ABSTRAK
Aan Hendrayana (2014). Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Rigorous Mathematical Thinking (RMT) terhadap Pemahaman Konseptual, Kompetensi Strategis, dan Beban Kognitif Matematis Siswa SMP Boarding School (Sekolah Berasrama).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan pengaruh pembelajaran pendekatan RMT dan pembelajaran pendekatan langsung terhadap Pemahaman Konseptual Matematis (PKM), Kompetensi Strategis Matematis (KSM), dan Beban Kognitif Matematis (BKM) siswa SMP Boarding School (sekolah berasrama). Populasi penelitian ini adalah siswa SMP Boarding School dan sampelnya siswa SMP DT Boarding School Bandung. Selain faktor pembelajaran, dalam penelitian ini dilihat pula faktor gender, Kemampuan Awal Matematik (KAM), dan Gaya Belajar Matematis (GBM). Instrumen penelitian yang digunakan meliputi tes pemahaman konseptual, tes kompetensi strategis, dan kuesioner beban kognitif Matematik. Metode penelitian yang digunakan, yaitu metode campuran kual-KUAN. Analisis data yang digunakan pada fase kual adalah triangulasi, sedangkan fase KUAN, yaitu: uji t, uji ANOVA, uji Mann-Whitney U, uji Liniearitas dan uji Koefisien Regresi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran RMT mempunyai pengaruh yang lebih baik dibanding pembelajaran langsung terhadap PKM, KSM, dan BKM siswa. Dilihat dari faktor gender, KAM, dan GBM, secara umum siswa yang mendapat pembelajaran RMT juga lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Pengelompokan atas dasar faktor-faktor tersebut tidak menjadi penentu perbedaan PKM, KSM, dan BKM.
ABSTRACT
Aan Hendrayana (2014). Effect of Rigorous Mathematical Thinking (RMT) Instruction to Mathematical Conceptual Understanding, Mathematical Competence Strategic, and Mathematical Cognitive Load of Junior High Boarding School Students.
This study aimed to compare the effect of RMT and direct instruction to the Mathematical Conceptual Understanding (MCU), Mathematical Strategic Competence (MSC), and Mathematical Cognitive Load (MCL) of boarding junior high school students. The population was students of junior high boarding school and the sampel are students of junior high school sample of DT Boarding School in Bandung. In addition to the learning factor, in this study also show the gender factor, Early Mathematics Ability (EMA), and Mathematical Learning Styles (MLS). The research instruments used include test for MCU and MSC and then questionnaires for MCL. The method used, the method mix Kual-KUAN. Analysis of the data used in the phase Kual is triangulation, while KUAN phases, namely: t-test, ANOVA, Mann-Whitney U test, test and test Liniearitas Regression Coefficients. In general, it can be concluded that the RMT instruction has a better effect than a direct instruction to MCU, MSC, and MCL of students. Judging from the gender factor, EMA, and MLS, in general, students who study RMT instruction is also better than the direct instruction. Grouping on the basis of these factors are not a decisive difference in MCU, MSC, and MCL.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kecakapan matematis adalah salah satu syarat mencapai kemajuan di
jaman modern (NRC, 2002:16; Hudojo, 2004:45). Kecakapan ini merupakan
bekal untuk menghadapi abad ke-21 yang serba kompetitif (Kilpatrick, Swafford,
& Findell, 2001:1). Oleh karena itu, kecakapan tersebut merupakah hal yang perlu
dicapai agar menjadi kompetitif dan tidak ketinggalan jaman.
Pentingnya kecakapan matematis membuat bangsa-bangsa
memprioritaskan matematika sebagai pelajaran utama di sekolah yang perlu
diperhatikan (NRC, 2002). Hanya sayang, kebanyakan siswa di sekolah sulit
untuk menguasai matematika (Susilo, 2004:4). Walaupun, kadang kesulitan
tersebut sengaja dibuat secara sengaja untuk melatih dan membiasakan siswa agar
terbiasa dalam aktifitas berpikir dan aktifitas memecahkan masalah (Reys, dkk.,
2009:1; Hudojo, 2001:45). Oleh sebab itu, wajar kemudian bila kecakapan
matematika menjadi wahana untuk menjadikan seseorang menjadi kompetitif
karena di dalamnya ada pembiasan menghadapi masalah sulit.
Kesulitan dalam menguasai matematika sangat beralasan karena
matematika merupakan mata pelajaran yang menuntut siswa untuk berpikir logis,
sistematis, dan reflektif, serta membutuhkan usaha-usaha yang tekun, teliti, dan
sungguh-sungguh (NRC, 2002:16; Reys, dkk., 2009:1-3). Sekalipun kadang
persoalan matematika sengaja dibuat sulit untuk tujuan latihan menghadapi
masalah dan menyelesaikannya tetapi perlu ada pembekalan pada siswa
bagaimana tips dan trik agar mereka terbiasa dan dapat memecahkan masalah
dengan baik atau setidaknya memahami langkah-langkah apa saja yang dilakukan
Untuk mencapai kecakapan matematis diperlukan lima komponen, yaitu:
pemahaman konseptual (conceptual understanding), kompetensi strategis
(strategic competence), kelancaran dalam prosedur pengerjaan (procedural
fluency), penalaran adaptif (adaptive reasoning), dan disposisi yang produktif
(productive disposition) (NRC, 2002:16; Kilpatrick, Swafford, dan Findell,
2001:1). Pemahaman konseptual, yaitu: pemahaman konsep matematika,
operasinya, serta membuat hubungan antara konsep. Kelancaran dalam prosedur
pengerjaan adalah kelancaran dalam melakukan operasi yang bisa dilakukan atau
dengan kata lain kemampuan memecahkan masalah yang rutin. Kompetensi
strategis, yaitu: kemampuan untuk merumuskan, merepresentasikan, dan
memecahkan masalah matematika yang tidak rutin. Penalaran adaptif adalah
bagaimana siswa dapat menilai apakah suatu pemecahan masalah benar dan
masuk akal. Oleh karena itu, Kemampuan ini mempunyai kemiripan dengan
berpikir reflektif. Selanjutnya, disposisi matematis adalah sikap positif terhadap
matematika. Sikap positif ini tidak lepas dari penguasaan pemahaman konseptual,
kompetensi strategis, kelancaran prosedur, dan penalaran adaptif matematis yang
baik sebagaimana pendapatnya Feuerstein (2009) bahwa disposisi matematika
berkembang menjadi baik ketika pengelolaan domain kognitif dicapai secara baik.
Dua komponen dari lima komponen kecakapan matematis yang penting
untuk dicermati lebih mendalam, yaitu: Pemahaman Konseptual Matematis
(PKM) dan Kecakapan Strategis Matematis (KSM). Sekalipun lima komponen itu
saling berkaitan erat, namun dua komponen ini memiliki peran lebih penting dari
kecakapan lainnya. Pemahaman konseptual matematis (PKM) memiliki peran
penting karena dengan kemampuan ini siswa dapat mengingat kembali suatu
konsep dengan baik ketika lupa. Selanjutnya, penguasan PKM yang baik akan
menjadikan siswa mudah dalam membangun hubungan untuk memahamai ide dan
konsep baru (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001:120). Oleh karena itu,
kemampuan PKM yang lemah akan menjadikan siswa menjadi bingung, frustasi,
tidak tercapainya kemampuan ini akan menjadikan siswa menolak untuk belajar
matematika karena pembelajaran tidak memberi makna pada mereka (Orton,
2004:2). Sebagai ilustrasi, ketika siswa dihadapkan persoalan mencari luas
jajarangenjang sementara mereka tidak hafal rumus mencari luasnya maka mereka
tidak kesulitan mencari luas jajarangenjang tersebut asalkan mereka paham
konsep kekekalan luas (gambar 1.1).
Gambar 1.1. Mencari Luas Jajarangenjang.
Kesulitan siswa dalam menghadapi persoalan matematika seringkali juga
terjebak dengan miskinnya kecakapan dalam pemecahan masalah (Kinard &
Kozulin, 2008:7). Ini artinya bisa jadi siswa dapat memahami, mengoperasikan,
dan merelasikan konsep tetapi siswa tidak dapat memecahkan masalah karena
tidak mempunyai kecakapan dalam pemecahan masalah yang baik. Adapun,
kecakapan pemecahan masalah pada kecakapan matematika disebut kompetensi
strategis matematis (Kilpatrick, Swafford & Findell, 2001).
Kompetensi Strategis Matematis (KSM) dibangun dari tiga komponen
kemampuan, yaitu: merumuskan, merepresentasikan dan memecahkan masalah
(Kilpatrick, Swafford, dan Findell, 2001:126). Tiga komponen kemampuan ini
merupakan aktifitas penting untuk mencapai kompetensi dalam kehidupan nyata.
