PELESTARIAN BANGUNAN KAWASAN BERSEJARAH DI KOTA BOGOR BERBASIS PENILAIAN RISIKO BENCANA BANJIR
Faiz Akmal Fadhlur Rahman, Fadly Usman, Kartika Eka Sari
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jalan Mayjen Haryono 167 Malang 65145 -Telp (0341)567886
Email: faiz.akmalfr26@gmail.com
ABSTRAK
Kawasan Bersejarah Kota Bogor adalah salah satu kawasan cagar budaya di Kota Bogor dengan keberadaan arsitektur kolonialnya. Peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun belakangan. Banjir parah di Kota Bogor sejak 2015 telah menggenangi area sekitar bangunan bersejarah. Belum terdapatnya program pelestarian bangunan berbasis risiko bencana menjadi urgensi akan kebutuhan arahan pelestarian bangunan. Bangunan bersejarah memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan keanekaragaman budaya, sehingga penting untuk adanya konservasi bangunan bersejarah dengan menilai risiko kerentanan dan bahaya. Terdapat dua indikator sebagai faktor penilaian pelestarian bangunan bersejarah, yaitu tingkat risiko; tisiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendah dan juga nilai bangunan bersejarah; nilai tinggi, rendah dan sedang. Metode penelitian kuantitatif digunakan pada penelitian ini dengan menilai analisis risiko bencana dan makna kultural dengan menggunakan survei wawancara dengan komunitas kawasan bersejarah sebagai data. Hasil tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis spasial. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa adanya dua perspektif, yaitu risiko bencana dan pelestarian bangunan bersejarah adalah; rahan rehabilitasi (3 bangunan), Konservasi (34 bangunan), dan Preservasi (24 bangunan).
Kata Kunci: Bangunan-bersejarah, Kerentanan, Pelestarian
ABSTRACT
The Bogor Historical Area is one of the cultural heritage areas in Bogor City with its colonial architecture. in recent years, there were increased frequency and intensity of extreme weather caused by the worsen of climate changing. The severe flooding in Bogor since 2015 has rushed the area around the heritage properties. The absence of a disaster risk-based building conservation program is an urgency for building conservation direction needs. Historic buildings play an important role in economic development and cultural diversity, so it is important for the conservation of historic buildings by assessing the risks of vulnerability and danger. There are two indicators as an assessment factor for preserving historic buildings, the level of risk; high risk, medium risk, low risk, and also the value of historic buildings; high, low, medium values. Quantitative research methods are used in this study by assessing disaster risk analysis and cultural significance by using interview surveys with historic area communities as data. The collected data are then analyzed using spatial analysis. From this research, it was produced that there are two perspectives, namely disaster risk and building heritage conservation; rehabilitation plan (3 buildings), conservation (34 buildings), and preservation (24 buildings).
Keywords: Heritage-buildings, Vulneralbility, Conservation
PENDAHULUAN
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak-ragawi serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam bagian dari wilayah atau kota, yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif (P3KP, 2013). Salah satu Kota yang teridentifikasi adalah Kota Bogor. Kota Bogor memiliki banyak peninggalan terhadap terbentuknya buitenzorg sebagai salah satu awal
mula terbentuknya Kota Bogor. Sejarah Kota Bogor dimulai dari berkembangnya kesultanan padjajaran hingga memasuki era kolonial pada tahun 1800-an.
Perkembangan kotanya dari tahun ke tahun dipengaruhi adanya intervensi dari pemerintah belanda sehinga menimbulkan pencampuran kultur, dari segi rencana penaaan kota hingga settlement area. Adanya pemerintah belanda pada masa itu menimbulkan inovasi pembangunan perumahan yang memiliki unsur bangunan kolonial. Keberadaan permukiman bangsa Eropa ini juga meninggalkan suatu
bentuk arsitektur yang dikenal sebagai arsitektur kolonial (Murtomo, 2008).
Kawasan Bersejarah Kota Bogor adalah kawasan yang memberikan inovasi akan adanya garden city di masa depan. Persepsi ini dinyatakan sendiri oleh Ir. Thomas Karsten yang memberikan gambaran bahwa Buitenzorg menjadi kawasan sabuk hijau yang dikelilingi banyak vegetasi dan budaya. Bentuk peninggalan di Kawasan Bersejarah Kota Bogor yaitu berupa bangunan kolonial indische yang masih terjaga keasliannya saat ini (Fadila, 2012).
Bangunan di Kawasan Bersejarah Kota Bogor dibangun sekitar tahun 1930-an.
