• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Lahatol: studi tentang pelaksanaan budaya Lahatol di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku T2 752009013 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Lahatol: studi tentang pelaksanaan budaya Lahatol di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku T2 752009013 BAB IV"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

48 BAB IV

ANALISIS LAHATOL SEBAGAI NILAI PEREKAT SOLIDARITAS MASYARAKAT HARIA

Dalam bab ini peneliti coba mengkostruksikan praktek Lahatol oleh masyarakat

adat Haria sebagai sebuah bentuk nilai yang mengeratkan solidaritas masyarakat

setempat. Untuk kepentingan itu, bagian ini akan dianalisis dalam dua bagian, yakni:

Lahatol sebagai bentuk pertukaran sosial; dan lahatol sebagai nilai perekat solidaritas:

Sebuah refleksi teologis. Sebagai alat analisisnya, digunakan teori pertukaran sosial

dari Peter Blau.

4.1. Lahatol sebagai Bentuk Pertukaran Sosial

Berdasarkan deskripsi Lahatol yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya,

maka lahatol perlu dimaknai sebagai formulasi kearifan yang bertujuan

mempertahankan kekerabatan keluarga yang diikat berdasarkan garis keturunan atau

hubungan darah. Nilai dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai sebuah konsepsi

eksplisit atau implisit, yang khas dimiliki seorang individu atau kelompok, tentang

yang seharusnya diinginkan yang memenuhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk,

cara-cara dan tujuan-tujuan tindakan. Lahatol dalam prakteknya merupakan sebuah

pertukaran sosial yang didasarkan pada asas resiprositas.

Resiprositas dalam konteks analisis ini dimaknai sebagai suatu bentuk

pertukaran barang dan jasa yang nilainya dianggap sama oleh keduabelah pihak.

Artinya pihak yang memiliki “acara” mengharapkan sesuatu bantuan (expected reward)

dari keluarga-keluarganya yang hadir dalam pertemuan tersebut. Sedangkan keluarga

yang diundang dan hadir dalam pertemuan itu juga memiliki harapan (expected) yang

sama bahwa pemberian bantuan (cost) yang ditanggung nantinya pada waktu tertentu

(2)

49

memang memberi ruang fair exchange. Jadi model pertukaran seperti ini sebenarnya

bermakna investasi, baik investasi ekonomi maupun investasi jasa. Sebab expected

reward keluarga yang memberikan bantuan itu tampak berupa kepercayaan terhadap

nilai lahatol bahwa cost yang telah dikeluarkan nanti akan kembali pada waktu tertentu.

Masalahnya adalah apakah harapan atas dasar kepercayaan itu selalu terpenuhi

nantinya? Tentu, sebab mekanisme lahatol menjamin keterpenuhan expected reward

dengan sistem not, yang diartikan sebagai sistem pencatatan barang dan jasa yang

“dibayarkan” atau ditanggung oleh keluarga. Polanya adalah catatan (nota) akan

disimpan oleh orang yang dipercaya keluarga untuk melakukan fungsi pencatatan

tersebut.1 Kemudian pada saat lahatol berikutnya, sang pencatat (not) akan menjelaskan

hasil catatannya kepada keluarga, dan berdasarkan hasil pencatatan inilah

tanggungjawab atau kewajiban-kewajiban keluarga-keluarga akan ditetapkan dalam

bentuk pemberian barang dan jasa. Dalam konteks inilah fair exchange bermakna

dalam sistem lahatol, dan not yang merupakan aspek penting dalam lahatol dapat

dimaknai sebagai norma bersama.