Pertama, kemampuan merumuskan adalah penting karena kebanyakan persoalan
yang ada di dunia nyata merupakan persoalan belum dalam bentuk model
matematika sehingga perlu ada kecakapan untuk merumuskan dalam bentuk
matematika. Untuk itu, kemampuan merumuskan memiliki peran sangat penting
untuk memahami masalah. Kedua, kemampuan mereperesantasikan adalah
kecakapan untuk menghadirkan persoalan dalam bentuk tabel, gambar, ataupun
diagram. Kemampuan ini memberi jembatan untuk memperlihatkan bentuk
abstrak ke bentuk konkrit atau semi konkrit. Dengan representasi ini, masalah
dipahami dan diselesaikan. Ketiga, kecakapan pemecahan masalah adalah
kecakapan menyelesaikan masalah yang tidak langsung diketahui apa yang harus
dilakukan dan bagaimana cara melakukannya berdasarkan pengalaman. Untuk itu,
pencapaian kemampuan kompetensi strategis bagi siswa adalah penting untuk
menjadi manusia yang kompetitif.
Sekolah merupakan salah satu lembaga formal untuk mencapai
kemampuan pemahaman konseptual dan kompetensi strategis matematis siswa.
Dua kemampuan itu dapat ditumbuh-kembangkan melalui pembelajaran di kelas.
Untuk mencapai kecakapan tersebut, pembelajaran perlu memperhatikan
keberagaman siswa (OECD, 2010a) karena pembelajaran yang mengakomodasi
keberagaman menjadi lebih efektif, efesien, dan menarik (Paas, van Merrienboer,
& van Gog, 2011: 3). Untuk itu, pembelajaran yang memperhatikan keragaman
siswa merupakan tuntutan dalam sistem pendidikan di Indonesia (Sisdiknas,
1989). Tidak heran juga bila satu prinsip dari pembelajaran matematika adalah
memperhatikan keberagaman siswa (NCTM, 2000:12-13). Keberagaman tersebut
dapat berupa Latar Belakang Ekonomi Orang Tua (LBEOT), Gender (G),
Kemampuan Awal Matematis (KAM) dan Gaya Belajar Matematis (GBM) siswa.
Keberagaman LBEOT siswa berpotensi mempengaruhi pemerolehan
kecakapan belajar matematika siswa (OECD, 2010b). Orang tua yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang cukup akan cenderung memfasilitasi anaknya dengan
fasilitas belajar agar anaknya mencapai kemampuan-kemampuan yang
diharapkan. Fasilitas yang diberikan orang tua dapat berupa: (1) buku pegangan,
(2) buku pengkayaan, (3) fasilitas pendukung seperti komputer dengan aplikasi
belajar dan koneksi internetnya, dan (4) pendampingan mediasi belajar berupa
bimbingan belajar atau bimbingan private (individual). Sedangkan orang tua yang
tidak mempunyai kemampuan yang cukup mempunyai potensi untuk tidak dapat
memfasilitasi anaknya dengan baik. Hal ini dapat memunculkan potensi masalah
bagi anak sehingga anak tersebut tidak dapat mencapai kemampuan-kemampuan
Selain keberagaman LBEOT, keberagaman KAM siswa juga dapat
berkontribusi pada pemerolehan kemampuan PKM dan KSM siswa. Siswa dengan
KAM tinggi lebih mudah untuk mencapai kecakapan tersebut karena siswa
dengan KAM ini telah mempunyai banyak skema tentang konsep matematika
(Sweller, 1988). Akibatnya, mereka lebih mudah untuk mencapai kecakapan PKM
dan KSM. Sedangkan bagi KAM sedang dan rendah itu tidak mudah karena
skema pembangun kecakapan dari PKM maupun KSM belum lengkap. Dengan
kondisi ini, pembelajaran tidak hanya memberikan konsep baru tetapi juga harus
dapat melengkapi prasyarat skema untuk mencapai kecakapan PKM dan KSM
agar dapat juga mengakomodasi siswa KAM sedang dan rendah.
Keragaman GBM harus juga mendapat perhatian dari guru. Keberadaan
GBM siswa ini tidak terlepas dari faktor lingkungan belajar, pendekatan
pembelajaran, dan fasilitas belajar yang tersedia (Pritchard, 2009:42).
Faktor-faktor tersebut membentuk siswa untuk mempunyai GBM tertentu. Siswa yang
biasa melakukan sesuatu secara mandiri dan sering dihadapkan pada soal problem
solving (soal tidak rutin) maka mereka berpotensi mempunyai GBM
Self-expressive Learning (SL). Siswa yang terbiasa berkolaborasi dengan rekan
berpotensi menjadi siswa mempunyai GBM Interpersonal Learning (IL). Siswa
yang terbiasa untuk menunggu penjelasan dan prosedur pengerjaan setahap demi
setahap sampai jelas berpotensi mempunyai GBM Mastery Learning (ML). Dan
siswa yang dibiasakan untuk bertanya dan bernalar terkait konsep yang diberikan
dan biasa berhadapan dengan soal problem solving berpotensi mempunyai GBM
Understanding Learning (UL). Untuk itu, aktifitas pembelajaran perlu
mempertimbangkan keempat gaya belajar siswa kalau tidak maka pembelajaran
tidak menciptakan keadilan dilhat dari sisi GBM.
Masalah keragaman siswa terjadi di semua sekolah. Namun, masalah
keragaman yang dapat memunculkan masalah besar ada di sekolah berasrama
berbasis islam. Hal itu terjadi karena sekolah berasrama berbasis islam (islamic
kebiasaan dan fasilitas yang relatif sama (Ulfiani, 2012). Sementara itu, siswa
datang dari latar belakang keluarga, fasilitas, dan kebiasaan yang berbeda
sehingga hal ini dapat menimbulkan shock (kekagetan yang cenderung negatif),
khususnya bagi siswa baru masuk. Hal ini dapat berakibat buruk pada siswa,
seperti: tidak fokus belajar, sakit-sakitan, dan bahkan memilih untuk pindah
sekolah, khususnya pada siswa yang tidak mempunyai kesiapan metal yang kuat
untuk berada di sekolah berasrama dan tidak mendapat dorongan yang kuat dari
keluarga. Selain dari itu, kondisi siswa seperti ini dapat berakibat homesick (rindu
dengan kondisi di rumah) yang berlebihan yang dapat berakibat buruk pada siswa.
Gejala homesick dapat berupa sakit-sakitan dan meminta keluar dari sekolah
(Boyce dan Boyce, 1983; Fisher, Eurelings-Bontekoe, Vingerhoets, & Fontijn,
1994). Akibat dari itu, banyak siswa pada tahun pertama di sekolah model ini
mempunyai masalah dalam belajar di kelas dan tidak tuntas dalam mengerjakan
tugas (Frazer & Murray, 1984). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti di tiga sekolah berasrama di Indonesia, ada temuan bahwa selalu ada
siswa yang pindah sekolah dan intensitas ijin siswa sangat tinggi karena sakit di
semester pertama pada setiap tahunnya.
Siswa di sekolah berasrama akan memunculkan beberapa masalah belajar
yang berbeda dengan siswa pada sekolah umum. Pertama, pemberlakuan
kebiasaan dan fasilitas belajar yang cenderung sama akan memunculkan masalah
dalam kecakapan belajar, khususnya matematika (NCTM, 2000, 11). Kedua,
banyak siswa yang terbiasa berkolaborasi dengan rekan beda Gender (G)
sedangkan di sekolah berasrama siswa beda gender dipisah dengan alasan religi
dan ada kesan menomorduakan gender wanita (Haini, 2013). Ketiga, sebagian
anak sudah terbiasa dengan pembelajaran tidak langsung, sebagian lagi terbiasa
dengan pembelajaran langsung. Keempat, sebagian anak dengan KAM tertentu
mempunyai skema lengkap, sebagian lagi tidak. Terakhir, sebagian anak biasa
berbeda tetapi di sekolah berasrama kecenderungan mereka diperlakukan sama
baik di kelas maupun di luar kelas.
Permasalahan belajar matematika siswa di sekolah berasrama perlu
diperhatikan dan didapatkan solusinya oleh sekolah, khususnya oleh guru. Bila
tidak diperhatikan maka siswa akan terus menumpuk kesulitan belajarnya.
Kesulitan belajar akan menimbulkan persepsi diri yang tidak baik (Nurhadi,
2013). Persepsi tidak baik ini dapat memunculkan masalah akademik dan non
akademik. Selain dari itu, kesulitan belajar tidak hanya berakibat pada prestasi
belajar semata tetapi juga pada hubungan sosialnya (Octyvera, Siswati, & Sawitri,
2010). Kondisi ini akan membuat siswa menjadi putus asa dengan dua akibat,
yaitu keluar sekolah tidak pada waktunya atau tidak mencapai kompetensi yang
diharapkan pada akhir masa studi, contohnya tidak lulus Ujian Nasional (UN).
Pada akhirnya, orang tua akan menuntut sekolah karena peran pendidikan dan
pembimbingan siswa hampir semuanya diserahkan pada sekolah berasrama.
