OPTIMALISASI FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT SEBAGAI FORUM KOMUNIKASI DAN KONSULTASI ANTARA BURUH DENGAN PENGUSAHA DALAM UPAYA PENCEGAHAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL1
Oleh :
Kadek Agus Sudiarawan2
ABSTRAK
Proses industrialisasi yang semakin meluas pada negara berkembang seperti Indonesia membawa konsekuensi pada ketertarikan pengusaha untuk sedapat mungkin menggunakan sistem kerja yang fleksibel dalam mendukung dan memaksimalkan kegiatan operasional perusahaan. Dalam bingkai hubungan industrial antara buruh dan perusahaan bagaimanapun harmonisnya, perselisihan perburuhan tidak mudah untuk dihindari. Oleh karena itu seperangkat aturan hukum yang mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial akan selalu menempati posisi strategis dalam sistem hukum perburuhan suatu negara. Selain itu, demi efisiensi pelaksanaan perusahaan diperlukan adanya aturan hukum yang mengedepankan pencegahan terjadinya perselisihan hubungan industrial dalam bentuk suatu lembaga khusus dan strategis dengan melibatkan masing-masing pihak, baik dari pengusaha maupun buruh.
Perselisihan hubungan industrial sejatinya dapat diredam atau diminimalisir melalui beberapa media. Salah satunya ialah apabila di dalam suatu perusahaan terbentuk suatu forum yang keanggotaannya terdiri dari wakil perusahaan dan buruh. Dalam perspektif hukum perburuhan Indonesia media ini dikenal sebagai Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit).
LKS Bipartit selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh buruh dan perusahaan dalam mencegah terjadinya perselisihan. Hal ini tercermin dari belum terlaksana amanat Pasal 106 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 dimana masih banyak perusahaan di Indonesia yang belum menggunakan LKS Bipartit sebagai wadah komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan hubungan industrial. Kehadiran LKS bipartit pada perusahaan seharusnya dapat menjadi kunci untuk membentuk hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Kondisi ini kemudian mengidentifikasikan fakta bahwa masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi perusahaan dalam mengaplikasikan LKS Bipartit pada perusahaan. Padahal dari sisi efektifitas apabila fungsi LKS Bipartit dapat dioptimalisasikan dengan baik, sinergi di lingkungan kerja akan dapat terwujud dan harmonisasi hubungan industrial dapat tercapai. LKS Bipartit dapat dijadikan sebagai suatu strategi bagi kedua belah kelompok dalam menghasilkan komunikasi efektif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan perusahaan.
Penelitian ini secara khusus berusaha mengkaji mengenai keunggulan karakteristik dari LKS Bipartit sehingga layak dipilih sebagai forum pencegahan perselisihan dalam hubungan industrial, mengkaji faktor-faktor penghambat perusahaan dan buruh dalam menerapkan LKS Bipartit, serta upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk
1 Makalah disampaikan pada konfrensi Asosisasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) Universitas Tadulako Palu- Sulawesi Tengah,12-14 September Tahun 2017
2 Penulis adalah Staff Pengajar Hukum Acara Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana, karespondensi terhadap penulis melalui email : [email protected]
mengoptimalisasikan fungsi LKS Bipartif sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara buruh dengan pengusaha dalam upaya pencegahan perselisihan hubungan industrial.
Kata Kunci : LKS Bipartit, Pencegahan, Perselisihan Hubungan Industrial.
I. PENDAHULUAN
Proses industrialisasi yang semakin meluas pada negara berkembang seperti Indonesia membawa konsekuensi pada ketertarikan pengusaha untuk sedapat mungkin menggunakan sistem kerja yang fleksibel dalam mendukung dan memaksimalkan kegiatan operasional perusahaan. Dalam bingkai hubungan industrial antara buruh dan perusahaan (pengusaha) sebagaimanapun harmonisnya, perselisihan perburuhan tidak mudah untuk dihindari. Oleh karena itu seperangkat hukum yang mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan akan selalu menempati posisi strategis dalam sistem perburuhan suatu negara.
Selain itu, demi efisiensi pelaksanaan perusahaan diperlukan adanya aturan hukum yang mengedepankan pencegahan terjadinya perselisihan hubungan industrial dalam bentuk suatu lembaga khusus dan strategis dengan melibatkan masing-masing baik dari pihak pengusaha maupun pekerja.
Dalam perspektif hukum perburuhan, hubungan industrial memerlukan proses komunikasi, konsultasi dan musyawarah mengenai hal-hal yang terkait dengan berbagai aspek dalam proses produksi barang atau jasa. Hubungan industrial mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan interaksi manusia di tempat kerja, seperti terjadinya perselisihan dan tuntutan normatif yang di lakukan oleh buruh yang semua ini terkait dengan keberhasilan atau kegagalan dalam mengelola hubungan industrial di tempat kerja. Hubungan industrial yang harmonis dapat menjadi modal penting di dalam persaingan bebas. Hubungan industrial harmonis akan mampu mendorong transparansi yang dapat meningkatkan saling pengertian antara buruh dan perusahaan. Hubungan industrial harmonis akan mampu mendeteksi dan mengantisipasi potensi perselisihan dalam suatu hubungan kerja. Perselisihan sangat rentan terjadi dalam hubungan antara buruh dengan pengusaha karena fokus utama dari hubungan kerja yang dibangun perusahaan adalah suatu hubungan kerja yang berorientasi pada target dan keuntungan sehingga berimplikasi pada tekanan kerja yang tinggi yang dialami oleh pihak buruh.
Perselisihan hubungan industrial dalam bingkai hukum perburuhan didefinisikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.3 Konsep awal penyelesaian perselisihan perburuhan dilaksanakan dengan perantara negara, yaitu melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Pusat/Daerah (P4P/D). Namun upaya ini dianggap tidak efektif menjawab perkembangan perselisihan hubungan industrial yang semakin komplek.4 Undang- Undang Nomor.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) kemudian hadir dan menghapus sistem penyelesaian perselisihan perburuhan melalui P4P/D. Dalam hal ini, P4P/D dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah.5
Membedah lebih dalam terkait penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sejatinya perselisihan yang dimaksud dapat diredam atau diminimalisir dengan berbagai pilihan media atau mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Salah satunya ialah dengan dibentuknya suatu forum yang keanggotaannya terdiri dari wakil pengusaha dan pekerja/buruh. Forum yang terdiri dari wakil pengusaha dan pekerja ini kemudian lebih sering disebut sebagai Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit).
LKS Bipartit merupakan suatu forum insisiatif yang terdiri dari perwakilan para buruh atau organisasi pekerja, secara bersama-sama mengadakan pertemuan untuk mengidentifikasikan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan bersama. Terdapat suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk meningkatkan kemampuan lembaga kerjasama buruh dan pengusaha atau pemberi kerja dalam melaksanakan peranan dan tanggung jawab nya agar sistem hubungan industrial dapat
3Pasal 1 angka 1 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
4LBH Jakarta, 2014, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, LBH Jakarta, Jakarta, hlm.1.
5TURC, 2007, Praktek Pengadilan Hubungan Industial : Panduan Bagi Serikat, Buruh, TURC, Jakarta, hlm.2.
berfungsi dengan benar, khususnya pada tingkat bipartit di tingkat kerja.6 LKS Bipartit juga dapat didefinisikan sebagai suatu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan SP/SB yang sudah tercatat diinstansi yang bertanggungjawab di bidang Ketenagakerjaan atau unsur buruh.
Pembentukan LKS Bipartit ini secara garis besar bertujuan untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis berkeadilan dan bermartabat di perusahaan demi menuju ketenangan bekerja oleh buruh dan kelangsungan berusaha bagi perusahaan. Pencapaian tujuan dari LKS Bipartit ini adalah apabila lembaga kerjasama ini dapat menjalankan fungsi nya sebagai forum komunikasi dan konsultasi pekerja dengan pengusaha dalam rangka pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan perusahaan untuk kesejahteraan buruh.
Ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor. 32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit (Permenakertrans No.32/MEN/XII/2018) menyebutkan bahwa wadah komunikasi yang dapat digunakan antara pengusaha dan buruh adalah melalui LKS Bipartit. LKS Bipartit inilah yang selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh kedua belah pihak baik oleh pihak buruh maupun pengusaha. Hal ini tercermin dari masih sedikitnya jumlah perusahaan di Indonesia yang menggunakan LKS Bipartit sebagai wadah komunikasi antara serikat pekerja dan perusahaan. Berdasarkan data Kemenakertrans yang diterima dari instansi yang membidangi ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, jumlah LKS Bipartit yang telah terbentuk di perusahaan yang mencakup 33 provinsi di Indonesia berjumlah 13.912 LKS Bipartit di perusahaan. Secara presentase jumlah ini tentu sangat sedikit dari jumlah keseluruhan perusahaan yang beroperasi di Indonesia.7
LKS Bipartit dalam perusahaan antara pekerja dan manajemen perusahaan merupakan kunci bagi hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan yang penting bagi
6Artikel Nurmayetti SH : “Peranan Serikat Pekerja Dalam Lembaga Kerjasama Bipartit”,http://www.sumbarprov.go.id, Diakses pada Tanggal 5 Mei 2017.
7Artikel : “Perusahaan Besar Didesak Bentuk LKS Bipartit”, http://www.bisnis.com, Diakses pada Tanggal 10 Mei 2017.
pembangunan perekonomian.8 Kehadiran LKS Bipartit pada perusahaan seharusnya dapat memodernisasikan model komunikasi responsif menjadi model komunikasi konsultatif.
Namun dalam penerapannya dilapangan masih ditemukan berbagai faktor penghambat yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Padahal terkait efektifitas, jika LKS dapat dilaksanakan dengan baik, sinergi di tempat kerja dapat terjadi dan harmonisasi hubungan industrial dapat tercapai. LKS Bipartit seharusnya dapat dijadikan suatu media bagi kedua belah kelompok dalam menghasilkan komunikasi efektif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan perusahaan.
Dari pemaparan diatas, penulis kemudian tertarik untuk melakukan penelitian hukum, dalam lingkup hukum perburuhan Indonesia dengan secara spesifik berusaha mengkaji terkait
“Optimalisasi Fungsi Lembaga Kerjasama Bipartit Sebagai Forum Komunikasi Dan Konsultasi Antara Buruh Dengan Pengusaha Dalam Upaya Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial” dengan menekankan pembahasan pada beberapa rumusan masalah yang diantaranya meliputi :
1. Apakah yang menjadi keunggulan karakteristik dari LKS Bipartit sehingga layak dipilih sebagai media pencegahan perselisihan dalam bingkai hubungan industrial?
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat belum/tidak dibentuknya LKS Bipartit dalam perusahaan dan tidak dimanfaatkanya lembaga tersebut sebagai media pencegahan perselisihan hubungan industrial?
3. Bagaimanakah upaya yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasikan fungsi LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara buruh dengan pengusaha dalam upaya pencegahan perselisihan hubungan industrial?
Adapun penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode normatif empiris.
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Disisi lain penelitian lapangan digunakan untuk memperoleh data primer terkait fakta mengenai prilaku dari subyek hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Lokasi penelitian lapangan ditentukan untuk memperoleh data penunjang yaitu pada beberapa perusahaan yang belum/tidak menerapkan LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan dengan menargetkan pada pengusaha dan pekerja di kota Denpasar dan
8Ibid.
Kabupaten Badung Provinsi Bali, pemerintah terkait (Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali), akademisi dan termasuk pula lembaga swadaya masyarakat yang memiliki konsen dibidang perburuhan.
Peneliti menentukan wilayah berdasarkan pertimbangan untuk mempersempit ruang lingkup penelitian dan dikarenakan permasalahan yang diteliti merupakan permasalahan pendukung yang sifatnya homogen dan umum sehingga berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan ataupun penelitian lapangan. Seluruh data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam suatu laporan yang bersifat diskriptif analisis.
II. PEMBAHASAN
2.1 Keunggulan Karakteristik LKS Bipartit Sebagai Media Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial
UU Ketenagakerjaan secara khusus menekankan pada perwujudan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi, yaitu pengusaha, buruh dan pemerintah. UU Ketenagakerjaan tidak menghendaki adanya hubungan industrial yang didasarkan pada perbedaan kedudukan dan kepentingan antara pengusaha dan buruh.9 Hubungan industrial tersebut diciptakan dalam rangka mencari keseimbangan antara kepentingan pengusaha, buruh dan pemerintah yang masing-masing memiliki kepentingan.
Kepentingan dari semua pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa tersebut harus dijalin sedemikian rupa agar tujuan masing-masing terakomodir.
Kepentingan berbagai pihak yang merupakan dasar dari hubungan industrial tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu kepentingan atas kinerja dan produktivitas perusahaan yang baik. Kinerja dan produktivitas perusahaan yang baik jika didasarkan pada hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan tentunya mengakomodir seluruh kepentingan para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Sehingga harus dirubah persepsi yang menyatakan bahwa
9 Lihat Penjelasan bagian I. Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
kelangsungan dan keberhasilan perusahaan hanya merupakan kepentingan pengusaha semata.
Hubungan industrial di perusahaan kemudian dilaksanakan melalui beberapa sarana, sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu melalui:10
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;peraturan perusahaan;
e. perjanjian kerja bersama;
f. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan g. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Semua sarana penerapan hubungan industrial tersebut bertujuan agar tercipta hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Terjadinya suatu perselisihan hubungan industrial pada perusahaan dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas perusahaan. Dalam kontek pencegahan perselisihan yang terjadi, disinilah peran dari LKS Bipartit, yaitu sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan pembinaan hubungan industrial yaitu menciptakan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja.11 Dengan adanya ketenangan berusaha bagi pengusaha dan ketentraman bekerja bagi pekerja maka kinerja dan produktivitas perusahaan dapat ditingkatkan.
Pencegahan terjadinya perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan dengan menyelesaikan perbedaan pendapat, persepsi dan kepentingan sebelum menjadi permasalahan hubungan industrial12 atau perselisihan hubungan industrial. Untuk itulah secara khusus diatur mengenai LKS Bipartit dalam Pasal 106 UU Ketenagakerjaan, lebih lanjut dalam Pasal 106 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan LKS Bipartit diatur dengan Keputusan Menteri.
Sebagai pelaksanaan Pasal tersebut ditetapkanlah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
10 Lihat Pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
11 Payaman Simanjuntak, 2003, Manajemen Hubungan Industrial, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.11.
12 Lihat Pasal 3 huruf c Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: kep. 255/men/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit, dan Pasal 4 huruf b Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per. 32/MEN/XII/2008 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit.
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit (Kepmenakertrans No.
KEP.255/MEN/2003). Keputusan tersebut kemudian dipandang tidak sesuai lagi sehingga kemudian diganti dengan Permenakertrans No. PER. 32/MEN/XII/2008.
Berdasarkan Pasal 1 angka 18 UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 1 angka 1 Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008, LKS Bipartit didefinisikan sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Dari rumusan Pasal tersebut unsur-unsur LKS Bipartit adalah:
a. berupa forum komunikasi dan konsultasi;
b. membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan;
c. anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
Fungsi LKS Bipartit ditekankan kembali dalam Pasal 106 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yaitu sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. Fungsi tersebut pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Pasal 3 Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008,13 dimana fungsi LKS Bipartit tersebut dalam rangka pengembangan hubungan industrial untuk kemajuan perusahaan termasuk di dalamnya juga kesejahteraan dari buruh itu sendiri. Jadi fungsi LKS Bipartit adalah sebagai forum untuk membahas masalah hubungan industrial di perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan buruh yang menjamin kelangsungan usaha dan menciptakan ketenangan kerja.14 Fungsi komunikasi dan konsultasi tersebut berlaku untuk semua hal mengenai ketenagakerjaan sehingga diharapkan dapat mencegah timbulnya permasalahan hubungan industrial.