Bangunan tersebut memberikan identitas tersendiri khususnya wilayah Kecamatan Bogor Tengah yang dipertemukan antara dua taman yaitu Taman Kencana dan Taman Sempur. Dalam hal ini, keaslian bangunan di kawasan tersebut sangat dipertaruhkan untuk kemajuan jaman yang bukan hanya mementingkan ekonomi tapi dari sejarah perjalanan bangunan itu sendiri (Bappeda, 2017).
Kawasan Bersejarah Kota Bogor merupakan bagian dari Kota Hujan di mana memiliki tingkat curah hujan yang tinggi. Selain itu, lanskap kawasan bersejarah tersebut juga beragam (Bappeda, 2017). Hal ini akan memberikan potensi ancaman baru yaitu bencana banjir. Adanya banjir berupa banjir kiriman maupun genangan akan menimbulkan dampak tersendiri kepada bangunan kolonial tersebut. Bangunan yang mengalami perubahan akan memudarkan nilai makna kultural bangunan itu sendiri. Sehingga perlu adanya metode pelestarian berupa makna kultural untuk menentukan arahan pelestarian bangunan yang bukan hanya mempertimbangkan bagaimana kondisi keaslian bangunan kolonial itu sendiri tapi juga mempertimbangan risiko bencana yang ada di dalam kawasan tersebut.
Adanya bangunan-bangunan bersejarah pada kawasan tersebut sebagai identitas perkotaan yakni jika terdampak paparan bahaya dari lingkungan alam dan teknologi, seperti gempa, banjir, ataupun aktivitas manusia akan berdampak ke kehidupan masyarakat, dan bangunan kolonial itu sendiri.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan arahan pelestarian bangunan di Kawasan Bersejarah Kota Bogor sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan terhadap keaslian, dan keutuhan bangunan kolonial apabila terdampak bencana banjir.
METODE PENELITIAN
Wilayah yang menjadi lokasi dari penelitian adalah Kawasan Bersejarah Kota Bogor yang terletak di Kecamatan Bogor Tengah, Kelurahan Babakan. Kawasan Bersejarah Kota Bogor merupakan kawasan prioritas bagian dari Kawasan Plan Karsten yang diajukan berdasarkan Peraturan Walikota Bogor Nomor 15 Tahun 2012 yang difungsikan sebagai hunian bagi orang Eropa yang tinggal di Kota Bogor pada masa kolonial, lalu institusi pendidikan dan penelitian yakni bangunan yang ada di Kawasan Bersejarah Kota Bogor memiliki karakter bangunan yang mencirikan khas bangunan kolonial indische tahun 1930-an. Berdasarkan Fadila (2012), terdapat 261 bangunan bersejarah yang berada di Kota Bogor. Lalu saat melakukan observasi lapangan untuk pengambilan sampel dapat diketahui bahwa bangunan bersejarah berjumlah 61 bangunan dari keseluruhan kawasan yang berjumlah 442 bangunan yang meliputi bangunan bersejarah dan non bersejarah.
Teknik analisis yang digunakan adalah teknik skoring dan pembobotan untuk makna kultural, dan analisis risiko bencana (Jigyasu, 2012).
A. Populasi dan Sampel
Sampel bangunan di Kawasan Bersejarah dilakukan terhadap seluruh populasi yang berjumlah 61 bangunan bersejarah dengan menggunakan purposive sampling. Sampel masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat pemilik bangunan bersejarah dan bukan bersejarah. Sampel masyarakat pemilik bangunan bersejarah berjumlah 61 orang, sedangkan untuk masyarakat pemilik non bangunan bersejarah ditentukan berdasarkan perhitungan Slovin dengan total 79 orang.
Tabel 1. Populasi dan Sampel Penelitian
Blok
Jumlah Bangunan Jumlah Masyarakat Bukan
Bersejarah Bersejarah Bukan Pemilik
Pemilik Bangunan
A 139 20 31 20
B 134 23 24 23
C 108 18 24 18
Total 381 61 79 61
B. Variabel Penelitian
Arahan Pelestarian bangunan berbasis risiko bencana banjir disusun mengikuti pedoman ICOMOS (2016) tentang cagar budaya dengan menggunakan indikator yang bersumber
dari Nurmala (2003), UNISDR (2004), Hadinoto (2012), BNPB (2012), dan Antariksa (2017).
Variabel dan sub variabel dalam penelitian ini terdapat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Variabel Penelitian
No. Tujuan
Penelitian Variabel Sub variabel
1.