Untuk itu, guru harus dapat memilih dan menerapkan pendekatan pembelajaran
berorientasi pada kondisi keragaman yang terjadi di sekolah berasrama sehingga
siswa tidak kesulitan dalam menerima materi pelajaran.
Secara umum, pemilihan pendekatan pembelajaran yang diadopsi oleh
guru di sekolah agar siswanya mencapai kompetensi yang diharapkan terdiri dari
tiga kelompok, yaitu: pembelajaran langsung, tidak langsung, dan gabungan
(Suryadi, 2007). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengenalkan
pemahaman konsep dan kompetensi strategi dengan memberitahukan ke siswa
secara langsung, baik melalui metode penjelasan (ekspositori) maupun metode
demonstrasi. Selanjutnya, pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang
mengenalkan pemahaman konsep dan kompetensi strategi dengan memberikan
masalah yang kemudian siswa dapat menemukannya sendiri ataupun berkelompok
melalui bimbingan (guided) atau tanpa bimbingan guru. Pembelajaran gabungan
adalah pembelajaran yang mengambil kelebihan dari pembelajaran lansung dan
Terkait dengan pembelajaran pendekatan langsung, banyak penelitian
yang telah dilakukan menganalisis hasil dari pembelajaran ini. Dari
penelitian-penelitian itu berkesimpulan bahwa pembelajaran pendekatan langsung tidak
meninggalkan pemahaman yang mendalam dan membuat makna yang berakibat
pada kompetensi matematika siswa yang lemah (Hiebert, Stigler, & Manaster,
2009; Kinard & Kozulin, 2008;6). Selain dari itu, ketidakbermaknaan dalam
pembelajaran langsung membuat siswa tidak dapat menyerap pengetahuan dengan
baik (Ausuble & Robinson, 1969:53). Untuk itu, pendekatan pembelajaran ini
tidak terlalu diapresiasi dalam matematika. Namun perlu dicatat, pembelajaran ini
mempunyai kelebihan, yaitu tidak banyak meninggalkan salah konsep, mengenai
matematika, khususnya siswa dengan kemampuan rendah (Peterson & Fennema,
1985; Kinard & Kozulin, 2008;6).
Terkait dengan pembelajaran pendekatan tidak langsung, pembelajaran ini
sedang mendapat apresiasi di kalangan akademisi dan praktisi pembelajaran, guru
maupun dosen. Banyak penelitian pada pelajaran matematika dan lainnya
mengunggulkan pendekatan pembelajaran ini (Tarmizi & Bayat, 2012).
Pendekatan pembelajaran ini berkembang dengan baik karena sesuai dengan
aliran perkembangan psikologi belajar dari Piaget yang merupakan aliran
psikologi kognitif yang juga mendapat tempat baik dari para akedemisi (Tobias &
Duffy, 2009:i; Sweller, 2009: 127). Sekalipun begitu, ada beberapa penelitian
pembelajaran yang menyimpulkan bahwa pembelajaran pendekatan tidak
langsung merugikan siswa KAM rendah. Menurut Kirschner, Sweller & Clark,
(2006) bahwa banyak penelitian pada pembelajaran tidak langsung mensimpulkan
siswa dengan kemampuan sedang dan rendah mencapai kompetensi yang tidak
diharapkan, bahkan dalam beberapa penelitian hasil tes awal lebih baik dari tes
akhir. Selain dari itu, pembelajaran tidak langsung yang mengedepankan soal
problem solving cenderung tidak mengakomodasi GBM siswa ML dan UL
Salah satu contoh pembelajaran pendekatan tidak langsung yang populer
adalah pembelajaran berbasis masalah (PBL). Banyak penelitian menyimpulkan
bahwa PBL berhasil meningkatkan kompetensi matematik siswa (Tan, 2003).
Namun, bagi siswa dan guru yang tidak siap dengan pembelajaran ini ternyata
meninggalkan Beban Kognitif Matematis (BKM) pada siswa KAM rendah. Beban
kognitif adalah kelebihan informasi pada memori kerja (working-memory)
(Kirschner, Sweller dan Clark, 2006). Pada PBL misalnya, siswa dihadapkan
dengan persoalan di awal pembelajaran. Persoalan yang diberikan adalah
persoalan dunia nyata dan tipe soal pemecahan masalah. Contoh, siswa kelas VII
diberi persoalan luas dengan bentuk belah ketupat (gambar 1.2), sebelumnya
mereka sudah dibekali konsep luas. Mereka diminta untuk menemukan cara
menghitung luas daerah belah ketupat dengan cara beragam, yang kemudian dapat
menghasilkan generalisasi. Pada kasus tersebut akan mucul beberapa kesulitan.
Kesulitan pertama, mereka membuat manipulasi geometri tidak mengarah pada
konsep yang telah mereka kuasai sebelumnya. Siswa dituntut untuk mengaktifkan
materi prasyarat terkait masalah yang diberikan dan dapat mengarahkan diri (Tan,
2003:35). Padahal, tidak semua siswa mempunyai pemahaman yang baik dan
skema yang lengkap terkait dengan materi prasyarat, khususnya bagi siswa
dengan kemampuan rendah dan sedang (Kinard & Kozulin, 2008).
Gambar 1.2. Belah Ketupat
Kesulitan kedua, siswa tidak mudah membuat perumusan ke dalam bentuk
formal matematika, seperti memberikan ukuran panjang dengan p atau lebar
dengan l atau tinggi dengan t atau sisi dengan s. Intinya, mereka akan sering
terjebak dengan keengganan dengan penggunaan simbol sebagai bagian dari
bahasa matematika. Hal ini diakibatkan karena mereka kesulitan mentransfer
Kesulitan ketiga, anak dengan kemampuan kurang sering terjebak dengan
kesalahan-kesalahan penghitungan yang berakibat tidak dihasilkannya solusi yang
benar. Guru biasanya tidak telalu mengindahkan persoalan ini, padahal kelancaran
dalam penghitungan dapat berakibat fatal pada pencapaian pemecahan masalah
dan dapat berakibat buruk pada pengembangan konsep berikutnya (Kilpatrick,
Swafford, & Findell, 2001:160).
Kesulitan keempat, siswa dengan kemampuan lemah tidak dapat menilai
apakah suatu pekerjaan sudah benar atau tidak karena mereka tidak mempunyai
skema yang lengkap mengenai matematika. Sebagai gambaran, ketika mereka
diminta untuk membandingkan pekerjaan rekannya, yang guru anggap benar,
mereka akan kesulitan memberikan pembenaran terhadap hasil yang berbeda-beda
dengan persoalan yang sama karena kapasitas kemampuan mereka untuk menilai
tidak cukup lengkap (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001:164).
Kesulitan-kesulitan siswa dalam menghadapi masalah matematika,
khususnya pada siswa yang kurang, diyakini akibat kurang lengkapnya skema
yang ada pada memori jangka panjang (Sweller, 1988). Ketidaklengkapan skema
mengakibatkan kelambatan dalam menyelesaikan masalah. Ketika masalah
diminta selesaikan dalam waktu singkat dan pada saat itu dibutuhkan banyak
informasi dan konsep matematika maka memori kerja (working-memory) mereka
kelebihan muatan, padahal memori kerja terbatas pada 7±2 informasi yang
diproses (Miller, 1956). Semakin rumit masalah maka akan menimbulkan beban
kerja memori kerja semakin tinggi. Dan sebaliknya, semakin mudah masalah akan
menimbulkan efek bosan (expertise reversal effect) pada siswa dengan
Gambar 1.3. Beragam Manipulasi Siswa dari Belah Ketupat
Kesulitan-kesulitan siswa berkemampuan lemah akibat dari kurangnya
kecakapan dalam mengelola memori kerja (Shell, 2010:1). Kurang cakap dalam
mengelola memori kerja akan berakibat pada kelebihan muatan pada memori
kerja. Kondisi ini disebut beban kognitif (Sweller, 1988). Semakin besar beban
kognitif pada suatu pembelajaran maka pembelajaran tidak efektif (Paas, 1992).
Untuk itu, bila dalam pembelajaran mempunyai tingkat beban kognitif yang tinggi
maka perlu ada evaluasi dan perbaikan yang dilakukan agar tingkat beban kognitif
menjadi lebih rendah. Memperhatikan hal ini, temuan dari Kirschner, Sweller, &
Clark (2006) yang mengatakan bahwa proses pembelajaran tidak langsung
meninggalkan beban kognitif yang tinggi adalah beralasan karena siswa dengan
kemampuan yang kurang tidak mempunyai skema yang lengkap terkait masalah
yang mereka hadapi. Ketidaklengkapan skema berakibat pada pengelolaan
informasi tidak bagus yang berujung pada bertumpuknya informasi pada memori
kerja (Sweller, 1988). Kondisi ini sejalan dengan temuan Pass (1992) bahwa
Dengan paparan di atas berakibat pada target pencapaian kemampuan
pemecahan masalah pada pembelajaran tidak langsung perlu dikaji ulang,
khususnya untuk siswa KAM rendah. Sweller (1994) mengatakan bahwa ketika
siswa dapat menyelesaikan soal pemecahan masalah tetapi tidak membuat
pembentukan skema pada mentalnya maka pencapaian tersebut tetap tidak
menjadi bekal yang berpengaruh secara signifikan pada pencapaian kemampuan
berikutnya. Artinya bahwa ketika siswa dapat menyelesaikan suatu persoalan
pemecahan masalah bukan dengan spontan disimpulkan bahwa ada progres
pencapaian kemampuan yang signifikan pada siswa.
