• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN EKSEKUTIF KINERJA INDUSTRI PENGOLAHAN DAN CATATAN KRITIS STRATEGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN 2022

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RINGKASAN EKSEKUTIF KINERJA INDUSTRI PENGOLAHAN DAN CATATAN KRITIS STRATEGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN 2022"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

RINGKASAN EKSEKUTIF

KINERJA INDUSTRI PENGOLAHAN DAN CATATAN KRITIS STRATEGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN 2022

Nadya Ahda dan Robby Alexander Sirait

Peningkatan nilai tambah sektor industri pengolahan menjadi salah satu arah kebijakan pembangunan di tahun 2022 yang direpresentasikan salah satunya dalam Program Prioritas (PP) No. 6: Peningkatan Nilai Tambah, Lapangan Kerja, dan Investasi di Sektor Riil, dan Industrialisasi dalam Prioritas Nasional (PN) No. 1: Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022. Dalam RKP ini, pemerintah telah menargetkan berbagai indikator kinerja industri pengolahan untuk tahun 2022. Oleh karena itu, menjadi penting untuk melihat bagaimana perkembangan kinerja industri pengolahan selama ini sekaligus mengetahui dan mengkritisi strategi-strategi peningkatan nilai tambah industri pengolahan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah di tahun 2022.

Secara umum, selama 1 dekade terakhir, kinerja sektoral industri pengolahan terhadap PDB mengalami tren penurunan, baik untuk pertumbuhan maupun kontribusinya. Sebaliknya, daya serap tenaga kerja dari sektor ini cenderung meningkat hingga tahun 2019, sebelum akhirnya pandemi menyerang pada tahun 2020 yang menyebabkan PHK pekerja besar-besaran di sektor ini. Sementara untuk investasi, baik untuk Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), indikator ini menunjukkan kecenderungan tren fluktuasi selama 1 dekade terakhir, namun tren penurunan terjadi selama beberapa tahun terakhir. Senada dengan kinerja investasi, kinerja ekspor pun relatif berfluktuatif selama 1 dekade terakhir. Hal ini mengimplikasikan adanya urgensi perbaikan kinerja sektor industri pengolahan, yang salah satunya dapat ditempuh melalui peningkatan nilai tambah sektoral bagi perekonomian Indonesia secara umum.

Untuk tahun 2022, pemerintah berencana untuk melaksanakan berbagai strategi yang ditujukan untuk memulihkan serta meningkatkan nilai tambah sektor industri pengolahan, yang secara umum dapat dikategorikan menjadi 5 aspek, yaitu strategi terkait dengan: (1) bahan baku; (2) tenaga kerja; (3) investasi; (4) stimulus; serta 5) hilirisasi SDA. Kelima aspek ini sangat penting untuk diperbaiki secara serius dengan upaya-upaya yang efektif dan konsisten agar seluruh target dan sasaran terkait industri pengolahan di tahun 2022 dapat tercapai.

(4)

1 I. PENDAHULUAN

Untuk tahun 2022, pemerintah telah menyusun RKP 2022 yang mengangkat tema pemulihan ekonomi dan reformasi struktural. Dalam RKP tersebut, pemulihan ekonomi diartikan sebagai upaya pemulihan daya beli masyarakat dan dunia usaha, serta diversifikasi ekonomi. Diversifikasi ekonomi dilaksanakan salah satunya melalui peningkatan nilai tambah industri pengolahan. Hal ini juga termuat dalam PN No. 1, yakni Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan, yang salah satunya diupayakan melalui Peningkatan Nilai Tambah, Lapangan Kerja, dan Investasi di Sektor Riil, dan Industrialisasi (PP No. 6 dalam PN No. 1). Dalam PP tersebut, ditargetkan beberapa indikator terkait dengan kinerja industri pengolahan (Tabel 1).

Tabel 1. Target Indikator Kinerja Sektor Industri Pengolahan dalam RKP 2022

No. Indikator Target 2022

1. Pertumbuhan PDB industri pengolahan (%) 5,30-6,10

2. Pertumbuhan PDB industri pengolahan nonmigas (%) 5,30-6,10

3. Kontribusi PDB industri pengolahan (%) 19,90-20,00

4. Kontribusi PDB industri pengolahan nonmigas (%) 18,00

5. Jumlah tenaga kerja industri pengolahan (juta orang) 20,90 6. Kontribusi tenaga kerja industri pengolahan terhadap total pekerja (%) 15,00 7. Nilai realisasi PMA dan PMDN industri pengolahan (Rp triliun) 352,50

8. Pertumbuhan ekspor industri pengolahan (%) 8,45

9. Pertumbuhan ekspor produk industri berteknologi tinggi (%) 8,20-10,10 Sumber: RKP 2022

Melihat besarnya relevansi topik ini terhadap arah pembangunan nasional 2022 serta target pemerintah terhadap kinerja industri pengolahan ke depan, maka artikel ini akan mencoba mengulas perkembangan kinerja dan target kinerja sektor industri pengolahan sebagai gambaran umum, kemudian highlight mengenai strategi pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah sektor industri pengolahan di tahun 2022 beserta dengan sedikit catatan kritis yang harus diperhatikan oleh pemerintah.

