DI WILAYAH KECAMATAN PRAMBON
SKRIPSI
Oleh :
M KADAFI PRAWIRO
NPM : 0724010002
Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR
SURABAYA
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan penelitian ini, dengan judul “Usahatani Tebu (Sacharum Officinarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon Dengan Sistem Rawat Ratoon Di
Wilayah Kecamatan Prambon”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian (S1). Program Studi Agribisnis, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Penulis berharap semoga dalam penyusunan skripsi ini dapat
diterima dan memenuhi persyaratan, serta menyadari sepenuhnya akan segala kerendahan hati dan keterlibatan semua pihak, maka penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada Ir. A. Rachman Waliulu, MS. Selaku Dosen Pembimbing Utama dan Ir. Setyo Parsudi, MP. Selaku Dosen Pembimbing Pendamping atas kepercayaan dan segala bantuan yang telah diberikan berupa
pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran. Selain itu dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MS, selaku Dekan Fakultas Pertanian. 2. Ir. Indra Tjahaja Amir, MP, selaku Ketua Program Studi Agribisnis.
3. Papa, Mama dan Adikku tercinta yang selalu memberi doa, dorongan dan
semangat.
4. Yulianik tercinta yang selalu memberikan motivasi dan semangat dalam
5. Nurhadi selaku pembimbing lapang yang telah memberi luang waktu dan tenaga dalam membantu penelitian ini.
6. Rekan-rekan Se-angkatan’07 Jurusan Agribisnis yang telah memberikan dukungan moral dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan dukungan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dengan demikian penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada
penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan Skripsi ini.
Semoga apa yang penulis uraikan dalam skripsi ini, dapat berguna bagi pembaca
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Surabaya, Juni 2011
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... . vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2... Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.3.1... Tujuan ... 10
1.3.2... Manfaat Penelitian ... 11
1.3.3... Pembatasan Masalah ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1...Peneliti an Terdahulu ... 12
2.2.1...Sejarah
Pergulaan Di Indonesia ... 17
2.2.2...Produk si dan Konsumsi Gula ... 20
2.2.3...Kebija kan Industri Gula ... 22
2.2.4...Luas Areal Tanam ... 24
2.3. Budidaya Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon .... 28
2.3.1...Budida ya Tebu Sistem Bongkar Ratoon ... 28
2.3.2...Budida ya Tebu Sistem Rawat Ratoon ... 36
2.4. Penentuan Rendemen Tanaman Tebu ... 38
2.5. Daya Saing Tanaman Tebu ... 40
2.6. Konsep Daya Saing Tanaman Tebu ... 41
2.7. Analisis Usahatani Tanaman Tebu ... 43
2.7.1...Biaya Produksi Usahatani Tanaman Tebu... 43
2.7.2...Pengert ian Pendapatan ... 44
2.7.3...Karakt eristik Pendapatan ... 44
2.7.5...Produk si Dan Produktivitas Tanaman Tebu ... 48 2.7.6...Keung
gulan Komparatif ... 49 2.7.7...Pendap
atan Dan Efisiensi Usahatani Tanaman Tebu... 51
III...KERA NGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1...Kerang ka Pemikiran ... 53 3.2...Hipotes
is ... 55
IV....METO DE PENELITIAN
4.1...Penent uan Lokasi ... 56 4.2...Penent
uan Responden ... 56 4.3...Pengu
mpulan Data ... 57 4.4...Analisi
s Data ... 58 4.5...Definis
V....HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1...Keadaa n Umum Wilayah Kecamatan Prambon ... 65 5.2...Karakt
eristik Responden Petani Tebu ... 68 5.2.1...Tingkat
Pendidikan... 68 5.2.2...Tingkat
Usia ... 69 5.2.3...Jumlah
Tanggungan Keluarga ... 71 5.3...Budida
ya Tebu Bongkar Ratoon ... 73 5.3.1...Syarat
Pertumbuhan ... 73 5.3.2...Media
Tanam ... 73 5.3.3...Bibit
Tebu ... 73 5.3.4...Kebun
Bibit ... 75 5.3.5...Mengg
arap Tanah ... 75 5.3.6...Cara
5.3.7...Pemeli haraan Tanaman Tebu ... 81 5.3.8...Membe
rantas Hama dan Penyakit ... 87 5.3.9...Panen
... 88 5.3.10.Pasca Panen ... 90 5.4...Rata –
Rata Biaya, Pendapatan, Dan Produktivitas Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Wilayah
Kecamatan Prambon ... 90
5.5...Efisien si Usahatani Tanaman Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan
Sistem Rawat Ratoon Wilayah Kecamatan Prambon... 98
5.6...Daya Saing Usahatani Tanaman Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan
Sistem Rawat Ratoon Wilayah Kecamatan Prambon... 99
VI....KESI MPULAN DAN SARAN
6.1...Kesimp ulan ... 107 6.2. Saran ...
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Judul
1...Perbed aan Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon ... 55
2...Jumlah Jenis Tanah Di Wilayah Kecamatan Prambon ... 65
3...Tingkat Penduduk Kecamatan Prambon Tahun 2010 ... 67 4...Tingkat
Pendidikan Petani Tanaman Tebu Kecamatan Prambon 2010 ... 68 5...Usia
Responden Petani Tanaman Tebu Wilayah Kecamatan Prambon
Tahun 2010 ... 70
6...Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Tanaman Tebu Wilayah Kecamatan
7...Rata – Rata Biaya Dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Bongkar
Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Per Hektar Di Wilayah Kecamatan
Prambon ... 92 8...Rata –
Rata Produktivitas Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan
Sistem Rawat Ratoon Per Hektar Di Wilayah Kecamatan Prambon ... 94 9...Uji
Beda Rata – Rata Biaya, Pendapatan, Dan Produktivitas Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon Di Wilayah
Kecamatan Prambon... 96
10...Tingkat Pendapatan Dan Biaya Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon
Dan Sistem Rawat Ratoon Per Hektar Dengan Menggunakan Analisis
4...Tanah Garapan Cara Bajak ... 78
5...Tanah Garapan Cara Reynoso ... 78 6...Setek
Di Tanamkan Berdiri Condong ... 79 7...Tanam
an Sebelumnya Di Bumbun ... 85 8...Tanam
an Telah Sekali Di Bumbun ... 85 9...Tingkat
Perbedaan Intersep Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan
Sistem Rawat Ratoon... 101
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Jumlah Luas Lahan Petani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem
Rawat Ratoon Di Wilayah Kecamatan Prambon ... 111
2. Tingk
at Rendemen dan Penerimaan Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan
Sistem Rawat Ratoon Di Wilayah Kecamatan Prambon... 112
3. Hasil Pengujian Pendapatan Dan Biaya Usahatani Tebu
Sistem
Bongkar Ratoon Dengan Menggunakan “Analisis Regresi Linear
Berganda” Dan SPSS Ver, 12 For Windows... 113
4. Tabel Pendapatan Dan Biaya Total Per Hektar Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Menggunakan “SPSS 12 For Windows” Lampiran 3.... 115
5. Tabel Biaya, Produksi, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Bongkar Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar... 116
6. Tabel Biaya, Produksi, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Tebu Sistem Rawat Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar... 117
7. Tabel Biaya Dan Penggunaan Bibit, Biaya Garap, Tenaga Kerja, Obat – Obatan, Pupuk, Tebang Angkut Usahatani Tebu Sistem Bongkar
Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar... 118 8. Tabel Biaya Dan Penggunaan Bibit, Biaya Garap, Tenaga Kerja,
Obat – Obatan, Pupuk, Tebang Angkut Usahatani Tebu Sistem Rawat
Ratoon Perluasan Garapan Dan Rata – Rata Perhektar ... 119
Kecamatan Prambon... 120
10. Hasil
Pengujian Produktifitas Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem
Rawat Ratoon... 121
11. Hasil
Pengujian Biaya Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat
Ratoon... 122
12. Hasil
Pengujian Pendapatan Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem
Rawat Ratoon... 123
13. Peta Areal
Luasan Lahan Tanaman Tebu Di Wilayah Kecamatan
Prambon ... 124
14. Kuisioner
Responden Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat
Dosen Pendamping : Ir. Setyo Parsudi, MP.
ABSTRAC
Indonesia merupakan produsen gula pasir dimana gula pasir digolongkan sebagai komoditas strategis, sehingga pemerintah berkewajiban menyediakan dalam jumlah yang cukup pada tingkat harga yang terjangkau di masyarakat. Saat ini produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi konsumsi, baik konsumsi lansung maupun konsumsi tidak lansung. Kekurangan gula untuk mencukupi kebutuhan konsumsi tersebut masih harus disediakan melalui impor. Sehingga Sektor pertanian merupakan bagian terpenting dari perekonomian Negara Indonesia yang mampu menyumbang devisa. Hal tersebut didukung dengan pembangunan pertanian yang sangat erat kaitannya dalam menunjang terwujudnya sistem ketahanan pangan yang kokoh khususnya peningkatan gula atau tebu.
