PPnSpst<H, Volume Xtl No. 2 Tahun 2007 Edisi Mei
KAJIAN KRITIS BEBERAPA PASAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR: 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN Oleh :
Abdul Rokhim
(e-mail: [email protected])
,'.'ffi'r"1":ll'1,:ff T#[ll*"
Abstract
Role of labour in filling national development very big its meaning. Attention to prospeity of labour shall be conducted seiously, because related the mentioned sliver
with effort improve national productivity. Forthe reason protection of lawto Iabour have to be balanced with protection of law which have been specified to employer pafty.
Difference of social status among activity energy labour with employer, oftentimes problems menyulut that happened To employer pafty which is strong social status of
often in specifying policy cause loss to labour . On the other side labour pafty is not easyto pretent to which its its, consideing its much more compared to low social status of lls
employer. Even what conducted by employer frequently get out of responsibility judicially.
The mentioned happened because rule which included in of No. 13 Year 2003 about conducive Ketenagakerjaan for that and still there are congeniality difference so that e m e rg e oth e r i nte ry ret atio n.
Key words: Role And Regulation Labour,, Responsibility And Specifying Policy Salah satu bagian integral dari
pembangunan nasional yang berdasar- kan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pembangunan di bidang ketenagakerjaan. Pembangunan ke- l e n a g a k e r j a a n d i l a k s a n a k a n d a l a m rangka pembangunan manusia seutuh- nya dan pembangunan masyarakat lndonesia seluruhnya untuk meningkat- kan harkat, martabat, dan harga diri seorang tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spiritual.
S e i r i n g d e n g a n k e m a j u a n j a m a n d i m a n a s e m a k i n m a j u il m u p e n g e t a h u a n
n i l a i le b i h d a l a m a r t i l e b i h m a m o u . le b i h
Kaiian Kritis BeberaDa Pasal Dalam Abdul Rokhim
Undang-UnOang)No. 13 Tahun 2OO3 gg Te ntang Kete n ag ake i a an
dan tehnologi, serta peluang pasar di dalam dan di luar negeri menuntut p e n i n g k a t a n k u a l i t a s s u m b e r d a y a manusia Indonesia pada umumnya .
Demikian juga terhadap peranan dan kedudukan tenaga kerja dalam p e l a k s a n a a n p e m b a n g u n a n n a s i o n a l khususnya, baik sebagai pelaku pem- b a n g u n a n m a u p u n s e b a g a i t u j u a n pembangunan.
Tenaga kerja sebagai pelaku pembangunan berperan meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, tenaga kerja harus diberdayakan supaya mereka memiliki
Pansen<u,votume xll No. 2 Tahun 2007 Edisi Mei terampil, dan lebih berkualitas, agar dapat
berdaya guna secara optimal dalam pembangunan nasional dan mampu bersaing dalam era globalisas..
Kemampuan, keterampilan, dan keahlian tenga kerja perlu terus menerus ditingkatkan melalui perencanaan dan program ketenagakerjaan termasuk pelatihan, pemagangan, dan pelayanan penempatan tenaga kerja.
M e n g i n g a t p e n t i n g n y a p e r a n tenaga kerja dalam mengisi pe;bangun- an nasional, maka tenaga kerja perlu mendapatkan perlindungan dalam banyak aspek, di antaranya perlindungan untuk memperoleh pekerjaan di dalam dan di luar negeri, perlindungan hak-hak dasar pekerja, perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan upah dan jaminan sosial sehingga dapat menjamin keamanan dan keadilan serta terwujudnya kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Selain itu juga harus dipikirkan perlindungan hak tenaga kerja dari kewenang-wenangan pihak lain yang semula berkedudukan sebagai perantara kerja
Dalam pembangunan ketenaga- kerjaan harus memperhatikan banyak hal, tidak hanya menyangkut kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah masa kerja,namun juga terhadap kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Oleh karena itu dalam pengaturannya harus menyeluruh dan komprehensif, antara lain meliputi perencanaan tenaga kerja, pengembangan sumber daya manusia, perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja.
