• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN METODE MODEL CONSTRUCTION UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN COGNITIVE MAPPING PADA ANAK TUNANETRA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN METODE MODEL CONSTRUCTION UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN COGNITIVE MAPPING PADA ANAK TUNANETRA."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN METODE MODEL CONSTRUCTION UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN COGNITIVE MAPPING PADA

ANAK TUNANETRA

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus

Úmm

Oleh:

NISA NURHIDAYAH NIM. 1303376

(2)

KEMAMPUAN COGNITIVE MAPPING PADA

ANAK TUNANETRA

Oleh

Nisa Nurhidayah

Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Khusus

© Nisa Nurhidayah 2015

Universitas Pendidikan Indonesia Desember 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian

(3)

PENERAPAN METODE MODEL CONSTRUCTION UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN COGNITIVE MAPPING PADA

ANAK TUNANETRA

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH:

Pembimbing

Juang Sunanto, M.A., Ph. D NIP. 19610515 198703 1 002

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

(4)

ABSTRAK

PENERAPAN METODE MODEL CONSTRUCTION UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN COGNITIVE MAPPING

PADA ANAK TUNANETRA Nisa Nurhidayah

NIM. 1303376 Prodi PendidikanKhusus

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonessia

Cognitive mapping terhadap suatu ruang merupakan hal yang penting untuk pengembangan keterampilan orientasi dan mobilitas yang efisien. Kebanyakan informasi yang diperlukan untuk pemetaan kognitif ini diperoleh melalui visual. Oleh karena itu, bagi tunanetra input informasi spasial dapat melalui saluran kompensatoris sensori. Salah satu media yang dapat membantu seorang tunanetra dalam mengenali sebuah lingkungan adalah model. Melalui model, seorang tunanetra dapat mempelajari dan mengeksplorasi suatu lingkungan, sehingga ia dapat memiliki gambaran tentang lingkungan tersebut. Dalam penelitian ini model tersebut diajarkan pada anak dalam beberapa tahapan, inilah yang disebut dengan metode model construction. Sehingga permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: apakah metode model construction dapat meningkatkan kemampuan

cognitive mapping pada anak tunanetra? Penelitian dilakukan terhadap tiga orang siswa tunanetra di tingkat SD dengan usia antara 9-10 tahun. Dua orang subjek merupakan anak dengan hambatan penglihatan total dan satu orang subjek merupakan anak dengan low vision. Hasil penelitian menggambarkan perolehan skor siswa dalam tugas ketepatan arah meningkat cukup signifikan, begitu pula dalam tugas perkiraan jarak. Adanya peningkatan yang cukup signifikan ini mengindikasikan bahwa penggunaan metode model construction dapat meningkatkan kemampuan cognitive mapping pada anak tunanetra, khususnya pada aspek ketepatan arah dan perkiraan jarak.

/

(5)

ABSTRACT

The Implementation of Model Construction Method to Enhance Cognitive Mapping Ability for the Visually Impaired Children

Nisa Nurhidayah (1303376)/Special Needs Education

Cognitive mapping in space representation is an important matter to the development of the orientation of ability and an efficient mobility. Most of information needed to this cognitive mapping is acquired through visual. Therefore, for the visual impaired the input of spacial information can be acquired through compensatory sensory. One of the media that can help the visual impaired in acquiring the surroundings information is a model. Through this model, the visual impaired can learn and explore the surroundings, therefore he/she can visualise that particular surroundings. In this study, this model is taught to children in several stages, this model is called model construction method. The main concern in this study are as follows: Can model construction method enhance the cognitive mapping of the visual impaired children? The study sample are three visual impaired students in elementary school in between the age of 9-10.Two of the sample children are the children with total visual impaired and one of them is the chid with low vision impaired. The result of the study illustate the significant score of the students in thedirections accuracy assessment, as well as in the distant estimation assessment. There is a significant improvement in the indication of the usage of model construction that can enhance the children with visual impaired cognitive mapping ability, especially in the aspect of directions accuracy and distance estimation.

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GRAFIK ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR BAGAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5

D. Definisi Operasional Variabel ...6

BAB II KAJIAN TEORI A.Definisi Ketunanetraan ...9

B. Dampak-Dampak Ketunanetraan ...11

C.Konsep Cognitive Mapping ...13

D.Model Sebagai Media Pembelajaran...21

E. Kerangka Berpikir ...23

BAB III METODE PENELITIAN A.Desain Penelitian...24

B. Subjek dan Lokasi Penelitian ...25

C.Prosedur Penelitian ...29

D.Teknik Pengumpulan Data...30

E. Teknik Analisis Data...37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ...39

(7)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ...71 B. Rekomendasi ...73 DAFTAR PUSTAKA ...75 LAMPIRAN

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi ketunanetraan pada seseorang dapat menyebabkan keterbatasan pada beberapa aspek utama. Lowenfeld (Scholl: 1986) mengemukakan bahwa terdapat tiga keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif tunanetra, yaitu dalam lingkup dan variasi pengalaman, dalam kemampuan bergerak dan berpindah tempat di lingkungannya, dan interaksi dengan lingkungannya. Umumnya mereka kesulitan mengontrol lingkungan dan mengontrol posisi diri sendiri karena tidak memiliki persepsi ruang diluar yang dia tempati. Bahkan menurut Lewis (2003: 39), terdapat 3 aspek perkembangan motorik pada anak tunanetra yang menarik perhatian secara lebih khusus, yaitu: terlambat dalam meraih objek, terlambat untuk menjadi lebih gesit dalam setiap pergerakan, stereotip, dan memiliki perilaku repetitive.