Tebu (Sacharum Officinarum) adalah tanaman rumput – rumputan yang banyak mengandung gula pada batangnya. Namun untuk sampai menghasilkan gula, terlebih dahulu tebu hasil panen dari kebun harus segera dikirim ke Pabrik Gula (PG) untuk selanjutnya diolah. Dari pengolahan tebu ini dihasilkan apa yang dikenal sebagai Gula Kristal Putih (GKP) dan tetes sebagai produk utama. Disamping itu proses pengolahan tebu ini juga memproduksi ampas tebu yang kemudian dapat dimamfaatkan sebagai bahan bakar Boiler, media jamur merang, serta pupuk organik (Kompos). Sedangkan blotong yang dihasilkan dari proses pemurnian, dapat dimamfaatkan pula sebagai pupuk organic.
Usahatani tanaman tebu dengan menggunakan sistem bongkar ratoon yang dilihat dari segi tanam menggunakan tebu varietas baru dari hasil persilangan dengan tebu yang sebelumnya, pemeliharaan yang digunakan hampir sama dengan tebu yang lain yaitu dilakukan pemeliharan ulang dari tebu sebelumnya mulai dari pemupukan, penyulaman, pengairan, membunbun, dan memberantas hama penyakit pada tanaman tebu itu sendiri. Panen dilakukan apabila tebu tersebut telah dikatakan sudah tua dengan ciri – ciri berwarna kecoklatan tua dan siap untuk di tebang dan pasca panen dilakukan pengangkutan ke pabrik gula untuk dilakukan penyortiran tebu yang berkwalitas dan tidak berkwalitas. Berdasarkan hasil penelitian usahatani tebu sistem bongkar ratoon mempunyai biaya per hektar sebesar Rp. 19.878.192, (Rp/Ha), penerimaan per hektar sebesar Rp. 34.540.266, (Rp/Ha) dan
pendapatan per hektar sebesar Rp. 15.256.068, (Rp/Ha). Sedangkan usahatani tebu sistem
rawat ratoon memiliki biaya per hektar sebesar Rp. 15.084.981, (Rp/Ha), penerimaan per
hektar sebesar Rp. 27.837.660, (Rp/Ha), dan pendapatan perhektar sebesar Rp. 10.636.277,
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen gula pasir dimana gula pasir digolongkan sebagai
komoditas strategis, sehingga pemerintah berkewajiban menyediakan dalam jumlah
yang cukup pada tingkat harga yang terjangkau di masyarakat. Saat ini produksi gula
dalam negeri belum mampu mencukupi konsumsi, baik konsumsi lansung maupun
konsumsi tidak lansung. Kekurangan gula untuk mencukupi kebutuhan konsumsi
tersebut masih harus disediakan melalui impor. Sebagai gambaran pada tahun 2008
produksi gula nasional mencapai 2,67 ton, sementara kebutuhan gula domestik
hampir 4,71 juta ton, sehingga terjadi kekurangan sekitar 2,04 ton dipenuhi melalui
imfor. (Rahmat, A, 2000).
Apabila dikaitkan dengan sistem bongkar ratoon, maka dalam hal mendapatkan
randemen yang tinggi harus menggunakan sistem yang baik, bahwa dalam
peningkatan randemen yang tinggi harus menggunakan beberapa sistem yang terdiri
dari keprasan, dan bongkar ratoon dengan kedua sistem tersebut, maka setiap pabrik
gula akan mendapatkan hasil yang tinggi tetapi berbeda dan ini dapat menutupi gula
imfor di indonesia. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki
sumber daya alam yang melimpah dan keberadaan gula merupakan sebagai sala satu
sembilan bahan pokok yang keberadaannya sangat mempengaruhi kehidupan rakyat
banyak terhadap kebutuhan sehari - hari, serta memberikan sumbangan kepada kas
campur tangan langsung dalam menangani pergulaan di indonesia yaitu meliputi
aspek produksi, pemasaran, distribusi dan harga. (Rahmat, A, 2000).
Tebu (Sacharum Officinarum) adalah tanaman rumput – rumputan yang banyak
mengandung gula pada batangnya. Namun untuk sampai menghasilkan gula, terlebih
dahulu tebu hasil panen dari kebun harus segera dikirim ke Pabrik Gula (PG) untuk
selanjutnya diolah. Dari pengolahan tebu ini dihasilkan apa yang dikenal sebagai
Gula Kristal Putih (GKP) dan tetes sebagai produk utama. Disamping itu proses
pengolahan tebu ini juga memproduksi ampas tebu yang kemudian dapat
dimamfaatkan sebagai bahan bakar Boiler, media jamur merang, serta pupuk organik
(Kompos). Sedangkan blotong yang dihasilkan dari proses pemurnian, dapat
dimamfaatkan pula sebagai pupuk organic, (Rahmat, A, 2000).
Pada dasarnya, Kelompok Industri Pabrik Gula memiliki sasaran yang bertujuan
untuk mendapatkan mutu Produk Gula Kristal Putih (GKP) yang memenuhi Standart
Nasional Industri (SNI), rendemen yang tinggi dan biaya pengolahan yang rendah
dengan menggunakan proses pengolahan yang optimal, efektif dan efisien.
Sedangkan parameter yang dipergunakan untuk menunjukkan mutu gula antara lain :
Nilai Remisi Direduksi (NRD), Warna Icumsa (IU), Besar Jenis Butir (BJB), Kadar
Air, dan Pol pada suhu 20 C. Sedangkan faktor yang menentukan mutu gula adalah
kondisi dan mutu tebu yang akan diolah. Tebu yang terbakar,tebu yang sudah layu
atau yang sudah terkena penyakit, serta tebu lasahan, bila diolah dapat dipastikan
akan menurunkan perolehan produksi serta mutu gula yang dihasilkan, (Wayan R.
Laju pertumbuhan produksi gula selama ini masih kecil di bandingkan kenaikan
konsumsi. Kenaikan produksi rata – rata hanya 3,58% per tahun, sedangkan kenaikan
konsumsi mencapai 4,86% per tahun. Itulah sebabnya saat ini indonesia di samping
sebagai produsen gula (Urutan ke 12), juga sebagai pengimpor gula yang cukup
besar. Konsumsi gula di indonesia dari tahun ketahun semakin meningkat. Di
sebabkan oleh pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta
semakin banyak industri memerlukan gula pasir sebagai bahan baku, karena produksi
dalam negeri tidak dapat mengimbangi laju permintaan, sehingga indonesia terpaksa
mengimpor gula untuk menutupi kelebihan permintaan tersebut dan indonesia rata –
rata perusahaan industri terjadi penggunaan biaya yang sangat tinggi, sehingga
produk yang ada di Indonesia sendiri sangatlah mahal dibandingkan gula impor.
(Wayan R,S. 2004).
Pertumbuhan gula pasir belum dapat mengimbangi konsumsi gula pasir yang
terus meningkat, maka impor gula pasir akan naik pula untuk menutupi kelebihan
konsumsi tersebut. Jika kenaikan impor gula pasir akan naik pula untuk menutupi
kelebihan konsumsi tersebut, jika kenaikan impor gula pasir pada saat harga gula
yang dipasar dunia lebih rendah dari harga tetap dalam negeri tidak menjadi masalah,
akan tetapi apabila harga gula dipasar luar negeri lebih tinggi dari harga tetap, maka
akan membawa dampak bagi pemerintah karena harus mengeluarkan subsidi harga
yang jumlahnya tidak dapat diduga. (Wayan R,S. 2004).
Langkah jangka panjang yang dilaksanakannya kebijakan harga yang sesuai
secara teoritis swasembada gula masih dapat dilaksanakan. Dengan tingkat harga
investasi peningkatan produksi gula sejalan dengan meningkatnya kebutuhan
konsumsi akan gula. Kebijakan pemerintah dalam bidang industri gula tidak hanya
menyangkut aspek produksi saja, tetapi juga dalam sistem pemasaran, distribusi,
perdagangan sampai kepada penentuan harga yang bertujuan untuk menjaga
kuantitas penawaran dan menciptakan harga gula yang bertujuan untuk menjaga
kuantitas penawaran dan menciptakan harga gula pasir yang layak dan stabil
ditingkatkan konsumen. (Wayan R,S. 2004).
Peranan sektor pertanian sekarang dan masa depan masih merupakan sektor
andalan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Hampir semua sektor dewasa ini
mengalami pertumbuhan negative, akibat krisis ekonomi, sektor pertanian masih
mampu menunjukkan pertumbuhan yang positif. Dilain pihak sektor pertanian
merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat dan masih mampu
meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja. Hal ini membuktikan bahwa usaha
yang berbasisi sumberdaya domestic masih mewujudkan keunggulan dalam
menghadapi krisis ekonomio dibandingkan usahatani yang berbasis sumberdaya
impor. (Wayan R,S. 2004).