13 Pasal 3 Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008: “LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dalam rangka pengembangan hubugan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkambangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh”.
14 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 67.
Agar terjadi komunikasi dan konsultasi yang baik dan efektif, tentunya keanggotaan LKS Bipartit harus berasal dari kedua belah pihak sesuai dengan namanya yaitu LKS Bipartit yang tentunya terdiri dari dua pihak. Pihak-pihak tersebut terdiri dari unsur perusahaan dan unsur buruh yang ditunjuk oleh buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan buruh di perusahaan yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Mengenai penentuan anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 Permenakertrans No. PER. 32/MEN/XII/2008.
Setelah ditentukan anggota tentunya perlu ada kepengurusan sebagai motor penggeraknya, hal ini kemudian diatur pada Pasal 10 Permenakertrans No. PER.
32/MEN/XII/2008. Kepengurusan LKS bipartit menurut Pasal tersebut terdiri dari unsur pengusaha dan buruh dengan jumlah sebanding (1:1 / satu berbanding satu), sehingga diharapkan terjadi keseimbangan dari sisi jumlah. Disinilah tampak keunggulan LKS Bipartit dari segi keanggotaannya, karena sifatnya yang bipartit atau terdiri dari dua pihak. Kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha dan buruh dapat lebih leluasa dan terbuka dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada intern perusahaannya karena tidak ada campur tangan pihak ketiga. Hal ini tentunya meningkatkan kualitas hubungan industrial yang terjadi, dari yang hanya berpola partisipatif menjadi berpola inisiatif.
Untuk melaksanakan fungsinya LKS Bipartit kemudian mempunyai tugas untuk:15 a. melakukan pertemuan secara periodik dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan;
b. mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh dalam rangka mencegah terjadinya permasalahan hubungan industrial di perusahaan;
c. menyampaikan saran, pertimbangan, dan pendapat kepada pengusaha, pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan perusahaan.
Rumusan Pasal 4 Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008 merupakan penyempurnaan dari Pasal 3 Kepmenakertrans No. KEP.255/MEN/2003. Mengenai tugas LKS Bipartit ada satu hal yang menarik dalam Pasal 3 huruf c Kepmenakertrans No.
KEP.255/MEN/2003, yaitu tugas untuk melakukan deteksi dini dan menampung permasalahan hubungan industrial di perusahaan. Dari rumusan Pasal-Pasal tersebut di atas tugas LKS Bipartit pada dasarnya adalah untuk mendeteksi dan mencegah adanya permasalahan hubungan industrial.
15 Pasal 4 Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008.
Sebagai forum komunikasi dan konsultasi berimplikasi juga kepada kewenangan dan produk dari LKS Bipartit tersebut. LKS Bipartit tidak punya kewenangan apa-apa selain hanya melakukan musyawarah dan konsultasi berkaitan dengan permasalahan hubungan industrial.16 Menurut Pasal 4 huruf c Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008, LKS Bipartit hanya menyampaikan saran, pertimbangan, dan pendapat kepada kedua belah pihak dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan perusahaan. Jadi LKS Bipartit hanya berwenang untuk memberikan saran, rekomendasi dan memorandum kepada pimpinan/manajemen perusahaan.17 Tidak ada kewenangan untuk memutuskan sesuatu sehingga menghasilkan produk/hasil yang mengikat yang dimiliki oleh LKS Bipartit. Hal ini seharusnya justru menjadi pendorong bagi pengusaha untuk membentuk LKS Bipartit, karena lembaga ini tidak akan menjadi momok bagi pengusaha karena tidak ada keputusan yang mengikat yang bisa dihasilkan, tetapi berpotensi untuk mencegah permasalahan menjadi perselisihan lebih lanjut.
Dari berbagai penjelasan mengenai karakteristik LKS Bipartit tersebut di atas, maka secara khusus terdapat berbagai keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai forum pencegahan perselisihan hubungan industrial di perusahaan, yang diantaranya meliputi:
a. Dari segi konsep, LKS Bipartit dapat mengaplikasikan prinsip demokrasi ke ranah praktek hubungan industrial antara pengusaha dan buruh. Hal ini karena LKS Bipartit merupakan forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dan pekerja/buruh, yang membahas segala permasalahan terkait hubungan industrial dalam perusahaan secara musyawarah.
b. Dari segi sifat, LKS Bipartit dapat memprediksi masalah yang akan terjadi dalam perusahaan, dan mencegah permasalahan yang sudah ada untuk berkembang lebih lanjut menjadi perselisihan hubungan industrial (bersifat preventif).
c. Dari segi keanggotaan, LKS Biartit terdiri dari dua pihak. Kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha dan buruh dapat lebih leluasa dan terbuka dalam menyelesaikan
16Artikel:“Kontroversi Lembaga Kerjasama Bipartit”, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/hol15880/kontroversi-lembaga-kerjasama-bipartit, diakses pada 11 Agustus 2017.
17 Artikel: “LKS Biparit Solusi Tepat Untuk Kemajuan Perusahaan dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja/Buruh”, http://disnaker.balikpapan.go.id/web/detail/pengumuman/36/lks-bipartit-solusi-tepat- untuk kemajuan-perusahaan-dan-peningkatan-kesejahteraan-pekerjaburuh, diakses pada 15 Agustus 2017.
permasalahan yang terjadi pada intern perusahaannya karena tidak ada campur tangan pihak ketiga.
d. Dari segi proses, LKS Bipartit dapat meningkatkan kualitas hubungan industrial dari pola hubungan industrial yang partisipatif menjadi inisiatif. Dengan adanya wadah untuk berkomunikasi dan berkonsultasi melalui LKS Bipartit maka pihak pengusaha dan buruh dapat secara intern menyelesaikan permasalahannya dan menyampaikan informasi. Tentunya diperlukan dengan komitmen dari kedua belah pihak terutama pihak pengusaha khususnya manajemen untuk mendengarkan, mengakomodir dan menyelesaikan permasalahan yang disampaikan dan dikonsultasikan.
e. Dari segi hasil, hasil dari LKS Bipartit lebih diterima oleh para pihak (pengusaha dan buruh). Karena dalam prosesnya kedua belah pihak dapat berkomunikasi dan berkonsultasi dengan seimbang dan tanpa adanya tekanan dari pihak berwenang (pihak ketiga). Jika dilakukan sebelum terjadi perselisihan hubungan industrial tentu dapat dihasilkan penyelesaian secara musyawarah, sehingga hasilnya adalah mufakat bersama yang tentunya lebih berpotensi untuk ditaati secara sukarela oleh para pihak.
f. Dari segi efektifitas, LKS Bipartit berpotensi sebagai lembaga preventif yang efisien dan efektif sehingga dapat menghemat biaya, waktu dan tenaga. Jika dibandingkan dengan mekanisme penyelesaian sengketa dalam UU PPHI, apalagi jika melalui mekanisme penyelesaian secara litigasi dengan melibatkan lembaga peradilan tentunya akan menyita waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Hal ini tentunya akan mempengaruhi situasi dan kondisi dalam perusahaan sehingga berimbas pada produktifitas.
g. Dari segi kemanfaatan bagi perusahaan, LKS Bipartit meningkatkan produktivitas perusahaan. Dengan adanya wadah komunikasi sehingga dapat dicegahnya permasalahan hubungan industrial, maka hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh lebih cair dan sehat. Implikasi selanjutnya tentunya adalah peningkatan produktivitas perusahaan yang meningkatkan kepastian/kelangsungan berusaha bagi pengusaha dan ketenangan kerja bagi pekerja.