Mengidentifikasi risiko bencana banjir di Kawasan Bersejarah Kota Bogor
Bahaya
• Kawasan Rawan Bencana Banjir
• Kejadian Banjir Terdahulu
Kerentanan
• Fisik
• Sosial
• Lingkungan
• Ekonomi
2
Menganalisis dan menentukan bentuk pelestarian di Kawasan Bersejarah Kota Bogor
Makna Kultural
• Nilai Estetika
• Peranan Sejarah
• Nilai Keistimewaan
• Nilai Visual
• Nilai Integrasi
• Karakter Bangunan
C. Metode Analisis
1. Analisis Risiko Bencana
Analisis Risiko Bencana digunakan untuk mempelajari karakteristik fisik dan non fisik dari ketahanan sebuah wilayah. Adanya pengembangan analisis risiko bencana dalam pada penyusunan dokumen pelestarian menjadikan salah satu instrumen untuk menjawab isu pengelolaan risiko bencana di kawasan bersejarah (Rukmana, 2014). Penilaian risiko meliputi bahaya dan kerentanan sebagai bahan pertimbangan pelestarian bangunan dengan menggunakan metode tabulasi silang (BNPB, 2012).
Tabel 3. Matriks Ancaman (H) – Kerentanan (V)
Tinggi Sedang Rendah
Rendah Sedang Rendah Rendah
Sedang Tinggi Sedang Rendah
Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
Adapun perhitungan risiko bencana menggunakan rumus:
𝑹 = 𝑯 × 𝑽...(1) Ket : R = Risiko
H = Bahaya V = Kerentanan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berfokus pada risiko bencana dengan menggunakan teknik analisis overlay (Daungthima, 2012) yakni dikombinasikan dengan data sekunder untuk memproses hasil analisis.
2. Analisis Sinkronik dan Diankronik
Analisis sinkronik itu menganalisis pola, karakter, dan gejala pada sebuah peristiwa sejarah dan bangunan pada masa tertentu.
Sedangkan, untuk analisis diankronik yakni menganalisis peristiwa yang terjadi pada sejarah maupun bangunan dengan cara diruntutkan kronologis peristiwanya dan dikesenambungkan dengan masa sekarang. Analisis ini menitikberatkan pada data-data masa lampau, yang berpedoman pada dokumen, peta, buku- buku, informasi dan teknik wawancara di mana sebagai input untuk makna kultural.
3. Makna Kultural
Analisis ini untuk mengetahui kondisi dan karakter bangunan kolonial di lokasi studi yang terkait dengan kondisi fisik, fungsi, ketinggian, intensitas dan gaya bangunan. Analisis deskriptif-evaluatif ini dilakukan untuk menggambarkan kondisi bangunan-bangunan bersejarah. Hasil analisis yang dilakukan berupa gambaran kondisi karakteristik Kawasan Bersejarah Kota Bogor dengan keluaran identitas bangunan kolonial yakni sebagai input untuk dilakukannya makna kultural.
Berdasarkan modifikasi Nurmala (2003), ICOMOS (2016), dan Antariksa (2017).
Penentuan nilai kultural bangunan yang ada di kawasan bersejarah untuk mendapatkan klasifikasi bangunan. Bentuk penilaian berupa pembobotan untuk setiap kriteria makna kultural yang telah ditetapkan. Untuk menentukan nilai makna kultural bangunan didasarkan pada kriteria-kriteria yang berjumlah 6 kriteria. Adapun beberapa kriteria untuk penilaian makna kultural, sebagai berikut:
a. Nilai Estetika b. Peranan Sejarah c. Nilai Visual d. Nilai Keistimewaan e. Nilai Integrasi f. Karakter Bangunan
Hasil yang didapatkan dari penilaian makna kultural berupa persentase dari nilai-nilai yang sudah didentifilasikan sebelumnya.
Terdapat 4 kelas tingkat klasifikasi pada makna kultural. Bentuk penilaian yang dilalukan merupakan pembobotan untuk mendapatkan klasifikasi bangunan di kawasan bersejarah.
Berikut kelas yang digunakan untuk menentukan maknal kultural.
V H
Tabel 4. Klasifikasi Skoring Makna Kultural
Skor Keterangan
4 Sangat Original
3 Original
2 Kurang Original
1 Tidak Original
Sumber: Modifikasi Antariksa (2017), Harris and Dines (1988), Goodchild (1990)
Tahapan dalam penilaian makna kultural bangunan adalah sebagai berikut (Antariksa, 2017) :
a. Menjumlahkan hasil dari masing-masing kriteria.
b. Menentukan total nilai tertinggi dan terendah. Total nilai tertinggi sesuai dengan penilaian makna kultural pada bangunan kolonial dalam penelitian ini adalah 88, sedangkan untuk nilai terendah adalah 22.
c. Menentukan jumlah penggolongan kelas pada data dengan rumus Sturgess.