II. PERKEMBANGAN KINERJA DAN TARGET KINERJA INDUSTRI PENGOLAHAN 1. Pertumbuhan Sektoral dan Kontribusi Terhadap PDB

Dalam 1 dekade terakhir, kinerja pertumbuhan PDB sektor industri pengolahan secara umum menunjukkan tren

penurunan, yaitu dari 6,26 persen pada tahun 2011 menjadi 3,80 persen pada tahun 2019 (Gambar 1). Tren yang sama juga ditunjukkan oleh subsektor industri pengolahan nonmigas, dari 7,46 persen pada tahun 2011 menjadi 4,34 persen pada tahun 2019. Penurunan ini semakin drastis di tahun 2020 saat pandemi Covid- 19. Pada tahun 2020, pertumbuhan PDB sektor industri pengolahan terkontraksi sangat dalam, yaitu sebesar -2,93 persen.

Gambar 1. Perkembangan Pertumbuhan dan Kontribusi PDB Industri Pengolahan

Sumber: BPS, 2021 (diolah)

(5)

Kontraksi dalam juga dirasakan oleh subsektor industri pengolahan nonmigas, yaitu sebesar -2,52 persen.

Apabila di-breakdown menurut subsektor, terdapat beberapa industri yang relatif tumbuh stabil dan rata-rata laju pertumbuhan tahunannya jauh melampaui rata-rata laju pertumbuhan tahunan sektoral secara umum (3,89 persen). Industri-industri tersebut antara lain industri makanan dan minuman (7,72 persen), industri kimia, farmasi, dan obat tradisional (6,50 persen), dan industri logam dasar (6,04 persen). Meskipun dalam kondisi pandemi, industri-industri tersebut pun masih mampu tumbuh positif di tahun 2020. Sebagai contoh, industri kimia, farmasi dan obat tradisional menjadi subsektor yang tumbuh paling pesat di tahun 2020, yaitu mencapai 9,39 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan masyarakat akan obat, produk kimia, serta farmasi sebagai upaya penanggulangan pandemi. Subsektor kedua yang juga tumbuh positif di tahun 2020 adalah subsektor industri logam dasar, yaitu sebesar 5,87 persen. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan kapasitas beberapa industri dan ekspansi usaha, seperti industri besi baja dan industri smelter (Kementerian Perindustrian, 2021). Secara umum, kinerja baik dari beberapa industri di atas menjadi salah satu justifikasi optimisme pemerintah untuk mengandalkan industri makanan dan kimia farmasi, serta industri logam dasar dalam mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan di tahun 2022.

Untuk tahun 2021 dan 2022, pemerintah menargetkan perbaikan pada pertumbuhan PDB industri pengolahan dan industri pengolahan nonmigas kembali pada trajectory prapandemi, yaitu 4,20 persen di tahun 2021 dan 5,30-6,10 persen di tahun 2022.

Tidak hanya pada indikator pertumbuhan PDB saja, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB selama 1 dekade terakhir juga cenderung mengalami tren penurunan, dari 21,76 persen pada tahun 2011 menjadi 19,88 persen pada tahun 2020 (Gambar 1). Hal ini juga terjadi pada subsektor industri pengolahan nonmigas, meskipun dengan slope tren yang lebih landai, yaitu dari 18,13 persen pada tahun 2011 menjadi 17,89 persen pada tahun 2020. Subsektor industri makanan dan minuman masih menjadi subsektor unggulan dengan menjadi kontributor terbesar bagi PDB, dengan rata-rata kontribusi tahunan sebesar hingga 5,82 persen dari PDB. Untuk tahun 2021, pemerintah memproyeksikan adanya sedikit koreksi pada kontribusi PDB sektor industri pengolahan dan industri pengolahan nonmigas, masing-masing sebesar 19,80 persen dan 17,80 persen. Kemudian untuk tahun 2022, pemerintah baru menargetkan peningkatan kontribusi, yaitu berkisar pada 19,90-20,00 persen untuk industri pengolahan secara umum dan 18,00 persen untuk industri pengolahan nonmigas.

2. Daya Serap Tenaga Kerja

Dalam 1 dekade terakhir, jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahan menunjukkan adanya tren peningkatan, dari 14,83 juta orang pada tahun 2011 menjadi 19,20 juta orang di tahun 2019 (Gambar 2). Namun pada tahun 2020, pandemi menyebabkan utilitas produksi di sektor ini menurun, sehingga banyak terjadi pengurangan tenaga kerja (pemutusan hubungan kerja—PHK). Hal ini terlihat dari

(6)

3 penyerapan tenaga kerja industri

pengolahan yang justru terkontraksi hampir 9 persen pada tahun 20201.

Apabila dilihat dari subsektornya, kontraksi ini juga terjadi di industri pengolahan nonmigas. Hampir semua subsektor industri pengolahan nonmigas mengalami penurunan jumlah tenaga kerja di tahun 2020, kecuali untuk industri industri makanan dan minuman, serta industri jasa reparasi, pemasangan mesin, dan peralatan. Sementara untuk industri

dengan penurunan jumlah tenaga kerja terbanyak di tahun 2020 adalah industri pakaian jadi (320 ribu orang) serta industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki (213 ribu orang).

Hal ini disebabkan karena kedua industri tersebut termasuk industri labor-intensive, yang mana apabila perusahaan berupaya melakukan efisiensi biaya produksi, maka pengurangan tenaga kerja menjadi opsi yang paling memungkinkan. Sementara untuk tahun 2021 dan 2022, pemerintah menargetkan jumlah tenaga kerja industri pengolahan dapat bertambah menjadi 18,35 juta di tahun 2021 dan kemudian melejit naik menjadi 20,90 juta di tahun 2022.