Sejak awal telah ditetapkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, Tiap{iap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
D e m i k i a n p e m b a n g u n a n ke- tenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif dalam dunia usaha. Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, maka negara dalam memberikan per- lindungan segala hak setiap pekerja atau buruh harus tidak ada diskriminasi.
Dalam konsideran bagian me- nimbang huruf d Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa, perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak- hak dasar pekerja/buruh, dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekeda buruh dan keluarganya dengan tetap
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 gg Te nta ng Kete n ag a ke i a a n
PznsesXZZ Votume Xtt No. 2 Tahun 2007 Edisi Mei
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Mengingat masih adanya ke- senjangan yang terjadi dalam penerapan ketentuan Undang-Undang No. '13 Tahun 2003 dan bahkan menimbulkan per- m a s a l a h a n b a ru d a l a m h u b u n g a n industrial, maka pada saat penyusunan makalah ini, penulis berupaya mengkritisi beberapa pasal yang sek5anya ber- peluang menimbulkan perselisihan per buruhan atau bahkan merugikan pihak tenaga kerja selaku pihak yang lemah.
Dalam kepustakaan hukum yang selama ini menyebutkan adanya istilah hukum perburuhan yang berasal dari istilah Arberdsrecht Lanny Ramli dalam b u k u n y a t e l a h m e n g u t i p b e b e r a p a batasan pengertian, di antaranya menurut Mofennar, Arbeidsrecht adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara pekerja dan majikan, antara pekerja dengan pekerja, dan antara pekerja dengan penguasa. Jadi dalam hal ini hukum perburuhan melibatkan tiga pihak yaitu pekerja, majikan dan penguasa/
pemerintah (Lanny Ramli, 1 998: 5).
S e d a n g k a n l m a n S o e p o m o m e n d e f i n i s i k a n h u k u m P e r b u r u h a n sebagai himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Undur-unsur yang harus dicakup dan dikemukakan oleh lman Soepomo.
adalah himpunan peraturan; bekerja pada orang lain (di bawah pimpinan orang lain); menerima upah; dan soal-soal yang berkenaan kejadian.
Dari unsur-unsur di atas jelaslah bahwa, substansi hukum perburuhan h a r n y a m e n y a n g k u t p e r a t u r a n y a n g mengatur hubungan .hukum seseorang yang disebut buruh dengan majikan yang bersifat keperdataan. Namun demikian, dalam Pasal 1 Undang-Undang No. '13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa, Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, sdlama, dan sesudah masa kerja.
Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah dirumuskan pengertian hukum ketenagakerjaan adalah segala peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama inikita kenal.
Jika hubungan hukum antara b u r u h d e n g a n m a j i k a n d i s e r a h k a n sepenuhnya kepada para pihak, maka dapatlah dipastikan bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan untuk menciptakan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Te ntan g Kete n ag a ke rj a a n 100
PznsemgT. Volume Xtt No. 2 Tahun 2007 Edisi Mei
keadilan sosial di bidang perburuhan akan sangat sulit tercapai, Karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai atau menekan pihak yang lemah (Homo Homoni /opus). Majikan sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak buruh yang berada pada posisi yang lemah.