𝒌 = 𝟏 + 𝟑. 𝟑𝟐𝟐 𝒍𝒐𝒈 𝒏...(2) Ket : k = Kelas
n = Jumlah indikator
Penentuan kelas dalam penelitian ini nantinya akan menunjukkan jumlah kelas pada klasifikasi.
d. Menentukan pembagian jarak interval dengan cara mencari selisih antara total nilai tertinggi dan total nilai terendah untuk kemudian dibagi dalam jumlah kelas.
𝒊 = 𝑱𝒂𝒓𝒂𝒌 ∶ 𝒌...(3)
Ket : i = Interval
jarak = Nilai tertinggi – Nilai terendah k = jumlah kelas
Penentuan interval dalam penelitian ini nantinya akan menunjukkan rentang interval pada klasifikasi. nilai ke dalam klasifikasi sesuai dengan jarak interval.
e. Mendistribusikan setiap total nilai ke dalam klasifikasi sesuai dengan jarak interval
f. Nilai rata-rata yang sudah dihitung tersebut akan dibagi dalam enam interval kemudian digolongkan dalam kelompok potensi bangunan yang akan dilestarikan.
Pengelompokkan tersebut dibagi atas nilai potensial tinggi, sedang, dan rendah.
Penentuan arahan pelestarian tindakan fisik untuk menentukan batas-batas perubahan fisik yang diperbolehkan bagi setiap elemen- elemen bangunan bersejarah.
Tabel 5. Klasifikasi Penilaian Makna Kultural
Penilaian
Klasifikasi Risiko Bencana
Klasifikasi Elemen Bangunan
Potensial
Arahan Pelestarian
< 34
Risiko Rendah, Sedang, atau
Tinggi
Potensial Rendah Rehabilitasi 35 – 47
48 – 60
Potensial Sedang Konservasi 61 – 73
>74 Potensial Tinggi Preservasi
Sumber: Antariksa (2017)
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Risiko Bencana 1. Bahaya
Tingkat ancaman atau bahaya (Hazard) bencana banjir yang terdapat di Kawasan Bersejarah Kota Bogor didapatkan dari data sekunder Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bogor. Peta ancaman bencana banjir terbagi dalam tiga kelas yaitu meliputi ancaman tinggi, ancaman sedang, dan ancaman rendah. Tingkat ancaman atau bahaya juga dikombinasikan dengan data banjir terdahulu sebagai keluaran dengan menggunakan teknik overlay.
Tabel 6. Kejadian Bencana Banjir Tahun 2017
No. Kelurahan Lokasi Tinggi Genangan
Lama Genangan
1 Babakan RW07
RT.02 20 cm 30 menit
2 Babakan RW.05 50 cm ± 1 jam
3 Sempur RW.01 10 cm 30 menit- 1
jam
4 Sempur RW.06 10 cm 30 menit
5 Sempur RW. 01, Taman Kencana, belum ada drainase di kiri dan kanan jalan Sumber: Bappeda Kota Bogor (2018)
Kawasan Bersejarah Kota Bogor yakni cukup lama untuk ukuran sebuah genangan dikarenakan kapasitas drainase yang terdapat di kawasan deliniasi minim.
Kawasan Bersejarah Kota Bogor memiliki ancaman rendah terhadap bencana banjir karena didominasi oleh wilayah permukiman yang cenderung memiliki ketinggian rumah hanya 1 lantai. Kawasan ini tidak memiliki kejadian banjir yang diakibatkan dari luapan air sungai, tetapi lebih didominasi oleh sedimentasi, drainase yang belum mencukupi, dan tersumbat sampah.
Pada dasarnya, kawasan ini tidak memiliki wilayah yang berpotensi terjadi genangan banjir yang tinggi seperti genangan yang berasal dari luapan sungai atau penyebab yang berasal dari karakteristik topografi dan terestrial. Namun, Bencana banjir yang terjadi lebih fokus pada
genangan sementara dan limpasan singkat dari aliran permukaan.
Gambar 1. Peta Kejadian Banjir Tahun 2017 Kawasan Bersejarah Kota Bogor
Gambar 2. Peta Bahaya Kawasan Bersejarah Kota Bogor
2. Kerentanan
Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi - kondisi yang ditentukan oleh faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang meningkatkan kecenderungan (susceptibility) sebuah komunitas terhadap dampak bahaya (Muta’ali, 2014). Penilaian kerentanan dilakukan
pada setiap sub variabel berupa fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Tabel 7. Skor Akhir Tingkat Kerentanan
Sosial Fisik Ekonomi Lingkungan Jumlah
0.79 0.43 0.72 0.13 0.62
Tingkat kerentanan menunjukkan bahwa total nilai kerentanan memiliki skor 0,62.
