• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Konflik Keluarga-Pekerjaan, Dalam Domain atau Antar Domain.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinan Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Konflik Keluarga-Pekerjaan, Dalam Domain atau Antar Domain."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

“DETERMINAN KONFLIK

PEKERJAAN-KELUARGA DAN KONFLIK PEKERJAAN-

KELUARGA-PEKERJAAN:

DALAM DOMAIN ATAU ANTAR DOMAIN?”

OLEH:

I GUSTI AYU MANUATI DEWI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat asung kerta wara nugrahaNya, penelitian yang berjudul “Determinan Konflik Pekerjaan-Keluarga: Dalam Domain atau Antar Domain”? ini dapat deselesaikan dalam waktu yang ditargetkan. Penelitian ini dilakukan terkait dengan Mata Kuliah Perilaku Keorganisasian, khusunya mengenai konflik peran. Konflik peran menjadi subjek penelitian yang mengemuka dewasa ini, khusunya yang dialami oleh pasangan bekerja. Hal ini karena individu yang mengalami konflik peran kemungkinan besar akan mengalami gangguan dalam upaya pencapaian kinerja di tempat kerja maupun dalam kehidupan keluarganya.

Kami menyadari bahwa penelitian ini perlu disempurnakan demi mnghasilkan penelitian yang lebih baik. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Perilaku Keorganisasian.

(3)

Daftar Isi

Judul ...i

Kata Pengantar ...ii

Daftar Isi...iii

Daftar Tabel & Gambar ...v

Abstrak ...vi

Abstact...vii

BAB I. PENDAHULUAN ...1

1.1. ...Lat ar Belakang ...1

1.1.1. Tanggung jawab perean domestik dan publik ...8

1.1.2. Teori-teori yang relevan...10

1.2. ...Tuj uan Penelitian ...13

BAB II. LANDASAN KONSEPTUAL DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS...15

2.1. Tipe Konflik Peran ...15

2.2. Anteseden Konflik Peran...20

2.3. Karakteristik Peran Pekerjaan...20

2.4. Karakteristik Peran Keluarga...26

BAB III. METODE PENELITIAN ...32

3.1. Pendahuluan ...32

3.2. Latar Penelitian ...33

3.3. Populasi dan Sampel...33

3.4. Penyebaran dan Respon Kuesioner ...35

3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...39

(4)

3.5.2. Konflik keluarga-pekerjaan...40

3.5.3. Otonomi kerja...40

3.5.4. Keterlibatan dalam pekerjaan...41

3.5.5. Komitmen waktu terhadap pekerjaan...41

3.5.6. Keterlibatan dalam keluarga...41

3.5.7. Komitmen waktu terhadap keluarga ...42

3.5.8. Dukungan pasangan ...42

3.6. Penilaian Instrumen Penelitian ...43

3.7. Teknik dan Analisis Data ...43

BAB IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN...45

4.1. Hasil Analisis dan Pembahasan ...45

4.1.1.Analisis deskreiptif...45

4.1.2. Hasil analisis inferensial ...52

4.1.3. Hasil analisis regresi linier berganda ...54

BAB V. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI HASIL PENELITIAN ...58

5.1. Simpulan Penelitian ...58

5.2. Keterbatasan Penelitian ...59

5.3. Imiplikasi Hasil Penelitian...60

DAFTAR REFERENSI ...62

LAMPIRAN ...67

LAMPIRAN 1 Nama-nama dan Definisi Konseptual Teori yang Digunakan Sebagai Pedoman dalam Studi/kajian Terkait dengan Konflik Peran...67

(5)

Daftar Tabel

Tabel 3.1. Distribusi Lokasi Penyebaran Kuesioner menurut Institusi ...36

Tabel 3.2. Distribusi Responden menurut Kecamatan di Kota Denpasar ...39

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Istri dan Suami Menurut Umur, Tingkat Pendidikan, Sektor Pekerjaan, Jenis Pekerjaan, dan Masa Kerja (n istri=188, n suami=188)...46

Tabel 4.2. Prevalensi KPK dan KKP (n=376)...49

Tabel 4.3. Korelasi Antara KPK dan KKP (n=376) ...49

Tabel 4.4. Pengaruh Imbas Antara KPK dan KKP ...50

Tabel 4.5. Perbandingan antara Suami dan Istri Menurut Tipe Konflik Peran ...51

Tabel 4.6. Hasil Uji Validitas Instrumen ...53

Tabel 4.7. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ...53

Table 4.8. The Impact of Work Role and Family Role Determinants on WFC and FWC. ...55

(6)

ABSTRAK

Studi yang disajikan secara spesifik bertujuan untuk menguji apakah determinan dari dua jenis konflik peran yaitu konflik pekerjaan-keluarga (KPK) dan konflik keluarga-pekerjaan (KKP) bersifat dalam domain atau antar domain. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan bekerja di Kota denpasar. Sampel dalam studiiniadalah 188 pasangan bekerja atau 376 orang yang bekerja di sektor formal di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Metode pengambilan sampel adalah purposive sampling. Metode pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada responden pasangan bekerja yang terpilih di empat kecamatan di kota Denpasar, yaitu Kecamatan Denpasar Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Teknik Analisis yang diterapkan adalah Regresi Linier Berganda. Hasil studi menunjukkan bahwa anteseden KPK dan KKP bersifat antar domain yaitu determinan KPK berasal dari karakteristik peran keluarga, sedangkan faktor-faktor yang berkontribusi pada variasi KKP bersumber dari karakteristik peran pekerjaan. Dari tiga determinan peran pekerjaan, keterlibatan dalam pekerjaan muncul sebagai determinan KKP yang paling penting. Di lain pihak, komitmen waktu untuk keluarga tampak sebagai kontibutor yang dominan terhadap prevalensi KPK. Implikasi studi menunjukkan bahwa untuk menyeimbangkan peran pekerjaan dan keluarga, individu harus mempertimbangkan baik faktor-faktor yang berasal dari peran pekerjaan maupun keluarga. Arah untuk riset selanjutnya, juga didiskusikan.

(7)

ABSTRACT

The study reported here attempted to specifically examine whether the determinant of two types of role conflict, i.e., work-family conflict (WFC) and family-work conflict (FWC) is within-domain or cross-domain. The population of this study was all dual-earner couples in Denpasar City-Bali Province. Sample of this research is 188 dual-earner couples or 376 individuals working in formal sector in Denpasar City, Bali Province. Sampling method implemented was purposive sampling. Data were collected trhough distribution of questionnaire chosen in four municipalities that are Nort Denpasar, South Denpasar, East Denpasar, and West Denpasar. Analysis Technique used was Multiple Regression Analysis.The results show that antecedent of WFC and FWC is cross-domain in nature i.e., antecedent of WFC come from family cross-domain and antecedent of FWC come from work domain. From the three work role characteristics, job involvement emerges as dominant FWC precursor. Whereas, time commitment to family occurs as the strongest variable affects WFC. The findings imply that for balancing work and family roles, individual have to be considered both work role and family role factors. Direction for future research is discussed.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anggota pasangan bekerja, baik sebagai orang tua atau pasangan hidup,

menghadapi kehidupan yang kompleks. Mereka harus memenuhi tanggung jawab

berkaitan dengan domain pekerjaan dan keluarga. Sayangnya, realisasi tugas-tugas

dan kewajiban pada dua domain kehidupan ini seringkali tidak harmonis atau

bahkan bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, integrasi pelaksanaan tugas

dan tanggung jawab peran pekerjaan dan keluarga harus diupayakan guna mencapai

kinerja yang optimal di kedua domain. Akan tetapi, upaya ini sangat sulit dilakukan

karena penunaian tugas dan tanggung jawab kedua peran kehidupan ini cenderung

bersifat bertentangan satu sama lain (incompatibility). Konsekuensinya, akan timbul konflik antar peran (interrole conflict) yang sering disebut konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict/WFC). Studi ini mengacu pada pendapat O’Driscoll dan Humphries (1994) yang mengklasifikasi KPK sebagai

konflik/tekanan antar peran (interrole conflict/stress), khususnya yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga.

(9)

digunakan sebagai acuan utama dalam studi ini. Argumen kunci teori ini adalah

bahwa pengalaman pada satu domain kehidupan (misalnya, pekerjaan), cenderung

berimbas pada pengalaman pada domain yang lain (misalnya, keluarga) (Kinnunen

& Mauno, 2001). Pada dasarnya imbas ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu

imbas positif dan imbas negatif. Imbas positif akan tampak jika kepuasan yang

diperoleh dan energi yang dikeluarkan di tempat kerja, misalnya, menyebabkan

perasaan dan energi positif dalam tumah tangga. Sebaliknya, imbas negatif terjadi

jika masalah dan tekanan di tempat kerja, menyebabkan seseorang mengalami

kesulitan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab keluarga. Namun, sebagian

besar hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa pengalaman pekerjaan-keluarga

muncul sebagai proses imbas negatif. Hal ini disebabkan sebagain besar studi peran

ganda mengarah pada “kerugian” yang ditimbulkan dibandingkan “manfaat” yang

diperoleh (William & Alliger, 1994).