Kinerja yang selaras ditunjukkan oleh kontribusi tenaga kerja industri pengolahan terhadap total pekerja. Sempat sedikit menurun pada periode 2012-2016, tren kontribusi meningkat pada periode 2016-2019, dengan hampir 15 persen dari total pekerja di Indonesia bekerja di sektor industri pengolahan di tahun 2019 (Gambar 2). Namun pada tahun 2020, proporsi pekerja industri pengolahan juga kemudian turun menjadi 13,61 persen akibat pandemi. Sementara untuk tahun 2021 dan 2022, pemerintah menargetkan adanya peningkatan kontribusi tenaga kerja industri pengolahan terhadap total pekerja, yaitu menjadi sebesar 14,00 persen pada tahun 2021 dan 15,00 persen pada tahun 2022.

3. Kinerja Investasi Langsung Dalam 1 dekade terakhir, perkembangan kinerja investasi langsung (direct investment) sektor industri pengolahan berfluktuasi dan cenderung mengalami tren penurunan, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA). Pada periode 2011-2013, nilai realisasi PMA sektor industri pengolahan masih mengalami peningkatan. Namun setelah itu,

1 Gambar 2 menggunakan data ketenagakerjaan per bulan Agustus tahun yang bersangkutan. Untuk Februari 2021, jumlah tenaga kerja industri pengolahan adalah sebanyak 17,82 juta orang dengan proporsi 13,60 persen (BPS, 2021).

Gambar 2. Perkembangan Jumlah dan Kontribusi Tenaga Kerja Industri Pengolahan

Sumber: BPS, 2021 (diolah)

Gambar 3. Perkembangan Nilai dan Pertumbuhan PMA dan PMDN Industri Pengolahan

Sumber: Kementerian Investasi, 2021 (diolah)

(7)

realisasi investasinya cenderung menurun. Pada periode 2014-2015 mengalami penurunan setiap tahunnya dan kembali meningkat pada tahun 2016. Namun, kembali mengalami penurunan tiap tahunnya di sepanjang 2017-2019. Untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), trennya sedikit berbeda dengan PMA. Pada periode 2011-2016 masih mampu bertumbuh atau meningkat setiap tahunnya. Tren penurunan setiap tahunnya mulai terlihat pada periode 2017-2019 (Gambar 3).

Untuk tahun 2020, baik realisasi PMA maupun PMDN mengalami peningkatan meskipun pandemi berlangsung. Realisasi PMA meningkat 38,23 persen dari 9,55 miliar USD menjadi 13,20 miliar USD. Peningkatan tersebut ditopang oleh pertumbuhan PMA subsektor utama yang juga mengalami pertumbuhan yang signifikan, yakni industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya (67,73 persen), industri kimia dan farmasi (17,26 persen), industri makanan (25,15 persen), serta industri kertas dan percetakan (111,32 persen). Sedangkan, PMDN meningkat 13,96 persen dari Rp72,67 triliun menjadi Rp82,82 triliun. Pertumbuhan PMDN di tahun 2020 ditopang oleh pertumbuhan PMDN industri kimia dan farmasi yang mampu bertumbuh 137,51 persen.

Jika dilihat dari subsektor, terdapat 5 jenis industri primadona yang menjadi tujuan PMA (Gambar 4).

Kelima industri tersebut adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya, industri kimia dan farmasi, industri makanan, industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain, serta industri mesin, elektronik, instrumen kedokteran, peralatan

listrik, presisi, optik dan jam. Dalam kurun waktu 2011-2020, rata-rata proporsi PMA per tahun pada kelima industri ini mencapai 75,38 persen dari total PMA. Sedangkan untuk PMDN, 5 industri primadona adalah industri makanan, industri kimia dan farmasi, industri mineral nonlogam, industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya, serta industri kertas dan percetakan. Rata-rata proporsi PMDN kelima sektor tersebut per tahunnya mencapai 84,93 persen dari total PMDN sepanjang 2011- 2020. Untuk tahun 2022, pemerintah menargetkan realisasi PMA dan PMDN sektor industri pengolahan sebesar Rp352,5 triliun atau meningkat sebesar 31,19 persen dari outlook realisasi sebesar Rp268,70 persen.

4. Kinerja Ekspor

Pada periode 2011-2015, kinerja ekspor sektor industri pengolahan cenderung mengalami tren yang menurun. Pada tahun 2011, ekspor sektor industri pengolahan masih mampu bertumbuh 19,82 persen dan kemudian mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2012-2013. Meskipun sempat kembali bertumbuh positif di tahun 2014 sebesar 3,99 persen, kinerja ekspor kembali terkontraksi tajam hingga mencapai negatif 9,31 persen pada 2015. Sedangkan pada periode 2016-2020, kinerja ekspor industri

Gambar 4. Rata-Rata Proporsi Investasi Langsung Menurut Subsektor Industri (%)

Sumber: Kementerian Investasi, 2021 (diolah)

(8)

5 pengolahan sempat mengalami perbaikan dengan pertumbuhan positif dan meningkat di

tahun 2015-2016. Namun setelah itu, kinerja ekspornya mengalami tren yang menurun dan bahkan pada 2019 kembali mengalami pertumbuhan negatif 2,11 persen (Gambar 5).

Pada tahun 2020, kinerja ekspor industri pengolahan masih mampu bertumbuh positif sebesar 2,91 persen meskipun di tengah pandemi.