Atas dasar pertimbangan inilah pemerintah dituntut untuk berperan aKif d a l a m m e n a n g a n i masalah ke- tenagakerjaan melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturf l tersebut dimaksudkan untuk memberikan ke- pastian hukum terhadap hak dan ke- wajiban majikan (pengusaha) maupun
pekerja atau buruh. Berdasarkan Bab I mengenai Campurtangan pemerintah dalam Ketentuan Umum , Pasal 1 angka 11 bidang ketenagakerjaan adalah untuk Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mewujud-k'an jaminan dalam memberikan ditegaskan bahwa pemagangan adalah hak-hak bagi buruh atau pekerja sebagai bagian dari sistem pelatihan kerja yang manusia yang utuh, karena itu harus diselenggarakan secara terpadu antara dilindungi hak-haknya dengan tetap pelatihan di lembaga pelatihan dengan memperhatikan kepentingan pengusaha bekerja secara langsung di bawah /majikandemikelangsunganperusahaan. bimbingan dan pengawasan instruKur
Hukum ketenagakerjaan mem- atau pekerja atau buruh yang lebih punyai sifat ganda yakni sifat privat dan berpengalaman, dalam proses produksi publik. Sifat privat melekat pada prinsip barang dan/atau jasa di perusahaan, dasar adanya hubungan kerja yang dalam rangka menguasai ketrampilan atau ditandai dengan perjanjian kerja antara keahlian tertentu'
buruh atau pekerja dengan majikan atau S e l a n j u t n y a k e t e n t u a n y a n g pengusaha. Sedangkan sifat publik nya mengatur tentang pemagangan se- dapat dilihat dari: Pertama, adanya sanksi bagaimana terinci dalam Pasal 21 s/d pidana, denda, dan sanksi administrasi Pasal 29 Undang-Undang No. l3 Tahun
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Te nta ng Kete n ag a ke d a a n 101
bagi pelanggar ketentuan di bidang ketenagakerjaan. Kedua, keharusan mendapatkan izin pemerintah dalam masalah pemutusan hubungan kerja ( P H K ) . Ketiga, ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (Upah Minimum)
Berikut ini diadakan pengkajian terhadap beberapa pasal dari Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang K e t e n a g a k e r j a a n y a n g berpeluang menimbulkan masalah, dan sekaligus dapat diketahui masih adanya kelemahan dari kelentuan yang dimaksud:
B.l. Pemagangan
Pgnsen<Zt Volume Xtl No. 2 Tahun 2OO7 Edisi Mei
2003. Dari kesembilan pasal yang mengatur tentang pemagangan tersebut tak satupun yang mengatur pembatasan waKunya. Di samping itu menurut Pasal 24 pemagangan dapat dilakukan di oerusahaan sendiri.
Demikian jika pemagangan itu dilakukan di perusahaan yang terkait, maka dimungkinkan terjadi kesewenang- wenangan dari pihak pengusaha di mana dalam memperkerjakan buruh dengan status magang tanpa ada kepastian batas waktu magang. Hal ini tentu merugikan pihak buruh, terutama yang menyangkut hak pengupahan yang tentunya berbeda dengan upah bagi buruh yang ditetapkan sebagai pekerja tetap.
D a l a m h a l i n i p e l a k s a n a a n pemagangan dapat diselewengkan dari makna dan tujuan pelatihan kerja yang s e s u n g g u h n y a s e b a g a i m a n a y a n g dimaksudkan oleh Pasal 9 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003, bahwa pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkat- kan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktifi tas dan kesejahteraan".
B.2. Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menetapkan bahwa,
pelaksanaan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1 ) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja. Dalam ketentuan tersebut melarang adanya pemungutan biaya penempatan, namun tidak menetapkan a n c a m a n s a n k s i p i d a n a t e rh a d a p peranggarnya.
Ketiadaan sanksi hukum bagi p e l a n g g a r k e t e n t u a n tersebut akan mengakibatkan ketidak-efektifan ke- tentuan yang melarang pemungutan biaya penempatan kerja. Dalam kenyataan p e m u n g u t a n ini sering terjadi dan dilakukan oleh perusahaan penempatan keria (perusahan penyalur tenaga kerja).
lronisnya dalam Pasal 38 ayat (2) Undang- Undang No.13 Tahun 2003 berbunyi, Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya pe-nempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu. Dengan demikian ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. '13 Tahun 2003 adalah sia-sia dan tidak konsisten, karena bagaimanapun juga masih diperbolehkan memungut biaya
K
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Te ntang Kete n agake d aan 102
Pensest<u, votume Xll No. 2 Tanun 2007 Edisi Mei
penempatan meskipun hanya terhadap tenaga kerja dengan golongan dan jabatan tertentu.
Adapun pelanggaran terhadap Pasal 38 ayat (2) undang-Undang No. 13 Tahun 2003 telah diatur dalam Pasal 1 88, dengan ancaman sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta r u p i a h ) d a n p a i i n g b a n y a k R p 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Di samping itu dikenakan pul? sanksi administratif berdasarkan Pasal 190 Undang-Undang No. 1 3 Tahun 2003.