Hilangnya penglihatan membatasi kemampuan seorang tunanetra untuk mengetahui dimana dia berada, meniru dan berinteraksi sosial, serta memahami apa yang menyebabkan sesuatu terjadi. Anak yang mengalami hambatan penglihatan sejak lahir memiliki masalah dalam pembentukan konsep tentang tubuh mereka sendiri, serta memiliki keterbatasan dalam pembentukan peta kognitif tentang lingkungannya maupun posisi diri mereka (Scholl:1986). Dengan hambatan penglihatan, seseorang akan mengalami kesulitan dalam menciptakan sebuah peta lingkungannya, sehingga mereka kebingungan dalam menentukan kearah mana mereka harus pergi atau bagaimana cara menemukan jalan untuk sampai pada tempat tujuan.

(9)

Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memproses informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequencial mode) yang menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan, atau dengan metode peta kognitif (cognitive map) yang memberikan gambaran topografis tentang hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al. - dalam Tarsidi, 2007). Metode cognitive mapping lebih direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam menavigasi lingkungan. Misalnya, terdapat tiga titik yang berurutan, yaitu A, B, dan C. Penggunaan metode urutan dalam memproses informasi tentang orientasi lingkungan dapat membatasi gerakan individu sedemikian rupa sehingga dia dapat bergerak dari A ke C hanya melalui B. Tetapi jika seorang individu memiliki peta kognitif yang baik, ia dapat pergi dari titik A langsung ke titik C tanpa harus melalui B.

Bagi setiap individu, baik itu yang memiliki penglihatan maupun tunanetra, kualitas hidup sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk membuat keputusan berdasarkan informasi spasial melalui pengolahan dan sintesis pada informasi tersebut dalam berbagai situasi. Input sensori dari informasi lingkungan serta tata ruang merupakan proses kognitif yang ditransformasikan melalui kontemplasi pengalaman sensori sehingga menjadi pengetahuan dan pemahaman. Keseluruhan proses ini disebut dengan pemetaan kognitif atau cognitive mapping (Jacobson, 1998)

(10)

menentukan pergerakan atau mobilitas dalam lingkungan geografis mereka. Salah satu strategi yang dapat digunakan oleh seorang tunanetra dalam melakukan orientasi dan mobilitas secara efektif, aman dan efisien adalah dengan membangun peta kognitif atau cognitive mapping. Oleh karena itu, penelitian-penelitian tentang pemetaan kognitif atau cognitive mapping itu penting, baik untuk diterapkan dalam praktik maupun untuk pengayaan teori.

Menurut Ungar (1996) terdapat beberapa alasan mengapa pembahasan tentang cognitive mapping pada tunanetra penting, yaitu;

1. Pembahasan tentang cognitive mapping memiliki potensi untuk memberikan petunjuk tentang bagaimana meningkatkan wayfinding dan keterampilan orientasi tunanetra tersebut, yang secara langsung mempengaruhi orientasi, mobilitas dan pelatihan rehabilitasi, dan akhirnya pada kemandirian dan kualitas hidup.

2. Terjadi peningkatan jumlah perangkat bantuan bagi tunanetra. Agar perangkat ini dapat bekerja secara efektif dan efisien, hal yang penting adalah konsepsi dan desain perangkat tersebut untuk menumbuhkan kesadaran dasar tentang bagaimana tunanetra menavigasi tanpa alat bantu tersebut. Penelitian dan pembahasan tentang cognitive mapping dapat menunjukkan informasi tentang apa yang dibutuhkan oleh navigator tunanetra.

3. Wawasan dan pemahaman yang diperoleh melalui penelitian dan pembahasan tentang cognitive mapping dapat digunakan untuk memfasilitasi perencanaan lingkungan yang lebih mudah diingat dan lebih menyenangkan untuk digunakan.

(11)

ukuran sampel, akan lebih meningkatkan kesulitan untuk menarik generalisasi mengenai pengetahuan dan kemampuan pada individu tunanetra lain (Kitchin, Jacobson: 1997)

Penelitian lain oleh Espinosa dan Ochaita (1998) menggunakan tiga metode, yaitu pengalaman langsung, deskripsi verbal, dan peta timbul yang dilakukan di sebuah kompleks besar di kota Madrid, Spanyol. Hasil yang diperoleh adalah kelompok tunanetra yang diberikan peta taktil terlebih dahulu menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada kelompok tunanetra yang hanya menggunakan deskripsi verbal.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa anak tunanetra belum dapat mengoptimalkan input informasi sensori untuk membentuk cognitive map yang penting dalam pengembangan keterampilan orientasi dan mobilitas yang efisien. Berdasarkan hasil pengamatan awal peneliti di SLB N Tamansari Kota Tasikmalaya, ditemukan bahwa hampir kebanyakan siswa memiliki hambatan dalam orientasi dan mobilitas, yakni kurangnya kemandirian siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan, yang disebabkan oleh rasa takut ketika berada di lingkungan baru atau daerah yang belum dikenal. Hal tersebut dikarenakan siswa belum memperoleh pengetahuan dan informasi tentang lingkungannya, yang mengindikasikan bahwa belum terbentuknya cognitive map yang baik pada siswa.

Salah satu media yang dapat membantu seorang tunanetra dalam mengenali sebuah lingkungan adalah model. Melalui model, seorang tunanetra dapat mempelajari dan mengeksplorasi suatu lingkungan, sehingga ia dapat memiliki gambaran tentang lingkungan tersebut. Model ini dapat membantu seorang tunanetra dalam membentuk representasi tentang suatu lingkungan tertentu. Sehingga diharapkan ia dapat memperoleh informasi yang lebih jelas tentang lingkungan tersebut.