Dari berbagai keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai media pencegahan perselisihan dalam bingkai hubungan industrial tersebut, maka sudah sepatutnya lembaga tersebut kemudian terus didorong pembentukannya dalam berbagai perusahaan yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 106 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dan Menyebabkan Perusahaan Belum/Tidak Menerapkan LKS Bipartit Sebagai Media Komunikasi Dan Konsultasi Untuk Mencegah Timbulnya Perselisihan Hubungan Industrial.
Hubungan antara pengusha dan buruh dalam suatu bingkai hubungan industrial adalah salah satu hubungan yang rentan dengan perselisihan. Hal ini tidak lain diakibatkan dari hubungan kerja antara perusahaan dan buruh yang umumnya bersifat subordina yang senantiasa menempatkan kedudukan buruh pada posisi lemah yang berada dibawah pengusaha. Selain itu antara perusahaan dan buruh juga memiliki kepentingan yang cenderung berbeda. Seringkali atas setiap perselisihan yang terjadi didasarkan pada tindakan satu arah yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang kemudian tidak dapat diterima oleh pekerja karena dianggap merugikan dan tidak sesuai dengan hak-hak yang seharusnya didapat oleh pekerja. Bagi buruh, kondisi demikian tentu sangat menyulitkan, karena akan berpengaruh pada mata pencaharian yang bukan hanya berpengaruh pada pekerja bersangkutan tetapi juga keluarganya.18
Dalam suatu hubungan industrial, perlindungan hukum terhadap buruh adalah salah satu hal esensial yang kemudian harus terus menerus dievaluasi mengingat beberapa pengaturan hukum seringkali menyebabkan buruh berada dalam kondisi yang lemah dan rentan mengakibakan eksploitasi dan pengurangan atas hak-hak yang seharusnya didapat oleh buruh.19 Peraturan perundang-undangan seringkali mengatur posisi yang seimbang antara buruh dan pengusaha namun mengalami kendala pada tataran pelaksanaannya. Pada kondisi ini hampir setiap tahapan dalam sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur pada UU PPHI (bipartit, tripartit, maupun pengadilan hubungan industrial) masih menyisakan berbagai kendala yang seringkali menghambat akses buruh dalam memperjuangkan hak-haknya.
Ketika terjadi suatu perselisihan dalam suatu hubungan industrial antara buruh dengan pihak perusahaan, deteksi dini atas potensi perselisihan tersebut kemudian menjadi hal yang sangat penting untuk direspon melalui langkah khusus oleh pihak perusahaan. Hal ini menjadi penting mengingat upaya penciptaan ketenangan bekerja dalam suatu hubungan
18 Ari Hernawan, 2016. Keberadaan Uang Pesangon Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum di Perusahaan yang Sudah Menyelenggarakan Program Jaminan Pensiun, Jurnal Kertha Patrika Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 38, Nomor 1, hlm.1.
19 Kadek Agus Sudiarawan, 2016, Pengaturan Prinsip TUPE dalam Dunia Ketenagakerjaan Indonesia, Jurnal Magister Hukum Udayana, Volume 4, Nomor 4, hlm.798.
industrial yang memegang peran vital dalam perkembangan dan kemajuan perusahaan.
Ketenangan bekerja merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai produktifitas tinggi dan terpenuhinya target yang ditetapkan perusahaan. Peran untuk menciptakan ketenangan bekerja sejatinya tidak hanya mejadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga peran perusahaan dan buruh.20
Dalam upaya menciptakan ketenangan dalam bekerja dan pelaksanaan deteksi dini atas potensi perselisihan yang terjadi dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha UU Ketenagakerjaan mengenal istilah bipartit sebagai lembaga dan bipartit sebagai sistem.
Bipartit sebagai lembaga merupakan institusi yang keanggotaannya terdiri dari unsur buruh atau SP/SB dan pengusaha, sedangkan bipartit sebagai sistem merupakan mekanisme pertemuan atau mempertemukan antara buruh atau SP/SB di satu pihak dengan pengusaha di lain pihak dalam suatu perundingan sebagai upaya mencapai kesepakatan.21
Pondasi paling hakiki dalam LKS Bipartit ini adalah komunikasi dan partisipasi, pekerja dan pengusaha dapat menyampaian masalah atau persoalan bersama serta kedua belah pihak dapat saling memberi informasi terkait permasalahan yang sedang dihadapi dan bertukar pikiran secara teratur yang dapat menghasilkan rasa saling pengertian, konsensus dan penyelesaian masalah untuk kepentingan bersama.22 Hal ini sejalan dengan penguatan dialog sosial sebagai media pencegahan perselisihan hubungan industrial yang digagas oleh International Labour Organizations (ILO). Salah satu tujuan utama dari ILO adalah untuk mempromosikan dialog sosial, yang didefinisikan sebagai semua bentuk negosiasi, konsultasi atau untuk saling bertukar informasi antara perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja mengenai isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama terkait kebijakan sosial dan ekonomi.23 Dialog sosial ini identik dan dapat berbentuk bipartit. Dialog sosial dijadikan dasar dalam Konstitusi ILO dan bagian yang tidak terpisahkan dari “Agenda Pekerjaan yang Layak” yang mencakup hak-hak ditempat kerja, hubungan kerja dan perlindungan sosial.
20 Rika Jamin Marbun dkk, 2017, Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Kabupaten Deli Serdang, USU Law Journal, Volume 5, Nomor 1, hal.173.
21 ILO, 2003. Perundingan Bersama dan Keterampilan Bernegosiasi ; Buku Panduan untuk Serikat Pekerja, Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta, hlm.51-52.
22 Pedoman LKS Bipartit, 2006, Direktorat Kelembagaan dan Hubungan Industrial Ditjen PHIJKS, Jakarta, hlm.1.
23 ILO/Apindo, 2009. Buku Pandungan Kerjasama Pekerja-Managemen, Organisasi Perburuhan Internasional, hlm.9.
LKS Bipartit kemudian sebagaimana pembahasan sebelumnya selain diatur dalam UU Ketenagakerjaan juga diatur khusus dalam Permenakertrans Tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit. Kedua instrumen hukum inilah kemudian yang menjadi dasar penerapan LKS Bipartit dalam lingkungan perusahaan di Indonesia. LKS Bipartit layak dipilih oleh perusahaan mengingat berbagai keunggulan karakteristik yang dimilikinya sebagaimana telah dianalisis pada pembahasan sebelumnya.
Pengaturan terkait penerapan LKS Bipartit diperusahaan sejatinya telah diatur berdasarkan ketentuan pasal 106 UU Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit dan pengaturan kewajiban membentuk LKS Bipartit diperusahaan. Pengaturan terkait kewajiban perusahaan menerapakan LKS Bipartit tersebut kemudian diperkuat pengaturan mengenai sanksi UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa bila perusahaan yang telah memenuhi syarat terkait LKS Bipartit kemudian tidak menerapkan LKS Bipartit pada perusahaan maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa :24
a. Teguran,
b. Peringatan tertulis,
c. Pembatasan kegiatan usaha, d. Pembekuan kegiatan usaha, e. Pembatalan persetujuan, f. Pembatalan pendaftaran,
g. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, h. Pencabutan izin.
Pengaturan mengenai kewajiban perusahaan untuk menerapkan LKS Bipartit disertai dengan pengaturan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar diharapkan dapat menjadi dasar dan pedoman sekaligus pendorong bagi perusahaan untuk segera membentuk LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara buruh dan perusahaan di perusahaan masing-masing. Namun kenyataannya dilapangan ditengah berbagai keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi, lembaga ini masih belum banyak dipilih, diadopsi atau diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali menunjukkan bahwa pada tahun 2017 jumlah perusahaan yang terdaftar di Provinsi Bali adalah mencapai 8.153 perusahaan25, sementara dari jumlah perusahaan yang memiliki LKS Bipartit berdasarkan Data Dinas
24 Pasal 190 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
25 Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali per April 2017.
Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali adalah sejumlah 445 perusahaan26. Sementara bila melihat dari jumlah perselisihan yang terjadi dan masuk pada Pengadilan Hubungan Industrial, dari Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali pada tahun 2014 hingga 2016 perselisihan yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial menunjukkan terjadi tren peningkatan jumlah perselisihan yang masuk ke PHI yaitu 7 perkara pada tahun 2014, 15 perkara pada tahun 2015 dan 28 perkara pada tahun 2016.27 Hal ini kemudian menunjukkan bahwa sistem pencegahan perselisihan di perusahaan masing-masing masih mengalami kendala dan cenderung belum efektif digunakan sebagai forum pencegahan perselisihan pada perusahaan.
Hasil penelitian penulis terhadap berbagai elemen terkait dalam penerapan LKS Bipartit menunjukkan terdapat berbagai faktor penghambat yang menyebabkan perusahaan- perusahaan belum atau tidak menerapkan LKS Bipartit pada perusahaannya. Adapun dalam tulisan ini akan coba diuraikan dan dirinci secara sistematis berbagai faktor penghambat penerapan LKS Bipartit pada perusahaan dari berbagai perspektif elemen terkait baik itu dari pihak perusahaan, buruh dan dilengkapi dengan pandangan dari pemerintah terkait, akademisi maupun lembaga swadaya kemasyarakatan yang memiliki konsen pada bidang ketenagakerjaan.
a. Faktor Penghambat menurut Perspektif Perusahaan
Adapun beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit dari perspektif perusahaan meliputi :28
- Perusahaan mengganggap belum perlu membentuk suatu lembaga khusus untuk pencegahan perselisihan yang terjadi,
Di lapangan ditemukan kondisi dimana perusahaan kemudian lebih memilih untuk menggunakan jalan komunikasi dua arah dalam bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat tanpa perlu membentuk suatu lembaga khusus dengan persyaratan khusus tertentu. Sejauh ini hal itu dianggap sudah cukup sebagai mekanisme awal pencegahan perselisihan yang terjadi di perusahaan selain itu dibeberapa perusahaan
26 Data Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali per Juli 2017.
27 Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali terkait perselisihan yang masuk ke Pangadilan Hubungan Industrial periode 2014-2016.
28 Merupakan ringkasan (Intisari) hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap 6 Perusahaan di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung Provinsi Bali sebagai sempel penelitian (Data ada di penulis).
ditemukan pula pemmbentukan media-media lain yang memiliki fungsi sejenis sesuai kebijakan perusahaaan.
- Kekurangpahaman perusahaan terkait adanya kewajiban membentuk LKS Bipartit, Ketentuan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit yang kemudian diperkuat dengan pengaturan mengenai sanksi pada Pasal 190 UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa bila perusahaan yang telah memenuhi syarat terkait LKS Bipartit kemudian tidak menerapkan LKS Bipartit pada perusahaan maka dapat dikenakan sanksi administratif secara umum belum banyak diketahui oleh pihak perusahaan sehingga masih sangat banyak perusahaan yang ditemukan belum menerapkan LKS Bipartit pada perusahaannya.
- LKS Bipartit dianggap dapat merongrong kewenangan perusahaan,
Pengaturan kewajiban perusahaan untuk menerapkan LKS Bipartit, oleh sebagian perusahaan dianggap dapat merorong kewenangan yang selama ini dimiliki perusahaan.. Perusahaan beranggapan dengan pembentukan LKS Bipartit, buruh akan dapat menekan perusahaan untuk memenuhi berbagai tuntutan yang potensial akan merugikan bagi perusahaan.
- Potensi tumpang tindih dengan fungsi dan peran SP/SB di Perusahaan,
Perusahaan yang telah memiliki SP/SB memandang SP/SB sudah cukup untuk merepresentasikan keinginan atau tuntutan dari buruh. Apabila pada perusahaan yang telah memiliki SP/SB kemudian dibentuk LKS Bipartit dikhawatirkan malah menimbulkan konflik antar sesama buruh karena memiliki fungsi dan peran yang sejenis.
- Untuk perusahaan yang merupakan cabang dari perusahaan induk memerlukan persetujuan dari perusahaan induk/pusat untuk menerapkan LKS Bipartit.
Kondisi ini ditemukan sebagai penghambat pembentukan LKS Bipartit dilapangan khususnya pada perusahaan-perusahaan yang merupakan cabang dan atau anak dari perusahaan induk yang berada di pusat. Segala ketentuan terkait peraturan perusahaan dan sistem operasional prosedural perusahaan sudah diatur secara khusus oleh perusahaan induk. Sehingga apabila perusahaan induk belum mengatur untuk menerapkan LKS Bipartit pada perusahaan, akan berkonsekuensi pada cabang atau
anak perusahaan yang tersebar diberbagai wilayah mengalami kesulitan dan harus menunggu persetujuan pusat jika ingin menerapakan LKS Bipartit diperusahaannya.
b. Faktor Penghambat dari Perspektif Buruh (Pekerja)
Beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit yang muncul dari pihak buruh meliputi :29
- Posisi Buruh dengan Perusahaan yang tidak seimbang,
Kondisi buruh diperusahaan yang sangat bergantung pada perusahaan dari aspek ekonomi menyebabkan buruh senantiasa berada pada kondisi yang tidak seimbang dalam memperjuangkan hak-haknya. Dalam kondisi demikian meskipun buruh mengetahui berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan LKS Bipartit diperusahaan, ketika perusahaan tidak menyetujui buruh tetap tidak ada dalam posisi yang kuat untuk memperjuangkannya.
- Pekerja tidak mengetahui dan tidak memahami fungsi, peran dan manfaat LKS Bipartit pada Perusahaan,
Tingkat pendidikan yang rata-rata rendah, kurangnya pemahamahan terkait peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah terhadap isu-isu perburuhan dilingkungan kerja membuat buruh kemudian acuh tak acuh terhadap pengaturan-pengaturan strategis dalam hukum ketenagakerjaan yang potensial dapat digunakan sebagai sarana perlindungan bagi buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
- Perlu kesepakatan perusahaan (menagemen) dan buruh dalam pembentukannya.
Pada kondisi buruh mengetahui dan ingin menerapkan LKS Bipartit diperusahaannya, buruh kemudian dihadapkan pada kondisi pihak pengusaha yang tidak atau belum bersepakat untuk menerapkan LKS Bipartit di perusahaannya. Pembentukan LKS Bipartit yang mewajibkan adanya representasi keanggotaan dari pihak pengusaha dan buruh dalam pembentukannya menghadirkan kesulitan bagi buruh bila pihak perusahaan menolak untuk menerapkan.
29 Merupakan ringkasan (Intisari) hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap 12 Pekerja pada 12 Perusahaan di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung Provinsi Bali sebagai sempel penelitian (Data ada di penulis).
- SP/SB dianggap sudah cukup representatif sebagai penyalur aspirasi buruh,
Kehadiran SP/SB yang berdaya disuatu perusahaan dianggap sudah cukup mewakili keinginan atau tuntutan buruh pada suatu perusahaan. Pada kondisi demikian buruh menganggap sudah tidak perlu lagi dibentuk suatu lembaga khusus untuk pencegahan konflik mengingat fungsi dan peran tersebut sudah cukup dan dapat dijalankan oleh SP/SB pada perusahaan..
c. Faktor Pengambat dari Perspektif Pemerintah
Beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit dari perspektif pemerintah (Dinas Tenaga Kerja) adalah meliputi :30
- Jumlah sumber daya manusia sebagai pengawas di bidang ketenagakerjaan yang masih belum representatif,
Jumlah sumber daya manusia sebagai pengawas dibidang ketenagakerjaan yang masih sangat terbatas dibandingkan jumlah perusahaan yang harus diawasi membuat penegakan terhadap pengaturan kewajiban pembentukan LKS Bipartit pada perusahaan menjadi belum efektif.