Selain Teori Imbas, berdasarkan kajian terhadap hasil-hasil studi empiris

terdapat sekitar 43 teori yang digunakan sebagai dasar untuk mengkaji riset tentang

konflik pekerjaan-keluarga (Dewi, 2013). Teori-teori tersebut dapat dilihat pada

lampiran.

Riset WFC diawali dengan diangkatnya isu konflik peran sebagai salah satu

sumber tekanan di tempat kerja. Kondisi ini diakibatkan oleh saling ketergantungan

peran pekerjaan dan keluarga, sehingga memecahkan mitos yang oleh Kanter

(10)

komponen pekerjaan dan keluarga ini bukanlah merupakan dua domain yang

terpisah, melainkan berhubungan, bahkan, secara rekursif (Lilly et al., 2006).

Akibatnya, terdapat dua tipe konflik peran antara pekerjaan dan keluarga yakni

Konflik Pekerjaan-Keluarga (KPK) dan Konflik Keluarga-Pekerjaan

(KKP).Konflik jenis pertama (KPK) terjadi jika waktu dan energi yang dicurahkan

untuk domain pekerjaan menyebabkan gangguan alokasi waktu dan energi untuk

keluarga. Sebaliknya, KKP dialami jika penunaian tanggung-jawab keluarga

menghambat penyelesaian tugas-tugas di tempat kerja ( Beauregard, 2006).

Riset- empiris menunjukkan bahwa determinan KPK dan KKP. Disebutkan

bahwa Secara umum, anteseden KPK dan KKP berasal dari domain keluarga dan

domain pekerjaan (Jennings & McDougald, 2007; Lilly et al. 2006; Luk & Shaffer,

2005). Secara spesifik, akibat dari hubungan rekursif antara KPK dengan KKP,

model yang dikembangkan oleh Frone (1992) menunjukkan bahwa dua jenis

konflik ini memiliki anteseden yang berbeda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa

anteseden KPK berasal dari karakteristik peran pekerjaan, sedangkan anteseden

KKP bersumber dari karakteristik peran keluarga. Hubungan ini disebut dengan

hubungan dalam domain (within domain). Di lain pihak, peneliti yang lain menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan bahwa hubungan antara kedua tipe

konflik ini dengan antesedennya, bersifat antar domain (cross domain), seperti misalnya Grandey et al., (2005) dan Greenhaus dan Powel (2006). Hal ini berarti

(11)

sedangkan KKP disebabkan oleh pemenuhan peran-peran yang berasal dari wilayah

pekerjaan.

Otonomi kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap

pekerjaan antara lain merupakan variabel-variabel bebas dari domain peran

pekerjaan yang dipandang dapat menjelaskan konflik yang terjadi antara pekerjaan

dan keluarga

(Parasuraman & Simmers, 2001). Sementara itu, keterlibatan dalam keluarga,

komitmen waktu terhadap keluarga, dukungan karir dan dukungan emosi dari

pasangan (suami atau istri) muncul sebagai determinan (prekusor) yang domain

keluarga.

Otonomi pekerjaan diprediksi berhubungan negatif dengan konflik peran.

Individu yang memiliki diskresi yang tinggi dalam pekerjaannya, cenderung

memiliki intensitas konflik peranyang lebih rendah dibandingkan mereka dengan

yang diberikan keleluasaan pekerjaan yang lebih rendah tingkatannya

(Grant-Vallone & Donaldson, 2001). Hal ini disebabkan adanya fleksibelitas jadual

pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang karena yang bersangkutan dapat menyusun

atau mengatur pemenuhan kewajibannya sendiri terhadap pekerjaan. Sebaliknya,

keterlibatan dalam pekerjaan dan komitmen terhadap pekerjaan diharapkan

berhubungan dengan pengalaman konflik. Semakin tinggi tingkat kedua elemen

(12)

peningkatan waktu dan energi yang yang didedikasikan dalam peran pekerjaan dan

keluarga.

Isu tentang penyeimbangan antar peran kehidupan menjadi penting untuk

dijadikan bahan kajian, karena pengalaman sehari-hari dalam pelaksanaan

berbagaiperan akan berdampak pada kehidupanindividual, khususnya yang

sudahberkeluarga, bekerja di luar rumah.Hal tersebutmenjadi semakin krusial

mengingat harmonisasi peran pada kedua domain yang bersangkutan,relatif sulit

untuk direalisasikan. Kegagalan upaya integrasi ini dapat berdampak pada

ketegangan atau tekanan baikdi tempat kerja, keluarga, maupun masyarakat, yang

pada gilirannya dapat menghambat pencapaian kinerja pada kedua

peran.Hambataninipadaakhirnyaakanberujungpadagangguanpencapaiankinerjaorga

nisasisecarakeseluruhan.

Studi-studi mengenai peran ganda dapat dikategorikan ke dalam dua

kelompokutama, yaitu azas manfaat dan biaya (Williams & Alliger, 1994).Menurut

azas manfaat, pelaksanaan peran ganda memungkinkan individual untuk mendapat

manfaat psikologis berupa perolehan status, gratifikasi ego, dan peningkatan rasa

percaya diri. Sementara itu, azas biaya mempostulasi bahwa pelaksanaan peran

ganda dapat menimbulkan biaya potensial berkaitan dengan akumulasi peran,

seperti ketegangan peran, gangguan psikologis, dan gangguan somatik.

Berdasarkanpenelusuranliteratur, nampak sebagian besar studi berada pada posisi

(13)

ditimbulkan, dibandingkan manfaat yang diperoleh. Dengan lain perkataan, peran

ganda cenderung dilukiskan sebagai sumber konflik bagi individual yang

menyandangnya. Konflik semacam ini disebut dengan konflik peran (interrole conflict), didefinisi sebagai konflik yang timbul antara berbagai peran kehidupan (Walls et al., 2001).

Dalam kehidupan orang dewasa, aspek pekerjaan dan nonpekerjaan

merupakan realisme dwi-tunggal yang saling terkait satu sama lain.Individual yang

bekerja dan berada dalam suatu ikatan perkawinan,mau tidak mauharus

mengupayakan perimbangan antara dua kepentingan tersebut, karena menurut Lo et

al. (2003), akhir-akhir ini, tekanan pekerjaan-keluarga diidentifikasi sebagai

masalah utama pekerja.

Data yang diterbitkan olehThe National Institute for Occupational Safety and Health juga mengidentifikasi KPK sebagai satu dari sepuluh sumber tekanan utamadi tempat kerja (Robbins, 2004).Kondisi inimenggambarkan bahwakonflik

peran merupakan aspek kehidupan yang perlu mendapat perhatian serius bukan saja

dari individual, melainkan juga dari organisasi yang mempekerjakan karyawan,

khususnyayang termasuk kategori pasangan bekerja.Masifnya keterlibatan

perempuan di pasarkerja, secara otomatis meningkatkan jumlah pasangan bekerja

dan menyebabkan semakin besarnya tekanan peran ganda, dengan konsekuensi

(14)

Studi tentang konflik peran sejatinya berakar dari studi klasik yangpertama

kali dilakukan oleh Khan dan kawan-kawanpadatahun 1964 (Grant-Valone&

Donaldson, 2001). Pada masa lalu, ketika karakteristik keluarga masih dicirikan

oleh dominasi suami sebagai pencari nafkah utama, konflik peran tidaklah

merupakan topik pembahasan yang semenarik sekarang. Dengan meningkatnya

jumlah keluarga pasangan bekerja,optimalisasi pemenuhan tuntutan antara peran

pekerjaan dan keluarga menjadi semakin sulit untuk diupayakan.Terlebih lagi

mengingat konflik yang bersumber dari ketidakseimbangan tuntutanantar domain

kehidupan ini merupakan suatu realitas dengan tingkat insiden yang relatif tinggi.

MengacupadahasilstudiGalinsky et al. (1993), Allen et al.(2000)menyatakan

bahwa sekitar 41 persen orang tua bekerja mengalami KPK, paling tidak pada

waktu-waktu tertentu. Seturut itu, survai terhadap 6.451 orang karyawan IBM

(International Business Machine), menunjukkanbahwa sekitar 50 persen responden melaporkan kesulitan dalam pencapaian keseimbangan pekerjaan-keluarga ( work-family balance)(Lambert et al., 2006a).Kondisi ini secara tidak langsung mencerminkanbahwa separuhdarijumlahkaryawan yang diteliti, mengalami konflik

peran.

Sepintas, tampak bahwa KPK dan keseimbangan pekerjaan-keluarga

bersifat paralel. Meskipun KPK dan keseimbangan pekerjaan-keluarga sama-sama

(15)

yang tinggi akan mencapai keseimbangan pekerjaan-keluarga dengan intensitas

yang rendah (Lambert et al., 2006a). Jika terjadi konflik peran,berarti terdapat

gangguan pada keseimbangan pekerjaan-keluarga (Burchielli, et al., 2008).Secara

konseptual, terdapat perbedaan mendasar antara kedua kondisi tersebut. Konflik

pekerjaan-keluarga merupakan salah satu bentuk konflik antar peran yang dicirikan

dengan ketidakcocokan antara tuntutan-tuntutan peran pekerjaan dan

keluarga,sedangkan keseimbangan pekerjaan-keluarga adalah suatu kondisi dengan

mana seseorang merasa puas terhadap baik peran keluarga maupun pekerjaannya

(Voydanoff, 2004a).