Memperhatikan kasus pembelajaran tidak langsung, semestinya
pembelajaran memberikan aktifitas yang memfasilitasi siswa untuk mengaktifkan
skema terkait materi, perangkat, dan strategi prasyarat terlebih dahulu sehingga
siswa kemampuan rendah tidak tertinggal jauh dalam pembelajaran. Padahal, satu
prinsip dalam pembelajaran adalah siswa dapat mengaktifkan skema terkait
dengan pembelajaran yang diberikan (Merrill, 2007; Tan, 2003). Untuk itu,
kesiapan skema merupakan hal penting dalam pemecahan masalah matematika.
Pembentukan skema sangat bergantung dengan prasyarat kognitif (Kinard
& Kozulin, 2008:81). Atau dengan kata lain, ketiadaan skema bukan dari
kurangnya pengetahuan matematika saja tetapi bagaimana kesiapan prasyarat
kognitif dalam mengembangkan skema siswa terkait dengan matematika yang
mereka pelajari. Untuk itu, pembangunan dan pengembangan kemampuan
matematika dibutuhkan pemahaman siswa tentang kultur matematika untuk
kesiapan prasyarat kognitif dan pengembangan skema yang baik (Kinard &
Kozulin, 2008:81).
Ciri kultur dalam matematika, yaitu: memahami bahasa, peralatan
psikologis, dan strategi untuk membangun konsep dan memecahkan masalah
matematika (Hmelo-Silver, Chernobilsky & DaCosta, 2004; Tan, 2004:205).
Peralatan psikologis yang digunakan dalam matematika, di antaranya: simbol,
Adapun, beberapa strategi dalam matematika berupa membaca pola,
membandingkan, menganalisis, mensintesis dan menggeneralisasi (Suherman,
2001). Kemudian bahasa dalam matematika adalah bagaimana membahasakan
masalah sehari-hari ke bahasa matematika dan sebaliknya.
Pemahaman dan penguasan tentang kultur dan alat psikologis matematika
seharusnya dapat dikuasai oleh setiap siswa yang ingin sukses dalam mencapai
kecakapan matematika (Kinard & Kozulin, 2008:16; Tan, 2004:205), dalam hal
ini pemahaman konseptual dan kompetensi strategis matematis. Pemahaman dan
penguasaan yang baik terkait kultur dan alat psikologis matematika juga dapat
memberikan skema untuk menata informasi yang ada pada long-term memory dan
mengelolanya secara efesien di working-memory (Sweller, Ayres & Kalyuga,
2011:vii). Akibat dari ini, BKM pada anak ketika belajar matematika tidak terlalu
besar. Dengan beban kognitif yang tidak terlalu besar maka diharapkan ada
manfaat langsung atau tidak langsung pada siswa ketika mereka menata skema
untuk mencapai kemampuan pemahaman konseptual dan komptensi strategisnya.
Kemudian pemahaman dan penguasaan tentang kultur dan alat psikologis
matematika juga akan memberi manfaat langsung pada kemampuan pemahaman
konseptual dan kompetensi strategis matematis karena skema untuk mencapai
kemampuan tersebut sudah dipunyai (Hmelo-Silver, Chernobilsky & DaCosta,
2004).
Pendekatan pembelajaran yang memediasi siswa memahami kultur serta
mendorong siswa untuk memguasai alat psikologis matematika agar terjadinya
pembentukan skema tarkait matematika adalah pembelajaran pendekatan
Rigorous mathematical thinking (RMT). Prinsip mediasinya mengadopsi dari
Feuerstien (2000), yaitu: intentionality (kesengajaan) dan reciprocity (interaksi),
transcendence (menjembatani), dan meaning (memberi makna) pada setiap tahap
pembelajarannya (Kinard & Kozulin, 2008). Dengan begitu, RMT memantau
akitivitas siswa untuk siap dalam memahami dan membangun konsep serta
Rangkaian pembelajaran RMT merupakan pembelajaran yang menjebatani
antara pembelajaran langsung dan tidak langsung. RMT menekankan perlunya
kematangan konsep dan materi prasyarat dalam pembelajaran dengan memberikan
skema (Kinard & Kozulin, 2008). Pembekalan skema memudahkan siswa dalam
mengolah pengetahuan yang berakibat pada ringannya beban memori kerja
(Sweller, 1994). Selain dari itu, siswa dipantau dan diarahkan selama proses
pembelajaran dengan agar siswa mencapai kecakapan dalam matematika sesuai
harapan. Intensitas pemantauan dan pengarahan diturunkan secara bertahap
sampai akhirnya terbentuk kemandirian dalam pemerolehan pengetahuan dan
pemecahan masalah (Kinard & Kozulin, 2008). Pada saat kemandirian dicapai
maka kesulitan dalam pemerolehan pengetahuan dan pemecahan akan lebih
mudah karena skema sudah menyatu dalam jiwa. Akibatnya, ketika informasi atau
skema dipanggil tidak memerlukan usaha sadar dari siswa. Kondisi seperti ini
disebut otomatisasi, yaitu pemanggilan informasi atau skema dari memori jangka
panjang diambil secara tidak sadar (Sweller, 1994), akibatnya memori kerja tidak
terbebani sehingga kinerjanya menjadi ringan dan ruangnya dapat digunakan
untuk menampung informasi baru dan juga prosesnya.
Pembelajaran yang secara filosofis sama dengan RMT ini telah banyak
dilakukan pada sekolah dengan karaketerisik siswa yang berkemampuan lemah
dan imigran dengan kultur yang berbeda-beda (Feuerstein, 2007). Hasil dari
beberapa penelitian di luar negeri menghasilkan pemahaman dan penerapan
konsep matematika siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan RMT lebih
baik dari pembelajaran pendekatan langsung (Kinard & Kozulin, 2008). Di
Indonesia, penelitian pembelajaran pendekatan RMT belum pernah ada yang
melakukan baik itu di sekolah berasrama maupun bukan kalaupun ada baru pada
konteks pengembangan media pembelajaran seperti yang telah dilakukan oleh
rangkaian pembelajaran seperti yang telah dilakukan Fitriyani(2013) dan
Zubaidah (2012).
Salah satu kelebihan dari pembelajaran pendekatan RMT adalah
mengakomodasi keberagaman karakteristik siswa yang datang dari kultur
berbeda, hal ini sesuai dengan karakteristik siswa sekolah berasrama di Indonesia.
Untuk itu, baik adanya bila ada penelitian yang mendalami pemahaman koseptual,
kompetensi strategis, dan beban kognitif matematis siswa dengan melihat aspek
gender, KAM, dan GBM melalui penerapan pendekatan pembelajaran RMT di
sekolah berasrama.
Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti “Pengaruh Pembelajaran
Pendekatan Rigorous Mathematical Thinking (RMT) terhadap Pemahaman
Konseptual, Kompetensi Startegis, dan Beban Kognitif Matematis Siswa SMP
Boarding School (Sekolah Berasrama)”. Tentu saja, penelitian ini akan
memperluas kajian PKM, KSM, dan BKM siswa dengan melihat faktor gender,
KAM, GBM, unsur-unsur pembangunnya, dan kaitan dari ketiganya.
1.2 Rumusan Masalah
Secara umum rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana
mengetahui pengaruh RMT terhadap pemahaman konseptual, kompetensi
strategis matematis, dan beban kognitif matematis siswa SMP boarding school.
Adapun, rumusan masalah secara khusus, yaitu:
1. Bagaimana fenomena pada sekolah berasrama, ditinjau dari:
a. Sekolahnya?
b. Alasan memilih sekolah?
c. Pembelajaran?
2. Apakah kemampuan Pemahaman Konseptual Matematis (PKM) siswa
yang memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih besar dari siswa
yang memperoleh pembelajaran pendekatan langsung, ditinjau dari:
a. Keseluruhan siswa?
c. KAM siswa?
d. GBM siswa?
e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa?
3. Apakah kemampuan Kompetensi Strategis Matematis (KSM) siswa yang
memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih besar dari siswa yang
memperoleh pembelajaran pendekatan langsung, ditinjau dari:
a. Keseluruhan siswa?
b. Gender?
c. KAM siswa?
d. GBM siswa?
e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa?