(12)

pada anak dalam beberapa tahapan, ini yang disebut dengan metode model construction. Peneliti akan menggali tentang penggunaan metode model construction ini dalam meningkatkan kemampuan cognitive mapping pada anak tunanetra.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: apakah metode model construction dapat meningkatkan keterampilan cognitive mapping pada anak tunanetra di SLB N Tamansari Kota Tasikmalaya?

Rumusan masalah tersebut dapat dirinci melalui pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Bagaimanakah kemampuan anak dalam aspek ketepatan arah sebelum, selama dan setelah diberikan intervensi berupa penerapan metode model construction?

2. Bagaimanakah kemampuan anak dalam aspek perkiraan jarak sebelum, selama dan setelah diberikan intervensi berupa penerapan metode model construction?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan di atas, penulis merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini sebagai berikut:

a. untuk melihat gambaran kemampuan cognitive mapping pada anak tunanetra, khususnya dalam aspek ketepatan arah dan perkiraan jarak

(13)

2. Manfaat Penelitian

Setelah dilakukannya penelitian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat, khususnya untuk guru orientasi dan mobilitas serta pihak sekolah, penelitian ini diharapkan dapat meberikan rekomendasi bentuk latihan yang efektif dalam membangun cognitive mapping anak tunanetra yang dapat berdampak pula pada peningkatan keterampilan orientasi dan mobilitas.

D. Definisi Operasional Variabel

Judul penelitian ini adalah Penerapan Metode Model Construction

dalam meningkatkan Kemampuan Cognitive Mapping Pada Anak Tunanetra. Dalam penelitian ini terdapat dua variable, yaitu metode

model construction sebagai variable bebas dan kemampuan cognitive mapping sebagai variable terikat. Peneliti akan memaparkan definisi dari setiap vaiabel yang ada.

(14)

2. Cognitive mapping. Menurut Sholl (Portugali, 1996) cognitive mapping adalah proses merepresentasikan secara mental tata ruang geometrik pada topografi yang berbeda dalam suatu ruang. Secara operasional, dalam penelitian ini cognitive mapping merupakan proses membangun representasi mental yang tepat dari konseptualisasi suatu tempat. Sederhananya, Cognitive mapping adalah gambaran dari suatu lingkungan. Cognitive map berfungsi untuk mendukung navigasi yang diciptakan dari eksplorasi ruang. Banyak literature yang membahas tentang berbagai cara untuk mengevaluasi cognitive mapping pada anak tunanetra. Namun dalam penelitian ini, kita menitikberatkan pada aspek-aspek yang mendukung terhadap dua struktur dalam aliran visual yang menjadi hal penting untuk navigasi, yaitu: 1) struktur perspektif, yang menspesifikasikan hubungan self-motion dan self to object, dan 2) struktur invariant, yang menspesifikasikan hubungan

object to object (Sholl, dalam Portugali: 1996). Kemampuan dalam ketepatan arah mendukung struktur perspektif yang menspesifikan hubungan self to object dengan menunjuk pada objek lain dengan arah yang tepat. Sementara itu, kemampuan dalam perkiraan jarak mendukung struktur invariant yang mensepifikasikan hubungan object to object, dengan menyebutkan objek yang terjauh dan terdekat dari suatu objek lain. Oleh karena itulah dalam penelitian ini kita akan memfokuskan data tentang kemampuan cognitive mapping anak tunanetra pada kedua aspek tersebut.

(15)
(16)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah apakah metode model construction dapat meningkatkan kemampuan cognitive mapping khususnya dalam kemampuan representasi spasial pada anak tunanetra. Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian pra-eksperimen dengan one group pretes postest design.

Pada penelitian ini dilakukan pretes untuk mengetahui keadaan awal subjek sebelum diberi perlakuan, kemudian diberikan intervensi berupa metode model construction lalu pada akhirnya dilakukan postes. Dengan demikian peneliti dapat mengetahui kondisi subjek sebelum dan sesudah diberi perlakuan yang hasilnya dapat dibandingkan atau dilihat perubahannya (Sukardi, 2010:180-181). Desainnya sebagai berikut:

Tabel. 3.1

Desain penelitian

Pretes Perlakuan Postes

O1 X O2

(17)

Terdapat tiga tahapan utama yang dilakukan melalui desain penelitian ini, yaitu:

1. Mengukur kemampuan cognitive mapping pada anak, khususnya dalam dua aspek, yaitu: ketepatan arah, dan perkiraan jarak. Pengukuran kemampuan cognitive mapping ini dilakukan tanpa pemberian intervensi apapun.

2. Melakukan intervensi berupa pembelajaran menggunakan metode model construction yang diadaptasi dari penelitian Shancez dan Jorquera (2000) yang tentunya telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi anak yang menjadi subjek penelitian.

3. Mengukur kemampuan cognitive mapping (dalam 3 aspek tersebut) pada anak setelah diberikan intervensi berupa penggunaan metode model construction.

Untuk menghindari faktor luar yang dapat mempengaruhi peningkatan kemampuan anak, maka ruangan yang telah di setting tersebut hanya digunakan pada saat melakukan tes, baik pretes maupun postes. Sementara sepanjang proses intervensi dilakukan di ruangan kelas yang berbeda dari ruangan yang digunakan untuk tes. Anak-anak mendapatkan intervensi dalam ruang kelas yang memang digunakan dalam keseharian mereka.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

(18)

Tabel. 3.2

Identitas Subjek

Subjek Jenis

kelamin

Usia (thn)

Waktu terjadinya ketunanetraan

Penyebab ketunanetraan

Kondisi penglihatan

CA P 10 Sejak lahir - Total

EG P 9 Sejak lahir Diperkiraan

karena terpapar

bahan kimia

industri ketika

dalam kandungan

Total

RF L 9 Sejak lahir Sebelah matanya

mengalami

glukoma

Low vision

Berkaitan dengan kemampuan subjek dalam bidang akademik, motorik, bahasa, emosi dan sosial dapat dijelaskan profil subjek sebagai berikut:

1. CA

Dalam aspek akademik, kemampuan CA menonjol dalam hafalan (secara auditif), menyimak (menjawab pertanyaan), dan daya tangkap yang baik. Sementara dalam menghitung, bercerita, memori (yang berkaitan dengan gerak motorik dan taktil) masih sulit. CA masih belajar membaca huruf Braille tahap awal, dan dikenalkan pada huruf-huruf Braille. Dalam mengenal huruf masih sering lupa

(19)

masih tergantung suasana hati. Ekspresi emosi CA cenderung datar. Namun jika dalam kondisi kesal, CA menunjukkan marah dengan berteriak dan menangis. CA akan mengubah perilakunya, misalnya tidak menangis atau bersemangat dalam melaksanakan tugas jika diberikan ancaman (berupa tinggal di asrama).

Kemampuan bahasa pada CA juga masih perlu ditingkatkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, CA kurang komunikatif dalam melakukan percakapan, dan belum bisa menyampaikan pendapat. Namun demikian, ia memiliki kemampuan yang baik dalam menyimak oranglain yang berbicara baik.

Dalam aspek motorik, CA masih memerlukan banyak latihan. Baik dalam motorik halus maupun motorik kasar. Gerak motorik kasar, seperti berjalan, melompat, melempar, mengayunkan tangan, dan lain-lain masih sangat kurang, nampak tidak bertenaga, ragu, dan terlihat takut. Begitu pula dalam motorik halus, gerakkan seperti memilin plastisin, mengambil benda berukuran kecil, meletakkan benda-benda berukuran kecil, meronce, dan lain-lain pun masih perlu banyak latihan. Tangannya tidak bertenaga, dan nampak malas untuk menggerakkan badannya.

2. EG

Dalam aspek akademik, kemampuan EG terbilang cukup bagus, terutama dalam berhitung. Ia memiliki memori dan daya tangkap yang bagus. Begitu pula dalam bercerita atau mengungkapkan kembali apa yang telah disampaikan kepadanya.

(20)

EG cenderung suka dipuji dan ingin selalu mendapat pujian. Jika tidak diberipujian, maka ia akan ngambek.

Kemampuan bahasa pada EG juga cukup baik. Ia dapat berbicara dengan struktur kalimat yang baik dan runtun. Ia juga dapat memahami kosakata baru yang diberikan dengan mudah. Namun dalam keseharian, EG lebih dominan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah.

Dalam aspek motorik, kemampuan EG sudah cukup bagus, terutama dalam motorik halus. EG senang mengeksplorasi apapun yang dia sentuh, mulai dari sesuatu yang besar sampai yang berukuran kecil. Malah terkadang EG terlalu aktif dalam mengeksplorasi apapun yang tersentuh oleh tangannya, didorong ooleh rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi. Sementara itu dalam motorik kasar kemampuan EG masih kurang. Misalnya dalam berjalan secara mandiri saja ia masih nampak ketakutan. Begitu pula dalam gerak-gerakmotorik kasar yang lainnya.

3. RF

Dalam aspek akademik, kemampuan RF terbilang cukup bagus, terutama dalam bidang berhitung dan keagamaan. Ia memiliki memori dan daya tangkap yang bagus, hanya dalam bercerita atau mengungkapkan kembali masih belum baik dan perlu lebih banyak bimbingan.

Kemampuan dalam emosi sosial yang ditampilkan di sekolah cukup baik. Ia dapat mudah beradaptasi dengan teman-temannya yang lain. Sering bermain dengan anak-anak awas yang lain, tidak minder serta dapat menghargai teman. Namun, terdapat laporan dari orangtua bahwa saat di rumah, RF sering kolokan dan ambekan.

(21)

menyampaikan dan mengutarakan sesuatu pada guru atau teman, RF masih terlihat malu-malu.

Dalam aspek motorik, kemampuan RF sudah cukup bagus, baik kemampuan motorik halus maupun motorik kasar.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan proses analisis literature secara mendalam terkait cognitive

mapping pada anak tunanetra.

2. Melakukan studi lapangan, mengamati kemampuan orientasi secara umum pada anak tunanetra pada rentang usia tertentu.

3. Merumuskan instrument tes berdasarkan literature yang ada 4. Melakukan validasi instrument kepada ahli.

5. Menentukan/men-setting suatu ruangan sebagai lokasi yang akan digunakan dalam penelitian.

6. Melakukan pretes terhadap subjek di ruangan yang telah ditentukan, serta mencatat perolehan skor pada setiap subjek. Pretes ini dilakukan sebanyak 2 kali untuk memperoleh hasil yang lebih meyakinkan.

7. Melakukan intervensi terhadap subjek dengan menggunakan metode

model construction. Proses ini dilakukan di ruangan yang berbeda dengan ruangan tes. Proses intervensi ini dilakukan sebanyak 5 sesi dalam 15 kali pertemuan.

8. Melakukan postes terhadap subjek di ruangan yang telah ditentukan. Postes dilakukan setelah 2 minggu anak dibiarkan tanpa memperoleh intervensi apapun. Hal ini bertujuan agar lebih memperkuat hasil akhir pada postes.

9. Mengumpulkan catatan hasil perolehan skor setiap subjek pada setiap tes yang telah diberikan.

10.Melakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh setiapsubjek selama penelitian dilakukan.

(22)

D. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah melalui observasi. Observasi dilakukan untuk melihat kinerja anak dalam melakukan beberapa tugas untuk mengungkap kemampuan cognitive mapping mereka yang terdiri dari dua aspek, yaitu ketepatan arah (directional accuracy), dan perkiraan arah (distance estimation).