1.1.1. Tanggung jawab peran domestik dan publik

Riset KPK diawali dengan diangkatnya isu konflik peran sebagai salah satu

sumber tekanan atau ketegangan di tempat kerja. Kondisi ini diakibatkan oleh

saling ketergantungan antara peran pekerjaan dan keluarga, sehingga memecahkan

mitos yang oleh Kanter (1977) disebutsebagai‘myth of separate world’(Duxbury et al., 1992). Komponen rasional dan nonrasional ini tidak hanya berasosiasi, namun

juga memiliki hubungan yang bersifat rekursif (Lilly et al., 2006).

Isu ini menjadi semakin penting karena dua alasan.Pertama, hasil-hasil studi

empiris menunjukkan bahwa konflik yang bersumber dari dua wilayah kehidupan

ini dapat menyebabkan tekanan-tekanan lain, selainberdampak negatif pada

(16)

melalui temuan-temuan tentang hubungan konflik peran dan anteseden serta

konsekuensinya, diharapkan organisasi dapat merancang kegiatan intervensi

untukmembantukaryawandalampengelolaantuntutan-tuntutanperanganda.

Meningkatnya proporsi perempuan di pasar kerjayang ditunjukkan melalui

semakin tingginya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, secara otomatis

memperbesar jumlah keluarga pasangan bekerja bukan saja di negara-negara maju,

melainkan juga di negara-negara sedang berkembang. Di semua wilayah, kecuali

Timur Tengah dan Afrika Utara, paling tidak sepertiga angkatan kerjanya terdiri

dari perempuan (Heymann et al., 2004).

Proses pergerakan terjunnya perempuan ke pasar kerja disebut sebagai

revolusi sosial yang mendasar dalam kehidupan manusia(Shirley & Wallace, 2004).

Sejak tahun 1970, di Australia terjadi penurunan proporsi keluarga dengan suami

sebagai pencari nafkah tunggal dibarengi dengan kenaikan tingkat partisipasi

angkatan kerja perempuan hingga mencapai 53 persen pada tahun 2004 (Australian Bureau of Statistics, 2006)(dalam Burchielli et al., 2008).Kondisi serupa terjadi di Indonesia dengan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang jugasenantiasa

mengalami peningkatan, yaitudari 32,65% pada tahun 1980 menjadi 38,79%;

40,95%; 43,98%; 48,41%; dan 49,52%; dan 55,13% secara berturut-turut pada

tahun 1990, 1995, 2000, 2005,2007, dan 2011 (Badan Pusat Statistik, 1982; Badan

(17)

Badan Pusat Statistik, 2007a; Badan Pusat Statistik, 2007b; dan Badan Pusat

Statistik, 2012).

Tren dan perubahan struktur tenaga kerja ini merupakan faktor penting yang

menyebabkan isu konflik peran menjadi semakin krusial.Disamping berperan di

pasar kerja, keterlibatan dalam masyarakat juga merupakan peran publik yang

menjaditanggungjawab individual, khususnya yang sudah berkeluarga dan bekerja

di luar rumah. Tugasdan tanggung jawab sebagai anggota masyarakat yang

seringkali menuntut waktu serta energi tidak sedikit (terutama di negara-negara

Timur yang memiliki ikatan kekerabatan dan kemasyarakatanyang erat), akan

menimbulkan konflik peran yang lebih intensifdibandingkan jika seseorang hanya

mengemban peran pekerjaan dan keluarga.

1.1.2. Teori-teori yang relevan

Atas dasar studi-studi konseptual dan empiris yang dapat diakses, terdapat

43 teori yang digunakan sebagai acuanpada studi konflik peran (nama serta tinjauan

konseptual masing-masing teori dapat dilihat pada lampiran). Secara

umum,teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi perspektif konflik/argumen penipisan/

(18)

padatahun1960 menjelaskan bahwa waktu dan energi yang dimiliki manusia

terbatas jumlahnya, sedangkan hipotesis perluasan yang awal mulanya diajukan

oleh Marks (1977) menyebutkan bahwa waktu dan energi merupakan dua unsur

posesi manusia yang dapat dikembangkan jumlahnya (Hammer et al., 2005a).

Terdapat perbedaan yang mendasar antara perspektif konflik dan perspektif

peningkatan.Menurut Jennings dan McDougald (2007), perspektif konflik

didasarkan pada teori kelangkaan dan teori penipisansumberdaya yang menyatakan

bahwa akibat ketidakcocokanantara tuntutan pekerjaan dan keluarga, pengalaman

konflikdipersepsikan sebagai suatu hal yang problematik dan penuh tekanan.

Sementara itu, perspektif peningkatanmuncul dari riset-riset akumulasi peran

dengan postulasi bahwa peran ganda dapat bermanfaat melalui potensi terjadinya

aliran emosi, sikap, serta perilaku positif.

Hingga saat ini, belum tercapai suatu kesepakatan mengenai eksistensi

kedua perspektif tersebut. Tompson dan Werner (1997) (dalam Greenhaus &

Powell, 2006) menyatakan bahwa konflik dan peningkatanperan (fasilitasi peran)

merupakan titik-titik berlawanan dari satu kontinum yang sama (opposite ends of the same continuum). Selain itu, Grzywacs dan Butler (2005) juga mengajukan argumen bahwa fasilitasi peran bukan merupakan kebalikan bipolar konflik peran

karena faktor-faktor yang berkontribusi pada fasilitasi peran, tidak sama dengan

yang berkontribusi pada konflik peran. Artinya, jika seseorang mengalami konflik

(19)

itu, Wadsworth dan Owens (2007) mengajukan argumen bahwa keduanya bukan

merupakan titik-titik berlawanan dari satu kontinum (notopposite ends of the same continuum). Jadi, memungkinkan bagi individual untuk mengalami baik prevalensi konflik peran maupun fasilitasi peran yang tinggi secara bersamaan.

Jika diadakan perbandingan antara kedua perspektif yang dijadikan acuan

pada studi KPK, sebagian besar teori mengarah pada perspektif konflikyang

menggambarkan bahwa pengalaman dalam menjalankan peran ganda,cenderung

merugikan. Hasil-hasil studi empiris juga menunjukkan bahwa peran ganda lebih

banyak berdampak negatif dari pada bermanfaat bagi individual(Netemeyer et

al.,2005). Hal ini cenderung disebabkan oleh fasilitasi peran merupakan studi yang

masih berada pada tahap awal serta tampak kurang intiutif dibandingkan dengan

konflik peran (Wadsworth & Owens, 2007). Terhambatnya atau relatif lambatnya

perkembangan riset fasilitasi peran juga diakibatkan belum adanya teori yang kuat

sebagai acuan (Greenhaus & Powell, 2006). Hal ini diklarifikasi melalui laporan

dari berbagai organisasi dan publikasi bisnis yang menunjukkan bahwa terlepas

dari dukungan manajerial terbaik yang dapat disediakan oleh organisasi, tuntutan

keluarga dan rumah tangga karyawan akan berimbas pada kehidupan di tempat

kerja. Tampaknya, penguatan riset tentang fasilitasi peran di masa mendatang

(20)

Berdasarkan uraian pada latar belakang, serta dipandu oleh teorispillover, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Apakah otonomi pekerjaan berpengaruh negatif pada KPK dan KKP?

2. Apakah keterlibatan dalam pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan

KKP?

3. Apakah komitmen waktu terhadap pekerjaan berpengaruh positif pada KPK

dan KKP?

4. Apakah keterlibatan dalam pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan

KKP?

5. Apakah keterlibatan dalam keluarga berpengaruh positif terhadap KPK dan

KKP?

6. Apakah dukungan karir pasanganberpengaruh negatif pada KPK dan KKP?

7. Apakah dukungan emosional pasangan berpengaruh negatif pada KPK dan

KKP?

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuanuntukmenguji sifat hubungan antara karakteristik

peran pekerjaan dan keluarga dengan KPK dan KKP.Secara spesifik dapat

(21)

kedua tipe konfli peran ini dengan antesedennya bersifat dalam domain ( domain-specific) atau antar domain (cross domain). Serangkaian tujuan tersebut dicapai melalui beberapa pengujiansebagai berikut.

1. Pengaruh otonomi pekerjaan pada KPK dan KKP.

2. Pengaruh keterlibatan dalam pekerjaan pada KPK dan KKP.

3. Pengaruh komitmen waktu terhadap pekerjaan pada KPK dan KKP.

4. Pengaruh keterlibatan dalam pekerjaan pada KPK dan KKP.

5. Pengaruhketerlibatan dalam keluarga berpengaruh pada KPK dan KKP.

6. Pengaruh dukungan karir pasanganpada KPK dan KKP.

(22)

BAB II

LANDASAN KONSEPTUAL DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Tipe konflik peran

Pada awalnya, penelitian-penelitian yang mengangkat isu konflik peran

di antara domain kehidupan ini hanya mempertimbangkan aliran gangguan yang

berasal dari peran pekerjaan menuju peran keluarga (KPK). Seiring dengan

perkembangan dan perluasan kegiatan riset serta pengujian pada berbagai

konteks penelitian, ditemukan bahwa konstruk ini tidak berdimensi tunggal,

melainkan memiliki dimensi ganda. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan dua

tipe konflik peran yakni gangguan dari pekerjaan menuju keluarga yang disebut

dengan konflik pekerjaan-keluarga (KPK), serta gangguan dari keluarga ke

pekerjaan (KKP) (Martins et al., 2002; Yang et al., 2000).