Seiring dengan populasi penduduk yang terus bertambah, pada tahun – tahun
mendatang kebutuhan gula dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Pada
tahun 2010 dengan populasi penduduk sekitar 230 juta jiwa kebutuhan gula
indonesia diproyeksikan mencapai 4, 69 juta ton, dimana 2,75 juta ton diantaranya
merupakan kebutuhan gula komsumsi lansung masyarakat dan 1,94 juta ton
kebutuhan industri. Pada tahun 2014 atau 5 tahun ke depan kebutuhan gula melonjak
Kebutuhan gula yang terus meningkat ini harus segera diantisipasi, (Praditya Tono,
1999).
Upayah untuk meraih swasembada gula relatif berat dan perlu kerja keras,
karena produksi gula nasional saat ini baru mencapai 56 % dari kebutuhan. Produksi
gula nasional yang rendah terutama disebabkan oleh rendahnya tngkat produktivitas
gula. Penurunan produktivitas gula terkait dengan berbagai faktor seperti perubahan
kebijakan di bidang gula, inefisiensi pengolahan, pergeseran areal tebu ke lahan
tegalan, penerapan baku mutu budidaya yangkurang baik dan khususnya sistem
produksi yang terdir dari bongkar ratoon, keprasan dan cempolongan. (Kinnedy,
2001).
Mengantisipasi penurunan produktivitas gula yang terus berlanjut pemerintah
menerapkan berbagai regulasi dan kebijakan sperti pemberlakuan tarif bea masuk
gula, harga provenue, dana talangan. Program revitalisasi, program akselerasi
peningkatan produktivitas gula nasional. Kontribusi jawa timur dalam peningkatan
produksi gula nasional relatif sangat besar. Sejak tahun 2000 hingga 2008, sekitar 46
% total produksi gula nasional atau 75% total produksi gula jawa berasal dari jawa
timur. Dari sekitar 60 pabrik gula (PG) yang beroperasi di indonesia saat ini, 31
diantaranya berada di jawa timur. (Kinnedy, 2001).
Mendukung peningkatan produksi gula di jawa timur tela dilakukan berbagai
kegiatan, baik di sektor on – farm maupun off - farm. Secara garis besar perbaikan
sektor on – farm dilakukan penyediaan sarana produksi, bibit unggul, penerapan
standart baku budidaya, rehabilitas tanaman melalui bongkar ratoon dan rawat
peningkatan kapasitas giling dan rehabilitas pabrik. Selai itu, sejak tahun 2006
dilakukan pula program pabrik gula (PG). Kegiatan perbaikan on – farm yang cukup
nyata pengaruhnya di jawa timur adalah bongkar ratoon. Tanaman yang sudah
dikepras lebih dari 3 kali di bongkar dan diganti dengan varietas tebu unggul baru.
Penggantian ini disertai dengan upaya pemupukan dalam dosis, komposisi dan waktu
yang tepat, pengairan dan perawatan lainya sesuai dengan baku tehknis. Dalam
rangka menyediakan bibit unggul dilakukan kerjasama dengan para pemulia bibit
khususnya dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Bibit
ditanam secara berjenjang dengan luasan sesuai kebutuhan dan pelaksanaan
pembangunan melibatkan petani (Koperasi) dan PG. (Thoha Mahmud, 2000).
Berbagai upaya bidang on – farm, off – farm dan kelembagaan yang telah
diterapkan secara signifikan mampu meningkatkan produksi gula. Akan tetapi,
kenaikan produksi tersebut tampaknya lebih banyak disumbangkan oleh
pertambahan areal tebu. Pencapean produktivitas tebu dan gula masih belum sesuai
dengan target. Sebagai gambaran, target produksi gula nasional tahun 2008 sekitar
2,95 juta ton, namun realisasinya hanya 2, 67 juta ton. Produktivitas gula nasional
pada tahun 2008 ditargetkan rata – rata 6, 80 ton/ha, namun realisasinya hanya 6, 17
ton/ha atau sekitar 91%. Rendahnya randemen dalam produksi dan produktivitas gula
ini kemudian mendorong pemerintah pada tahun 2009 menyusun rencana Aksi
Revitalisasi Industri Gula Nasional. Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula
Nasional sebenarnya merupakan bentuk lain Program Akselerasi dan Roadmap
Swasembada Gula dengan revisi pada target produksi gula. Target swasembada gula
total. Berdasarkan rencana aksi tersebut, swasembada gula konsumsi lansung target
tercapai pada tahun 2009 dan swasembada gula total pada tahun 2014. Maka dengan
ini perlu dilakukan program sistem bongkar ratoon yang baik dan menggunakan
sistem keprasan yang sangat optimal, sehingga mendapatkan hasil yang baik juga
dalam peningkatan mutu gula di jawa timur maupun tingkat internasional, (Hafsa,
1989).
Secara nasional upaya peningkatan produksi gula sangat tergantung kepada
kinerja industri gula di jawa timur. Target produksi gula setiap tahun di jawa timur
hampir selalu tercapai (Satuan Kerja Dinas Perkebunan Propinsi Jawa timur 2004 –
2010) sementara wilayah lainnya di Indonesia jauh di bawah sasaran. Oleh karena
itu, fakta ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya dikaitkan dengan
keragaan kinerja industri gula di jawa timur secara keseluruhan. Pada saat ini banyak
negara sedang berjuang untuk mempertahankan eksistensi industri gulanya melalui
dua cara (instrument) yaitu :
a. Intrumen politik yaitu menuntut
perlindungan pemerintah dari persaingan yang tidak sehat dengan industri gula
negara lain melalui forum perundingan bilateral.
b. Intrumen teknologi yaitu mengembangkan
teknologi dalam industri gula domestik untuk meningkatkan efisiensi industri gula
sehingga mampu bersaing dengan industri gula negara lain khususnya dalam hal
program yang digunakan sperti sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon.
Industri gula di Indonesia kedepan menghadapi tantangan yang cukup berat
1. Persaingan lahan tebu dengan komoditas
pertanian lainnya (padi dan palawija). Bahwa suatu perusahaan mencari lahan
yang berjenis kelas A artinya bahwa kelas A merupakan tanah yang paling baik di
antara tanah jenis lainnya.
2. Persaingan antar pabrik gula yang dilihat
dari segi kualitas dan kuantitas dalam menghasilkan produk.
3. Persaingan peruntukan lahan yang
disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk dan tata ruang kota (Master
Plan Pngembangan Perkebunan Tebu dan Industri berbasis Tebu di Jawa Timur).
Luas areal Jawa Timur berdasarkan batas wilayah adminisrasinya sekitar 42. 426
Kilometer persegi dan sekitar 2,8 juta hektar peruntukan lahannya untuk pertanian
dan perkebunan. Dari luas lahan pertanian tersebut, sekitar 140.000 – 150.000 hektar
dimamfaatkan untuk lahan perkebunan tebu yang terdiri dari lahan tegalan dan lahan
sawah. Untuk mengetahui luas areal tanaman tebu berdasarkan tipe dan pengelolaan
lahan di jawa timur pada lima tahun terakhir. Jawa timur industri gula dikelola oleh
empat (4) perusahaan yang terdiri dari : PTPN X, PTPN XI, PT. PG RAJAWALI 1
dan PT. KEBUN AGUNG. Luas areal tebu di masing – masing wilayah perusahaan
gula begitu dinamis sehingga selalu terjadi pergeseran – pergeseran lokasi kebun.
(Hafsa, 1989).
1.2. Perumusan Masalah
Indonesia adalah negara yang mempunyai areal lahan yang sangat luas sekali,
Indonesia masih mengimpor gula. Untuk prodiksi gula nasional harusnya mendapat
perhatian menilik besarnya potensi yang dimiliki bangsa ini untuk mewujudkan
swasembada gula. Tebu sebagai bahan baku pembuat gula masih terbelengkalai
dalam pelaksanaanya dalam segi program yang terdiri dari lahan, bibit, saprodi dan
yang lebih penting sistem yang digunakan dalam hal peningkat randemen gula.
Kegiatan utama pembongkaran tanaman tebu ratoon dan pembangunan kebun
bibit tebu. Di Jawa Timur salah satu dampak dari program ini, banyak dijumpai
petani yang melakukan sistem bongkar ratoon tanaman tebu dan diganti dengan bibit
tebu yang berkualitas terutama yang dihasilkan oleh P3GI. Program bongkar ratoon
menjadi dambaan petani untuk mengganti varietas tanaman tebunya. Varietas yang
sedang dikembangkan di Propinsi Jawa Timur yaitu varietas PS 862, PS 863, PS 861,
PB 851, PS 851 dan PB 861, sedangkan varietas yang sudah banyak ditanam oleh
petani yaitu varietas Triton, PS 80142, BZ 132, PS 801424.