Menurut Peter M. Blau, manifestasi paling dramatis tentang perlunya norma

sosial ditemukan dalam berbagai situasi sosial dimana kepentingan semua pihak, tidak

hanya sebagian, perlu dilindungi dengan norma sosial karena pengejaran kepentingan

pribadi tanpa batasan-batasan normatif dapat mengalahkan kepentingan pribadi dari

pihak lain yang terlibat dan akan mengarah ke konflik. Dalam perspektif seperti ini,

maka not yang merupakan aspek penting dalam lahatol perlu dimaknai sebagai norma

bersama yang melindungi kepentingan kelurga dalam satu matarumah. Norma dengan

(3)

50

demikian dimaknai sebagai aturan mendorong sekaligus membatasi tindakan setiap

rumah tangga, keluarga bahkan setiap individu untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu.

Pertanyaannya mengapa norma bersama dalam bentuk not ini perlu ada, jika

kegiatan (lahatol) yang dilakukan dasarnya adalah hubungan kekerabatan atau hubngan

darah? Bukankan yang namanya keluarga sudah seharusnya saling membantu?

Konfirmasi konseptual dan teoritis pada pemikiran Petter Blau tentang pertukaran,

menunjukan adanya konsep fair exchange atau pertukaran yang adil. Artinya bahwa

sebagai manusia tentu masing-masing orang atau bahkan kelompok (rumah tangga)

memiliki kepentingan-kepentingan lain dalam diri dan kelompok, yang terkadang

bertujuan mementingkan diri sendiri, karena itu, untuk menekan kepentingan pribadi itu

diperlukan not. Dalam pemahaman seperti inilah not perlu ditempatkan norma yang

pada satu sisi membatasi perilaku atau tindakan setiap orang dan di sisi lain juga

mendorong agar orang berprilaku atau bertindak.

Masyarakat Haria tentu tidak mengenal Peter M. Blau, apalagi teorinya. Namun

dalam praktek budaya lahatol pemikiran tokoh ini terkonfirmasi, dan bisa dikatakan

bahwa lahatol telah lebih dulu dipraktekan sebelum Blau berteori. Mereka

(masyarakat) Haria membutuhkan norma bersama (not) agar sistem saling-tolong ini

dapat terlaksana secara adil dan bertanggungjawab. Karena itu, lahatol bukan soal siapa

yang untung (beruntung) dan siapa yang rugi (buntung). Lahatol adalah praktek hidup

yang mengharuskan semua saling memberi dan menerima, dan agar terlaksana dengan

baik, maka diperlukan “bukti” dalam bentuk pencatatan (not). Artinya dalam sistem

lahatol tidak ada satu rumah tangga–pun yang lepas dari kewajiban dan haknya.

Argumentasi ini menunjukan bahwa yang diutamakan dalam tatanan hidup

(4)

51

rumah tangga memiliki kewajiban untuk membantu yang lain, jadi kewajiban lebih

diutamakan kemudian hak. Artinya setiap orang harus lebih dulu memenuhi

kewajibannya dalam membantu yang lain barulah kemudia mendapatkan hak untuk

dibantu oleh yang orang lain. Pola ini dapat dikonstruksikan sebagai seorang ayah

berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya kemudian pada sisi yang lain si ayah

akan menerima hak kepatuhan anggota keluarga kepada dirinya.

Dengan kata lain, lahatol dapat dimaknai sebagai kewajiban memberi sesuatu

barang atau jasa kepada orang lain yang membutuhkan. Jadi dalam lahatol hak

dikesampingkan, sebab hak berkaitan dengan pilihan untuk memberi atau tidak

memberi, lahatol menuntut kewajiban memberi yang harus dipenuhi, minimal

pemberian dalam bentuk tenaga (kerja), atau dengan kata lain pemberian dengan suka

rela, tanpa paksaan. Namun konsensus nilai (lahatol) itu sendiri bersifat “memaksa”

atau “mengikat” kewajiban-kewajiban setiap orang. Dasar pikirnya adalah bahwa

membantu saudara adalah sama saja dengan membantu diri sendiri, apalagi lahatol

memberi ruang bagi “pengembalian tertunda” atas dasar kewajiban-kewajiban yang

harus dipenuhi oleh setiap rumah tangga atau keluarga.