4. Apakah Beban Kognitif Matematis (BKM) siswa yang memperoleh
pembelajaran pendekatan RMT lebih kecil dari siswa yang memperoleh
pembelajaran pendekatan langsung, ditinjau dari:
a. Keseluruhan siswa?
b. Gender?
c. KAM siswa?
d. GBM siswa?
e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa?
5. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung pada
komponen-komponen pembangun PKM siswa pada penerapan pendekatan
pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung)?
6. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung pada
komponen-komponen pembangun KSM siswa pada penerapan pendekatan
pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung)?
7. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung pada
komponen-komponen pembangun beban kognitif matematis siswa pada penerapan
8. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung di antara BKM, PKM,
dan KSM pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan
pendekatan langsung)?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh RMT terhadap pemahaman konseptual matematis, kompetensi strategis
matematis, dan beban kognitif matematis siswa SMP boarding school. Adapun,
tujuan penelitian secara khusus, yaitu:
1. Mengkaji fenomena yang terjadi sekolah berasrama, ditinjau dari:
a. Sekolahnya
b. Alasan memilih sekolah
c. Pembelajaran
2. Mengkaji kemampuan PKM siswa yang memperoleh pembelajaran
pendekatan RMT lebih besar dari siswa yang memperoleh pembelajaran
pendekatan langsung ditinjau dari:
a. Keseluruhan siswa
b. Gender
c. KAM siswa
d. GBM siswa
e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa
3. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung pada
komponen-komponen pembangun PKM siswa pada penerapan pendekatan
pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung).
4. Mengkaji kemampuan KSM siswa yang memperoleh pembelajaran
pendekatan RMT lebih besar dari siswa yang memperoleh pembelajaran
pendekatan langsung ditinjau dari:
a. Keseluruhan siswa
b. Gender
d. GBM siswa
e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa
5. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung pada
komponen-komponen pembangun KSM siswa pada penerapan pendekatan
pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung).
6. Mengkaji BKM antara siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan
RMT lebih kecil dari siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan
langsung ditinjau dari:
a. Keseluruhan siswa
b. Gender
c. KAM siswa
d. GBM siswa
e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa
7. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung pada
komponen-komponen pembangun BKM siswa pada penerapan pendekatan
pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung).
8. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung di antara BKM, PKM,
dan KSM pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan
pendekatan langsung).
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat siswa, guru, sekolah, dan
peneliti. Manfaat tersebut, antara lain :
1. Bagi siswa, mereka dapat mengetahui bagaimana mengelola beban
kognitif agar kecakapan pemahaman konseptual dan kompetensi strategi
matematis menjadi lebih baik disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan
GBM dalam matematika. Selanjutnya, RMT memberikan salah
pendekatan alternatif yang digunakan untuk memahami matematika,
khususnya membekali pemahaman konseptual dan kompetensi strategi
2. Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi rujukan wawasan mendalam
tentang kondisi belajar peserta didik yang kesulitan mencapai kemampuan
pemahaman konseptual dan kompetensi strategi matematis. Berikutnya,
guru akan mendapat wawasan mendalam bagaimana mengelola beban
kognitif siswa agar tidak berpengaruh buruk pada kemampuan pemahaman
konseptual dan kompetensi strategi matematis. Selain dari itu, guru
mendapat pengetahuan bagaimana pendekatan RMT dapat dijadikan untuk
meningkatakan pemahaman konseptual dan kompetensi strategi
matematis, khususnya bagi dengan kemampuan rendah. Di akhir, guru
mendapat perluasan wasasan tentang kemampuan pemahaman konseptual,
kompetensi strategi, dan beban kognitif matematis ditinjau dari GBM
siswa.
3. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan tuntutan pengembangan ilmu
pengetahuan yang berkontribusi pada penyelesaian masalah pendidikan di
Indonesia, khususnya pada masalah pembelajaran matematika bagi siswa
di sekolah berasrama berbasis islam. Selain itu, peneliti dapat
menghasilkan bahan ajar dengan pendekatan RMT yang dapat
berpengaruh pada pemahaman konseptual, kompetensi strategis, dan
beban kognitif matematis yang lebih baik.
4. Bagi pengelola sekolah berasrama, institusi mendapatkan masukan yang
berharga untuk merumuskan kebijakan-kebijakan tekait dengan
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas dikaitkan dengan gender,
KAM, dan GBM siswa.
1.5 Definisi Operasional
Untuk menyamakan persepsi terhadap kata-kata kunci (key words) pada
proposal ini maka penulis memberikan definisi operasional, antara lain:
1. Beban Kognitif Matematis (BKM) merupakan istilah lain dari cognitive
load matematis. Cognitive load adalah kelebihan muatan informasi pada
ke informasi jangka panjang (long-term-memory) ketika belajar
matematika (Sweller, 1988). Adapun, BKM yang dimaksud pada
penelitian ini adalah beban kognitif siswa terhadap materi dan
pembelajaran. Atau dengan kata lain, BKM adalah kemampuan
pengelolaan informasi seseorang pada memori kerjanya.
2. Pemahaman Konseptual Matematis (PKM) adalah kemampuan memahami
konsep, mengoperasikan konsep, dan mengkaitkan konsep dengan konsep
lain (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Atau dengan kata lain, PKM
adalah pemahaman terhadap konsep matematika dan dapat
mengintegrasikannya dengan konsep lain melalui operasi-operasi
matematika.
3. Kompetensi Strategis Matematis (KSM) adalah kemampuan untuk
merumuskan masalah, membuat representasi, dan memecahkan masalah
(Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Dengan kata lain pula, KSM
adalah kemampuan pemecahan masalah siswa yang didukung oleh
kemampuan perumusan dan perepresentasian masalah matematis.
4. Rigorous Mathematical Thinking (RMT) adalah pembelajaran yang
menekankan perlunya meletakkan dasar pengetahuan, dan kultur
matematika berupa: alat, bahasa, dan strategi matematika di awal
pembelajaran. Kemudian, proses pembelajaran RMT menutut guru terus
mengontrol kemampuan dan aktifitas siswa selama pembelajaran, melalui
formatif assessment. Untuk mengontrolnya, pendekatan pembelajaran ini
memediasi siswa dengan intentionality (mempertahankan perhatian) dan
reciprocity (interaksi antara siswa dengan guru), meaning (pemberian
makna) dan bridging (menjembatani). Sedang rancangan pembelajarannya
adalah siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan (Kinard & Kozulin, 2008).
Atau dengan kata lain, RMT adalah pembelajaran yang berpusat pada
fokus serta pemahaman kultur bermatematika adalah salah satu bagian
pentingnya.
5. Sekolah berasrama adalah sekolah yang menjadikan semua siswa belajar
dan tinggal pada lokasi yang sama. Adapun, kegiatan sekolah dan asrama
terintegrasi dan dikelola oleh pihak sekolah (Wijayanti, 2010). Sekolah
berasama pada penelitian ini dibatasi pada sekolah berasrama berbasis
islam di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) pada kelas VII.
6. Gaya Belajar Matematika (GBM) adalah gaya siswa dalam memahami
materi matematika yang diberikan di dalam maupun di luar sekolah. GBM
ini terdiri dari empat macam, yaitu: Mastery Learning (ML),
Self-expressive Learning (SL), Interpersonal Learning (IL) dan Understanding
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Disain Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
pembelajaran pendekatan RMT dan pembelajaran pendekatan langsung tehadap
PKM, KSM, dan BKM siswa di SMP berasrama. Agar penelitian ini mendapatkan
temuan yang lebih luas dan mendalam maka dipilih metode campuran (mixed
methods). Adapun strategi dari metode campuran yang diambil adalah
kual-KUAN dan kual-KUAN-kual. Strategi metode campuran tersebut diambil dari
Craswell (2010:316-317). Strategi tersebut kemudian disintesis lagi dengan disain
penelitian eksperimen dari Fraenkel & Wallen (1993:249). Berikut disain yang di
ajukan:
1. Fase pertama
Kelas kuasi eksperimen yaitu: kual Kelas kontrol yaitu: kual 2. Fase kedua
Kelas kuasi eksperimen yaitu: KUAN (X O) Kelas kontrol yaitu: KUAN (X O) 3. Fase pertama
Kelas kuasi eksperimen yaitu: kual Kelas kontrol yaitu: kual Keterangan:
Kual : metode kualitatif KUAN : metode kuantitatif R : random kelas
X : perlakuan dengan pendekatan RMT O : tes PKM dan atau KSM
* huruf kapital menandakan dominasi penelitian, sedang yang tidak sebagai bekal penggali dan penjelas
Pada fase pertama terdiri dari dua kegiatan. Pertama menemukan
fenomena dari subjek penelitian, yaitu terkait fenomena-fenomena yang terjadi
pada sekolah berasrama. Fenomena-fenomena tersebut didapatkan dari hasil
wawancara dengan guru, dan wawancara dengan guru sebagai wali asrama. Kedua
mencari data siswa terkait dengan gender, KAM, dan GBM sebagai bekal untuk
menganalisis data pada fase KUAN agar dapat lebih luas dan mendalam.