Pertumbuhan yang masih positif ini tidak terlepas dari kinerja ekspor 5 subsektor yang masih mampu bertumbuh positif, yakni industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki (5,74 persen), industri logam dasar (30,50 persen), industri makanan (14,12 persen), industri pencetakan dan reproduksi media rekaman (14,39

persen), dan industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi (34,04 persen).

Untuk tahun 2022, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekspor industri pengolahan sebesar 8,45 persen, atau lebih tinggi dari target 2021 yang sebesar 8,07 persen.

Jika dilihat dari kontribusi terhadap total ekspor dan total ekspor nonmigas, sektor industri pengolahan memiliki kontribusi yang sangat dominan serta memiliki kecenderungan peningkatan. Pada periode 2011-2016 kontribusinya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik terhadap total ekspor maupun total ekspor nonmigas (Gambar 5). Namun pada periode 2017-2018, kinerjanya mengalami penurunan dan kembali meningkat pada periode 2019-2020. Secara rata-rata, kontribusi ekspor sektor industri terhadap total ekspor di sepanjang tahun 2011-2020 mencapai 70,53 persen per tahunnya. Sedangkan terhadap total ekspor nonmigas mencapai 80,66 persen per tahun.

Apabila di-breakdown menurut subsektornya, besarnya kontribusi ekspor industri pengolahan tersebut dominan disumbang oleh 5 subsektor, yakni industri makanan, industri logam dasar, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, industri karet, barang dari karet dan plastik, dan industri pakaian jadi. Kelima subsektor tersebut menyumbang rata-rata sekitar 57,44 persen per tahun dari total ekspor sektor industri pengolahan pada periode 2011-2020 (Gambar 6).

Gambar 6. Rata-Rata Proporsi Ekspor Industri Pengolahan Menurut Subsektor 2011-2020 (%)

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2021 (diolah) Gambar 5. Kontribusi Ekspor dan Pertumbuhan

Ekspor Industri Pengolahan (%)

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2021 (diolah)

(9)

III. STRATEGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN 2022 Untuk dapat mencapai seluruh target indikator sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian 2, pemerintah berencana untuk melaksanakan berbagai strateginya, baik strategi pemulihan ekonomi maupun peningkatan nilai tambah ekonomi. Untuk strategi-strategi pada PP Peningkatan Nilai Tambah, Lapangan Kerja, dan Investasi di Sektor Riil, dan Industrialisasi, beberapa strategi di antaranya berkaitan dengan sektor industri pengolahan. Strategi pemulihan ekonomi yang dapat berkaitan dengan industri pengolahan antara lain: (1) peningkatan ketersediaan bahan baku dan bahan penolong dalam tingkat yang kompetitif; (2) penyediaan stimulus dunia usaha; (3) pemulihan tenaga kerja dan pemulihan jam kerja melalui rehiring dan retraining tenaga kerja; (4) percepatan pembangunan Kawasan Industri Prioritas untuk menampung relokasi investasi; (5) perluasan pendanaan proyek industri prioritas; dan (6) peningkatan realisasi investasi yang berskala besar dan menyerap tenaga kerja.

Sementara, untuk strategi peningkatan nilai tambah ekonomi yang berkaitan dan dapat menyasar pada sektor industri pengolahan antara lain: (1) hilirisasi peningkatan nilai tambah sumber daya alam (SDA), termasuk sumber daya mineral, dan perbaikan rantai pasok berbasis investasi teknologi maju dan orientasi ekspor/global value chain (GVC); (2) peningkatan kualitas SDM yang didukung reskilling dan upskilling tenaga kerja;

(3) akselerasi hilirisasi komoditas mineral dan batu bara melalui pembangunan smelter dan infrastruktur pendukung; (4) peningkatan standar kualitas produk industri; serta (5) peningkatan investasi di industri pengolahan dan sektor digital. Secara umum, keseluruhan strategi pemerintah di atas dapat diintisarikan menjadi beberapa kata kunci yang dapat dikritisi untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah sektor industri pengolahan secara umum, yaitu terkait dengan: (1) bahan baku; (2) tenaga kerja/SDM;

(3) investasi; (4) stimulus; serta (5) hilirisasi SDA.

IV. CATATAN KRITIS DAN REKOMENDASI

Terkait berbagai strategi di atas, terdapat beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pertama, terkait dengan bahan baku. Peningkatan ketersediaan bahan baku dan bahan penolong menjadi salah satu strategi pemerintah dalam pemulihan sektor industri pengolahan. Sementara ketergantungan industri pengolahan terhadap bahan baku impor sendiri sudah menjadi persoalan mendasar yang memengaruhi kinerja sektoral, yang terlihat dari tingginya kontribusi impor bahan baku dan penolong terhadap total impor. Sepanjang periode 2000-2019, rata-rata kontribusinya sebesar 75,66 persen dan hampir selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya (Liana et al., 2021). Tingginya ketergantungan ini sebenarnya tidak akan menjadi masalah, apabila pemenuhan bahan baku impor selaras dengan peningkatan produksi dan produktivitas sektor industri pengolahan, khususnya yang berorientasi ekspor. Jika tidak, maka akan menimbulkan dampak bagi external balance dan perlambatan kinerja pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (Fitri dan Pratiwi, 2020; Liana et al., 2021). Faktanya, produksi industri pengolahan cenderung menurun dan produktivitasnya cenderung melambat sepanjang 2011-2019 (Fitri dan Pratiwi, 2020). Implikasinya, neraca dagang industri pengolahan

(10)

7 mayoritas defisit dalam kurun waktu yang sama, dimana pada tahun 2011 defisit 2,72

miliar USD dan tahun 2019 defisit 17,49 miliar USD.