Dalam kaitannya dengan pendekatan imbas negatif dan positif,

keduanya tidak hanya dapat terjadi dari pekerjaan menuju keluarga, namun

dapat juga bergerak dari keluarga ke arah pekerjaan (Grzywacs & Marks, 2000).

Dengan demikian, tipe konflik yang pada awalnya hanya dikelompokkan

menjadi KPK dan KKP, kemudian berkembang menjadi empat kategori

yaituKPK negatif, KKP negatif, KPK positif, dan KKP positif.

Dimensi KPK dan KKP dibedakan berdasarkan sumber gangguan. Di

satu pihak, KPK terjadi jika sumber gangguan berasal dari pekerjaan, dalam

artian peran pekerjaan menghambat pemenuhan kewajiban rumah tangga. Di

(23)

menghalangi kinerja di tempat kerja. Pada dasarnya, kedua tipe konflik ini

merupakan hal yang terpisah meskipun berhubungan satu dengan yang lain

(Boyar et al. 2003). Mengingat hubungan antara kedua konflik ini cenderung

bersifat resiprokal, idealnya, keduanya diuji secara simultan (Martins et al.,

2002).

Hasil studi kelompok peneliti terakhirmenggambarkan bahwa terdapat

hubungan resiprokal positif antara KPK dengan KKP. Dengan demikian,

berdasarkan teori imbas, akan terdapat hubungan positif antara kedua dimensi

konflik peran ini. Jika dilakukan perbandingan antar budaya, ternyata hubungan

resiprokal tersebuttidak bersifat spesifik untuk budaya tertentu. Aryee et al.

(1999) yang melakukan studi pada parakaryawan Amerika Serikat dan Hong

Kong, menemukan bahwa hubungan positif resiprokal antara KPK dengan KKP

terlihat bukan saja untuk kelompok sampel pertama, namun juga untuk yang

kedua.

Kontras dengan hasil pengujian yang memberikan konfirmasi terhadap

keterkaitan kedua tipe konflik ini, beberapa peneliti justru mengabaikan

hubungan antara KPK dengan KKP karena yang dipentingkan adalah sumber

konflik, bukan arah hubungan kedua konflik (Yang et al., 2000). Atas dasar

pemikiran ini, maka hanya KPK yang menjadi fokus penelitian (Allen et al.,

2000; Butler et al., 2005; Edwards & Rothbard, 2000; Judge & Colquit, 2004;

Mauno et al., 2006; Shaffer et al., 2001). Dasar pertimbangannya adalah karena

hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa dibandingkan dengan KKP, KPK

(24)

melalui kepuasan kerja, kepuasan karir, dan kepuasan keluarga (Martins et al.,

2002).

Tilikan terhadap perbedaan prevalensi KPK dan KKP semakin banyak

mendapat sorotan. Hasil-hasil riset konsisten dengan hasil studi Grandey et al.

(2005) dan Kirby et al. (2004) yang secara tipikal menunjukkan bahwa peran

pekerjaan berpengaruh lebih besar pada peran keluarga, dibandingkan

sebaliknya. Kondisi ini diduga terjadi karena responden menganggap bahwa

kegiatan-kegiatan nonpekerjaan tidak bertentangan dengan tanggung jawab

pekerjaan, sedangkan kewajiban pekerjaan seringkali mencampuri komitmen

dan minat pada peran nonpekerjaan. Konsekuensinya, prevalensi KPK

cenderung lebih tinggi dibandingkan KKP.

Kinnunen et al. (2004) melaporkan bahwa KPK tiga kali lebih sering

terjadi dibandingkan dengan KKP, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Penyebabnya adalah tuntutan-tuntutan pekerjaan lebih mudah dikuantifisir dari

pada tuntutan padaperan keluarga.Dikemukakan pula bahwapada kenyataannya,

evaluasi pekerja diwarnai oleh perasaan untuk menjadi seorang karyawan yang

baik, sehingga mereka memandang bahwa seharusnya tidak terlalu banyak

memikirkan urusan keluarga di tempat kerja karena dapat mengganggu

pencapaian prestasi kerja.

Menarik untuk disimak, sebagian besar laki-laki (suami) menyatakan

bahwa mereka menempatkan peran pekerjaan lebih penting dari pada tugas dan

tanggung jawab keluarga.Peran ganda perempuantampak nyata

(25)

berada di tangankaumistri. Disamping aktifsecaraekonomi, istri bertindak

sebagai nakhoda dalam rumah tangga. Suami dapat dengan leluasa bekerja di

luar rumah dan disebut sebagai “kepala rumah tangga yang baik” karena

mencurahkan banyak waktu untuk giat bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang

tidak giat bekerja atau sering mangkir di tempat kerja (terlebih karena alasan

keluarga), akan dinilai secara lebih negatif dari pada perempuan dalam kondisi

yang sama sebab dianggap melanggar harapan bahwa laki-laki diasumsikan

bertindak sebagai aktor utama dalam pengelolaan rumah tangga (Butler &

Skattebo, 2004). Dengan demikian, tidak menjadi masalah, bahkan diharapkan,

seorang laki-laki menghabiskan waktu kerja yang panjang di tempat kerja, tanpa

dianggap mengabaikan tanggung jawab dalam keluarga. Meski kondisi

kehidupan pekerjaan dan keluarga dewasa ini sudah dianggap tidak lagi bersifat

konvensional, peran gender yang dengan jelas memisahkan peran keluarga

berada pada pundak perempuan dan peran pekerjaan merupakan wilayah

kekuasaan kaum laki-laki, tampaknya masih berlaku.

Para perempuan melaporkan keberatannya karena pembagian (sharing)

dalam penanganan pekerjaan rumah tangga dirasakan tidak proporsional antara

suami-istri. Keadaan ini sesuai dengan pandangan Shirley dan Wallace (2004)

bahwa perempuan/istri menganggap kesetaraan atau keadilan dalam pembagian

tugas rumah tangga denganlaki-laki/suamimerupakan hal yang penting.Di Bali,

mungkin juga di wilayah lain, urusan rumah tangga lebih banyak dilimpahkan

pada istri, sedangkan suami hanya “ikut nimbrug” sekali-sekali jika dianggap

(26)

Choi dan Chao (2006), bahwa perempuan yang memiliki sub-identitas sebagai

istri, ibu rumah tangga, sekaligus penyedia jasa tenaga kerja, cenderung

menjadikan identitas-identitas ini sebagai beban. Alasannya, perempuan merasa

berhadapan dengan tuntutan keluarga yang lebih berat dibandingkan dengan

laki-laki, sehingga menganggapnya sebagai penyebab utama munculnya

tekanan dan konflik peran.

Pada dua dekade terakhir, para peneliti di bidang organisasional

menekankan pada isu-isu yang berhubungan dengan peran pekerjaan dan

cenderung mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga (Muchinky,

2003). Padahal, penelusuran terhadap hasil-hasil studi empiris memberikan

gambaran bahwa elemen keluarga juga dapat berkontribusi terhadap insiden dan

pengalaman konflik peran. Ini karena elemen-elemen pekerjaan lebih mudah

diatur oleh pihak manajemen dibandingkan dengan unsur-unsur keluarga

(Grund et al., 2010). Hasil studi Yang et al. (2000) menunjukkan

bahwaketerlibatan dalam keluarga berpengaruh positif terhadap konflik peran.

Selain itu, komitmen waktu terhadap pekerjaan cenderung memiliki hubungan

positif dengan KPK (Parasuraan & Simmers, 2001). Serupa dengan keterlibatan

dalam pekerjaan, komitmen waktu dalam pekerjaan juga diharapkan

berhubungan positif dengan tipe konflik ini.

Beberapa temuan riset menggambarkan bahwa KPK dan KKP

berhubungan secara berturut-turut dengan variabel-variabel pada domain

pekerjaan dan keluarga (within domain), sedangkan riset yang lain

(27)

pada domain keluarga dan pekerjaan (cross domain). Hasil studi Yang et al.

(2000) menunjukkan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan berhubungan positif

dengan konflik peran. Selain itu, komitmen terhadap pekerjaan juga cenderung

berdampak positif terhadap KPK (Parasuraan & Simmers, 2001). Serupa

dengan itu, semakin tinggi keterlibatan dalam keluarga dan komitmen terhadap

keluarga, maka semakin tinggi pula pengalaman konflik peran yang akan

dirasakan oleh seseorang.

2.2. Anteseden Konflik Peran

Para peneliti di bidang konflik antar peran mengemukakan bahwa

anteseden atau determinan konflik pekerjaan-keluarga (KPK) dan konflik

keluarga-pekerjaan (KKP) dapat berasal dari domain pekerjaan (karakteristik

peran pekerjaan) dan domain keluarga (karakteristik peran keluarga).