Dalam penelitian ini terdapat dua kegiatan utama, yaitu tes (pretes dan postes) serta intervensi (dengan metode model construction). Tes dilakukan untuk mengungkap data tentang akurasi arah dan perkiraan jarak terhadap suatu ruangan yang baru diperkenalkan, serta pengetahuan tentang hubungan antar objek yang berada di dalam ruangan tersebut. Untuk tes ketepatan arah menggunakan instrument tes yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Schinazi pada tahun 2005 dengan konten yang berbeda. Sementara untuk tes perkiraan jarak menggunakan instrument tes yang diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Rosen pada tahun 1992 dengan konten, struktur dan cara analisis yang berbeda. Instrument tes yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 3.4 Instrumen Penelitian

I. Directional accuracy

Object to oject Skor

nyata (0)

Perolehan

siswa (0)

Selisih Kriteria penilaian Hasil

x

1. Pi ntu – kurs i 95 Tol eransi kesalahan

s i swa a dalah selisih

0-10 (0). Arti nya , jika skor

nya ta dengan

perol ehan siswa

terda pat s elisih di

ba wah 100, ma ka

di a nggap benar. Jika

s elisih diatas 100, ma ka

di a nggap belum tepat. 2. Pi ntu – l emari 134

3. Pi ntu – papan tulis 36

4. Pi ntu – jendela 111

5. Pi ntu – meja 85

6. Pi ntu – pi gura 10

7. Kurs i – pi ntu 280

8. Kurs i – l emari 185

9. Kurs i – pa pan tulis 5

(23)

11. Kurs i – meja 7

12. Kurs i – pi gura 345

JUMLAH

PROSENTASE

II. Distance Estimation

Object to object Jawaban yang tepat Jawaban

siswa

Kriteria Penilaian Nilai

x

1. Pi ntu: a . pi gura/lemari Ja wa ban ya ng dianggap

benar a dalah benda

ya ng terja uh a tau

terdekat urutan

perta ma dan kedua

(berdasarkan hasil

pengukuran nyata). Hal

i ni dikarenakan

terda pat beberapa

benda ya ng selisih

ja ra knya sangat kecil,

s ehingga siswa bingung

ma na ya ng l ebih jauh

a ta u lebih dekat. b. jendela/papan tls

2. Lema ri: a . jendela/kursi RF&CA

b. pa pan tl s/pigura

3. Jendela: a . l emari/meja

b. pi gura/pintu

4. Pa pa n tulis: a . kurs i (guru)/pigura

b. jendela/lemari

5. Meja : a . kurs i

b. jendela/pigura

6. Kurs i

(s endiri):

a . meja /kursi RF

b. pi gura/jendela

7. Kurs i (guru) a . meja /papan tls

b. jendela/lemari

8. Pi gura a . pi ntu/papan tulis

b. jendela/lemari

JUMLAH

(24)

Adapun prosedur yang dilakukan dalam melakukan masing-masing tes adalah:

1. Akurasi Arah

a. Anak dibimbing untuk berjalan mengeksplorasi sebuah ruangan dan mempelajari 10 objek pada posisi dan jarak tertentu di dalam ruangan tersebut.

Gambar 3.1

Denah ruang kelas

b. Secara acak, siswa dibimbing menuju satu objek (misal: pintu) dan berdiri di objek tersebut, kemudian siswa diminta untuk menunjukkan sebuah objek yang berbeda (misal: “tunjukkan letak papan tulis!”).

c. Peneliti mengukur ketepatan arah yang ditunjuk oleh siswa terhadap objek dengan menggunakan kompas digital. Satuan yang digunakan adalah derajat (0).

d. Peneliti mencatat skor yang diperoleh siswa dan membandingkan dengan ukuran arah yang tepat, yang telah diukur sebelumnya menggunakan kompas digital.

e. Peneliti mengambil selisih antara skor yang diperoleh siswa dengan ukuran arah yang tepat. Siswa yang memperoleh selisih kurang dari

Ketera ngan:

(25)

100 maka dianggap tepat dan mendapat tanda (√). Sementara siswa yang memperoleh selisih lebih dari 100 maka dianggap belum tepat dan memperoleh tanda (x).

2. Perkiraan Jarak

a. Anak dibimbing untuk berjalan mengeksplorasi sebuah ruangan dan mempelajari 10 objek pada posisi dan jarak tertentu di dalam ruangan tersebut.

b. Anak dibimbing menuju satu objek (misal: pintu) dan berdiri di objek tersebut, kemudian diberi pertanyaan: “benda apakah yang paling dekat dengan tempatmu berdiri?” dan “benda apakah yang paling jauh dari tempatmu berdiri?”

c. Peneliti mencatat hasil jawaban siswa dan membandingkannya dengan ukuran jarak yang sebenarnya tepat, yang telah diukur sebelumnya. Jika jawaban siswa tepat, maka diberi tanda (√), namun jika jawaban siswa tidak tepat, maka diberi tanda (x).

Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penggunaan metode „model construction’ yang diadaptasi dari penelitian Shancez dan Jorquera (2000). Dalam pelaksanaannya, digunakan tiga jenis media, yaitu: (1) model ruang kelas yang terbuat dari bahan kardus beserta miniature furniture (lemari, meja, kursi) yang menyerupai bentuk aslinya, (2) model ruang kelas yang terbuat dari bahan Styrofoam, dengan objek-objek (furniture) yang juga terbuat dari bahan styrofoam dan hanya berbentuk persegi dan persegi panjang, (3) lilin malam atau plastisin.

(26)
[image:26.596.233.424.132.307.2]

menyerupai benda aslinya. Model ini dibuat dengaan skala 1:100, sehingga dalam memperkirakan jarak menjadi lebih akurat.