Untuk itu, upaya peningkatan penyediaan bahan baku yang bersumber dari industri dalam negeri harus menjadi salah satu prioritas utama. Namun, prioritas tersebut harus diutamakan terhadap pemenuhan bahan baku bagi industri yang menjadi penyumbang terbesar kinerja perekonomian nasional, baik dilihat dari sisi kontribusinya terhadap PDB maupun kinerja ekspor nasional. Merujuk pada kontribusi subsektor industri pengolahan terhadap PDB dan arah kebijakan Making Indonesia 4.0, maka prioritas pemenuhan bahan baku tersebut sebaiknya diutamakan kepada sektor industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, kimia, otomotif, elektronika, farmasi, dan alat kesehatan. Secara spesifik, upaya penyediaan bahan baku yang bersumber dari industri dalam negeri sekurang-kurangnya difokuskan melalui pengembangan dan penguatan industri logam dasar (khususnya besi dan baja), serta petrokimia dan bahan kimia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan keterkaitan kedua industri tersebut terhadap produksi dan produktivitas industri yang menjadi fokus dari kebijakan Making Indonesia 4.0. Selain kedua industri tersebut, pemenuhan bahan baku yang bersumber dari industri domestik juga perlu ditopang dengan penguatan industri mesin. Hal ini didasarkan pada industri mesin akan menyokong kinerja hampir seluruh sektor yang menjadi fokus dari kebijakan Making Indonesia 4.0, karena keberadaan mesin merupakan salah satu faktor yang menentukan produksi dan produktivitas sektor ekonomi. Selain keterkaitan antarindustri, pertimbangan lainnya adalah karena industri logam dasar, bahan kimia, dan mesin merupakan industri yang berkontribusi besar terhadap total impor dan defisit neraca dagang industri pengolahan.

Penguatan ketiga industri tersebut dapat dilakukan dengan mengarusutamakan upaya perbaikan berbagai determinan yang menyebabkan industri dalam negeri semakin tergantung pada impor bahan baku dan barang modal. Determinan dimaksud antara lain adalah peningkatan kuantitas dan kualitas produksi, kesesuaian spesifikasi dengan kebutuhan industri lanjutannya, standardisasi produk, kepastian dan keberlanjutan pasokan dari sisi hulu (primer), pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pemanfaatan teknologi, harga yang bersaing, serta kebijakan yang memberikan proteksi bagi ketiga industri. Upaya perbaikan tersebut sebaiknya diawali dengan menyusun dan menetapkan neraca komoditas sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.

Kedua, terkait dengan tenaga kerja. Pemulihan tenaga kerja dan pemulihan jam kerja menjadi salah satu strategi yang diarahkan pada isu ketenagakerjaan pada sektor industri pengolahan. Perlu diketahui bahwa per Agustus 2020, pekerja sektor industri pengolahan turun menjadi 17,48 juta, dari mulanya 18,71 juta pada Februari 2020. Hal ini mengindikasikan banyaknya pekerja industri pengolahan yang ter-PHK pada periode tersebut. Meskipun pada Februari 2021 penduduk yang bekerja di sektor ini mulai naik lagi menjadi 17,82 juta orang, namun belum sepenuhnya kembali pada tingkat jumlah pekerja pada saat prapandemi yang sempat mencapai lebih dari 19 juta orang pada Agustus 2019. Menurut survei dari BPS (2020), dari 100 perusahaan di sektor industri pengolahan, sekitar 50 persen di antaranya tidak bisa beroperasi seperti biasa sejak

(11)

pandemi. Oleh karena itu, kebijakan perubahan jumlah pegawai menjadi salah satu opsi yang diambil oleh perusahaan. Misalnya untuk industri pengolahan sendiri, sekitar 52 dari 100 perusahaan memutuskan untuk mengurangi jumlah pekerja akibat pandemi, menjadikan sektor ini sebagai sektor yang paling banyak mengurangi jumlah pekerja di antara sektor-sektor lainnya. Tidak hanya itu, industri pengolahan juga menjadi sektor ekonomi yang paling banyak memberhentikan pekerja dalam waktu singkat, yaitu sebesar 18,69 persen (BPS, 2020). Senada dengan data tersebut, menurut Sakernas Agustus 2020 dalam Kementerian Ketenagakerjaan/Kemnaker (2021), dari total penduduk bekerja yang sementara tidak bekerja karena pandemi, 20,50 persen di antaranya (363,44 ribu orang) datang dari pekerja industri pengolahan. Meskipun demikian, pengurangan jam kerja masih menjadi opsi utama yang banyak diambil perusahaan apabila dibandingkan dengan opsi PHK (BPS, 2020). Apabila dilihat dari lapangan usahanya, dari total penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja, 19,27 persen di antaranya (4,63 juta orang) datang dari industri pengolahan (Kemnaker, 2021). Hal ini pun menjadikan sektor ini menjadi sektor nomor dua yang paling banyak mengurangi jam kerja setelah sektor perdagangan besar dan eceran.