2.3. Karakteristik peran pekerjaan

Hasil penelusuran studi-studi empiris menunjukkan bahwa konflik peran

dipengaruhi oleh beberapa variabel. Secara umum anteseden KPK berasal dari

domain keluarga dan domain pekerjaan (Jennings & McDougald, 2007; Lilly et

al., 2006; Luk & Shaffer, 2005), karakteristik kemasyarakatan (sosial-budaya)

(Voydanoff, 2001), serta karakteristik disposisional (Noor, 2002; Cinamon,

2006). Determinan yang digunakan untuk menjelaskan KPK pada domain

(28)

kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap pekerjaan.

Di satu pihak, otonomi kerja berhubungan negatif dengan KPK. Melalui

diskresi pekerjaan (kontrolterhadap jam kerja), individual dapat mengendalikan

dan mengatur pekerjaannya sedemikian rupa untuk menurunkan KPK

(Batt&Valcour, 2003). Di lain pihak, semakin tingginya keterlibatan dalam

pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap pekerjaan, ditengarai akan

berhubungan dengan semakin tingginya pengalaman KPK melalui peningkatan

waktu dan energi yang dicurahkan terhadap pekerjaan (Parasuraman &

Simmers, 2001).

Pasangan bekerja cenderung mengalami kehidupan pekerjaan-keluarga

yang lebih dinamis dibandingkan dengan keluarga tradisional. Selama

duadasawarsaterakhir, riset-riset industrial/organisasional lebih banyak

difokuskan pada isu-isu terkait pekerjaan dan organisasi, sehingga cenderung

mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan variabel-variabel

domestik/keluarga (Muchinky, 2003). Parasuraman dan Simmers (2001) dan

Yang et al. (2000)menguji hubungan domain keluarga, dalam hal ini

karakteristik peran keluarga, dan KPK. Ditemukan bahwa keterlibatan dalam

keluarga dan komitmen waktu terhadap keluarga berpengaruh positif pada

pengalaman konflik. Semakin tinggi keterlibatan dalam keluarga dan semakin

banyak waktu yang dialokasikan untuk keluarga cenderung menyebabkan

waktu yang dialokasikan untuk urusan pekerjaan akan semakin kecil, sehingga

(29)

variabel ini berpengaruh positif paling tidak pada KPK yang dialami oleh salah

satu anggota pasangan bekerja (Parasuraman & Simmers, 2001).

Hubungan antara KPK dengan antesedennya tergambarkan dengan jelas

melalui teori ketegangan peran (role strain theory) yang dikembangkan oleh

Goode (1960). Secara konseptual dikemukakan bahwa semua individual terlibat

dalam berbagai hubungan peran pada domain yang berbeda dengan

kewajiban-kewajiban untuk masing-masing peran yang berbeda pula. Umumnya, tanggung

jawab pada berbagai peran ini harus dilakukan secara simultan. Individual

menginginkan semua peran terpenuhi dengan baik(Mulki et al., 2008a).Akan

tetapi, harapan ini acapkali tidak tercapai, sehingga ketidakcocokan

(incompatibility) tuntutan-tuntutan tersebut akhirnya menimbulkan konflik

peran (Beauregard, 2006). Atas dasar itu, ketegangan peran merupakan suatu

konsekuensi normal dari kesulitan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan berbagai

peran.

Postulasi dalam teori ketegangan peran mencerminkan bahwa tanggung

jawab dari domain-domain yang berbeda dan terpisah akan saling bersaing satu

sama lain untuk memperoleh sumberdaya waktu, energi pisik, dan energi

psikologis yang relatif terbatas jumlahnya (Grzywacsz& Marks, 2000).

Metafora kue pastel (pie metaphorical) seringkali digunakan untuk

menggambarkan fenomena ini−waktu dan energi yang diwakili oleh satu “potong” aktivitas mengurangi bagian kue yang tersisa untuk kegiatan-kegiatan

pada peran lain (Ruderman et al., 2002). Dalam hubungannya dengan KPK,

(30)

ketegangan peran (role strain) sebagai suatu bentuk konflik antara dua atau

lebih peran (interrole conflict), ketika partisipasi dalam satu peran

menyebabkan kesulitan untuk berpartisipasi dalam peran yang lain. Dengan

demikian, ketegangan peran merupakan proses transaksional yang

mencerminkan ketidakseimbangan antara tuntutan dan ketersediaan sumberdaya

untuk mengatasi tuntutan-tuntutan tersebut (Scharlach, 2001). Jadi, tuntutan

pekerjaan dan keluarga yang lebih besar, berhubungan dengan ketegangan peran

yang lebih tinggi prevalensinya.

Model atau teori ketegangan peran bersifat komprehensif dan luas, yakni

mencakup ketegangan peran yang muncul dari tuntutan-tuntutan pekerjaan dan

keluarga (Beitman et al., 2004). Para peneliti yang menggolongkan konflik

pekerjaan dan keluarga menjadi KPK dan KKP, menyatakan bahwa kedua tipe

konflik ini memiliki anteseden yang berbeda. Anteseden KPK berupa domain

pekerjaan, sedangkan anteseden KKP berasal dari domain keluarga (Boyar et

al., 2003; Carlson & Kacmar, 2000; Hammer et al., 2005a; Lilly et al., 2006).

Kelompok peneliti ini menyatakan bahwa tekanan yang bersumber dari satu

domain (misalnya, pekerjaan), akan mengarah kepada kelelahan, masalah, atau

hambatan pada domain yang bersangkutan, sehingga membatasi kemampuan

seseorang untuk memenuhi tuntutan pada domain yang lain (misalnya,

keluarga). Diprediksi bahwa sumber tekanan kerja berhubungan langsung dan

positif dengan KPK, sedangkan sumber tekanan yang berasal dari keluarga

(31)

Disamping sumber-sumber tekanan, karakteristik peran yang berasal

dari kedua domain juga dapat mempengaruhi konflik peran, namun dengan

tanda hubungan yang berlawanan. Otonomi kerja misalnya, akan berpengaruh

secara langsung dan negatif pada KPK, karena individual yang memiliki

otonomi dapat meningkatkan kontrol terhadap tuntutan-tuntutan yang

berasaldari peran pekerjaannya, sehingga mengalami konflik yang relatif lebih

rendah dibandingkan mereka yang tidak memiliki otonomi kerja (Batt &

Valcour, 2003). Studi ini mengajukan model perluasan berdasarkan pandangan

bahwa hubungan antara prediktor dan konsekuensinya bersifat within domain

dan cross-domain. Maka dari itu, antesedennya adalah variabel-variabel yang

berasal dari domain pekerjaan, keluarga, dan budaya.

Secara umum, anteseden KPK dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori

yaitu tanggung jawab dan harapan; tuntutan psikologis; serta kebijakan dan

aktivitas organisasi (Judge & Colquitt, 2004). Dalam penelitian yang

membandingkan kondisi konflik di antara berbagai tipe pekerjaan,Parasuraman

dan Simmers (2001) menggunakan karakteristik peran pekerjaan dan

karakteristik peran keluarga sebagai anteseden KPK. Aspek-aspek karakteristik

peran pekerjaan dalam hal ini adalah otonomi kerja, keterlibatan dalam

pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap pekerjaan. Sementara itu, keterlibatan

dalam keluarga, komitmen waktu terhadap keluarga, dukungan pasangan, dan

keberadaan pembantu rumah tangga merupakan indikator karakteristik peran

(32)

Otonomi kerja merupakan salah satu karakteristik peran pekerjaan yang

dianggap penting dalam berbagai konteks jenis pekerjaan. Otonomi kerja

memungkinkan karyawan memiliki kebebasan dan fleksibelitas untuk

mengelola beban kerja sedemikian rupa, sehinggadapat meminimalkan tekanan,

kelelahan dan konflik (Ahuja et al., 2007). Sesuai dengan hipotesis, tampak

bahwa otonomi kerja berhubungan negatif dengan KPK, namun dengan hasil

yang tidak signifikan. Terdapat dugaan bahwa kelompok karyawan yang

dijadikan responden tidak memiliki kesempatan untuk mengambil istirahat pada

pertengahan hari kerja untuk menunaikan tugas keluarga atau mengantar

anak-anak mereka bertanding sepak bola, misalnya, karena tinggal jauh dari rumah.

Jadi, meskipun memiliki otonomi, konflik peran tidak terpengaruh adanya.

Berbeda halnya dengan otonomi kerja yang berhubungan negatifdengan

KPK, tingginyaketerlibatan dalam pekerjaancenderung menyebabkan intensitas

konflik yang semakin tinggi. Diprediksi bahwa semakin tinggi keterlibatan

dalam pekerjaan yang mencerminkan derajat dengan mana pekerjaan

merupakan hal sentral dalam konsep diri atau rasa keidentitasan seseorang, akan

meningkatkan intensitas KPK (Parasuraman& Simmers, 2001).

Nodenmark (2002) secara spesifik mempertimbangkan jumlah jam kerja

sebagai salah satu indikator untuk mengukur komitmen waktu terhadap

pekerjaan. Hasilstudinyamenunjukkanbahwakaryawan yang

ditelitimelaporkanhambatandalammenjalankanperan-perannonpekerjaanakibatpanjangnya jam kerjamereka.

