilaian individu terhadap situasi yang

dihadapinya adalah penilaian kognitif. Penilaian ini memiliki beberapa tahap,

yaitu penilaian primer (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary

appraisal). Pada penilaian primer, guru SLB B akan mengevaluasi apakah

masalah dalam pekerjaannya akan mengancam dirinya atau tidak. Selanjutnya,

guru SLB B akan melakukan penilaian sekunder. Pada penilaian sekunder ini,

guru SLB B akan mengevaluasi seberapa besar sumber daya dirinya. Pada tahap

ini, guru SLB B akan mencoba memahami potensi-potensi yang ada dalam dirinya

baik secara fisik, psikis, sosial, maupun segi material. Setelah itu, guru SLB B

akan memilih coping stress yang dirasakan efektif untuk meredakan stress yang

dialaminya.

Menurut Lazarus (1984) coping stress adalah perubahan kognitif dan

tingkah laku yang berlangsung terus menerus sebagai usaha individu untuk

mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dianggap sebagai beban atau

melampaui sumber daya yang dimilikinya atau membahayakan keberadaannya

(25)

16

Universitas Kristen Maranatha dan menghilangkan stress yang ditimbulkan dari masalah yang ada sehingga tidak

mengganggu atau menghambat kehidupan sehari-hari.

Menurut Lazarus (1984) ada dua macam coping stress, yaitu coping yang

berfokus pada masalah (problem focus coping) atau strategi kognitif dalam

penanganan stress yang digunakan oleh individu untuk mencari penyelesaian dari

masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress. Yang kedua

adalah coping stress yang berfokus pada emosi (emotional focus coping) atau

strategi penanggulangan stress ketika individu memberikan respon terhadap

situasi stress dengan cara mengatur emosinya agar dapat menyesuaikan diri

terhadap dampak yang berkaitan dengan situasi yang menimbulkan stress,

terutama dengan penilaian defensif atau mekanisme pertahanan tanpa mengubah

ataupun menyelesaikan sumber penyebab masalahnya.

Terdapat dua jenis problem focus coping, yaitu planful problem solving

dan confrontative coping. Planful problem solving adalah strategi dimana individu

berusaha untuk mengubah keadaan secara berhati-hati dengan menganalisis

masalah, membuat perencanaan pemecahan masalah, kemudian memilih alternatif

pemecahan masalah. Misalnya ketika ada siswa SLB B yang tiba-tiba tantrum,

guru SLB B mencari tahu penyebabnya dan mencari solusi pemecahannya.

Sedangkan confrontative coping merupakan strategi dimana individu secara aktif

dalam mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Misalnya, guru SLB B terus

menerus mengumpulkan informasi tentang siswa yang bermasalah.

Coping stress yang berpusat terhadap emosi terdiri dari enam macam,

(26)

self-17

Universitas Kristen Maranatha

control, dan accepting responsibility. Seeking social support ialah strategi dimana

individu berusaha mencari dukungan emosional dari pihak luar. Misalnya ketika

ada siswa SLB-B yang sering membuat ulah, guru SLB-B menceritakan kepada

rekan kerjanya. Distancing ialah individu berusaha mengambil jarak dengan

masalah yang dihadapinya. Misalnya guru SLB B akan beristirahat sejenak

sebelum mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Avoidance ialah individu yang

berusaha menghindari atau melarikan diri dari permasalahan dengan berkhayal.

Misalnya guru SLB B berusaha melupakan segala hal yang berkaitan dengan

masalah yang sedang dihadapinya. Positive appraisal ialah individu berusaha

menciptakan makna positif yang lebih ditujukan untuk pengembangan pribadi,

juga melibatkan hal-hal yang religius. Misalnya guru SLB B berusaha mengambil

hal yang positif ketika ia menerima kritikan dari kepala sekolah. Self-control ialah

individu berusaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan yang diambil.

Misalnya ketika siswa susah menangkap pelajaran yang disampaikan guru, guru

SLB berusaha untuk tetap sabar dan kembali mengulang pelajaran. Accepting

responsibility ialah individu sadar akan perannya dalam permasalahan yang

dihadapinya dan mencoba memperjelas masalahnya secara objektif. Misalnya

guru menyadari kesalahan yang ia perbuat dan bersedia bertanggung jawab.