Not atau sistem pencatatan pemberian tidak hanya berlaku bagi

keluarga-keluarga yang hadir dalam pertemuan tersebut, jika terjadi sebuah acara atau kegiatan,

pihak keluarga diberi hak untuk mengundang semua keluarga (matarumahnya), dan

mereka memiliki kewajiban untuk hadir dalam rapat keluarga tersebut, ketidak-hadiran

salah satu keluarga (rumah tangga) biasanya sudah disertai alasan dan keputusan akan

menanggung apa; atau sekalipun ada keluarga yang tidak hadir, maka Upu diberi

kewenangan untuk mendatangi rumah yang bersangkutan dan kemudian

(5)

52

Ketika hari pelaksanaan, semua anggota keluarag dalam satu matarumah akan

berkumpul dan mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama, atau perwakilan dari

setiap keluarga akan hadir untuk membantu. Misalnya lahatol “membangun rumah”,

maka pada hari pelaksanaan pembangunan, perwakilan dari setiap rumah tangga akan

hadir untuk mengerjakan, baik yang perempuan maupun laki laki. Perempuan akan

melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan masak-memasak, dan laki laki akan

melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan rumah. Tentu bantuan

bahan (material) telah lebih dulu terkumpul sebelum hari pembangunan itu ditentukan.

Itulah fungsi rapat kelurga diadakan untuk membagi tugas, membagi tanggungan dan

mengumpulkan tanggungan.

Dalam proses pembangunan ini, soal makan “para pekerja” akan “ditanggung”

oleh keluarga yang rumahnya dibangun. Tanggungan ini-pun sebenarnya telah

terbantukan sejak sebelum rumah dibangun dengan sistem lahatol itu, sebab dalam

rapat keluarga, pemberian bantuan oleh keluarga sudah pasti memenuhi unsur sandang,

pangan, dan papan. Proses pekerjaan, misalnya pembangunan rumah itu akan dilakukan

secara bersama-sama dalam suasana kekeluargaan, jadi, jika mencermati lebih

mendalam, tujuan lahatol adalah bukan saja soal tolong-menolong “orang saudara”,

tetapi lebih pada upaya terus mengeratkan kerukunan dan kekeluargaan pada satu

matarumah sekaligus sebagai pola pewarisan silsilah keluarga, sebab dalam lahatol

silsilah keluarga juga akan diceritakan. Di sini, kepentingan individu tergantikan oleh

(6)

53

Walaupun sistem kerja sama atas dasar kekeluargaan (hubungan darah) ini

dianggap sangat baik, namun dalam prakteknya lahatol tidak lagi dilakukan seperti

masa leluhur mereka.2 Ketua Majelis Jemaat GPM Haria mengatakan bahwa:

Kegiatan lahatol kalau mau dikaji lebih dalam sebenarnya tidak hanya bertujuan mengeratkan kekeluargaan dalam bentuk hubungan darah, tapi lebih dari ini memberikan spirt positif bagi tatanan sosial secara umum, sebab pola tolong-menolong itu pada akhirnya memciptakan tertib sosial. Sayangnya, akhir-akhir ini lahatol sudah mulai jarang dilakukan, hal ini diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya: akibat modernisasi, dan perkembangan ekonomi keluarga, artinya keluarga yang secara ekonomi sudah mampu tidak lagi mengharapkan bantuan secara ekonomi dari keluarga yang lain, bahkan bantuan jasa juga kadang-kadang tidak, dia mengerjakan sendiri dan menggunakan tenaga juga tukang yang dibayar untuk mengerjakan perkerjaannya, misalnya dalam membangun rumah, karena itu, pola membayar tenaga kerja ini menciderai lahatol.3

Sungguh disayangkan jika nantinya budaya lahatol ini hilang ditelan

perkembangan zaman. Disayangkan sebab lahatol bukan saja sistem tolong-menolong

bisa namun juga mencakup kepentingan lebih besar, yakni, pewarisan silsilah keluarga.