Produktivitas tanaman tebu dipengaruhi oleh berbagai faktor tidak hanya tipe
lahan (sawah atau tegalan) tetapi juga penggunaan sarana produksi dan teknik
budidayanya. Pemupukan sebagai salah satu usaha peningkatan kesuburan tanah,
pada jumlah dan kombinasi tertentu dapat menaikkan produksi tebu dan gula.
Berdasarkan ini,rekomendasi pemberian macam dan jenis pupuk harus didasarkan
pada kebutuhan optimum dan terjadinya unsur hara dalam tanah disertai dengan
pelaksanaan pemupukan yang efisien yaitu waktu pemberian dan cara pemberian.
Kombinasi jenis dan jumlah pupuk yang digunakan berkaitan erat dengan tingkat
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan tentang usahatani
tebu dengan sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan program sistem
bongkar ratoon pada tanaman tebu di Wilayah Kecamatan Prambon.
2. Bagaimana perbedaan usahatani tebu
sistem bongkar ratoon dengan sistem rawat ratoon, terutama produktivitas (gula
dan tebu), randemen dan pendapatan petani di Wilayah Kecamatan Prambon.
3. Apakah usahatani tebu dengan sistem
bongkar ratoon mempunyai ukuran daya saing yang tinggi di bandingkan dengan
sistem rawat ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan
1. Untuk mengetahui pelaksanaan budidaya
tanaman tebu sistem bongkar ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon mulai
dari tanam, pemeliharaan, Panen dan pasca panen.
2. Menganalisis rata – rata perbedaan biaya,
pendapatan, produktivitas dan efisiensi usahatani tebu antara sistem bongkar
ratoon dengan sistem rawat ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon.
3. Menganalisis daya saing usahatani tebu
sistem bongkar ratoon dengan sistem rawat ratoon yang dilaksanakan di
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat (Benefit) dari hasil penelitian Usahatani Tebu (Sacharum
Officanarum) Antara Sistem Bongkar Ratoon Dengan Sistem Rawat Ratoon Di
Wilayah Kecamatan Prambon diharafkan :
1. Memberikan media informasi bagi
perusahaan gula dan petani tebu terhadap sistem bongkar ratoon dengan
sistem rawat ratoon.
2. Dapat memberikan manfaat kepada
pemerintah daerah maupun pusat dalam mengetahui pentingnya program
sistem bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon tebu dalam peningkatan
produksi dan pendapatan.
3. Memberikan tambahan wawasan dan
wacana bagi para pemula atau pelaku bisnis pertebuan dan kelembagaan
petani baik dari sisi sosial maupun ekonomi.
1.3.3. Pembatasan Masalah
Penelitian ini merupakan studi kasus pada petani tanaman tebu sistem
bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon di Wilayah Kecamatan Prambon. Pada
penelitian ini hanya terbatas dengan ruang lingkup yaitu petani tanaman tebu sistem
bongkar ratoon dan sistem rawat ratoon yang memberikan keunggulan di masing –
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Industri gula nasional memiliki sejarah teramat panjang. Pernah mengalami puncak kejayaan ketika produktivitas berada pada titik tertinggi sehingga menempatkan Indonesia sebagai pengekspor gula terbesar dunia kedua setelah Kuba. Hasil-hasil penelitian dan teknologi yang lahir di Indonesia menjadi kiblat peningkatan daya saing dunia. Salah satu di antaranya adalah varietas tebu rakitan Pasuruan mampu menyelamatkan industri gula dunia dari penyakit sereh. Itu semua terjadi sekitar tahun 1930-an ketika 167 pabrik gula (PG) kala itu mampu menghasilkan 3,0 juta ton gula. (Wayan R,S. 2004).
bebas oleh siapa pun dengan tanpa barrier to entry, baik yang bersifat tarif maupun non tariff, (Wayan R,S. 2004).
Pada mulanya implementasi liberalisasi disambut dengan antusias. Harga gula dunia yang sangat mahal dan rupiah yang terdepresiasi membuat petani dan kalangan PG sangat menerimanya dengan baik. Ternyata kondisi tersebut, ternyata hanya berlangsung beberapa bulan. Gerusan harga gula dunia yang kembali normal, bahkan cenderung rendah, ditambah apresiasi rupiah menjadikan harga gula lokal terpuruk. Keadaan yang serba kacau diperparah membanjirnya stok oleh aliran gula dunia yang dapat didatangkan siapa saja, kuatnya tekanan petani menimbulkan kegamangan para birokrat. Sejumlah aturan yang bersifat melindungi dan mempromosikan agenda peningkatan daya saing pun digulirkan. Beberapa kebijakan proteksi antara lain berupa pembatasan impor gula secara ketat dengan hanya memberikan lisensi kepada produsen dengan bahan baku sekurang-kurangnya 75% dari tebu rakyat, adanya bea
masuk atas gula impor, tersedianya harga dasar (floor price) dan dana talangan untuk
gula petani, serta subsidi pupuk dan kredit program, (Simatupang, R, 2006).
berikutnya. Sebutlah adanya harga dasar gula, memberi peluang petani terhindar dari dampak fluktuasi harga yang cenderung kurang menguntungkan, (Simatupang, R, 2006).
Dana talangan memungkinkan petani tetap dapat beraktifitas di kebun meski gula hasil penggilingan tebu belum terjual habis. Aktifitas itu menyangkut peningkatan mutu intensifikasi budi daya dan ekspansi areal. Tidak mengherankan kalau produksi gula nasional khusus dari tebu yang hanya 1,67 juta ton (1999) telah bergerak naik menjadi 2,41 juta ton (2007). Impor gula pun menurun drastis dan secara bertahap industri gula berancang-ancang menuju swasembada. Kebijakan yang by design sudah bagus tersebut tererosi beleid lain yang dibuat pemerintah sendiri, khususnya soal distribusi gula rafinasi. Per definisi gula rafinasi hanya untuk industri makanan dan minuman berskala besar, tetapi dengan memperluas terminologi industri termasuk pula yang dilakukan usaha mikro, kecil dan rumah tangga, rusaklah susu sebelanga, (Anggoro, T, 2008).
Keadaan makin buruk lantaran pemerintah juga memberikan rekomendasi (Departemen Perindustrian) dan menerbitkan izin (Departemen Perdagangan) impor gula rafinasi secara langsung oleh industri makanan dan minuman. Alasan kualitas produk lebih baik dan harga lebih murah menggoda industri makanan dan minuman melakukan tindakan impor. Timbul pertanyaan, kalau produk industri gula rafinasi berbahan baku raw sugar impor tidak terserap industri makanan dan minuman dengan alasan spesifikasi produk tidak terpenuhi, lantas untuk apa didirikan? Pembangunan pabrik berkapasitas besar dengan keengganan industri makanan dan minuman menyerapnya setidaknya telah menjadikan gula lokal sebagai korban kebijakan yang tidak didasari kondisi objektif di lapangan. Temuan gula rafinasi, baik produk lokal maupun impor, yang diperdagangkan secara bebas di Yogyakarta bulan November 2007, mengindikasikan telah terjadinya perembesan. Fakta lain yang juga terungkap, aliran gula lokal ke luar Jawa mengalami stagnasi, setidaknya dibandingkan dengan kondisi normal akibat pasar telah jenuh gula rafinasi, (Amirudin, H, 2002).
Posisi daya saing industri gula di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara produsen gula yang efisien, seperti Brasil, Australia, Thailand, Afrika Selatan,India, dan Cina. Apabila bersaing dengan negara-negara tersebut, 12 pabrik
gula (PG) di Jawa diperkirakansulit bertahan apabila tidak diberlakukan kebijakan proteksi. Bahkan bila dipersaingkan dengan harga gula di pasar dunia, dari 46 PG di Jawa (total kapasitas 128.670 TTH atau 65% dari kapasitas nasional atau kontribusi
produksi setara dengan 68% produksi nasional), 37 PG tidak mampu bersaing. Penyebab utama tidak kompetitifnya industri gula di Jawa adalah inefisiensi pada
Inefisiensi usahatani disebabkan oleh produktivitas lahan yang rendah sebagai akibat penggunaan varietas lama, berkembangnya tanaman tebu keprasan yang
berulang-ulang, dan penerapan teknologi yang mengutamakan bobot tebu. Inefisiensi pada usaha tani tebu telah mulai dipecahkan melalui program akselerasi peningkatan produktivitas gula yang difokuskan pada bongkar ratoon dan penggantian varietas
yang dimulai tahun 2002. Pada tahun 2004, program tersebut telah menunjukkan keberhasilan berupa kenaikan produksi yang cukup nyata. Namun demikian,
pengolahan gula belum ditangani secara signifikan, (Amirudin, H, 2002).