(33)

dapatdidedikasikanuntukperankeluargadankemasyarakatan (budaya). Oleh

karena jam kerja merupakan indikator faktual dan relatif objektif dari tuntutan

kerja (Spector et al., 2007), maka komitmen waktu terhadap pekerjaan yang

diukur dari jumlah jam yang dicurahkan pada pekerjaan, berhubungan

signifikan dengan peningkatan konflik peran (Batt & Valcour, 2003; Shaffer et

al. 2001). Pengaruh komitmen waktu terhadap pekerjaan ini dipertimbangkan

sebagai variabel yang potensial untuk mempengaruhi variasi kedua jenis konflik

peran.

H1: Otonomi kerja berpengaruh negatif pada KPK dan KKP.

H2:Keterlibatan dalam pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan KKP

H3: Komitmen waktu terhadap pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan

KKP

2.4. Karakteristik peran keluarga

Konflik peran juga dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel pada

domain keluarga, khususnya yang termasuk dalam kelompok karakteristik

peran keluarga. Intensitas waktu dan jumlah energi yang dicurahkan untuk

kepentingan keluarga, sedikit banyak akan berdampak pada waktu dan energi

yang dapat dialokasikan pada pekerjaan. Komitmen waktu terhadap keluarga

yang merupakan investasi waktu total dalam aktivitas-aktivitas rumah tangga

dan pengasuhan anak, berhubungan positif dengan konflik (Luk& Shaffer,

(34)

menyatakan bahwa kedua jenis dukungan ini akan berpengaruh negatif pada

KPK dan KKP.

Hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan

karir dan dukungan emosional dengan konflik peran, tidak konsisten. Riset yang

dilakukan oleh Wadsworth and Owens (2007) menunjukkan hasil bahwa

dukungan pasangan berhubungan negatif dengan KPK. Di lain pihak, temuan

studi Grzywacs and Marks (2000) menunjukkan bahwa kedua jenis dukungan

ini justru berdampak negatif pada KKP. Semakin besar kedua dukungan ini

yang diperoleh dari pasangan, maka semakin rendah prevalensi KPK dan KKP.

Jika keterlibatan dalam keluarga dan komitmen waktu terhadap keluarga

merupakan tekanan/tuntutan, dukungan dipandang sebagai sumberdaya yang

diharapkan berkontribusi pada pengalaman konflik. Dalam analisis hubungan

sumber tekanan-ketegangan (stressor-strainrelationship), dukungan keluarga

berasal dari variabel dukungan sosial yang belakangan mulai dipertimbangkan

dalam kajian konflik peran. Hal ini logis, mengingat konflik peran dipandang

sebagai salah satu elemen sumber ketegangan.

Para peneliti mengajukandefinisi dukungan sosialsecaraberbeda. Pada

prinsipnya, variabel ini mencerminkan informasi

tentangpersepsiterhadapterpenuhinya kebutuhan akan perlindungan, dukungan,

dan umpan balik. Dengan demikian, dukungan sosial dicirikan oleh

tindakan-tindakan yang menunjukkan ketanggapan terhadap kebutuhan orang lain

(35)

sosial ke dalam dua kategori umum yaitu yang bersumber dari pekerjaan dan

nonpekerjaan (work-based and non-work-based social support).

Pada studi ini, dukungan sosial difokuskan pada dukungan yang

bersumber dari aspek nonpekerjaan, yaitu pasangan, sebagai sumberdaya

domain keluarga. Dukungan sosial yangberasal dari wilayah pekerjaan tidak

menjadi pertimbangan. Pertama, sumberdaya aspek pekerjaan dalam penelitian

ini diwakili oleh otonomi kerja. Kedua, mengingat penelitian ini menggunakan

sampel suami dan istri, akan terdapat hubungan perkawinan (marital

relationship). Dengan demikian, dukungan dari anggotakeluarga,

dalamhalinipasangan, akan memegang peranan penting dalam hubungan

tersebut. Disamping itu, pasangan merupakan seseorang yang paling dekat

hubungannya dengan individual yang bersangkutan (closest significant-others),

sehingga sedikit banyak diharapkan berkontribusi pada pengalaman konflik

peran (Watkins et al., 2012).

Studi-studi empiris tentang hubungan antara dukungan pasangan

dengan konflik peran menunjukkan hasil yang tidak konklusif. Temuan studi

Wadsworth dan Owens (2007) menunjukkan bahwa dukungan pasangan justru

berpengaruh signifikan pada fasilitasi pekerjaan-keluarga (FPK), bukan pada

KPK. Sementara itu, Grzywacz dan Marks (2000)menemukanbahwa dukungan

suami/istri yang semakin rendah berhubungan dengan semakin tingginya

konflik peran yang dialami oleh istri/suami.

Dukungan pasangan, bervariasi jenisnya. Peeters dan Le Blanc (2001)

(36)

kepercayaan), penilaian (penyaluran informasi yang relevan sebagai evaluasi

diri), informasional (bantuan terhadap diri sendiri), dan instrumental (bantuan

praktis). Sementara itu, Wallace (2005), yang menggolongkannya menjadi

dukungan emosional dan karir, menemukan bahwa kedua jenis dukungan ini

berhubungan negatif dengan KPK.

Tampaknya, dukungan serta pengertian yang diperoleh dari suami/istri

dapat mengurangi konflik yang dialami istri/suami. Pada penelitian ini,

dukungan pasangan mengacu pada kategorisasi dari Wallace (2005),

denganargumenbahwaselama ini dukungan emosional dipandang sebagai

karakteristik yang dominan dalam konsep dukungan sosial. Selain itu, karena

respondendalampenelitian ini adalahpasangan bekerja, maka dukungan

suami/istri terhadap karir/pekerjaan pasangannya merupakan suatu hal yang

dipandang esensial. Baik dukungan emosional maupun dukungan karir

diprediksi berhubungan negatif dengan konflik peran. Semakin besar dukungan

secara emosional terhadappekerjaandan eksistensi karir pasangan, prevalensi

KPK dan KKP diharapkan akan semakin rendah.

H4: Keterlibatan dalam keluarga berpengaruh positif pada KPK dan KKP

H5: Komitmen waktu terhadap keluarga berpengaruh positif pada KPK dan

KKP

H6: Dukungan emosional pasangan berpengaruh negatif pada KPK dan KKP

(37)

Berdasarkan hipotesis yang diajukan, maka dapat digambarkan rerangka

konseptual seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rerangka konseptual

Waktu kerja

Keterlibatan dlm pekerjaan

KPK Otonomi kerja

Dukungan karir Keterlibatan dlm keluarga

Waktu keluarga

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan tahap-tahap penelitian serta teknik analisis yang

digunakan untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis yang diajukan.Secara

berturut-turut dipaparkanlatar penelitian; populasi, sampel, definisi operasional

danpengukuranvariabel; pengujian instrumen penelitian;dan teknikanalisis data.

3.1. Pendahuluan

Guna menjawab permasalahan yang diajukan, studi dilakukan dengan

menerapkan metode survai. Metode semacam ini umum digunakan untuk

pengukuran perseptual dantepat diaplikasikanpadapengukuran opini, sikap, atau

perilaku tentang isu tertentu(King et al.2007).Lebih lanjut dinyatakan bahwa survai

adalah suatu metode pengumpulan informasi terstandarisasi dengan wawancara

atau penggunaan kuesioner kepada sampel (sebagai perwakilan suatu populasi),

melalui komponen-komponen yang terdiri dari pemilihan desain survai; pemilihan

sampel representatif; administrasi dan desain kuesioner; pengumpulan data; serta

analisis dan interpretasi data.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji model hubungan konflik

pekerjaan-keluarga (KPK) dan konflik pekerjaan-keluarga-pekerjaan dengan anteseden serta

konsekuensinya, termasuk efek pemoderasian dan hubungan antara konflik dengan

(39)

terintegrasi sesuai dengan hubungan strain-stress (ketegangan dan

tekanan).Tujuan pelaksanaan survai sesuai dengan tujuan umum riset survaiseperti

yang dikemukakan oleh Neuman (200:21) yaitu mendeskripsikan, menjelaskan,

dan menggali (descriptive, explanatory, exploratory). Aras analisis pada penelitian ini adalah individual serta pasangan (suami dan istri).

3.2. Latar penelitian

Penelitian dilakukan padalatar budaya Timuryaitu Provinsi Bali, yang dikenaldengankekayaanbudayadankekuatanikatankekerabatannya. Lokasi

penelitian dipilih di daerah perkotaan, yaitu Kota Denpasar, dengan menyasar keempat kecamatan yang ada yakniKecamatan Denpasar Utara, Denpasar Selatan,

Denpasar Timur, dan Denpasar Barat. Pemilihan daerah perkotaan didasarkan atas pertimbangan bahwaupaya penyeimbangan tuntutan-tuntutan peran pekerjaan, keluarga, dan budaya cenderunglebih sulit dibandingkan di wilayah

perdesaan.Selain itu, karena implikasi penelitian ini lebih banyak ditujukan bagi intervensi kebijakan sumberdaya manusia pada baik institusi publik maupun

swasta, maka pemilihan daerah perkotaan dianggap tepat, mengingat kedua institusi ini umumnya berada di daerah perkotaan.