Kerentanan sosial memiliki nilai tertinggi 0,79, kerentanan fisik memiliki skor 0,43 dan untuk kerentanan lingkungan memiliki skor yang rendah yaitu 0,13.
Gambar 3. Peta Kerentanan Kawasan Bersejarah Kota Bogor
Deliniasi Kawasan Bersejarah Kota Bogor yang terdapat pada Kelurahan Babakan memiliki kerentanan sedang.
3. Risiko Bencana
Perhitungan bahaya atau ancaman yang menggunakan hasil penilaian dari peta ancaman bencana banjir akan ditabulasi silangkan dengan variabel kerentanan. Penentuan tingkat risiko bencana dihitung menggunakan matriks tabulasi silang.
Bahaya atau ancaman menggunakan hasil penilaian dari peta rawan bencana banjir, dan peta kejadian banjir. Sedangkan kerentanan terdiri dari kerentanan sosial, fisik, ekonomi, dan lingkungan. Kedua variabel dihitung menggunakan matriks tabulasi silang (H) x (V) yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya.
Tabel 8. Hasil Tabulasi Silang
Ancaman (H) Kerentanan (V) Matriks HxV
Klasifiksi Risiko Bencana
1 2 2 Sedang
Adanya perhitungan bahaya atau ancaman yang menggunakan hasil penilaian dari peta ancaman bencana banjir akan ditabulasi silangkan dengan hasil dari variabel kerentanan untuk mengidentifikasi risiko bencana kawasan.
Gambar 4. Peta Risiko Bencana Kawasan Bersejarah Kota Bogor
Hasil risiko bencana didapatkan kesimpulan bahwa klasifikasi risiko bencana banjir di Kawasan Bersejarah Kota Bogor terbagi menjadi 2 yaitu klasifikasi rendah, dan sedang.
Untuk klasifikasi sedang meliputi blok A dan C.
Dan untuk klasifikasi rendah meliputi blok B.
B. Makna Kultural 1. Sejarah Kawasan
Pada masa penjajahan belanda menetapkan bahwa Regentschappen Buitenzorg memiliki 5 kecamatan yaitu Buitenzorg, Paroeng, Tjibinong, Jassinga, dan Tjibaroessa. Kawasan Bersejarah Kota Bogor ini termasuk dalam pemekaran wilayah dari Buitenzorg District. Pada tahun 2018, Kawasan ini meliputi Kelurahan Babakan.
Pada masa 1845, struktur kota sudah mulai terbentuk, dengan dibangunnya Istana Bogor dan kawasan militer di sisi Jalan masuk utama ke dalam kawasan Kampoeng Baroe
Permukiman etnis Eropa berkembang ke arah sebelah Barat Istana, dengan bangunan- bangunan penting seperti Societet dan Hotel Salak berada di sisi Jalan Besar. Etnis Arab berada di kawasan Soekahati atau Empang, dan Kawasan Pecinan yang menjadi pusat ekonomi terletak di sepanjang di Jalan Suryakencana.
2. Analisis Sinkronik dan Diankronik
Kawasan Bersejarah Kota Bogor menjadi sebuah komplek permukiman bangsa eropa yang memiliki kepentingan sebagai pegawai pemerintahan, perkebunan, perhutanan, pos hingga pasukan militer.
Gambar 5. Peta Deliniasi Kawasan Pusaka Kota Bogor
Adanya perluasan wilayah ke daerah timur ini telah terjadi sejak masa pemerintahan tahun 1800 Gouvernour-General Herman Willem Daendels membeli beberapa landerien untuk keperluan pribadi di Regentschappen Buitenzorg.
Berdasarkan informasi dari surat kabar Nederlandsche Staatcourant, 1866 terjadi sebuah deklarasi membebaskan landerien yang dimiliki secara swasta maupun pribadi menjadi milik pemerintah. Hal ini menjadikan terjadinya pengambilan hak milik atas sub kavling oleh pemerintah, seperti Kampong Bandar Petee, Tjotok Bloeboer, Bodjoeng Neros, Babakan, dan Babakan Paledang.
Pada tahun 1920, Bogor telah menjadi Hoofdplaats (Ibu Kota) yang memberikan dampak perkembangan cukup besar terhadap
ekonomi perkotaan dalam bidang pertanian, pendidikan, dan kesehatan sehingga terjadi dorongan pembangunan permukiman baru di Kampong Babakan dalam wilayah Onderdistrict Kedoeng Allang. Pada masa kini, Kampong Babakan menjadi sebuah Kelurahan Babakan yang merupakan dasaran dalam deliniasi untuk Kawasan Bersejarah Kota Bogor.