8.3. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu
M e n u r u t P a s a l 5 6 a y a t ( 2 ) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waKu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Dalam perjanjian kerja untukwaktu B'4' Perjanjian pemborongan Keria tertentu yang didasarkan atas jangka Pasal 6 Undang-Undang No. 13 waKu, dapat menimbulkan implikasi bagi
Tahun 2OO3 menentukan bahwa, per- buruh, yaitu menimbulkan interpretasi
usahaan dapat menyerahkan sebagian bahwa pekerjaan-pekerjaan yang tidak pelaksana pekerjaan kepada perusahaan didasarkan pada jenis, sifat, atau kegiatan lainnya melarui perjanjian pemborongan pekerjaannya yang bersifat sementara, pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja dapat diperjanjikan berdasarkan per-
atau buruh yang dibuat secara tertulis. Dari janjian kerja waKu tertentu atas dasar perumusan pasal 64 tersebut, terdapat jangka waKu
dua macam perjanjian, yaitu: pertama, Penafsiran demikian itu tentu tidak per.lanjian pemborongan pekerjaan, yaitu sejalan dengan Pasal 59 ayat (2) Undang- suatu perusahaan menyerahkan sebagian Undang No.13 tahun 2003 yang pelaksanan pekerjaan kepada perusahaan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentmg Ketenagakedaan 103
menyatakan bahwa, perjanjian kerja untuk waKu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan d a l a m a y a t ( 7 ) d i n y a t a k a n b a h w a pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (2) ini akan berakibat perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut demi hukum berubah menjadi perjanjian kerja untuk waKu tidak tertentu.
Dalam kenyataan tidak jarang p e r u s a h a a n mempekerjakan buruh d e n g a n s i s t e m k o n t r a k y a n g identik dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu atas dasarjangka waKu meskipun terhadap pekerjaan yang bersifat tetap.
H a l i n i d i l a k u k a n demi kepentingan pengusaha yang berusaha meminimalkan biaya produksi, karena dengan cara seperti itu pengusaha terbebas dari tuntutan kenaikan upah berkala.
PenseztCg. Volume Xtl No. 2 Tahun 2007 Edisi Mei
lain; dan kedua, perjanjian penyediaan jasa buruh atau Pekerja.
S e l a n j u t n Y a P e r j a n j i a n P e m - borongan pekerjaan tersebut diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Pada a1al (2) menentukan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat- syarat, di antaranya bahwa pekerjaan itu h a r u s d i l a k u k a n d e n g a n P e r i n t a h langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan.
T i m b u i P e r t a n Y a a n d i s i n i, bagaimana mungkin perusahaan yang telah menyerahkan sebagian pelaKsana- an pekerjaan kepada perusaha-an lain masih tetap memiliki kewenangan untuk memberikan perintah langsung atau tidak langsung terhadap pelaksana pekerjaan yang telah diborongkan kepada per- usahaan lain. Dengan demikian se- benarnya Pasal 65 ayat (2) tersebut di atas tidak konsisten dengan Pasal 64.
8 . 5 . P e r j a n j i a n P e n Y e d i a a n J a s a Buruh/Pekerja
Dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 dikenal pula adanya perjanjian penyediaan buru atau pekerja' SelanjutnYa dalam Pasal 66 ayat(1) ditetapkan bahwa, pekerja atau
buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok, atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses oroduksi, kecuali untuk kegiatan lasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Dari ketentuan tersebut dapat d i t a ri k k e s i m P u l a n b a h w a a n t a r a perusahaan PenYedia tenaga kerja dengan perusahaan pemberi kerja terjadi perjanjian sewa-menyewa buruh. Bahwa perusahaan penvedia pekerja atau ouruh hanya sebatas perantara. sedangkan yang mempekerjakan adalah perusaha- an lain.
Selanjutnya terjadi pertentangan (tidak konsisten) antara Pasal 66 ayat (2) dengan Pasal 'l angka 15 Undang- tJndang No. 13 Tahun 2003. Bagaimana dapat dikatakan adanya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa buruh atau peke|ja dengan pihak buruh atau pekeria itu sendiri? Dalam hal ini tidak akan mungkin terjadi hubungan kerja di antara mereka, karena menurut Pasal 1 angka 15 menentukan, hubungan kerja adalah hubungan antara Pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian ker,ia, yang mempunyai unsur
Llndang-lJndang No. 13 Tahun Te nta ng Kete n ag a ke ri a a n
Pensest<:A Votume X No. 2 Tahun 2OO7 Edisi Mei
pekerjaan, upah , dan perintal'.