Kegiatannya adalah pemberian kuesioner, observasi, dan wawancara. Untuk itu,
model kualitatif yang digunakan adalan model fenomenologi.
Pada fase kedua, penelitian mendapatkan data-data kuantitatif terkait
Pemahaman Konseptual Matematik (PKM), Kompetensi Strategis Matematik
(KSM) dan Beban Kognitif Matematik (BKM) siswa yang mendapat
pembelajaran pendekatan RMT dan langsung dengan melihat faktor gender,
KAM, dan GBM. Data-data tersebut kemudian diuji menggunakan uji statistika
(lihat gambar 3.01).
Gambar 3.01 Variabel-Variabel Penelitian
Fase ketiga, pada fase ini adalah fase kualitaif yang membahas data hasil
dan teori-teori yang berkaitan dengan mencari tahu apa yang terjadi pada hasil
kerja belajar siswa terkait PKM, KSM, dan BKM yang kemudian dicari tahu
bagimana itu dapat terjadi. Untuk itu, model kulaitatif yang berkaitan dengan hal
tersebut adalah model phenomenography (Neuman, 1998:64-65).
Adapun penyelenggarakan pembelajaran pada penelitian in terdiri dari:
satu kelas eksperimen pria, satu kelas eksperimen wanita, satu kelas kontrol pria,
dan satu kelas kontrol wanita. Kelas eksperimen diberi perlakuan pembelajaran
pendekatan RMT (X) dan kelompok kontrol diberi perlakuan pembelajaran
pendekatan langsung. Setelah perlakuan pembelajaran selesai, siswa diberi tes
tertulis terkait kemampuan PKM dan KSM. Sementara itu, BKM diukur dengan
menggunakan kuesioner setiap pada akhir pertemuan pembelajaran. Gambaran
variabel dapat dilhat pada tabel 3.01.
Tabel 3.01 Tabel Weiner PKM, KSM, dan BKM Mengenai Keterkaitan antar Variabel Bebas, Terikat, dan Kontrol
GBM Kemampuan PKM, KSM, atau BKM
Pendekatan Pembelajaran RMT (E) Kontrol (K)
Gender (G) Pria (P) Wanita (W) Pria (P) Wanita (W)
Kemampuan
Awal
Matematis
(KAM)
Tinggi (T)
ML TMLE TMLK
IL TILE TILK
UL TULE TULK
SL TSLE TSLK
Sedang (S)
ML SMLE SMLK
IL SILE SILK
UL SULE SULK
SL SSLE SSLK
Rendah (R)
ML RMLE RMLK
IL RILE RILK
UL RULE RULK
SL RSLE RSLK
Keterangan :
TMLE : Siswa KAM tinggi GBM mastery learning kelas eksperimen
TULE : Siswa KAM tinggi GBM understanding learning kelas eksperimen
TSLE : Siswa KAM tinggi GBM self-expressive learning kelas eksperimen
SMLE : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas eksperimen
SILE : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas eksperimen
SULE : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas eksperimen
SSLE : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas eksperimen
RMLE : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas eksperimen
RILE : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas eksperimen
RULE : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas eksperimen
RSLE : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas eksperimen
TMLK : Siswa KAM tinggi GBM mastery learning kelas kontrol
TILK : Siswa KAM tinggi GBM interpersonal learning kelas kontrol
TULK : Siswa KAM tinggi GBM understanding learning kelas kontrol
TSLK : Siswa KAM tinggi GBM self-expressive learning kelas kontrol
SMLK : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas kontrol
SILK : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas kontrol
SULK : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas kontrol
SSLK : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas kontrol
RMLK : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas kontrol
RILK : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas kontrol
RULK : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas kontrol
RSLK : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas kontrol
Strategi menemukan jawaban dari fenomena data, setelah dianalisis,
adalah mencari fenomena umum dari kolompok yang diwakili, baik itu gender,
KAM, GBM, maupun kombinasi dari KAM dan GBM. Bila kemudian ada
individu yang sangat menyipang dari fenomena kelompoknya maka diadakan
wawancara secara khusus pada individu-individu yang berbeda tersebut.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah sekolah berasrama berbasis islam yang
memiliki kelas paralel tidak lebih dari tiga kelas. Adapun, sekolah yang dijadikan
sampel adalah SMP Boarding School Daarut Tauhid Kota Bandung di kelas VII.
Sesuai dengan latar belakang penelitian, dipilihnya sekolah tersebut karena
siswanya berasal dari beragam latar belakang kultur atau dengan kata lain berasal
dari beragam daerah, dengan kriteria sekolah dan jumlah kelas seperti yang telah
disebutkan.
Pemilihan subyek penelitian dilakukan sampel purposif pada siswa SMP
berasrama kelas VII. Pertimbangan pemilihan kelas satu sebagai sampel karena
pada level kelas ini masalah keragaman menjadi masalah pada keberlangsungan
siswa di sekolah berasrama. Kondisi ini menjadi indikator penting bagi suksesnya
pembelajaran pendekatan RMT sebagai pembelajaran yang mengakomodasi siswa
keragaman siswa (Kinard & Kozulin, 2008). Adapun, waktu penelitian ini
dilakukan pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014.
3.3 Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini dikembangkan tujuh buah instrumen yang terbagi dari
dua kategori, yaitu tes dan non-tes. Instrumen kategori tes adalah tes Kemampuan
Awal Matematika (KAM), tes kemampuan Pemahaman Konseptual Matematis
(PKM) dan tes kemampuan Kompetensi Strategis matematis (KSM) keduanya
berkaitan dengan bahan ajar yang diberikan. Adapun instrumen kategori non-tes
yaitu Beban Kognitif Matematis (BKM), Gaya Belajar Matematika (GBM), dan
wawancara untuk siswa, guru, serta orang tua siswa.
3.3.1 Instrumen Tes 3.3.1.1 Tes KAM Siswa
Tes dilakukan untuk mengukur KAM siswa sebelum perlakuan
pembelajaran dimulai. KAM siswa dikelompokan menjadi tiga, yaitu: siswa KAM
tinggi, sedang dan tinggi. Pengkelompokan KAM ditentukan dengan
menggunakan pembagian mengacu pada diagram distribusi normal dengan
bilangan baku Z (Arikunto, 2003:40). Siswa dengan KAM rendah berada di daerah nilai Z ≤ -1, KAM sedang di daerah -1 < Z < 1, dan KAM tinggi di daerah Z 1. Adapun soal yang dijadikan untuk menguji KAM siswa adalah soal ujian
tengah semester yang dimodifikasi oleh guru setiap tahunnya dengan standar yang
pengelompokan KAM siswa tidak hanya terbatas pada tes namun juga pada
observasi selama setengah semester dan wawancara dengan rekan siswa dan guru.
3.3.1.2 Tes PKM Siswa
Tes dilakukan untuk mengukur PKM siswa, yaitu kemampuan untuk
memahami konsep matematika, mengoperasikan konsep matematika dan
mengkaitkan konsep matematika. Setiap kemampuan pada PKM siswa mengikuti
kompetensi dasar yang dipersyaratkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(KEMDIKBUD). Kemudian, soal yang diberikan dalam bentuk isian dengan
tujuan untuk mengetahui jejak kerja siswa dalam menyelesaikan persoalan yang
diberikan.
3.3.1.3 Tes KSM Siswa
Tes dilakukan untuk mengukur KSM siswa, yaitu kemampuan untuk
merumusan masalah, merepresentasikan masalah, dan memecahkan masalah
matematik. Sama halnya dengan PKM, tes KSM siswa mengikuti kompetensi
dasar yang dipersyaratkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(KEMDIKBUD). Begitu juga, soal yang diberikan dalam bentuk isian dengan
tujuan untuk mengetahui jejak kerja siswa dalam menyelesaikan persoalan yang
diberikan.
3.3.1.4 Analisa Hasil Uji Coba Tes
Pengukuran ketepatan (validitas) dan keajegan (reliabilitas) instrumen
untuk PKM dan KSM, sebelumnya dilakukan uji coba instrumen terhadap siswa
SMP yang telah memperoleh materi aljabar. Berikut ini adalah analisis
instrumennya:
3.3.1.4.1 Validitas Logis
Pengujian validitas instrumen di lapangan/kelas (pada siswa), terlebih
dahulu dikonsultasikan ke dosen pembimbing disertasi. Kegiatan ini dilakukan
untuk mengetahui validitas logis dari instrumen yang akan digunakan. Menurut
Arikunto (2003) validitas logik merupakan alat pengujian yang dilakukan
dirancang secara baik, mengikuti teori, dan ketentuan yang ada pada ahlinya.
Instrumen PKM dan KSM pada penelitian ini merupakan hasil konsultasi aktif
dengan masukan, perbaikan, dan pertimbangan promotor, ko-promotor, dan
pembimbing.