Dari beberapa kajian sejarah yang dilakukan pembagian masa sejarah Kota Pusaka Bogor dibagi menjadi 5 masa, yaitu:
a. Bogor Sebagai Pusat Kerajaan Pakuan- Padjajaran (1482 -1677)
b. Bogor Pada Masa Kolonial I (1600-1754) c. Bogor Pada Masa Kolonial II (1754 - 1845) d. Bogor Pada Masa Kolonial III (1845-1904) e. Bogor Pada Masa Kolonial IV (1917-1930)
Sebagai ciri permukiman bangsa Eropa yang berkembang pada awal abad 20 adalah adanya aturan sempadan bangunan serta tersedianya fasilitas umum, dan permukiman ini biasanya dibangun sebagai rumah dinas bagi pegawai pemerintahan (Heryanto, 2000).
Setelah mejadi Gemeente, terjadi banyak perubahan dibidang administratif pemerintahan dan perkembangan fisik. Perkembangan selanjutnya adalah direncanakannya daerah perumahan di sebelah utara dan timur oleh Ir.Thomas Karsten pada tahun 1917.
Gambar 6. Kota Bogor Pada Masa Kolonial I
3. Karakter Bangunan
Karakter Bangunan terdiri dari langgam arsitektur dan fasade. Fasade bangunan menyampaikan keadaan budaya saat bangunan tersebut dibangun, Fasade bangunan juga merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan serta mencerminkan ekspresi pemilik bangunan (Krier, 2001).
Bangunan kolonial di Kawasan Bersejarah Kota Bogor berjumlah 61 unit dan memiliki satu tipe bangunan yaitu tipe bangunan tahun 1930- an, dan elemen bangunan yang berbeda dari segi struktur dan material. Penentuan tipe bangunan dilakukan dengan mengklasifikasikan elemen- elemen sesuai dengan tipe bangunan.
Tabel 9. Elemen Karakter Bangunan
No Elemen
1 Gable/ Gevel 2 Ballustrade 3 Bouvenlicht (lubang
ventilasi)
4 Ornamen bangunan 5 Pintu
6 Jendela 7 Dinding 8 Atap
Sumber: Modifikasi Krier (2001), dan Antariksa (2010)
Tabel 10. Elemen Fasad Bangunan
Atap Jendela Pintu Dindin
g Lantai
• Perisai dan Datar
• Perisai
• Trapesium dan Perisai
• Kayu dan Kaca
• Persegi Panjang
• Vertikal
• Lingkaran
• Ornamen Persegi
• Persegi Panjang
• Kayu dan Kaca
• Pintu ganda kombinasi jendela
• Tebal
• Beton
• Batu alam
• Teraso
• 30 – 60cm
4. Penilaian Makna Kultural
Makna kultural digunakan untuk menentukan penilaian atau pembobotan makna yakni berupa kesimpulan arahan pelestarian yang sesuai. Kawasan Bersejarah Kota Bogor merupakan originalitas dari perumahan dinas, penjabat, dosen, hingga orang belanda sendiri yang sudah memberikan kontribusi atas perkembangan Indonesia, khususnya Kota Bogor. Fungsi direncanakannya kawasan ini adalah sebagai hunian untuk orang eropa dan penjabat indonesia. Pada kondisi eksisting menunjukkan bahwa bangunan yang terdapat di kawasan tersebut memiliki aspek arsitektur kolonial indische meskipun banyak sekali
bangunan yang sudah beralih fungsi jadi modern, 18 unit bangunan ini pada blok C tetap menjaga keaslian identitas bangunan tersebut.
Penentuan arahan tindakan fisik pelestarian ini didasari oleh penilaian makna kultural. Berdasarkan penilaian tersebut didapatkan elemen-elemen bangunan yang dibagi dalam beberapa klasifikasi yaitu potensial tinggi, potensial sedang, dan potensial rendah.
Bentuk arahan yang dimaksud dalam penelitian ini difokuskan dalam tindakan fisik yang terdiri dalam tiga kelas, yaitu preservasi, konservasi, dan rehabilitasi.
Penentuan klasifikasi didapatkan melalui makna kultural dengan indikatornya berupa kawasan bersejarah yang memiliki bangunan- bangunan yang melebihi umur 50 tahun dan memiliki sejarah yang signifikan terhadap perkembangan terbentuknya kota-kota di Indonesia. Indikator yang telah ditentukan sebagai acuan dasar untuk menentukan arahan dengan memfokuskan pada tindakan fisik terhadap bangunan-bangunan tersebut.
Arahan tersebut berfungsi untuk menentukan batas-batas perubahan fisik yang diperbolehkan bagi setiap elemen bangunan bersejarah. Perbedaan yang terdapat elemen setiap bangunan akan memiliki potensi yang berbeda dalam melakukan tindakan fisik pelestariannya.