Dalam lahatol, Upu akan mengisahkan silsilah keluarga, saling memperkenalkan yang

muda kepada yang tua, dan menjelaskan garis keturunan; dalam lahatol pula tujuan

perwujudan harmoni sosial atau solidaritas sosial dalam arti yang lebih luas akan

diwujudkan, sebab diandaikan bahwa jika tatanan sosial mikro dan mezo hidup dalam

situasi kekelurgaan yang toleran, maka tatanan sosial makro akan dengan sendirinya

terwujud sebagai tatanan yang solider, harmonis, dan toleran pula.

4.2. Lahatol Sebagai Nilai Perekat Solidaritas Sosial: Sebuah Refleksi Teologis

Berdasarkan analisis di atas, lahatol dapat diformulasikan sebagai: sistem saling

membantu atau tolong-menolong dan saling melayani di antara sesama keluarga demi

2 Wawancara dengan Kel. Pelamonia, Kel Souhoka, Kel. Polnaya, Tgl 17 Desember 2011, Kel. Patileamonia, Kel. Loupatty, Tgl 19 Desember 2011, Kel. Mataheru, Tgl 20 Desember 2011, dan Pdt. S. Matulapelwa, S.Th (Ketua Majelis GPM Haria) Tgl 31 Desember 2011. Masing-masing di tempat tinggal mereka.

(7)

54

terwujudnya persekutuan hidup yang dapat mempererat dan memperkokoh ikatan orang

basudara yang merupakan warisan leluhur. Dalam prakteknya, nilai-nilai seperti:

kerjasama, tolong-menolong atau melayani, persekutuan atau kekeluargaan dan nilai

tanggungjawab sosial merupakan bagian yang menyatu dalam sistem lahatol.

Nilai-nilai seperti ini tentu tidak bisa direduksi sebatas satu matarumah saja, nilai-nilai ini

bersifat universal yang ada pada hampir komunitas masyarakat.

Dengan pemahaman seperti itu, maka kepentingan untuk mengangkat praktek

lahatol pada level yang lebih tinggi menjadi bermakna, misalnya pelaksanaan lahatol

pada level Soa, level rumpun (Uku Toru dan Rumu Toru) atau bahkan pada level negeri

menjadi relevan. Nilai-nilai yang mendasarasinya memberi ruang untuk itu dan tidak

harus selalu “dimonopoli” pelaksanaannya pada level matarumah. Upaya ini memang

tentu bukan upaya mudah, dibutuhkan kesadaran dan komitmen dari tua-tua adat dan

pemerintah minimal pemerintah negeri memikirkan dan mendorong nilai bersama

(lahatol) pada level yang lain, agar solidaritas sosial atau harmoni sosial setidaknya

dapat diwujudkan dalam praktek nilai budaya lokal.

Mencermati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, lahatol dapat saja

dikonstruksi sebagai nilai kebaikan bersama (etika publik) bagi orang Maluku, minimal

bagi orang Haria. Dengan komitmen untuk (setidaknya) dapat berkonsensus tentang hal

ini, diharapkan budaya lahatol tidak akan hilang ditelan zaman modernisasi, tetapi akan

tetap hidup sebagai “arahan” perilaku bagi masyarakat Haria mewujudkan harmoni

sosial.

Budaya dipahami sebagai keseluruhan dari semua yang timbul secara spontan

guna kemajuan kehidupan material dan sebagai suatu ekspresi dari kehidupan spiritual

(8)

55

selain dari masuknya modernisasi yang diakibatkan oleh kurangnya pemahaman

masyarakat Haria tentang pentingnya budaya lahatol itu sendiri bahkan faktor ekonomi

masyarakat Haria yang sudah semakin membaik ditambah lagi dengan sifat ego yang

semakin tinggi padahal lahatol adalah suatu usaha menciptakan kembali suatu

persekutuan atau komunitas4 yang saling merasakan beban orang lain.

Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa manusia diciptakan ke dalam

persekutuan manusia yang sepenuhnya bila ia hidup dalam persekutuan yaitu apabila ia

mempunyai relasi dengan sesama. Dalam konteks masyarakat Haria, relasi dengan

sesama itu telah dengan sadar “digerakan” oleh budaya lahatol yang dalam prakteknya

masih sebatas matarumah, dengan demikian, maka konstruksi lahatol sebagai nilai

kebaikan bersama yang mendasari relasi sosial menjadi sangat relevan. Tidak hanya

relasi sesama dalam pengertian suku atau etnis, namun dapat juga mencakup relasi

sesama dalam beragama.

Dikatakan demikian, sebab membangun relasi bersama antar umut beragama

akan menjadi sulit jika didasarkan pada kepercayaan dan doktrin yang dianut, relasi

antar umut beragama hanya akan berlaku dengan baik bila yang mendasarinya adalah

nilai bersama, salah satunya lahatol itu. Lahatol membuka ruang bagi kerjasama,

tolong-menolong, saling melayani, dan tanggungjawab sosial. Nilai-nilai ini tentu juga

diajarkan oleh semua agama, namun jika relasi antar umat beragama ditekankan pada

perspektif agama juga, sejarah membuktikan bahkan fakta itu pernah terjadi di Maluku

bahwa relasi seperti ini cukup berpotensi perpecahan.

Dengan dasar pemahaman persekutuan manusia dapat mengembangkan

kebudayaan untuk kehidupan bersama sebab tidak ada kebudayaan yang individual dan

(9)

56

tidak ada manusia yang hidup bagi dan dengan dirinya sendiri. Setiap kebudayaan

dikembangkan berdasarkan keyakinan yang menjadi motivasi dan sekaligus tujuan dari

persekutuan yang bersangkutan.5 Persekutuan harus merupakan medan atau lingkungan

hidup dan panggilan, yang saling memperkuat dan memperkaya satu sama lain.

Mencermati praktek lahatol oleh masyarakat Haria, maka nilai-nilai universal yang

dapat dikonstruksikan sebagai kebaikan bersama, antara lain: kekeluargaan, kerjasama

dan saling melayani yang bertujuan mewujudkan harmoni sosial.

Kekelurgaan dalam perspektif antropologi merupakan satu jenis kelompok

kekerabatan, atau kingroup. Antara anggota keluarga terjalin hubungan kekerabatan

(kinship). Karena dalam kehidupan tradisional pedesaan, masyarakat desa atau negeri

dikenal sebagai sebuah kelompok kekerabatan, sebagai sebuah keluarga besar, atau

semua warga desa, secara ideal merasa berkerabat satu sama yang lain6. Dengan

demikian, persekutuan kekerabatan bukan sekedar membina relasi yang harmonis dan

kompak saja tetapi membina persekutuan berarti makna partisipasi atau ambil bagian

dalam sesuatu hal yang satu dan sama sehingga persekutuan menjadi sebuah hasil dari

tindakan partisipasi dalam sesuatu yang satu dan sama-sama.

Hal senada juga dikemukakan oleh Meyer Fortes tentang the axiom of amity,

yakni, hukum pertemanan, atau prinsip solidaritas, atau nilai kesetiakawan dan lainnya,

yang lebih lanjut dimaknai sebagai hukum pertemanan, prinsip solidaritas, saling bantu,

saling merasakan, saling melayani, saling mengasihi merupakan inti dari hubungan

kekeluargaan7. Dan, esensi itu tampak dalam praktek lahatol di negeri Haria.

5 Th Kobong. Iman dan Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 17 6Amir Marsali, Antropologi dan Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Kencana. 2005), 159-60.