Inefisiensi di tingkat pengolahan mencakup dua hal, yaitu kapasitas dan efisiensi teknis PG yang sangat rendah dibandingkan dengan PG di luar negeri. Pada
umumnya PG di luar negeri berkapasitas lebih dari 5.000 TTH, sedangkan kapasitas PG di Jawa umumnya kurang dari 5.000 TTH. Di samping itu, efisiensi teknis PG di
Jawa, yang dicerminkan oleh overall recovery (OR), hanya berkisar 59-76%, sedangkan OR untuk PG diluar negeri rata-rata di atas 80%. Upaya peningkatan daya saing industri gula mencakup pula peningkatan efisiensi PG melalui konsolidasi PG
agar kapasitas PG mencapai lebih dari 5.000 TTH dengan OR lebih besar 85%. Ada dua langkah yang dapat ditempuh yaitu penggabungan dan atau peningkatan
kapasitas PG kecil (di bawah 5.000 TTH), dan rehabilitasi PG untuk meningkatkan OR mencapai 85% atau lebih. Artinya, melalui penanganan efisiensi PG akan dapat diharapkan tambahan produksi gula sekitar 110.000 ton/tahun, (Amirudin, H, 2002).
Pabrik gula yang efisien harus memenuhi standar di atas. Namun pada saat ini sebagian besar PG di Jawa masih berada di bawah norma yang ditetapkan.
Rp2.500/kg, bahkan bisa lebih rendah jika digunakan varietas baru dengan produktivitas tinggi dan efisiensi pada aspek budidaya. Apabila hal ini terwujud maka
semua PG di Jawa dapat bertahan meskipun tanpa proteksi. Eksistensi PG di Jawa akan berdampak luas pada perekonomian, seperti penciptaan pekerjaan bagi petani tebu, transportasi, industri hulu, industri hilir, serta menginduksi pendapatan di
sekitar PG. Peningkatan efisiensi PG di Jawa juga memberi kontribusi pada upaya mencapai swasembada gula dan ketahanan pangan, (Amirudin, H, 2002).
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Sejarah Pergulaan Di Indonesia
Tanaman tebu (Saccharum Officianarum) telah dikenal dalam peradaban
manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Tanaman tebu dikenal di Negara India sejak seribu tahun sebelum masehi. Nama latin Saccaharum yang diberikan oleh Linaeus tahun 1753 berasal dari kata karkara dan sakara dalam bahasa sangseketa dan rakit
yang berarti kristal gula atau sirup yang berwarna gelap. Sehubungan dengan hal tersebut dan oleh ciri – ciri botaninya, kebanyakan peneliti memperkirakan bahwa
daerah asal tanaman tebu adalah India Utara (Saccharum Barberi, Jeswiet), Cina bagian tenggara (Sccharum Sinense, Roxb) atau dari daerah pasifik selatan. Akan tetapi penelitian terakhir menyimpulkan bahwa tanaman tersebut berasal dari pulau
irian lalu sejak tiga ribu tahun yang lampau menyebar ke kepulauan Indonesia dan Malaysia, kemudian menyebar pula ke indo Cina dan India. India merupakan negara
Pertanaman tebu di Indonesia terutama di pulau jawa yang bercorak industri pergulaan dimulai pada masa tanam paksa (Cultuur Steisel), pada tahun1830 oleh
pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1840 telah dijumpai tanaman tebu seluas 22.400 hektar dengan jumlah ekspor gula sebesar 63.400 ton. Pada tahun 1870 dikeluarkan undang – undang Agraria (Agrariche Wet) yang diusulkan oleh “Wet Op
Suiker Cultur” untuk menghapus sistem tanam paksa, karena sistem itu telah menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat (petani) khususnya di pulau jawa,
(Fahrudin, M, 2003).
Perusahaan perkebunan tebu di pulau jawa umumnya tidak memiliki lahan sendiri, sehingga dalam penanaman tebu ini selalu berpindah – pindah tempat dari
tahun ke tahun sesuai dengan giliran penanaman tanaman tebu yang telah diatur oleh pemerintah. Sebelum perang dunia II gula merupakan sala satu komoditi ekspor
terpenting di indonesia. Indonesia tergolong sebagai sala satu sumber gula bagi pasaran dunia internasional. Setelah perang dunia II perusahaan perkebunan tebu di indonesia mengalami kemunduran. Hal iini disebabkan oleh berkurangnya lahan yang
dapat digunakan untuk penanaman tebu, karena kebutuhan akan pangan terus meningkat sehingga lahan – lahan sawah lebih diperioritaskanntuk bertanam padi,
(Djoehana S dan Husaini A, 1992).
Indonesia telah berubah dari negara eksportir gula pasir dunia menjadi importir, hal ini disebabkan perkembangan produksi yang lambat apabila dibandingkan dengan
pertambahan yang cepat dari permintaan dalam negeri sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan kenaikan pendapatan per kapita. Konsumsi gula di
penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta semakin banyak industri memerlukan gula pasir sebagai bahan baku. Karena produksi dalam negeri tidak
mampu mengimbangi laju permintaan, sehingga indonesia terpaksa melakukan imfor gula dalam jumlah yang besar untuk menutupi kekurangan dalam negeri itu sendiri. (Djoehana S dan Husaini A, 1992).
Mengingat harga gula dipasar dunia internasional relatif murah, tetapi pemerintah tetap mencanangkan pemenuhan produksi dalam negeri atas
pertimbangan beberapa hal di antaranya mengurangi ketergantungan suplai gula luar negeri, menghemat devisa, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. (Hafsah, 1989). Dalam lima tahun terakhir impor gula yang
dilaksanakan pemerintah melalui bulog memang berfluktuasi, tergantung pada kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 1997 impor gula sebesar 452.826.29 Kg, pada
tahun 1998 impor gula mengalami penurunan sebesar 244.875.330 Kg, pada tahun 1999 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 738.274.925 Kg, sedangkan pada tahun 2000 dan 2001 jumlah impor gula relatif stabil maisng –
masing sebesar 399.082.864 Kg dan 369.382.394 Kg, (Djoehana S dan Husaini A, 1992).
Usaha pemerintah untuk mencapai swasembada gula dengan memanfaatkan semua potensi yang ada secara optimal telah dilakukan, mengingat tercapainya swasembada gula bukan hanya kebutuhan gula nasional yang dapat dipenuhi, tetapi
penting. Melimpahnya produksi dengan dukungan birokrasi, ketersediaan lahan kelas wahid, infrastruktur fisik berupa jalan, jembatan, dan irigasi, serta lembaga riset bereputasi internasional telah menempatkan negeri ini sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua di dunia, setelah Kuba. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan sejarah, situasi yang sudah berbalik menjadi negara importir gula. Titik awal kehancuran itu adalah ketika pola sewa lahan petani oleh pabrik gula (PG) dihentikan dan diganti tebu rakyat. Pemisahan antara manajemen penyediaan bahan baku dan pabrikasi secara sistematis membuat produksi tidak maksimal. Disintegrasi vertikal juga terbukti menjadi sumber konflik dengan solusi menyakitkan, apalagi dalam implementasinya belasan institusi yang secara tidak langsung terlibat proses produksi ikut mengatur dengan mekanisme kewenangan yang tidak jelas dan penuh
kepentingan, (Djoehana S dan Husaini A, 1992).
2.2.2. Produksi dan Konsumsi Gula
Memenuhi kebutuhan akan pemanis telah tersedia sejumlah alternatif sumber bahan pemani yang baik alami maupun yang buatan (sintetis). Bahan pemanis alami
maupun bahan pemanis buatan telah digunakan secara luas baik untuk keperluan konsumsi rumah tangga maupun bahan baku industri pangan. Luas wilayah dengan
potensi sumber daya alam yang berlimpah, gula merupakan sala satu komoditas strategis, karena kontribusinya bagi perekonomian nasional, perannya dalam ketahanan pangan, banyak investasi dan tenaga kerja, serta luas lahan keterkaitanya
dan kedudukan gula dalam industri primer maupun skunder. Ditinjau dari kepentingan nasional indonesia gula merupakan tergolong sebagai sala satu komoditi
Karena sebagai sala satu kebutuhan pokok (Food Staple), masyarakat sebagai sumber karbohidrat, banyak menyerap tenaga kerja, serta mendukung industri sekunder sperti
industri makanan dan minuman. Namun dari besarnya pangsa pengeluaran rumah tangga untuk belanja gula terhadap pengeluaran, penelitian pada tahun 1986 dan 1995, menunjukkan bahwa pangsanya sangat kecil yakni 2. 15 % untuk rata – rata
dalm negeri 1. 95% untuk daerah perkotaan dan 2.27% untuk daerah pedesaan, (Aburazak, 2008).
Produksi dan konsmsi gula di jawa mempunyai kecenderungan yang meningkat, namun kenaikan produksi lebih besar dari kenaikan konsumsi dan fluktuasi yang terjadi pada produksi lebih tinggi dari pada yang terjadi pada
konsumsi. Selama 20 tahun terakhir surplus gula sering lebih terjadi dari devisit gula secara signifikan sedangkan produsen berbiaya tinggi tidak menurunkan produksinya
dengan cara memproteksi industri gula dengan cara pemberian subsidi produksi, subsidi ekspor maupun pengenaan rintangan masuk, (Aburazak, 2008).