Dalam hubungan hukum antara pekerja atau buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh, pada dasarnya pihak pekerja atau buruh tidak mengikatkan diri untuk bekerja pada perusahaanjasa pekerj atau buruh.
S e b a l i k n y a , p i h a k p e r u s a h a a n penyedia jasa pekega atau buruh tidak mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja atau buruh tersebut. Yang terjadi adalah perusahaan penyedia pekerja atau buruh mengikatkan diri untuk me- nempatkan pekerjaburuh pada per- usahaan pengguna.
8.6. Pelaksanaan Cuti Haid
Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menetapkan: pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa h a i d m e r a s a k a n s a k i t d a n m e m - beritahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waKu haid. Selanjutnya d a l a m a y a t ( 2 ) - n y a m e n e t a p k a n , pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Jadi cuti haid itu tidak serta merta dapat digunakan, melainkan terlebih dahulu harus diatur dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
Dersama.
D e n g a n d e m ik i a n d a p a t l a h dikatakan bahwa ketentuan Pasal 81 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan mengikat dan bahkan tidak bermakna, karena pengaturannya diserahkan kepada pihak pengusaha atau atas kesepakatan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha.
Meskipun demikian pengusaha adalah pihak penentu perlu tidaknya ketentuan tentang cuti haid itu dimasukkan dalam peraturan perusahaan ataupun dalam perjanjian kerja. Apalagi terhadap perusahaan yang tidak menentukan kebijakan tentang cuti haid tidak ada sanksihukumnya.
8.7. Keselamatan dan Kesehatan Kerja M e n g e n a i k e s e l a m a t a n d a n kesehatan kerja perlu diperhatikan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa, setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Ketentuan tersebut tidak tegas, karena tidak merumusKan kewajiban pengusaha secara eksplisit, dan tidak mencantumkan sanksi oidana.
Adapun perlindungan bagi pekerja atau buruh sebagaimana tersebut di atas
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentmg Ketenagakedaan
EERSPE|(U. Volume Xll No. 2 Tahun 2007 Edisi Meitt
adalah bagian dari kewajiban dari pengusaha yang mempekerjakannya.
Oleh sebab itu semestinya pelanggaran terhadap ketentuan tersebut baik yang disengaja atau tidak disengaja harus dikenakan sanksi hukum.
8.8. Peraturan Perusahaan
P a s a l 1 1 1 a y a t ( 4 ) U n d a n g - Undang No. 13 Tahun 2003 dinyatakan b a h w a , s e l a m a m a s a b e rl a k u n y a peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat bf,uh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan p e rj a n j i a n k e r j a b e r s a m a , m a k a pengusaha wajib melayani. Perjanjian kerja bersama dimaksud adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau serikat buruh atau beberapa serikat pekerja atau serikat buruh yang tercatat pada instansi yang b e r t a n g g u n g j a w a b di bidang ke- tenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah oihak.
Kewajiban pengusaha untuk melayani pembuatan perjanjian kerja bersama ini menjadi lemah, karena ketentuan ini tidak diberi sanksi pidana a t a u p u n s a n k s i a d m i n i s t r a t i f b a g i pelanggarnya. Lemahnya posisi sosial
buruh tanpa adanya jaminan perlindungan hukum yang tegas akan menjadikan buruh ketakutan dalam memberikan tawaran lebih dulu untuk membuat perjanjian kerja bersama kepada pengusaha.