3.3. Populasi danSampel

(40)

keluarga luasyang berdomisili di daerah perkotaan. Secara praktis, mereka dapat

digunakan sebagai sampel penelitian. Beda halnya dengan pendapat Hall dan

Hall(1980) (dalam Cherpas, 1985) bahwa pasangan tidak berarti harus menikah,

monogami, dan heteroseksual, pada studi ini, yang dimaksud dengan pasangan

adalah menikah, monogami, dan heteroseksual. Hammer et al. (2003) juga

menjelaskan bahwa dalam penelitian tentang konflik peran, pasangan yang

dijadikan responden harus heteroseksual karena pada ‘pasangan sejenis’, isu

konflikperan akan berbeda.

Untuk mempermudah pembatasan sampel, beberapa kriteria tambahan perlu

ditetapkan.Dengan demikian, sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan

menggunakan metode purposive sampling. Asumsi dasar dari purposive sampling

adalah dengan penilaian yang baik dan strategi yang layak, sampel dapat

dikembangkan secara memuaskan gunamenjawab tujuan penelitian yang ingin

dicapai (Cron, 2001).

Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan sampel adalah 1) bekerja

dalam sebuah organisasi/perusahaan baik di sektor publik maupun swasta;2)

bekerja minimal 35 jam per minggu (jam kerja normal adalah 35 jam/minggu

menurut ketentuan Badan Pusat Statistik Indonesia); 3) berasal dari keluarga

dengansuami dan istri bekerja; 4) telah menikah selama paling sedikit satu tahun;

5) telah bekerja minimal selama satu tahun; 6) beragama Hindu;dan 7)

(41)

Studi-studi tentang konflik peran yang dilakukan selama ini,difokuskan

kepada perempuan bekerja, jarang sekali penelitian yang menyentuh kaum laki-laki

(Wallace, 1999).Sampel dalam studi ini adalah pasangan bekerja dengan ukuran

yang ditentukan secara kuota yaitu 200 pasangan (400 responden).Dengan

demikian, data studi ini terdiri dari 200 orang laki-laki (suami) dan 200 orang

perempuan (istri).

3.4. Penyebaran dan Respon Kuesioner

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

kuesioner. Berdasarkan sifat dasarnya, kuesioner dirancang untuk fokus pada

serangkaian topik yang bersifat diskrit (Fairhurst, 2000). Seturut ukuran sampel,

jumlah kuesioner yang disebarkanadalah 200 paket atau400 eksemplar (untuk 200

pasangan bekerja).Penyebaran kuesioner diupayakan bersifat proporsional, yaitu 50

paket atau 100 eksemplaruntuk masing-masing kecamatan di Kota Denpasar. Tiap

pasangan diberikan dua eksemplar kuesioner, satu untuk suami dan satu untuk istri,

dalam amplop terpisah. Amplop disertai kode yang sesuai untuk setiap anggota

pasangan.Responden diminta mengisi daftar pertanyaan secara independen. Hal ini

ditujukan untuk menghindari terjadinya konfirmasi jawaban di antara suami dan

istri.

Setelah mendapat ijin dari pihak-pihak yang berwenang,

(42)

potensial di masing-masing institusi. Ini dilakukan, disamping untuk memenuhi

kriteria yang ditetapkan, juga untuk mengupayakan agar komposisi responden

untuk masing-masing kecamatan, berimbang.Sebagai catatan, tidak semua institusi

yang dipilih berlokasi di Kota Denpasar, ada juga yang berlokasi di Kabupaten

Badung. Alasannya, banyak karyawannya berdomisili di Kota Denpasar, mengingat

lokasinya yang relatif dekat dengan wilayah kota ini. Bahkan, di salah satu institusi

terpilih, yaitu Kantor Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kabupaten

Badung, dari 176 orang total karyawan, 101 orang (sekitar 57,38 %)personilnya

berdomisili di Kota Denpasar (penelusuran data tahun 2011).

Secara rinci distribusi responden untuk masing-masing institusi disajikan

pada Tabel 3.1, sedangkan untuk masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel

3.2.

Tabel 3.1. Distribusi Lokasi Penyebaran Kuesioner menurut Institusi. Banyaknyaresponde

1 Kantor GubernurProvinsi Bali 24 21 24 21

2 Kantor DinasKesehatanProvinsi

(43)

6 Kantor DinasTenagaKerja,

8 RumahSakitInderaProvinsi Bali 10 10 10 10

9 Kantor Dinas Perkebunan Provinsi Bali

9 9 9 9

10 SekolahTinggiPariwisata Bali 7 7 7 7

11 PoliteknikNegeri Bali 5 5 5 5

12 SekolahMenengahKejuruanNegeri 3 Denpasar

10 10 10 10

13 Kantor BupatiBadung 12 12 12 12

14 Kantor

BappedaLitbangKabupatenBadun g

15 15 15 15

15 Kantor DPRDKabupatenBadung 10 10 10 10

16 Kantor

Tingkat respon (response rate) menunjukkan persentase pengembalian

kuesioner secara lengkap dari seluruh kuesioner yang disebarkan. Besar kecilnya

angka ini merupakan tantangan tersendiri bagi riset survai. Jika tingkat respon,

rendah, peneliti harus berhati-hati mengenai generalisasi hasil risetnya (Neuman,

(44)

menggambarkanbahwatingkatpengembaliandanpengisiankuesionersecaralengkapol

ehrespondentergolongtinggi,yaitu 94 persen. Hal inidisebabkanpada proses

pengumpulan

data,penelitimemastikankelengkapanpengisiankuesionerdengancaramemeriksanyap

adasaatpengembalian. Kuesioner dikembalikan kepada responden untuk dilengkapi,

jika ada yang tidak tuntas pengisiannya.

Tenggat waktuyang ditentukan mulai kuesioner diberikan

hinggapengembaliannya adalah dua minggu, dengan batas maksimal satu

bulan.Jika kuesioner tidak kembali dalam dua minggu, maka responden dihubungi

untuk konfirmasi pengembalian kuesioner. Dalam proses ini, setelah diadakan

upaya untuk menghubungi responden secara berulang sebanyak 3 kali, 6 persen

(24 eksemplar) kuesioner yang disebarkan tidak dikembalikan hingga waktu yang

ditentukan. Seluruh proses pengumpulan data dalam studi utama ini dilakukan

selama lebih kurang satu setengah bulan.

Jumlahkuesioner yang kembali tidak sama,meskipun

padaawalnyasudahdiupayakan agar proporsipenyebarankuesionerdi

masing-masingkecamatan, berimbang. Kuesioner yang tidakkembali, paling

banyakberasaldaripasanganyang bertempattinggal di Denpasar Utara, yaitusekitar

13,7persendarijumlahkeseluruhankuesioner yang disebarkan. Sementara itu, semua

(45)

Tabel 3.2. Distribusi Responden menurut Kecamatan di Kota Denpasar.

1 Denpasar Utara 51 44 51 44

2 Denpasar Selatan 50 49 50 49

3 Denpasar Barat 48 48 48 48

4 Denpasar Timur 51 47 51 47

Jumlah 200 188 200 188

Tingkat

pengembaliankuesion er

94% 94%

Barat mengisi dan mengembalikan kuesioner, bahkan jauh sebelum batas waktu

yang ditentukan berakhir.

3.5.Definisi Operasional danPengukuran Variabel

Kuesioner dalam penelitian ini merupakan daftar pertanyaan terstruktur

dengan beberapa alternatif jawaban. Variabel-variabel komposit diukur melalui

nilai rata-ratanya, kecuali komitmen waktu terhadap pekerjaan dan komitmen

waktu terhadap keluarga. Dengan demikian, skor yang lebih tinggi

mengindikasikan tingkat/insiden yang lebih tinggi. Kondisi berlawanan berlaku

untuk pernyataan-pernyataan kebalikan (reverse questions). Untuk jenis pernyataan

ini, skor yang lebih tinggi mengindikasikan insiden yang lebih rendah.Komitmen

(46)

variable, sedangkan keberadaan pembantu rumah tangga, lokus pengendalian, dan

coping strategy merupakan discrete variable.

3.5.1. Konflik Pekerjaan-keluarga

Konflik pekerjaan-keluarga (KPK) didefinisi sebagai gangguan pada

pemenuhan peran keluarga akibat tuntutan yang dialami ketika menjalankan peran

pekerjaan. Variabel ini dukur melalui 3 pertanyaan yang diacu dari Parasuraman

dan Simmers (2001). Butir-butir pernyataan diukur dengan skala lima poin, mulai

dari 1= tidak pernah, sampai dengan 5= sangat sering.

3.5.2. Konflik keluarga-pekerjaan

Konflik keluarga-pekerjaan (KKP) didefinisi sebagai gangguan pada

pemenuhan peran pekerjaan akibat tuntutan yang dialami ketika menjalankan peran keluarga. Variabel ini dukur melalui 3 pertanyaan yang diacu dari Parasuraman dan Simmers (2001). Butir-butir pernyataan diukur dengan skala lima poin, mulai dari

1= tidak pernah, sampai dengan 5= sangat sering.