- Dalam melaksanakan pembinaan termasuk pelaksanaan penyuluhan/sosialisasi belum didukung jumlah sumber daya manusia (pegawai teknis bidang hubungan industrial) yang memadai,
Ketersediaan sumber daya manusia khusus pegawai teknis bidang hubungan industrial yang melaksanakan fungsi pembinaan termasuk penyuluhan/sosialisasi masih terbatas secara kualitas dan kuantitas. Hal ini berpengaruh pada proses pembinaan yang semakin sulit mengingat jumlah yang tidak seimbang dengan banyaknya jumlah perusahaan yang memenuhi syarat pembentukan LKS Bipartit, selain itu diperlukan sumber daya manusia memiliki kompetensi yang kuat dengan jumlah yang memadai guna memaksimalkan proses pembinaan dalam kaitannya dengan penerapan LKS Bipartit pada perusahaaan.
- Itikad baik dan komitmen dari perusahaan untuk melaksanakan saran yang dihasilkan oleh LKS Bipartit masih kurang.
30 Hasil wawancara terhadap I G N Winangsa, SH, Fungsional Mediator Hubungan Industrial pada bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali.
Permasalahan itikad baik dan komitmen yang kurang dari perusahaan masih menjadi kendala yang seringkali membuat LKS Bipartit kurang efektif, hal ini mengurangi semangat para pihak khususnya buruh dalam menggunakan LKS Bipartit sebagai forum pencegahan perselisihan hubungan industrial.
d. Faktor Pengambat dari Perspektif Akademisi
Adapun beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit pada perusahaan dari perspektif akademisi meliputi : 31
- Belum terbentuknya Peraturan Menteri terkait penerapan sanksi administratif sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 190 ayat (3) UU Ketenagakerjaan,
Sesuai degan ketentuan Pasal 190 ayat 3 UU Ketenagakerjaan, mengatur bahwa sanksi administratif sebagaimana dimaksud diatas diatur lebih lanjut oleh menteri.
Belum adanya peraturan Menteri Tenaga Kerja terhadap pelaksanaan sanksi administratif ini kemudian potensial menimbulkan efek buruk terhadap penegakan hukum terkait pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan akhirnya tidak merespon secara tegas terkait pengaturan kewajiban pembentukan LKS Bipartit saat tidak ada pengawasan dan tidak pernah dilaksanakan suatu sanksi hukum yang tegas saat terjadi pelanggaran oleh pihak perusahaan.
- Perbedaan kepentingan dari pengusaha dan pekerja akan selalu menghadirkan konflik, Perbedaan kepentingan yang tajam dari masing-masing pihak baik perusahaan maupun buruh memaksa buruh seringkali berada pada posisi yang sulit dalam memperjuangkan hak-haknya. Kondisi demikian secara tidak langsung akan menghambat pelaksanaan forum dialogis antara perusahaan dan buruh dalam upaya pencegahan perselisihan yang terjadi diperusahaan.
- Komitmen dan kepercayaan dari kedua belah pihak untuk membuat LKS ini berhasil, Komitmen dan kepercayaan kedua belah pihak baik buruh maupun perusahaan menjadi hal yang sangat penting mengingat jika salah satu pihak tidak memiliki komitmen forum LKS Bipartit ini tidak akan dapat berjalan secara efektif.
- Sistem PPHI dalam UU PPHI dirasa sudah cukup representatif,
31 Ringkasan hasil wawancara penulis terhadap Akademisi di Bidang Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Udayana Dr. I Made Sarjana SH, M.H dan I Made Dedy Prianto, SH.,MH.
Pengaturan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam UU PPHI dianggap sudah cukup representatif sebagai sarana pencegahan dan penyelesaian perselisihan yang terjadi pada suatu hubungan industrial antara perusahaan dan buruh apabila dimanfaatkan secara optimal. Sehingga baik perusahaan maupun buruh memandang belum diperlukan suatu forum komunikasi dan konsultasi sebagai suatu sarana khusus dalam upaya pencegahan perselisihan hubungan industrial.
- Pengawasan dan penegakan yang tidak tegas, memberi peluang perusahaan untuk tidak menerapkan LKS Bipartit,
Faktor pengawasan dan penegakan hukum yang lemah (tidak tegas) berkaitan langsung dengan sisi kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan perintah undang- undang terkait kewajiban pembentukan LKS Bipartit ini. Selama belum diatur khusus ketentuan pelaksanaan sanksi bagi perusahaan yang melanggar dan tidak ditindaknya perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan secara tegas, LKS Bipartit hanya akan menjadi konsep ideal yang efektifitasnya rendah dari segi penerapannya.
- Pengetahuan dan pemahaman yang masih kurang dari perusahaan dan buruh,
Pengetahuan dan pemahaman yang masih kurang dari pihak-pihak terkait yaitu perusahaan dan buruh akan fungsi, peran dan manfaat LKS Bipartit mengakibatkan masih sangat sedikit yang menerapkan LKS Bipartit sebagai forum pencegahan perselisihan hubungan industrial. Penguatan akses informasi terhadap perusahaan dan buruh sangat diperlukan guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perusahaan dan pekerja akan setiap keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sehingga layak dipilih sebagai forum komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan pada perusahaan.
e. Faktor Penghambat dari Perspektif LBH Bali
Disisi lain beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit pada perusahaan dari perspektif LBH Bali sebagai salah satu organisasi yang memiliki fokus pada dunia ketenagakerjaan memiliki irisan persamaan yang kuat dengan faktor-faktor penghambat yang sebelumnya telah diuraikan baik oleh pihak perusahaan, buruh maupun pemerintah. Adapun beberapa permasalahan utama yang masih dianggap
menjadi penghambat penerapan LKS Bipartit diperusahaan meliputi :32 pembentukan LKS Bipartit dianggap potensial akan melahirkan kedudukan yang saling tumpang tindih terhadap fungsi dan peran Serikat Pekerja pada perusahaan, penguatan terhadap fungsi dan peran Serikat Pekerja dinilai cukup sebagai sarana memperjuangkan hak- hak dan kepentingan pekerja,wakil pengusaha dalam LKS Bipartit merupakan pemegang kewenangan sehingga potensial buruh akan selalu berada dalam kedudukan atau posisi yang lemah, ketidaktahuan pengusaha dan pekerja terkait kewajiban pembentukan LKS Bipartit, jumlah pengawas ketenagakerjaan yang tidak representatif dalam melakukan pengawasan di sektor ketenagakerjaan, serta pengaturan kewajiban dan penegakan sanksi yang tidak tegas kemudian mempengaruhi tingkat kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban pembentukan LKS Bipartit.
2.3 Optimalisasi Fungsi LKS Bipartit Sebagai Forum Komunikasi dan Konsultasi Antara Buruh Dengan Pengusaha Dalam Upaya Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial
Pembangunan ekonomi Indonesia salah satunya disokong oleh kinerja dari pengusaha dan buruh yang bersinergi dalam menciptakan iklim dunia usaha yang sehat.
Salah satu isu penting dalam pembangunan ekonomi adalah terkait isu-isu pembangunan dibidang perburuhan. Untuk mencapai tujuan pembangunan di bidang perburuhan tersebut terdapat beberapa sarana yang dapat digunakan, salah satunya dalam hal pencegahan terjadinya perselisihan hubungan industrial yang berkorelasi dengan upaya penciptaan hubungan industrial yang sehat adalah melalui LKS Bipartit.