3.3.1.4.2 Validitas Konstruksi
Instrumen PKM dan KSM dikembangkan sendiri dan dikonsultasikan
secara aktif kepada para pembimbing. Setelah itu, instrumen dilanjutkan pada uji
validitas konstruksi. Tujuan uji ini adalah mengukur setiap aspek dari PKM dan
KSM siswa SMP. Untuk tujuan uji tersebut, instrumen diperiksa oleh tiga dosen
pendidikan bahasa Matematika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa agar
memvalidasi dan mengkoreksi kebenaran dan kesesuaian PKM dan KSM untuk
siswa SMP. Ketiga dosen tersebut mempunyai gelar master di bidang matematika
dan ketiganya sedang menempuh gelar doktor jurusan pendidikan matematika
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Adapun, instrumen
PKM dan KSM beserta rubrik jawaban pada kedua isntrumen tersebut dapat
dilihat pada lampiran.
3.3.1.4.3 Reliabilitas
Reliabilitas instrumen merupakan ketetapan alat evaluasi dalam mengukur
atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi(Ruseffendi, 2005:158). Suatu
alat evaluasi dikatakan baik jika ia dapat dipercaya dan konsisten. Ukuran
klasifikasi dari reabilitas diperlihatkan pada tabel 3.02. Klasifikasi reabilitas
[image:30.595.189.437.579.683.2]mempunyai interpretasi dari sangat rendah sampai dengan sangat tinggi.
Tabel 3.02 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
Besarnya nilai r Interpretasi
0,00 – 0,20 sangat rendah
0,21 – 0,40 rendah
0,41 – 0,70 sedang
0,71 – 0,90 tinggi
0,91 – 1,00 sangat tinggi
Sedangkan untuk mengetahui signifikasi koefesiem reliabilitas
dibandingkan dengan rtabel , dengan kaidah keputusan jika r11 > rtabel maka data
reliabel dan sebaliknya.
Penghitungan reliabilitas hasil dari uji coba instrumen PKM didapat r11 =
0,70 dan rtabel = 0,355 dengan taraf signifikasi 5%. Dari nilai r11 dan rtabel didapat
r11 > rtabel , disimpulkan soal instrumen adalah reliabel dengan katagori sedang.
Adapun, penghitungan reliabilitas hasil dari uji coba instrumen KSM
didapat r11 = 0,75 dan rtabel = 0,405 dengan taraf signifikasi 5%. Dari nilai r11 dan
rtabel didapat r11 > rtabel , disimpulkan soal instrumen adalah reliabel dengan
katagori tinggi.
3.3.1.4.4 Validitas Empirik
Setelah melewati pengujian validitas logis dan muka, instrumen
dilanjutkan pada pengujian validitas empirik. Suatu instrumen lolos dari uji
validitas empirik setelah diadakan uji coba di lapangan. Untuk memperoleh soal
yang valid jika hasil sesuai dengan kriteria yang diinginkan (kriterium), artinya
ada kesejajaran antara hasil tes dan kriterium. Tes yang digunakan untuk
mengetahui kesejajaran dihitung dengan menghitung korelasi Product moment
dari Pearson (Arikunto, 2003:72). Adapun, kriteria dari koefisien validitasnya
dapat dilihat pada tabel 3.03. Klasifikasi validitas mempunyai interpretasi dari
[image:31.595.159.461.530.627.2]tidak valid sampai dengan validitas sangat tinggi.
Tabel 3.03 Klasifikasi Koefisien Validitas
Nilai rxy Interpretasi
rxy ≤ 0,00 Tidak valid
0,00 < rxy ≤ 0,20 Validitas sangat rendah 0,20 < rxy ≤ 0,40 Validitas rendah 0,40 < rxy≤ 0,60 Validitas sedang 0,60 < rxy≤ 0,80 Validitas tinggi 0,80 < rxy≤ 1,00 Validitas sangat tinggi
Selanjutnya koefisien korelasi yang diperoleh dengan menggunakan
pengolahan data Microsoft Excel diinterpretasikan ke dalam kategori-kategori
tabel 3.03. Pada tabel tersebut terdiri dari enam interpretasi, yaitu: tidak valid,
valiiditas sangat rendah, rendah, tinggi, dan sangat tinggi.
Adapun validitas hasil uji coba instrumen yang dilakukan pada penelitian
ini dirangkum pada tabel tabel 3.04 untuk PKM dan 3.5 untuk KSM. Pada tabel
3.03, soal nomor 1a dan 3b dari instrumen PKM mempunyai validitas sangat
rendah. Untuk itu, peneliti membuat perbaikan soal dengan pertimbangan dari
pembimbing. Kemudian tabel 3.04 terkait instrumen KSM, semua soal
mempunyai validitas tinggi dan sedang. Untuk itu. Untuk itu, peneliti tidak perlu
[image:32.595.106.513.310.601.2]membuat perbaikan soal dengan pertimbangan dari pembimbing.
Tabel 3.04 Validitas Butir Soal PKM
No Soal Koef Korelasi rxy
Tingkat Validitas No Soal Koef Korelasi rxy
Tingkat Validitas
1a 0.6247 sedang 3d 0.2339 rendah
1b 0.4559 sedang 3e 0.4746 sedang
1c 0.5228 sedang 4a 0.3877 sedang
1d 0.5886 sedang 4b 0.4703 sedang
2 0.5816 tinggi 4c 0.6066 sedang
3a 0.2268 rendah 5a 0.6130 sedang
3b 0.1307 sangat rendah 5b 0.6247 sedang 3c 0.3946 sedang
Tabel 3.05 Validitas Butir Soal KSM
No Soal Koef
Korelasi rxy Tingkat Validitas
1a 0.7343 tinggi 1b 0.6720 sedang 1c 0.7671 tinggi 2a 0.5216 sedang 2b 0.5373 sedang 2c 0.7485 tinggi 3a 0.6179 tinggi 3b 0.4843 sedang 3c 0.7111 tinggi
3.3.1.4.5 Daya Pembeda (DP)
Penghitungan daya pembeda digunakan untuk membedakan apakah suatu
soal dapat membedakan siswa berdasarkan kemampuan jelek, cukup, dan baik
tabel 3.06. Kemudian, pertimbangan suatu soal atau instrumen diterima, direvisi,
[image:33.595.206.418.154.263.2]atau ditolak dapat dilihat pada tabel 3.07.
Tabel 3.06 Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda
Besarnya DP Interpretasi
0,00 – 0,20 Jelek 0,21 – 0,40 Cukup 0,41 – 0,70 Baik 0.71 – 1,00 Baik Sekali
Sumber: (Arikunto, 2003:218)
Tabel 3.07 Pertimbangan Koefisien Daya Pembeda
Besarnya DP Keputusan > 0,3 Diterima 0,1 – 0,29 Direvisi
< 0,1 Ditolak
Sumber: (Surapranata, 2005)
Tabel 3.08 Daya Pembeda PKM
No Soal Dp Interpretasi No Soal Dp Interpretasi
1a 0.29 direvisi 3d 0.14 direvisi
1b 0.57 diterima 3e 0.57 diterima
1c 0.43 diterima 4a 0.57 diterima
1d 0.71 diterima 4b 0.57 diterima
2 0.57 diterima 4c 0.86 diterima
3a 0.29 direvisi 5a 0.43 diterima
3b 0.14 direvisi 5b 0.29 direvisi
3c 0.57 diterima
Hasil penghitungan daya pembeda PKM dapat lihat pada tabel 3.08.
Memperhatikan tabel 3.08, soal nomor 1a, 3a, 3b, 3d, dan 5b perlu direvisi.
Revisi soal kemudian dilakukan dengan konsultasi pada dosen pembimbing.
Kemudian untuk daya pembeda PKM dapat dilihat pada tabel 3.09.
Mencermati tabel 3.09, semua soal yang diberikan pada uji istrumen tidak ada
soal satupun yang perlu direvisi apalagi ditolak untuk tidak digunakan dalam
pengukuran kemampuan PKM siswa. Ini artinya bahwa semua soal dapat menjadi
pembeda siswa berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
Tabel 3.09 Daya Pembeda KSM
1b 0.61 diterima 1c 0.86 diterima 2a 0.32 diterima 2b 0.32 diterima 2c 0.50 diterima 3a 0.46 diterima 3b 0.43 diterima 3c 0.32 diterima
3.3.1.4.6 Tingkat kesukaran
Penghitungan tingkat kesukaran digunakan untuk menunjukkan apakah
suatu soal yang diberikan sukar, sedang, atau mudah. Indeks ini diambil dari
bukunya Arikunto (2003). Adapun, klasifikasi indeks kesukaran soal diperlihatkan
pada tabel 3.10. Pada indeks kesukaran tersebut terdiri dari tiga interpertasi soal,
[image:34.595.211.415.111.210.2]yaitu: soal, sukar, sedang, atau mudah.