Terkait dengan strategi reskilling dan upskilling, latar belakang pendidikan menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi keterampilan tenaga kerja. Per Februari 2011, pekerja sektor industri pengolahan didominasi oleh lulusan SD (27,02 persen) dan SMP (23,73 persen), sementara lulusan SMA dan SMK hanya 17,15 persen dan 14,49 persen saja (BPS, 2021). Namun kini, per Februari 2021, proporsinya relatif lebih merata, yaitu lulusan SD sebanyak 21,71 persen, SMP 21,28 persen, SMA 21,94 persen, dan SMK 21,23 persen. Artinya, semakin banyak lulusan SMA/SMK yang bekerja di industri pengolahan. Namun masih adanya proporsi pekerja dengan tingkat pendidikan rendah (tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, dan lulusan SD dengan total proporsi 28,77 persen) masih harus menjadi perhatian. Tidak hanya dari segi tingkat pendidikan saja, partisipasi dalam pelatihan pun juga berperan penting. Dari total penduduk bekerja yang pernah mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat, hanya sekitar 11 persennya saja (1,86 juta orang) yang bekerja di industri pengolahan (Kemenaker, 2021). Kemudian, apabila dilihat dari status keterampilan, dari 17,48 juta tenaga kerja industri pengolahan per Agustus 2020, mayoritas didominasi oleh tenaga kerja semi-skilled, diikuti oleh 18,99 persen tenaga kerja basic-skilled, dan hanya sekitar 6 persen saja yang skilled2. Tidak hanya itu, secara umum, produktivitas tenaga kerja industri pengolahan juga relatif turun dari tahun ke tahun, yang dilatarbelakangi oleh tren peningkatan tenaga kerja di sektor ini namun tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi terhadap PDB (LPEM FEB UI, 2021), sebagaimana tercermin pada data perkembangan di bagian sebelumnya.

Menyadari hal tersebut, langkah prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana memulihkan dan meningkatkan kembali jumlah tenaga kerja di industri pengolahan melalui rehiring dan retraining. Namun perlu menjadi catatan bahwa

2 Menurut Kemnaker, manajer, profesional, serta teknisi dan asisten profesional digolongkan sebagai skilled labor. Sementara itu, contoh pekerjaan semi-skilled adalah tenaga tata usaha, tenaga usaha jasa dan tenaga penjualan, pekerja terampil pertanian, kehutanan, dan perikanan, pekerja pengolahan, kerajinan dan YBDI,

(12)

9 selama kinerja industri pengolahan masih lesu akibat pandemi, perusahaan tidak mampu

untuk rehiring dan meningkatkan kapasitas produksi seperti biasa. Penanganan pandemi yang dapat mendorong kinerja sisi supply dan demand perekonomian secara sekaligus dinilai dapat mendorong kembalinya kinerja industri pengolahan secara penuh. Setelah itu, reskilling dan upskilling dapat diupayakan dari akar, melalui peningkatan pencapaian pendidikan masyarakat secara umum, peningkatan akses training dan reskilling bagi calon pekerja/lulusan baru maupun pekerja industri eksisting melalui upskilling, serta melalui upaya yang telah direncanakan dalam Indonesia Making 4.0 yaitu peningkatan kualitas SDM melalui penyesuaian kurikulum pendidikan dengan penekanan pada STEAM (Science, Technology, Engineering, the Arts, dan Mathematics) maupun kejuruan/keterampilan ekstra lain yang diproyeksikan diperlukan oleh industri pengolahan secara umum di masa depan.

Ketiga, terkait dengan investasi. Peningkatan investasi secara umum juga menjadi salah satu strategi pemerintah dalam peningkatan nilai tambah industri pengolahan. Hal ini dilatarbelakangi karena salah satu penentu keberhasilan peningkatan nilai tambah industri pengolahan adalah investasi (khususnya investasi langsung). Oleh karena itu, pemerintah harus mampu memperbaiki catatan buruk kinerja PMA dan PMDN yang mengalami kecenderungan penurunan sepanjang 2017-2019, baik dari sisi proporsinya terhadap total PMA dan PMDN maupun angka pertumbuhannya. Sama halnya dengan pemenuhan bahan baku, upaya perbaikan kinerja PMA dan PMDN juga harus difokuskan pada subsektor industri yang menjadi sasaran Indonesia Making 4.0 dan industri utama pemenuhan bahan baku dalam negeri. Dari sisi proporsi, subsektor industri yang menjadi sasaran Indonesia Making 4.0 dan industri utama pemenuhan bahan baku dalam negeri telah menjadi subsektor utama PMA di sektor industri pengolahan, yakni rata-rata per tahunnya mencapai 77,33 persen sepanjang 2015-20203. Demikian juga terhadap PMDN, yakni rata-rata mencapai 59,86 persen per tahunnya.

Namun yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah mayoritas subsektor tersebut mengalami tren penurunan dan bahkan mengalami pertumbuhan negatif sepanjang 2017-2019. Secara spesifik untuk PMA, subsektor yang perlu mendapat perhatian ekstra dan didorong nilai investasinya adalah industri tekstil. Hal ini dikarenakan masih rendahnya proprosi PMA untuk sektor tekstil terhadap total PMA sektor industri pengolahan dalam kurun waktu 2015-2020 dan cenderung stagnan, yakni rata-rata 2,67 persen per tahun. Sedangkan untuk PMDN, subsektor yang perlu mendapat perhatian ekstra adalah industri makanan, dimana rata-rata proporsinya hanya 0,2 persen sepanjang 2015-2020 dan cenderung stagnan. Oleh karena itu, momentum pertumbuhan positif PMA dan PMDN di 2020 pada keseluruhan subsektor prioritas tersebut harus tetap mampu dijaga dan ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang. Tidak hanya itu saja, upaya peningkatan PMA juga harus diikuti dengan arah kebijakan investasi yang memastikan adanya proses transfer knowledge and technology dan pemenuhan TKDN.