B.9. Larangan Pemutusan Hubungan Kerja
Pasal 153 Undang-Undang No. 13 T a h u n 2 0 0 3 m e n e t a p k a n b a h w a , p e n g u s a h a d i l a r a n g m e l a k u k a n p e - mutusan hubungan kerja dengan alasan;
pertama: pekerja atau buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; kedua: pekerja atau buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan per- a t u r a n p e r u n d a n g - u n d a n g a n y a n g berlaku; ketiga: pekerja atau buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; keempat: pekerja atau buruh menikah; kelima: pekerja atau buruh p e r e m p u a n h a m i l , melahirkan,gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
keenam: pekerjaatau buruh mempunyai p e r t a l i a n d a r a h d a n atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, p e r a t u r a n p e r u s a h a a n , atau suatu
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Te nta n g Ke te n ag a ke d a a n 106
Penseet@, volume xll No. 2 Tahun 2007 Edisi Mei
perjanjian kerja bersama; ketuju h:
p e k e r j a / b u r u h m e n d i r i k a n , m e n j a d i anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/buruh, pekerjaiburuh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau ber- dasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian keria, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; kedelapan:
pekerja atau buruh yang mengadukan p e n g u s a h a k e p a d a y a n g berwajib mengenai perbuat-r pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
kesembilan: karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; kesepuluh: peker.la atau buruh dalam keadaan cacat tetao.
sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waKu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Terhadap pelanggaran Pasal 153 ayat (1 ) tersebut ditetapkan adanya sanksi hukum yang berupa pembatalan atas pe- mutusan hubungan kerja dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja atau buruh yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan ayat (2), yang dalam penerapannya sangat merugikan pekerja atau buruh yang bersangkutan.
Karena untuk mencapai itu semua diperlukan perjuangan keras dari pihak pekerja/buruh yang dirugikan dan harus melalui proses penyelesaian tertentu dan b u t u h w a k t u p u l a . S e l a m a p r o s e s penyelesaiannya berlangsung, sudah b a r a n g t e n t u p e k e r j a / b u r u h y a n g bersangkutan kehilangan mata pen- cahariannya dan beban moral.
Kalaupun hasil penyelesainnya itu berupa pembatalan dari pemutusan hubungan kerja dan pekerja/buruh tersebut kembali dipekerjakannya, hal ini
belum tentu membuat pekerja/buruh itu m e r a s a n y a m a n d a n p u a s k a r e n a bagaimanapun dalam hubungan kerja selalu dituntut adanya keharmonisan dari pengusaha dan pekerja/buruhnya.
Adapun pada ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengandung pengecualian.
Pengecualian tersebut tidak dapat dibenarkan, karena isi perjanjian kerja bersama yang bertentangan dengan undang-undang dianggap batal demi hukum sebab perjanjian memuat klausula sebagaimana isi ketentuan huruf f tersebut adalah melanggar syarat obyeKif sahnya perjanjian. Apalagi menurut perjanjian kerja, dalam memandang pekerja/buruh semestinya yang diutamakan adalah profesionalismenya. Pasal 1320 B.W.
menentukan bahwa untuk sahnya suatu
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Te nta n g Kete n ag ake i a a n
Pensett<*t Votume Xtt No. 2 Tahun 2007 Ed.fjt Met
perjanjian diperlukan empat syarat yakni, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal.
Oleh sebab itu agar ketentuan dari Pasal 153 ayat (2) tersebut menjamin perlindungan hukum yang seimbang antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka diperlukan adanya sanksi hukum yang lebih tegas bagi pelanggarnya baik berupa sanksi pidana maupun sanksi
a
a d m i n i s t r a t r f . D e n g a n d e m i k i a n d i - h a r a o k a n d a o a t t e r h i n d a r k a n d a ri tindakan kesewe n a n g-we na ng a n oleh pengusaha selaku pihak yang kuat.
8.10. Gugatan oleh Buruh
Ketentuan pasal 159 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa, apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja atau buruh bersangkutan dapat mengajukan gugutan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Adapun Pasal 158 a y a t ( 1 ) U U N o . 1 3 T a h u n 2 0 0 3 menetapkan bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan hurufa sampai dengan huruf j.
Selanjutnya ayat (2) menyebut- kan bahwa kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut yaitu: pekerja atau buruh tertangkap tangan; ada pengakuan dari pekerja atau buruh yang bersangkutan; atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang b e r s a n g k u t a n d a n d i d u k u n g o l e h sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
D a l a m o e n e n t u a n k e s a l a h a n b e r a t t e r s e b u t t a n p a d i s y a r a t k a n a d a n y a putusan pengadilan. Hal ini berarti tidak m e n g i n d a h k a n "a s a s p r a d u g a t a k bersalah" yang berlaku pada penerapan hukum oidana.