(10)

57

Sedangkan kerjasama dalam perspektif lahatol dimaknai sebagai proses

partisipasi dalam memadukan kelebihan dan kekurangan sehingga terjalin

kesempurnaan yang diharapkan bersama. Kerjasama untuk saling mengisi kekurangan

dan keterbatasan yang dimiliki, sedangkan kelebihan-kelebihan yang ada menjadi

modal dasar untuk mengembangkan diri, setiap keluarga saling memberdayakan dan

mengembangkan kapasitas baik kapasitas keluarga inti maupun kapasitas kelembagaan

kekeluargaan, atas dasar prinsip saling memiliki.

Selanjutnya nilai saling melayani merupakan nilai utama sebagai perekat

seluruh proses ber-lahatol. Saling melayani tidak saja bermana sosial budaya namun

juga bermakna religius. Aspek religiusitas lahatol adalah nilai pengikat persaudaraan

yang melewati sekat-sekat suku, agama dan ras, karena setiap orang merasa setara

dalam lahatol. Tidak ada yang ditinggikan sebagai tuan, dan tidak ada yang

diperhamba. Dalam lahatol, semua orang saling memberi, saling menerima, mengasihi

menjaga, saling bekerjasama, dan saling melayani.

Praktek lahatol sebagai wujud persekutuan dan persaudaraan inilah yang

mampu menawarkan “air sejuk” bagi kehidupan masyarakat. Yesus Kristus hadir

dengan KASIH yang memang menawarkan kesamaderajadan bagi setiap umat manusia

untuk saling bisa bekerjasama, mengasihi, dan melayani atas dasar kasih. Hidup adalah

pengabdian bagi orang yang memerlukan pelayanan sukacita mereka adalah sukacita

bersama, dukacita dan air mata adalah dukacita bersama. Yesus pun mengajarkan hal

yang sama dalam Roma 12:15 "bersukacitalah dengan orang yang bersukacita dan

menangislah dengan orang yang menangis". Semangat pelayanan kepada orang lain

mestinya terbuka dari hati, mencintai atau mengasihi orang lain, tidak mencari

(11)

58

Berdasarkan pemaknaan (rasionalisasi) tentang nilai-nilai yang terkandung

dalam lahatol, maka refleksi teologis atasnya perlu ditempatkan dalam konteks

pelayanan. Hal demikian dikarenakan lahatol mengandung nilai-nilai: kerjasama,

kejujuran, saling menghargai, dan tanggungjawab. Dengan demikian maka lahatol

sebagai sebuah nilai relevan untuk model pelayanan seperti itu, pelayanan yang

didasarkan atas kasih, seperti yang telah diuraikan di atas, pelayanan yang

menempatkan setiap orang sebagai saudara bagi yang lainnya. Dalam konteks seperti

ini, lahatol perlu diapresiasi dan “didorong” untuk menjadi nilai bersama dalam

pelayanan, maupun dalam tatanan kehidupan yang lebih luas, misalnya pada level Soa,

rumpun, atau dengan kata lain pada level desa, dan tidak terbatas pada level

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pelaksanaan Kualifikasi Seleksi Umum Penyedia Jasa Konsultansi, Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM Tahun Anggaran 2012 untuk pekerjaan “ REPROGRAFI

Zalco Pratama Gugur Tidak memasukkan dokumen kualifikasi 32 PT Windya Karsa Konsultan Gugur Tidak memasukkan dokumen kualifikasi.

Sehubungan dengan pelelangan pekerjaan paket tersebut diatas, maka Pokja memerlukan klarifikasi dan verifikasi terhadap Dokumen Penawaran dan Kualifikasi saudara

Kepada para peserta Pelelangan diucapkan Terimakasih telah ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan pelelangan ini dan Selanjutnya Dapat Mengambil jaminan

menetapkan Pemenang Lelang untuk pekerjaan di atas melalui surat Penetapan Pemenang Lelang Nomor : 0B/KK-IV/ DISDIK-TLabakl/2012, tanggal 3luli 2012, yaitu :. Nama

Kecukupan gizi untuk pelabelan produk makanan yang dikemas disebut dengan. acuan label

[r]

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen Diperiksa oleh : tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik1. Universitas