Pelaku industri gula didalam negeri (khususnya Jatim) mengalami perubahan
dari waktu kewaktu. Namun demikian, apabila ditinjau dari segi penguasaan sumber daya atau manajemen produksi. Khususnya industri gula, maka periodesiasi industri
gula secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 yakni menyangkut tebu perusahaan dan tebu rakyat. Sifat penguasaan sumber daya yang berbeda tersebut berpengaruh produktivitas lahan dan total produksi gula yang diperoleh (Aburazak,
2.2.3. Kebijakan Industri Gula
Gejolak industri gula Nasional selama 3 tahun terakhir diakibatkan oleh
perubahan kebijakan pemerintah terhadap tebu dan proteksi dalam negeri. Dengan terpaparnya pasar gula dalam negeri terhadap pasar gula dunia, harga gula yang terjadi dalam negeri akan berkaitan erat dengan program bongkar ratoon pada
tanaman tebu, harga gula terjadi dalam negeri berkaitan erat dengan harga gula dipasaran, dengan demikian mengalami fluktuasi harga gula dalam negeri, (Faisal, A,
2000).
Pengembangan gula di indonesia dilaksanakan dalam rangka kebijakan umum untuk mencapai swasembada gula. Pemerataan distribusi stabilitas harga gula
diseluruh indonesia. Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dapat digolongkan dalam tiga kategori cakupan kebijakan yakni : (1) Kebijakan dalam bidang produksi
(2) Kebijakan dalam hal tataniaga gula (3) Kebijakan harga dan (4) sistem atau program bongkar ratoon dalam daya saing dengan sistem lainnya. Dalam bidang produksi, pemerintah mengambil kebijakan ini ditempuh melalui Inpres Nomor : 9
Tahun 1975, yakni program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Tujuan kebijakan ini pada dasarnya mengaitkan aspek produksi gula dengan bahan bakunya (Tebu) dalam
rangka menjamin pasokan tebu bagi pabrik gula, yang didukung oleh penyedia sarana produksi bagi petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Akibat dari kebijakan ini areal tebu terus meningkat, sehingga pasokan tebu bagi pabrik gula lebih terjamin.
Kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua, menurut biaya pemeliharaan yang tinggi sehingga memungkinkan terjadi inefisiensi, (Faisal, A, 2000).
Inefisiensi terjadi seringkali di alihkan kepetani karena sifatnya monofolinya, yakni melalui ekploitasi mutu maupun waktu tebang yang mengakibatkan rendahnya randemen tebu disebabkan antara lain : (1) konflik yang berkepanjangan antara petani
tebu dan pengolahan pabrik gula, (2) peralihan yang sangat cepat dari tebu lahan sawah kelahan kering, (3) pada tahun – tahun terakhir terjadi ekonomi biaya tinggi
baik usaha tani tebu, pabrik gula dan distribusi gula kepada konsumen, (4) terjadi ketegaran kebijakan dan perencanaan, (5) terjadi kolusi industri gula (menghambat program tebu rakyat), (Faisal, A, 2000).
Kebijakan tataniaga gula pasir produk dalam negeri, sejak dikeluarkan surat keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/KP/111/1981, tentang
tataniaga gula pasir produk dalam negeri, pemerintah melalui bulog bertindak sebagai pembeli tunggal seluruh gula pasir produksi pabrik gula milik swasta maupun negara. Untuk menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir sebagai sala satu
kebutuhan pokok masyarakat. Pengadaan tebu setara gula oleh kelompok tani tebu disetorkan kepada pabrik gula oleh KUD yang memperoleh kredit pengadaan dari
bank pemerintah. Untuk melindungi kepentingan konsumen maka ditetapkan harga setempat oleh kepala bulog. Sebagai pembeli tunggal, bulog sekaligus menjadi distributor tunggal menjadi beban konsumen dan menyebabkan tingginya harga di
2.2.4. Luas Areal Tanam
Luas areal budidaya tanaman tebu secara nasional pada 2009 mengalami peningkatan dibanding sebelumnya, kendati di beberapa wilayah di Pulau Jawa terjadi penyusutan lahan sekitar 10%. Luas lahan tanaman tebu tahun ini sekitar 439.000 hektare atau naik dibanding 2008 seluas 425.000 hektar. Memang di sejumlah daerah di Pulau Jawa ada penyusutan lahan tebu, tapi secara nasional luas lahan tebu justru bertambah. Penambahan areal terjadi di beberapa daerah di luar Jawa," kata Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Achmad
Manggabarani usai rapat koordinasi teknis pergulaan nasional, (Raehan, S, 2010).
Sulawesi Selatan dan Gorontalo sedangkan di daerah Jawa yaitu, Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur. Sedangkan untuk pengembangan perkebunan tebu di Indonesia, akan dilanjutkan ke Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Riau, Merauke,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, (Raehan, S, 2010).
Meningkatnya areal perkebunan tebu, maka produksi juga meningkat dengan pertumbuhan sekitar 2,8% menjadi 2,85 juta ton pada 2009 dari tahun sebelumnya 2,66 juta ton. Peningkatan produksi tebu tersebut juga didukung oleh harga gula yang terus merangkat naik, sehingga mendorong minat petani menanam tebu. masalah yang dihadapi oleh industri perkebunan tebu adalah masih kurangnya areal perkebunan dalam rangka mendukung program swasembada gula nasional yang ditargetkan pada 2014. Untuk mencapai swasembada gula diperlukan dukungan lahan perkebunan tebu seluas 600 ribu hektar. Sehingga untuk mencapai swasembada gula diperlukan lagi tambahan perluasan lahan perkebunan tebu hingga sekitar 157 ribu hektar lagi. Saat ini telah disiapkan lahan seluas 500 ribu hektar oleh Kementerian Kehutanan yang lokasinya tersebar di beberapa daerah di Indonesia,
yang karakteristiknya sesuai untuk lahan tebu, (Raehan, S, 2010).
hutan konversi, sementara anggaran akan dipenuhi dari dana pemerintah dan juga dapat dilakukan oleh investor swasta. Dengan diperluasnya areal perkebunan tebu, maka produksi tebu diharapkan bisa bertambah, sehingga bisa memenuhi kebutuhan gula nasional, baik untuk konsumsi maupun untuk kebutuhan industri. Penambahan areal perkebunan tebu itu juga bisa mengurangi impor gula putih, yang selalu terjadi sejak 2004. Impor gula hanya boleh dilakukan jika produksi tidak memenuhi kebutuhan gula nasional. Satu bulan sebelum dan sesudah musim giling atau periode Mei-Januari pemerintah tidak akan melakukan impor gula, karena petani tengah
memasuki masa panen untuk produksi gula, (Nurdin, M, 2010).
Pemerintah menyiapkan 500.000 hektar untuk perluasan tanaman tebu. Lahan itu diperlukan untuk menambah area tanam tebu dari yang saat ini 422.935 hektar menjadi 766.613 hektar pada tahun 2014. Perluasan untuk perkebunan tebu itu diambil dari lahan yang masuk kawasan hutan produksi, lahan hak guna usaha yang ditelantarkan, atau lahan PT Perhutani dengan penanaman pola tumpang sari. Untuk membiayai pengembangan perkebunan tebu rakyat itu diperlukan investasi sekitar Rp 5 triliun. Dana itu diambil dari kredit perbankan melalui program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi yang mendapatkan subsidi bunga APBN hanya Rp 17 miliar. Sejumlah wilayah yang dinilai cocok untuk tanaman tersebut yakni Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Tanaman tebu hanya cocok untuk wilayah tertentu yang curah hujannya tidak terlalu banyak. Namun demikian, untuk perluasan perkebunan tidak mudah sebab adanya kendala pembebasan tanah. Dengan kondisi tersebut menyebabkan calon investor kesulitan
untuk menanamkan investasi, (Nurdin, M, 2010).
infrastruktur pengangkutan. Pembukaan lahan dilakukan di areal budidaya dan hutan konversi. Kebutuhan investasi akan dipenuhi dari dana pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan adanya investasi dari pihak swasta. Saat ini banyak investor yang tertarik menginvestasikan dana untuk perluasan lahan itu. Namun, banyak
investasi yang terhambat pembebasan lahan, (Nurdin, M, 2010).
2.3.Budidaya Tebu Sistem Bongkar Ratoon Dan Sistem Rawat Ratoon.