3 Industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, kimia, otomotif, elektronika, farmasi, alat kesehatan, logam dasar, petrokimia dan bahan kimia, serta mesin.

(13)

Kempat, terkait stimulus. Penyediaan stimulus dunia usaha juga menjadi salah satu upaya pemulihan kinerja sektor industri pengolahan melalui pemberian insentif perpajakan. Harapannya, insentif perpajakan yang diberikan oleh pemerintah mampu mengakselerasi produktivitas dan pertumbuhan sektoral ekonomi, termasuk industri pengolahan. Selama periode 2016-2019, sektor terbesar yang memperoleh insentif perpajakan adalah sektor industri pengolahan, yakni sebesar Rp147,5 triliun dari total belanja perpajakan yang sebesar Rp871,765 triliun atau setara 16,92 persen. Dalam periode yang sama, sektor industri pengolahan juga mendapatkan insentif yang terus bertumbuh dan pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2018 yakni 20,34 persen. Melalui besarnya dukungan insentif tersebut, pemerintah mengharapkan kinerja sektor industri pengolahan dapat lebih baik, baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Faktanya, harapan pemerintah tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional sepanjang 2016-2019 mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Demikian juga dengan pertumbuhan sektoral yang cenderung menurun dan selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Kontradiksi ini merupakan indikasi kurang efektifnya insentif perpajakan yang diberikan kepada sektor industri pengolahan dan perlu dilakukan evaluasi ke depannya. Selain itu, kontradiksi ini juga dapat dijadikan indikasi bahwa ada determinan lain yang besar pengaruhnya terhadap kinerja industri pengolahan. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi komprehensif terhadap insentif perpajakan yang sudah dilakukan selama ini dan sekaligus melakukan pemetaan terhadap determinan lain yang perlu diintervensi pemerintah guna mengakselerasi kinerja industri pengolahan.

Kelima, terkait hilirisasi SDA. Dalam RKP 2022, pemerintah berencana untuk mengakselerasi hilirisasi SDA, termasuk di dalamnya adalah sumber daya mineral.

Sebelumnya, pemerintah telah menargetkan penyelesaian pembangunan 53 smelter hingga tahun 2024. Smelter tersebut ditujukan untuk beberapa komoditas mineral antara lain nikel, bauksit, besi, tembaga, mangan, timbal, dan seng. Namun hingga tahun 2020, baru 19 smelter saja yang sudah diselesaikan, sehingga menyisakan 34 smelter untuk diselesaikan selama periode 2021-2024 (Kementerian ESDM, 2021)4. Tidak hanya itu, apabila melihat perkembangan tren penyelesaian smelter selama 4 tahun terakhir, jumlah penyelesaian smelter per tahun hanya berkisar pada 1-2 smelter per tahun saja yang disumbang secara spesifik oleh penyelesaian smelter nikel, sementara penyelesaian smelter lainnya relatif stagnan5.

Pengadaan smelter sebagai upaya hilirisasi mineral tentu sangat membutuhkan ketersediaan pasokan bahan baku yang sustainable. Namun pada tahun 2020, mayoritas realisasi rasio produksi mineral yang diproses dalam negeri dari komoditas tembaga, timah, nikel, dan bauksit justru masih di bawah 90 persen dan juga tidak mencapai target, kecuali untuk nikel yang rasio diproses dalam negerinya mencapai 94 persen dari

4 Dari ke-34 smelter yang masih menjadi prognosis/rencana, 17 di antaranya adalah smelter nikel, 9 smelter bauksit, 3 smelter besi, 2 smelter tembaga, 1 smelter mangan, dan 2 smelter timbal dan seng.

5 Dari 53 smelter mineral yang direncanakan, 30 di antaranya adalah smelter nikel. Hal ini kemungkinan menjadi justifikasi bagi pemerintah untuk memprioritaskan penyelesaian smelter nikel dibandingkan

(14)

11 targetnya 66 persen (Kementerian ESDM, 2021). Menurut Kementerian ESDM (2021), hal

ini mayoritas disebabkan oleh pandemi yang menghambat operasi tambang serta terdapat berbagai permasalahan teknis tambang. Secara umum, Kementerian ESDM (2021) mengakui bahwa beberapa hambatan ditemui dalam upaya peningkatan pembangunan smelter selama ini. Beberapa hambatan tersebut antara lain investasi yang dibutuhkan tinggi, keterbatasan pasokan energi dan infrastruktur akses, serta kesulitan pasokan bagi smelter tanpa tambang.

Untuk itu, ke depan, diharapkan pemerintah dapat mengakselerasikan kelanjutan pembangunan seluruh smelter yang telah direncanakan, karena masih banyaknya pekerjaan rumah yang belum selesai yang masih harus diselesaikan sebelum tahun 2024.

Salah satu hal krusial adalah bagaimana meningkatkan ketersediaan pasokan mineral mentah untuk dapat diolah di smelter dalam negeri, menyadari bahwa utilisasi penuh pada smelter akan memberikan benefit berupa economies of scale dari operasional smelter. Benefit ini juga dapat menjadi insentif tersendiri bagi pembangunan smelter baru karena diketahui bahwa investasi smelter membutuhkan biaya yang tinggi. Berbagai restriksi ekspor bahan mineral mentah ke luar negeri, yang mana salah satunya yang diimplikasikan pada UU No. 3 Tahun 2020 (UU Minerba), sudah menjadi langkah awal yang baik untuk memastikan ketersediaan bahan baku bagi smelter dalam negeri.