LKS Bipartit memiliki karakteristik berbeda dengan sarana-sarana pelaksanaan hubungan industrial lainnya seperti SP/SB, organisasi pengusaha, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ditengah berbagai keunggulan karakteristik yang dimilikinya, masih terdapat berbagai faktor penghambat yang dihadapi yang membuat LKS Bipartit belum diterapkan oleh sebagian perusahaan-perusahaan di Indonesia. Guna memaksimalkan manfaat penerapannya bagi perusahaan, LKS Bipartit perlu dioptimalisasi fungsinya sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara buruh dengan pengusaha melalui
32 Hasil wawancara terhadap Bapak Haerul Umam SH., Divisi Advokasi pada Lembaga Bantuan Hukum Bali (LBH Bali).
pelaksanaan langkah-langkah khusus (strategi) dalam upaya pencegahan perselisihan hubungan industrial.
Secara umum, pengertian, fungsi, peran dan manfaat dari LKS Bipartit tampaknya masih belum dipahami secara mendasar baik oleh pihak perusahaan maupun pihak buruh. Hambatan-hambatan dalam pembentukan LKS Bipartit diperusahaan, baik karena dipandang belum diperlukan oleh perusahaan, ketakutan perusahaan kewenangannya akan dirongrong dengan keberadaan LKS Bipartit, sejatinya disebabkan oleh kekurangpahaman perusahaan (managemen perusahaan) terhadap keunggulan karakteristik dari LKS Bipartit. Penghambat lainnya belum atau tidak diterapkannya LKS Bipartit oleh perusahaan adalah karena perusahaan mengganggap Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Peraturan Perusahaan (PP) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dimiliki perusahaan dianggap sudah cukup. Dalam kontek ini, perlu dijelaskan bahwa LKS Bipartit berbeda dengan PKB, PP ataupun SOP yang memuat syarat-syarat kerja, tata tertib perusahaan serta hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. PKB maupun PP ataupun SOP memang menjadi dasar dalam pelaksanaan kerjasama antara pengusaha dengan buruh yang kemudian dibingkai dalam suatu hubungan industrial.
Terhadap berbagai kewajiban terhadap kewajiban perusahaan dalam membentuk LKS Bipartit, pemerintah kemudian dapat menggunakan instrumen sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 190 UU Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 190 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2) kemudian diatur lebih lanjut oleh menteri. Peraturan menteri dimaksud sebagai peraturan pelaksanaan hingga kini belum terbentuk, sehingga hingga kini sanksi administratif tersebut belum dapat diterapkan.
Dalam upaya mengoptimalisasi penerapan LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan hubungan industrial, kondisi ini tentu harus mendapatkan respon serius. Pemerintah seharusnya segera membentuk Peraturan Menteri yang mengatur terkait pelaksanaan sanksi administratif sehingga dapat segera diberlakukan pada perusahaan-perusahaan yang melanggar.
Penghambat lainnya, seperti pengusaha lebih memilih untuk membentuk lembaga-lembaga yang memiliki fungsi sejenis dengan LKS Bipartit sebagai wadah
pencegahan perselisihan pada perselisihannya sejatinya tentu menjadi suatu hal yang wajar karena dianggap dapat memberi kemanfaatan bagi buruh dan perusahaan.
Namun tentunya pembentukan lembaga yang memiliki fungsi sejenis ini tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, sebagaimana pembentukan LKS Bipartit yang merupakan amanat UU Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja.
Pembentukan forum-forum sejenis sesuai dengan kebijakan perusahaan tentu secara prosedural seringlah belum memiliki pedoman pelaksanaan yang pasti. Tanpa kepastian hukum tentunya potensial terjadi pelanggaran yang potensial merugikan salah satu pihak khususnya pihak buruh. Dengan pembentukan suatu lembaga khusus (LKS Bipartit) pada perusahaan dengan dengan dasar hukum yang kuat maka pengawasan oleh pemerintah akan lebih mudah dilakukan.
Alasan lain belum/tidak dibentuknya LKS Bipartit adalah karena konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang digunakan sebagai dasar pengusaha untuk menyelesaikan permasalahan perselisihan hubungan industrial dirasa sudah cukup efektif adalah alasan yang kurang berdasar mengingat dalam mengukur efektif atau tidaknya PPHI dibanding LKS Bipartit harus memperhatikan bahwa keduanya merupakan instrumen yang berkarakteristik berbeda. LKS Bipartit lebih berkarakteristik preventif karena tugasnya secara tidak langsung adalah untuk mencegah terjadinya permasalahan hubungan industrial.33 PPHI lebih berkarakteristik kuratif, karena merupakan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah terjadi dengan mewajibkan musyawarah untuk mencapai mufakat untuk menyelesaikan masalah sesuai norma yang berlaku.
Ketakutan perusahaan jika LKS Bipartit akan merongrong kewenangan perusahaan juga menjadi pendapat yang kurang beralasan jika merujuk pada konsep LKS Bipartit. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa LKS Bipartit tidak dapat mengambil keputusan yang mengikat, hanya sebagai lembaga penyampaian informasi dan sebagai wadah konsultasi berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan di perusahaan. Selain itu dalam Pasal 17 ayat (1) Permenakertrans Nomor PER.32/MEN/XII/2008 mengatur bahwa pengurus LKS Bipartit melaporkan setiap
33 Lihat Pasal 4 huruf b Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.32/MEN/XII/2008.
kegiatannya kepada pimpinan perusahaan, sehingga pimpinan perusahaan mengetahui segala kegiatan LKS Bipartit dan juga mendapatkan informasi tentang kondisi hubungan industrial di perusahaan.
Keberadaan LKS Bipartit juga sering dikesampingkan karena dalam perusahaan telah terbentuk SP/SB. SP/SB sebagai organisasi yang memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya.34 Keberadaan LKS Bipartit dipandang tumpang tindih dengan keberadaan SP/SB di Perusahaan. Akibatnya buruh merasa bahwa dengan membentuk LKS Bipartit malah akan kontra produktif. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman baik dari pihak pengusaha maupun pihak buruh mengenai LKS Bipartit.
Dalam Pasal 103 UU Ketenagakerjaan SP/SB juga merupakan salah satu sarana pelaksanaan hubungan industrial disamping organisasi pengusaha yang masing-masing memiliki perbedaan kepentingan. SP/SB tidak dapat berdiri sendiri dalam pelaksanaan hubungan industrial, apalagi jika berhadapan dengan kepentingan-kepentingan lain seperti kepentingan pengusaha dan kepentingan umum. Untuk menjembatani perbedaan kepentingan tersebut maka dipandang perlu ada suatu lembaga kerjasama yang menjembatani yaitu LKS Bipartit.
SP/SB diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Fungsi dari SP/SB menurut Undang-Undang tersebut adalah:35 a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian
perselisihan industrial;
b. sebagai wakil buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
34 Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
35 Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Terkait berbagai fungsi SP/SB tersebut terdapat perbedaan dan tidak bisa dilakukan oleh LKS Bipartit, diantaranya fungsi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, b, e dan f UU SP/SB. Sebaliknya fungsi LKS Bipartit juga berbeda dengan fungsi SP/SB, yaitu sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan wakil SP/SB dan/atau wakil pekerja/buruh. Dilihat dari unsur pembentuknya pun berbeda, dimana SP/SB terdiri dari pekerja/buruh sedangkan LKS Bipartit terdiri dari unsur pengusaha dan wakil SP/SB dan/atau wakil pekerja/buruh. Sehingga kedua lembaga tersebut berbeda dan memiliki fungsi masing-masing dan apabila dibentuk dan dijalankan dengan sinergis maka akan saling menguatkan satu dengan lainnya.