2.3.1. Budidaya Tebu Sistem Bongkar Ratoon
a. Persiapan Lahan
Persiapan lahan merupakan kegiatan untuk mempersiapkan tanah tempat tumbuh tanaman tebu, sehingga kondisi fisik dan kimia tanah menjadi media perkembangan perakaran tanaman tebu. Kegiatan tersebut terdiri atas beberapa jenis yang dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan cara yang digunakan. Pada prinsipnya, persiapan lahan untuk tanaman baru dan tanaman bongkaran baru adalah sama tetapi untuk bongkar ratoon kegiatan persiapan lahan tidak dapat dilaksanakan secara intensif. Hal tersebut disebabkan oleh tata letak petak kebun, topografi maupun struktur tanah pada areal yang baru dibuka masih belum sempurna sehingga kegiatan mesin atau peralatan di lapang sering terganggu. Pada areal tersebut masih terdapat sisa – sisa batang atau perakaran yang dapat mengganggu operasional mesin di lapang. (Tommy,2009).
b. Pembajakan
tanah barulah diadakan kegiatan pembajakan dimulai dari sisi petak paling kiri, kedalaman olah mencapai 25 – 30 cm dan kapasitas kerja mencapai 8 jam/ha sehingga untuk satu petak kebun (± 1 ha) dibutuhkan waktu 8 jam mesin operasi. Pembajakan dilakukan merata di seluruh areal dengan kedalaman diusahakan lebih dari 30 cm dan arah bajakan menyilang barisan tanaman tebu sekitar 450. Pembajakan II dilaksanakan sekitar tiga minggu setelah pembajakan I dengan arah memotong tegak lurus hasil pembajakan I dan kedalaman olah minimal 25 cm. Peralatan yang digunakan adalah traktor. (Tommy,2009).
b. Penggaruan
Penggaruan bertujuan untuk menghancurkan bongkahan – bongkahan tanah dan meratakan permukaan tanah. Penggaruan dilaksanakan merata pada seluruh areal dengan menggunakan alat traktor. Tujuan penggaruan adalah untuk menghancurkan bongkahan – bongkahan tanah hasil pembajakan, mencacah dan mematikan tunggul maupun tunas tanaman tebu. Penggaruan dilakukan pada seluruh areal bajakan dan menyilang dengan arah bajakan. Traktor yang digunakan adalah traktor 120 HP. (Tommy,2009).
c. Pembuatan Alur Tanam
mengikuti arah ajir sehingga alur tanam dapat lurus atau melengkung mengikuti arah. (Tommy,2009).
d. Penanaman
Prinsip persiapan bibit yang ditanam di areal lahan kering sama dengan yang ditanam di sawah. Waktu tanam tebu di lahan kering terdiri dari dua periode, yaitu : Periode I, menjelang musim kemarau mei – agustus, pada daerah – daerah basah dengan 7 bulan basah dan daerah sedang yaitu 5 – 6 bulan basah, atau pada daerah yang memiliki tanah lembab. Namun dapat juga diberikan tambahan air untuk periode ini. Sedangkan periode II, menjelang musim hujan oktober – November, pada daerah sedang dan kering yaitu 3 – 4 bulan basah. Kebutuhan bibit yang akan ditanam adalah 11 mata tumbuh per meter juringan. Selain itu juga, untuk menghindari penyulaman yang membutuhkan biaya besar. Bibit ditanam dengan posisi mata disamping dan disusun secara lurus sesuai dengan aturan petani tanaman tebu. Cara penanaman ini bervariasi menurut kondisi lahan dan ketersediaan bibit, pada umumnya kebutuhan air pada lahan kering tergantung pada turunnya hujan sehingga kemungkinan tunas mati akan besar. Oleh karena itu, tunas yang hidup disebelahnya diharapkan dapat menggantikannya. (Tommy,2009).
sehingga jumlah bibit tiap juringan diusahakan lebih bila dibandingkan dengan lahan sawah (± 80 ku). (Tommy,2009).
e. Penyulaman
Penyulaman merupakan kegiatan penanaman untuk menggantikan bibit tebu yang tidak tumbuh, baik pada tanaman baru ataupun tanaman keprasan agar diperoleh populasi tebu yang optimal. Pelaksanaan penyulaman untuk bibit baru dilakukan 2 minggu dan 4 minggu setelah tanam, sedangkan untuk bibit rayungan dilakukan 2 minggu setelah tanam. Penyulaman dilaksanakan pada baris baru 2 – 3 mata sebanyak dua potong dan diletakkan pada baris tanaman yang telah dilubangi sebelumnya. Apabila penyulaman tersebut gagal, penyulaman ulang harus segera dilaksanakan. (Tommy,2009).
f. Pengendalian Gulma
Sedangkan setelah tanam dilaksanakan pada saat gulma sudah tumbuh dan biasanya dilaksanakan 1 – 2 kali. Untuk pelaksanaannya Dilaksanakan pada saat pengemburan tanah. Pengendalian tersebut dilaksanakan pada saat tanaman berumur 45 hari setelah tanam. Pengendalian gulma secara manual dilaksanakan oleh tenaga kerja dengan mempergunakan peralatan sederhana, dilaksanakan pada saat kondisi tanaman tebu masih dalam stadia peka terhadap herbisida, gulma didominasi oleh gulma merambat, populasi gulma hanya spot – spot, ketersediaan tenaga kerja yang cukup dan herbisida yang tidak tersedia di pasaran. Kapasitas kerja pengendalian gulma berbeda tergantung pada pengendalian gulma yang dilakukan. (Tommy,2009).
g. Pembumbunan dan penggemburan
h. Klentek
Klentek adalah suatu kegiatan membuang daun tua tebu yang dilakukan secara manual. Tujuan klentek adalah untuk merangsang pertumbuhan batang, memperkeras kulit batang, mencegah tebu roboh, dan mencegah kebakaran. Kegiatan ini umum dilakukan pada sistem reynoso di Wilayah Kecamatan Prambon. Untuk tebu lahan kering tidak dilakukan klentek. Untuk itu dalam salah satu seleksi varietas dicari yang daun keringnya lepas jika terkena angin. Sebagai konsekuensinya tebu lahan kering harus dibakar jika akan ditebang. Hal ini juga menjadi kriteria varietas tebu lahan kering, yaitu tahan bakar. (Tommy,2009).
i. Pengendalian hama dan penyakit
varietas tahan terhadap semua hama, sedangkan penggunaan bahan kimia jarang dilakukan karena tingkat serangannya rata – rata masih dibawah 5%. (Tommy,2009).
j. Pemupukan
Dosis pupuk yang dianjurkan untuk tebu lahan kering tanaman pertama adalah 8 ku ZA, 2 ku SP36 dan 3 ku KCl per hektar dengan aplikasi 2 kali. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanam. Pemupukan 2 dilakukan pada saat tanaman berumur sekitar 1,5 bulan yaitu pada awal musim hujan. Aplikasi pupuk dilakukan dengan mengalurkan ditepi tanaman kemudian ditutup dengan tanah. Pengaplikasian pupuk dengan bantuan traktor tangan sudah dikembangkan terutama untuk pembukaan dan penutupan alur sekaligus pembumbunan. (Tommy,2009).
k. Pemanenan
Panen dilaksanakan pada musim kering yaitu sekitar bulan April sampai Oktober. Hal tersebut berkaitan dengan masalah kemudahan transportasi tebu dari areal ke pabrik serta tingkat kemasakan tebu akan mencapai optimum pada musim kering. Kegiatan pemanenan diawali dengan tahap persiapan yang dilaksanakan sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum panen dimulai. Tahap persiapan meliputi kegiatan estimasi produksi tebu, pembuatan program tebang, penentuan kemasakan tebu, rekrutmen kontraktor dan tenaga tebang, persiapan peralatan tebang dan pengangkutan, serta persiapan sarana dan prasarana tebang. (Tommy,2009).
minimal 15 meter dari tepi dan 30 baris dari barisan pinggir. Tanaman contoh diberi tanda untuk mempermudah pengambilan contoh berikutnya. Setiap kali analisis dibutuhkan 15 – 20 batang atau sebanyak dua rumpun tebu, kemudian dilakukan penghitungan jumlah dan pengukuran tinggi batang, serta penggilingan untuk memperoleh nira tebu. Selanjutnya dilakukan pengukuran persen brix, pol dan purity dari setiap contoh. Data pol yang diperoleh dipetakan pada peta kemasakan tebu yang akan digunakan sebagai informasi untuk lokasi tebu yang sudah layak panen. Prioritas penebangan dilakukan dengan memperhatikan faktor lain selain kemasakan, yaitu jarak kebun dari pabrik, kemudahan transportasi, keamanan tebu, kesehatan tanaman, dan faktor tenaga kerja. (Tommy,2009).
l. Pelaksanaan Tebang
Metode penebangan yaitu tebu hijau. Metode tebu hijau adalah menebang tebu dalam kondisi tanpa ada perlakuan pendahuluan. Tebu di Wilayah Kecamatan Prambon dilakukan metode penebangan tebu hijau. Tebang dilakukan dengan
menggunakan sistem tebangan yaitu tebu ikat. Tebu Ikat tebangan ini dilaksanakan
ditempat penampungan tebu sebelum giling, setelah penimbangan, dengan menggunakan patok beton atau langsung ke meja tebu. (Tommy,2009).