Dalam menghadapi kondisi stress, guru SLB B dapat menggunakan salah

satu jenis coping stress tersebut ataupun menggunakan kedua jenis secara

bersamaan. Pemilihan coping stress akan sangat bergantung dari situasi dan

bagaimana guru SLB B menilai situasi yang dihadapinya. Apabila guru SLB B

(27)

18

Universitas Kristen Maranatha

coping stress yang berpusat pada masalah. Sementara apabila guru SLB B

berpikir bahwa derajat stress yang dialami tinggi, mereka cenderung memilih

coping stress yang berpusat pada emosi. Lazarus dan Folkman (1984)

mengemukakan bahwa individu yang mengalami stress dengan derajat rendah

biasanya akan menggunakan kedua jenis coping stress dengan kadar yang sama

dan individu yang mengalami stress dengan derajat tinggi akan menggunakan

coping stress jenis emotional focus coping.

Pemilihan dalam menggunakan coping stress juga dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu kesehatan dan energi, keterampilan dalam memecahkan

masalah, keyakinan yang positif, keterampilan sosial yang adekuat dan efektif,

dukungan sosial, dan sumber material. (1)Kesehatan dan energi merupakan

sumber utama dalam menghadapi suatu masalah. Lazarus dan Folkman (1984)

mengatakan bahwa kesehatan dan energi dapat memfasilitasi beberapa upaya

coping stress. Sumber ini dapat berguna untuk mencari informasi tambahan

ataupun sumber lainnya seperti materi dan dukungan sosial. Dengan memiliki

kesehatan dan energi yang cukup, individu mampu memilih coping stress yang

dirasakan efektif bagi dirinya. (2)Keyakinan yang positif mencakup pemikiran

positif bahwa individu dapat mengontrol sesuatu, keyakinan memengaruhi

pemahaman terhadap suatu makna. Keyakinan ini sangat berpengaruh terhadap

penilaian kognitif. Keyakinan berkembang dari hasil evaluasi individu terhadap

tuntutan situasi yang terjadi, coping yang dimilikinya, serta coping yang

diharapkan dalam menghadapi situasi tertentu. Individu yang memiliki internal

(28)

19

Universitas Kristen Maranatha karena individu merasa situasi atau permasalahan yang ada berasal dari dalam

dirinya sehingga individu merasa memiliki kontrol dalam mengatasinya dan

mampu menggunakan problem focus coping. Individu dengan external locus of

control biasanya menggunakan emotional focus coping. Hal ini disebabkan karena

individu merasa situasi atau permasalahan yang ada berasal dari luar dirinya

sehingga individu tidak memiliki kontrol untuk mengatasinya. (3)Keterampilan

dalam memecahkan masalah merupakan kemampuan untuk mencari informasi,

menganalisis situasi dengan tujuan untuk mengidentifikasikan masalah dalam

rangka mengembangkan alternatif tindakan. (4)Keterampilan sosial yang adekuat

dan efektif merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan

orang lain, yang sesuai secara sosial, dan efektif. (5)Dukungan sosial mengacu

pada bantuan yang diterima individu dari individu lain. Keterampilan sosial dan

dukungan sosial ini nantinya akan mengarah pada coping stress yang berpusat

pada emosi, sedangkan keterampilan memecahkan masalah akan mengarah pada

coping stress yang berpusat pada masalah. (6)Sumber material merujuk pada

ketersediaan uang dalam rangka memperoleh barang ataupun jenis pelayanan

tertentu yang dapat diperoleh. Ini dianggap penting karena dengan materi, guru

SLB B mampu mengatasi stress yang mereka alami dengan berlibur sebagai

upaya untuk meregulasi emosinya. Sumber material ini nantinya akan mengarah

(29)
(30)

79 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka

diperoleh kesimpulan bahwa :

1. Derajat stress tidak memiliki korelasi dengan penggunaan problem focus

coping. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya derajat stress tidak

berhubungan dengan penggunaan problem focus coping.

2. Pemilihan problem focus coping dipengaruhi oleh faktor keyakinan dalam

menyelesaikan masalah, sumber material, dan kesehatan.

3. Reaksi yang paling banyak ditimbulkan oleh stress adalah reaksi

emosional. Reaksi emosional ini ditandai dengan adanya perasaan marah,

cemas, dan khawatir.

4. Guru SLB B yang mengajar pada tingkat SMP dan SMA lebih menghayati

stress yang dialami tinggi dibandingkan dengan guru yang mengajar pada

(31)

80

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Saran bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan

a. Peneliti dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor

yang memengaruhi pemilihan coping stress pada guru SLB B X. Karena

dalam penelitian ini, peneliti kurang menggali faktor tersebut.

b. Peneliti dapat membuat kuesioner derajat stress yang menggali

reaksi-reaksi yang dimunculkan, seperti reaksi-reaksi emosional, reaksi-reaksi kognitif,

reaksi fisiologis, dan reaksi tingkah laku. Dalam penelitian ini, tidak

diteliti reaksi tingkah laku, sehingga tidak dapat menjelaskan derajat

stress yang dialami.