Tabel 3.10 Klasifikasi Indeks Kesukaran
Besarnya P Interprestasi 0,00 – 0,30 sukar 0,31 – 0,70 sedang 0,71 – 1,00 mudah Sumber: Arikunto, 2003
Tabel 3.11 Indeks Kesukaran PKM
No Soal P Interpretasi No Soal P Interpretasi
1a 0.08 sukar 3d 0.20 sukar
1b 0.72 mudah 3e 0.64 sedang
1c 0.80 mudah 4a 0.52 sedang
1d 0.56 sedang 4b 0.52 sedang
2 0.68 sedang 4c 0.40 sedang
3a 0.76 mudah 5a 0.12 sukar
3b 0.20 sukar 5b 0.08 sukar
3c 0.56 sedang
Hasil penghitungan tingkat kesukaran instrumen PKM yang diperlihatkan
pada tabel 3.11. Soal nomor 1a, 3b, 3d, 5a, dan 5b mempunyai interpretasi sukar,
nomor 1d, 2, 3c, 3e, 4a, 4b, 4,c, dan 7 interpretasi sedang, kemudian nomor 1b,
1c, dan 3a interpretasinya mudah.
Selanjutnnya, hasil penghitungan tingkat kesukaran instrumen KSM
diperlihatkan pada tabel 3.12, soal nomor 2c, 3b, dan 3c mempunyai interpretasi
sukar, nomor 1b, 1c, 2a, 2b, dan 3a interpretasi sedang, kemudian hanya nomor
[image:34.595.110.517.346.556.2]Tabel 3.12 Indeks Kesukaran KSM
No Soal P Interpretasi
1a 0.78 mudah
1b 0.69 sedang
1c 0.54 sedang
2a 0.61 sedang
2b 0.45 sedang
2c 0.20 sukar
3a 0.37 sedang
3b 0.21 sukar
3c 0.10 sukar
3.3.2 Instrumen Non Tes 3.3.2.1 BKM Siswa
Pengukuran BKM tidak menggunakan instrumen yang disusun secara
sendiri namun menggunakan instrumen yang telah digunakan oleh peneliti lain.
Adapun, instrumen BKM yang digunakan di ambil dari Paas (1992). Pemilihan
instrumen yang digunakan oleh Paas (1992) dengan pertimbangan bahwa
instrumen yang telah dibuat telah diuji reabilitasnya, dengan menggunakan
koefesien Cronbach alpha dan dengan koefesien 0,92 dan 0,82 (Paas, 1992;
1994b). Untuk itu, pada penelitian ini menggunakan koefesien reabilitas yang
sama. Selain dari itu, banyak penelitian populer tentang beban kognitif juga
menggunakan intrumen ini (Sweller, 1992).
Cara pengukuran BKM yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengukuran subjektif secara langsung. Paas (1994b) menilai bahwa penelitian
dengan cara ini lebih baik dari pengukuran menggunakan pengukuran
kardiovaskuar (rekam jantung). Pengukuran BKM, pada penelitian ini,
menggunakan pengukuran pelaporan diri (self-report) yang digunakan oleh Paas
(1994b). Instrumen ini mengkur dua kondisi. Pertama, mengukur BKM pada
kesulitan materi. Kedua, mengukur beban kognitif proses pembelajaran. Indeks
BKM menggunakan skala 9, dimana 1 menunjukan usaha berpikir yang sangat
rendah sekali dan 9 menunjukan usaha berpikir yang sangat tinggi sekali.
Sekalipun data ini nampak seperti ordinal, namun data ini dapat diolah seperti
Wu (2007). Adapun, instrumen tingkatan tingkatan usaha berpikir dapat dilihat
pada lampiran.
Instrumen BKM yang diambil dari Pass(1992) dalam bentuk kuesioner
berbahasa Inggris. Agar Instrumen ini dapat difahami oleh siswa maka instrumen
dialih bahasakan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Setelah dialih-bahasa,
instrumen dikoreksi salah satu dosen pendidikan bahasa Inggris Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen tersebut mempunyai gelar di bidang bahasa
Inggris dan sedang menempuh gelar doktor. Intrumen BKM hasil alih bahasa
dapat dilihat pada lampiran.
3.3.2.2 GBM Siswa
Instrumen untuk GBM siswa pada penelitian ini menggunakan instrumen
dari Strong dkk (2004). Instrumen ini terdiri dari 40 pertanyaan yang
masing-masing gaya belajar mempunyai 10 pertanyaan dan skor setiap pertanyaan
maskimal 2 dan skor minimal 0. Reabilitas intrumen telah diuji Abrams (2013).
Instrumen GBM yang diambil dari Strong dkk (2004) dan di uraikan oleh
Golden (2010) dalam bentuk kuesioner berbahasa Inggris. Sama seperti BKM,
Instrumen GBM dialih-bahasakan ke bahasa Indonesia. Sebagaimana instrumen
BKM, instrumen GBM bahasakan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.
Setelah dialih-bahasa, instrumen dikoreksi salah satu dosen pendidikan bahasa
Inggris Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen tersebut mempunyai gelar di
bidang bahasa Inggris dan sedang menempuh gelar doktor. Intrumen GBM hasil
alih bahasa dapat dilihat pada lampiran.
3.3.2.3 Wawancara
Wawancara ini dilakukan ketika sebelum perlakuan dan saat pembelajaran.
Wawancara sebelum perlakuan pembelajaran dilakukan untuk mengetahui
pendapat siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan RMT. Adapun
wawancara setelah pembelajaran dilakukan untuk mengetahui apa yang terjadi
akan tetapi dipilih berdasarkan fenomena yang muncul untuk mencari penjelasan
dari fenomena tersebut.
3.3.2.4 Observasi
Observasi dilakukan ketika sebelum perlakuan dan saat pembelajaran.
Observasi sebelum pembelajaran dilakukan untuk memastikan apakah
pengelompokan KAM dan GBM dilakukan secara benar. Adapun, observasi saat
pembelajaran dilakukan untuk melihat perilaku belajar siswa. Kedua observasi ini
kebanyakan menggunakan video untuk kebutuhan pengulangan pengamatan.
3.4 Sumber Data
Sumber data yang ada pada penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Gambaran data primer dan sekunder dapat dilihat pada tabel 3.13. Pada
tabel tersebut digambarkan fase, tujuan, kegiatan, subjek, dan jenis data primer
[image:37.595.109.502.394.678.2]atau sekunder.
Tabel 3.13 Data Primer dan Sekunder Penelitian
Fase Tujuan Kegiatan Subjek Data
Primer Sekunder
Kual
Mengapa memilih orang tua siswa boarding school
Wawancara Orang Tua
Konfirmasi Wali Asrama
Konfirmasi Siswa
Apa kelebihan dan kekurangan guru di sekolah berasrama
Wawancara guru
Mengetahui KAM dan GBM siswa
Wawancara Siswa
Konfirmasi Rekan siswa
Konfirmasi Guru
Konfirmasi Wali Asrama Melihat kegiatan
belajar siswa Observasi Siswa
KUAN
PKM Tes Evaluasi Siswa
KSM Tes Evaluasi Siswa
BKM Kuesioner Siswa
Kual
PKM Pencermatan
Portofolio Siswa
KSM Pencermatan
Portofolio Siswa
BKM Pencermatan
Portofolio Siswa
Data primer pada penelitian ini, yaitu: wawancara dengan orang tua siswa,
guru, aktivitas belajar siswa, data hasil non tes, dan data hasil tes. Media yang
digunakan untuk wawancara dan aktivitas belajar siswa berbentuk audio dan
video. Adapun, media hasil non tes berbentuk kuesioner pada setiap akhir dari
tatap muka, hal ini terkait dengan BKM. Kemudian hasil tes terdiri dari dua.
Pertama, portofolio sekelompok siswa hasil pembelajaran pada suatu tatap muka,
hal ini terkait dengan lembar kerja siswa. Kedua, portofolio evaluasi belajar siswa
terkait PKM dan KSM.
Data sekunder dari penelitian ini adalah dokumentasi yang didapat dari
guru maupun sekolah. Data sekunder dapat berupa jadwal kegiatan, perilaku
siswa, dan deskripsi peserta didik selama berada di sekolah/kelas. Dari sekunder
guru berupa konfirmasi tanggapan siswa dan orang tua terkait dengan alasan
mereka memilih sekolah berasrama. Data sekunder dari siswa adalah pendapat
mereka terhadap GBM rekannya. Data sekunder dari sekolah adalah seberapa
banyak calon siswa yang ikut seleksi untuk menjadi siswa sekolah berasrama.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari empat, yaitu: evaluasi
tes, obervasi, wawancara, dan dokumentasi. Keempat data tersebut saling tekait
satu sama lain. Maksud saling terkait adalah data tes disandingkan dengan
observasi kemudian diklarifikasi melalui wawancara yang kemudian dibuktikan
dengan dekumentasi berupa hasil kerja (portofolio).
3.5.1 Teknik Pengumpulan Hasil Tes
Nilai hasil evaluasi berupa skor hasil tes setelah rangkaian suatu materi
matematika selesai dilaksanaka