Dengan demikian Pasal 159 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tidak mencerminkan rasa keadilan, karena pekerja atau buruh yang telah dituduh melakukan kesalahan berat itu dan telah dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerja namun berkeyakinan tidak me- lakukan kesalahan itu, maka dalam memperjuangkan haknya kembali harus mengajukan gugatan. Hal ini sangat merugikan sekali bagi pekerja atau buruh yang bersangkutan.
8 . 1 1 . P e n g a j u a n P e r m o h o n a n Pemutusan Hubungan kerja
Berdasarkan Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Undang-Undang No. 13 Tahun 2OO3 Tp ntang Kete n ag ake iaan
1 0 8
PrnseHClC, Votume Xlt No. 2 Tahun 2oo7 Edisi Mei
bahwa pekerja/buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja kepada lembanga penyelesaian perselisihan hubungan industrial di antaranya dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waKu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan demikian ini be(entan- gan dengan rasa keadilan, karena buruh yang sudah menderita akibat tidak dibayar upahnya, namun di sisi lain undang- undang memberikan upaya hukum untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja. Ketentuan tersebut patut dikhawatirkan akan dipakai sebagai siasat bagi pengusaha dalam kepentingannya untuk menghemat biaya produksi
8.12. Pembinaan
Pasal 173 ayat (1) Undang- Undang No. 13 tahun 2003 menentukan bahwa, pemerintah melakukan pembina- an terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenaga- kerjaan. lstilah pembinaan menempatkan pemerintah pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh/pekerja dan pengusaha, karena pemerintah sebagai pembina. Hal ini memberikan kesan bahwa penetapan suatu kebijakan ke- t e n a g a k e r j a a n b e r s i f a t t o p - d o w n (otorite0, bukan boftom-up (patisipatiO.
Fungsi pembinaan oleh pemerintah ini seharusnya sudah digantikan oleh fungsi m e n d o r o n g t e r c i p t a n y a h u b u n g a n industrial yang demokratis, partisipatif dan transparansi, sehingga memposisikan semua menjadi subyek yang aKif.
Bahwa Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum sepenuhny menjamin perlindungan hukum bagi pekerja/buruh. Hal ini nampak pada beberapa ketentuan hukum yang tidak selaras antara pasal yang satu dengan yang lainnya, sehingga me- m u n g k i n k a n u n t u k d i i n t e r p r e t a s i k a n secara tidak benar.
D e m i k i a n j u g a k e t e n t u a n - ketentuan hukum yang tidak disertai a d a n y a s a n k s i h u k u m y a n g t e g a s , sehingga nampak perlindungan hukum antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak berimbang. Oleh sebab itu Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 perlu dikaji u l a n g d a n d i r e v i s i u n t u k m e n c a p a i konsistensi di antara ketentuan yang ada dan menciptakan perlindungan yang seimbang antara pengusaha dan pekerja atau buruh.
DAFTAR PUSTAKA
A.R. Artoyo,Ienaga Kerja Perusahaan, Menurut Pengeftian dan Perannya, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
Haf if i Toha, Hari Pramono, Hubungan Kerja
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 1nO Te nt a n g Ke te n a g a ke d a an
TERSPEICE Volume Xll No. 2 Tahun 2007 Edisi Meitl
antara Majikan dan Buruh, Rineka R. Indiarso, Mj. Sapteno, Hukum Cipta, Jakarta. Perburuhan, Perlindungan Hukum
Bagi Tenaga Kerja Dalam progrcm lmam Soepom o, Pengantar Hukum Jaminan Tenaga kerja, Karunia,
Perburuhan, Djambatan, Jakarta, Surabaya, 1996.
1992.
\Mwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kartasapoetra, Rience G. \Mdianingsih, Ke4a, BinaAksara, Jakarta, 1987.
Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung, 1982.
L a n y R a m l i , P e n g a t u r a n Ketenagakerjaan Di lndonesia, A i r l a n g g a U n i v e r s i t y P r e s s , Surabaya, 1998.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 11n Te nt an g Kete n ag a ke rj a a n