2.3.2. Budidaya Tebu Sistem Rawat Ratoon.
a. Tebu Rawat Ratoon
Tebu rawat ratoon yaitu Menumbuhkan kembali bekas tebu yang telah ditebang,
baik bekas tebu giling atau tebu bibitan. Kebun yang akan dikepras harus dibersihkan dari kotoran bekas tebangan yang lalu. Sebelum mengepras sebaiknya tanah yang
terlalu kering di airi dulu. Kepras petak petak tebu secara berurutan, setelah dikepras dilakukan pemeliharaan menggunakan herbisida supaya tanaman tebu tetap sehat dan jauh dari hama dan penyakit dan harmonik pada umur 1,2 dan 3 bulan dengan dosis
seperti diatas. Pemeliharaan selanjutnya sama dengan tanam tebu pertama. (Anggraeni, P, 2007).
b. Tindakan Perawatan
Untuk tanaman tebu rawat ratoon hampir sama dengan perawatan tanaman baru diantaranya adalah pengendalian gulma, turun tanah, klentek dan pemberian air.
Khusus untuk perawatan gulma diintensifkan, karena jumlah tunas keprasan sangat berkurang akibat persaingan gulma yang tumbuh di barisan tebunya. Penyiangan
gulma dikerjakan secara manual tiga kali yakni pada umur 1,2 dan 3 bulan setelah tebu ditanam. Penggunaan herbisida sebagai pengganti tenaga penyiang yang mulai sulit diperoleh, tetapi dalam hal ini maka dilakukan penyemprotan campuran –
campuran herbisida yang telah ditentukan. (Anggraeni, P, 2007).
Pemberian pupuk tanah pada tanaman tebu lahan kering hanya dilakukan dua kali
bulan atau dapat dilakukan sekali pada umur 2 – 3 bulan sebelum tebang. Pemeliharaan drainase terutama diperlukan selama musim hujan untuk menjaga
kelancaran pengeluaran air yang berlebih. Pemupukan untuk lahan kering tidak diberikan sekaligus, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan untuk mencegah kehilangan pupuk. Untuk tebu rawat ratoon, disamping pemeliharaan
sebagaimana tanaman pertama dilakukan pola pengaturan pembersihan diantara barisan tebu dilakukan untuk mencegah melebarnya rumpun tebu keprasan, agar
penebangan dengan mesin tebang tidak mengalami kesulitan. (Anggraeni, P, 2007). Rawat ratoon biasanya mampu menderita akibat cekaman air. Tetapi penggenangan air dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan kematian perakaran
tebu, besarnya gangguan oleh genangan air terhadap pertumbuhan tebu, tergantung pada saat dan lama kondisi anaerob berlangsung. Di Indonesia khususnya dimana
banyak tebu keprasan tumbuh dimusim kemarau dan berada di lahan tegalan, pemberian air sampai setengah kapasitas lapangannya akan meningkatkan pertumbuhan tebu keprasan sampai 174 % dari pada kondisi kekurangan air. Berarti
hasil panen keprasan dapat ditingkatkan, hanya dengan meningkatkan ketersediaan air samapai kondisi dibawah kebutuhan optimal.(Anggraeni, P, 2007).
c. Pemupukan
Pemupukan dilakukan dua kali yaitu pertama saat tanaman tebu mulai tumbuh berumur 7 hari dengan dosis 7 gram urea, 8 gram TSP dan 35 gram KCL per
tanaman (120 kg urea, 160 kg TSP dan 300 kg KCL/ha) dan yang kedua 30 hari setelah pemupukan ke satu dengan 10 gram urea per tanaman atau 200 kg per hektar.
dan ditimbun tanah. Setelah pemupukan semua petak segera disiram supaya pupuk tidak keluar dari daerah perakaran tebu. Pemupukan dan penyiraman harus selesai
dalam satu hari. Agar rendemen tebu tinggi digunakan zat pengatur tumbuh. (Anggraeni, P, 2007).
d. Kriteria Panen
Ciri dan umur panen tergantung dari jenis tebu. Varietas tebu masak optimal 14 bulan, panen dilakukan pada bulan agustus pada saat rendemen (persentase gula
tebu) maksimal dicapai. (Anggraeni, P, 2007). e. Cara Panen
1. Mencangkul tanah di sekitar rumpun tebu
sedalam 20 cm.
2. Pangkal tebu dipotong dengan arit jika
tanaman akan ditumbuhkan kembali, batang dipotong dengan menyisahkan 3 buku dari pangkal batang.
3. Mencabut batang tebu sampai ke akarnya
jika kebun akan di bongkar, potong akar batang dan 3 buku dari permukaan pangkal batang.
4. Pucuk dibuang.
5. Batang tebu diikat menjadi satu (30 – 50
batang/ikatan) untuk dibawa ke pabrik untuk segera digiling panen dilakukan
satu kali di akhir musim tanam.(Anggraeni, P, 2007).
Rendemen tanaman tebu adalah merupakan kadar kandungan gula didalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10%
artinya bahwa dari 100 kg tebu yang digiling dipabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg. Dalam ini dapat diketahui ada 3 macam jenis rendemen yaitu : a. Rendemen Contoh
Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu telah masak optimal atau belum. Dengan kata lain rendemen contoh
adalah untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada, sehingga dapat diketahui kapan saat dilakukan penebangan yang tepat.
b. Rendemen Sementara
Perhitungan ini dilaksanakan untuk menentukan bagi hasil gula, namun sifatnya
sementara. Hal ini untuk memenuhi ketentuan, agar penentuan bagi hasil gula dilakukan secepatnya, setelah tebu petani digiling. Sehingga petani tidak menunggu terlalu lama samapai selesai digiling, namun dilakukan
pemberitahuan dengan perhitungan sementara. Cara mendapatkan rendemen sementara ini adalah dengan mengambil nira perahan pertama tebu yang digiling
untuk danalisis di laboratorium untuk mengetahui berapa besar rendemen sementara tersebut.
c. Rendemen Efektif
Rendemen efektif disebut rendemen nyata atau rendemen terkoreksi. Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam
dalam jangka waktu 15 hari atau kata lain 1 periode giling, sehingga apabila pabrik gula memiliki hari giling 170 hari, maka jumlah periode giling
adalah170/15 = 12 periode. Hal ini berarti terdapat 12 kali rendemen nyata atau efektif yang bisa diperhitungkan dan di informasikan kepada petani tersebut. (Purwono, 2007).
2.5. Daya Saing Tanaman Tebu
Menurut Tumar Sumihardjo (2008) menyebutkan bahwa: istilah daya saing sama
dengan competitiveness atau competitive. Sedangkan istilah keunggulan bersaing
sama dengan competitive advantage. Tumar Sumihardjo (2008), memberikan
penjelasan tentang istilah daya saing ini, yaitu: “Kata daya dalam kalimat daya saing bermakna kekuatan, dan kata saing berarti mencapai lebih dari yang lain, atau beda dengan yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Artinya daya saing dapat bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi tertentu, apabila kita hubungkan dengan daya saing tanaman tebu maka yang dilihat adalah pendapatan atau aspek – aspek lain.
Keunggulan merupakan posisi relatif dari suatu organisasi terhadap organisasi lainnya, baik terhadap satu organisasi, sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi dalam suatu industri. Dalam perspektif pasar, posisi relatif tersebut pada
umumnya berkaitan dengan nilai pelanggan (customer value). Sedangkan dalam
Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, dinyatakan bahwa:” daya saing adalah kemampuan untuk menunjukan hasil lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna”. Kemampuan yang dimaksud dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut, diperjelas oleh Tumar Sumihardjo (2008), meliputi: (1) kemampuan
memperkokoh posisi pasarnya, (2) kemampuan menghubungkan dengan
lingkungannya, (3) kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, dan (4) kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan.
Berdasarkan pendapat Agus Rahayu (2008), dan penjelasan Permendiknas No. 41 tahun 2007, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan daya saing adalah kemampuan dari seseorang/organisasi/institusi untuk menunjukan keunggulan dalam hal tertentu, dengan cara memperlihatkan situasi dan kondisi yang paling menguntungkan, hasil kerja yang lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna dibandingkan dengan seseorang/organisasi/institusi lainnya, baik terhadap satu organisasi, sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi dalam suatu industri.
2.6.Konsep Daya Saing Tanaman Tebu
Daya saing suatu sistem atau program dalam proses produksi. Bukanlah suatu proses yang terbentuk dalam jangka waktu pendek. Karenanya daya saing dapat dikatakan sebagai program yang terdiri dari sistem tanaman awal dan sistem keprasan, keprasan yang berkembang dari waktu ke waktu secara dinamis. Definisi
daya saing (competitiveness) adalah the set of institutions, policies and factors that