Gambar 3.2

Model ruangan dengan media kardus

Sementara itu, model yang terbuat dari Styrofoam hanya memiliki dimensi panjang dan lebar. Tidak ada dimensi tinggi yang dapat merepresentasikan dinding pada model tersebut. Selain itu objek-objek yang merepresentasikan benda-benda di dalamnya hanya dibuat dengan bentuk persegi atau persegi panjang, sesuai dengan ukurannya masing-masing. Model ini juga dibuat dengan skala, yaitu skala 1:100.

Gambar 3.3

[image:26.596.228.429.501.692.2]
(27)

Lebih lanjut, media plastisin digunakan untuk model ruangan kelas yang telah diperkenalkan sebelumnya. Disini, anak diberi kebebasan untuk mengembangkan kreatifitasnya dalam membentuk setiap objek. Cara ini juga dapat melihat kemampuan koordinasi persepsi dan motorik pada anak, dapat dilihat pula bagaimana gambaran anak tentang ruangan kelas yang sebelumnya telah diperkenalkan pada anak.

Gambar 3.4

Model yang dibuat anak dengan media plastisin

Intervensi dilakukan selama 5 sesi, dimana satu sesi terdiri dari 3 kali pertemuan. Dalam setiap sesi anak diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai jenis model. Pada pertemuan pertama anak mempelajari model yang terbuat dari kardus, pada pertemuan kedua anak mempelajari model yang terbuat dari Styrofoam, dan pada pertemuan ketiga anak mempelajari model yang terbuat dari plastisin. Setelah dilakukan intervensi sesi 1 selama tiga kali pertemuan, anak akan diberikan postes dengan jenis kegiatan yang sama seperti pada pretes. Kemudian dilakukan intervensi sesi 2 dan diakhiri dengan postes 2. Proses tersebut berlangsung hingga pada sesi 5 dan postes 5.

(28)

1. Pada pertemuan pertama, anak diperkenalkan dengan model ruang kelas yang terbuat dari kardus, dilengkapi dengan furniture mainan yang merepresentasikan berbagai objek yang ada di dalam kelas. Kemudian peneliti menjelaskan bahwa kardus tersebut memiliki bentuk yang sama dengan ruang kelas yang sebelumnya diperkenalkan, namun dalam ukuran yang lebih kecil. Peneliti juga menunjukkan bagian-bagian yang terdapat dalam model, yang sama persis dengan ruang kelas yang telah dieksplorasi sebelumnya, seperti pintu, jendela, meja, kursi, papan tulis, dll. Peneliti membiarkan anak mengeksplorasi sendiri setiap objek yang ada, kemudian anak diminta untuk menyusun kembali seperti susunan penempatan objek-objek yang asli.

2. Pada pertemuan kedua, anak diperkenalkan dengan model ruang kelas yang terbuat dari bahan styrofoam, dilengkapi dengan tiruan furniture (juga dari styrofoam) yang merepresentasikan berbagai objek yang ada di dalam kelas (berbeda dengan media yang sebelumnya, tiruan objek-objek ini hanya dibuat symbol dengan bentuk segi empat atau persegi panjang, tidak dibuat menyerupai aslinya). Kemudian peneliti menjelaskan bahwa alas styrofoam tersebut memiliki bentuk yang sama dengan ruang kelas yang sebelumnya diperkenalkan, namun dalam ukuran yang lebih kecil dan tanpa dinding. Peneliti juga menunjukkan bagian-bagian yang terdapat dalam model, yang sama persis dengan ruang kelas yang telah dieksplorasi sebelumnya, seperti pintu, jendela, meja, kursi,papan tulis, dll. Peneliti membiarkan siswa mengeksplorasi sendiri setiap objek yang ada, kemudian menyusun kembali tiruan objek-objek tersebut seperti susunan penempatan objek-objek yang asli.

(29)

kelas. Kemudian peneliti menjelaskan bahwa bentuk dasar plastisin sama dengan bentuk ruang kelas yang sebelumnya diperkenalkan, namun dalam ukuran yang lebih kecil. Peneliti juga menunjukkan bagian-bagian yang terdapat dalam model, yang sama persis dengan ruang kelas yang telah dieksplorasi sebelumnya, seperti pintu dan jendela. Peneliti membiarkan siswa mengeksplorasi sendiri setiap objek yang ada, kemudian siswa membuat dan menyusun kembali seperti susunan penempatan objek-objek yang asli.

F. Teknik analisis data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis untuk diambil kesimpulan. Data yang diperoleh berupa data kuantitatif yang berupa angka-angka. Data tersebut diolah dengan teknik analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2004:169).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses analisis data, diantaranya adalah:

 Data yang diperoleh dikumpulkan, kemudian dilakukan proses penilaian

 Skor yang diperoleh siswa dibuat dalam prosentase. Untuk mengetahui prosentase pada masing- masing aspek menggunakan rumus dibawah ini: a) Ketepatan arah

b) Perkiraan jarak

(30)

Simbol n mewakili jumlah skor yang diperoleh siswa, sementara 12 merupakan total keseluruhan skor yang diteskan pada aspek ketepatan arah. Kemudian 16 juga merupakan keseluruhan skor yang diteskan pada aspek perkiraan jarak.

Contoh:

Subjek CA memperoleh skor sebanyak 9 pada aspek ketepatan arah dan 11 pada aspek perkiraan jarak. Maka jika perolehan skor subjek CA adalah:

a) Ketepatan arah

b) Perkiraan jarak

 Membuat rata-rata skor pretes, intervensi, dan postes setiap subjek.