Gambar 7. Peta Persebaran Bangunan Bersejarah Blok A
Gambar 8. Peta Persebaran Bangunan Bersejarah Blok B
5. Arahan Pelestarian Bangunan
Arahan pelestarian untuk elemen bangunan potensial berdasarkan hasil analisis dan klasifikasi elemen-elemen bangunan yang telah dilakukan. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Nilai potensial rendah: 22 – 47
Nilai potensial rendah merupakan kelompok elemen bangunan dengan tingkat perubahan yang sedang hingga besar, maka diperlukan intervensi fisik yang besar untuk dapat tetap menjaga nilai makna kultural yang terdapat pada elemen-elemen bangunan tersebut.
Elemen-elemen bangunan tersebut sebagian besar masih dalam kondisi asli tetapi karena menurunnya kualitas yang disebabkan kurangnya perawatan maka hal ini menyebabkan elemen-elemen bangunan mempunyai nilai makna kultural rendah.
Arahan kegiatan pelestarian bagi kelas ini adalah restorasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
b. Nilai potensial sedang: 48 – 73
Elemen bangunan dengan nilai potensial sedang diarahkan dengan tindakan pelestarian berupa konservasi dan diikuti dengan tindakan teknis yaitu konservasi, restorasi, dan rehabilitasi. Konservasi merupakan kebijakan yang memungkinkan dilakukannya intervensi dalam melakukan pelestarian elemen-elemen bangunan
dengan tingkat intervensi kecil hingga sedang.
c. Nilai potensial tinggi: 74 – 88
Kegiatan yang dilakukan pada kelas nilai potensial tinggi hanya boleh melakukan sedikit perubahan hingga tidak melakukan perubahan sama sekali. Elemen-elemen bangunan dengan nilai potensial tinggi memiliki tingkat perubahan yang sangat kecil hingga tidak berubah yang dikarenakan pemeliharaan yang baik ataupun kualitas bahan bangunan tahan lama sehingga tidak diperlukan intervensi fisik yang besar dalam penanganannya.
Tabel 10. Penilaian Makna Kultural Blok A
Kode Bangunan
Zona Risiko Banjir
Zona Elemen Bangunan
Potensial
Skor Akhir
Konsep/
Arahan Pelestarian
Bangunan
A1 Sedang Sedang 63 Adaptasi
A2 Sedang Rendah 47 Renovasi
A3 Sedang Sedang 48 Restorasi
A4 Sedang Sedang 65 Adaptasi
A5 Sedang Sedang 69 Adaptasi
A6 Sedang Sedang 68 Adaptasi
A7 Sedang Sedang 57 Restorasi
A8 Rendah Tinggi 76 Preservasi
A9 Rendah Tinggi 74 Preservasi
A10 Rendah Tinggi 81 Preservasi
A11 Rendah Tinggi 79 Preservasi
A12 Rendah Sedang 59 Restorasi
A13 Rendah Sedang 72 Adaptasi
A14 Rendah Tinggi 81 Preservasi
A15 Rendah Tinggi 85 Preservasi
A16 Rendah Tinggi 82 Preservasi
A17 Rendah Tinggi 82 Preservasi
A18 Rendah Sedang 71 Adaptasi
A19 Rendah Tinggi 84 Preservasi
A20 Rendah Tinggi 77 Preservasi
Tabel 11. Penilaian Makna Kultural Blok B
Kode Bangunan
Zona Risiko Banjir
Zona Elemen Bangunan
Potensial
Skor Akhir
Konsep/
Arahan Pelestarian
Bangunan
B1 Sedang Tinggi 80 Preservasi
B2 Sedang Sedang 55 Restorasi
B3 Sedang Tinggi 74 Preservasi
B4 Sedang Sedang 66 Adaptasi
B5 Sedang Sedang 55 Restorasi
B6 Sedang Sedang 66 Adaptasi
B7 Sedang Sedang 69 Adaptasi
B8 Sedang Tinggi 81 Preservasi
B9 Sedang Tinggi 77 Preservasi
B10 Sedang Sedang 63 Adaptasi
B11 Sedang Sedang 62 Adaptasi
B12 Sedang Sedang 60 Restorasi
B13 Rendah Sedang 68 Adaptasi
B14 Rendah Sedang 63 Adaptasi
B15 Rendah Sedang 64 Adaptasi
B16 Rendah Sedang 59 Restorasi
B17 Rendah Tinggi 82 Preservasi
B18 Rendah Sedang 65 Adaptasi
B19 Rendah Rendah 44 Renovasi
B20 Rendah Rendah 40 Renovasi
Kode Bangunan
Zona Risiko Banjir
Zona Elemen Bangunan
Potensial
Skor Akhir
Konsep/
Arahan Pelestarian
Bangunan
B21 Rendah Sedang 64 Adaptasi
B22 Rendah Tinggi 74 Preservasi
Tabel 12. Penilaian Makna Kultural Blok C
Kode Bangunan
Zona Risiko Banjir
Zona Elemen Bangunan
Potensial
Skor Akhir
Konsep/
Arahan Pelestarian
Bangunan
C11 Sedang Sedang 48 Restorasi
C12 Sedang Sedang 60 Restorasi
C13 Sedang Tinggi 81 Preservasi
C14 Sedang Sedang 61 Adaptasi
C15 Sedang Tinggi 74 Preservasi
C16 Sedang Tinggi 76 Preservasi
C17 Sedang Sedang 53 Restorasi
C18 Sedang Sedang 58 Restorasi
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini antara lain:
1. Lokasi pelestarian bangunan ditentukan melalui Peraturan Walikota Bogor nomor 17 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan kota Bogor Sebagai Kota Pusaka. Penentuan
deliniasi kawasan pusaka
mempertimbangkan beberapa indikator diantaranya sejarah kawasan, fungsi bangunan, karakter bangunan, batasan dengan koridor utama Kota Bogor, memiliki potensi berupa bencana banjir yakni banjir lintasan dan genangan serta daya tarik pembangunan yang cukup tinggi.