Selanjutnya, langkah-langkah seperti promosi investasi dan follow-up intensif dari pemerintah pada investor smelter yang eksisting, serta pembangunan infrastruktur akses di sekitar smelter juga dinilai akan membantu mempercepat pembangunan smelter dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Ipak. 2021. MES: Perlu Insentif Sebagai Stimulus Industri Meningkatkan TKDN.

Bisnis.com. Diakses melalui

https://ekonomi.bisnis.com/read/20210501/257/1388866/mes-perlu-insentif- sebagai-stimulus-industri-meningkatkan-tkdn.

Badan Kebijakan Fiskal. 2020. Laporan Belanja Perpajakan 2019. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI.

Badan Kebijakan Fiskal. 2020. Laporan Belanja Perpajakan 2019. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI.

BPKM. 2021. Perkembangan Realisasi Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal

Dalam Negeri Periode 2010-2020. Diakses dari

https://nswi.bkpm.go.id/data_statistik.

BPS. 2020. Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha.

BPS. 2021. [Seri 2010] Distribusi PDB Triwulanan Seri 2010 Atas Dasar Harga Berlaku (Persen), 2021. Diakses melalui https://www.bps.go.id/indicator/11/106/1/-seri- 2010-distribusi-pdb-triwulanan-seri-2010-atas-dasar-harga-berlaku.html.

BPS. 2021. [Seri 2010] Laju Pertumbuhan PDB Seri 2010 (Persen), 2021. Diakses melalui https://www.bps.go.id/indicator/11/104/1/-seri-2010-laju-pertumbuhan-pdb- seri-2010.html.

(15)

BPS. 2021. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama

2011–2021. Diakses melalui

https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/970/penduduk-15-tahun-ke- atas-yang-bekerja-menurut-lapangan-pekerjaan-utama-1986---2021.html.

Fitri, Hikmatul dan Dwi Resti Pratiwi. 2020. Penguatan Industri Manufaktur Dalam Memperkokoh Perekonomian Nasional, dalam Buku Tinjauan Kritis Atas Kinerja Sektor Pertanian, Perikanan dan Industri Pengolahan. Jakarta: Pusat Kajian Anggaran.

Liana, Damia., Bunga Mega Sejati., dan Robby Alexander Sirait. 2021. Pertumbuhan Ekonomi, dalam Buku Asumsi Dasar Ekonomi Makro Dari Masa Ke Masa Sejak Pascareformasi. Jakarta: Pusat Kajian Anggaran.

LPEM FEB UI. 2021. Perekonomian Indonesia 2021 dan 2022. Bahan Paparan Diskusi Pakar Dengan Pusat Kajian Anggaran DPR RI 23 Agustus 2021.

Kementerian ESDM. 2021. Capaian Kinerja 2020 dan Program 2021.

Kementerian ESDM. 2021. Laporan Kinerja KESDM 2020.

Kementerian ESDM. 2021. Rencana Strategis KESDM 2020-2024.

Kementerian Ketenagakerjaan. 2021. Ketenagakerjaan Dalam Data Edisi 3 2021.

Kementerian Perindustrian. 2018. Making Indonesia 4.0: Dokumen Peluncuran Resmi 2018.

Kementerian Perindustrian. 2021. Laporan Kinerja Kementerian Perindustrian Tahun 2020.

Kementerian Perindustrian. Ekspor Industri Pengolahan Tahun 2010-2021.

Kementerian PPN/Bappenas. 2021. Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022:

Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.

(16)
(17)

PUSAT KAJIAN ANGGARAN

BADAN KEAHLIAN SETJEN DPR RI

Jl. Jend. Gatot Subroto - Jakarta Pusat Telp. (021) 5715635 - Fax (021) 5715635

http:// www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran

email: puskaji.anggaran@dpr.go.id

Gambar

Tabel 1. Target Indikator Kinerja Sektor Industri Pengolahan dalam RKP 2022
Gambar 3. Perkembangan Nilai dan Pertumbuhan  PMA dan PMDN Industri Pengolahan

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan hubungan tidak bermakna didapatkan pada frekuensi konsumsi ikan (p = 0,302), tingkat pendidikan ibu (p = 0,109), dan riwayat pemberian ASI (p = 0,844) dengan

Seramai 254 orang responden (63.2 %) bersetuju bahawa mereka membuat pembiayaan peribadi disebabkan kadar keuntungan yang dikenakan oleh institusi perbankan adalah

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pustikawaty, Hafizah, & Wulandari tahun 2015, yang menyatakan bahwa setelah diberikan aromaterapi

Berdasarkan studi pustaka tersebut dengan menggabungkan beberapa ide dari hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan oleh para peneliti sebelumnya, maka penelitian yang

Penetapan pilihan teknologi konstruksi dan rencana dimensi bahu jalan pada dasarnya harus dikaitkan dengan besaran rumaja, dan akan sangat tergantung kepada kondisi tanah

d) nilai manfaat dapat lebih kecil dari nilai dana yang diinvestasikan, tergantung pada ada atau tidaknya bagian manfaat yang dijamin. Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf

Fungsi-fungsi manajemen adalah hal yang sangat penting dalam sebuah kegiatan perusahaan, baik perusahaan yang berorientasi kepada laba maupun perusahaan nirlaba, tak

Dalam survey diketahui masih ada pejabat yang belum terlibat dalam proses penyusunan anggaran, hal ini menunjukkan bahwa kinerja masih bisa lebih ditingkatkan dengan