 Membandingkan prosentase rata-rata nilai pretes, intervensi, dan postes pada setiap subjek

 Membuat rata-rata skor pretes intervensi dan postes pada keseluruhan subjek

 Membandingkan prosentase rata-rata skor pretes, intervensi, dan postes pada keseluruhan subjek

(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, dapat dirumuskan kesimpulansebagai berikut:

1. Perolehan skor siswa dalam tugas ketepatan arah pada saat pretes, selama intervensi dan postes beragam. Terdapat peningkatan yang cukup signifikan pada. Nilai rata-rata dari keseluruhan subjek juga meningkat dari skor pretes ke skor postes sebesar 19.44%. Peningkatan ini cukup signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan metode model construction dapat meningkatkan kemampuan cognitive mapping pada anak tunanetra, khususnya pada aspek ketepatan arah.

2. Perolehan skor siswa dalam tugas perkiraan jarak cenderung lebih konsisten daripada tugas ketepatan arah. Nilai rata-rata dari keseluruhan subjek terjadi peningkatan dari skor pretes ke skor postes sebesar 19.79%. Peningkatan ini cukup signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan metode model construction

dapat meningkatkan kemampuan cognitive mapping pada anak tunanetra, khususnya dalam aspek yang diamati dalam penelitian ini, adalah perkiraan jarak.

(32)

jawaban yang benar, karena jarak terjauh antar objek memang memiliki selisih perbedaan yang tipis.

Selama proses intervensi, terjadi dinamika peningkatan dan penurunan yang cukup variatif pada setiap subjek. Dinamika peningkatan dan penurunan yang terjadi dapat dipengaruhi baik dari internal maupun eksternal anak. Dari sisi internal anak yang dapat mempengaruhi dinamika peningkatan dan penurunan hasil tes adalah kondisi mood anak, kondisi fisik dan kesehatan anak, serta kemampuan dasar anak, seperti daya tangkap, daya ingat, dan daya konsentrasi. Beberapa subjek memiliki kondisi emosi yang belum stabil, sehingga cepat terjadi perubahan mood ketika melakukan tes.

Sementara itu dari sisi eksternal yang dapat mempengaruhi dinamika peningkatan dan penurunan hasil tes adalah bagaimana cara peneliti dalam memberikan pertanyaan, misalnya penggunaan kalimat yang jelas, runtun, dan mudah dipahami anak, kondisi lingkungan yang kurang mendukung, misalnya kegaduhan yang terjadi di sekitar ruang kelas, atau adanya gangguan anak lain yang secara tiba-tiba masuk kedalam ruang kelas.

Penggunaan model miniature dalam proses pembelajaran anak dapat membantu anak dalam menentukan arah dan jarak objek atau benda. Dengan mengetahui hal tersebut, anak dapat dengan lebih mudah menentukan letak setiap objek dan membayangkan hubungan antar objek. Anak menghasilkan gambaran secara mental yang memudahkan mereka untuk mengingat kembali suatu ruang, kemudian gambar tersebut secara mental dapat dipindai dan dirotasi seperti suatu peristiwa yang terjadi dalam persepsi (Kosslyn, dalam Ungar: 1996)

(33)

melakukan mobilitas sehari-hari. Contoh paling sederhana, misalnya meletakkan cangkir dalam posisi yang konstan. Pada anak awas, melalui penglihatan akan lebih mudah untuk mengkodekan posisi cangkir berdasarkan objek-objek lain di atas meja. Namun pada anak tunanetra akan lebih efisien jika mengkodekan posisi cangkir bedasarkan koordinat tubuh sendiri atau objek tertentu yang memungkinkan untuk menghasilkan gerakan tangan yang tepat saat mengambil atau meletakkannya kembali (Millar, dalam Ungar, 1996).

Dalam skala yang lebih luas, ketika diminta untuk menentukan jarak dan arah sebuah lingkungan yang dikenalnya, anak tunanetra cenderung merespon berdasarkan pengalaman fungsional mereka, dan bukan berdasarkan representasi yang terpadu (Ungar, 1996). Melalui penggunaan metode model construction ini anak dapat membentuk representasi secara terpadu dari suatu lingkungan atau ruang, sehingga mereka dapat bergerak dari suatu objek ke objek lain dengan lebih efektif.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan rekomendasi sebagai berikut:

1. Bagi Guru program khusus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang cukupsignifikan pada kemampuan anak setelah diberikan intervensi berupa metode model construction. Dapat dikatakan pula bahwa latihan dan pemahaman tentang konsep spasial sangat penting bagi anak sebagai modal awal untuk dapat melakukan orientasi dan mobilitas secara efektif dan efisien.

Oleh karena itu, hal-hal yang dapat direkomendasikan kepada guru adalah:

(34)

b. Media yang dapat digunakan tidak terbatas pada tiga buah media yang telah digunakan dalam penelitian ini. Guru dapat berkreasi sebebasnya untuk menciptakan media lain yang lebih menarik. c. Guru dapat menggunakan metode ini dalam setting lingkungan

yang lebih luas, misalnya lingkungan sekolah.

2. Bagi sekolah

Sekolah diharapkan dapat memberikan dukungan penuh atas keterlaksanaannya program orientasi dan mobilitas bagi anak tunanetra, mengingat pentingnya keterampilan orientasi dan mobilitas ini bagi kemandirian anak kelak. Oleh karena itu, sekolah diharapkan dapat memberrikan dukungan baik berupa fasilitas,

3. Bagi peneliti selanjutnya

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Casey, S. (1978) Cognitive mapping by the blind. Journal of Visual Impairment and Blindness, 72, 297-301.

Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Bandung. PT.Sarana Tutorial Nurani Sejahtera

Dodds, A. G., Howart, C. I., & Carter, D., C. (1982). The Mental Maps Of Theblind: The Role Of Previous Experience. Journal Of Visual Impairment & Blindness, 76, 5-12.