2. Berdasarkan analisis risiko bencana banjir di Kawasan Bersejarah Kota Bogor, dari 3 blok kawasan terdapat 2 blok yang termasuk dalam risiko bencana sedang meliputi blok B dan blok C dengan luasan 31,4 Ha atau 75%
dari keseluruhan kawasan. Sedangkan untuk blok A memiliki klasifikasi tingkat risiko rendah dengan luasan 10,6 Ha atau 25% dari keseluruhan kawasan.
3. Berdasarkan penilaian makna kultural, dari 61 bangunan bersejarah telah teridentifikasi bahwa 3 bangunan bersejarah termasuk dalam arahan rehabilitasi dengan tindakan fisik berupa renovasi. Lalu, arahan konservasi memiliki bangunan bersejarah dengan total 34 bangunan atau 56% dari keseluruhan bangunan. Tindakan fisik konservasi yang dilakukan berupa adaptasi dan restorasi bangunan. Selain itu, Untuk 24 bangunan diarahkan untuk arahan
preservasi dengan intervensi kegiatan yang dilakukan tidak ada atau seminimal mungkin agar tidak terjadi perubahan pada bangunan bersejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Antariksa. 2017. Teori dan Metode Pelestarian Arsitektur dan Lingkungan Binaan.
Malang.
Daungthima, Wittaya., Kazunori, Hokao. 2012.
Assesing The Flood Impact and The Cultural Properties Vulneralbilities in Ayutthaya, Thailand. Procedia Environmental Sciences. Science Direct Journal. 17 (2013) 739–748.
Dharma, Lukman., Antariksa., & Kurniawan, E. B.
2010. Pelestarian Kawasan dan Bangunan Kuno Bersejarah Pusat Kota Probolinggo. Malang
Fadila, Rucitra. 2012. Perkembangan Tata Kota Bogor dari Abad Ke-18 Hingga Abad Ke-20. Universitas Indonesia. Depok:
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Hadinoto. 1996. Perkembangan Kota Malang pada Jaman Kolonial. Surabaya.
Universitas Kristen Petra.
ICOMOS. 2016. Cultural Heritage, The United Nation Sustainable Development Goals, and The New Urban Agenda.
New York: International Council on Monuments and Sites Publication.
Jigyasu, Rohit., Vanicka, Arora. 2012. Disaster Risk Management of Cultural
Heritage in Urban Areas. Ritsumeikan University. Japan: Research Center for Disaster Mitigation of Urban Cultural Heritage
Murtomo, B. A. 2008. Arsitektur Kolonial Kota Lama Semarang. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman.
7 (2) 69–79
Muta’ali, Lutfi. 2014. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana.
Universitas Gadjahmada. Yogyakarta.
Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG)
Nurmala. 2003. Pelestarian Kawasan dan Bangunan Kuno Bersejarah Pusat Kota Probolinggo. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 14 (3). Bandung
P3KP. 2013. Buku Inventarisasi Aset Pusaka Kota Bogor. Bogor: Tim Program dan Penataan Pelestarian Kota Pusaka.
Rukmana, Dadang. 2014. Pengurangan Risiko Bencana dalam Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka.
Bengkulu: Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang.
UNISDR. 2004. Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives.
United Nations Internasional Strategy for Disaster Reduction Asia and Pasific