3.5.3. Otonomi kerja

Otonomi kerja didefinisi sebagai tingkat kebebasan/diskresi yang dimiliki dalam melaksanakan pekerjaan. Variabel ini diukur dengan 4 butir pernyataan yang

(47)

proyek-proyekataukegiatan-kegiatan dalam pekerjaan saya’. Butir-butir pernyataan diukur

dengan skala lima poin, mulai dari 1= tidak pernah, sampai dengan 5= sangat sering.

3.5.4. Keterlibatan dalam pekerjaan

Keterlibatan dalam pekerjaan didefinisi sebagai pentingnya pekerjaan bagi individualdan bagi keterlibatan psikologis dalam menjalankan peran pekerjaan.

Variabel ini diukur dengan 4 butir pernyataan yang dikembangkan oleh Lodahl dan Kejner (1965)(dalamFrone et al., 1992).Contoh pernyataan adalah ‘kepuasan utama dalam hidup saya berasal dari pekerjaan saya’. Butir-butir pernyataan diukur

dengan skala lima poin, mulai dari 1= sangat tidak setuju, sampai dengan 5= sangat setuju.

3.5.5. Komitmen waktu terhadap pekerjaan

Variabel ini didefinisi sebagai keluasan tuntutan terhadap peran pekerjaan. Variabel ini diukur dengan laporan responden terkait dengan pertanyaan tentang:

‘Berapa jam rata-rata anda bekerja dalam sehari, termasuk waktu yang dihabiskan di tempat kerja, waktu yang dihabiskan di perjalanan, dan waktu yang dicurahkan

untuk melakukan pekerjaan kantor di rumah’? 3.5.6. Keterlibatan dalam keluarga

Secara operasional, variabel ini didefinisi sebagai pentingnya keluarga bagi

(48)

Kejner (1965) (dalamParasuraman& Simmers, 2001). Contoh pernyataan adalah

‘tujuan hidup saya pada dasarnya berorientasi keluarga’. Butir-butir pernyataan

diukur dengan skala lima poin, mulai dari 1= sangat tidak setuju, sampai dengan 5=

sangat setuju.

3.5.7. Komitmen waktu terhadap keluarga

Operasionalisasi komitmen waktu terhadap keluarga adalah keluasan

tuntutan peran keluarga yang dicerminkan dari investasi waktu total untuk mengerjakan kegiatan rumah tangga dan pengasuhan anak. Variabel ini diukur berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan: ‘rata-rata padaharikerja,

kuranglebihberapawaktu (jam) yang andahabiskanuntukmelakukan pekerjaan rumah tangga dan/atau pengasuhan anak’?

3.5.8. Dukungan pasangan

Dukungan pasangan dibedakan ke dalam dua kategori yaitu dukungan emosional dan karir. Dukungan emosional mengacu pada sejauh mana pasangan

memberikan perhatian, empati, dukungan, dandorongan terhadap tekanan kerja pasangan. Variabel ini diukur dengan 4 butir pernyataan yang dikembangkan oleh

Thomas dan Ganster (dalam Wallace, 2005). Contoh pernyataan adalah ‘suami/istri saya berempati terhadap strespekerjaansaya’. Sementara itu, dukungan karir didefinisi sebagai seberapa jauh pasangan menghormati danmemberikan dorongan

(49)

sangatmendukungkarirsaya’. Butir-butir pernyataan keduavariabelinidiukur dengan

skala lima poin, mulai dari 1= sangat tidak setuju, sampai dengan 5= sangat setuju. 3.6. Penilaian Instrumen Penelitian

Validitas merupakan unsur penting pengukuran, karena menunjukkan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Validitas konstruk menunjukkan keakuratan suatu alat ukur atau

serangkaian pengukuran dalam mempresentasikan suatu konsep atau teori. Dalam penelitian ini digunakan batasan factor loadings sebesar 0,30 sebagai nilai signifikansi minimal secara statistik dalam pengujian validitas menurut Hair et al.

(2006:128).

Dalam menilai reliabilitas data, digunakan nilai Cronbach’salpha, yang

bertujuan untuk mengetahui unidimensionalitas butir-butir pernyataan terhadap

variabel yang diteliti.

PenilaianreliabilitasdalamstudiiniditetapkandenganbatasannilaiCronbach’s

alphasebesar 0,60. Menurut Hair et al. (2006:139), batasannilaiinidapatditerimauntukpenelitian yang bersifateksplorasikonstruk,

sepertihalnyastudiini.

3.7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Linier

(50)

antar variabel pada studi mengenai ketergantungan suatuvariabel terikat dengan

satu atau lebih variabel bebas/penjelas(Lilly et al., 2006). Tujuannya adalah untuk

mengestimasi dan/atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel

terikat berdasarkan nilai variabel bebas yang diketahui.

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktualnya dapat

diukur melalui kebaikan-suai (goodness-of-fit)model yang ditunjukkan dari empat

besaran. Pertama, koefisien determinasi, yang ditunjukkan melalui besar kecilnya

nilai R2 yang mengukur kemampuan model dalam menjelaskan variasi variabel

terikatolehadanyavariasivariabelbebas. Kedua, nilai statistik F, yang diperoleh dari

hasil analisis varian sebagai pengukuran apakah model regresi menunjukkan

serangkaian koefisien regresi yang secara total signifikan secara statistik. Ketiga,

nilai statistik t, untuk pengujian suatu hipotesis mengenai koefisien regresi parsial

setiap variabel penjelas yang dipertimbangkan dalam model regresi. Keempat,

koefisien regresi parsial yang terstandardisasi (standardized β), untuk melihat

tingkat penting variabel-variabel penjelas secara relatif.Koefisien ini digunakan

(51)

BAB IV

DAN

Pada Bab ini akan dijelaskan mengenaihasil analisis data pembahasannya.

Aspek-aspek yang dilaporkan meliputi karakteristik sampel, pengujian validitas dan reliabilitas

konstruk, serta hasil analisis data. Pembahasan hasil analisis disertai komparasi dengan

hasil-hasil studi terdahulu baik secara teoritis maupun empiris, diuraikan pada bagian akhir.

Data dalam penelitian ini dianalisis melalui dua kategori, yakni analisis deskriptif dan

inferensial. Analisis jenis pertama dilakukan untuk melakukan deskripsi terhadap responden

penelitian, sedangkan analisis jenis kedua digunakan untuk menguji hipotesis, sehingga dapat

digunakan untuk menarik simpulan.

4.1. Hasil Analisis dan Pembahasan

4.1.1. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahuikarakteristik sampel pada penelitian

ini diuraikan menurut variabel umur, tingkat pendidikan, sektor pekerjaan, jenis pekerjaan,

dan masa kerja (Tabel 4.1). Umuristri dan suami secara berturut-turut terpusat pada kelompok

41-45 tahun dan 46-50 tahun dengan rerata yang sedikit berbeda yaitu sekitar 42 dan 45

tahun. Ini menunjukkan bahwa umur suami pada umumnya lebih tinggi dibandingkan

istrinya. Berbeda halnya dengan para istri yang berusia maksimal 55 tahun, sekitar 3 persen

dari jumlah keseluruhan kepala keluarga (suami) masih bekerja di atas umur 55 tahun.

Kondisi ini merupakan suatu indikasi bahwa suami tetap bertindak sebagai pencari nafkah

utama dalam sebuah keluarga. Hal ini berimbas pada masa kerja para suami yang mencapai

(52)

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Istri dan Suami Menurut Tingkat

Untuk tingkat pendidikan sarjana, terdapat perimbangan yang ditunjukkan oleh persentase

Gambar

Gambar 1. Rerangka konseptual
Tabel 3.1. Distribusi Lokasi Penyebaran Kuesioner menurut Institusi.
Tabel 3.1
Tabel 3.2. Distribusi Responden menurut Kecamatan di Kota Denpasar.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dilapangan penulis dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi adanya penyimpangan yaitu penggunaan bahan dilapangan berbeda dengan yang

Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitian ini secara umum dapat disimpulkan bahwa, terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif Tebak Kata terhadap

Pelatihan SDM Terbaik, Pelatihan SDM Perusahaan, Pelatihan SDM Organisasi. Kun Fayakun = Jadilah, Maka

Pendekatan daya guna marginal didasarkan kepada: (1) hukum daya guna marjinal yang menurun ( the law of diminishing return ), yang menyatakan bahwa bila konsumsi

42 Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Rosdakarya, 2006), hlm.. akan menimbulkan rasa kagum dan dipercaya dari peserta didik maupun orang tua. Kompetensi

Indofood Sukses Makmur Tbk untuk periode tahun 2005 mempunyai nilai X sebesar -0,3167 sehingga perusahaan tersebut diklasifikasikan sebagai perushaan yang tidak berpotensi

Berdasarkan hasil survei Mobo Market ( Indonesia Mobile Data Report Mobo Market , 2015.p 17) jenis mobile apps yang paling banyak diunduh oleh para.. Hal ini menandakan

Dari tabel 5.8 dan gambar 5.8 diatas dapat dilihat bahwa seluruh industri jasa bordir memiliki mesin bordir sendiri tetapi untuk industri konveksi sebanyak 19 responden atau 32