Berdasarkan analisis terhadap berbagai faktor penghambat penerapan LKS Bipartit dari penjelasan sebelumnya, adapun beberapa langkah-langkah yang dapat diambil pihak- pihak terkait dalam upaya optimalisasi peran dan fungsi LKS Bipartit pada perusahaan antara lain meliputi :
- Pemerintah harus melakukan sosialisasi yang rutin dan berkala dengan menyasar pihak perusahaan (pengusaha) dan SP/SB dan atau buruh, guna memberi pengetahuan dasar dan pemahaman yang komprehensif terkait apa itu LKS Bipartit, fungsi, peranan, manfaat dan kedudukan LKS Bipartit pada perusahaan, kewajiban dan syarat penerapan LKS Bipartit, sanksi bila tidak diterapkannya LKS Bipartit, serta keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai forum pencegahan perselisihan.
- SP/SB atau buruh harus berani mengambil inisiatif dalam menggagas pembentukan LKS Bipartit pada perusahaan. Komitmen SP/SB atau buruh dalam pemanfaatan forum ini menjadi begitu penting mengingat peraturan perundang-undangan secara khusus telah mengatur kewajiban perusahaan dalam menerapkan LKS Bipartit pada perusahaan.
- Perusahaan harus berkomitmen dan segera melakukan langkah penyesuaian terhadap konsep/media sejenis yang dulunya digunakan sebagai media pencegahan perselisihan pada perusahaannya, dengan mengadopsi konsep dan menerapkan LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan pada perusahaan masing-masing.
- Bagi perusahaan-perusahaan yang baru dan atau telah membentuk LKS Bipartit pada perusahaan namun belum berjalan efektif, pemerintah harus mengambil peran dalam melakukan langkah pembinaan berkala, pembinaan dapat dilakukan dalam bentuk pendampingan pada proses pembentukan LKS Bipartit hingga melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan LKS Bipartit untuk kemudian dapat mengambil kebijakan- kebijakan strategis atas permasalahan-permasalahan penghambat yang ditemukan dilapangan. Sumber daya manusia yang kuat dari segi kualitas dan kuantitas dan sarana prasarana pendukung pembinaan juga harus disiapkan oleh pihak pemerintah secara maksimal.
- Penguatan Sumber Daya Manusia Pengawas Ketenagakerjaan baik dari segi kualitas dan kuantitas penting untuk segera dilakukan..
- Pemerintah terkait, harus segera membentuk Peraturan khusus (Peraturan Menteri) yang mengatur mengenai pelaksanaan sanksi administratif yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Pengaturan pelaksanaan sanksi administratif sangat penting untuk segera dilakukan mengingat ketentuan tersebut akan menjadi dasar yang kuat bagi pihak terkait untuk segera melakukan penindakan dan penegakan terhadap perusahaan-perusahan yang tidak patuh dalam melaksanakan perintah undang-undang khususnya terkait kewajiban penerapan LKS Bipartit pada perusahaan.
- Penegakan hukum atas ketidakpatuhan perusahaan menjadi isu sentral dalam upaya optimalisasi fungsi dan peran LKS Bipartit bagi perusahan. Dalam upaya penegakan hukum yang maksimal terhadap kewajiban penerapan LKS Bipartit pada perusahaan, penindakan secara tegas oleh aparat terhadap setiap ketidakpatuhan perusahaan sangat penting untuk dilakukan. Penindakan secara tegas dengan berdasarkan pada ketentuan sanksi administratif yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan diharapkan dapat memberi efek jera dan meningkatkan kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban-kewajiban perusahaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait.
Pelaksanaan atas langkah-langkah strategis diatas secara komprehensif oleh masing-masing pihak-pihak akan memberikan dampak positif baik terhadap perusahaan dan buruh dalam mengoptimalisasi segenap keunggulan karakteristik yang
dimiliki LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan dilingkungan kerja.
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas diatas, maka dapat ditarik beberapa simpulan meliputi :
1. Beberapa keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai forum pencegahan perselisihan hubungan industrial di perusahaan, diantaranya meliputi :
a. Dari segi konsep, LKS Bipartit dapat mengaplikasikan prinsip demokrasi ke ranah praktek hubungan industrial antara pengusaha dan buruh,
b. Dari segi sifat, LKS Bipartit dapat memprediksi masalah yang akan terjadi dalam perusahaan, dan mencegah permasalahan yang sudah ada untuk berkembang lebih lanjut menjadi perselisihan hubungan industrial (bersifat preventif),
c. Dari segi keanggotaan, LKS Biartit terdiri dari dua pihak yaitu pihak pengusaha dan buruh sehingga dapat lebih leluasa dan terbuka dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada intern perusahaannya karena tidak ada campur tangan pihak ketiga,
d. Dari segi proses, LKS Bipartit dapat meningkatkan kualitas hubungan industrial dari pola hubungan industrial yang partisipatif menjadi inisiatif, e. Dari segi hasil, hasil dari LKS Bipartit lebih diterima oleh para pihak
(pengusaha dan buruh) karena dalam prosesnya kedua belah pihak dapat berkomunikasi dan berkonsultasi dengan seimbang dan tanpa adanya tekanan dari pihak berwenang (pihak ketiga),
f. Dari segi efektifitas, LKS Bipartit berpotensi sebagai lembaga preventif yang efisien dan efektif sehingga dapat menghemat biaya, waktu dan tenaga,
g. Dari segi kemanfaatan bagi perusahaan, LKS Bipartit meningkatkan produktivitas perusahaan dimana dengan dicegahnya permasalahan hubungan industrial, maka hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh lebih cair dan sehat yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas perusahaan, serta peningkatan kepastian/kelangsungan berusaha bagi pengusaha dan ketenangan kerja bagi buruh.
2. Ditengah berbagai keunggulan karakteritik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan hubungan industrial, dilapangan ditemukan berbagai faktor penghambat yang kemudian menyebabkan belum/tidak diterapkannya LKS Bipartit oleh perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan beberapa permasalahan utama yang ditemukan sebagai faktor penghambat penerapan LKS Bipartit dari perspektif perusahaan, buruh, pemerintah dan pihak terkait lainnya ialah meliputi : kekurangpahaman perusahaan dan buruh terkait apa itu LKS Bipartit, apa yang menjadi fungsi, peran, kedudukan dan keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit, Kekurangan informasi terkait kewajiban dan syarat perusahaan menerapkan LKS Bipartit serta sanksi bila tidak diterapkannya LKS Bipartit, belum adanya komitmen bersama antara pihak perusahaan dan buruh untuk menerapkan LKS Bipartit, sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lemah terhadap perusahaan yang tidak patuh, tidak representatifnya jumlah pengawas ketenagakerjaan dibandingkan jumlah perusahaan yang harus diawasi, kurangnya sumber daya manusia dan sarana prasarana pendukung pembinaan, kekhawatiran potensi tumpang tindih terhadap SP/SB yang ada diperusahaan serta belum adanya Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak patuh.
3. Optimalisasi Fungsi LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara buruh dengan pengusaha dalam upaya pencegahan perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan dengan mengambil strategi berupa pelaksanaan langkah-langkah secara komprehensif yang diantaranya meliputi :
- Pemerintah harus melakukan sosialisasi secara rutin dan berkala dengan menyasar pihak perusahaan (pengusaha) dan SP/SB atau buruh, guna memberi pengetahuan dasar dan pemahaman yang komprehensif terkait LKS Bipartit,
- SP/SB atau buruh harus berani mengambil inisiatif dalam menggagas pembentukan LKS Bipartit pada perusahaan,
- Perusahaan harus berkomitmen dan segera melakukan langkah penyesuaian terhadap konsep/media sejenis yang dulunya digunakan sebagai media pencegahan perselisihan pada perusahaannya,