Duquette, J. (2012). Spatial orientation in adolescents with visual impairment: related factors and avenues for assessment. Institute Nazareth & Louise Braille.

Espinosa, M.A. & Ochaita, E. (1998).Using Tactile Maps to Improve the Practical Spatial Knowledge of Adults Who Are Blind. American Foundation for the Blind. All rights reserved. Journal of Visual Impairment and Blindness,

May 1998, pp.338-345.

Fauziah, N. (2013). Penggunaan Media Miniatur Dalam Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Materi Gaya Dan Momen Di Kelas X Tgb 3 Smk Negeri 3 Surabaya. Prodi Studi Pendidikan Teknik Bangunan, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya.

Fletcher, J. (1980) ‘Spatial Representation In Blind Children 1: Development

Compared To Sighted Children.’ Journal Of Visual Impairment And

Blindness, 74 (10), Pp. 318–85.

Foulke, E. & Hatlen, P.H. (1992). A Collaboration Of Two Technologies. Part 1: Perceptual And Cognitive Processes: Their Implications For Visually Impaired Persons. British Journal Of Visual Impairment, 10, 43-46.

Hupp, G. S. (2003). Cognitive Differences Between Congenitally Blind and Adventitiously Blind. (Online). Tersedia: httpdigital.library.unt.edu

Hallahan, P., D. & Kauffman, M., J. (2006). Exceptional Learners: introduction to special education. Boston: Pearson Education, Inc.

(36)

Jacobson, R. D. (1992). Spatial cognition through tactile mapping. Swansea Geographer 29, 79-88.

Kitchin, R. M. & Jacobson, R. D. (1997). Techniques to collect and analyse the cognitive map knowledge of people with visual impairments or blindness.

Journalof Visual Impairment and Blindness 91, 360-376.

Lahav, O & Mioduser, D. (2003). A blind person’s cognitive mapping of new spaces using a haptic virtual environment. Journal of Research in Special Educational Need, 3,172–177

Lewis, V. (2003). Development and Disability. United Kingdom: Blackwell Publishing.

Munadi, . 2008. Media pembelajaran. Jakarta: PT.Gaung Persada Press.

Ormod, J. E. (2008). Studying Cognitive Phenomena With Behaviorist Techniques: Tolman’s Work. Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall.

Predrag, S. (2007). On Lycnh And Post Lynchian Theory. Architecture and Civil Engineering Vol. 5, No 1, pp. 61 – 69

Reiser, J.J (1990). Mental Processes Mediating Independent Travel: Implication for Orientation and Mobility. Journal of Visual Impairment and Blindness 76 (6), 213-218.

Rohman, Muhammad dan Amri, S. 2013. Strategidan desain Pengembangan Sistem pembelajaran. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.

Sanchez, J. & Jorquera, L. (2000). Interactive Virtual Environment for Blind Children: Usability and Cognition. V Congreso Iberoamericano De Informatica Educativa

Schinazi, V. R. (2005). Spatial representation and low vision: Two studies on the content, accuracy and utility of mental representations. UK: International Congress Series 1282 (2005) 1063–1067

Scholl, T. G.(1986). Foundations of Education for Blind and visually handicapped children and youth. New York: American Foundation for the blind, inc.

(37)

K. Denzin & Yvonna S. Lincoln (Eds.), Handbook Of Qualitative Research.

Thhousand Oaks, CA: Sage Pub

Sugiyono (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta

Tarsidi, D. (2007). Dampak Ketunanetraan terhadap Keterampilan Mobilitas Anak. (Online). Tersedia di: http://www.d-tarsidi.blogspot.com. Diakses pada tanggal 01 Januari 2015

Tolman, E. C. (1948). Cognitive maps in rats and men. Psychological Review, 55,189-208

Ubaidillah, I. (2014). Media Pembelajaran Sejarah. (Online) Tersedia di:

http://iqbalubaidillah1101.blogspot.com/2014/12/media-pembelajaran-sejarah-model.html. Diakses pada tanggal: 01 Januari 2015

Ungar, S. (1996). Construction of Cognitive Maps. Dordrecht: Kluwer Academic Publishing.

Von Senden, S.M. (1932). Space and Sight: the Perception of Space and Shape in the Congenitally Blind Before and After Operation. Glencoe, IL: Free Press. Warren, H., David. (2003). Blindness and children: an individuaal differences

approach. Cambridge: Cambridge University Press

Gambar

Tabel. 3.1
Tabel. 3.2
Tabel 3.4 Instrumen Penelitian
Gambar 3.1 Denah ruang kelas
+3

Referensi

Dokumen terkait

matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) pada materi sifat-sifat bangun segiempat dan keliling serta luas bangun segiempat dapat

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yang berbunyi “konseling rasional emotif perilaku dapat menurunkan tingkat fanatisme

Menurut al-Zarnuji tujuan pendidikan ada dua, yaitu pertama, tujuan akhirat, seseorang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap ridha Allah, mencari kebahagian di

Suatu kawasan yang diperuntukan untuk daerah pemukiman elite yang bernuansakan “Air” dan / atau natural, dituntut untuk dapat menciptakan kondisi lingkungan yang baik dan.. 2.6.1

Hal ini juga dapat dilihat pada F hitung interaksi > F tabel pada taraf signifikan 5% yaitu 0,921>2,508 artinya tidak ada interaksi antara media tanam limbah

Hal ini dimungkinkan untuk menentukan volume molar parsial (atau dalam jumlah molar parsial umum) dari komponen dalam campuran yang spesifik dan karenanya menentukan

Pendidikan terhadap jasad dilakukan melalui media olah raga dan pelatihan-pelatihan ketrampilan (skill), pendidikan terhadap akal dilakukan melalui