5.2.2 Guna Laksana

1. Bagi Kepala Sekolah SLB B “X” Bandung

a. Dari hasil penelitian ini dapat membantu kepala sekolah SLB B Bandung

dalam mengadakan mengadakan konseling dan umpan balik terhadap

pekerjaan.

2. Bagi guru SLB B

a. Dari hasil penelitian ini dapat membantu guru SLB B dalam memahami

pekerjaannya sehingga dapat segera mengatasi stress yang dialami dalam

pekerjaan dengan cara mampu meregulasi emosi dan bersikap tenang

ketika menghadapi permasalahan, kemudian mengatasi permasalahan

(32)

81 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Cox, Tom. 1978. Stress. London : The Macmillan Press Ltd.

Davis, Keith, and Newstrom, W., John. 1989. Human Behavior at Work : Organizational Behavior. New York : McGraw-Hill International

Hurlock, Elizabeth.B. 1994. Edisi kelima. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga

Kumar, Ranjit. 1996. Research Methodology. London : SAGE Publications Ltd.

Lazarus,R.S. 1976. Pattern of Adjustment third edition. Tokyo : Mc.Graw Hill Kogakusha,Ltd.

Lazarus,R.S dan Susan Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : Springer Publishing Company,Inc.

Mangunsong, Frieda. 1998. Pendidikan Anak Luar Biasa. Bandung : PT. Refika Aditama.

Nazir, Moh. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Selye, Hans. 1980. Selye’s Guide To Stress Research. New York : Van Nostrand

Reinhold Company.

Siegel, Sidney. 19997. Statistik Non Parametric untuk ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

(33)

82 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Heryawan, Ahmad. 2007. Sekolah Luar Biasa Provinsi Jawa Barat. (online).

(http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=1900.0, diakses 24 Agustus 2010)

Muhammad. 2009. Faktor Penentu Keberhasilan Anak-Anak Berkebutuhan Khusus.

(online). (http://www.klikgalamedia.com , diakses 24 Agustus 2010)

Muhardyan, Candra. 2010. Studi Deskriptif mengenai Derajat Stress dan Strategi

Penanggulangan Stress yang Dilakukan Guru SLB B dan SLB C Al Mu’min

Majalaya. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran.

Ruslan, Irmansyah. 2005. Tepatkah Kurikulum yang Berlaku di Sekolah Luar Biasa

di Indonesia. (online). ( http://www.pos-kupang.com, diakses 12 September

2010)

Sri, Astana. 2009. Peranan Guru Dalam Dunia Pendidikan Anak-Anak Berkebutuhan

Khusus. (online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Guru, diakses 9 September

2010)

Universitas Guna Darma. 2010. Suatu Penelitian Mengenai Peran Guru Dalam

Pendidikan Sekolah Luar Biasa. (online).

(http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2010/Artik

Referensi

Dokumen terkait

Diagram diatas menjelaskan pada saat pemain menjalankan ap likasi GameLoader akan memanggil GameEngine, Game Engine berfungsi untuk menginisialisasi game object , yang ada

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Kendari Tahun.. 2013 -

berhubungan dengan pembukaan rahasia nasabah bank oleh OJK.. dalam hal pemeriksaan perpajakan melalui aplikasi elektronik. berdasarkan POJK No.25/pojk.03/2015.

Berdasarkan data pada tabel 6 dapat diketahui bahwa secara umum skor aspek strategi pembelajaran diktat berada pada kategori baik. Aspek yang tergolong sangat baik adalah

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Adalah Kegiatan Intrakurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa program kependidikan Universitas Negeri Semarang. Kegiatan dalam

Dokumen rekam medis rawat inap yang telah pulang rawat inap diisi secara lengkap, benar dan jelas oleh tenaga medis, para medis atau tenaga kesehatan lainnya pada saat

Linear regressions of the observed and predicted values of haemolymph osmolality on mass corrected water content during the desiccation period, for both the fresh water and

Pada tugas akhir ini, kajian dibatasi hanya untuk dan Dalam kajian ini, akan ditunjukkan bahwa terdapat 3 graf-(5,6) yang mempunyai pelabelan vertex-graceful dan juga